MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
MELALUI PENDEKATAN METACOGNITIVE INNER SPEECH
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Matematika
Oleh: HELLA JUSRA
1101595
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA SEKOLAH PASCASARJANA
HALAMAN HAK CIPTA
MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
MELALUI PENDEKATAN METACOGNITIVE INNER SPEECH
Oleh Hella Jusra
S.Pd. UHAMKA Jakarta, 2011
Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Sekolah Pascasarjana
© Hella Jusra 2013
Universitas Pendidikan Indonesia Juli 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Meningkatkan
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Kemandirian Belajar
Siswa SMP melalui Pendekatan Metacognitive Inner Speech” beserta seluruh
isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan
penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika
keilmuan yang berlaku. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/sanksi
yang dijatuhkan kepada saya apabila di kemudian hari ditemukan adanya
pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari
pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.
Bandung, Juli 2013
Yang membuat pernyataan
ABSTRAK
Hella Jusra (2013). “Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Pendekatan Metacognitive Inner Speech.”
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metacognitive inner speech. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen, kelompok kontrol non ekuivalen. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII yang dipilih secara purposif. Instrumen berupa tes kemampuan pemecahan masalah matematis, angket kemandirian belajar dan lembar observasi. Data dianalisis dengan menggunakan uji-t, Mann-Whitney, dan deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metacognitive inner speech lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
ABSTRACT
Hella Jusra (2013). Improving Mathematical Problem Solving Ability and Self-Regulated Learning of Junior High School Students through Learning Metacognitive Inner Speech Approach.
The purpose of this research was to determine the students learning outcome and improvement of mathematical problem solving ability and self-regulated learning through metacognitive inner speech approach. The research design was quasi-experimental non-equivalent control group. The sample in this research are class VII students of a junior high school at Sumedang were selected by purposive technique. Research instruments used mathematical problem solving ability test, and questionnaire scale self-regulated learning and observation sheets. The data analysis used t-test, Mann-Whitney, and descriptive. The results showed that students learning outcome and improvement of mathematical problem solving ability and self-regulated learning through metacognitive inner speech approach better than conventional learning.
DAFTAR ISI
HAK CIPTA ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ……… iii
PERNYATAAN ……… iv
KATA PENGANTAR ……….………. v
UCAPAN TERIMA KASIH ….……….……….. vi
HALAMAN PERSEMBAHAN……….. viii
ABSTRAK ……….………... ix
DAFTAR ISI ……….……… xi
DAFTAR TABEL ……….………... xiii
DAFTAR GAMBAR ………..……….. xvi
DAFTAR LAMPIRAN ……….……… xvii
BAB I PENDAHULUAN ………..……… 1
A. Latar Belakang Masalah ……….. 1
B. Rumusan masalah ……… 5
C. Tujuan penelitian ………. 6
D. Manfaat Penelitian ……… 6
E. Definisi Operasional .………... 7
BAB II KAJIAN TEORI ………..……….. 8
A. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ………….. 8
B. Kemandirian Belajar ……… 13
C. Pendekatan Metacognitive Inner Speech……… 17
D. Penelitian yang Relevan ……… 21
E. Hipotesis Penelitian ………….………. 21
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……….………. 23
A. Desain Penelitian ……….………. 23
B. Populasi dan Sampel Penelitian ………... 23
C. Variabel Penelitian ………... 24
D. Instrumen Penelitian ……….……… 24
2. Angket Kemandirian Belajar ………. 31
3. Lembar Observasi Suasana Kelas …………..………. 33
E. Teknik Analisis Data ……… 33
1. Uji Normalitas ………..……….………. 35
2. Uji Homogenitas ………. 33
3. Uji Perbedaan Rata-rata ……….………. 36
F. Prosedur Penelitian ………….……….. 38
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 41
A. Hasil Penelitian ……… 41
1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ………. 41
2. Kemandirian Belajar ……… 47
3. Lembar Observasi Suasana Kelas ………... 53
B. Temuan dan Pembahasan ………. 55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….……… 64
A. Kesimpulan ………..………. 64
B. Implikasi ……….. 64
C. Saran ……….……… 65
DAFTAR PUSTAKA ……….………. 67
LAMPIRAN-LAMPIRAN ……….………. LAMPIRAN A: INSTRUMEN PENELITIAN ………. 73
LAMPIRAN B: ANALISIS HASIL UJI COBA INSTRUMEN ……..… 174
LAMPIRAN C: ANALISIS DATA HASIL PENELITIAN ……….. 188
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Pedoman Penskoran Pemecahan Masalah
Matematis ……….……….. 25
Tabel 3.2 Rekap Hasil Uji Validitas ……….. 26
Tabel 3.3 Klasisikasi Reliailitas ……….……… 27
Tabel 3.4 Klasifikasi Daya Pembeda ………….….……… 28
Tabel 3.5 Rekap Hasil Daya Pembeda ………... 29
Tabel 3.6 Klasifikasi Tingkat Kesukaran ………... 30
Tabel 3.7 Rekap Hasil Tingkat Kesukaran ……… 30
Tabel 3.8 Contoh Hasil Pengolahan Data Skala Kemandirian Belajar Dengan Deviasi Normal pada Pernyataan 1 ………...…… 32
Tabel 3.9 Kriteria Hasil Skor Akhir ……….. 34
Tabel 3.10 Kriteria Indeks Gain Ternormalisasi ……….. 34
Tabel 4.1 Data Statistik Deskriptif Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ……….……….. 42
Tabel 4.2 Uji Normalitas Data Pretes, Postes, dan N-Gain Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ……… 44
Tabel 4.3 Uji Perbedaan Rata-rata Skor Pretes, Postes, dan N-Gain Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ………… 46
Tabel 4.4 Data Statistik Deskriptif Kemandirian Belajar……….. 47
Tabel 4.5 Uji Normalitas Kemandirian Belajar ………. 49
Tabel 4.6 Uji Homogenitas Skor Awal Kemandirian Belajar ………. 43
Tabel 4.7 Uji Perbedaan Rata-rata Skor Awal Kemandirian Belajar .. 51
Tabel 4.8 Uji Perbedaan Rata-rata Skor Akhir dan N-Gain Kemandirian Belajar ……….………. 52
Tabel 4.9 Aktivitas Guru selama Pembelajaran dengan Pendekatan Metacognitive Inner Speech ...………. 53
Tabel B.1.1 Data Skor Uji Coba Pemecahan Masalah Matematis
Siswa ………..…..………….……….. 175
Tabel B.3.1 Data Skala Kemandirian Belajar ….….……….. 180
Tabel B.3.2 Perhitungan Skala Kemandirian Belajar dengan
Menggunakan Deviasi Normal ….………….………. 182
Tabel B.3.3 Hasil Skor Kemandirian Belajar Setelah Ditransformasi … 184
Tabel B.4.1 Hasil Cronbach’s Alpha Uji Coba Skor Kemandirian
Belajar ………..……….………. 186
Tabel B.4.2 Data Hasil Uji Coba Skor Kemandirian Belajar ………… 186
Tabel C.1.1 Data Skor Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis Siswa Kelas Eksperimen ……….………. 189
Tabel C.1.2 Data Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Siswa Kelas Kontrol ………...………..………. 190
Tabel C.2.1 Data Angket Awal Skala Kemandirian Belajar
Kelas Eksperimen …….………..……… 191
Tabel C.2.2 Data Angket Awal Skala Kemandirian Belajar
Kelas Kontrol ……….……… 193
Tabel C.2.3 Data Angket Akhir Skala Kemandirian Belajar
Kelas Eksperimen …….………..……… 195
Tabel C.2.4 Data Angket Akhir Skala Kemandirian Belajar
Kelas Kontrol ………….……… 197
Tabel C.2.5 Data Skor Awal Kemandirian Belajar Kelas Eksperimen
Setelah Ditransformasi ………...……… 199
Tabel C.2.6 Data Skor Awal Kemandirian Belajar Kelas Kontrol
Setelah Ditransformasi ……… 201
Tabel C.2.7 Data Skor Akhir Kemandirian Belajar Kelas Eksperimen
Setelah Ditransformasi ………..………….…… 203
Tabel C.2.8 Data Skor Akhir Kemandirian Belajar Kelas Kontrol
Setelah Ditransformasi ………..……….……… 205
Tabel C.2.9 Rekap Skor Kemandirian Belajar Kelas Eksperimen …... 207
Tabel C.3.1 Data Statistik Deskriptif Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematis ………. 209
Tabel C.3.2 Uji Normalitas Data Pretes, Postes, dan N-Gain
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis …….….…... 209
Tabel C.3.3 Uji Perbedaan Rata-rata Data Pretes, Postes, dan N-Gain
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ……… 210
Tabel C.4.1 Data Statistik Deskriptif Skor Kemandirian Belajar ….… 211
Tabel C.4.2 Uji Normalitas Skor Awal, Akhir, dan N-Gain
Kemandirian Belajar ……….……….…………. 211
Tabel C.4.3 Uji Perbedaan Rata-rata Skor Awal Kemandirian Belajar .. 212
Tabel C.4.4 Uji Perbedaan Rata-rata Skor Akhir dan N-Gain
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Diagram Alur Kegiatan Penelitian ………….……… 40
Gambar 4.1 Rata-rata Skor Pretes dan Postes Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematis ……… 42
Gambar 4.2 Rata-rata Skor N-Gain Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis ………... 43
Gambar 4.3 Rata-rata Skor Awal dan Akhir Kemandirian Belajar …… 48
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A INSTRUMEN PENELITIAN………. 73
A.1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) …… 74
A.2 Lembar Aktivitas Siswa (LAS) ……….. 102
A.3 Kisi-kisi Soal dan Tes Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematis ………. 153
A.4 Alternatif Jawaban Tes Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematis ………. 157
A.5 Kisi-kisi dan Lembar Pernyataan
Skala Kemandirian Belajar ……… 167
A.6 Lembar Observasi ……….. 172
LAMPIRAN B ANALISIS HASIL UJI COBA INSTRUMEN……..… 174
B.1 Tabel Skor Uji Coba Tes Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematis ………. 175
B.2 Perhitungan Hasil Uji Coba Tes Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematis ………. 176
B.3 Tabel Hasil Uji Coba Kemandirian
Belajar ……… 180
B.4 Perhitungan Hasil Uji Coba Skor
Kemandirian Belajar ………. 186
LAMPIRAN C ANALISIS DATA HASIL PENELITIAN……….. 188
C.1 Data Skor Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis ……….. 189
C.2 Data Skala Kemandirian Belajar ……… 191
C.3 Perhitungan Data Pretes, Postes, dan N-Gain
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis …. 209
C.4 Perhitungan Angket Awal, Akhir, dan N-Gain
LAMPIRAN D UNSUR-UNSUR PENUNJANG PENELITIAN …… 213
D.1 Tabel r ……… 214
D.2 Tabel z ………... 215
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah merupakan suatu gambaran keadaan dengan hubungan dua atau
lebih informasi yang diketahui dan informasi lainnya yang dibutuhkan yang dapat
menimbulkan keraguan, ketidakpastian, sesuatu yang sulit dimengerti, atau
pertanyaan yang sulit, sehingga pemecahan masalah hadir sebagai solusi untuk
dapat menyelesaikan persoalan tersebut. Pemecahan masalah dapat dianggap
sebagai suatu proses dalam menerapkan pengetahuan yang ada untuk situasi baru
atau asing bagi individu tersebut untuk mendapatkan pengetahuan atau
pengalaman baru. Situasi di dalam kelas pada umumnya di mana siswa disajikan
dengan beberapa informasi baru dan selanjutnya diberikan contoh soal terkait
dengan materi tersebut, kemudian siswa diminta untuk memecahkan masalah,
untuk menunjukkan bahwa mereka telah memahami informasi yang diberikan.
Masalah tersebut jauh lebih baik disebut sebagai latihan, karena guru telah
memberi contohnya dan mereka tidak menggunakan pengetahuan atau
pengalamannya sendiri sebelum diberikan oleh gurunya. Sebaiknya, biarkan siswa
berpikir terlebih dahulu bagaimana memecahkan masalah tersebut, sehingga pasti
banyak cara yang berbeda dari masing-masing siswa, kemudian guru mengoreksi
dan memeriksa hasilnya yang selanjutnya guru serta siswa menyimpulkannya. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Yee dan Hoe (2009) bahwa pemecahan
masalah merupakan proses yang kompleks yang memerlukan seorang individu
untuk mengkoordinasikan pengalaman, pengetahuan, pemahaman dan intuisi
sebelumnya, untuk memenuhi tuntutan situasi baru. Sederhananya, itu adalah
salah satu perjalanan mental yang diperlukan untuk mencapai solusi dimulai
dengan situasi yang diberikan.
Wahyudin (2003) mengatakan bahwa pemecahan masalah bukan sekedar
keterampilan untuk diajarkan dan digunakan dalam matematika tetapi juga
merupakan keterampilan yang akan dibawa pada masalah-masalah keseharian
2
pemecahan masalah membantu seseorang secara baik dalam hidupnya.
Selanjutnya, menurut Gagne (Joyce, et al., 2009), pemecahan masalah adalah
aplikasi aturan-aturan pada masalah yang tidak pernah dihadapi sebelumnya oleh
pembelajar. Langkah ini melibatkan aktivitas memilih aturan yang baik dan
mengaplikasikannya dalam sebuah kombinasi yang cukup sempurna. Sehubungan
dengan itu, sebaiknya dalam memecahkan masalah siswa juga ikut dilibatkan,
tidak hanya menerima materi saja agar mereka lebih memahami persoalan yang
diberikan.
Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, tujuan
yang ingin dicapai melalui pembelajaran matematika (Diknas, 2006) adalah
sebagai berikut:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh.
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematka,
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Isi dari KTSP 2006 tersebut menyebutkan bahwa pemecahan masalah
merupakan bagian penting dari pembelajaran matematika SMP. Oleh karena itu,
kemampuan pemecahan masalah pada siswa dipandang perlu untuk
dikembangkan. Kemampuan pemecahan masalah juga digunakan pada kurikulum
dari negara-negara lain. Seperti di Amerika Serikat, pemecahan masalah telah
3
tahun 1970an hingga akhir 1980an. Pembelajaran matematika di Jepang juga
sebagian besar telah dipengaruhi oleh penekanan pemecahan masalah sebagai
aplikasi praktis yang baik dari reformasi matematika. Begitupun dengan negara
tetangga, yaitu Singapura sejak tahun 1990 pemecahan masalah matematis telah
menjadi tujuan utama dari kurikulum sekolah matematika.
Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) tahun 2011 melaporkan
bahwa rata skor prestasi matematika siswa Indonesia masih di bawah
rata-rata skor Internasional, yaitu 500. Skor rata-rata-rata-rata Indonesia pada mata pelajaran
matematika berdasarkan studi Programme for International Student Assessment
(PISA) tahun 2006 adalah 391. Indonesia berada pada peringkat 50 dari 57 negara
peserta PISA, sedangkan tahun 2009 skor rata-rata Indonesia pada mata pelajaran
matematika mengalami penurunan, yaitu 371 peringkat 61 dari 65 negara peserta.
(Balitbang, 2012).
Soal-soal yang diujikan pada PISA salah satunya mengukur kemampuan
pemecahan masalah. Ini berarti salah satu penyebab menurunnya skor rata-rata
siswa Indonesia pada mata pelajaran matematika adalah rendahnya kemampuan
siswa dalam memecahkan masalah. Seseorang yang memiliki kemampuan
pemecahan masalah yang baik tidak hanya dapat menyelesaikan permasalahan
matematika tetapi juga dapat berguna untuk menyelesaikan permasalahan dalam
kehidupan sehari-hari. Samuelsson (2008) mengatakan bahwa pemecahan
masalah tampaknya lebih efektif dalam mengembangkan minat siswa dan
kenikmatan matematika daripada pekerjaan tradisional atau bekerja independen.
Guru perlu menggunakan pekerjaan tradisional atau pemecahan masalah dalam
mengembangkan aspek kemampuan kemandirian belajar. Berkenaan dengan itu,
selain memiliki kemampuan pemecahan masalah diharapkan siswa dapat pula
memiliki kemandirian dalam belajar. sehingga keterampilan siswa dalam
memecahkan permasalahan sangat diperlukan agar dapat mengembangkan
kemandirian dalam belajarnya.
Menurut Pintrich (1995), kemandirian belajar adalah cara belajar siswa aktif
secara individu untuk mencapai tujuan akademik dengan cara pengontrolan
4
Busnawir (2006) mengungkapkan bahwa siswa dengan tingkat kemandirian
belajar tinggi berimplikasi kepada aktivitas belajarnya yang tinggi pula,
sebaliknya siswa yang tingkat kemandirian belajarnya rendah akan berimplikasi
pada aktivitas belajar yang rendah. Menurut Sumarmo (2004), kemandirian
belajar merupakan proses perancangan dan pemantauan diri yang seksama
terhadap proses kognitif dan afektif dalam menyelesaikan suatu tugas akademik.
Proses kemandirian belajar adalah belajar melalui pengalaman dan refleksi
diri dengan cara mengerjakan tugas-tugas akademik. Ini bukan karakteristik yang
dibentuk sejak lahir, sehingga hal tersebut harus dibangun. Siswa yang memiliki
kemandirian belajar adalah yang mengajukan pertanyaan, mencatat, dan
mengalokasikan waktu dan sumber daya mereka dengan cara yang membantu
mereka untuk bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri (Paris & Paris,
dalam Shuy, OVAE, dan TEAL Staff, 2010).
Pada kurikulum matematika Singapura, metakognisi merupakan salah satu
indikator dari pemecahan masalah. Metakognisi mengacu pada kemampuan untuk
memantau proses berpikir sendiri dalam pemecahan masalah (Yee dan Hoe,
2009). Selain itu, Zimmerman (Nodoushan, 2012) menyatakan bahwa
kemandirian belajar pada siswa melalui tingkatan atau derajat yang secara
metakognisi, motivasional, dan perilaku berpartisipasi aktif dalam proses belajar
mereka sendiri. Selanjutnya, menurut Zimmerman (Efklides dan Misailidi, 2010)
aspek penting dalam kemandirian belajar adalah metakognisi. Salah satu
pendekatan yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan
kemandirian belajar pada siswa, yaitu pendekatan metakognitif. Pendekatan
metakognitif merupakan cara yang dilakukan guru untuk mencapai tujuan
pembelajaran dengan menuntut siswa agar dapat mengontrol proses berpikirnya.
Zakin (2007) menyatakan bahwa pendekatan metakognitif memiliki pandangan
bahwa anak-anak semakin mengetahui dan mengerti tentang bagaimana mereka
belajar, semakin mereka bisa dan akan terus belajar.
Menurut Moffett (Zakin, 2007), metakognisi dapat difasilitasi dengan
menggunakan inner speech (bergumam), semacam self-talk yang memungkinkan
5
memperoleh pemahaman yang lebih dalam dan apresiasi dari proses berpikir
mereka sendiri. Lev Vygotsky telah menjadi teoritikus tunggal yang paling
berpengaruh dalam hal penyelidikan inner speech. Banyak dari perspektif teorinya
tentang inner speech telah divalidasi oleh penelitian terbaru. Misalnya, peran
kognitif inner speech dalam hal pemecahan masalah (Ehrich, 2006). Vygotsky
(Zakin, 2007) mengamati bahwa anak-anak menyelesaikan tugas-tugas praktis
dengan bantuan inner speech mereka, serta mata dan tangan.
Penggunaan pendekatan metacognitive inner speech pada aspek
kemandirian belajar, siswa dapat menilai kemampuannya sendiri karena mereka
dilatih untuk belajar bagaimana berpikir sehingga mengetahui apa yang
diketahuinya dan mengetahui apa yang tidak diketahuinya. Selain itu metakognisi
dapat membantu siswa mengembangkan kepercayaan diri mereka untuk mencoba
mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dan membantu siswa mengatasi kendala
yang muncul selama proses pemecahan masalah.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan
metacognitive inner speech dapat mendukung siswa untuk mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul, “Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa
SMP melalui Pendekatan Metacognitive Inner Speech.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran melalui pendekatan metacognitive inner speech lebih baik
daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?
2. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran melalui pendekatan metacognitive inner speech
6
3. Apakah kemandirian belajar siswa yang memperoleh pembelajaran melalui
pendekatan metacognitive inner speech lebih baik daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional?
4. Apakah kemandirian belajar siswa yang memperoleh pembelajaran melalui
pendekatan metacognitive inner speech lebih baik daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional?
5. Bagaimana suasana kelas dalam pembelajaran dengan pendekatan
metacognitive inner speech?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka
tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui:
1. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran melalui pendekatan metacognitive inner speech lebih baik
daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
2. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran melalui pendekatan metacognitive inner speech
lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
3. Kemandirian belajar siswa yang memperoleh pembelajaran melalui
pendekatan metacognitive inner speech lebih baik daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
4. Peningkatan kemandirian belajar siswa yang memperoleh pembelajaran
melalui pendekatan metacognitive inner speech lebih baik daripada siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional.
5. Suasana kelas dalam pembelajaran dengan pendekatan metacognitive inner
speech.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi siswa, guru, dan semua pihak
7
1. Untuk siswa
Dapat menumbuhkan motivasi, keaktifan dan minat belajar siswa terhadap
pelajaran matematika serta menjadi pemecah masalah matematis dan
self-regulated learner yang baik.
2. Untuk guru
Dapat dijadikan referensi mengenai pendekatan metacognitive inner speech
untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan
kemandirian belajar siswa.
3. Untuk peneliti
Mengetahui pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematis dan kemandirian belajar siswa dengan pendekatan metacognitive
inner speech.
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam penafsiran istilah pada
penelitian ini, peneliti menetapkan beberapa definisi operasional, yaitu:
1. Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan siswa untuk
menyelesaikan masalah yang diberikan dengan menggunakan pengalaman
dan pengetahuan sebelumnya dalam menemukan jawaban. Proses siswa untuk
menemukan jawaban, meliputi memahami masalah, menyusun rencana,
menjalankan rencana, dan memeriksa kembali.
2. Kemandirian belajar merupakan tanggung jawab siswa pada dirinya sendiri
dan berpartisipasi aktif sehingga dapat mengatur dirinya sendiri dalam
belajar. Siswa yang memiliki kemandirian dalam belajarnya memiliki inisiatif
belajar, mendiagnosa kebutuhan belajar, menetapkan tujuan belajar,
memonitor, mengatur, dan mengontrol, memandang kesulitan sebagai
tantangan, memanfaatkan dan mencari sumber belajar yang relevan, memilih
dan menerapkan strategi belajar, mengevaluasi proses dan hasil belajar, serta
konsep diri.
3. Pendekatan metacognitive inner speech membantu siswa mengendalikan
8
dapat fokus terhadap proses pembelajaran. Proses ini meliputi bagaimana
merancang, memonitor dan mengevaluasi pengetahuan yang dimilikinya
untuk dikembangkan menjadi tindakan dalam menyelesaikan suatu masalah
matematika. Penyajiannya terdiri dari tiga tahapan, yaitu guru
mendemonstrasikan dan memodelkan suatu bentuk inner speech, siswa
membentuk kelompok-kelompok kecil, dan guru meminta siswa
mengungkapkan komentar-komentar mereka, kemudian hasilnya didiskusikan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan desain penelitian
Nonequivalent Control Group Design yang merupakan bentuk desain dari Quasi
Eksperimental, dengan menerima keadaan subyek apa adanya. Desain ini
digunakan dengan pertimbangan bahwa peneliti hanya dapat memilih kelompok
secara acak, karena kelas yang ada telah terbentuk. Penelitian dilakukan pada dua
kelas. Kelas pertama (kelas ekperimen) mendapat pembelajaran dengan
pendekatan metacognitive inner speech, dan kelas kedua (kelas kontrol) mendapat
pembelajaran konvensional. Desain penelitian ini berbentuk sebagai berikut:
Kelompok Eksperimen O X O
Kelompok Kontrol O - O
dengan:
O : Tes kemampuan pemecahan masalah matematis (pretes/postes)
X : Perlakuan pembelajaran dengan pendekatan metacognitive inner speech
B. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII di salah satu
SMP Negeri di Sumedang pada tahun ajaran 2012/2013 dan dilaksanakan pada
semester genap. Kelas VII dipilih sebagai subyek penelitian agar perubahan
kemandirian belajarnya dapat lebih terlihat dibanding tingkat lainnya dikarenakan
kelas VIII dan IX dianggap kemandirian belajarnya sudah lebih baik karena
pengalaman dalam belajarnya lebih banyak daripada kelas VII, dan kelas VII
merupakan masa peralihan dari jenjang SD ke SMP.
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan teknik
purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan
tertentu. Pertimbangan tersebut berdasarkan informasi dari salah satu guru kelas
VII yang menyatakan bahwa kelas VII-F dan VII-G memiliki kemampuan yang
24
yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metacognitive inner speech
dan kelas VII-G sebagai kelas kontrol, yaitu kelas yang memperoleh pembelajaran
konvensional.
C. Variabel Penelitian
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan pemecahan masalah
matematis dan kemandirian belajar, sedangkan variabel bebasnya adalah
pembelajaran dengan pendekatan metacognitive inner speech.
D. Instrumen Penelitian
Data yang diperoleh dari penelitian ini terdiri dari instrumen tes dan non tes.
Instrumen tes berupa tes kemampuan pemecahan masalah matematis, dan
instrumen non tes berupa angket kemandirian belajar, serta lembar observasi
suasana kelas.
1. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Tes yang digunakan untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah
matematis berbentuk uraian, agar dapat melihat proses atau langkah-langkah
siswa dalam menyelesaikan soal yang diberikan. Tes ini terdiri dari pretes, yaitu
untuk mengetahui kemampuan awal siswa pada masing-masing kelompok dan
postes, yaitu untuk mengetahui apakah terjadinya pencapaian pembelajaran
setelah diberikan perlakuan. Adapun dalam penskoran pada tes kemampuan
pemecahan masalah matematis digunakan pedoman penskoran pemecahan
25
Sebelum instrumen tes diberikan pada subyek penelitian, dilakukan uji
validitas muka dengan meminta pertimbangan kepada mahasiswa S2 dan dosen
yang dianggap kompeten di bidangnya. Kemudian dilakukan uji validitas empiris
dengan diujicobakan terlebih dahulu untuk memperoleh instrumen tes yang baik,
26
kesukaran. Soal diujicobakan pada kelas VIII di SMP Negeri Sumedang
(sebanyak 30 siswa).
a. Validitas
Validitas dilakukan agar dapat tepat mengukur apa yang hendak diukur.
Suatu instrumen dikatakan valid bila instrumen itu, untuk maksud dan kelompok
tertentu, mengukur apa yang semestinya diukur (Ruseffendi, 1994). Sejalan
dengan itu, Suherman dan Kusumah (1990) menyatakan bahwa suatu instrumen
dinyatakan valid (absah dan sahih) bila instrumen itu mampu mengevaluasi apa
yang seharusnya dievaluasi. Rumus yang digunakan adalah rumus korelasi
Product Moment Pearson (Arikunto, 2010), rumusnya dinyatakan sebagai berikut:
√ √
Keterangan:
rxy : koefisien korelasi antara variabel X dan Y
N : jumlah peserta tes
X : skor butir soal
Y : total skor
Berikut rekap hasil uji validitas data skor uji coba instrumen tes kemampuan
pemecahan masalah matematis diolah dengan menggunakan software ANATES
versi 4.0.
tidak signifikan Direvisi
5 Valid Dipakai
6 Valid dan tidak
signifikan Direvisi
7 Valid Dipakai
27
Perhitungan hasil nilai korelasi (rxy) dibandingkan dengan rkritis. Nilai rkritis = 0,361
dengan = 0,05 dan n = 30. Item tes dikatakan valid jika rxy > rkritis. Dari
Tabel 3.1 menunjukkan bahwa terdapat satu soal yang tidak valid, yaitu soal
nomor 4, sedangkan terdapat dua soal yang tidak signifikan, yaitu soal nomor 4
dan 6. Soal yang tidak signifikan tersebut diuji validitas muka kemudian direvisi.
Hasil perhitungannya dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran B. 2.
b. Reliabilitas
Reliabilitas menunjukkan sejauh mana suatu instrumen dapat dipercaya.
Menurut Suherman dan Kusumah (1990), suatu alat evaluasi dikatakan reliabel
jika hasil evaluasi tersebut relatif tetap jika digunakan untuk subyek yang sama
pada waktu yang berbeda. Jadi suatu instrumen mempunyai taraf kepercayaan
yang tinggi jika dapat memberikan hasil yang tetap atau tidak berubah-ubah,
sehingga reliabilitas tes berhubungan dengan masalah ketetapan hasil tes.
Menghitung reliabilitas tes yang berbentuk uraian menggunakan rumus Cronbach’s Alpha (Suherman, 2003):
∑
Keterangan:
: koefisien reliabilitas : banyak butir soal (item)
∑ : jumlah variansi skor setiap item : variansi skor total
Berikut tabel untuk menginterpretasikan derajat reliabilitas yang dibuat oleh
J.P. Guilford (Suherman, 2003) setelah dilakukan perhitungan:
Tabel 3.3 Klasifikasi Reliabilitas
Besarnya Derajat
Reliabilitas Interpretasi r11≤ 0,20 Sangat rendah
0,20 ≤ r11 < 0,40 Rendah
0,40 ≤ r11 < 0,70 Sedang
0,70 ≤ r11 < 0,90 Tinggi
28
Hasil uji reliabilitas data skor uji coba instrumen tes kemampuan
pemecahan masalah matematis diolah dengan menggunakan software ANATES
versi 4.0. Dari hasil uji reliabilitas dengan ANATES didapat nilai reliabilitas
sebesar 0,73 dan termasuk kategori tinggi. Hasil perhitungannya dapat dilihat
secara lengkap pada Lampiran B. 2.
c. Daya Pembeda
Daya pembeda suatu butir soal menyatakan seberapa jauh kemampuan butir
soal tersebut mampu membedakan antara siswa yang dapat menjawab soal dan
siswa yang tidak dapat menjawab soal (Suherman dan Kusumah, 1990). Menurut
Ruseffendi (1991), daya pembeda adalah korelasi antara skor jawaban terhadap
sebuah butiran soal dengan skor jawaban seluruh soal. Jadi tujuan menganalisis
daya pembeda adalah bagaimana instrumen tes dapat membedakan siswa yang
berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Rumus yang
digunakan adalah (Suherman, 2003):
Berikut tabel klasifikasi daya pembeda yang diinterpretasikan setelah
dilakukan perhitungan menurut Suherman (2003):
29
Pengolahan data skor uji coba instrumen tes kemampuan pemecahan masalah
matematis dihitung dengan menggunakan software ANATES versi 4.0. Berikut
rekap hasil daya pembeda instrumen kemampuan pemecahan masalah matematis:
Tabel 3.5
Tabel 3.5 menunjukkan bahwa dari delapan soal yang diujicobakan, didapat
dua soal termasuk kategori jelek (soal nomor 4 dan 6), dua soal termasuk kategori
cukup (soal nomor 3 dan 8), tiga soal termasuk kategori baik (soal nomor 1, 2, dan
7), dan satu soal termasuk kategori sangat baik (soal nomor 5). Hasil
perhitungannya dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran B. 2.
d. Tingkat Kesukaran
Kesukaran suatu butir soal ditentukan oleh perbandingan antara banyaknya
siswa yang menjawab soal itu benar dengan banyaknya siswa yang menjawab
butiran soal itu (Ruseffendi, 1991). Skor hasil tes siswa diklasifikasikan dengan
benar dan salah. Rumus yang digunakan untuk menghitung tingkat kesukaran atau
bisa juga disebut indeks kesukaran adalah (Suherman dan Kusumah, 1990):
30
Berikut tabel kriteria tingkat kesukaran setelah dilakukan perhitungan
menurut Suherman dan Kusumah (1990):
Tabel 3.6
Pengolahan data skor uji coba instrumen tes kemampuan pemecahan
masalah matematis dihitung dengan menggunakan sofware ANATES versi 4.0.
Berikut rekap hasil tingkat kesukaran instrumen kemampuan pemecahan masalah
matematis:
Lampiran B.2. Setelah dilakukan uji coba, terlihat tingkat kesukaran
masing-masing soal yang telah dikerjakan siswa. Pembobotan diberikan berdasarkan
31
diberi bobot 2, dan sukar diberi bobot 3. Penskoran hasil tes kemampuan
pemecahan masalah matematis untuk data pretes dan postes menggunakan skor
total yang telah dilakukan pembobotan. Skor total yang didapat siswa tiap soal
berbeda tergantung dari tingkat kesukarannya, sehingga skor maksimum idealnya
adalah 170.
2. Angket Kemandirian Belajar
Untuk mengukur tingkat kemandirian belajar, digunakan skala kemandirian
belajar. Adapun sembilan indikator dari kemandirian belajar, yaitu inisiatif
belajar, mendiagnosa kebutuhan belajar, menetapkan tujuan belajar, memonitor,
mengatur, dan mengontrol, memandang kesulitan sebagai tantangan,
memanfaatkan dan mencari sumber belajar yang relevan, memilih dan
menerapkan strategi belajar, mengevaluasi proses dan hasil belajar, serta konsep
diri. Angket kemandirian belajar terdiri dari 34 pernyataan yang memuat
kesembilan indikator tersebut (Lampiran A.5). Skala kemandirian belajar terdiri
dari pernyataan positif dan negatif dengan pilihan STS (sangat tidak setuju), TS
(tidak setuju), S (setuju), dan SS (sangat setuju).
Angket kemandirian belajar siswa berupa data ordinal. Untuk mengolah data
kemandirian belajar, perlu ditransformasi menjadi data interval, sehingga data
kemandirian belajar yang semula dalam bentuk skala, berubah menjadi skor. Skor
yang diberikan pada setiap pernyataan skala kemandirian belajar menggunakan
deviasi normal, yaitu berdasarkan distribusi jawaban responden atau dengan kata
lain menentukan nilai skala dengan deviasi normal (Azwar, 1995). Skor tiap
kategori pilihan jawaban dapat berbeda tergantung dari sebaran respon siswa.
Pengolahan datanya menggunakan bantuan Microsoft Excel for Windows 2007.
Analisis data mengenai kemandirian belajar diolah menggunakan metode
summated ratings dengan cara deviasi normal, langkah-langkahnya sebagai
berikut (Azwar, 1995):
a. Untuk setiap pernyataan, hitung frekuensi jawaban setiap kategori (pilihan
jawaban).
b. Berdasarkan frekuensi setiap kategori dihitung proporsinya, yaitu hasil dari
32
c. Tentukan nilai proporsi kumulatif dengan menjumlahkan nilai proporsi secara
berurutan per kolom skor.
d. Tentukan nilai proporsi kumulatif tengah dengan menjumlahkan proporsi titik
tengah kumulatif dengan proporsi kumuatif secara berurutan per kolom skor.
e. Hitung nilai Z untuk setiap proporsi kumulatif tengah yang diperoleh.
f. Tentukan nilai Z* dengan menjumlahkan nilai Z masing-masing pilihan
jawaban dengan nilai Z terkecil.
g. Tentukan nilai skala skor dengan membulatkan nilai Z*.
Berikut dipaparkan pengolahan skor pada satu butir pernyataan, yaitu
pernyataan 1 dengan rata-rata pk = 0,225 dan simpangan baku pk = 0,330.
Tabel 3.8
Contoh Hasil Pengolahan Data Skala Kemandirian Belajar dengan Deviasi Normal pada Pernyataan 1
Nomor
Pernyataan Kategori Respon
1 (+) SS S TS STS
f 18 12 0 0
p 0.600 0.400 0.000 0.000 pk 1.000 0.400 0.000 0.000 pk-tengah 0.700 0.200 0.000 0.000 z 1.438 -0.076 -0.681 -0.681 z + 0,681 2.119 0.605 0.000 0.000
nilai skala 2 1 0 0
Pada Tabel 3.8 didapat skor pada pernyataan 1 untuk kategori SS = 2, S = 1,
TS = 0, dan STS = 0. Hasil perhitungan pemberian skor setiap pernyataan lebih
lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran B. 4. Pada lampiran tersebut,
masing-masing pernyataan terdapat skor maksimum angket sebesar 2, sehingga skor
maksimum idealnya adalah 68. Dari hasil perhitungan dengan SPSS 21, didapat Cronbach’s Alpha sebesar 0,862 (termasuk kategori tinggi) dan terdapat 4 pernyataan (5, 13, 28, dan 33) yang tidak valid kemudian diuji validitas muka
33
3. Lembar Observasi Suasana Kelas
Lembar observasi suasana kelas terdiri dari aktivitas guru dan siswa yang
diamati. Tujuan dari adanya lembar observasi, yaitu untuk mendapatkan gambaran
kegiatan siswa selama proses belajar-mengajar berlangsung. Kegiatan yang
dilakukan siswa selama pembelajaran dengan pendekatan metacognitive inner
speech jika ia berani bertanya pada hal yang tidak dimengerti serta dapat
menjawab/menyelesaikan soal yang diberikan. Selain itu, siswa dapat
mengemukakan pendapatnya terhadap suatu soal serta dapat menanggapi
pendapat siswa lainnya. Hasil pada lembar observasi tidak dianalisis secara
statistik, tetapi hanya dijadikan sebagai bahan masukan untuk pembahasan hasil
secara deskriptif.
Aktivitas guru yang diamati selama proses pembelajaran dengan pendekatan
metacognitive inner speech adalah membuka pelajaran, menggali pengetahuan
siswa pada tahap apersepsi, memaparkan tujuan pembelajaran, memodelkan inner
speech, membagikan LAS (Lembar Aktivitas Siswa) kepada siswa, meminta
perwakilan kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi, mengajukan
pertanyaan kepada siswa, menyimpulkan materi yang telah diajarkan bersama
siswa, dan menutup pelajaran. Untuk aktivitas siswa yang diamati adalah
mendengarkan dan memperhatikan penjelasan guru, merespon pertanyaan inner
speech dari guru, mengerjakan LAS (Lembar Aktivitas Siswa), bertanya kepada
guru, berdiskusi dengan anggota kelompok, mempresentasikan hasil diskusi
kelompok, melakukan tanya jawab, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan guru, dan menyimpulkan materi yang telah diajarkan. Pada aktivitas
siswa, diberi skala penilaian tiap pertemuannya, dengan skala 1 = tidak baik,
2 = kurang baik, 3 = cukup baik, dan 4 = baik. Untuk lebih lengkapnya lembar
observasi aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran dengan pendekatan
metacognitive inner speech dapat dilihat pada Lampiran A.6.
E. Tenik Analisis Data
Data yang dihasilkan pada kemampuan pemecahan masalah matematis
34
ordinal (kualitatif). Data skor postes diolah dan dianalisis untuk mengetahui
kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar siswa.
Adapun kriteria kemampuan yang sudah dicapai siswa sebagai berikut (Noes,
2010):
Tabel 3.9
Kriteria Hasil Skor Akhir
Skor Akhir Interpretasi
SA 70% Tinggi
60% SA < 70% Sedang
SA < 60% Rendah
Untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis
dan kemandirian belajar siswa, perlu dianalisis data hasil pretes dan postes yang
diperoleh. Besarnya peningkatan tersebut dapat dihitung menggunakan rumus
gain ternormalisasi (n-gain). Rumus yang digunakan untuk menghitung gain
ternormalisasi, menurut Hake (1999), sebagai berikut:
Gain ternormalisasi (g) =
Tabel 3.10
Kriteria Indeks Gain Ternormalisasi
Skor Gain Interpretasi
g 0,7 Tinggi
0,3 g < 0,7 Sedang
g 0,3 Rendah
Pada penelitian ini, untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan
kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metacognitive inner speech dengan
siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional perlu dilakukan pengujian
data, yaitu dengan uji perbedaan rata-rata. Untuk mengetahui uji statistik yang
35
Perhitungan uji normalitas, homogenitas dan perbedaan rata-rata menggunakan
program SPSS 21.
1. Uji Normalitas
Pengujian normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang
diperoleh berdistribusi normal atau tidak. Jika data tidak berdistribusi normal,
maka dapat dilakukan uji non parametrik. Rumus yang digunakan untuk
menghitung normalitas adalah rumus Chi Kuadrat (Ruseffendi, 1993):
Berikut langkah-langkah dalam menguji normalitas dengan menggunakan
program SPSS 21.
a. Rumusan hipotesisnya, yaitu:
H0 : Data sampel berdistribusi normal
H1 : Data sampel tidak berdistribusi normal
b. Menentukan level of significance, dengan sebesar 0,05
c. Menentukan uji statistik dengan uji Saphiro-Wilk pada taraf signifikan 95%
Kriteria pengujian:
Terima H0, jika Sig. > , maka data berdistribusi normal
Tolak H0, jika Sig. , maka data tidak berdistribusi normal
2. Uji Homogenitas
Pengujian homogenitas dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya
perbedaan variansi-variansi antara dua distribusi atau lebih. Rumus untuk
36
Berikut langkah-langkah dalam menguji normalitas dengan menggunakan
program SPSS 21.
a. Rumusan hipotesisnya, yaitu:
H0 : = , data sampel memiliki varians homogen
H1 : ≠ , data sampel tidak memiliki varians homogen
Keterangan:
: varians kelompok eksperimen
: varians kelompok kontrol
b. Menentukan level of significance, dengan sebesar 0,05
c. Menentukan uji statistik dengan uji Levene Statistic pada taraf signifikan 95%
Kriteria pengujian:
Terima H0, jika Sig. > , maka data berdistribusi homogen
Tolak H0, jika Sig. , maka data tidak berdistribusi homogeny
3. Uji Perbedaan Rata-rata
Untuk uji perbedaan rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis
diambil dari data pretes, postes, dan n-gain kelas eksperimen dan kelas kontrol,
sedangkan untuk uji perbedaan rata-rata kemandirian belajar dari data angket
awal, akhir, dan n-gain. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan rata-rata hasil kemampuan pemecahan masalah matematis dan
kemandirian belajar siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan
metacognitive inner speech dan siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional. Jika kedua rata-rata skor berdistribusi normal dan homogen, maka
selanjutnya menghitung uji statistik dengan menggunakan uji-t independen
37
s : simpangan baku dari siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional
1
n : banyaknya siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional
Namun, jika kedua rata-rata skor tidak berdistribusi normal, maka
selanjutnya menghitung uji statistik dengan menggunakan uji nonparamterik
Mann-Whitney U dengan rumus (Minium, et al., 1993):
∑
: Uji Mann-Whitney U
: banyaknya siswa yang memperoleh pendekatan metacognitive inner speech
: banyaknya siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional
: ranking
Ketika ukuran sampel meningkat, distribusi Mann-Whitney U menyerupai
kurva normal (Minium, et al., 1993). Jika ukuran sampel terlalu besar, maka tabel
Mann-Whitney U tidak dapat digunakan. Karena sampel yang digunakan pada
penelitian ini termasuk besar, maka rumus yang digunakan adalah
√
Berikut langkah-langkah dalam menguji perbedaan rata-rata dengan
38
a. Rumusan hipotesisnya, yaitu:
H0 : =
H1 : >
Keterangan:
1 : rata-rata skor kelompok eksperimen
: rata-rata skor kelompok kontrol
b. Menentukan level of significance, dengan sebesar 0,05
c. Jika sebaran data normal dan homogen, maka dilakukan uji perbedaan dua
rata-rata. Uji statistik yang digunakan adalah Compare Mean
(Independent-Samples T-Test). Jika data berdistribusi normal tetapi tidak homogen, maka
uji statistik yang digunakan adalah Uji-t’. Sedangkan jika sebaran datanya
tidak berdistribusi normal, maka uji statistik yang digunakan adalah
nonparametrik, yaitu uji Mann-Whitney.
Kriteria pengujian hipotesis dengan uji-t:
Jika Sig. > , maka H0 diterima
Jika Sig. , maka H0 ditolak
Kriteria pengujian hipotesis dengan uji Mann-Whitney:
Jika | | , maka H0 diterima
Jika | | > , maka H0 ditolak
F. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini melalui 3 tahap,
yaitu:
1. Tahap Persiapan
a. Tahap ini dimulai dari pengajuan proposal yang kemudian diterima setelah
seminar untuk selanjutnya melaksanakan penelitan.
b. Menyusun rencana pembelajaran, kisi-kisi soal dan instrumen penelitian.
39
2. Tahap Pelaksanaan
a. Memberikan pretes instrumen pemecahan masalah dan skala kemandirian
belajar.
b. Melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan metacognitive inner
speech pada kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional pada kelas
kontrol.
c. Mengisi lembar observasi kegiatan siswa dari awal hingga akhir
pembelajaran.
d. Memberikan postes instrumen pemecahan masalah dan angket
kemandirian belajar.
3. Tahap Analisis Data
Data pretes, postes, serta angket siswa yang telah diperoleh, diolah dan
dianalisis.
40
Gambar 3.1
Diagram Alur Kegiatan Penelitian
Merumuskan dan mengidentifikasi masalah
Uji Coba Instrumen Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Angket Kemandirian Belajar
Pelaksanaan Pretes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Pengisian Angket Awal Kemandirian Belajar
Pelaksanaan Postes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Pengisian Angket Akhir Kemandirian Belajar
Pengolahan Data Hasil Uji Coba Instrumen Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Angket Kemandirian Belajar
Analisis Data Pengolahan Data
Kesimpulan Observasi
Kelas Eksperimen:
Pembelajaran dengan Pendekatan
Metacognitive Inner Speech
Kelas Kontrol:
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian pembelajaran metacognitive inner speech dapat
disimpulkan sebagai beriku:
1. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran melalui pendekatan metacognitive inner speech lebih baik
daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
metacognitive inner speech termasuk dalam kategori rendah.
2. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran melalui pendekatan metacognitive inner speech
lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan metacognitive inner speech termasuk
dalam kategori sedang.
3. Kemandirian belajar siswa yang memperoleh pembelajaran melalui
pendekatan metacognitive inner speech lebih baik daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional. Kemandirian belajar siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan metacognitive inner speech termasuk
dalam kategori rendah.
4. Peningkatan kemandirian belajar siswa yang memperoleh pembelajaran
melalui pendekatan metacognitive inner speech lebih baik dari pada siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional. Peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
metacognitive inner speech termasuk dalam kategori rendah.
B. Implikasi
Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan implikasi dari kesimpulan
65
1. Penerapan pembelajaran dengan pendekatan metacognitive inner speech
dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan
kemandirian belajar siswa SMP. Kemampuan pemecahan masalah merupakan
salah satu faktor yang penting dalam pembelajaran matematika dan
kemandirian belajar dapat meningkatkan performa belajar siswa yang lebih
optimal.
2. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP dapat terus
meningkat jika dalam pembelajaran dengan pendekatan metacogitive inner
speech, siswa dapat membaca dan memahami soal dengan baik, serta menjadi
lebih teliti.
3. Kemandirian belajar siswa SMP juga dapat terus meningkat jika dalam
pembelajaran dengan pendekatan metacognitive inner speech siswa
berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran, dapat mengatur waktunya
agar lebih efisien serta mengevaluasi dirinya ketika melakukan kesalahan.
4. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah penerapan
pembelajaran dengan pendekatan metacognitive inner speech
mengembangkan kemampuan siswa SMP menguasai konsep-konsep
matematis dan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan
kemandirian belajar siswa.
C. Saran
Berdasarkan hasil analisis data penelitian, berikut peneliti kemukakan
beberapa saran.
1. Pembelajaran metacognitive inner speech sebaiknya dijadikan salah satu
alternatif dalam pembelajaran matematika di sekolah, karena dapat membuat
siswa untuk fokus ketika belajar matematika.
2. Sebaiknya membiasakan untuk memberikan siswa soal-soal non rutin karena
siswa masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal tersebut,
sehingga kemampuan siswa dalam memecahkan soal dapat meningkat lebih
66
3. Penelitian ini sebaiknya dikembangkan dengan menerapkan pembelajaran
metacognitive inner speech pada materi lain yang dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar siswa.
4. Pembelajaran metacognitive inner speech sebaiknya digunakan untuk
mengukur kemampuan matematis yang lain.
5. Subyek pada penelitian ini adalah siswa SMP, sebaiknya dilakukan penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, R. (2009). Studi Perbandingan kemampuan komunikasi matematik dan Kemandirian Belajar Siswa pada Kelompok Siswa yang Belajar Reciprocal Teaching dengan Pendekatan Metakognitif dan Kelompok Siswa yang Belajar dengan Pembelajaran Biasa. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Azwar, S. (2005). Sikap Manusia (Teori dan Pengukurannya). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Balitbang. (2012). http://litbang.kemdikbud.go.id/. Diakses 23 November 2012.
Bano, E. (2012). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis Siswa SMA Melalui Pendekatan Metakognitif Berbantuan Autograph. Tesis pada Sps UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Bell, F. H. (1978). Teaching and Learning Mathematics (In Secondary School). United States of America: Win C. Brown Company.
Busnawir. (2006). Pengaruh Penilaian Berbasis Portofolio terhadap Hasil Belajar Matematika dengan Mempertimbangkan Kemandirian Belajar Siswa (Eksperimen pada Siswa SMP Negeri 44 Jaktim, 2006). Jakarta: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan.
Butler, D.L. (2002). Individualizing Instruction in Self-Regulated Learning. http://articles.findarticles.com/p/articles/mi_mOQM/is_2_41/ni_90190495
Dahlan, J. A. (2011). Analisis Kurikulum Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka.
Diknas. (2006). Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Pendidikan Nasional
Efklide, A. & Misailidi, P. (2010). Trends and Prospects in Metacognition Research. New York: Springer.
Ehrich, J. F. (2006). Vygotskian Inner Speech and Reading Process: Australian Journal of Educaional & Developmental Psychology Vol. 6. Queensland University of Technology.
68
Hays, W. L. (1976). Quantification in Psychology. New Delhi: Prentice Hall.
Ifenthaler, D. (2012). Determining the Effectiveness of Prompts for Self-Regulated Learning in Problem-Solving Scenarios. Educational Technology & Society, 15 (1), 38-52.
Joyce, B., Weil, M., & Calhoun, E. (2009). Models of Teaching (Model-Model Pengajaran) Edisi Delapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Krulik, S. & Reys, R. E. (1980). Problem Solving in School Mathematics. Virginia: NCTM.
Ladysa, D. (2012). Peningkatan Komunikasi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metacognitive Inner Speech. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Lewis, J. P. & Litchfield, B. C. Effects of Self-Regulated Learning Strategies on Preservice Teachers in an Educational Technology Course. Journal Education Vol. 132 No. 2. University of South Alabama.
Limjap, A. A. (2009). Issues on Problem Solving: Drawing Implications for a Techno-Mathematics Curriculum at the Collegiate Level. Philippines: De La Salle University.
Maulana. (2008). Pendekatan Metakognitif sebagai Alternatif Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa PGSD. Jurnal, Pendidikan Dasar No. 10.
Minium, E. W., et al. (1993). Statistical Reasoning in Physhology and Education. Canada: John Wiley & Sons, Inc.
Morin, A. & Everett, J. (1990). Inner Speech as A Mediator of Self-Awareness, Self-Consciousness, and Self-Knowledge: an Hypothesis. New Ideas in Psychol. Vol. 8, No. 3, pp. 337-356.
69
Nodoushan, M. A. S. (2012). Self-regulated Learning (SRL): Emergence of the RSRLM Model. International Journal of Language Studies (IJLS). Vol. 6(3). 1-16.
Noes, S. H. (2010). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis, Kreatif, dan Reflektif Matematis Siswa SMP melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Noornia, A. (2011). Pembelajaran Kooperatif dengan Pendekatan Metakognitif untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Pemecahan Masalah Matematis serta Kaitannya dengan Self-Regulated Learning. Disertasi pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Ozsoy, G. & Ataman, A. (2009). The Effect of Metacognitive Strategy Training on Mathematical Problem Solving Achievement. International Electronic Journal of Elementary Education. Vol. 1, Issue 2.
Pape, S.J, et. al. (2003). Developing in Mathematical Thinking and Self-Regulated Learning: Teaching Elementary in Seventh Grade Mathematics Clasroom. Journal Educational Studies in Mathematics. 53,179-202.
Pintri ch. (1995). Promotion of Self Regulat ed L ear ning. http:// dwb.unl.edu/ B ook/C H09/Chapt er09w.htm l. Diakses 11 Oktober 2012.
Polya, G. (1981). How to Solve It. Zurich: Princeton University Press.
Prabawa, H. W. (2009). Peningkatan Kemampuan Penalaran dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif. Tesis pada SPs UPI: Tidak Diterbitkan.
Ruseffendi, E. T. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Departemen Pendidikan Kebudayaan.
_______________. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Samuelsson, J. (2008). The Impact of Teaching Approaches on Students’ Mathematical Proficiency in Sweden: International Electronic Journal of Mathematics Education Vol. 5. Linkopings University.
70
Schunk, D. H. (2008). Learning Theories: An Educational Perspective. Chapter 4. Learning Theories-Behaviorism. London: Merill Prentice Hall.. http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=asia%20e%20university%20lear ning%20theories%20behaviorism&source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CC 4QFjAB&url=http%3A%2F%2Fpeoplelearn.homestead.com%2FBEduc%2 FChapter_4.pdf&ei=TBraUc3XDcm3rAe94ICACA&usg=AFQjCNGk7ib4 BpAARRy0AsdrV6lRVKz8vw&bvm=bv.48705608,d.bmk. Asia e University. Diakses 6 Juli 2013.
Schunk, D.H, & Zimmerman, B.J. (1998). Self-Regulated Learning: From Teaching to Self-Reflective Practice. New York: Guilford Press.
Shuy, T., OVAE, & TEAL Staff. (2010). Self-Regulated Learning. U.S.: U.S. Department of Education.
Sudjana. (2005). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, R & D. Bandung: CV Alfabeta.
Suhendra. (2010). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Keterampilan Metakognitif untuk Mengembangkan Kompetensi Matematis Siswa. Tesis pada SPs UPI: Tidak Diterbitkan.
Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: JICA UPI.
Suherman, E, dkk. (2003). Strategi pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA UPI.
Suherman, E. & Kusumah, Y. S. (1990). Petunjuk Praktis Untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157.
Sumarmo, U. (2000). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Intelektual Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Dasar. Laporan Penelitian UPI. Tidak diterbitkan.
__________. (2004). Kemandirian Belajar, Apa, Mengapa dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. Laporan Penelitian UPI. Tidak diterbitkan.
71
Supratman. (2009). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Melalui Pembelajaran dengan Peta Konsep. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
To, K. (1996). Mengenal Analisis Tes (Pengantar ke Program Komputer ANATES). Bandung: FIP IKIP Bandung.
Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (berparadigma Eksploratif dan Investigasi). Jakarta: Leuser Cita Pustaka.
Wahyudin. (2003). Peranan Problem Solving. Makalah Seminar Technical Cooperation Project for Development of Mathematics and Science for Primary and Secondary Education in Indonesia. August 25, 2003.
Wilson, P. S. (Ed.). (1993). Research Ideas for the Classroom: High School Mathematics. New York: MacMillan.
Winne, P. H. (1997). Experimenting to Bootstrap Self-Regulated Learning. Journal of Educational Psychology. 89. 3. 397-410.
Yee, L. P. & Hoe, L. N. (2009). Teaching Secondary School Mathematics A Resource Book (Second Edition, Updated). Singapore: Mc Graw Hill.
Yimer, A. & Ellerton, N. F., (2006). Cognitive and Metacognitive Aspects of Mathematical Problem Solving: An Emerging Model. Article, Conference Paper Edition.
Zakin, A. (2007). Metacognition and the Use of Inner Speech in Children’s Thinking: A Tool Teachers Can Use: Journal of Education and Human Development Vol. 1. The City University of New York.
Zamnah, L. N. (2012). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Self-Regulated Learning Melalui Pendekatan Problem-Centered Learning dengan Hand-On Activity. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Zimmerman, B. (1989). A Social Cognitive View of Self Regulated Academic Learning. Journal of Educational Psychology, 3, 329-339.
Zimmerman, B. J., (1990). Self-Regulated Learning and Academic Achievement:: An Overview. Educational Physchologist, 25(1), 3-17.
72
Behaviorism, Cognitivism, Constructivism.