• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI PENDIDIKAN BERMUATAN KEARIFAN LOKAL DALAM UPACARA LAUT PADA KOMUNITAS SUKU BAJO DI BAJOE BONE DAN WAKATOBI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "NILAI PENDIDIKAN BERMUATAN KEARIFAN LOKAL DALAM UPACARA LAUT PADA KOMUNITAS SUKU BAJO DI BAJOE BONE DAN WAKATOBI."

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

Muhammad Saleh Buchari, 2012

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ...

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Definisi Operasional ... 4

BAB II. RELIGI, KEBUDAYAAN, FOLKLOR, DAN NYANYIAN KEARIFAN A. Religi ... 6

B. Kebudayaan ... 13

1. Wujud Kebudayaan ... 13

2. Wujud Kebudayaan sebagai Benda-Benda Hasil Karya ..… 14

3. Unsur-Unsur Kebudayaan ... 15

C. Folklor atau Tradisi Lisan ... 15

1. Konsep Dasar Tradisi Lisan ... 16

(2)

Muhammad Saleh Buchari, 2012

Nilai Pendidikan Bermuatan Kearifan Lokal Dalam Upacara Laut Pada Komunitas Suku Bajo Di Bajoe Bone Dan Wakatobi

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

3. Bentuk-Bentuk Tradisi Lisan ... 19

D. Pelestarian Tradisi Lisan ... 21

Nyanyian Rakyat ... 22

BAB III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 34

B. Teknik Pengumplan Data ... 35

C. Instrumen Penelitian ... 36

D. Sumber Data Penelitian ... 37

E. Teknik Analisa Data ... 38

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ... 42

1. Suku Bajo di Bajoe Bone ... 42

1.1. Analisis Nilai Pendidikan suku Bajo di Bajoe …… 50

1.2. Muatan Kearifan Lokal ………... 55

1.2.2. Analisis Muatan Kearifan Lokal ... 58

1.3. Upacara Laut ... 59

1.3.3. Analisis Upacara Laut ... 61

1.4. Doa, Mantra, dan Lantunan Lagu saat Ritual ... 62

1.4.4. Analisis Doa, Mantra, dan Lagu ... 65

A.2. Suku Bajo di Mola Wangi-Wangi Wakatobi ... 67

2.1. Pendidikan ... 68

2.1.1.Analisis Nilai Pendidikan ... 72

(3)

Muhammad Saleh Buchari, 2012

2.2.1. Analisis Kearifan Lokal ... 82

2.3. Upacara Laut ... 85

2.3.1. Di Rumah ... 86

2.3.2. Di Laut ... 87

2.4. Doa, Mantra, dan Nyanyian ... 88

2.4.1. Doa dan Mantra... 88

2.4.2. Nyanyian ... 90

B. Pembahasan Hasil Analisis ... 91

1. Nilai Pendidikan ... 93

2. Kearifan Lokal ... 98

3.Upacara Laut ... 100

3.1, Ritual di Rumah ... 100

3.2. Ritual di Laut ... 101

C. Doa,Mantra,dan Nyanyian ………... 102

1. Doa dan Mantra di Rumah ... 102

2. Doa dan Mantra di Laut ………... 103

3. Nyanyian …………... 106

BAB V. MODEL PELESTARIAN NILAI PENDIDIKAN BERMUATAN KEARIFAN LOKAL 1. Penjelasan mengenai Model ... 109

1.1.Dasar Pemikiran ... 109

1.2. Model Pelestarian ... 112

(4)

Muhammad Saleh Buchari, 2012

Nilai Pendidikan Bermuatan Kearifan Lokal Dalam Upacara Laut Pada Komunitas Suku Bajo Di Bajoe Bone Dan Wakatobi

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

2.1. Pelatihan ... 113

2.2. Mengikuti Studi Komparatif ... 113

3. Penjelasan Pelestarian dari Model ... 113

BAB IV. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 123

A.1. Nilai Pendidikan ... 123

A.2. Muatan Kearifan Lokal ... 123

A.3. Upacara Laut ... 124

A.4. Doa, Mantra, dan Nyanyian ... 124

B. Saran ... 124

Daftar Pustaka ... 126

(5)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Indonesia adalah negara kepulauan yang dibatasi oleh lautan luas terbentang

dari Sabang sampai dengan Merauke, dan dari pulau Rotte Nusa Tenggara Timur

sampai dengan pulau Miangas Sulawesi Utara. Bentuk topografi itu

memungkinkan masyarakat yang mendiami pesisir pantai melakukan aktivitas dan

berpindah tempat dari satu daerah ke wilayah lain menggunakan perahu

menelusuri laut dalam dan dangkal di pesisir pantai. Demikian pula halnya

komunitas suku Bajo yang menganggap laut sebagai bahagian dari kehidupannya

sehari-hari, karena mencari nafkah di laut.

Sekitar awal abad 18 Masehi petualangan manusia perahu meninggalkan

kampung halamannya dengan modal pengetahuan dari orang tua mereka.

Pengetahuan yang diperoleh bersandar pada pedoman hidup orang tua yang sarat

dengan kearifan lokal secara turun temurun. Juga yang menjadi panduan dalam

mengarungi lautan adalah mencermati tanda-tanda seperti pesisir pantai, pulau

yang dilaluinya, rasi bintang pada malam hari dan irama gelombang laut serta

pemahaman saat air pasang dan surut di setiap setengah bulan Qamariah.

Pengetahuan itu diperoleh dengan pola autodidak dan pengalaman sehari-hari

sehingga menjadi kebiasaan dan sudah berpola pada perilaku keseharian mereka.

Pola yang menjadi perilaku dapat dikatakan sebagai budaya komunitas tertentu.

Hal semacam itu telah berulang dan berkelanjutan dari generasi ke generasi

berikutnya hingga sekarang ini. Kejadian seperti itu membentuk diri pribadi

(6)

2

Muhammad Saleh Buchari, 2012

Nilai Pendidikan Bermuatan Kearifan Lokal Dalam Upacara Laut Pada Komunitas Suku Bajo Di Bajoe Bone Dan Wakatobi

seseorang atau kelompok dan bahkan golongan dinamakan pula sebagai tradisi

turun temurun atau budaya.

Pemahaman tentang salah satu suku bangsa atau etnik acapkali mengacu pada

latar belakang asal muasalnya. Sama halnya dengan etnisitas (suku) Bajo yang

oleh beberapa pakar dan kelompok ilmuan yang menekuni kajiannya di bidang

sejarah, Kajian Lisan dan Antropologi disinonimkan dengan suku Laut dan

manusia Perahu. Dilatari pula oleh penemuan di beberapa kawasan Asia Tenggara

khususnya di Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura, Thailand, Vietnam dan

Negara Asia lainnya, bahkan dianggap sebagai salah satu kelompok suku bangsa

yang ada di negara masing-masing. Padahal asal usul etnis (suku Bajo) banyak

pakar memberi alasan bahwa mereka berasal dari kelompok etnik Bugis Bajoe

yang bermukim di Bone provinsi Sulawesi Selatan. Ada perkampungan di pesisir

pantai di sekitar teluk Bone dan pelabuhan laut di Bajoe, disitulah hidup

segolongan anak manusia yang dinamakan orang Bajoe (di luar wilayah itu

dinamakan suku Bajo, manusia Perahu dan suku Laut). Etnik Bugis yang memberi

label To Bajo (orang Bajo) pada To Sama (orang biasa/manusia pada umumya).

Dari segi pola hidup dan bentuk tubuh relatif sama dengan manusia Indonesia

lainnya, lebih banyak mendiami pesisir laut dan hidupnya bergantung pada hasil

laut serta menetap di pinggir pantai dan masing-masing berkembang secara turun

temurun di rumah tinggalnya. Anak manusia ini selalu berpindah-pindah dari satu

pesisir pantai ke pesisir pulau sekitarnya. Mereka mengutamakan keseimbangan

hidup dengan lingkungan tempat bermukim kala itu. Dengan ketergantungan

(7)

3

kehidupan di luar profesi sebagai pelaut dengan andalan menangkap berbagai

jenis ikan seperti ikan tuna, cakalang, dan ikan hiu termasuk teripang yang harga

jualnya relatif mahal di pasaran umum. Juga jenis cumi-cumi, gurita, ikan kakap,

ikan kembung, kepiting, udang, kerang-kerangan, dan lainnya.

Pada umumnya komunitas suku Bajo relatif masih tertinggal dari segi

pendidikan jika dibandingkan dengan suku-suku yang ada di sekitar tempat

tinggalnya. Hal itu tampak pada kegiatan sehari-hari, karena anak-anak golongan

tersebut yang masuk dalam katagori usia sekolah, mereka cenderung lebih

mengutamakan membantu orang tua mencari ikan dengan perahu yang

disebutnya lepa-lepa. Meskipun di bidang pendidikan relatif tertinggal dengan

suku-suku lainnya, namun anak-anak suku Bajo tetap menghormati dan

meng-hargai kearifan lokal yang ada di dalam komunitasnya.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Masalah penelitian diupayakan untuk menemukan nilai-nilai dan kearifan lokal

sebagai berikut.

1. Seberapa besarkah dukungan orang tua terhadap pendidikan

anak-anaknya?

2. Bagaimana bentuk muatan kearifan lokal di komunitas suku Bajo?

3. Bagaimana bentuk upacara laut dan perangkat apa sajakah yang

menyertainya di kalangan suku Bajo?

4. Doa, mantra dan nyanyian apa sajakah yang didendangkan di saat

(8)

4

Muhammad Saleh Buchari, 2012

Nilai Pendidikan Bermuatan Kearifan Lokal Dalam Upacara Laut Pada Komunitas Suku Bajo Di Bajoe Bone Dan Wakatobi

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana halnya masalah yang diutarakan di atas, penelitian ini bertujuan

untuk menemukan: (1) nilai pendidikan , (2) kearifan lokal, (3) upacara laut, dan

(4) doa, mantra, dan nyanyian. Tujuan pertama adalah untuk menjelaskan arti

pentingnya seseorang yang berpendidikan. Tujuan kedua adalah kesinambungan

melestarikan nilai dan kaidah yang ada. Tujuan ketiga untuk membuktikan dan

mengetahui eksistensi upacara laut, dan tujuan ke empat adalah melihat dan

mendengarkan doa-doa, mantra dan nyanyian yang didendangkan saat

penyelenggaraan ritual.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian kualitatif bersifat teoritis dan praktis. Manfaat teoritis untuk

pengembangan ilmu, sementara manfaat praktisnya guna memecahkan masalah.

Bilamana dapat menemukan pola atau model, jelas akan berguna sebagai

penjelasan, mengantisipasi atau memprediksi dan mengendalikan suatu gejala

sosial.

E. Definisi Operasional

Guna menghindari penafsiran dalam kajian ini, peneliti memberi batasan

operasional atau definisi operasional yang terkandung dalam judul, sebagai

berikut.

1. Nilai pedidikan merupakan syarat penting dalam pertumbuhan dan

perkembangan komunitas suku Bajo, sekaligus menemukan pola pada

(9)

5

2. Muatan kearifan lokal secara turun temurun dari satu generasi ke generasi

berikutnya ditanamkan oleh orang tua dan tetap terpelihara serta

di-jalankan dengan baik bagi para komunitas suku Bajo.

3. Doa, mantra dan nyanyian yang didendangkan secara spesifik sebagai

persyaratan upacara ritual sebelum mencari rezeki di laut.

4. Budaya dan kebiasaan bermukim di pesisir pantai dan ada sebagian di

perahu sebagai tempat tinggalnya yang sekaligus sarana mencari nafkah

sudah berlangsung cukup lama dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Kearifan lokal itulah yang menjadi panduan dan panutan dalam menjalankan

hidupnya sehari-hari. Seratus persen suku Bajo adalah pemeluk agama Islam di

lokasi penelitian, yang berarti ajaran Islam dimanifestasikan dalam aktivitas

sehari-hari serta dengan pola budaya yang mereka anut dijadikan satu kesatuan

dalam menjalankan interaksi sosial dan budaya pada segala aspek kehidupannya.

Adat istiadat yang dijalankan dalam suku Bajo dan ajaran agama Islam tidak

ada benturan nilai yang mereka hadapi, malahan menjadi satu keutuhan yang

saling melengkapi karena adat istiadat dimasukkan dalam aspek agama, dan

agama dijadikan pedoman hidup sebagai anak manusia yang taat terhadap risalah

yang dibawa oleh nabi dan Rasulullah SAW sebagai wahyu dari Allah Azza

(10)

34

Muhammad Saleh Buchari, 2012

Nilai Pendidikan Bermuatan Kearifan Lokal Dalam Upacara Laut Pada Komunitas Suku Bajo Di Bajoe Bone Dan Wakatobi

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, yang

dinamakan metode post-positivistik, karena berlandaskan pada filsafat

positivisme. Metode ini disebut juga metode artistik, karena proses penelitian

lebih bersifat seni (kurang terpola), dan disebut sebagai metode interpretative

karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi terhadap data

yang ditemukan di lapangan. Acapkali juga disebut metode penelitian naturalistik,

karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting);

disebut juga sebagai metode etnografi, karena awalnya metode ini lebih banyak

digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya; disebut sebagai metode

kualitatif, karena data yang terkumpul dan analisanya lebih bersifat kualitatif

(Sugiyono, 2011:12-13).

Penelitian ini merupakan penelitian folklor sebagaian lisan yakni folklor

yang bentuknya merupakan unsur lisan dan unsur bukan lisan yaitu sebuah

upacara yang ada pada komunitas suku Bajo, di Bajoe Kabupaten Bone Sulawesi

Selatan dan di Mola, kecamatan Wangi-Wangi, kabupaten Wakatobi di Sulawesi

Tenggara, sehingga penulis menggunakan metode kualtatif dengan pendekatan

secara naturalistik, kemudian penyampaian laporan hasil penelitiannya secara

deskritif analitis. Pendekatan naturalistik yang penulis gunakan ini mengacu

pada:

(11)

35

1. Kenyataan yang ada pada dasarnya bersifat jamak yang hanya dapat

dipelajari secara holistik.

2. Peneliti selaku subjek dan yang diteliti sebagai objek saling berinteraksi

dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

3. Tujuan penelitian adalah untuk menelaah suatu kasus dan memahaminya

secara mendalam

4. Setiap unsur yang menyangkut subjek penelitian saling terkait sehingga

sulit untuk mencari unsur sebab akibatnya.

5. Penelitian ini menyangkut nilai-nilai pendidikan bermuatan kearifan lokal.

B. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang meneliti folklor yakni

kebudayaan dalam satu komunitas suku Bajo, dan merupakan penelitian kualitatif.

Sebagaimana halnya penelitian kualitatif, digunakan untuk meneliti pada kondisi

yang alamiah. Kondisi alamiah ini pun akan ditopang oleh bahan bacaan yang

berkenaan dengan penelitian ini. Mengacu pada hal tersebut, teknik pengumpulan

data yang digunakan yaitu dengan cara gabungan dari teknik observasi dan teknik

wawancara. Teknik observasi yang digunakan adalah teknik pengamatan

partisipatif karena akan memudahkan peneliti itu sendiri pada pengumpulkan data

yang dibutuhkan dalam penelitian, sedangkan untuk teknik wawancara yang tepat

untuk digunakan yaitu wawancara mendalam, karena peneliti dengan sendirinya

terlibat langsung secara aktif dan intensif dengan setting penelitian terutama pada

(12)

36

Muhammad Saleh Buchari, 2012

Nilai Pendidikan Bermuatan Kearifan Lokal Dalam Upacara Laut Pada Komunitas Suku Bajo Di Bajoe Bone Dan Wakatobi

C. Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti sendiri yang akan menjadi instrumen kunci.

Hal ini didasarkan atas pandangan berikut ini.

1. Peneliti sebagai pelaku yang peka dan dapat bereaksi terhadap segala

rangsangan dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau

tidak bagi penelitian.

2. Peneliti sebagai pelaku dapat beradaptasi terhadap semua aspek keadaan

dan berupaya mengumpulkan aneka ragam data berkenaan dengan obyek.

3. Setiap situasi merupakan keseluruhan. Tidak ada suatu instrumen berupa

tes atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi, kecuali

manusia.

4. Suatu situasi yang melibatkan manusia, tidak dapat dipahami dengan

pengetahuan semata. Untuk memahaminya diperlukan indra merasakannya

(emik), menyelaminya berdasarkan pengetahuan yang dimiliki.

5. Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh.

Juga dapat menafsirkannya, melahirkan hipotesis dengan segera untuk

mengetes hipotesis yang timbul seketika.

6. Hanya manusia selaku instrumen dapat mengambil kesimpulan

berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan menggunakannya

segera sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, dan

perbaikan.

Dalam melaksanakan penelitian, peneliti dengan sendirinya menggunakan

(13)

37

Perangkat yang dimaksud antara lain: pedoman wawancara, pedoman observasi,

catatan lapangan, tape recorder, dan alat perekam (handycam) masing-masing

perangkat tersebut memiliki fungsi sebagai berikut.

1) Pedoman wawancara yakni digunakan sebagai rujukan pertanyaan awal

yang akan diajukan terhadap informan dalam melakukan wawancara.

sebagai berikut.

Pedoman Wawancara:

a. Asal mula upacara Laut, bernilai Pendidikan, dan bermuatan kearifan Lokal

Imforman : Gurutta dan Ketua Adat (I, II,… n)

Tempat dan waktu : __________, Tanggal___/Jam___

No. Kategori Pertanyaan

1. Asal mula upacara

laut, bernilai Pen-didikan, dan Ke-arifan Lokal

1. Apa yang dimaksud upacara laut ?

2. Siapa yang mengadakan pertama kali?

3. Mengapa diadakan upacara laut?

4. Di mana diadakan ritual itu?

5. Kapan diadakan pertama kali?

6. Bagaimana pelaksanaan upacara laut itu?

2. Tujuan Untuk apa dilakukan upacara laut?

3. Manfaat Apa manfaat yang diharapkan dalam upacara laut?

b. Pelaksanaaan Upacara Laut

Imforman : Gurutta dan sesepuh (I, II, … n)

Tempat dan waktu : __________, Tanggal___/Jam___

No. Kategori Pertanyaan

1. Kewajiban (nilai

pendidikan,

ke-arifan lokal)

1. Mengapa upacara laut hanya dilakukan pada

waktu tertentu saja?

2. Mengapa orang tua merasa wajib perhatikan

terhadap anaknya yang putus/sekolah?

3. Kearifan yang dimaksud pada upacara laut

2. Perangkat upacara 1. Apakah maksud ada sesajen pada upacara laut?

2. Mengapa ada ketetapan adat dalam waktu

(14)

38

Muhammad Saleh Buchari, 2012

Nilai Pendidikan Bermuatan Kearifan Lokal Dalam Upacara Laut Pada Komunitas Suku Bajo Di Bajoe Bone Dan Wakatobi

c. Benda dan Makna

Imforman : Gurutta dan Ketua Adat (I, II,…, n)

Tempat dan waktu : __________, Tanggal___/jam___

No. Kategori Pertanyaan

1. Benda-benda

tradisional

1. Benda-benda apa yang diperlukan/dipakai dalam

pelaksanaan upacara laut?

2. Apakah ada benda-benda khusus yang

dikeramatkan?

2. Makna Apa makna yang terkandung pada benda-benda yang

dipakai tersebut?

d. Doa, Mantra, dan Nyanyian

Imforman : Gurutta dan Ketua Adat (I, II,…, n)

Tempat dan waktu : __________, Tanggal___/jam___

No. Kategori Pertanyaan

1. Doa, mantra, dan

nyanyian yang di-dendangkan

1. Doa dan mantra apa saja yang dipanjatkan pada

saat pelaksanaan upacara laut?

2. Apakah merupakan kewajibkan membacakan

mantra pada saat upacara laut berlangsung?

2. Makna Makna apa saja yang dikandung pada doa, mantra

dan nyanyian yang didendangkan itu?

e. Perlengkapan Lainnya

Imforman : Gurutta dan Ketua Adat

Tempat dan waktu : __________, Tanggal___/Jam___

N o.

Kategori Pertanyaan

1. Warisan budaya dari leluhur

Selain pakaian adat, makanan tradisional, dan benda-benda tradisional, masih adakah perlengkapan atau perangkat lainnya yang dibutuhkan? Jika iya, apa saja?

2. Makna dan

simbol

Apa makna simbolik yang terkandung dalam masing-masing perlengkapan lainnya itu?

2) Pedoman observasi yakni digunakan sebagai patokan awal dalam

(15)

39

Pedoman Observasi

Fokus observasi : Persiapan, pelaksanaan, dan tahap akhir pelaksanaan

Tempat observasi : ___________

Waktu observasi : Tanggal____/Jam____

Orang yang terlibat : ___________

No. Kegiatan Deskripsi

1. Tahap persiapan

a. Alat-alat1 yang disiapkan sebelum

diadakan upacara laut

b. Pakaian yang disiapkan untuk pelaku

upacara Laut

c. Makanan yang disiapkan untuk pelaku

upacara Laut

d. Siapa saja yang berhak mempersiapkan

segala kebutuhan dalam upacara laut

2. Tahap pelaksanaan

a. Alat-alat yang disiapkan digunakan oleh

siapa dan untuk apa

b. Siapa saja yang mengenakan pakaian

khusus2

c. Siapa saja yang memakan makanan

khusus3

d. Apa kapasitas/kedudukan yang

mempersiapkan segala kebutuhan dalam upcara laut

3. Tahap akhir

a. Apa yang dilakukan

b. Bila ada benda-benda khusus yang tidak

habis dipakai pada saat upacara laut dibawa ke mana

Keterangan:

1. Benda-benda tradisional

2. Pakaian adat yang hanya dikenakan pada saat pelaksanaan upacara laut

3. Makanan tradisional yang hanya disajikan ketika ada upacara laut

3) Catatan lapangan digunakan untuk mencatat semua bagian penting dari

observasi dan wawancara yang diperkiraan mempengaruhi hasil

(16)

40

Muhammad Saleh Buchari, 2012

Nilai Pendidikan Bermuatan Kearifan Lokal Dalam Upacara Laut Pada Komunitas Suku Bajo Di Bajoe Bone Dan Wakatobi

4) Tape recorder digunakan untuk merekam proses wawancara yang dilakukan oleh peneliti dan responden.

5) Alat perekam kamera (handicam) digunakan untuk merekam gambar yang

menjadi objek penelitian.

D. Sumber Data Penelitian

Data dalam penelitian ini diperoleh dari segala bentuk tindakan, kata-kata,

dan gerak, prosesi pelaksanaan upacara laut, dan perangkat yang digunakan dalam

upacara laut yang merujuk pada nilai pendidikan anak yang bermuatan kearifan

lokal. Selain itu, juga akan memperoleh penjelasan dari kalangan warga

masyarakat setempat yang menjadi informan dengan cara wawancara mendalam.

E. Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul dengan sendirinya harus dielaborasi kemudian

dianalisis agar dapat dibaca dan mudah dipahami, baik oleh peneliti secara pribadi

ataupun orang lain. Teknik analisis data yang digunakan dapat dilihat dengan cara

berikut ini.

1. Peneliti menyusun secara sistematis data yang telah diperoleh di lapangan

dengan cara observasi dan wawancara mendalam yang telah dicatat pada

catatan lapangan dan direkam serta bahan-bahan lainnya yang menunjang

sehingga mudah dipahami.

2. Peneliti mendeskripsikan makna dan maksud dari masing-masing data

yang telah dikumpulkan, kemudian dianalisis nilai pendidikan yang

(17)

41

3. Peneliti menginterpretasikan serta membahas hasil analisis data

berdasarkan teori yang digunakan. Guna memudahkan analisis data, maka

uraian fokus analisis dapat dilihat pada “Pedoman Analisis dan Pembahasan

Hasil Analisis Data”.

4. Peneliti melakukan penyusunan pola pelestarian upacara laut yang disertai

dengan doa, mantra dan lantunan nyanyian spesifik ritual tersebut.

(18)

Muhammad Saleh Buchari, 2012

Nilai Pendidikan Bermuatan Kearifan Lokal Dalam Upacara Laut Pada Komunitas Suku Bajo Di Bajoe Bone Dan Wakatobi

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu 109

BAB V

MODEL PELESTARIAN NILAI PENDIDIKAN BERMUATAN KEARIFAN LOKAL

1. Penjelasan mengenai Model

1.1. Dasar Pemikiran

Model pelestarian yang dapat diterapkan pada komunitas Bajo pada dua

lokasi penelitian adalah memberikan bimbingan secara teratur, terarah, dan

berkesinambungan. Juga dapat diagendakan pada perayaan hari jadi Republik

Indonesia setiap tahun sehingga komunitas itu merasa diperhatikan oleh

pemerintah daerah. Suku Bajo sebagai salah satu anggota masyarakat yang secara

sosial budaya melakukan interaksi sosial dengan warga setempat. Dengan

sendirinya menghendaki perlakuan yang sama dengan anggota masyarakat

lainnya.

Di kelurahan Bajoe di Bone, suku Bajo mengikuti pelatihan yang

diseleng-garakan oleh pemerintah tingkat kelurahan dan kecamatan, namun terbatas yang

mengikuti dari suku Bajo dikarenakan oleh waktu penyelenggaraan pada hari itu

juga diumumkan. Penyampaian kepada warga terlambat sehingga tidak banyak

yang mengikuti, juga bagi warga setempat kurang berminat dan menganggap tidak

memberi manfaat buat kelangsungan hidupnya.

Lain halnya di desa Mola Wangi-Wangi, suku Bajo pada dasarnya amat

men-dambakan pelestarian pengajarkan nilai-nilai luhur, yang didalamnya terkandung

(19)

110

mengajar pada murid SD dan siswa SMP (negeri dan swasta) agar anak-anak tidak

ketinggalan pelajaranya. Para sukarelawan itu memberikan pula pelajaran agama

(warga setempat 100 % beragama Islam).

Melalui pembelajaran yang digagas oleh relawan, hasrat dan keinginan para

anak-anak untuk belajar relatif tinggi intensitasnya. Oleh karenanya perlu

ditingkatkan dan diberi bantuan baik materi maupun dukungan moril dari

pemerintah setempat sehingga pelestarian pemberdayaan murid dan siswa tetap

berkesinambungan. Langkah selanjutnya peneliti akan menyusun model

pelestarian guna diejawantahkan dikalangan komunitas suku Bajo. Model yang

dimaksud adalah melalui pembelajaran terhadap siswa mulai tingkat sekolah

dasar, sekolah menengah pertama, sampai dengan sekolah menengah atas. Ada

beberapa pertimbangan dan pemikiran pentingnya pelestarian. Pertama,

Komunitas suku Bajo masih memegang teguh adat istiadat dan menjunjung tinggi

nilai budaya, kaidah atau norma yang telah ditanamkan oleh leluhur mereka,

dengan pelestarian nilai pendidikan secara berantai terpelihara. Kedua, kearifan

yang menjadi budaya komunitas suku Bajo, tetap dipertahankan dan secara estafet

dari satu generasi ke generasi berikutnya diwariskan. Ketiga, upacara laut secara

khusus atau ritual dilakukan di rumah dengan menyiapkan sesajen, tetap

dilakukan meski sudah tidak setiap tahun. Keempat, doa dan mantra tetap

terpelihara dengan baik, namun bentuknya masih lisan dan tidak tersimpan secara

tertulis. Kelima, nyanyian yang acapkali didendangkan saat melaut dan waktu

senggang tetap mereka pelihara bahkan ditambahkan dengan nyanyian gambus

(20)

111

Abubakar (2010:4) mengartikan kearifan lokal sebagai kebijakan yang

bersandar pada filosofi, nilai-nilai, etika, dan perilaku yang melembaga secara

tradisional untuk mengelola sumber daya (alam, manusia, dan budaya) secara

berkelanjutan. Kearifan lokal sebagai kebenaran yang mentradisi atau ajeg

merupakan perpaduan nilai-nilai suci firman Allah dan nilai turun-temurun yang

dikembangkan komunitas tertentu.

Sesorang dinilai arif apabila dapat mengakumulasi dan mengkolaborasikan

antara konteks dan nilai-nilai yang melingkupinya, serta dapat mewujudkan pola

hidup yang seimbang, tidak mungkin seseorang dipandang bijak apabila sikap dan

tindakannya berlawanan dengan nilai yang berlaku, Sternberg, S.F. (2004: 179).

Sejak penghujung tahun 90-an, sejumlah pakar mengkonsentrasikan perhatian

mengenai kearifan (wisdom). Salah satunya terkristalisasi dalam teori pengajaran

kearifan (teaching for wisdom), yang merupakan pengembangan dari teori

keseimbangan kearifan (Balance Theory of Wisdom) oleh Sternberg, (2009: 353).

Melalui program pengajaran untuk kearifan menunjukkan terdapat korelasi dan

peningkatan kearifan peserta didik setelah diaplikasikannya model kurikulum

yang mengintegrasikan prinsip dan prosedur pengajaran kearifan, (Sternberg,

2010: 243: 431) .

Pengajaran kearifan (teaching for wisdom) terdiri dari 16 prinsip, demikian

dikemukakan Sternberg (2003: 164-5) dalam Wisdom, Intelligence, and Creativity

Synthesized. Mengingat keterbatasan ruang dalam mengelaborasi prinsip-prinsip

paedagogis pengajaran kearifan, berikut dikemukakan beberapa di antaranya: guru

(21)

112

capaian akademis tidak memadai menjawab kompleksitas modernitas;

menunjukkan kepada peserta didik bahwa kearifan merupakan bagian penting

mewujudkan kehidupan yang bahagia; mengajak peserta didik mengembangkan

pola berpikir interdependensi (fenomena alam dan sosial mengikuti prinsip saling

ketergantungan); guru menjadi teladan dalam mempraktikkan sikap yang arif

(role-model); menyediakan literatur tentang kearifan; menekankan pentingnya

sarana pencapaian tujuan, tidak menjadikan tujuan sebagai akhir segalanya;

memotivasi peserta didik berfikir dialektis, dialogis, kritis, dan kreatif;

membiasakan peserta didik melakukan penyesuaian (adaptation), membentuk

(shaping), dan memilih (selection) lingkungan yang dapat membantu

meningkatkan kearifan dirinya; memberi semangat dan hadiah dalam mendorong

konsistensi peserta didik dalam meningkatkan kearifan.

1.2. Model Pelestarian

Mengacu pada nilai kultur yang dipelihara, maka model pelestarian yang

dilakukan dengan berbagai pola. Misalnya kebiasaan atau tradisi yang dianut akan

tetap dilestarikan dengan cara menularkan kepada generasi yang lebih mudah dan

diupayakan untuk dibukukan guna dibaca oleh anak-anak cucu dan warga

masyarakat yang bukan suku Bajo. Dengan pola yang demikian itu sudah menjadi

salah satu model pelestarian.

2. Perencanaan Pelaksanaan

Ada dua cara yang akan dilakukan untuk perencanaan pelaksanaan pelestarian

(22)

113

2.1. Pelatihan

Setiap warga yang dinilai mampu mengejawantahkan warisan nilai budaya

dan tingkat pendidikan memadai, diupayakan mengikuti pelatihan yang

diselenggarakan lembaga atau institusi pemerintah baik tingkat kelurahan,

kecamatan, atau kabupaten. Dengan keikutsertaan pada pelatihan niscaya

bertambah pengetahuan, pengalaman, dan mampu menularkan kepada teman

selingkungan atau warga sekitar tempat tinggal mereka.

2.2. Mengikuti Studi Komparatif

Untuk memperluas cakrawala pandang, diperlukan melakukan studi khusus di

lokasi tempat berdomisili komunitas suku Bajo. Misalnya di Kotabaru, Pulau

Rotte, teluk Tomini, kepulauan Halmahera, wilayah Malaysia, dan negara

tetangga ASEAN yang ada komunitas Bajo (manusia perahu atau suku Laut).

3. Penjelasan Pelestarian dari Model

Mengacu pada pelastarian tentu ada wadah yang menopang guna menjaga

kesinambungan nilai budaya yang telah diwariskan dari generasi terdahulu kepada

generasi sekarang. Untuk memelihara nilai, kaidah, dan aturan yang dihormati,

harus ada model pelestarian yang dibuat agar supaya dapat menampung sejumlah

warisan budaya. Pewarisan nilai sering ada benturan dengan pengaruh budaya dari

luar dan akulturasi itu sendiri dapat menambah hasanah yang ada pada komunitas.

Akulturasi sebagai proses saling mempengaruhi satu kebudayaan terhadap

kebudayaan lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan yang

(23)

114

Adakalanya budaya dari luar diambil guna menambah dan melengkapi

kekurangan yang ada di dalam, juga assimilasi budaya dapat memperbaiki

peradaban suatu golongan dan sering pula melahirkan budaya tertentu. Jadi dapat

dikatakan bahwa pelestarian dari model hendaknya diupayakan komunitas benar-

benar dapat berperan serta dan memahami makna yang dikandung didalamnya.

Model dapat dikatakan terpelihara dan lestari manakala para pendukung

model itu sendiri menyadari akan berartinya atau bermakna positif. Dikatakan

ber-makna positif jika para pendukung nilai, norma, kearifan, dan kenyamanan

melakukan aktivitas serta tidak terganggu peradaban mereka.

Keberhasilan penerapan model apabila didukung oleh pencinta model itu

sendiri, sehingga pelestariannya mudah dijalankan dan dikembangkan. Begitu

sudah menjadi bahagian para pendukung, niscaya sudah lestari model yang

dikembangkan itu. Kadangkala model sedang dijalankan, tiba-tiba muncul

inspi-rasi akan perbaikan model yang telah ada, Jika hal yang dimaksud dapat

diwujudnyatakan, maka peneliti akan mencoba memformulasi model yang lebih

baik dari pada sebelumnya.

Pengertian kearifan lokal (local wisdom) dalam kamus Inggris Indonesia

John, M. Echols dan Hassan Shadily, terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan

lokal (local). Dalam kamus, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan)

sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom dapat dipahami

sebagai gagasan setempat atau local yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,

(24)

115

Local Genius sebagai Local Wisdom dalam disiplin antropologi dikenal

istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama

dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar

pengertian local genius ini (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Antara lain Haryati

Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/

kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap

dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri.

Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa

unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji

kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:

1. mampu bertahan terhadap budaya luar

2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar

3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli

4. mempunyai kemampuan mengendalikan

5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya. I Ketut Gobyah dalam “Berpijak pada Kearifan Lokal” dalam http://www. balipos.co.id, didownload

17/9/2003, mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran

yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah.

Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan

dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya

masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal me

(25)

116

pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung didalamnya

dianggap sangat universal.

S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam

Iun, http://www.balipos.co.id mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal

dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada

filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara

tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga

dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.

Pikiran Rakyat terbitan 6 Maret 2003 menjelaskan bahwa tentang kearifan

berarti ada yang memiliki kearifan (al-„addah al-ma‟rifah), yang berlawanan

dengan al-„addah al-jahiliyyah. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu

yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan

agama. Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai

baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang

dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap

baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara

terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik

atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila

terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara

alamiah tetapi dipaksakan.

Perubahan sebagai Keniscayaan Kebudayaan dipandang sebagai manifestasi

kehidupan setiap orang atau kelompok orang yang selalu mengubah alam.

(26)

117

Kebudayaan merupakan usaha manusia, perjuangan setiap orang atau kelompok

dalam menentukan hari depannya. Kebudayaan merupakan aktivitas yang dapat

diarahkan dan direncanakan (Van Peursen, 1976:10-11). Oleh sebab itu dituntut

adanya kemampuan, kreativitas, dan penemuan-penemuan baru. Manusia tidak

hanya membiarkan diri dalam kehidupan lama melainkan dituntut mencari jalan

baru dalam mencapai kehidupan yang lebih manusiawi. Dasar dan arah yang

dituju dalam perencanaan kebudayaan adalah manusia sendiri sehingga

humanisasi menjadi kerangka dasar dalam strategi kebudayaan (Ali Moertopo,

1978:12). Dengan melihat kearifan lokal sebagai bentuk kebudayaan maka ia akan

mengalami reinforcement (penguatan) secara terus-menerus menjadi yang lebih

baik. Ali Moertopo mengatakan bahwa humanisasi merupakan ideal proses dan

tujuan kebudayaan. Oleh karena itu maka kearifan lokal sebagai manifestasi

kebudayaan yang terjadi dengan penguatan-penguatan dalam kehidupannya

menunjukkan Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2 sebagai salah satu

bentuk humanisasi manusia dalam berkebudayaan. Artinya sebagai manifestasi

humanitas manusia, kearifan lokal dianggap baik sehingga ia mengalami

penguatan secara terus-menerus. Tetapi, apakah ia akan tetap menjadi dirinya

tanpa perubahan, benturan kebudayaan akan menjawabnya.

Dinamika kebudayaan merupakan suatu hal yang niscaya. Hal ini tidak

lepas dari aktivitas manusia dengan peran akalnya. Dinamika atau perubahan

kebudayaan dapat terjadi karena berbagai hal. Secara fisik, bertambahnya

penduduk,berpindahnya penduduk, masuknya penduduk asing, masuknya

(27)

118

perubahan pada kebudayaan tertentu. Dalam lingkup hubungan antar manusia,

hubungan individual dan kelompok dapat juga mempengaruhi perubahan

kebudayaan. Satu hal yang tidak bisa dihindari bahwa perkembangan dan

perubahan akan selalu terjadi. Di kalangan antropolog ada tiga pola yang

dianggap paling penting berkaitan dengan masalah perubahan kebudayaan:

evolusi, difusi, dan akulturasi. Landasan dari semua ini adalah penemuan atau

inovasi. (Lauer, 1993:387). Perubahan pada budaya Nusantara sendiri akan

merupakan suatu wacana yang maha luas akibat pengertian dan ranah budaya

Nusantara sendiri yang sangat luas. Dalam perjalanannya, budaya Nusantara, baik

yang masuk kawasan istana atau di luar istana, tidak statis. Ia bergerak sesuai

dengan perkembangan jaman. Dengan adanya kontak budaya, difusi, assimilasi,

akulturasi sebagaimana dikatakan sebelumnya, nampak bahwa perubahan budaya

di masyarakat akan cukup signifikan. Salah satu kajian tentang perubahan

masyarakat Jawa, yang sudah semestinya mengubah tatanan dan aspek-aspek

budayanya tampak dalam karya Niels Mulder (1985). yang berjudul Pribadi dan

Masyarakat di Jawa. Masih banyak lagi kajian tentang pergeseran dan perubahan

budaya yang harus dieksplorasi lebih lanjut.

Soerjanto Poespowardoyo (1993: 63-72), juga menjelaskan bagaimana

perubahan budaya sebagai akibat orientasi nilai budaya yang berubah ini serta

langkah-langkah kebijakan yang dapat dilakukan. Satu hal yang tidak dapat

dihindari adalah pengaruh lintas budaya dan globalisasi yang acapkali melanda

satu komunitas termasuk suku Bajo dimanapun mereka menetap atau bertempat

(28)

119

sulit menghindar dari pengaruh tersebut, misalnya individu dan kelompok

masyarakat biasanya menganut nilai sendiri. Bila terjadi pertemuan di antaranya

dan satu dengan yang lain nampak tidak cocok, maka pihak yang satu biasanya

merasa benar dan menyalahkan pihak yang lain. Apabila satu dianggap salah oleh

yang lain maka ini menunjukkan bahwa tindakan kultural bukan semata-mata

bersifat subjektif atau pribadi tetapi lebih menjadi bersifat intersubjektif. Individu

sesungguhnya tidak bertindak sendiri. Makna suatu tindakan adalah makna yang

ditanggapi bersama dengan orang lain. Makna ini didasarkan pada asumsi

tindakan kultural. Oleh karenanya penilaian kultural menjadi relatif (meskipun

dalam konteks etis ada pihak yang mengambil posisi relativisme etis dan

absolutisme moral, dan menurut pandangan teologi, di atas relativitas tersebut

yang mutlak adalah kebenaran Tuhan). Dalam budaya tertentu orang mungkin

harus mengagung-agungkan dirinya di depan umum dalam rangka memberi

semangat rakyat, tetapi dalam budaya yang lain tindakan tersebut mungkin

dianggap arogan atau bahkan dilarang. (Adeney, 1995: 16-17). Dari penjelasan ini

dapat kita pahami bahwa dalam aneka ragam budaya dengan segenap nilai

kulturalnya, ada pemahaman yang tidak selalu sama antara yang dianggap baik di

pihak yang satu berbeda dengan penilaian pihak lain.

Hal yang menjadikan masing-masing orang atau kelompok orang berbeda

dan menilai sesuatu secara berbeda adalah karena orientasi nilai mereka

masing-masing yang berbeda. Perbedaan latar belakang dan orientasi budaya inilah yang

sering menyebabkan terjadinya konflik. Oleh karena itu perlu masing-masing

(29)

120

Tentang bagaimana orang yang berbeda nilai budayanya dapat saling memahami

bisa dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan jalan dialog. Tentang

orientasi nilai budaya secara lengkap dapat dilihat pada model kuantum individu,

sosial, dan kosmos. (Adeney, 2000:377-379). Data dimaksud dipakai sebagai

upaya memahami aneka pemahaman dan konsentrasi tiap inidvidu atau kelompok

pada orientasi budaya tertentu. Jelas disini bahwa orientasi yang berbeda antara

individu atau kelompok yang satu dengan yang lain akan menyebabkan

bagaimana mereka menilai sesuatu yang berbeda. Dalam konteks kearifan lokal,

penjelasan ini memungkinkan akan adanya spesifikasi dari masing-masing budaya

lokal yang muncul dan dapat diwacanakan.

Uraian di atas diharapkan dapat menunjukkan adanya lahan subur untuk peng

galian kearifan lokal Nusantara. Luasnya budaya dan kemungkinan

pengembangannya menjadi tantangan tersendiri. Di samping itu perspektif

perubahan yang terjadi juga menjadi peluang tersendiri untuk menelusuri

eksistensinya.

Ada banyak hal guna menjelaskan bagaimana pengaruh hubungan lintas

budaya dan globalisasi mempengaruhi kearifan lokal. Dalam perspektif nilai hal

tersebut dapat dilihat misalnya dalam nilai etis, apa yang dianggap baik pada

budaya masa lalu tidak tentu demikian untuk masa sekarang. Apa yang dianggap

wajar dan diterima pada budaya masa lalu mungkin sekarang dianggap aneh, atau

sebaliknya. Kita dapat melihat bagaimana orang menanggapi cara berpakaian

jaman sekarang, dengan model pakaian (agak) terbuka itu dianggap wajar, tetapi

(30)

121

perempuan bergaul, berbeda baik menurut pengertian budaya orang dulu dengan

orang sekarang. Hal-hal tersebut menunjukkan betapa kearifan lokal itu mendapat

banyak tantangan dengan adanya pengaruh budaya asing. Peluang penggalian dan

analisis dapat juga dilihat dari aspek nilai lain di bawah ini.

Dalam konteks nilai religi, hubungan antara religi dan perkembangan

budaya juga menunjukkan hal serupa. Bagaimana keberagamaan (bereligi) orang

Bali berubah akibat pengaruh luar. Antara lain pergeseran ini menyebabkan

penampilan budaya Bali menjadi berbeda antara dulu dan sekarang dan yang akan

datang. Informasi populer tentang hal ini dapat dilihat pada tulisan dengan judul

Antara Agama dan Budaya dalam http://www.iloveblue.com/bali funky

/artikel_nali/detail/1099.htm. Bagaimana nilai tertentu terkait dengan kehidupan

religius lokal bertemu dengan budaya asing di Arab sendiri dan di Indonesia

dapat dilihat pada tulisan Islam dan Akulturasi Budaya Lokal dalam

http://media.isnet.org/islam/gtc/Akulturasi.html. Dijelaskan bahwa dalam

akulturasi budaya Arab dan Islam tidak ada pengharaman untuk tidak

memanfaatkan budaya asing dan sebaliknya.

Dalam kasus Indonesia juga dijelaskan bagaimana Islam yang berkarakter

dinamis, elastis, dan akomodatif dengan budaya lokal dapat berjalan bersama dan

mengutip Gus Dur, terjadi pribumisasi Islam. Di dalamnya dicontohkan

bagaimana konflik budaya material masjid Demak juga merupakan bentuk adaptasi budaya. Bagaimana tradisi Syi‟ah dapat memberikan corak khusus bagi

Islam di Ternate juga merupakan hasil pertemuan budaya. Ada banyak peluang

(31)

122

fungsinya dapat dilihat pada pemaparan di bagian depan tulisan ini. Di samping

itu kearifan lokal dapat didekati dari nilai-nilai yang berkembang di dalamnya

seperti nilai religius, nilai etis, estetis, intelektual atau bahkan nilai lain seperti

ekonomi, teknologi dan lainnya. Maka kekayaan kearifan lokal menjadi lahan

yang cukup subur untuk digali, diwacanakan dan dianalisis mengingat faktor

perkembangan budaya terjadi dengan begitu pesatnya. Pengembangan kuliah dan

kajian ala Hairudin Harun dalam “Weltanschaung Melayu dalam era Teknologi

Informasi: Komputer menjadi Teras atau Puncak Tewasnya Pemikiran Tradisional Melayu?” dapat memberi inspirasi bagaimana kita harus berpikir tentang

kekayaan dan eksistensi kearifan lokal Nusantara

Local genius : juga disebut cultural identity adalah identitas/kepribadian

budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan

mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri.

Local wisdom (kearifan lokal/setempat) : dapat dipahami sebagai

gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik,

yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Social system atau sistem sosial : adalah salah satu wujud budaya, yaitu dalam

bentuk tata perilaku manusia yang terjadi akibat manusia mempunyai gagasan

(sistem nilai budaya) tertentu.

(32)
(33)

126

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar. (2010). Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Gayo. Dalam http://www.lintasgayo.com/24853. Adeney, B.T. (1995). Etika Sosial Lintas Budaya: Kanisius, Yogyakarta

Ahimsa-Putra, H.S. (2001). Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press.

Al-Qur‟an. (2004). Surat Al-Jumu’ah: Makkah Al-Mukarramah Saudi Arabia.

Al-Qur‟an. (2004). Surat Ali ’Imran: Madaniyyah. Saudi Arabia.

Al-Hadar, S. (2004). Syariah dan Tradisi Syi’ah Ternate. dalam

http://alhuda.or.id/rub_budaya.htm , didown load 7/15/04.

Ans. (2003) Pola Perilaku Orang Bali Merujuk Unsur Tradisional. dalam http://www.balipos.co.id.

Ayatrohaedi. (1986). Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius). Pustaka Jaya, Jakarta.

Banks, J.A.(1985). Teaching strategies for the social studies. New York: Longman

Bayu, D. M. (2003). Menyingkap Fajar Sejarah Nusantara, dalam http://www.

sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2003/1018/bud2.html

Danandjaja, J. (2007). Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti.

Daud, H. (2001). Mantra Melayu: Analisis Pemikiran. Malysia Universiti Sain Malysia.

Echols, J.M. (1975). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia

Elias, J. L. (1989). Moral education: secular and religious. Florida: Robert E. Krieger Publishing.Co.,Inc

Endaswara, S. (2006). Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Endaswara, S. (2009). Metodologi Penelitian Folklor: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: IKAPI.

Francois – R,Z. (2008). Orang Bajo: Suku Pengembara Laut, Pengalaman

(34)

127

Muhammad Saleh Buchari, 2012

Nilai Pendidikan Bermuatan Kearifan Lokal Dalam Upacara Laut Pada Komunitas Suku Bajo Di Bajoe Bone Dan Wakatobi

Hairudin, H. (2004). Weltanschaung Melayu. dalam era Teknologi Informasi Komputer menjadi Teras atau Puncak Tewasnya Pemikiran Tradisional Melayu? dalam http://www.chass. utoronto.ca/epc/srb/cyber/haroutmal

Hutomo, S.S. (1991). Mutiara yang Terlupakan. Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI.

I Ketut, G. (2003)“Berpijak pada Kearifan Lokal”,dalam

http://www.balipos. co.id , didownload 17/9/03

Koentjaraningrat. (1982). Antropologi Indonesia. Jakarta: Asosiasi Antropologi Indonesia & Yayasan Obor.

Koentjaraningrat. (1983). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Koentjaraningrat. (2002). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Koenjaraningrat. (1990). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Kohlberg, L. 1977. The cognitive-developmental approach to moral education. Dlm. Rogrs, D. Issues in adolescent psychology: 283-299. New Jersey: Printice Hall, Inc.

Koolhf, S. (2011). Sure’Galigo. Sastra Lisan Bugis Makassar.

http://www.sangbaco.com/2011/11/berhitung-kearifan-lokal- ke.html kaimuddin mbck.

Kuntjara, E. (2006). Penelitian Kebudayaan, Sebuah Panduan Praktis. Jogyakarta: Graha Ilmu.

Lauer, H.R. (1993). Persfektif tentang Perubahan BudayaSosial. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Mangkudilaga, S. (1997). Sumbangan Religi Sebagai Satu Wujud Kebudayaan Bagi Perkembangan Parawisata. Jakarta: AAI.

Masinambaow, E.K.M. ed. (1997). Koentjaraningrat dan Antropologi di

Indonesia. Jakarta: Asosiasi Antropologi Indonesia kerjasama Yayasan Obor Indonesia.

Mulder, N. (1985). Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.

Murtopo, A. (1978). Strategi Pembangunan Indonesia, Jakarta, CSIS.

(35)

128

Peursen, V. (1976). , Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Pikiran Rakyat. (2003). , “„urf……”. Jakarta: tanggal 6 Maret.

Poespowardojo, S. (1993). Menggali Kearifan Lokaluntuk Ajeg Bali. ml.scribd/ doc/96791490/kearifan lokal

Pudentia. (2008). Metodologi Kajian Lisan. Jakarta: ATL.

Redfield, R.M. (1040). Folk Societyand Culture. Dalam Amercan Jurnal of Sociology.Chikago: University of Chikagi Press.

Ricklefs, M.C. (2001). Sejarah Indonesia Modern. Bugis – Makassar.

http://www.sangbaco.com/2011/07/suku-bugis-dan-makassar-sebuah-nama.html

Rusyana, Y. (1970). Bagbagan Puisi Manta Sunda. Laporan Penelitian. Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda.

Sedyawati, E. (2010). Budaya Indonesia. Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: IKAPI.

Sternberg. (2003). Wisdom, Intellegence, and Creativity Synthesized. New York:

Cambridge University Press.

Sternberg, R. J. (2004). Wisdom and giftedness. New J: Lawrence Erlbaum Associates.

Sternberg. (2009). Teaching for wisdom, intelligence, creativity, and success. Thousand Oaks, CA: Corwin.

Sternberg, R. J. (2010b). Teaching for ethical reasoning in liberal education. Liberal Education.

Sukatman. (2009). Butir-Butir Tradisi Lisan Indonesia Pengantar Teori dan Pembelajarannya. Yogyakarta: LaksBang Pressindo.

Superka, D,P (1976). Values education Sourcebook. Colorado: social Science

Education Consortium, Inc.

http://23veranita.blogspot.com/2008/07/nilai-nilai-pendidikan http://umum.kompasiana.com/2009/04/22/pergeseran-nilai-http://23veranita.blogspot.com/2008/07/nilai-nilai-pendidikan

Swarsi, S. G. (2003). Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali. dalam Iun, http://www.balipos.co.id

Referensi

Dokumen terkait

Maserasi adalah suatu proses penarikan zat aktif dari simplisia dengan cara merendam simplisia dalam sejumlah besar pelarut dalam suatu wadah tertutup dan didiamkan minimal 3

Lesson Study and give more information on teachers’ perception on the implementation of Lesson Study and how the program of LS is implemented in many areas

Uji Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Jarak Pagar (Jatropa cuircas L.) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923, Escherichia coli ATCC 25922, dan Salmonella typhi ATCC

Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah variabel bebas pengelolaan arsip (X) berpengaruh secara signifikan tehadap variabel terikat efisiensi kerja (Y), maka

Penerapan Metode Peta Cerita Dalam Pembelajaran Membaca Pemahaman Pada Siswa Kelas X.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Program Delphi digunakan komputer untuk mengirim data kendali dan memonitor data yang dikirim oleh mikrokontroler, yang ditampilkan secara grafis sebagai

Sejarah menunjukkan/ gerakan kaum muda Indonesia hanya dapat merobohkan kekuasaan rezim lama// Namun/ pembangunan rezim baru selalu dilakukan kelompok lain//

Sistem Nilai Orang Tua Yang Mempengaruhi Keputusannya Menyekolahkan Anak Hingga Ke Jenjang Perguruan Tinggi Di Desa Margaluyu Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang