ABSTRAK
Muhamad Zulfikar Mansyur. (1003095). Penerapan Pendekatan Pembelajaran Metacognitive Scaffolding untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pentingnya kemampuan pemecahan masalah matematis dan fakta rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP. Adapun tujuan penelitian ini adalah: (1) mengetahui apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pendekatan pembelajaran metacognitive scaffolding lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional; (2) mengetahui sikap siswa terhadap penerapan pendekatan pembelajaran metacognitive scaffolding pada pembelajaran matematika. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan desain penelitiannya adalah nonequivalent control group design Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII di SMP Negeri 16 Bandung pada tahun ajaran 2013/2014. Pada penelitian ini diambil dua kelas sebagai sampel dari sejumlah kelas VIII secara acak kelas. Satu kelas sebagai kelas eksperimen mengikuti pembelajaran dengan pendekatan metacognitive scaffolding dan satu kelas sebagai kelas kontrol mengikuti pembelajaran secara konvensional. Adapun data penelitian ini diperoleh melalui tes kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, lembar observasi dan angket. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan metacognitive scaffolding lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. Selain itu, sebagian besar siswa memberikan sikap yang positif
terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan
metacognitive scaffolding.
ABSTRACT
Muhamad Zulfikar Mansyur. (1003095). Assembling of Metacognitive Scaffolding Teaching Approach to Enhance the Junior High School Students’s Mathematical Problem Solving Ability.
This research was motivated by the fact that mathematical problem solving ability were important and still low in junior highschool students. The objectives of this study were: (1) determine whether the increased problem solving abilities of students who obtained teaching under metacognitive scaffolding teaching approach was better than students who obtained teaching under conventional teaching model; (2) determine students’ attitudes toward assembling of metacognitive scaffolding teaching model in mathematics teaching. The method used in this study was quasi-experimental with nonequivalent control group design. The population in this study were all 8th grade students of 16th junior high school Bandung academic year 2013/2014 and the samples were students from two classes of the school, which was one class as experimental group that obtained teaching under metacognitive scaffolding teaching approach and the other as control group that obtained conventional teaching model. The data were obtained from mathematical problem solving test, observation sheets and questionnaires. The results were: (1) enhancement mathematical problem solving ability of students who obtained teaching under metacognitive scaffolding teaching approach was better than students who obtained teaching under conventional teaching model; (2) students gave positive attitude toward assembling of metacognitive scaffolding teaching approach in mathematics teaching.
DAFTAR ISI
Halaman
PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iv
UCAPAN TERIMAKASIH ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang ... 2
B.Rumusan Masalah ... 6
C.Tujuan Penelitian ... 6
D.Manfaat Penelitian ... 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 8
A.Metacognitive Scaffolding ... 8
B.Pemecahan Masalah matematis ... 12
C.Pembelajaran Konvensional ... 20
D.Sikap ... 21
E.Hubungan antara Pendekatan Metacognitive Scaffolding dengan Kemampuan Pemecahan Masalah ... 23
F. Penelitian yang Relevan ... 25
G.Kerangka Pemikiran ... 27
H.Hipotesis Penelitian ... 29
BAB III METODE PENELITIAN ... 30
A.Metode dan Desain Penelitian ... 30
B.Populasi dan Sampel Penelitian ... 31
viii
D.Instrumen ... 32
1. Instrumen Pembelajaran ... 32
2. Instruen Penelitian ... 33
E.Prosedur Penelitian ... 43
F. Teknik Analisis Data ... 44
1. Analisis Data Kuantitatif ... 44
2. Analisis DataKualitatif ... 49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 50
A.Hasil Penelitian ... 50
1. Analisis Data Kuantitatif ... 50
2. Analisis Data Kualitatif ... 57
B.Pembahasan Hasil Penelitian ... 60
1. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa . 61 2. Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Metacognitive Scaffolding ... 64
3. Kegiatan Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Metacognitive Scaffolding ... 65
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 67
A. Kesimpulan ... 67
B.Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA ... 68
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 72
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Rancangan Instrumen ... 33
Tabel 3.2 Kriteria Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa .. 35
Tabel 3.3 Kriteria Validitas Instrumen ... 36
Tabel 3.4 Validitas Tiap Butir Soal ... 36
Tabel 3.5 Daftar Hasil Uji Keberartian Tiap Butir Soal ... 37
Tabel 3.6 Kriteria Reliabilitas ... 38
Tabel 3.7 Kriteria Daya Pembeda ... 40
Tabel 3.8 Daya Pembeda Tiap Butir Soal ... 40
Tabel 3.9 Kriteria Indeks Kesukaran ... 41
Tabel 3.10 Indeks Kesukaran Tiap Butir Soal ... 41
Tabel 3.11 Rekapitulasi Hasil Pengolahan Instrumen Tes ... 42
Tabel 3.12 Kriteria Klasifikasi Indeks Gain ... 48
Tabel 3.13 Ketentuan Pemberian Skor Pernyataan Skala Sikap ... 49
Tabel 4.1 Daftar Hasil Uji Kesamaan Dua Rata-Rata Skor Pretest... 52
Tabel 4.2 Daftar Hasil Uji Perbedaan Dua Rata-Rata Skor Indeks Gain ... 55
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Desain Metacognitive Scaffolding ... 11
Gambar 2.2 Kerang Pikir Penelitian ... 28
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran A Perangkat Pembelajaran ... 73
Lampiran A.1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Eksperimen ... 74
Lampiran A.2 Lembar Kerja Siswa (LKS) ... 161
Lampiran A.3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Kontrol ... 190
Lampiran B Instrumen Penelitian ... 215
Lampiran B.1 Kisi-Kisi Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 216
Lampiran B.2 Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 217
Lampiran B.3 Rubrik Jawaban Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 218
Lampiran B.4 Lembar Observasi Guru ... 226
Lampiran B.5 Lembar Observasi Siswa ... 227
Lampiran B.6 Kisi-Kisi Angket Skala Sikap ... 228
Lampiran B.7 Angket Skala Sikap ... 230
Lampiran C Hasil Uji Instrumen dan Pengolahan Data ... 232
Lampiran C.1 Hasil Uji Instrumen ... 233
Lampiran C.2 Pra Pengolahan Data ... 240
Lampiran C.2.1 Skor Pretest dan Posttest ... 240
Lampiran C.2.2 Olah Data Pretest Kelas Eksperimen... 242
xii
Lampiran C.2.4 Olah Data Posttest Kelas Eksperimen ... 250
Lampiran C.2.3 Olah Data Posttest Kelas Kontrol ... 254
Lampiran C.3 Pengolahan Data ... 258
Lampiran C.3.1 Skor Pretest dan Posttest ... 258
Lampiran C.3.2 Olah Data Pretest ... 260
Lampiran C.3.3 Olah Data Indeks Gain ... 262
Lampiran C.3.4 Olah Data Postest... 264
Lampiran C.3.5 Olah Data Angket Skala Sikap ... 266
Lampiran C.3.6 Rekapitulasi Hasil Observasi Aktivitas Guru ... 272
Lampiran C.3.7 Rekapitulasi Hasil Observasi Aktivitas Siswa ... 273
Lampiran D Contoh Jawaban Instrumen Test dan Non-tes ... 374
Lampiran D.1 Contoh Lembar Jawaban Pretest ... 375
Lampiran D.2 Contoh Lembar Jawaban Posttest... 386
Lampiran D.3 Contoh Lembar Kegiatan Siswa (LKS) ... 300
Lampiran D.1 Lembar Observasi Guru... 329
Lampiran D.2 Lembar Observasi Siswa ... 334
Lampiran D.3 Contoh Angket Skala Sikap ... 338
Lampiran E Surat Penelitian ... 344
Lampiran E.1 Surat Izin Penelitian ... 345
BAB I
LATAR BELAKANG
A. Latar Belakang
Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat penting dan wajib
dipelajari pada setiap jenjang pendidikan. Hal ini dikarenakan matematika
merupakan dasar dari berbagai disiplin imu, seperti diungkapkan oleh Soedjadi
(2000:138) bahwa matematika adalah salah satu ilmu dasar, baik aspek terapannya
maupun aspek penalarannya mempunyai peranan yang penting dalam upaya
penguasaan ilmu dan teknologi. Soejadi (2000: 42) juga mengungkapkan Tujuan
dari pendidikan matematika pada jenjang sekolah dasar dan menengah adalah
menekankan pada penataan nalar dan pembentukan kepribadian (sikap) siswa agar
dapat menerapkan atau menggunakan ilmu matematika dalam kehidupannya.
Mengingat pentingnya matematika dalam ilmu pengetahuan serta kehidupan pada
umumnya, maka matematika perlu dipahami oleh semua lapisan masyarakat
terutama siswa sekolah formal.
Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) pada tahun 2006
mengeluarkan tujuan umum yang harus dicapai dalam pembelajaran maematika
yang tertuang dalam standar isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),
yaitu:
1 Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma (secara luwes, akurat, efesien, dan
tepat) dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan yang memahami masalah,
merancang pendekatan matematika, menyelesaikan pendekatan dan
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Isi dari standar isi KTSP tersebut menyebutkan bahwa pemecahan masalah
merupakan bagian penting dari pembelajaran matematika. Oleh karena itu,
kemampuan pemecahan masalah pada siswa dipandang perlu untuk
dikembangkan. Pada kurikulum 2013 juga disebutkan bahwa kemampuan
pemecahan msalah menjadi hal yang harus dicapai siswa, hal ini terlihat pada
kompetensi dasar dimana menyelesaikan masalah menjadi kompetensi dasar yang
harus dicapai siswa (Permendikbud no.68, 2013: 42). Jusra (2013:2-3)
mengungkapkan kemampuan pemecahan masalah juga digunakan pada kurikulum
dari negara-negara lain, seperti di Amerika Serikat pemecahan masalah telah
menjadi fokus utama dalam penelitian pendidikan matematika dari pertengahan
tahun 1970an hingga akhir 1980an. Pembelajaran matematika di Jepang juga
sebagian besar telah dipengaruhi oleh penekanan pemecahan masalah sebagai
aplikasi praktis yang baik dari reformasi matematika. Begitupun dengan Negara
tetangga, yaitu Singapura sejak tahun 1990 pemecahan masalah matematis telah
menjadi tujuan utama dari kurikulum sekolah matematika.
Pentingnya pemecahan masalah matematis juga terlihat dari
dimasukkannya pemecahan masalah matematis sebagai standar proses, baik dalam
Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics [CESSM] maupun
dalam Principles and Standards for School Mathematics [PSSM] (Prabawanto,
2013:2). Dalam CESSM dan PSSM (Prabawanto, 2013:2), pemecahan masalah
ditempatkan dalam urutan pertama standar proses. Prabawanto (2011) juga
mengungkapkan bahwa pemecahan masalah dapat menguntungkan bagi belajar
matematika siswa dan bahwa memberikan siswa dengan fakta-fakta dan
prosedur-prosedur ternyata tidak cukup untuk menghasilkan siswa yang mampu dalam
pemecahan masalah. Padahal pemecahan masalah mendorong munculnya
3
kebutuhan-kebutuhan profesional dan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan kata lain, dengan belajar pemecahan masalah, siswa mempunyai
kesempatan lebih banyak dalam menyiapkan diri untuk menghadapi berbagai
aspek kehidupannya setelah menyelesaikan sekolah.
Hasil survei TIMSS (Trends in International Mathematics and Science
Study) dan PISA (Programme for International Student Assessment) (Balitbang
Kemdikbud 2011, Prabawanto 2013) mengungkap bahwa kemampuan pemecahan
masalah matematis Indonesia selalu berada di bawah rata-rata internasional dan
terlihat bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa Indonesia masih
terbilang rendah.
Dalam kenyataannya di lapangan, pembelajaran matematika jarang
memfasilitasi siswa untuk dapat mengasah kemampuan pemecahan masalah
matematis. Guru dalam mengajar hanya sebatas mencontohkan kepada siswa
bagaimana cara menyelesaikan soal, siswa belajar dengan cara mendengar dan
menonton guru melakukan matematika, kemudian guru mencoba memecahkan
sendiri. Dengan begitu, kemampuan siswa tidak berkembang secara utuh dan hal
tersebut juga menyebabkan kemampuan pemecahan masalah siswa menjadi
rendah. Pembelajaran yang demikian biasa disebut dengan pembelajaran
konvensional dimana guru menjadi pusat pembelajaran dan siswa cenderung pasif
mengikuti proses pembelajaran yang diberikan oleh guru. Banyaknya guru yang
menggunakan pembelajaran konvensional salah satunya karena pembelajaran
konvensional sendiri memiliki beberapa kelebihan diantaranya :
a. Lebih ekonomis dalam hal waktu kelas, sebab pendekatan pembelajaran ini
membawa gagasan guru langsung pada masalah/ fokus.
b. Memberi kemungkinan kepada guru untuk menggunakan pengalaman,
pengetahuan dan kearifannya.
c. Memungkinkan guru meliputi jumlah siswa yang besar dan bila diperlukan
meliputi bahan pelajaran yang luas.
d. Guru dapat membantu siswa untuk mendengar secara akurat, kritis dan
e. Dapat membantu mengintrodusir topik baru dengan menyediakan latar
belakang bahan yang akan diperlukan siswa dalam belajar lebih lanjut.
(Wahab, 2008:89)
Selain kelebihan pembelajaran konvensional ini juga memiliki kekurangan
yaitu:
a. Melumpuhkan kreatifitas
b. Materi pelajaran terurut secara kaku
c. Sangat bergantung pada pengetahuan dan keterampilan dasar guru,
d. Kurang efektif untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi
(Huit dalam Permatasari, 2011:33-34)
Berdasarkan hasil observasi di salah satu SMP Negeri di kota Bandung
pada pembelajaran matematika, siswa tidak terbiasa dengan pembelajaran secara
berkelompok, soal yang diberikan kepada siswa adalah soal yang rutin dan kurang
diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, ide dan gagasan.
Dari masalah yang diungkapakan di atas, perlu adanya upaya untuk
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Salah satu hal
yang dapat dilakukan untuk dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa adalah dengan menggunakan teknik, metode, dan pendekatan
pembelajaran matematika yang menuntut siswa untuk dapat menguasai materi
tanpa harus berpusat pada guru dalam pembelajarannya. Siswa yang belajar secara
mandiri kemudian merasakan kesulitan maka dia dikatakan berada pada ZPD
(Zone of Proximal Development) siswa. Salah satu metode atau pendekatan
pembelajaran yang dapat digunakan ketika siswa merasakan kesulitan tersebut
adalah metacognitive scaffolding.
Scaffolding adalah pemberian sejumlah bantuan kepada anak selama
tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan
kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin
besar setelah ia dapat melakukannya (Mulyana dalam Anjani, 2013:4). Scaffolding
ini dibutuhkan karena sebenarnya siswa memiliki potensi yang sangat kaya namun
siswa belum memiliki kemampuan untuk mengorganisir informasi atau
5
Awi (Murod, 2013:7) dikenal sebagai salah satu bentuk kemampuan
metacognitive. Selanjutnya Awi (Murod, 2013:7) menambahkan bahwa untuk
melibatkan metakognisi siswa pada saat berada pada ZPDnya, maka dibutuhkan
bantuan berupa scaffolding dari guru atau orang yang lebih menguasai. Bantuan
yang dimaksud disini bukan dengan cara memberikan teorema atau rumus yang
berkaitan dengan masalah yang dihadapi siswa, namun berupa bantuan yang
mengarahkan siswa melibatkan metakognisinya dalam belajar. Bantuan dalam hal
ini dapat berupa pertanyaan, arahan, atau perintah yang diistilahkan sebagai
metacognitive scaffolding.
Setiap siswa tentu berbeda dengan yang lainnya yang tentunya memiliki
kemampuan metakognitif yang berbeda pula, sehingga mengharuskan guru
memberikan bantuan yang berbeda-beda kepada setiap siswa tergantung kepada
kemampuan yang dimilikinya. Sehingga hal ini akan menjadi suatu hambatan bagi
guru dalam menerapkan pendekatan metacognitive scaffolding dalam
pembelajaran matematika di kelas yang terdiri dari puluhan siswa. Untuk itu,
pendekatan ini perlu dikombinasikan dalam pola belajar kooperatif dimana
nantinya siswa akan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil berjumlah 4-5
orang. Dengan demikian pedekatan pembelajaran metacognitive scaffolding dalam
pola belajar kooperatif inilah selanjutnya disebut pedekatan metacognitive
scaffolding yang akan digunakan dalam penelitian ini dan diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
Selain pembelajaran, sikap siswa terhadap matematika dan proses
pembelajaran matematika merupakan faktor yang dapat mempengaruhi prestasi
belajar siswa.. Sikap siswa yang menganggap bahwa matematika maerupakan
pelajaran yang sulit, membosankan, terlalu banyak rumus, dan lain sebagainya
masih menjadi anggapan umum dikalangan para siswa. Hal tersebut dapat
menyebabkan siswa menjadi kurang semangat dalam mempelajari matematika
sehingga dapat mempengaruhi hasil belajar matematika siswa. Jika sikap siswa
terhadap matematika positif, diharapkan siswa menjadi bersemangat dalam
mempelajari matematika dan bersungguh-sungguh dalam mempelajari
sebagaimana yang diungkapkan oleh Begle (Darhim, 2012) bahwa sikap positif
siswa terhadap matematika berkorelasi positif terhadap prestasi belajar. Dalam
prestasi belajar matematika yang menjadi salah satu tolak ukurnya adalah
kemampuan kognitif siswa. Berdasarkan yang telah diungkapkan sebelumnya
bahwa kemampuan pemcahan masalah menjadi salah satu tujuan dari
pembelajaran matematika, sehingga salah satu kemampuan kognitif siswa yang
harus dikuasai adalah kemampuan pemecahan masalah matematis. Ini berarti
sikap positif siswa berkorelasi positif juga terhadap kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa. Maka dari itu perlu dilakukan kajian mengenai sikap
siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan metacognitive scaffolding.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis bermaksud melakukan penelitian
dengan judul “Penerapan Pendekatan Pembelajaran Metacognitive Scaffolding
untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Sekolah
Menengah Pertama .”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah
dalam penelitian adalah sebagai berikut
a. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
yang memperoleh pendekatan pembelajaran Metacognitive Scaffolding
lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?
b. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan
menggunakan pendekatan Metacognitive Scaffolding?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
penelitian yang dilakukan bertujuan untuk:
a. Mengetahui Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa yang memperoleh pendekatan pembelajaran
Metacognitive Scaffolding lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional
b. Mengetahui sikap siswa terhadap Pendekatan Pembelajaran Metacognitive
7
D. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya
pemahaman tentang pengaruh Pendekatan Pembelajaran Metacognitive
Scaffolding dalam kemampuan pemecahan masalah.
b. Manfaat Praktis
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah
1) Bagi guru, Pendekatan Pembelajaran Metacognitive Scaffolding dapat
dijadikan alternatif dalam pembelajaran untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
2) Bagi siswa, untuk meningkatkan kemampuan pemecahan msalahnya
melalui pembelajaran matematika berbasis masalah sehingga
diharapkan siswa akan lebih aktif lagi dalam memecahkan
permasalahan matematika lainnya.
3) Bagi sekolah, untuk memberikan masukan dalam proses pengembangan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode dan Desain Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pendekatan
pembelajaran mtecognitive scaffolding lebih baik daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional, sehingga penelitian ini merupakan
penelitian kuasi eksperimen yaitu penelitian yang dilakukan untuk melihat
hubungan sebab akibat. Perlakuan yang dilakukan terhadap variabel bebas,
hasilnya akan terlihat pada variabel terikatnya. Dalam penelitian ini, variabel
bebasnya adalah pendekatan pembelajaran metacognitive scaffolding dan
variabel terikatnya adalah kemampuan pemecahan masalah matematis.
Desain penelitian ini adalah desain nonequivalent control group design.
Kelompok eksperimen diberikan perlakuan pembelajaran matematika dengan
pendekatan metacognitive scaffolding dan kelompok kontrol diberikan
pembelajaran secara konvensional. Sebelum diberikan perlakuan, kedua
kelompok ini diberikan pretest untuk mengetahui kemampuan awal siswa.
Kemudian, setelah diberikan perlakuan kedua kelompok diberikan posttest.
Soal yang diberikan untuk pretest dan posttest merupakan soal yang serupa.
Adapun desain penelitiannya adalah
O X O
---
O O
Keterangan:
O : Pretest dan postets berupa tes kemampuan pemecahan masalah matematis
X :Pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metacognitive
scaffolding.
31
B. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian adalah seluruh siswa kelas VIII di SMP Negeri 16
Bandung tahun ajaran 2013/2014. Penentuan sampel dilakukan dengan
menggunakan teknik Purposive Sampling, yaitu teknik pengambilan sampel
berdasarkan pertimbangan tertentu (Sukardi, 2003: 64). Peneliti tidak dapat
membuat kelas baru, maka peneliti menggunakan kelas yang sudah terbentuk
yang ada di sekolah tersebut. Setelah dilakukan purposive smpling terpilih kelas
8.1 sebagai kelas eksperimen yang mendapat pembelajaran matematika dengan
pendekatan metacognitive scaffolding dan kelas 8.10 sebagai kelas kontrol yang
mendapat pembelajarn matematika dengan metode konvensional
C. Definisi Operasional
Agar terdapat kesamaan persepsi istilah-istilah yang digunakan dalam makalah
ini, maka istilah-istilah tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan siswa dalam
menyelesaikan soal (masalah matematis) non rutin, yaitu suatu soal yng harus
dikerjakan siswa namun siswa belum tahu bagaimana cara mengerjakan soal
tersebut. Adapun indikator kemampuan pemecahan masalah matematis
didalam penelitian ini adalah:
1. Kemampuan menyelesaikan masalah matematis tertutup dengan konteks
di dalam matematika.
2. Kemampuan menyelesaikan masalah matematis tertutup dengan konteks
di luar matematika..
3. Kemampuan menyelesaikan masalah matematis terbuka dengan konteks
di dalam matematika.
4. Kemampuan menyelesaikan masalah matematis terbuka dengan konteks
di luar matematika.
2. Pendekatan Pembelajaran Metacognitive Scaffolding yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah pembelajaran yang ditandai dengan aktifitas sebagai
berikut:
b. Guru mengelompokkan siswa kedalam beberapa kelompok
c. Guru memberikan masalah matematis kepada siswa
d. Siswa mencoba menyelesaikan masalah matematis dengan berdiskusi di
kelompoknya.
e. Guru membimbing siswa dalam investigasi masalah dengan memberikan
bantuan bersifat metakognitive dan sementara yang nantinya bantuan ini
akan dikurangi terus meerus sampai siswa mampu menyelesaikan
masalah secara mandiri. Bantuan bersifat metakognitif ini berupa
pertanyaan, arahan, atau perintah sehingga siswa dapat merencanakan
dan mengevaluasi diri dalam menyelesaikan masalah matematis.
f. Beberapa siswa menyajikan hasil investigasi di depan kelas.
g. Siswa lain menanggapi hasil sajian siswa didepan kelas
h. Guru mengevaluasi hasil diskusi masalah.
3. Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang biasanya dilakukan
dengan pendekatan ekspositori. Pembelajaran ini diawali dengan pemberian
materi oleh guru, dilanjutkan dengan pemberian contoh kemudian siswa
mengerjakan soal latihan dan terakhir siswa diberikan soal-soal pekerjaan
rumah jika dianggap perlu.
D. Instrumen
Dalam penelitian ini, instrumen yang akan dikembangkan berupa instrumen
pembelajaran yang terdiri dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan
Lembar Kegiatan Siswa (LKS) serta instrumen penelitian yang terdiri dari
intstrumen tes dan non-tes.
1. Instrumen Pembelajaran
a. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rencana kegiatan
pembelajaran tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih. RPP
dikembangkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan pembelajaran
peserta didik dalam upaya mencapai Kompetensi Dasar (KD)
33
kontrol disesuaikan dengan langkah-langkah pembelajaran konvensional.
Sedangkan RPP untuk kelas eksperimen disesuaikan dengan
langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan metacognitive scaffolding.
b. Lembar Kegiatan Siswa (LKS)
LKS merupakan suatu bahan ajar cetak berupa lembar-lembar kertas
yang berisi materi, ringkasan, dan petunjuk-petunjuk pelaksanaan tugas
pembelajaran yang harus dikerjakan oleh siswa, yang mengacu pada
kompetensi dasar yang harus dicapai (Prastowo dalam Maya, 2012: 35).
Dalam penelitian ini, pada kelas eksperimen LKS disusun menyesuaikan
dengan langkah-langkah pendekatan metacognitive scaffolding dan indikator
kemampuan pemecahan masalahi matematis, sedangkan kelas kontrol tidak
menggunakan LKS tetapi hanya menggunakan buku sumber.
2. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah suatu alat pengumpul data untuk mengevaluasi
kemampuan kognitif, afektif, dan psikmotor siswa. Instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini terdiri dari instrumen tes dan non-tes. Instrumen tes berupa
tes kemampuan pemecahan masalah matematis dan instrumen non-tes berupa
lembar observasi dan skala sikap.
a. Instrumen Tes
Instrumen tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan
Pemecahan masalah matematis. Dalam penelitian ini akan dilaksanakan dua kali
tes, yaitu pretest untuk mengetahui kemampuan awal siswa dalam memahami
konsep suatu materi matematika yang dipelajarinya sebelum mendapatkan
perlakuan dan postest untuk mengetahui sejauh mana variabel bebas berpengaruh
terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah
mendapatkan perlakuan. Soal pretest dan postest ini merupakan soal yang sama,
ini bertujuan agar terlihat ada atau tidaknya peningkatan kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa setelah penelitian.
Jenis tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes tertulis dengan bentuk
uraian.Tes uraian dipilih karena dengan tes uraian akan terlihat sejauh mana siswa
dapat mencapai setiap indikator kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa. Menurut Suherman (2003:77) penyajian soal tipe subjektif dalam bentuk
uraian ini mempunyai beberapa kelebihan, yaitu: 1) pembuatan soal bentuk uraian
relatif lebih mudah dan bisa dibuat dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, 2)
hasil evaluasi lebih dapat mencerminkan kemampuan siswa sebenarnya, dan 3)
proses pengerjaan tes akan menimbulkan kreativitas dan aktivitas positif siswa,
karena tes tersebut menuntut siswa agar berpikir secara sistematik, menyampaikan
pendapat dan argumentasi, mengaitkan fakta-fakta yang relevan.
Adapun pemberian skor tes kemampuan pemecahan masalah matematis
berpedoman pada kriteria yang dikemukakan oleh Prabawanto (2013), sebagai
35
Tabel 3.2
Kriteria Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa
Respon Siswa Skor
Tidak ada penyelesaian dan tidak menunjukkan
pemahaman terhadap masalah
0
jawaban salah atau tidak ada penyelesaian tetapi
menunjukkan pemecahan masalah
2
jawaban salah atau tidak selesai, sebagian proses
penyelesaian benar
4
jawaban benar alasan tidak relevan 6
Jawaban benar, alasan benar, tetapi kurang jelas 8
Jawaban Benar, alasan benar, dan jelas 10
Sebelum digunakan dalam penelitian, soal tes tersebut akan diujicobakan pada
siswa di luar sampel penelitian yang pernah mempelajari materi yang akan
diujikan. Pengujian soal tes tersebut bertujuan untuk mengetahui validitas butir
soal, reliabilitas tes, daya pembeda, dan indeks kesukaran butir soal. Data yang
diperoleh dari hasil uji coba kemudian akan diolah dengan menggunakan bantuan
Software Anates V4.0.5 tipe uraian.
1) Validitas Butir Soal
Suatu Alat Evaluasi disebut valid (sah) apabila alat tersebut mampu
mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi (Suherman, 2003:102). Untuk
menentukan tingkat (kriteria) validitas instrumen ini, akan digunakan koefisien
korelasi. Koefisien korelasi yang akan dihitung ini menggunakan rumus korelasi
produk-moment dari Pearson, adapun rumusnya adalah
Keterangan :
x y
r : koefisien korelasi antara X dan Y
N : banyaknya peserta tes
X : jumlah skor tiap butir soal
Y : skor total
Selanjutnya koefisien korelasi yang telah diperoleh diinterpretasikan dengan
menggunakan klasifikasi koefisien korelasi (koefisien validitas) menurut Guilford
(Suherman, 2003:112). Adapun klasifikasi koefisen validitas tersebut adalah
Tabel 3.3
Kriteria Validitas Instrumen
Koefisien Validitas Kriteria
, ≤ ≤ , Sangat tinggi
, ≤ < , Tinggi
, ≤ < , Sedang
, ≤ < , Rendah
, ≤ < , Sangat rendah
< , Tidak valid
Dari perhitungan hasil uji coba instrumen diperoleh koefisien korelasi
untuk setiap butir soal seperti disajikan dalam tabel berikut
Tabel 3.4
Validitas Tiap Butir Soal
Nomor Soal Koefisien Korelasi Interpretasi
1 0,754 Validitas tinggi
2 0,853 Validitas tinggi
3 0,779 Validitas tinggi
37
Hasil validitas di atas kemudian diuji keberartiannya untuk setiap butir
soal untuk mengetahui berarti atau tidaknya setiap butir soal yang telah diketahui
validitasnya. Perumusan hipotesis untuk uji keberartian adalah sebagai berikut:
H0 : Validitas tiap butir soal tidak berarti
H1 : Validitas tiap butir soal berarti
Statistik uji :
= √ −� −
Keterangan :
t : Keberartian
rxy : Validitas setiap butir soal
N : Banyaknya subjek
Kriteria pengujiannya:
Dengan mengambil taraf nyata (α = 0,05), maka H0 diterima jika:
− −� ; �− < < −� ; �−
(Sugiyono: 2013: 259)
Dari perhitungan hasil uji keberartian instrumen diperoleh hasil untuk tiap butir
soal disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 3.5
Daftar Hasil Uji Keberartian Tiap Butir Soal
No. Soal t hitung t tabel Interpretasi
1 5.133
2.09
Berarti
2 7.309 Berarti
3 5.556 Berarti
Tabel 3.5 menunjukkan bahwa nilai t hitung setiap butir soal yang
diperoleh dari koefisien korelasi lebih besar dari t tabel yang diperoleh dari tabel
distribusi student dengan t0,975;20. Hasil ini menyebabkan H0 ditolak, sehingga
dapat disimpulkan bahwa setiap butir soal valid dan berarti. Berdasarkan hal ini,
maka setiap butir soal yang telah diujikan dapat digunakan sebagai soal tes
instrumen kemampuan pemecahan masalah matematis pada penelitian ini.
2) Reliabilitas Tes
Reliabilitas suatu alat ukur atau alat evaluasi bertujuan sebagai suatu alat
yang memberikan hasil yang tetap sama (konsisten) meskipun dilakukan oleh
orang yang berbeda, waktu yang berbeda, dan tempat yang berbeda pula namun
diberikan pada subyek yang sama (Suherman, 2003:131). Alat ukur yang
reliabilitasnya tinggi disebut alat ukur yang reliabel. Untuk mengukur reliabilitas
instrumen tersebut, dapat digunakan nilai koefisien reliabilitas yang dihitung
dengan menggunakan rumus Alpha sebagai berikut:
r11 : koefisien reliabilitas alat evaluasi
n : Banyaknya butir soal
Tolak ukur untuk menginterpretasikan derajat reliabilitas alat evaluasi
dapat digunakan tolak ukur yang dibuat oleh J.P. Guilford (Suherman, 2003:139)
sebagai berikut :
Tabel 3.6
Kriteria Reliabilitas
Koefisien relibilitas ( ) Kriteria
< , Sangat rendah
39
, ≤ < , Sedang
, ≤ < , Tinggi
, ≤ ≤ , Sangat tinggi
Dari hasil perhitungan untuk soal bentuk uraian yang diujicoba, diperoleh
koefisien reliabilitas untuk keseluruhan soal sebesar 0.78 yang berati keseluruhan
butir soal memiliki derajat reliabilitas tinggi.
3) Daya Pembeda
Daya pembeda (DP) dari sebuah butir soal menyatakan seberapa jauh
kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan antara testi yang mengetahui
jaawabannya dengan benar dengan testi yang tidak dapat menjawab soal tersebut
(atau testi yang menjawab salah). Dengan kata lain, daya pembeda sebuah butir
soal adalah kemampuan butir soal itu untuk membedakan antara testi (siswa) yang
pandai atau berkemampuan tinggi dengan siswa yang kurang pandai (Suherman,
2003:159).
Daya pembeda sebuah butir soal dapat ditentukan dengan menggunakan
rumus
SM I X X
DP A B
Keterangan:
DP : Daya Pembeda
A
X : Rata-rata skor kelompok atas
B
X : Rata-rata skor kelompok bawah
SMI : Skor maksimum ideal
Setelah diperoleh hasil perhitungan daya pembeda setiap butir soal,
selanjutnya hasil perhitungan itu diinterpretasi dengan kriteria sebagai berikut
Tabel 3.7
Kriteria Daya Pembeda
Dari hasil perhitungan daya pembeda tipe uraian pada soal yang
diujicobakan, diperoleh hasil daya pembeda tiap butir soal disajikan pada tabel
berikut
Tabel 3.8
Daya Pembeda Tiap Butir Soal
Nomor Soal Daya Pembeda Interpretasi
1 0,667 Baik
2 0,633 Baik
3 0,567 Baik
4 0,267 Cukup
4) Indeks Kesukaran
Indeks kesukaran suatu butir soal adalah suatu parameter yang dapat
mengidentifikasikan tingkat kesukaran tiap butir soal yang diujikan kepada siswa.
Suatu soal dikatakan baik apabila soal tersebut tidak terlalu mudah dan tidak
terlalu sukar. Soal yang terlalu mudah kurang membuat siswa merasa tertantang
dalam menyelesaikan soal tersebut sedangkan soal yang terlalu sukar membuat
Daya pembeda (DP) Kriteria
�� = , Sangat jelek
, ≤ �� < , Jelek
, ≤ �� < , Cukup
, ≤ �� < , Baik
41
siswa menjadi putus asa dan malas untuk menyelesaikan persoalan yang
diberikan.
Untuk mengetahui tingkat atau indeks kesukaran setiap butir soal,
digunakan rumus sebagai berikut:
SM I X IK
Keterangan:
IK : Tingkat/indeks kesukaran
X : Rata-rata skor setiap butir soal
SMI : Skor maksimum ideal
Indeks kesukaran yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan
menggunakan rumus di atas, selanjutnya diinterpretasikan dengan menggunakan
kriteria sebagai berikut Suherman (2003: 170).
Tabel 3.9
Kriteria Indeks Kesukaran
Indeks kesukaran (IK) Kriteria soal
IK = 0,00 Soal terlalu sukar
, < �� ≤ , Soal sukar
, < �� ≤ , Soal sedang
, < �� < , Soal mudah
�� = , Soal terlalu mudah
Dari hasil perhitungan indeks kesukaran tipe uraian pada soal yang
diujicobakan, diperoleh hasil daya pembeda tiap butir soal disajikan pada tabel
berikut
Tabel 3.10
Indeks Kesukaran Tiap Butir Soal
Nomor Soal Indeks Kesukaran Interpretasi
1 0,533 Soal Sedang
3 0,317 Soal Sedang
4 0,167 Soal sukar
Berikut disajikan rekapitulasi dari tiap butir soal
Tabel 3.11
Rekapitulasi Hasil Pengolahan Instrumen Tes
Reliabilitas : 0,78 (Tinggi)
No
Soal
Validitas Indeks Kesukaran Daya Pembeda
Hasil Klasifikasi Hasil Klasifikasi Hasil Klasifikasi
1 , Validitas tinggi 0,533 Soal Sedang 0,667 Baik
2 , Validitas tinggi 0,617 Soal Sedang 0,633 Baik
3 , Validitas tinggi 0,317 Soal Sedang 0,567 Baik
4 , Validitas sedang 0,167 Soal Sukar 0,267 Cukup
Berdasarkan validitas, reliabilitas tes, daya pembeda, dan indeks kesukaran
dari setiap butir soal yang diujicobakan serta dengan mempertimbangkan
indikator yang terkandung dalam setiap butir soal tersebut, maka dalam penelititan
ini semua soal digunakan sebagai instrumen tes. Namun mengingat tidak adanya
soal dengan indeks kesukaran mudah dan mengingat tidak memungkinkannya
waktu untuk menguji ulang soal maka dilakukan perbaikan pada soal nomor 2
dengan berdiskusi dengan dosen pemimbing dan dari hasil diskusi diperoleh hasil
mengubah keterbacaan soal nomor 2 dan memperhatikan pemilihan angka.
Dengan mengubah keterbacaan soal nomor 2 dan mengubah pemilihan angka
diharapkan soal memiliki indeks kesukaran mudah. Sehingga kriteria mudah,
sedang, dan sukar terwakili dalam insrumen tes. Soal tes yang telah direvisi
tersebutlah yang digunakan dalam penelitian ini. Soal yang telah direvisi disajikan
dalam lampiran B.2.
43
Dalam penelitian ini instrumen non-tes yang digunakan adalah lembar
observasi dan angket dalam bentuk skala sikap. Lembar observasi merupakan
lembar aktivitas guru dan aktivitas siswa selama proses pembelajaran
berlangsung. Lembar observasi ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas
penggunaan pendekatan pembelajaran metacognitive scaffolding di dalam kelas.
Selain itu, lembar observasi ini juga digunakan sebagai bahan evaluasi bagi guru
dengan melihat apakah pembelajaran yang berlangsung telah sesuai dengan
indikator dan langkah-langkah pembelajaran yang digunakan, sehingga akan ada
perbaikan pada pembelajaran selanjutnya. Lembar observasi ini diisi oleh
observer selama proses pembelajaran berlangsung.
Skala sikap yang digunakan pada angket dalam penelitian ini adalah skala
likert. Penggunaan skala sikap bertujuan untuk mengetahui sikap siswa terhadap
proses pembelajaran yang dilakukan. Pembelajaran yang dimaksud disini adalah
pembelajaran matematka dengan pendekatan metacognitive scaffolding atau
dengan kata lain sikap responden yang ingin diketahui adalah sikap siswa pada
kelas eksperimen. Skala likert meminta responden untuk menjawab pertanyaan
dengan jawaban sangat setuju (SS), setuju (S), tak memutuskan (N), tidak setuju
(TS), dan sangat tidak setuju (STS) (Ruseffendi, 2010: 135). Namun pada
penelitian ini opsi tak memutuskan (N) tidak digunakan. Hal ini dikarenakan opsi
tak memutuskan dapat memunculkan keragu-raguan pada diri siswa padahal hasil
yang diharapkan adalah siswa memnberikan sifat positif atau negatif terhadap
pembelajaran yang diberikan. Sehingga untuk menghilangkan keragu-raguan pada
diri siswa maka opsi tak memutuskan (N) dihilangkan pada angket penelitian ini.
Angket diberikan kepada siswa pada pertemuan terkahir ketika postest.
E. Prosedur Penelitian
Secara garis besar, prosedur penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap
sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan
a. Melakukan studi pendahuluan
c. Membuat proposal penelitian
d. Menentukan materi ajar
e. Menyusun instrumen penelitian
f. Pengujian instrumen penelitian
g. Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja
Siswa (LKS), dan lembar observasi
h. Perizinan untuk penelitian.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Pemilihan sampel penelitian sebanyak dua kelas, yang disesuaikan
dengan materi penelitian dan waktu pelaksaan penelitian
b. Pelaksanaan pretest kemampuan pemecahan masalah matematis untuk
kedua kelas
c. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan menerapkan pendekatan
metacognitive scaffolding untuk kelas eksperimen dan pembelajaran
konvensional untuk kelas kontrol
d. Pelaksanaan posttest untuk kedua kelas
3. Tahap Pengumpulan dan Analisis Data
a. Mengumpulkan hasil data kuantitatif dan kualitatif
b. Mengolah dan menganalisis data kuantitatif berupa hasil pretest dan hasil
posttest
c. Mengolah dan menganalisis data kualitatif berupa lembar observasi.
4. Tahap Pembuatan Kesimpulan
Membuat kesimpulan dari data yang diperoleh, yaitu mengenai
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
F. Teknik Analisis Data
Setelah data dikumpulkan, dilakukan pengolahan dan analisis data-data
tersebut untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan pada bab sebelumnya.
Dalam analisis data ini, akan dianalisis kedua jenis data yaitu data kuantitatif dan
data kualitatif.
45
Analisis data kuantitatif ini dilakukan untuk mengetahui peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah memperoleh
pembelajaran baik di kelas kontrol maupun kelas eksperimen. Sebelum data
dianalisis terlebih dahulu dilakukan penilaian terhadap hasil pretes dan postes oleh
dua orang penilai yeng berkemapuan relatif sama dengan menggunakan rubrik
yang sama. Hal ini bertujuan untuk mengurangi subjektifitas penilaian skor dari
dua penilai ini diuji secara statistika melalui uji perbedaan dua rata-rata dan uji
korelasi.
Setelah melalui serangkaian uji statistik (lampiran C.2) diperoleh hasil sebagai
berikut:
a. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan data pretes kelas eksperimen,
pretes kelas kontrol, postes kelas eksperimen, postes kelas kontrol antara
penilai 1 dan penilai 2.
b. Terdapat korelasi yang signifikan antara penilai 1 dan penilai 2.
Selanjutnya, diambil secara acak kelompok data dari salah satu penilai
(penilai 1 atau penilai 2 saja).
1) Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Awal Siswa
Untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematis awal siswa
di kelas eksperimen dan kelas kontrol, analisis dilakukan pada data pretest.
Dalam mengolah data penulis menggunakan bantuan software Statistical
Passage for Social Science (SPSS) versi 20 for Windows. Adapun
langkah-langkah uji statistiknya adalah sebagai berikut.
a) Analisis Data Deskriptif
Sebelum melakukan pengujian terhadap data hasil pretest terlebih dahulu
dilakukan perhitungan terhadap deskripsi data yang meliputi rata-rata,
simpangan baku, nilai maksimum, dan nilai minimum. Hal ini dilakukan untuk
memperoleh gambaran mengenai data yang akan diuji.
b) Analisis Statistika Inferensial
Adapun langkah-langkah uji statistiknya adalah sebagai berikut.
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data skor pretest sampel
berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas
dilakukan dengan menggunakan uji statistik Saphiro-Wilk dengan taraf
signifikansi 0,05.
Jika skor pretest berdistribusi normal, uji statististik selanjutnya yang
dilakukan adalah uji homogenitas varians. Tetapi, jika data tidak berdistribusi
normal maka uji homogenitas tidak perlu dilakukan melainkan dilakukan uji
statistik non-parametrik yaitu uji Mann- Whitney U untuk pengujian
hipotesisnya.
(2) Uji Homogenitas Varians
Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah variansinya homogen
atau tidak homogen antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Apabila data
berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji homogenitas varians dengan
menggunakan uji Levene’s test dengan taraf signifikansi 0,05.
(3) Uji Kesamaan Dua Rata-Rata
Uji kesamaan dua rata-rata dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan rata-rata data pretest secara signifikan antara kedua kelas. Jika kedua
kelas berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan homogen maka, untuk
pengujian hipotesis dilakukan uji t atau Independent Sample T-Test. Sedangkan
jika kedua kelas berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan tidak
homogen maka, pengujian hipotesis dilakukan uji t’.
2) Analisis Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa
Jika hasil pretest menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara
siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, maka untuk mengetahui
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dapat
menggunakan data hasil postest, gain atau gain ternormalisasi. Akan tetapi jika
pada hasil pretest menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan
Pemecahan masalah matematis awal siswa antara kelas eksperimen dan kelas
kontrol maka peningkatan kemampuan pemecahan maslah matematis siswa
dapat diketahui melalui data gain. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui
47
memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metcognitive scaffolding lebih
baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Adapun
indeks gain dihitung dengan rumus sebagai berikut (Hake, 1999:1):
� � ��� � = � – �
� �� � − �
Adapun langkah-langkah uji statistiknya adalah sebagai berikut.
a) Analisis Data Deskriptif
Sebelum melakukan pengujian terhadap data gain terlebih dahulu
dilakukan perhitungan terhadap deskripsi data yang meliputi rata-rata, simpangan
baku, nilai maksimum, dan nilai minimum. Hal ini dilakukan untuk memperoleh
gambaran mengenai data yang akan diujiAnalisis Statistika Inferensial
Adapun langkah-langkah uji statistiknya adalah sebagai berikut.
(1) Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data gain sampel
berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas
dilakukan dengan menggunakan uji statistik Saphiro-Wilk dengan taraf
signifikansi 0,05.
Jika data gain berdistribusi normal, uji statististik selanjutnya yang
dilakukan adalah uji homogenitas varians. Tetapi, jika data tidak berdistribusi
normal maka uji homogenitas tidak perlu dilakukan melainkan dilakukan uji
statistik non-parametrik yaitu uji Mann- Whitney U untuk pengujian hipotesisnya.
(2) Uji Homogenitas Varians
Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah variansinya
homogen atau tidak homogen antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol.
Apabila data berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji homogenitas
varians dengan menggunakan uji Levene’s test dengan taraf signifikansi 0,05.
(3) Uji Perbedaan Dua Rata-Rata
Uji perbedaan dua rata-rata dilakukan untuk mengetahui apakah rata-rata
data gain kedua kelas sama atau tidak. Jika kedua kelas berasal dari populasi yang
atau Independent Sample T-Test. Sedangkan jika kedua kelas berasal dari populasi
yang berdistribusi normal dan tidak homogen maka, pengujian hipotesis dilakukan
uji t’.
3) Kualitas Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa
Kualitas peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
dihitung dengan menggunakan indeks gain. Kemudian secara deskriptif dilakukan
analisis dengan menggunakan kriteria klasifikasi indkes gain. Adapun kriteria
klasifikasi indeks gain (Hake, 1999:1) tersebut terdapat dalam tabel berikut.
Tabel 3.12
Kriteria klasifikasi indeks gain
Indeks gain Kriteria
g > 0,70 Tinggi
0,30 < g ≤ 0,70 Sedang
49
Adapun alur analisis data, selebihnya dapat dilihat pada gambar berikut.
Keterangan:
: Dan
: Atau
(Prabawanto, 2013)
2. Analisis Data Kualitatif
Ya Ya
Ya
Tidak Data
Pretest
Data Posttest
Apakah data berdistribusi
normal?
Apakah data berdistribusi
normal?
Apakah variansinya homogen?
Uji t
Statistik non-parametrik Mann-Whitney
Uji t’
Tidak Tidak
Data hasil observasi disajikan dalam bentuk tabel. Penilaian data hasil
observasi dilakukan dengan menyimpulkan hasil pengamatan observer selama
pembelajaran berlangsung.
Data kualitatif (skala sikap) ditransfer kedalam data kuantitatif. Data
kualitatif ini diperoleh dari Angket yang terdiri dari pernyataan positif dan
pernyataan negatif. Untuk mengolah data yang diperoleh dari angket dapat
dilakukan dengan menggunakan skala Likert. Pembobotan setiap alternative
jawaban angket dengan menggunakan skala Likert disajikan dalam tabel di bawah
ini:
Tabel 3.13
Ketentuan Pemberian Skor Pernyataan Skala Sikap
Pernyataan Skor tiap pilihan
SS S TS STS
Positif 5 4 2 1
Negatis 1 2 4 5
Dalam penelitian ini, pilihan jawaban Netral (N) tidak digunakan karena
siswa yang ragu-ragu mengisi pilihan jawaban memiliki kecenderungan yang
besar untuk memilih jawaban Netral (N). Kriteria penilaian sikap dari angket
tersebut adalah jika skor pernyataan kelas lebih dari 3 maka siswa menunjukkan
sikap positif, jika skor pernyataan kurang dari 3 maka siswa menunjukkan sikap
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan pada Bab
sebelumnya, terdapat beberapa hal yang penulis simpulkan, yaitu:
1. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang
mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan metacognitive scaffolding lebih
baik daripda siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.
2. Pada umumnya siswa bersikap positif terhadap pembelajaran matematika
dengan pendekatan metacognitove scaffolding.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa saran yang ingin
penulis sampaikan, yaitu:
1. Penerapan pendekatan metacognitive scaffolding membutuhkan alokasi waktu
yang cukup lama. Hal ini menemui hambatan dengan terbatasnya waktu jam
pelajaran yang ada, sehingga terkadang guru tergesa-gesa memberikan
bantuan. Maka dari itu perlu pengoptimalan waktu secara efisien.
2. Penelitian ini mengahsilkan fakta bahwa peningkatan kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa dengan pendekatan metacognitive scaffolding lebih
baik daripada pembelajaran konvensional. Diduga peningkatan ini karena
adanya interaksi sosial dan bantuan/scaffold yang bersifat metakognitif. Untuk
mengetahui lebih lanjut faktor utama yang menjadi penyebab meningkatnya
kemampua pemecahan masalah matematis siswa maka disarankan melakukan
penelitianlebih lanjut.
3. Penelitian terhadap pembelajaran dengan pendekatan metacognitive scaffolding
disarankan untuk dilanjutkan dengan karakteristik populasi yang berbeda serta
kompetensi matematis lainnya dengan materi atau pokok bahasan yang berbeda