DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
A. Dasar Pemikiran 1
B. Tujuan 6
C. Sasaran Program Layanan Konseling Multibudaya 7
D. Konten Program Layanan Konseling Multibudaya 7
E. Mekanisme Implementasi Program Layanan Konseling Multibudaya 19
F. Evaluasi 21
G. Indikator Keberhasilan Implementasi Layanan Konseling Multibudaya untuk Meningkatkan Kompetensi Sosial Siswa
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu persoalan serius yang dihadapi pendidikan di Indonesia adalah
sering terjadinya tawuran atau perkelahian antar pelajar dan mahasiswa terutama
di kota-kota besar. Data Komnas PA merilis jumlah tawuran pelajar tahun ini
sebanyak 339 kasus dan memakan korban jiwa 82 orang. Di Bekasi Misalnya
Rabu (18/2), terjadi baku pukul antara pelajar putih abu-abu ini di depan
gelanggang Olah Raga Bekasi, jawa Barat. Seorang pelajar sekolah menengah
tewas karena tusukan di punggung yang menembus ke paru-paru. Di Sukabumi
aksi tawuran yang melibatkan dua sekolah kejuruan, yakni SMK Lodaya dan
SMK Dwi Darma. Pada aksi tawuran ini yang menjadi korban adalah Adi siswa
kelas dua SMK Lodaya terkena sabetan clurit milik siswa SMK Dwi Darma. Di
Purwakarta, Jawa Barat tawuran antar pelajar melibatkan siswa SMK teknik
Industri dan SMK Bintar. Kejadian dipicu saling ejek dan penghadangan siswa
SMK Teknik Industri terhadap SMK Bintar. (Sumber:
www.seputar-indonesia.com)
Ada dua faktor penyebab terjadinya tawuran antara pelajar dan mahasiswa
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu yang terdapat
dalam diri remaja seperti emosi yang tidak terkendali, mudah tersinggung,
sehingga saling mengejek yang menimbukan keinginan untuk balas dendam
1. Ketersinggungan salah satu kawan yang ditanggapi dengan rasa setia kawan
yang berlebihan.
2. Permasalahan yang sudah mengakar dalam sejarah yang menyebabkan pelajar
dua sekolah saling bermusuhan.
3. Jiwa premanisme yang tumbuh dalam jiwa pelajar.
Rasa setia kawan atau lebih dikenal dengan solidaritas adalah hal yang
lumrah kita temukan dalam kehidupan. Rasa setia kawan akan menjadi indah
manakala ditempatkan dalam posisi yang benar dan seimbang. Namun rasa setia
kawan yang buruk akan menyebabkan hal yang tidak baik. Persahabatan
berkontribusi pada status teman sebaya dan memberikan beberapa manfaat yang
lain (Parker & Asher, 1987):
1. Pertemanan. Persahabatan memberikan anak seorang teman akrab, seseorang
yang bersedia untuk menghabiskan waktu dengan mereka dan bergabung
dalam aktivitas kolaborative.
2. Dukungan fisik. Persahabatan memberikan sumber dan bantuan kapan pun
dibutuhkan.
3. Dukungan ego. Persahabatan membantu anak merasa bahwa mereka adalah
individu-individu yang berkompeten dan berharga. Selain itu adalah dukungan
sosial dari teman-temannya.
4. Keintiman/kasih sayang. Persahabatan memberi anak-anak suatu hubungan
yang hangat, penuh kepercayaan, dan dekat dengan orang lain. Dalam
hubungan ini, anak-anak merasa nyaman dan terbuka untuk berbagai
Mempunyai teman-teman yang terampil secara sosial dan sportif
merupakan suatu keuntungan dalam perkembangan. Namun memiliki
persahabatan yang dikendalikan dengan konflik dan paksaan bukanlah suatu
keuntungan dalam perkembangan. Para remaja mengatakan bahwa mereka lebih
bergantung kepada teman-teman mereka daripada dengan orang tua untuk
memuaskan kebutuhan pertemanan, perasaan berharga dan keintiman (Furman &
Buhrmester: 1992).
Hubungan dengan teman sebaya mempunyai berbagai macam fungsi, yang
banyak diantaranya dapat memfasilitasi proses belajar dan perkembangan anak.
Melalui hubungan teman sebaya, anak memperoleh kesempatan untuk belajar
keterampilan sosial yang penting untuk kehidupannya, terutama keterampilan
yang dibutuhkan untuk memulai dan memelihara hubungan sosial dan untuk
memcahkan konflik sosial, yang mencakup keterampilan berkomunikasi,
berkompromi, dan berdiplomasi (Asher et al., 1982- dalam Didi Tarsidi, 2010)
Adapun yang menjadi faktor eksternal yaitu pertama faktor keluarga
misalnya kekerasan dalam rumah, kekerasan yang dimaksud bukan hanya
individu pelajar saja yang menjadi korban kekerasan namun kekerasan yang
terjadi terhadap anggota keluarga yang lainnya. Kedua, faktor sekolah yang
kurang perhatian terhadap kegiatan orientasi sekolah yang cenderung
disalahgunakan oleh senior untuk dijadikan ajang balas dendam dari apa yang
pernah dia terima ketika mereka dulu menjadi junior.
Ketiga, faktor lingkungan masyarakat yang tidak menguntungkan bagi
kreativitas yang dimiliki oleh warga. Selain itu, dampak dari kemajuan teknologi
yang tidak dapat menyaring perilaku kurang baik yang mudah diakses dari
internet maupun media televisi tentang permusuhan, tawuran serta konflik di
masyarakat.
Fenomena tawuran antar pelajar yang sering terjadi menandakan bahwa
mereka tidak memiliki kompetensi sosial yang baik Hal tersebut dipertegas
dengan mudahnya siswa terutama siswa remaja terbakar emosinya dan
mengesampingkan daya nalar sehingga perilaku saling menghormati, menghargai,
dan menyayangi antar sesama tidak dihiraukan lagi. Untuk itu siswa remaja perlu
mendapatkan pengetahuan tentang menjalin hubungan yang baik terhadap teman
dan masyarakat. Jika aspek kompetensi sosial ini diabaikan dan tidak dibina
secara baik maka dapat diprediksi dikemudian hari akan terjadi kemerosotan
moral secara cepat pada generasi muda terutama remaja. Pembinaan kompetensi
sosial pada siswa khususnya siswa remaja memerlukan penanganan yang serius
karena aspek sosial merupakan salah satu aspek perkembangan remaja yang
signifikan guna tercapainya kematangan diri.
Menurut Megawangi (2003), anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi
yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter
sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang secara optimal.
Mengingat lingkungan anak bukan saja lingkungan keluarga yang sifatnya mikro,
maka semua pihak, keluarga, sekolah, media massa dan sebagainya turut andil
Dampak dari pertikaian antar pelajar yaitu siswa enggan masuk sekolah
bahkan banyak yang menjadi depresi sehingga prestasi belajar menurun. Hal itu
menjadikan miris dan mencoreng dunia pendidikan karena pendidikan juga
merupakan salah satu media paling efektif untuk melahirkan generasi yang lebih
baik untuk memimpin bangsa.
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki multi budaya. Sampai
saat ini tercatat lebih dari 500 etnik yang menggunakan lebih dari 250 bahasa
(Suryadinata, 1999 dalam http://adisanjaya24blogspot.com). Keragaman budaya
yang dimiliki menjadi aset yang sangat berharga sehingga Indonesia menjadi
terkenal di dunia Internasional. Suwanto (2010: 55) mengemukakan bahwa dalam
kehidupan masyarakat majemuk diperlukan toleransi dan integrasi sosial sebagai
usaha untuk menjalin hubungan yang serasi dengan berbagai individu yang
berasal dari lingkungan sosial budaya yang berbeda.
Penyelesaian konflik antar pelajar secara sistematis lewat jalur pendidikan
merupakan salah satu alternatif strategis yang penting untuk dipertimbangkan,
karena salah satu tujuan pendidikan adalah menyiapkan peserta didik untuk
meningkatkan kepekaan sosial dan tampilan personal yang empatik. Pendidikan
juga pada hakekatnya merupakan proses pembentukan budaya Indonesia yang
memiliki keragaman yang disebut dengan “Bhineka Tunggal Ika” dapat memberi
ide untuk menciptakan suatu model pendidikan yang dapat mengakomodir
keragaman, sehingga menjadi satu kekuatan dalam membangun karakter
keragaman, serta dapat menjadikan negara yang aman tentram, berbudaya, dan
dihargai bangsa lain.
Pendidikan merupakan kunci untuk menanamkan moral dan perilaku
dalam rangka memelihara keteraturan sosial yang diinginkan. Disamping
menanamkan ilmu pengetahuan, sekolah harus membantu mengembangkan rasa
kesetiaan terhadap negara. Hal ini dapat diartikan bahwa sekolah tidak hanya
mengasah aspek yang berkenaan dengan sisi akademik saja namun perlu
mengasah aspek non akdemis seperti perasaan atau soft skill.
Kebudayaan secara sepesifik menanamkan konsep-konsep,
gagasan-gagasan dan keyakinan yang unik, dengan demikian anak-anak dari latar belakang
budaya yang berbeda akan mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan cara
berfikir yang berbeda pula. Apabila sekolah ingin berhasil mendidik anak menjadi
individu yang berkarakter yaitu individu yang berakhlak baik dan memahami
nilai-nilai budaya, maka hendaknya memperhatikan kebudayaan yang dimiliki
setiap peserta didik, sehingga mereka merasa bangga dengan budayanya, dan ini
akan menjadi pemersatu dan saling menghargai satu sama lain.
Dirjarkara (Naim & Sauqi, 2008) menjelaskan bahwa pendidikan adalah
suatu perbuatan fundamental dalam bentuk komunikasi antar pribadi, dan dalam
komunikasi tersebut terjadi proses pemanusiaan manusia (hominisasi) dan proses
pengembangan kemanusiaan manusia (humanisasi). Dengan demikian pendidikan
harus membantu orang agar tahu dan mampu bertindak sebagai manusia.
Selanjutnya Sudarminata (Naim & Sauqi, 2008) menjelaskan bahwa pendidikan
serta latihan untuk membantu anak didik mengalami proses pemanusiaan diri ke
arah tercapainya pribadi yang dewasa susila.
Selanjutnya bila melihat kembali fenomena tawuran yang sering terjadi
dalam dunia pendidikan saat ini terutama yang dilakukan oleh para siswa remaja
seperti tawuran antar siswa SMA/SMK atau maraknya geng motor yang sering
merusak bahkan melukai sampai membunuh orang yang ditemuinya, hal tersebut
tentu sangat bertolak belakang dengan salah satu misi pendidikan yaitu
memanusiakan manusia secara manusiawi (humanisasi). Fenomena tersebut dapat
dipahami karena remaja adalah individu yang berada pada masa yang penuh
dengan permasalahan. Lustin Pikunas mendefinisikan remaja sebagai masa yang
dikenal dengan masa strom and stress, frustrasi dan penderitaan, konflik dan krisis
penyesuiaan, mimpi dan melamun tentang cinta, dan perasaan teralineasi
(tersisihkan) dari kehidupan sosial budaya orang dewasa. (Yusuf, 2004: 184).
Pentingnya pengetahuan dan pemahaman kompetensi sosial dimiliki oleh
siswa khususnya siswa remaja agar siswa mampu menempatkan diri secara efektif
maka diperlukan suatu upaya untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa. Upaya
tersebut dapat dikemas dalam bentuk layanan konseling multibudaya karena
dalam layanan konseling multibudaya, siswa difasilitasi untuk mampu memahami
psikofisik diri sendiri dan psikofisik orang lain sehingga mampu menempatkan
diri secara efektif dilingkungan tempat siswa hidup.
Seorang konselor dituntut untuk memahami nilai-niai dari subkultur yang
harus memikirkan cara untuk meningkatkan layanan mereka dengan cara
mengembangkan program yang menjangkau semua siswa.
Layanan konseling multibudaya dalam konteks lembaga pendidikan
(sekolah) lebih menitikberatkan pada relasi layanan konselor professional dengan
siswa yang didalamnya terdapat penghargaan yang berarti terhadap konteks
budaya. Dalam proses layanan konseling multibudaya tersebut konselor dituntut
secara penuh memahami aspek bahasa, nilai, keyakinan, kelas sosial, tingkatan
akulturasi, ras dan etnis dari konseli (siswa) dan selalu menggunakan teknik dan
intervensi konseling yang konsiten dengan nilai budaya tersebut.
Kenyataannya di Sekolah Menengah Atas (SMA) BPI 2 Kota Bandung
ditemukan keragaman siswa dalam berbagai hal seperti budaya, sosial ekonomi,
dan latar belakang keluarga, sehingga berpengaruh terhadap kompetensi sosial
setiap siswa. Hal ini akan menjadi suatu pekerjaan bagi pihak sekolah termasuk
kepala sekolah, guru, konselor, dan staf lain agar dapat memberikan pemahaman
kepada siswa untuk hidup bersama dalam perbedaan dengan cara meningkatkan
kompetensi sosial yang lebih baik diantara siswa.
Upaya yang dilaksanakan sekolah selama ini untuk meningkatkan
kompetensi sosial antara lain: setiap hari Jumat diwajibkan untuk mengikuti
kegiatan solat Dhuha berjamaah yang diteruskan dengan ceramah keagamaan bagi
mereka yang beragam Islam, begitu juga bagi mereka yang beragama Kristen
mengikuti kegiatan kerohanian. Selain itu siswa diwajibkan melaksanakan solat
dzuhur berjamaah karena sekolah dilaksanakan sampai pukul 15.00. Untuk
membutuhkan bantuan, setiap kelas mengedarkan semacam kencleng yang diisi
dengan sukarela setiap minggu sekali di hari jumat.
Hal lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa
yaitu dengan layanan konseling multibudaya yang diharapkan akan menimbulkan
kesadaran dan pemahaman secara luas yang diwujudkan dalam sikap yang toleran
terhadap semua keragaman sehingga masalah tawuran, bullying, dan
permasalahan dapat dicegah. Layanan konseling multibudaya dapat berperan
membantu individu dan kelompok yang menggunakan perawatan sesuai dengan
pengalaman hidup dan nilai kultur konseli. Peningkatan kompetensi sosial siswa
perlu dilakukan sebagai respon terhadap fenomena-fenomena negatif yang
dilakukan oleh siswa yang bersumber pada kompetensi sosial terutama
penempatan diri, penerimaan diri serta penerimaan diri orang lain yang masih
rendah. Selanjutnya layanan konseling multibudaya untuk mengingkatkan
kompetensi sosial siswa tersebut dikemas dalam suasana kelompok berdasarkan
keuntungan-keuntungan yang didapat dari kontribusi kelompok terhadap perilaku
anggota kelompok.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugraha (2012) menunjukkan bahwa
penerapan konten-konten multibudaya efektif untuk meningkatkan kepekaan
multibudaya calon konselor, dengan peningkatan skor sebesar 19,47%. Sebelum
dilakukan penelitian capaian kepekaan multibudaya calon konselor sebesar
71,12%, namun setelah dilakukan tingkat pencapaian kepekaan multibudaya
Adapun hasil penelitian lain yang relevan adalah hasil penelitian Morina
(2009: 87), diketahui bahwa sebanyak 71,71% siswa mengalami kesulitan
menjalin hubungan interpersonal dengan guru bidang studi, 71,24% siswa
menunjukkan tidak memiliki minat dan partisipasi terhadap kegiatan
ekstrakurikuler.
Berdasarkan rasional tersebut penelitian ini difokuskan pada peningkatan
kompetensi sosial siswa yang dikemas dalam program layanan konseling
multibudaya dengan suasana kelompok yang aktif, partisifatif dan reflektif. Di
dalam program layanan konseling multibudaya untuk mengingkatkan kompetensi
sosial siswa terdapat kegiatan-kegiatan yang memfasilitasi siswa untuk
meningkatkan kompetensi siswa.
B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Permasalahan serius yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia dewasa ini
adalah sering terjadinya tawuran antar pelajar, salah satu pemicunya dikarenakan
siswa kurang memiliki kompetensi sosial. Sedangkan kompetensi sosial itu
merupakan suatu aspek dasar yang harus dimiliki oleh individu terutama remaja
sebagai salah satu media atau cara yang positif untuk mencapai suatu tujuan
dalam memenuhi kebutuhan.
Selanjutnya menurut Goleman (1969:435) kompetensi sosial tidak dapat
dicapai dengan mempelajari teknik-teknik tertentu atau keterampilan tertentu
tetapi kompetensi sosial tumbuh dengan sendirinya melalui kondisi-kondisi
dan menerima tanggung jawab yang diberikan; (b) memandang diri dan orang lain
secara realistis; (c) mampu berkomunikasi dan sesuai struktur dalam suatu
hubungan; dan (d) kemampuan dan kesediaan untuk memberi sesuai kebutuhan
orang lain.
Mencermati begitu pentingnya kompetensi sosial dimiliki dan terbangun
secara optimal pada diri siswa sebagai suatu aspek dasar dalam penyesuaian diri
dan pencapaian tujuan diri maka diperlukan suatu upaya yang difokuskan untuk
meningkatkan kompetensi sosial siswa. Peningkatan kompetensi sosial siswa
dilakukan guna memfasilitasi siswa terutama siswa remaja menjadi pribadi yang
matang. Salah satu upaya untuk meningkatkan kompetensi sosial pada siswa SMA
yaitu dengan diberikannya konseling multibudaya supaya mereka mampu
menghargai perbedaan yang dimiliki oleh setiap individu.
Berdasarkan pada pemaparan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam penelitian ini “Program Konseling Multibudaya Bagaimana yang
Efektif untuk Meningkatkan Kompetensi Sosial Siswa di Sekolah Menengah
Atas”.
Secara rinci pertanyaan dalam penelitian ini dipaparkan sebagai berikut:
1. Seperti apa profil kompetensi sosial siswa SMA BPI 2 di Kota Bandung
tahun ajaran 2011/2012?
2. Bagaimana rumusan program konseling multibudaya untuk meningkatkan
kompetensi sosial siswa di SMA BPI 2 Kota Bandung tahun ajaran
3. Bagaimana tingkat efektivitas program konseling multibudaya untuk
meningkatkan kompetensi sosial siswa SMA BPI 2 Kota Bandung tahun
ajaran 2011/2012?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menyusun program konseling
multibudaya. Tujuan penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui profil kompetensi sosial siswa SMA BPI 2 di Kota
Bandung tahun ajaran 2011/2012?
2. Untuk mengembangkan rumusan program konseling multibudaya dalam
meningkatkan kompetensi sosial siswa di SMA BPI 2 Kota Bandung tahun
ajaran 2011/2012?
3. Untuk mengetahui efektivitas program konseling multibudaya untuk
meningkatkan kompetensi sosial siswa SMA BPI 2 Kota Bandung tahun
ajaran 2011/2012?
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis, penelitian ini bermanfaat dalam memperkaya dan
mengembangkan program konseling multibudaya dalam meningkatkan
kompetensi sosial siswa di SMA.
2. Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh
konseling multibudaya kepada peserta didik di SMA BPI 2 Kota
Bandung.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan menghasilkan program konseling multibudaya
yang efektif dalam meningkatkan kompetensi sosial siswa SMA. Pendekatan
penelitian yang digunakan yaitu kuantitatif-kualitatif dengan metode penelitian
pra eksperimen dengan pretest-posttest one group design. Pengumpulan data
menggunakan angket kompetensi sosial dengan teknik analisis statistika
inferensial.
Langkah-langkah penelitian dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu Studi
eksploratif, penyusunan program layanan konseling multibudaya dan validasi, dan
uji coba lapangan. Pada studi eksploratif dilakukan kajian literature tentang
konseling multibudaya, kompetensi sosial, dan kajian empirik mengenai
kompetensi sosial siswa SMA BPI 2 Kota Bandung. Sintesis hasil studi
pendahuluan menjadi dasar untuk pengembangan program hipotetik konseling
multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa SMA yang selanjutnya
divalidasi secara rasional oleh pakar bimbingan dan konseling. Berikutnya
dilakukan validasi empirik melalui ujicoba lapangan dengan pretest-posttest.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA BPI 2 Bandung
tahun ajaran 2011-2012 sebanyak 74 siswa, dan sampel sebanyak 12 orang siswa
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Metode Penelitian
Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan
kuantitatif digunakan untuk memungkinkannya pencatatan dan analisis data hasil
penelitian secara numerik menggunakan perhitungan statistik mengenai
efektivitas layanan konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial
siswa. Sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk memungkinkan
dilakukannya pencatatan selama observasi sebagai penunjang data.
Metode penelitian yang digunakan yaitu pra eksperimen, yakni
mengujicobakan layanan konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi
sosial siswa pada satu kelompok eksperimen tanpa adanya kelompok kontrol.
Selanjutnya desain penelitian menggunakan pretest-posttest one group design
dimana adanya pemberian tes awal sebelum diberi tindakan dan tes akhir setelah
diberi tindakan pada kelompok eksperimen.
Selanjutnya berdasar pada tujuan penelitian maka secara operasional
langkah-langkah pengembangan layanan konseling multibudaya yang akan
digunakan untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa yaitu sebagai berikut :
1. Studi eksploratif, merupakan langkah untuk memperoleh pemahaman yang
mendalam tentang kondisi objektif lapangan sebagai dasar
terselenggarakannya penelitian. Terdapat tiga kegiatan dalam langkah ini
assessment), (b) pemahaman yang mendalam tentang kondisi objektif
lapangan dalam mendukung keterlakasanaan penelitian, (c) studi pustaka,
merupakan proses pencarian merumuskan kerangka teoritik layanan
konseling multibudaya dalam meningkatkan kompetensi sosial siswa
khususnya yang berkaitan dengan konsep, teori, dan laporan penelitian
tentang (a) konseling multibudaya, (b) perkembangan aspek sosial remaja,
(c) kompetensi sosial siswa remaja, (d) kegiatan-kegiatan untuk
meningkatkan kompetensi sosial siswa.
2. Penyusunan program layanan konseling multibudaya dan validasi. Dalam
kegiatan ini dirumuskan secara hipotetik tujuan penyusunan layanan
konseling multibudaya, yaitu dihasilkannya layanan konseling multibudaya
yang dapat meningkatkan kompetensi sosial siswa. Selanjutnya penetapan
kriteria layanan konseling multibudaya yaitu kriteria materi kegiatan
disesuaikan dengan aspek-aspek kompetensi sosial dalam penelitian ini.
Layanan konseling multibudaya yang dikembangkan merupakan kegiatan
yang praktis dan layak secara teoritis untuk meningkatkan kompetensi sosial
siswa. Model hipotetik yang dikembangkan dibangun dengan komponen
model yang meliputi (a) rasional, (b) tujuan, (c) mekanisme dan
langkah-langkah, (d) strategi dan teknik pelaksanaan, (e) kriteria keberhasilan, dan
(f) model evaluasi. Setelah kegiatan ini dilanjutkan dengan verifikasi dan
validasi oleh Pakar dan Praktisi; Pakar yang akan diminta untuk memberi
timbangan tentang kelayakan model hipotetik adalah : (1) pakar dan praktisi
multibudaya. Selanjutnya revisi program layanan konseling, pada tahapan
revisi layanan dilakukan perumusan kembali layanan konseling multibudaya
hipotetik yang telah divalidasi oleh para pakar dan praktisi dengan
mengakomodasi saran-saran dan rekomendasi yang telah diberikan. Target
utama dari tahapan ini adalah diperolehnya rumusan layanan konseling
multibudaya yang siap diujicobakan.
3. Uji coba lapangan untuk mengetahui keterlaksanaan dan keefektifan
layanan konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial
siswa yang telah teruji menurut uji kelayakan dan menghasilkan program
konseling multibudaya yang telah teruji.
Secara skematis langkah-langkah kegiatan penelitian di atas digambarkan
Selanjutnya alur tahapan pelaksanaan layanan konseling multibudaya
untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa dalam penelitian ini meliputi
beberapa tahap sebagai berikut.
1. Tahap Persiapan
Tahap ini meliputi kegiatan sebagai berikut :
a. Penyusunan proposal penelitian dan konsultasi proposal bersama dosen
pembimbing akademik dan disahkan dengan persetujuan dari dewan
penguji proposal penelitian dan ketua program studi.
b. Mengajukan permohonan pengangkatan dosen pembimbing disertasi
pada tingkat Sekolah Pascasarjana.
c. Mengajukan permohonan izin penelitian dari Pogram Studi Bimbingan
dan Konseling yang memberikan rekomendasi untuk melanjutkan ke
tingkat Sekolah Pascasarjana dan rektor UPI. Selanjutnya mengajukan
permohonan penelitian pada SMA BPI 2 Kota Bandung.
2. Tahap Pelaksanaan
Tahap ini meliputi kegiatan sebagai berikut :
a. Menguji coba kelayakan instrumen kompetensi sosial siswa pada siswa
kelas X SMA BPI 2 Kota Bandung secara acak sebanyak 74 orang
tahun ajaran 2011-2012.
b.Mengumpulkan data studi pendahuluan untuk mengetahui need
assessment dan juga sebagai data pre-test dengan menyebarkan
c. Menentukan sampel penelitian yaitu siswa kelas X tahun akademik
2011/2012. Sampel penelitian ditentukan berdasarkan tingkat
komptensi sosial siswa yang berada dibawah kategori sedang.
d. Pelaksanaan layanan konseling multibudaya untuk meningkatkan
kompetensi sosial siswa kelas X SMA BPI 2 Kota Bandung pada
tanggal 1 Juni - 29 Juni 2012 bertempat di ruang kelas X lantai 1
Gedung SMA BPI 2 Kota Bandung.
e. Mengumpulkan data post-test untuk memperoleh data efektivitas
layanan konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial
siswa.
3. Tahap Akhir
Pada tahap akhir dilakukan pengolahan dan menganalisis data tentang
efektivitas layanan konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial
siswa serta kesimpulan dari hasil penelitian dan rekomendasi untuk penelitian
selanjutnya.
B. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA BPI 2 Kota
Bandung tahun ajaran 2011-2012 dengan kriteria : (a). Terdaftar secara
administratif sebagai siswa SMA BPI 2 Kota Bandung dan (b). Masih aktif
mengikuti kegiatan belajar mengajar di SMA BPI 2 Kota Bandung.
Penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive
pertimbangan-pertimbangan tertentu atau tujuan tertentu. (Riduwan, 2006).
Pertimbangan dan tujuan tertentu yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
pemilihan sampel berdasarkan pada data siswa yang memiliki kompetensi sosial
kurang berdasarkan studi pendahuluan. Studi pendahuluan yang dilakukan
terhadap 74 siswa kelas X SMA BPI 2 Kota Bandung tahun ajaran 2011/2012
diketahui sebanyak 12 orang siswa tingkat kompetensi sosialnya berada pada
kategori rendah sehingga 12 orang siswa tersebut perlu ditingkatkan kepekaan
multibudayanya dan mendapatkan intervensi sesuai dengan fokus masalah
penelitian.
C. Definisi Operasional Variabel
Terdapat dua variabel utama dari penelitian ini yaitu variabel bebas dan
variable terikat. Variable bebas dalam penelitian ini adalah layanan konseling
multibuadaya sedangkan variabel terikat penelitian adalah kompetensi sosial.
Berikut dikemukakan penjelasan beberapa hal yang berkaitan dengan
variabel-variabel secara operasional.
1. Konseling Multibudaya
Konseling multibudaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses
konseling yang dilakukan oleh konselor dengan memperhatikan keragaman siswa
dalam hal: latarbelakang budaya, sosial ekonomi, keyakinan, kemampuan,
kepribadian, dan sebagainya dimana terdapat transformasi pengalaman dari
konasi dalam suasana yang menyenangkan sebagai sumber belajar dengan tujuan
untuk meningkatkan kompetensi sosial
Layanan konseling multibudaya yang diaplikasikan disusun berdasarkan
aspek-aspek kepekaan multibudaya yang akan dikembangkan dan berdasarkan
hasil kebutuhan dasar (need assessment) dari studi pendahuluan. Layanan
konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa secara
operasional dilakukan dengan proses dinamika kelompok.
2. Kompetensi sosial
Berdasarkan beberapa batasan definisi teoritis dan empiris yang dimaksud
dengan kompetensi sosial dalam penelitian ini merupakan kemampuan siswa
dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungannya, terutama dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat siswa tersebut tinggal yang ditandai
dengan aspek sebagai berikut.
a. Environment behavior (perilaku berkenaan dengan lingkungan), yaitu
kemampuan memandang orang-orang di sekitar individu sesuai norma
yang dianut pada lingkungan tertentu yang terdiri dari indikator peduli
lingkungan, keadaan darurat dan mengitari lingkungan
b. Interpersonal behavior (perilaku interpersonal), yaitu berperilaku positif
dengan lingkungan sosialnya yang terdiri dari indikator menerima
otoritas, mengatasi konflik, membantu orang lain, menghormati privasi
orang lain, komunikasi.
sendiri yang terdiri dari indikator menerima konsekuensi, sikap positif
terhadap diri sendiri, dan bertanggungjawab.
d. Task-related behavior (perilaku yang berhubungan dengan tugas), yaitu
berperilaku sesuai dengan tuntutan dan kewajiban untuk mendapatkan
penghargaan sosial yang terdiri dari indikator diskusi kelas dan
menyelesaikan tugas.
D. Pengembangan Instrumen Penelitian
1. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua instrumen, pertama instrumen
pengungkap data yang dikembangkan berdasarkan konstruk kompetensi sosial
siswa dikemukakan oleh Hurlock (1980: 213); Goleman (1969: 435); dan
(Cartledge & Milburn, 1992: 335-359).
Kedua, instrumen yang dikemas dalam bentuk jurnal kegiatan harian.
Jurnal kegiatan harian adalah instrumen yang digunakan untuk mengungkap
apresiasi peserta terhadap pelaksanaan layanan konseling multibudaya pada setiap
sesi. Selanjutnya kisi-kisi instrumen kompetensi sosial siswa disajikan dalam
Tabel 3.1
Kisi-Kisi Instrumen Kompetensi Sosial Siswa SMA Sebelum Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Variabel Aspek Indikator No Item
Kompetensi Sosial
Penimbangan instrument dilakukan untuk memperoleh item angket yang
layak pakai. Instrumen penelitian ditimbang oleh tiga orang penimbang untuk
dikaji secara rasional dari segi isi dan redaksi item, serta ditelaah kesesuaian item
dengan aspek-aspek yang diungkap. Ketiga penimbang tersebut adalah Dr. Ipah
saripah, Dr. Mubiar dan Dr. Ilfiandra yang memiliki keahlian dan pengalaman
Setiap penimbang memberikan koreksinya. Item yang menurut penimbang
kurang layak, baik secara konstruk maupun kebahasaannya, dilakukan revisi
seperlunya sesuai dengan saran-saran para penimbang tersebut.
Pada langkah berikutnya sebelum dilakukan uji coba instrument,
dihadirkan lima orang siswa dan dua orang guru untuk melakukan keterbacaan
terhadap setiap butir item instrument. Setiap masukan yang diberikan dijadikan
bahan untuk perbaikan dan pengembangan instrument yang akan diujicobakan.
3. Validitas Item dan Reliabilitas Instrumen
a. Pengujian Validitas Item
Langkah uji validitas butir pernyataan (item) dilakukan dengan
menggunakan korelasi item total product moment untuk mencari validitas item
dan untuk melihat signifikansi menggunakan bantuan program Microsoft Excel
2007.
Hasil pengujian validitas instrumen kompetensi sosial dengan menggunakan
teknik item total product moment, dari 69 butir pernyataan yang disusun terdapat
6 item pernyataan yang dinyatakan tidak valid dengan nomor pernyataan 2,8, 25,
42, 50, dan 51.
b. Reliabilitas Instrumen
Setelah diuji validitas setiap item selanjutnya alat pengumpul data tersebut
diuji tingkat reliabilitasnya. Realibilitas berhubungan dengan masalah ketetapan
instrumen tersebut sudah baik. Instrumen yang dipercaya atau reliabel akan
menghasilkan data yang dapat dipercaya juga. Apabila datanya memang benar
sesuai dengan kenyataannya, maka berapakalipun diambil, tetap akan sama.
Dalam pengujian reliabilitas instrumen, digunakan bantuan perhitungan
dengan Alpha.
Tabel 3. 2
Indeks Korelasi Menurut Guilford
No. Indeks Koefisien Korelasi
Kualifikasi
1 = 1,00 Korelasi sempurna
2 0,90 – 1,00 Korelasi sekali
3 0,70 – 0,90 Korelasi tinggi
4 0,40 – 0,70 Korelasi sedang
5 0,20 – 0,40 Korelasi rendah
6 Kurang dari 0,20 Tidak ada korelasi
Hasil uji reliabilitas instrumen kompetensi sosial dengan menggunakan
bantuan program Microsoft Office Excel 2007 diperoleh koefisien reliabilitas (a)
sebesar 0,88. Mengacu pada klasifikasi rentang koefisien Guilford (Subino,
1987), koefisien reliabilitas (a) sebesar 0,88 ternasuk ke dalam kategori korelasi
tinggi.
E. Teknik Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data
1. Pedoman Skoring
Instrumen pengungkap data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
skala psikologi yang diaplikasikan dengan format skala penilaian sikap dengan
alternatif respon pernyataan sebanyak tiga respon. Ketiga alternatif respon
cukup; dan 3) Tidak Pernah (TP) diartikan kurang. Secara sederhana, setiap
alternatif respon mengandung arti dan nilai skor sebagai berikut.
Tabel 3. 3
Pola Skor Opsi Alternatif Respon
Pernyataan
Opsi Alternatif
Respons
S K TP
Favorabel (+) 3 2 1
Un-Favorabel (-) 1 2 3
2. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrument angket dan
observasi agar data yang diperoleh sesuai dengan tujuan penelitian. Data yang
diperlukan dalam penelitian ini berupa data tentang kompetensi sosial siswa serta
efektivitas layanan konseling multibudaya untuk meningkatkan kompetensi sosial
siswa sehingga pengumpulan data dilakukan secara dua kali, yaitu pretest dan
posttest dengan menggunakan isntrumen yang sama.
Observasi dilakukan dengan menggunakan jurnal harian yang berisi
beberapa pernyataan refleksi dari kegiatan konseling yang diisi setelah siswa
mengikuti layanan konseling.
3. Teknik Analisis Data
a. Profil Kompetensi Sosial Siswa
Langkah-langkah dalam membuat profil tingkat kompetensi sosial siswa
1) Menentukan skor maksimal ideal yang diperoleh sampel:
Skor maksimal ideal = jumlah soal x skor tertinggi
Aspek Skor Maksimal Ideal
Keseluruhan = 63 x 3 = 189
Aspek 1 = 8 x 3 = 24
Aspek 2 = 34 x 3 = 102
Aspek 3 = 10 x 3 = 30
Aspek 4 = 11 x 3 = 33
2) Menentukan skor minimal ideal yang diperoleh sampel:
Skor minimal ideal = jumlah skor x skor terendah
Aspek Skor Minimal Ideal
Keseluruhan = 63 x 1 = 63
Aspek 1 = 8 x 1 = 8
Aspek 2 = 34 x 1 = 34
Aspek 3 = 10 x 1 = 10
Aspek 4 = 11 x 1 = 11
3) Mencari rentang skor ideal yang diperoleh sampel :
Rentang skor = skor maksimal ideal – skor minimal ideal
Aspek Rentang Skor
4) Mencari interval skor :
Interval skor = rentang skor / 3
Aspek Interval Skor
Berdasarkan langkah-langkah di atas, kemudian didapat kriteria sebagai
berikut :
Tabel 3.4
Kriteria Profil Tingkat Kompetensi Sosial Siswa
Aspek Kriteria Interval
Setiap kategori interval diasumsikan mengandung pengertian sebagai
berikut.
Cukup : Siswa pada level ini memiliki kompetensi sosial yang cukup optimal pada setiap aspeknya, dengan kata lain siswa pada level ini mampu berinteraksi secara efektif dengan lingkungannya, terutama dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat siswa tersebut tinggal cukup optimal.
Kurang : Siswa pada level ini memiliki kompetensi sosial yang kurang optimal pada setiap aspeknya, dengan kata lain siswa pada level ini mampu berinteraksi secara efektif dengan lingkungannya, terutama dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat siswa tersebut tinggal kurang optimal.
b. Pengujian Hipotesis
Sebelum pengujian hipotesis dilakukan, dilakukan uji normalitas dengan
menggunakan statistik uji Z Kolmogrov-Smirnov (p > 0,05) dengan menggunakan
bantuan SPSS 18.0. Pengujian efektivitas layanan konseling multibudaya untuk
meningkatkan kompetensi sosial siswa dilakukan dengan uji t berpasangan
(paired sample t test) sebagai berikut:
a. Dasar pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan dilakukan dengan dua cara, yaitu
membandingkan nilai t hitung dengan t tabel atau dengan membandingkan nilai
probabilitas yang diperoleh dengan α = 0,05.
Jika pengambilan keputusannya berdasarkan nilai t hitung maka
kriterianya adalah Ho diterima jika – t 1–½ α < t hitung < t 1–½ α, dimana t 1–½ α
didapat dari daftar tabel t dengan dk = (n1 + n2– 1) dan peluang 1- ½ α. Untuk
harga-harga t lainnya Ho ditolak.
Jika pengambilan keputusannya berdasarkan angka probabilitas (nilai
p), maka kriterianya adalah:
2) Jika nilai p > 0,05, maka Ho diterima
b. Mencari t hitung
Tahapan mencari t hitung adalah sebagai berikut:
1) Menghitung selisih (d), yaitu data pretest – data posttest.
2) Menghitung total d, lalu mencari mean d.
3) Menghitung d – (d rata-rata), kemudian mengkuadratkan selisih tersebut, dan
menghitung total kuadrat selisih tersebut.
4) Mencari Sd2, dengan rumus:
Sd2 = 1
�−1 x [total (d – d rata-rata) 2
]
5) Mencari t hitung dengan rumus:
t
hitung=
� �� �Keterangan:
� : rata-rata d Sd : Standar deviasi
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis serta pembahasan data empiris penelitian,
maka dapat disimpulkan bahwa tujuan penelitian telah tercapai yaitu dengan
diperolehnya program layanan konseling multibudaya untuk meningkatkan
kompetensi sosial siswa. Selanjutnya secara rinci terdapat beberápa
kesimpulan yang berkaitan dengan hasil penelitian yang telah dilaksanakan,
yaitu sebagai berikut.
1. Pada umumnya siswa kelas X SMA BPI 2 Bandung Tahun Akademik
2011/2012 memiliki kompetensi sosial yang cukup baik dalam berinteraksi
secara efektif dengan lingkungannya, terutama dalam menyesuaikan diri
dengan lingkungan; memandang orang-orang di sekitar individu sesuai
norma yang dianut pada lingkungan tertentu; berperilaku positif dengan
lingkungan sosialnya; berperilaku atas dasar pertimbangan dan
penghayatan terhadap diri sendiri; serta berperilaku sesuai dengan tuntutan
dan kewajiban untuk mendapatkan penghargaan sosial.
2. Rumusan program layanan konseling multibudaya untuk meningkatkan
kompetensi sosial siswa kelas X SMA BPI 2 Bandung Tahun Akademik
2011/2012, berisi (a) Dasar pemikiran, (b) tujuan, (c) sasaran, (d)
konten/materi, (f) mekanisme implementasi, (g) indikator keberhasilan dan
3. Progam layanan konseling multibudaya efektif meningkatkan kompetensi
sosial siswa secara keseluruhan terutama dalam aspek perilaku yang
berhubungan dengan interpersonal, akan tetapi masih terdapat yang kurang
efektif dalam aspek perilaku yang berhubungan dengan lingkungan,
berhubungan dengan diri sendiri dan berhubungan dengan tugas.
B. Saran
Hasil penelitian ini memberikan implikasi kepada berbagai pihak
sehingga disarankan melakukan pengkajian lebih jauh untuk meningkatkan bidang
keilmuan bimbingan dan konseling multibudaya, seperti hal-hal berikut ini.
1. Bagi Sekolah
Untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa ke arah yang lebih baik,
seperti untuk menggugah rasa peduli lingkungan, sekolah hendaknya
menciptakan lingkungan sekolah yang asri dan bersih, yang wajib dipelihara dan
dijaga oleh semua, kemudian untuk meningkatkan perilaku yang berhubungan
dengan interpersonal sekolah menyelenggarakan kegiatan yang diikuti oleh semua
siswa,guru dan staf lain, sehingga terbangun kebersamaan dan kedekatan diantara
semua warga di sekolah. Selain itu sekolah menyelenggarakan kegiatan unjuk
kebolehan/ kemampuan siswa dalam mengembangkan potensi akademik maupun
potensi lain sepertu musik, spatsial ruang dan kinistetik, sehingga siswa saling
menghargai terhadap kemampuan dan keberadaan orang lain.
2. Bagi Praktisi Bimbingan dan Konseling di SMA BPI 2 Bandung
memfasilitasi secara kognitif untuk menggugah kesadaran, pemahaman, dan
kemampuan menempatkan diri siswa secara efektif dalam meningkatkan
kompetensi sosial siswa terutama berinteraksi secara efektif dengan
lingkungannya, terutama dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan;
memandang orang-orang di sekitar individu sesuai norma yang dianut oleh
lingkungan tersebut.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian dengan
penelaahan yang mendalam terhadap kompetensi sosial siswa yang masih kurang
efektif seperti aspek perilaku yang berhubungan dengan lingkungan, berhubungan
DAFTAR PUSTAKA
Adam, G. R., (1983). Social Competence During Adolescence: Social Sensitivity, Locus of Control, And Peer Popularity. Journal of Youth and Adolescence. Vol. 12, No. 03, 203-211.
Ahira, Anne. (2012). Penyebab Terjadinya Tawuran Antar Pelajar. (online). Tersedia di: http://www.anneahira.com/tawuran-antar-pelajar.htm. (3 September 2012).
Arrendodo, P. et. al. (1996). Operationalization of the Multicultural Counseling Competencies. Alexandria: AMCD.
Baruth, Leroy G. & Manning, M. Lee. (2007). Multicultural Counseling and Psychotherapy; A Lifespan Approach. Boston: Pearson.
Bellack, A.S. & Hersen, M., (1977). Behavior Modification: An Introductory Textbook. Baltimore: Williams & Wilkins.
Blocher. (1974). Develompental Counseling. New York : John Willey & Sons.
Buckley, Roger, Caple, Jim. (1991). One-to-One Training and Coaching Skills. London: Kogan Page.
Bredekamp, S., & Copple, C. (Eds). (1997). Developmentally Appropriate Practice In Early Childhood Programs (rev. ed.). Washington, DC: National Association for The Education of Young Children
Brown,S., & kysilka, M. (2002). Adolescents’ relationships with peers. In R. lerner &
L. Steinberg (Eds.), Handbook of adolescent psychology (2nd ed). New York:
Wiley.
Cartledge, G & Milburn, J.F. (1992). Teaching Social Skills To Children (3rd Edition). New York: Pergamon Press.
Cultural Sensitivity. (Online). Tersedia di: http://www.sac..edu/students/
admissions/international_students/career_life2/culture.htm. (31 Januari 2008).
Desvi, Yanti. (2005). Keterampilan Sosial Pada Anak Menengah Akhir Yang mengalami gangguan Perilaku. [online]. Tersedia: http://.www.f4jar.multiply. com/journal/. [24 Juni 2008]
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Standar Konpetensi Konselor. Bandung: Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan.
Exploring School Counselor Multicultural Competence: a Multidimensional Concept. (Online). Tersedia di: http://www.accessmylibrary.com/coms2/summary_0286-13999644_ITM. (23 April 2008).
Freidman, G. Paul. (1985). Training Strategis From Start to Finish. New Jersey: Prentice-Hall Inc, Englewood Cliffs.
Furman, W., & Buhrmester, D. (1992). Age And Sex Differences In Perceptions of Networks of Personal Relationships. Child Development, 63, 103-105
Furqon. (2002). Statistika Terapan untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Gall & Gall, Borg, W.R (2003). Ducational Research; An Introduction – Seventh Edition. Boston : Allyn and Bacon.
Gibson, R, L. & Mitchell, M, H. (2010). Bimbingan dan Konseling (Alih Bahasa oleh Yudi Santoso). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Goleman, Daniel. (2007). Social Intelegence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hays, Danica G. & Erford, Bradley T. (2010). Developing Multicultural Counseling Competence: A Systems Approach. New Jersey: Pearson
Hergenhahn, B.R. & Olson, M. H. (Alih bahasa Tri Wibowo B.S.). (2008). Theories Of Learning (Teori Belajar). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Hurlock, E.B. (Alih bahasa Istiwidayanti & Sudjarwo). (1996). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga
Kim, S.K.B & Lyons, Z.H. (2003). “Exxperiental Activities and Multicultural
Counseling Competence Training”. Journal of Counseling & Development.
Vol.81. No. 4, 400-408.
L’Abate, L. & Milan, M.A, (1985). Handbook of Social Skills Training an Research. Toronto: Wiley & Sons.
Latifah, L., (2000). Kompetensi Sosial, Status Sosial, daan Viktimisasi di sekolah Dasar. Skripsi (Tidak Diterbitkan), Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Libet, J.M. & Lewilsohn, P.M. (1973). Concept of Social Skill with Special Reference to The Behavior of Depressed Persons. Journal of Counsulting and Clinical Psychology, 40, 304-312.
Lismaniar. (2005). Integrasi Antara Proses Belajar Mengajar Dan Bimbingan Dalam Meningkatkan Kompetensi Sosial Anak Berbakat. Tesis PPS UPI. Bandung: tidak diterbitkan
Martani, W., & Adiyanti, M., G. (1990). Kompetensi Sosial dan Kepercayaan Diri Remaja. Laporan Penelitian (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Marzani, Anwar. (2008). Rangkuman Hasil Penelitian Multikulturalisme Dan Kehidupan Beragama. http://marzanianwar.wordpress.com/
McLeod, John. (Alih bahasa A.K Anwar). (2006). Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Kencana.
Moekijat. (1993). Evaluasi Pelatihan: Dalam Rangka Peningkatan Produktivitas. Bandung: Mandar Maju
Megawangi, Ratna. (2003). Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Mada-ni. IPPK Indonesia Heritage Foundation.
Morina. (2009). Program Bimbingan Pribadi Sosial untuk Meningkatkan Penyesuaian Sosial Remaja. Skripsi Pada Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.
Natawijaya, Rochman, (1987) Pendekatan-pendekatan dalam penyuluhan kelompok. Bandung: CV Dipenogoro
Nugraha, A. (2012). Program Experiential Based Counseling untuk Meningkatkan Kepekaan Multibudaya Calon Konselor. Tesis Pada Program Studi Bimbingan dan Konseling Sekolah Pascasarjana UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.
Papalia, D., E., Olds, S., W., & Feldman, R., D., (2002). A Child’s World, Infancy Through Adolescence. Ninth Edition. New York, USA: Mcgraw-Hill Companies, Inc.
Parker, J.G., & Asher, S. R. (1987). Peer Relations And Later Personal Adjustment: Are Low Accepted Children At Risk? Psychological Bulletin, 102, 357-389.
Pedersen, P.B, Ed. (1986). Counseling Across Cultures. Hawaii: East West Center.
Philips, E.L. (1978). The Social Skills Basis of Psychopathology; Alternative to Abnormal Psychology Psychiatry. New York: Grune Stratton.
Sciarra, Daniel T. (2004). School Counseling Foundations and Contemporary Issues. Australia: Thomson Brooks/Cole.
Rakhmat, C & Solehuddin, M. (2006). Pengukuran dan Penilaian Hasil Belajar. Bandung: Andira.
Riduwan. (2006). Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan, dan Peneliti Pemula (Edisi keenam). Bandung: Alfabeta.
Rifai, Melly S.S (198) Psikologi Perkembangan Remaja Dari Segi Kehidupan Sosial, Jakarta: Bina Aksara.
Russ, W. Sandra. (2004). Play In Child Development and Psychotherapy, Toward Empirically Supported Practice. New Jersey: Lowrence Erbaum Associates Publishers.
Santrock, J.W. (a.b. Shinto B. Adelar & Sherly Saragih). (2003). Adolescence:
Perkembangan Remaja. (Edisi ke-6). Jakarta: Erlangga.
Schneiders, A. (1964). Personal Adjustment and Mental Health. New York: Reinhart & Winston.
Sciarra, Daniel, T. (2004). School Counseling, “Foundation and Contemporary
Issues”. Canada: Thomson Learning.
Subino. (1987). Konstruksi dan Analisis (Suatu Pengantar Kepada Teori Tes dan Pengukuran). Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
Sudirman. (2001). Dampak Pelatihan Terhadap Peningkatan Pendapat Lulusan Pelatihan (Studi Kasus tentang Proses dan Pengaruh Pelatihan Teknis Pertamana di Balai Latihan Kerja Khusus Pertanian Lembang). Tesis. Bandung: PPs UPI. (Tidak Diterbitkan).
Sue, D.W & David Sue. 2003. Counseling the Culturally Diverse: Theory and
Practice (4th Edition). USA: John Wiley & Sons, Inc.
Sue, et.al. (1992). Multicultural Counseling Competencies & Standards: A Call to the Profession. Journal of Counseling and Development. Marc/April 1992. Vol. 70.
Suherman A.S. dan Sudrajat, D. (1998). Evaluasi dan Pengembangan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Bandung: Publikasi Jurusan PPB FIP UPI.
Suherman AS, Uman (2005). Evaluasi dan Pengembangan Program Bimbingan dan Konseling. Bandung; tidak diterbitkan
Sukarso, Ekodjatmiko. (2008). Pendidikan Inklusif. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.
Sumardi. (2006). Tantangan Baru Dunia Pendidikan. [online]. Tersedia: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/, [24 Juni 2008]
Supriadi, Dedi. (2001). Konseling Lintas Budaya: Isu-isu dan Relevansinya di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Bimbingan dan Konseling Pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. 18 Oktober 2001. (Tidak Diterbitkan).
Bimbingan dan Konseling Sekolah Pascasarjana UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.
Surya, M. (2003). Psikologi Konseling. Bandung: CV. Pustaka Bani Quraisy.
Suwanto, AW. (2010). Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sweeney & Howeyer. (1999). Handbook of Group Play Therapy, How to Do it, How
it Works, Whom it, Whom It’s Best For. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher.
Syamsuddin, A. (2007). Psikologi Kependidikan. Bandung: Rosda.
Syamsu Yusuf. (2004). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosda.
Tarsidi, Didi. (2010). Bimbingan dan Konseling, “Untuk Perkembangan Kompetensi
Sosial Anak Tunanetra”. Bandung: Rizqi Press.
Tawuran Pelajar. (Online). Tersedia di: http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita.