• Tidak ada hasil yang ditemukan

Naskah Akademik Raperda Yang Mengatur Retribusi Tempat Rekresi Objek Wisata Dan Ketentuan Izin Usaha Pariwisata Di Kabupaten Bandung Barat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Naskah Akademik Raperda Yang Mengatur Retribusi Tempat Rekresi Objek Wisata Dan Ketentuan Izin Usaha Pariwisata Di Kabupaten Bandung Barat."

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

NASKAH AKADEMIK RAPERDA

YANG MENGATUR RETRIBUSI TEMPAT REKRESI OBJEK

WISATA DAN KETENTUAN IZIN USAHA PARIWISATA

DI KABUPATEN BANDUNG BARAT

DISUSUN OLEH :

(2)

NASKAH AKADEMIK RAPERDA

RETRIBUSI TEMPAT REKREASI OBJEK WISATA DAN KETENTUAN IZIN USAHA PARIWISATA DI KABUPATEN BANDUNG BARAT

A. Apa yang Diatur

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan memuat jenis dan hirarki peraturan perundang-Perundang-undangan Antara lain:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

2. Undang-undang/Peraturan pemerintah pengganti Undang-undang,

3. Peraturan pemerintah

4. Peraturan Presiden, dan

5. Peraturan daerah

5.1.Peraturan daerah provinsi

5.2.Peraturan daerah kabupaten/kota

5.3.Peraturan desa/peraturan yang setingkat

Dalam tataran nasional, setiap pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana

disebutkan di atas harus disertai sebuah kajian ilmiah dalam bentuk naskah akademik. Naskah

akademik diatur dalam Perpres Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan

Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan

PResiden, yang memuat Antara lain dasar filosofis, sosiologis, yuridis, dan pokok-pokok pikiran

dan lingkup materi yang akan diatur.

Naskah akademik merupakan naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah

mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin

diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan Rancangan Undang-undang.

Demikian pula dalam mempersiapkan Peraturan Daerah (Perda), naskah akademik diperlukan

untuk memberikan arah agar dampak yang ditimbulkan dalam penyusunan sebuah Peraturan

Daerah akan mampu diantisipasi berbagai kemungkinannya.

Berbicara mengenai apa yang diatur adalah berkaitan dengan substansi materi yang akan diatur

dalam sebuah produk hokum daerah (Perda) mengenai retribusi tempat rekreasi objek wisata dan

(3)

1. Ketentuan umum berisi konsep retribusi daerah dan ruang lingkup serta konsep lainnya

yang berkaitan dengan substansi materi yang diatur di dalamnya,

2. Azas dan tujuan

3. Ketentuan-ketentuan

- Objek dan subjek

- Lokasi

- Jenis retribusi dan izin

- Tata cara perolehan izin

- Bentuk-bentuk usaha

- Hak

- kewajiban

4. Pembinaan, pengawasan dan pengendalian

5. Ketentuan pidana dan penyidikan

6. Pembiayaan

7. Ketentuan lain-lain

8. Ketentuan peralihan

9. Ketentuan penutup

B. Mengapa Diatur

Pada dasarnya pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan asli

daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah, diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan

kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, daerah mampu melaksanakan otonomi, yaitu

mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Urgensi pengaturan retribusi tempat rekreasi objek wisata dan izin usaha kepariwisataaan

dalam bentuk peraturan daerah Antara lain karena alasan filosofis, yuridis, politis dan sosiologis

yaitu:

1. Alasan filosofis,

Kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan

(4)

memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam

masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan daerah dan

nasional. Pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong pemerataan

kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu menghadapi tantangan

perubahan kehidupan local, nasional, dan global.

2. Alasan yuridis,

Realisasi dari amanah yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000

tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah junto Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang

Retribusi Daerah.

3. Alasan politis,

Kesejahteraan dan kemakmuran yang adil dan merata adalah harapan terbesar masyarakat

yang harus direspon secara optimal oleh Pemerintah Daerah.

4. Alasan sosiologis,

Agar tercipta keteraturan dalam berusaha dan tercapainya kesejahteraan yang adil dan

merata, maka masyarakat dituntut pula untuk taat pada aturan main yang dibuat oleh

pemerintah daerah. Pelanggaran atas sebuah Perda berdampak secara psikologis bagi

pemerintah dan masyarakat.

Uraian lengkap mengenai berbagai alasan pentingnya pengaturan mengenai retribusi

tempat rekreasi objek wisata dan izin kepariwisataan dari 4 (empat) pendekatan di atas dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. Alasan Filosofis

Desentralisasi merupakan suatu pengelolaan yang merupakan turunan dari sentralisasi.

Jika sentralisasi mengandung arti pemusatan pengelolaan, maka desentralisasi adalah pembagian

dan pelimpahan. Rondinelli dan Cheenma (1983:24) mengatakan:

(5)

Secara umum (menurut continental), desentralisasi terbagi menjadi dua, yaitu

desentralisasi territorial dan kewilayahan, dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi

kewilayahan berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepaa wilayah di dalam

Negara. Desentralisasi fungsional (dekonsentrasi) berarti pelimpahan wewenang kepada

organisasi fungsional (teknis) yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat.

(Muslimin, 1986:9).

Desentralisasi dengan demikian adalah prinsip pendelegasian wewenang dari pusat ke

bagian-bagiannya, baik bersifat kewilayahan maupun kefungsian. Prinsip ini mengacu kepada

fakta adanya span of control dari setiap organisasi sehingga organisasi perlu diselenggarakan

secara bersama-sama.

Desentralisasi dalam arti fungsional sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah setiap

Negara termasuk yang dianggap paling sentralistik sekalipun. Adanya departeman kementrian,

dan badan-badan pemerintah merupakan bukti nyata desentralisasi dalam fungsi. Dalam berbagai

tingkatan, organisasi yang menerima pendelegasian fungsional tersebut memiliki jaringan kerja

langsung ke masyarakat, ataupun yang tidak dan menyerahkan penyelenggaraan kepada

masyarakat kepada organisasi kewilayahan. Dengan demikian, manakala kita berbicara

desentralisasi, pada hakikatnya yang dibahas adalah desentralisasi kewilayahan, karena

desentralisasi fungsional adalah suatu kkeharusan. Dan semua orang telah melakukannya dalam

derajat yang relatif sama.

Menurut Osborne (1995:283-284) ada beberapa keunggulan dari lembaga atau

pemerintahan yang terdesentralisasi, yaitu:

1. Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel daripada yang tersentralisasi,

lembaga tersebut dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan

pelanggan yang berubah;

2. Lembaga terdesentralisasi jauh lebih efektif daripada yang trsentralisasi;

3. Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih inovatif daripada yang tersentralisasi;

4. Lembaga yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih

banyak komitmen dan lebih besar produktivitas.

Pelaksanaan asas desentralisasi pemerintahan ini, pada era reformasi jangan hanya

(6)

tetapi harus dari pertimbangan pertumbuhan ekonomi, pemerataan, pemberdayaan manusia dan

sekaligus pemerataan pelayanan (delivery of service) bagi seluruh masyarakat Indonesia di

pelosok tanah air. Oleh sebab itu perimbangan keuangan pusat daerah dengan sendirinya dituntut

harus lebih empiris dan rasional. Hal ini sangat beralasan mengingat bahwa dalam konteks

regional dan internasional, Indonesia harus mampu bersaing dengan Negara tetangga (Kawasan

ASEAN) dan dunia internasional yang dewasa ini dalam membentuk berbagai kawasan bebas

perdagangan regional seperti AFTA di ASEAN, masyarakat ekonomi di Eropa.

Era perdagangan bebas atau era globalisasi hanya dapat diantasisipasi melalui

desentralisasi yang lebih memadai, terutama bagi kabupaten/kota yang diperkirakan akan

menjadi pusat-pusat aktivitas ekonomi. Untuk itu pemberdayaan melalui wewenang yang lebih

banyak kepada kabupaten/kota melalui kriteria-kriteria yang baku akan menentukan apa yang

akan dilakukan dan bagaimana melakukannya harus segera dilakukan untuk memberi

kesempatan kepada Pemerintah Daerah dalam melakukan exercice yang cukup sebelum era

perdagangan bebas benar-benar dilaksanakan di Indonesia. Namun penyerahan wewenang

tersebut tetap harus mempertimbangkan kemampuan sumber-sumber yang ada atau mungkin

diserahkan kepada kabupaten/kota.

Menurut Kristiadi (1997:52) ada 4 hal di antaranya yang dapat dilakukan untuk

memberdayakan masyarakat:

Pertama, dapat dilakukan melalui penyerahan sejumlah tugas pemerintah kepada masyarakat yang ada di daerah. Hal ini sejalan dengan proses swastanisasi yang terjadi pada

tugas-tugas pemerintahan pada umumnya. Berdasarkan perkiraan yang dilakukan oleh

pemerintah, maka investasi yang dilakukan oleh swasta di berbagai daerah di Indonesia akan

lebih besar dibandingkan investasi yang dilakukan oleh pemerintah. Adapun bentuk

pemberdayaan tersebut tidak selalu perlu dalam bentuk swastanisasi penuh, tetapi dengan apa

yang disebut sebagai proses kemitraan pemerintah dengan swasta (Public Private Partnership).

Melalui swastanisasi atau kemitraan tersebut Pemerintah Daerah diharapkan dapat lebih ramping

dan karenanya dapat bergerak lsebih cepat (responsive) terhadap berbagai tuntutan dari

masyarakat dan efisien.

Kedua, adalah dilakukannya pemberian sumber-sumber keuangan yang lebih memadai. Hal ini tidak cukup dengan pemberian sumber-sumber keuangan yang baru melalui sejumlah

(7)

yang cukup potensial. Terutama bagi daerah-daerah yang mempunyai potensi yang besar, maka

sudah waktunya bagi daerah untuk mendapatkan sharing revenue darinya.

Ketiga, yang perlu dilakukan dengan segera adalah peningkatan kemampuan sumber daya manusia daerah. Dengan sumber daya manusia yang ada sekarang ini sulit dibayangkan

daerah mampu bersaing, apalagi berperan secara dominan dengan lokasi-lokasi lainnya yang ada

di Negara-negara Asia Pasifik.

Keempat, yang juga sangat penting dalam menghadapi era keterbukaan adalah pengembangan manajemen pelayanan umum (management of public service delivery).

Penguasaan yang tinggi terhadap system manajemen layanan umum akan memperbaiki dan

meningkatkan efisiensi dan responsiveness dari Pemerintah Daerah dalam mengemban tugas.

Management of public service delivery ini tidak hanyak ditujukan bagi Pemerintah Daerah untuk

mandiri memberikan pelayanan kepada masyarakat, tetapi system manajemen ini memberikan

kemampuan bagi Pemerintah Daerah untuk bekerjasama dengan swasta atau organisasi

kemasyarakatan lainnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Di berbagai Negara

maju telah terbukti bahwa kemampuan yang tinggi untuk bekerjasama dengan organisasi lainnya

di luar pemerintah daerah yang bersangkutan mampu menangani lebih banyak fungsi dan

tanggungjawabnya.

Pengembangan system manajemen pemerintahan yang professional ini, sampai

batas-batas tertentu dikembangkan sama dengan manajemen yang diterapkan di

perusahaan-perusahaan swasta. (Osborne, 1995).

Dengan demikian jika kita ingin mempersiapkan pemerintahan daerah untuk menghadapi

era perdagangan bebas pada abad ke-21, maka sejak sekarang sudah waktunya kita membangun

dasar-dasar yang kokoh bagi kebaradaan Pemerintah Daerah. Dengan demikian pada saat

lingkungannya mengalami perubahan yang luar biasa, maka Pemerintah Daerah telah siap untuk

mengikutinya.

Dengan adanya era globalisasi dimana dunia tampaknya lebih kecil dan mudah

terjangkau karena teknologi semakin canggih, khususnya di bidang komunikasi, maka dengan

sendirinya baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pola piker, sikap dan perilaku

masyarakat/daerah. Demikian pula dengan tuntutan dan kebutuhan akan mengalami perubahan.

Perubahan ini tentunya harus diikuti dengan dinamika pemerintahan. Sesuai dengan

(8)

(Hamidi, 2002: 7-11), maka bagaimana hal tersebut dapat direspon oleh pemerintah daerah

(kabupaten/kota.)

Hubungan dengan pemerintah dan masyarakat dalam konteks Good Government

(kepemerintahan yang baik) tidak lagi bersifat vertical (atasan bawahan) melainkan lebih bersifat

horizontal (kemitraan) yang saling menguntungkan. (LAN & BPKP, 2000: 5-6). Institusi

pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hokum yang kondusif, sector swasta

menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan masyarakat berperan positif dalam interaksi

social, ekonomi dan politik termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk

berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, social dan politik.

Salah satu sumber untuk pembiayaan dalam peningkatan potensi dan realisasi Pendapatan

Asli Daerah (PAD) adalah sector pajak dan retribusi daerah yang harus dikembangkan dan

dioptimalkan secara dinamis dan berkesinambungan. Pendapatan Asli Daerah sejauh ini

kondisinya sangat tidak seimbang dengan potensi riil yang ada di daerah. Hal ini merupakan

bagian dari dampak kebijakan lalu yang serba terpusat dan kurang optimalnya Pemerintah

Daerah dalam menggali potensi-potensi di daerahnya.

Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan berimplikasi pada peningkatan

pemungutan pajak dan retribusi daerah, sehubungan kedua komponen tersebut merupakan

penyumbang terbesar dalam pos pendapatan APBD. Akibatnya Pemerintah Daerah berusaha

meningkatkan pajak daerah, retribusi daerah, sekaligus bagian laba BUMD, bahkan beberapa

Pemda meminta bagian asli daerah BUMD yang ada di daerahnya.

Pemerintahan Daerah dituntut untuk bersikap bijak dalam melaksanakan pemungutan

pajak daerah dan retribusi daerah yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dengan

kata lain Pemerintah Daerah dapat memungut pajak dan retribusi daerah dalam jumlah yang

tinggi bila tingkat pertumbuhan ekonominya juga tinggi. Termasuk dampak inflasi harus

dipertimbangkan. Jangan sampai pemungutan pajak dan retribusi mengakibatkan kelesuan

ekonomi, sehingga investor menjadi ragu untuk menanamkan modalnya. Selain itu perlu

kehatia-hatian Pemerintah Daerah terutama untuk menentukan pajak apa yang harus dikenakan dan

masyarakat/public atau sector mana yang harus dibebani pajak dan retribusi, agar tidak

menggaggu kestabilan kehidupan makro dan mikro ekonomi masyarakat secara keseluruhan.

Terlepas dari bagaimana pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam

(9)

bentuk pelayanan public yang dapat dikembangkan oleh pemerintah daerah yaitu dalam bentuk

pemenuhan kebutuhan dasar (basic services) dan dalam bentuk pengembangan sector unggulan

(core competence). Berikut merupakan jenis-jenis pelayanan yang dapat dikembangkan sebagai

wujud tanggung jawab pemerintah daerah:

1. Pelayanan Dasar (basic services), mencakup:

a. Pendidikan

b. Kesehatan

c. Transportasi, sarana jalan, dan sarana angkutan umum

d. Lingkungan: penataan lingkungan kumuh (MCK, hidran umum, jalan-jalan

setapak/gang), tata kota/bangunan, taman, kebersihan, kesehatan lingkungan (polusi,

penyakit menular, penyakit yang ditularkan binatang, rabies, malaria, pes dan

sebagainya), sewage/saluran limbah, persampahan, penerangan jalan, dan

pemeliharaan sungai)

e. Rekreasi, sport centre/gelanggang remaja, perpustakaan, theatre, taman rekreasi,

museum, gallery, camp sites, cagar budaya, dan lain-lain

f. Social, pengurusan orang terlantar, panti asuhan, panti jompo, dan seterusnya

g. Perumahan

h. Pemakaman dan crematorium

i. Registrasi penduduk (KTP, kelahiran, kematian dan perkawinan)

j. Air minum/air bersih

2. Pelayanan sector unggulan (core competence), mencakup:

a. Pertanian

b. Pertambangan

c. Kehutanan

d. Perkebunan

e. Perikanan

f. Industry

g. Perdagangan

(10)

Dari dua kelompok pelayanan tersebut, maka ada dua varian yang dihasilkan oleh

pemerintah daerah, yaitu:

1. Public Goods, barang-barang public yang umumnya berbenttuk hardware seperti jalan,

jembatan, gedung, rumah sakit, sekolah dan sebagainya.

2. Public Regulation, pengaturan-pengaturan yang dilakukan pemerintah daerah seperti akte

kelahiran, akte perkawinan, KTP, IMB, HO dan sebagainya.

Begitu sentral dan pentingnya keberadaan pemerintah sehingga wajar apabila masyarakat

memerlukan organisasi pemerintah karena banyak bagian penting dari kebutuhannya yang tidak

dipenuhi oleh organisasi lain seperti halnya organisasi swasta baik profit (dengan orientasi

mencari laba) maupun organisasi swasta non profit. Organisasi swasta profit dianggap gagal

dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat menyangkut kebutuhan eksternalitas dan barang public

karena motifnya yang hanya mengejar kebutuhan semata. Begitu pula halnya dengan organisasi

swasta non profit hanya mampu memberikan pelayanan dalam skala kecil dan sederhana, serta

terbatas pada lapisan masyarakat tertentu saja.

2. Alasan Yuridis

undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan

Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah dan

penerimaan berupa Dana Perimbangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja

Negara, Pendapat Asli Daerah (PAD), yang Antara lain berupa Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah, diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Dengan

demikian, daerah mampu melaksanakan otonomi, yaitu mampu mengatur dan mengurus rumah

tangganya sendiri.

Sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai dengan pembentuk peraturan daerah ini, maka

perlu ditetapkan ketentuan-ketentuan pokok yang memberikan pedoman kebijakan dan arahan

bagi daerah dalam pelaksanaan retribusi, sekaligus menetapkan pengaturan untuk menjamin

(11)

perlu dijaga agar dapat memberikan beban yang adil. Retribusi daerah sudah ditetapkan dalam

undang-undang dan peraturan pemerintah, namun demikian daerah kabupaten/kota tetap

berpeluang menggali kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai kewenangan dan aspirasi

masyarakat.

Kewenangan pemerintah daerah telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38

Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah

Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, pada pasal 2 ayat (4) diatur bahwa Urusan

Pemerintahan terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang urusan pemerintahan meliputi:

1) Pendidikan

2) Kesehatan

3) Pekerjaan umum

4) Perumahan

5) Penataan ruang

6) Perencanaan pembangunan

7) Perhubungan

8) Lingkungan hidup

9) Pertanahan

10)Kependudukan dan catatan sipil

11)Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak

12)Keluarga berencana dan keluarga sejahtera

13)Social

14)Ketenagakerjaan dan ketransmigrasian

15)Koperasi dan usaha kecil menengah

16)Penanaman modal

17)Kebudayaan dan pariwisata

18)Kepemudaan dan oleh raga

19)Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri

20)Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah,

kepegawaian dan persandian.

21)Pemberdayaan masyarakat dan desa

(12)

23)Kearsipan

24)Perpustakaan

25)Komunikasi dan informatika

26)Pertanian dan ketahanan pangan

27)Kehutanan

28)Energy dan sumber daya mineral

29)Kelautan dan perikanan

30)Perdagangan, dan

31)Perindustrian

Kata kunci keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah kesejahteraan masyarakat.

Strategi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat selain melalui pengelolaan

sumber-sumber pendapatan asli daerah secara adil dan berkelanjutan, juga melalui langkah-langkah

strategis kebijakan pemerintah dalam upaya menggali sumber keuangan daerahnya sendiri. Oleh

karena itu daerah harus memiliki keleluasaan untuk menentukan sendiri mengenai cara mengatur

dan mengurus rumah tangganya. Upaya untuk memperbesar lumbung keuangan daerah

merupakan salah satu cara uang mesti dilakukan agar keleluasaan dapat diwujudkan disamping

prayarat lain, mengingat pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang besar tidak

cukup ghanya mengandalkan dari dana perimbangan dan subsidi Pemerintah Pusat saja tetapi

harus dapat memberdayakan seoptimal mungkin potensi yang ada di daerah itu sendiri agar

memberikan kontribusi yang optimal terhadap pendapatan daerah.

Upaya yang dilakukan daerah dalam memperbesar sumber keuangan daerah adalah

dengan memfokuskan bagaimana cara meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Salah satu

sumber untuk pembiayaan dalam peningkatan potensi dan realisasi PAD adalah dari pajak dan

retribusi daeah. PAD sejauh ini kondisinya sangat tidak seimbang dengan potensi riil yang ada di

daerah. Hal ini merupakan bagian dari dampak kebijakan lalu yang serba terpusat. Maksimalisasi

PAD akan berimplikasi pada peningkatan pemungutan pajak dan retribusi daerah, sehubungan

kedua komponen tersebut merupakan penyumbang terbesar dalam pos daerah, retribusi daerah,

sekaligus bagian laba BUMD, bahkan beberapa Pemda meminta bagian atas hasil BUMD yang

(13)

Menurut Pasal 1 ayat 26 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, disebutkan

bahwa:

“Retribusi Daeah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan”.

Perlu diketahui bahwa berdasarkan Pasal 18 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000

tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah junto Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah,

bahwa objek dan golongan retribusi yang menjadi kewenangan kabupaten/kota adalah:

1) Objek retribusi terdiri dari:

a. Jasa umum

b. Jasa usaha

c. Perizinan tertentu

2) Retribusi dibagi atas tiga golongan:

a. Retribusi jasa umum

b. Retribusi jasa usaha

c. Retribusi perizinan tertentu

Di Kabupaten Bandung Barat, pemerintah daerah kini sedang bekerja keras

meningkatkan pendapatan asli daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Hal

ini penting untuk menghindari ketergantungan APBD Kabupaten Bandung Barat terhadap dana

perimbangan khususnya Dana Alokasi Umum (DAU) yang diberikan oleh Pemerintah Pusat,

sehingga pengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dapat terwujud.

Sebagai wujud dari pelayanan dasar masyarakat dan kewenangan daerah, pembangunan

pariwisata diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan. Pada

pasal 2 diuraikan mengenai asas, fungsi dan tujuan kepariwisataan yang meliputi atas:

a. Manfaat

b. Kekeluargaan

c. Adil dan merata

(14)

e. Kemandirian

f. Kelestarian

g. Partisipatif

h. Berkelanjutan

i. Demokratis

j. Kesetaraan, dan

k. Kesatuan

Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 3 dan Pasal 4, kepariwisataan berfungsi memenuhi

kebutuhan jasmani, rohani, dan itelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta

meningkatkan pendapatan Negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan tujuan untuk:

a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi

b. Meningkatkan kesejahteraan rakyat

c. Menghapus kemiskinan

d. Mengatasi pengangguran

e. Melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya

f. Memajukan kebudayaan

g. Mengangkat citra bangsa

h. Memupuk rasa cinta tanah air

i. Memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, dan

j. Mempererat persahabatan antar bangsa.

Kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip-prinsip yaitu: (a) menjunjung tinggi

norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan

hubungan Antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan Antara manusia dan sesame

manusia, dan hubungan Antara manusia dan lingkungan, (b) menjunjung tinggi hak asasi

manusia, keragaman budaya, dan kearifan local, (c) memberi manfaat untuk kesejahteraan

rakyat, keadilan, kesetaraan dan proporsionalitas, (d) memelihara kelestarian alam dan

lingkungan hidup, (e) memberdayakan masyarakat setempat, (f) menjamin keterpaduan antar

sektor, antara daerah, antara pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistematik dalam

(15)

etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata dan, (h)

memperkukuh keutuhan Negara Kesatian Republik Indonesia.

Pembangunan kepariwisatan dilakukan berdasarkan asas sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 yang diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan

memperhatikan keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan

manusia untuk berwisata.

Memperhatikan Pasal 7 Undang-undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan,

pembangunan kepariwisataan meliputi: (a) industry pariwisata, (b) destinasi pariwisata, (c)

pemasaran, dan (d) kelembagaan kepariwisataan.

Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan

kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, rencana

indusk pembangunan kepariwisataan propinsi, dan rencana induk pembangunan kepariwisataan

kabupaten/kota. Pembangunan kepariwisataan merupakan bagian integral dari rencana

pembangunan jangka panjang nasional.

Rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota. Penyusunan rencana

induk pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)

dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan. Rencana induk pembangunan

kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi perencanaan pembangunan

industry pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong penanaman modal dalam negeri dan

penenaman modal asing di bidang kepariwisataan sesuai dengan rencana induk pembangunan

kepariwisataan nasional, propinsi, dan kabupaten/kota. Pemerintah bersama lembaga yang terkait

dengan kepariwisataan menyelenggarakan penelitian dan pengembangan kepariwisataan untuk

mendukung pembangunan kepariwisataan.

Prediksi strategis pengelolaan retribusi ke depan, harus mulai memperhatikan substansi

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang

substansinya diuraikan dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 sebagai

berikut:

Pertama, pengaturan kewenangan perpajakan dan retribusi yang ada saat ini kurang

(16)

daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, seharusnya

diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan retribusi. Basis

pajak kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan propinsi dalam

penetapan tariff pajaknya mengakibatkan daerah selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi

kebutuhan pengeluarannya. Ketergantungan daerah yang sangat besar terhadap dana

perimbangan dari pusat dalam banyak hal, kurang mencerminkan akuntabilitas daerah.

Kedua, Pemerintah daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efisien

dan masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran daerah karena merasa tidak dibebani

dengan pajak dan retribusi. Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah,

pemerintah daerah seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan

retribusi. Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, perluasan

kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan dengan memperluas basis pajak daerah

dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tariff.

Ketiga, perluasan basis pajak tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik.

Pajak dan retribusi tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas

penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor-impor. Pungutan seperti

retribusi atas izin masuk kota, retribusi atas pengeluaran/pengiriman barang dari suatu daerah ke

daerah lain dan pungutan atas kegiatan ekspor-impor tidak dapat dijadikan sebagai objek pajak

atau retribusi. Berdasarkan pertimbangan tersebut perluasan basis pajak daerah dilakukan dengan

memperluas basis pajak yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat dan menjambah jenis pajak

baru. Perluasan basis pajak yang sudah ada dilakukan untuk pajak kendaraan bermotor dan beas

bali nama kendaraan bermotor diperluas hingga mencakup kendaraan pemerintah, pajak hotel

diperluas hingga mencakup seluruh persewaan di hotel, pajak restoran diperluas hingga

mencakup pelayanan catering. Ada 4 (empat) jenis pajak baru bagi daerah, yaitu pajak bumi dan

bangunan perdesaan dan perkotaan dan bea perolehan ha katas tanah dan bangunan yang

sebelumnya merupakan pajak pusat dan pajak sarang burung wallet sebagai pajak kabupaten.kota

serta pajak rokok yang merupakan pajak baru bagi provinsi.

Keempat, selain perluasan pajak, dilakukan juga perluasan terhadap beberapa objek

(17)

pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya

gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan dan

memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja. Terdapat 4 (empat) jenisRetribusi baru bagi

daerah, yaitu Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, Retribusi Pelayanan pendidikan, Retribusi

Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin usaha Perikanan.

Kelima, berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tariff untuk

menghindari penetapan tariff pajak yang tinggi yang dapat menambah beban bagi masyarakat

secara berlebihan, daerah hanya diberi kewenangan untuk menetapkan tariff pajak dalam batas

maksimum yang ditetapkan dalam Undang-undang ini. Selain itu, untuk menghindari perang

tariff pajak antar daerah untuk objek pajak yang mudah bergerak, seperti kendaraan bermotor,

dalam Undang-undang ini ditetapkan juga tariff minimum untuk Pajak Kendaraan Bermotor.

Pengaturan tariff demikian diperkirakan juga masih memberikan peluang bagi masyarakat untuk

memindahkan kendaraannya ke daerah lain yang beban pajaknya lebih rendah. Oleh karena itu,

dalam Undang-undang ini Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagai dasar pengenaan Pajak

Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor masih ditetapkan seragam

secara nasional. Namun, sejalan dengan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang lebih baik

sesuai dengan beban pajak yang ditanggungnya dan pertimbangan tertentu, Menteri Dalam

Negeri dapat menyerahkan kewenangan penetapan Nilai Jual Kendaraan bermotor kepada

Daerah. Selain itu, kebijakan tariff Pajak kendaraan Bermotor juga diarahkan untuk mengurangi

tingkat kemacetan di daerah perkotaan dengan memberikan kewenangan daerah untuk

menerapkan tariff pajak progresif untuk kepemilihan kendaraan kedua dan seterusnya.

Khususnya untuk Pajak Rokok, dasar pengenaannya adalah cukai rokok. Tariff pajak Roko

ditetapkan secara definitive di dalam Undang-undang ini, agar pemerintah dapat menjaga

keseimbangan antara beban cukap yang harus dipikul oleh industry rokok dengan kebutuhan

fiscal nasional dan darah melalui penetapan tariff cukai nasional.

Keenam, untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan pungutan, dalam Undang-undang

ini, sebagian hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang berkaitan

dengan pajak tersebut. Pajak Penerangan Jalan sebagian dialokasikan untuk membiayai

penerangan jalan, Pajak Kendaraan Bermotor sebagian dialokasikan untuk pembangunan

dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan modal dansarana transportasi umum, dan Pajak

(18)

hokum.

Ketujuh, dengan perluasan basis pajak dan retribusi yang disertai dengan pemberian

kewenangan dalam penetapan tariff tersebut, jenis pajak dapat dipungut oleh daerah hanya yang

ditetapkan dalam Undang-undang. Untuk retribusi, dengan peraturan pemerintah masih dibuka

peluang untuk dapat menambah jenis retribusi selain yang telah ditetapkan dalam

Undang-undang ini sepanjang memenuhi kriteria yang juga ditetapkan dalam Undang-Undang-undang ini. Adanya

peluang untuk menambah jenis retribusi dengan peraturan pemerintah juga dimaksukan untuk

mengantisipasi penyerahan fungsi pelayanan dan perizinan dari pemerintah kepada daerah yang

juga diatur dengan peraturan pemerintah.

Kedelapan, untuk meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan daerah, mekanisme

pengawasan diubah dari represif menjadi proventif. Setiap Peraturan Daerah tentang pajak dan

retribusi sebelum dilaksanakan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah.

Selain itu, terhadap daerah yang menetapkan kebijakan di bidang pajak daerah dan retribusi

daerah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan

dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana alokasi aumum dan/atau dana

bagi hasil atau restitusi.

Kesembilan, diberlakukannya regulasi baru ini menyebabkan kemampuan daerah untuk

membiayai kebutuhan pengeluarannya semakin besar karena daerah dapat dengan mudah

menyesuaikan pendapatannya sejalan dengan adanya peningkatan basis pajak daerah dan diskresi

dalam penetapan tarif. Di pihak lain, pajak dan retribusi baru, akan memberikan kepastian bagi

masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran

masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

3. Alasan Politis

Sebagai kabupaten pemekaran baru, Kabupaten Bandung Barat yang berpenduduk

hamper mencapai lebih dari 2 juta jiwa menyebabkan pemerintah Kabupaten Bandung Barat

harus bekerja keras untuk mencari sumber-sumber pembiayaan keuangan daeah untuk

pembangunan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat. Salah satu sumbernya adalah keindahan

dan keelokan alam di Kabupaten Bandung Barat menjadi daya Tarik bagi para wisatawan asing

(19)

Dampaknya adalah ketersediaan fasilitas rekreasi dan sarana prasarana pendukung

pwriwisata di kawasan-kawasan tersebut harus dilengkapi dan ditata secara professional. Hal ini

tidaklah mudah jika tidak melibatkan seluruh elemen masyarakat Kabupaten Bandung Barat,

termasuk pihak-pihak swasta yang memiliki kompetensi di bidang rekreasi dan wisata.

Simbiosis mutualisma yang dapat dikembangkan antara pemerintah dengan masyarakat

dalam membangun sector pariwisata diawali dari adanya komitmen dalam membuat regulasi dan

aturan main yang menguntungkan kedua belah pihak yang bermuara kepada kesejahteraan

masyarakat. Untuk itulah dibuat peraturan daerah yang mengatur retribusi tempat rekreasi objek

wisata dan izin usaha pariwisata.

4. Alasan Sosiologis

Beberapa tahun terakhir ini setidaknya terdapat isu permasalahan yang berhubugan

dengan potensi kepariwisataan di Kabupaten Bandung Barat yang hingga kini masih

memerlukan perhatian semua pihak yang terkait, yaitu isu reklamasi bekas penggalian tambang golongan C dan penataan lokasi penemuan manusia purba “pawon” di Desa Gunung Masigit Kecamatan Cipatat.

Permasalahan reklamasi kawasan bekas penggalian tambang golongan C di kawasan

Cipatat berkaitan dengan keterbatasan anggaran Pemerintah Kabupaten Bandung Barat yang

masih bergantung kepada Kabupaten Bandung Induk yang paling bertanggungjawab dalam

memberikan kebijakan awal pengelolaan kawasan Cipatat sebagai kawasan pertambangan bahan

galian golongan C. Selain itu adanya ketergantungan kehidupan masyarakat sekitar kawasan

pertambangan dan dampak lingkungan yang terjadi, menyebabkan terhambatnya penataan

kawasan Cipatat.

Daerah Kars/kapur yang berada di Kabupaten Bandung Barat menjadi fenomena geologi tersebut di Indonesia dan dengan ditemukannya manusia purba “pawon” di kawasan ini dapat menjadi ikon wisata yang sangat strategis ke depan. Namun demikian, memang tidak mudah

dalam proses pengembangannya, karena memerlukan pemahaman dan dukungan komprehensif

semua pihak, khususnya political will pemerintah.

Sisi lain pengembangan kawasan Lembang, Cisarua, Parongpong dan sekitarnya masih

(20)

masing-masing kabupaten/kota dalam menerbitkan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

secara sendiri-sendiri yang umumnya tidak sejalan dengan Perda RTRW Propinsi. Sebagai

contoh dikatakan dalam RTRW Propinsi (Perda No. 2 Tahun 2003) bahwa KBU (Kawasan

Bandung Utara) merupakan Kawasan Lindung, namun RTRW Kabupaten Bandung (Perda No.

12 Tahun 2001) mengatakan bahwa KBU adalah kawasan tertentu, sementara RTRW Kabupaten

Bandung Barat (Perda No. 2 Tahun 2004) mengatakan bahwa KBU adalah ruang terbuka hijau

dan bahkan di kawasan Punclut sebagaian diperuntukan sebagai perumahan kepadatan rendah,

bahkan RTRW Kota Cimahi (Perda No. 23 Tahun 2003) mengatakan bahwa KBU ini

diperuntukan sebagai kawasan peumahan. Alhasil saat ini seluruh KBU yang luasnya 38-548 ha

atau 385,48 km2, sebanyaj 70% telah rusak dan tidak lagi berfungsi lindung, sisanya yang 30%

pun saat ini terancam akan beralih fungsi bukan lagi sebagai kawasan lindung.

Berkaca dari hal di atas, maka Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengamanatkan

pentingnya sikronisasi perencanaan pembangunan dari pusat hingga daerah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 150 bahwa “Dalam rangka penyelenggaraan pembangunan daerah, disusun perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam system perencanaan pembangunan nasional”. Artinya perencanan pembangunan yang dibuat oleh daerah harus mengacu pada perencanaan pembangunan nasional. Prinsip bahwa satuan pemerintahan yang

lebih kecil harus tunduk/mengikuti pada pemerintahan yang lebih luas.

Hal ini akan menjadi hambatan adanya retribusi objek wisata dan jasa usaha pariwisata di

Kabupaten Bandung Barat, apabila tidak disikapi secara arif dan bijaksana oleh seluruh

pemangku kepentingan daerah. Singkronisasi dan koordinasi masih memerlukan sikap-sikap

yang professional dengan menjadi peluang untuk mengembangkan potensi pariwisata di

Kabupaten Bandung Barat.

C. Bagaimana Mengaturnya (Legal Drafting)

Bagaimana mengaturnya dalam kajian akademik berisi kerangka baku sistematika dan

materi muatan peraturan perundang-undangan (dalam hal ini peraturan daerah). Adapun

kerangka peraturan daerah terdiri atas:

1. Judul

(21)

3. Batang Tubuh

4. Penutup

5. Penjelasan, dan

6. Lampiran (bila diperlukan)

Penjelasan dari uraian kerangka peraturan daerah sebagaimana di atas dapat dijelaskan

sebagai berikut:

Ad.1. Judul

a) Setiap peraturan daerah diberi judul

b) Judul peraturan daerah memuat keterangan mengenai: jenis, nomor, tahun pengundangan,

dan tentang (nama) peraturan daerah

c) Tentang (nama) peraturan daerah dibuat secara singkat dan mencerminkan isi peraturan

daerah.

Ad.2. Pembukaan, memuat:

a) Jabatan pembentuk peraturan perundangan-undangan daerah,

b) Konsideran,

c) Dasar hukum,

d) Memutuskan,

e) Menetapkan,

f) Nama peraturan perundangan-undangan

Pada pembukaan peraturan daerah sebelum nama jabatan pembentuk peraturan daerah,

dicantumkan frase DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA yang diletakan di tengah

marjin.

a) Jabatan pembentuk peraturan daerah

Jabatan pembentuk peraturan daerah ditulis seluruhnya dengan huruf capital yang

diletakkan di tengah marjin dan diakhiri tanda koma (,).

b) Konsideran

(22)

2) Konsideran memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar

belakang dan alasan pembuatan peraturan daerah (unsur filosofis, yuridis dan

sosiologis)l

(23)

RANCANGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR ... TAHUN ...

TENTANG

RETRIBUSI TEMPAT REKREASI OBJEK WISATA

Menimbang : a. bahwa pembangunan pariwisata diarahkan untuk mewujudkan dan memelihara kelestarian lingkungan dan budaya serta mengembangkan objek dan days tarik wisata, serta menjadi salah satu penggerak aktivitas perekonomian masyarakat;

b. bahwa penyelenggaraan usaha pariwisata perlu dikembangkan untuk mendukung pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dengan memperhatikan tata ruang dan tata wilayah keberlangsungan ekologi, perkembangan kehidupan sosial budaya, sektor perhubungan, pemberdayaan masyarakat dan sektor lainnya guns peningkatan kesejahteraan masyarakat;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a dan b di atas, maka perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Retribusi Tempat Rekreasi Obiek Wisata.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan lembaran negara Nomor 3427);

2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);

3. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438),

4. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Lembaran Negara Nomor 3358) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4138);

6. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat di Provinsi Jawa Barat (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4688); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan

Kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3658);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan daerah kabupaten/kota;

(24)

Negara Nomor 4139)

10. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4262);

11. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor... tahun

tentang Tata Cara dan Teknis Penyusunan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Tahun Nomor ....)

Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT TENTANG RETRIBUSI TEMPAT REKREASI OBJEK WISATA

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Kabupaten Bandung Barat;

2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Bandung Barat; 3. Bupati adalah Bupati Bandung Barat;

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bandung Barat;

5. Pejabat adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang Retribusi Daerah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan Daerah yang berlaku;

6. Badan adalah suatu bentuk badan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama atau bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, bentuk usaha tetap serta bentuk badan usaha swasta;

7. Retribusi Jasa Usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta;

8. Retribusi Tempat Usaha Objek Wisata yang selanjutnya disebut retribusi adalah pembayaran atas pelayanan penyediaan tempat rekreasi dan pariwisata yang dimiliki dan dikelola Pemerintah Daerah;

9. Wajib retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut Peraturan Peru nda ng-unda ngan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi;

10. Tempat Rekreasi adalah Objek dan days Tarik Wisata Alam maupun Buatan bersifat komersial yang dimiliki dan atau dikelola Pemerintah Daerah;

(25)

untuk melakukan tagihan dan atau sanksi administrasi berupa bungs dan atau denda; 13. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan,

dan atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban retribusi daerah dan atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan retribusi daerah.

14. Penyidikan tindak pidana di bidang retribusi daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang retribusi daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya

BAB II

NAMA, OBJEK DAN SUBJEK RETRIBUSI

Pasal 2

Nama retribusi adalah Retribusi Tempat Rekreasi Objek Wisata yang dipungut sebagai pembayaran atas pelayanan penyediaan tempat rekreasi objek wisata.

Pasal 3

(1) Objek Retribusi adalah Pelayanan Penyediaan Fasilitas a. Tempat Rekreasi;

b. Objek Wisata.

(2) Dikecualikan dari Objek Retribusi adalah Pelayanan Penyediaan Tempat Rekreasi Objek Wisata yang dimiliki dan dikelola oleh Pihak Swasta.

Pasal 4

Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan dan atau menikmati pelayanan Tempat Rekreasi Objek Wisata.

BAB III,

GOLONGAN RETRIBUSI

Pasal 5

Retribusi Tempat Rekreasi Objek Wisata digolongkan sebagai Retribusi jasa Usaha.

BAB IV

CARA MENGUKUR TINGKAT PENGGUNAAN JASA

Pasal 6

Tingkat penggunaan jasa dihitung berdasarkan frekuensi pemanfaatan tempat rekreasi

BAB V

(26)

Pasal 7

Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besamya tarif retribusi dasarkan atas tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagaimana keuntungan yang pantas diterima oleh Pengusaha Swasta, jenis yang berorientasi secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.

BAB VI

STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI

Pasal 8

(1) Struktur tarif digolongkan berdasarkan jenis fasilitas, lokasi dan jangka waktu pemakaian. (2) Besarnya tarif ditetapkan berdasarkan tarif fasilitas sejenis yang bedaku.

(3) Struktur dan besarnya tarif ditetapkan sebagai berikut

(27)

- Motor Cross - Volley Ball - Futsal

1 x Penggunaan 1 jam Penggunaan 1 jam Penggunaan

Lapangan

- Rumput sistetis - Lantai

20.000/orang 50.000/grup 100.000/grup 50.000/jam

(4) Apabila pada tempat pariwisata atau yang dimaksud pada ayat (3) diadakan atraksi khusus, maka ditambah biaya sesuai dengan jenis pelayanan.

BAB VII

WILAYAH PEMUNGUTAN

Pasal 9

Retribusi yang terutang dipungut di tempat pelayanan penyedia Tempat Rekreasi Objek Wisata diberikan.

BAB VIII

SAAT RETRIBUSI TERUTANG

Pasal 16

Saat retribusi terutang adalah pada saat ditetapkannya SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.

BAB IX

PENETAPAN RETRIBUSI

Pasal 11

1) Retribusi terutang ditetapkan sesuai dengan yang tercantum dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan;

2) Bentuk, isi serta tata cara penerbitan dan penyampaian SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan ditetapkan oleh Bupati.

BAB X

TATA CARA PEMUNGUTAN

Pasal 12

1) Pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan; 2) Retribusi dipungut dengan menggunakan karcis.

BAB XI

TATA CARA PEMBAYARAN

Pasal 13

1) Retribusi yang terutang harus dilunasi sekaligus,

(28)

Bupati.

BAB X11

PENGURANGAN, KERINGANAN DAN PEMBEBASAN RETRIBUSI

Pasal 14

Bupati dapat memberikan pengurangan, keringanan dan pembebasan Retribusi;

1) Pengurangan, peringanan dan pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan pada masa liburan sekolah dan atau bagi pengunjung rombongan yang berjumlah minimal 20 (duapuluh) orang;

2) Tata cara pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi ditetapkan oleh Bupati.

BAB XIII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 15

1) Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban sehingga merugikan keuangan Daerah diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau Benda paling banyak 4 (empat) kali jumlah retribusi terutang;

2) Tindak Pidana yang dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.

BAB XIV PENYIDIKAN

Pasal 16

1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum Acara Pidana;

2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah:

a. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;

b. Meneliti, mencari, mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan mengenai kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana Retribusi Daerah;

c. Meminta keterangan Bari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah;

d. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah;

e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut; f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak

pidana di bidang Retribusi Daerah;

(29)

h. Memotret sesorang yang berkaitan dengan tindak pidana Retribusi Daerah-,

i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan atau sebagai tersangka atau saksi;

j. Menghentikan penyidikan,

k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penelitian tindak pidana di bidang Retribusi Daerah menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, memberitahukan dimulainya penyidikan dan penyampaian hasil penyidikan kepada penuntut umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

BAB XV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17

Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Cabupaten Daerah Tingkat II Bandung Nomor 11 Tahun 1997 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II 3andung Nomor XIII Tahun 1977 tentang Retribusi Obyek Wisata Maribaya, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 18

Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang berkenaan dengan teknis pelaksanaan akan diatur lebih lanjut oleh Bupati

Pasal 19

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat.

Disahkan di pada tanggal

BUPATI BANDUNG BARAT

Drs.H. ABU BAKAR, M.SI

Diundangkan di ... Pada tanggal ...

Drs. H. Mas Abdul Kohar Pembina Utama Muda NIP 19530417 197707 1 001

(30)

RANCANGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR ... TAHUN ...

TENTANG

KETENTUAN IZIN USAHA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANDUNG BARAT

Menimbang : a. Bahwa sumber daya slam dan sumber daya manusia yang berupa hayati

maupun non hayati hasil rekayasa kreasi manusia yang berupa budaya dapat dimanfaatkan dan dilestarikan untuk kesejahteraan masyarakat luas dengan menjadikan objek dan daya tarik wisata;

b. Bahwa penyelenggaraan usaha pariwisata perlu dimanfaatkan secara optimal dalam rangka pelestarian lingkungan dan norms-norms sosial budaya masyarakat untuk mendorong aktivitas perekonomian, kesempatan berusaha, kesempatan kerja dan mendorong pembangunan sektor lainnya;

c. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a dan b di atas, maka pedu menetapkan Peraturan Daerah tentang Retribusi Tempat Rekreasi Objek Wisata.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan lembaran negara Nomor 3427);

2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);

3. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438);

4. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Lembaran Negara Nomor 3358) sebagaimana, telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4138);

6. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat di Provinsi Jawa Barat (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4688); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan

Kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3658);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota;

(31)

(Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4139)

10. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4262);

11. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor... tahun tentang Tata Cara dan Teknis Penyusunan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Tahun Nomor....)

12. Peraturan Bupati Bandung Barat Nomor 3 Tahun 2007 tentang Dinas Daerah Kabupaten Bandung Barat;

Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

KABUPATEN BANDUNG BARAT

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT TENTANG KETENTUAN IZIN USAHA PARIWISATA

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan 1. Daerah adalah Kabupaten Bandung Barat;

2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Bandung Barat; 3. Bupati adalah Bupati Bandung Barat;

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bandung Barat;

5. Dinas adalah: Dinas Perhubungan Pariwisata Komunikasi dan Informasi Kabupaten Bandung Barat;

6. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Perhubungan Pariwisata Komunikasi dan Informasi Kabupaten Bandung Barat;

7. lzin Usaha Kepariwisataan yang selanjutnya disebut izin usaha adalah izin yang diberikan kepada setiap orang dan atau badan yang melakukan usaha di bidang pariwisata;

8. Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata; 9. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan

objek dan daya tarik wisata serta usahausaha yang terkait di bidang tersebut;

10. Kepariwisataan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata;

11. Usaha Pariwisata adalah kegiatan yang bertujuan menyelenggarakan jasa pariwisata atau menyediakan atau mengusahakan objek dan daya tarik wisata serta usaha sarana pariwisata;

(32)

13. Biro Perjalanan Wisata selanjutnya disingkat BPW adalah badan usaha yang bersifat komersil mengatur, menyediakan dan menyelenggarakan kegiatan perjalanan secara lengkap baik perorangan maupun kelompok di dalam negeri maupun dari dan ke luar negeri;

14. Cabang Biro Pedalanan Wisata selanjutnya disingkat CBPW adalah salah satu unit biro perjalanan wisata yang berkedudukan di wilayah lain yang melakukan kegiatan usaha kantor pusatnya;

15. Agen Pedalanan Wisata selanjutnya disingkat APW adalah badan usaha yang menyelenggarakan usaha perjalanan bertindak sebagai perantara dalam menjual dan atau mengurus jasa untuk melakukan perjalanan;

16. Jasa Pramuwisata adalah kegiatan profesi yang mengatur, mengkoordinir dan menyediakan tenaga pramuwisata yang memberikan pelayanan bagi seseorang atau sekelompok orang yang melakuan perjalanan wisata;

17. Pengatur Wisata adalah pegawai biro perjalanan wisata yang bertugas merencanakan, memimpin dan mengurus perjalanan wisatawan;

18. Jasa Informasi Pariwisata adalah usaha penyediaan, penyebaran dan pemanfaatan informasi kepariwisataan;

19. Jasa Konsultan Pariwisata adalah suatu jasa konsultan yang bergerak di bidang pariwisata;

20. Jasa Impresariat adalah kegiatan pengurusan penyelenggaraan hiburan, baik yang berupa mendatangkan, mengirimkan maupun mengembalikan serta menentukan tempat, waktu dan jenis hiburan.

21. Mandala Wisata adalah tempat yang disediakan untuk kegiatan penerangan wisata serta peragaan kesenian dan kebudayaan khas daerah;

22. Pengusahaan Objek dan Daya Tarik Wisata adalah kegiatan membangun, mengelola beserta prasarana dan sarana yang diperlukan atau kegiatan mengelola objek dan daya tarik wisata yang telah ada, dikelompokkan ke dalam:

a. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata alam adalah merupakan usaha pemanfaatan sumber daya alam dan Tata Lingkungannya untuk dijadikan sasaran wisata.

b. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata budaya merupakan usaha pemanfaatan seni budaya bangsa untuk dijadikan sasaran wisata.

c. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata minat khusus merupakan usaha pemanfaatan sumber daya alam dan potensi seni budaya bangsa untuk menimbulkan daya tarik dan minat khusus sebagai sasaran wisata.

23. Usaha sarana pariwisata adalah meliputi kegiatan pembangunan, pengelolaan dan penyediaan fasilitas, serta pelayanan yang diperlukan dalam penyelenggaraan pariwisata; 24. Usaha Wisata Tirta adalah usaha yang ruang lingkup kegiatannya menyediakan dan

mengelola sarana dan prasarana serta menyediakan jasa lainnya yang bersangkutan dengan kegiatan wisata tirta.

25. Wisata agro adalah kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha agro sebagai objek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, rekreasi dan hubungan usaha di bidang agro.

26. Usaha rekreasi dan hiburan umum adalah setiap usaha yang komersial yang ruang lingkup kegiatannya dimaksudkan untuk memberikan kesehatan rohani dan jasmani.

27. Taman rekreasi adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan berbagai jenis fasilitas untuk memberikan kesegaran rohani dan jasmani yang mengandung unsur hiburan, pendidikan dan kebudayaan sebagai usaha pokok di suatu kawasan tertentu yang dapat dilengkapi dengan penyediaan jasa pelayanan makan dan minum serta akomodasi.

(33)

pelayanan makan dan minum.

29. Pemandian alam adalah suatu usaha yang menyediakan tempat fasilitas untuk mandi dengan menggunakan air panas atau air terjun sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan usaha jasa pelayanan makan dan minum serta akomodasi.

30. Padang golf adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas olah raga golf di suatu kawasan tertentu sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan usaha jasa pelayanan makan dan minum serta akomodasi.

31. Kolam pancing adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk memancing ikan sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan usaha jasa pelayanan makan dan minum.

32. Gelanggang permainan adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk mesin permainan (video game, play Station cill yang sejenis) sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi jasa pelayanan makan dan minum.

33. Gelanggang bowling adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk olah raga bowling sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan pelayanan jasa makan dan minum.

24. Rumah bilyard adalah suatu usaha yang menyediakan tempat tempat dan fasilitas untuk permainan bilyard sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum.

35. Gedung pertunjukan adalah suatu bangunan yang dapat menampung banyak orang untuk kegiatan pertemuan atau hiburan kesenian yang dikelola secara komersial.

36. Lapangan tenis adalah suatu tempat plah raga khusus tenis.

37. Gedung squash adalah suatu bangunan yang dikelola secara komersil yang dipergunakan untuk olah raga squash.

38. Gedung olah raga adalah suatu bangunan yang dikelola secara komersial untuk kegiatan olah raga.

39. Fitnes adalah kegiatan usaha dibidang sarana olah raga di bidang kebugaran.

40. Bioskop adalah suatu kegiatan usaha dengan pertunjukan film yang dilaksanakan di sebuah gedung khusus atau dilapangan terbuka.

41. Karaoke adalah suatu kegiatan sarana hiburan bagi pengunjung yang menyediakan fasilitas untuk karaoke dan dapat dilengkapi dengan penyediaan jasa makan dan minum di hotel berbintang.

42. Pacuan kuda adalah kegiatan olah raga berkuda yang diperlombakan pada sirkuit pacuan Oalan tanah melingkar).

43. Cady adalah orang yang mendampingi dan membantu pemain golf.

44. Hotel berbintang adalah suatu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan, makan dan minum serta jasa lainnya bagi umum, yang dikelola secara komersil serta memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

45. Hotel melati adalah suatu usaha komersil yang menggunakan seluruh atau sebagian dad bangunan yang khusus disediakan bagi setiap orang untuk memperoleh jasa pelayanan penginapan.

46. Pondok wisata adalah suatu usaha perorangan dengan menggunakan sebagian dad rumah tinggalnya untuk penginapan bagi setiap orang dengan perhitungan pembayaran harian. 47. Penginapan remaja adalah suatu usaha yang tidak bertujuan komersial yang menggunakan

sebagian atau seluruh bangunan yang khusus disediakan bagi remaja untuk memperoleh pelayanan penginapan.

48. Pondokan adalah suatu usaha komersil yang menggunakan kamar untuk disewakan dengan pembayaran bulanan maupun tahunan.

(34)

slam terbuka atau kereta/kendaraan gandengan bawaan sendiri sebagai tempat menginap. 50. Restoran adalah salah satu jenis usaha jasa pangan yang bertempat disebagian atau

seluruh bangunan yang permanen, dilengkapi dengan perlatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan, penyimpanan, penyajian dan penjualan makanan dan minuman bagi umum di tempat usahanya dan memenuhi persyaratan yang ditentukan.

51. Rumah makan/warung nasi adalah setiap usaha komersial yang ruang lingkup kegiatannya menyediakan makanan dan minuman untuk umum di tempat usahanya. 52. Usaha Jasa Boga/Katering adalah kegiatan usaha milik perseorangan atau badan hukum

di bidang penyediaan makanan dan minuman yang dikelola secara komersil.

53. Coffee House adalah suatu kegiatan usaha jualan makan dan minuman yang dikelola secara komersil.

54. Usaha kawasan Pariwisata adalah setiap usaha komersial yang ruang lingkup kegiatannya menyediakan prasarana dan sarana untuk pengembangan pariwisata dalam suatu kawasan dengan luas tertentu.

BAB II

AZAS DAN TUJUAN

Pasal 2

(1) Setiap penyelenggaraan usaha kebudayaan dan pariwisata dilaksanakan berdasarkan azas manfaat, berprikehidupan dan keseimbangan kelestarian slam serta menjaga norms sosial budaya masyarakat;

(2) Usaha kebudayaan dan kepariwisataan bertujuan untuk memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, memupuk rasa cinta tanah air serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

BAB III

KETENTUAN DAN JENIS IZIN USAHA

Pasal 3

(1) Setiap usaha kepariwisataan yang berlokasi dalam daerah yang bergerak dalam ruang lingkup usaha jasa kepariwisataan, pengusahaan objek dan days tarik wisata serta usaha kepariwisataan, bidang tersebut harus mendapat izin usaha dari Bupati;

(2) Jenis Izin usaha terdiri dari :

a. lzin Sementara Usaha Pariwisata (ISUP) b. Izin Tetap Usaha Pariwisata (ITUP)

(3) Bentuk izin dan Jenis kegiatan usaha diatur lebih lanjut dalam Keputusan Bupati

Pasal 4

Jenis Usaha Pariwisata adalah terdiri dari a. Usaha Jasa Pariwisata, meliputi:

1. Jasa Biro Pedalanan.

2. Jasa Agen Pedalanan Wisata 3. Jasa Pramuwisata

4. Jasa Konvensi, Pedalanan Insentif dan Pameran (MICE). 5. Jasa Impresariat

(35)

7. Jasa Informasi Pariwisata

b. Pengusahaan Objek dan Daya Tarik Wisata, meliputi 1. Pengusaha Objek dan Daya Tarik Wisata Alam 2. Pengusaha Objek dan Daya Tarik Wisata Budaya.

3. Pengusaha Objek dan Daya Tarik Wisata Minat Khusus, yang mencakup wisata: Arung Jeram, Agro, Buru, Dayung, Ekologi, Lintas Hutan, Penelusuran Gua, Panjat Tebing, Selam dan Ziarah.

c. Usaha Sarana Pariwisata, meliputi:

1. Penyediaan Akomodasi, mencakup: Hotel Bintang, Hotel Melati, Pondok Wisata, Bumi Perkemahan, Bungalow, Cottage, Pondokan dan lain-lain.

2. Penyediaan Makan dan Minum, mencakup: Restoran, Rumah Makan, coffe house, katering, jasa bogs dan lain-lain.

3. Penyediaan Angkutan Wisata. 4. Penyediaan Sarana Wisata Tirta. 5. Kawasan Pariwisata.

d. Pengusahaan atraksi dan aneka wisata, selain atraksi alam, budaya dan minat khusus, dapat dikelompokkan sebagai berikut

1. Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum. 2. Gelanggang Renang.

TATA CARA MEMPEROLEH DAN JANGKA WAKTU BERLAKUNYA IZIN

Pasal 5

(1) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 pengusaha yang bersangkutan harus mengajukan permohonan kepada Bupati dengan dilengkapi persyaratan sebagai berikut:

a. akte pendirian perusahaan yang berbadan hukum. b. kantor/lokasi usaha yang jelas.

c. memiliki tenaga keda yang,berpengetahuan di bidang usahanya. d. modal yang cukup untuk menjalankan usahanya.

e. memenuhi ketentuan dan persyaratan pengusahaan lainnya.

(2) Bentuk, Tata Cara dan prosedur pengajuan permohonan izin usaha ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Bupati.

Referensi

Dokumen terkait

Izin Pengelolaan dan Pengusahaan Sarang Burung Walet yang selanjutnya disebut Izin adalah izin yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan

Sedangkan rata-rata lama menginap pada hotel/akomodasi lainnya selama Mei 2016 tercatat 1,35 hari menurun 0,16 hari jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya,

Sebagai kesimpulan, kebudayaan semula diartikan sebagai usaha memperbaiki hidup manusia dengan pendidikan, dan akhirnya berarti suatu usaha yang menyangkut kepentingan

Selain kedua sungai besar tersebut sebagai sistem tata air di Kota Sintang dan didukung oleh adanya sungai-sungai (anak sungai) kecil yang fungsinya sebagai drainase kota

Kita yakin bahwa segala sesuatunya yang dapat tergali dari dalamnya tidak hanya akan berguna bagi daerah yang bersangkutan saja, melainkan ju g a akan dapat

Setelah melakukan uji normalitas, langkah kedua adalah menguji homogenitas varians antara kelas eksperimen dan kontrol dengan uji F, uji F ini dilakukan untuk mengetahui

Analisis terhadap temuan di lapangan memperlihatkan variasi kondisi tenurial yakni: (a) Kabupaten Merangin khususnya dan Provinsi Jambi secara umum relatif memiliki banyak konflik

Tujuan penelitian adalah untuk membuat Model Perancangan Sistem Informasi Akuntansi Laporan Keuangan Pondok Pesantren berbasis SAK ETAP agar memudahkan Pondok