• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB IV PEMBAHASAN"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

62

BAB IV

PEMBAHASAN

Bagian ini akan diawali dengan pembahasan realitas identitas Majelis Gereja Toraja dalam keberadaannya di tengah masyarakat Toraja. Identitas Majelis Gereja Toraja akan dianalisis untuk mengetahui dilema yang dialami sebagai pimpinan jemaat dan pelaku adat. Berdasarkan hal tersebut maka identitas Majelis Gereja Toraja akan dikaji menggunakan konsep sosiologi agama menurut Emile Durkheim.

4.1 Identitas Majelis Gereja Toraja sebagai bagian dari masyarakat Toraja beragama Kristen

Majelis Gereja Toraja terdiri atas Pendeta, Penatua, dan Diaken. Majelis Gereja Toraja merupakan bagian dari kelompok masyarakat Toraja yang mendiami dataran tinggi bagian utara Provinsi Sulawesi Selatan. Secara umum, masyarakat Toraja hingga kini terus mengihidupi kebudayaannya yang disalurkan melalui adat istiadat. Selain itu, seiring berkembangnya zaman maka masyarakat Toraja juga telah mengenal agama yang mengatur keberlangsungan hidup mereka. Salah satu agama yang hadir di wilayah Toraja adalah agama Kristen hasil GZB asal Belanda.137 Masyarakat Toraja mayoritas beragama Kristen, sehingga di wilayah Toraja dapat dijumpai banyak bangunan gereja dengan berbagai aliran kekristenan. Gereja Toraja sebagai salah satu basis kekristenan di Toraja merupakan gereja yang paling dikenal oleh masyarakat Toraja. Gereja kesukuan ini

137 Budi Prayetno, Dari Benih Terkecil Tumbuh Menjadi Pohon Besar, diakses pada tanggal 1 Juli 2020 melalui https://budiprayetno.wordpress.com/2009/03/31/dari-benih-terkecil-tumbuh-menjadi-pohon-besar/

(2)

63

mengutus para pekerja gereja atau pelayan gereja yang bertanggung jawab dalam keberlangsungan kehidupan gereja. Pelayan gereja yang disebut sebagai Majelis Gereja Toraja bertugas untuk memimpin dan mengarahkan jemaat Gereja Toraja berperilaku seturut iman Kristen.

Majelis Gereja Toraja sebagai individu memiliki identitas yang dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk keberadaan keluarga, lingkungan masyarakat di mana ia tumbuh, serta pengaruh institusi dalam hal ini Gereja Toraja. Majelis Gereja Toraja merupakan bagian dari keluarga kalangan masyarakat Toraja yang memiliki kebudayaan.

Kebudayaan yang berkembang di keluarga masyarakat Toraja disalurkan melalui adat istiadat yang berisi aturan hidup, nilai dan norma, serta prosesi upacara adat yang sakral.

Lingkungan keluarga masyarakat Toraja sejatinya melaksanakan, mewariskan, meregenerasikan adat istiadat secara turun temurun. Relasi antar masyarakat Toraja didasari atas rasa saling memiliki sehingga membentuk ungkapan kasih sayang yang disalurkan melalui benda, warisan bahkan aturan hidup.138 Hal ini membuat Majelis Gereja Toraja sebagai individu yang berada dalam lingkungan keluarga tidak dapat memisahkan diri dari tatanan kebudayaan masyarakat Toraja.139 Tatanan hidup berdasarkan kebudayaan yang dipahami oleh Majelis Gereja Toraja disalurkan ke dalam lingkungan masyarakat Toraja secara luas. Lingkungan masyarakat Toraja yang sarat

138 Inencia Erica Lamba, Makna Spiritual Benda-benda Milik Keluarga : Studi Sosio Religius terhadap Anggota PKMST Salatiga, (Tugas Akhir, Ilmu Teologi, Fakultas Teologi Universitas Satya Wacana Salatiga, 2019).

139 Wawancara dengan E pada 8 Agustus 2021

(3)

64

dengan adat istiadat membuat Majelis Gereja Toraja perlu menyesuaikan dirinya seturut dengan kebudayaan yang ada.

Majelis Gereja Toraja mempunyai hubungan yang khas dengan lingkungan di mana ia tumbuh. Identitas individu dipengaruhi oleh berbagai konteks keberadaannya termasuk lingkungan keluarga, lingkungan institutional, dan lingkungan masyarakat. 140 Majelis Gereja Toraja secara individu dapat mengenali lingkungannya serta membentuk identitasnya melalui proses pemaknaan yang dibentuk dalam keluarga. Setelah mencoba mengenali lingkungan, Majelis Gereja Toraja berusaha menyesuaikan diri atau beradaptasi. Lebih daripada itu, secara personal Majelis Gereja Toraja berusaha untuk menyelami lingkungan tempat ia berada demi menjawab kebutuhannya sebagai manusia dan menunjukkan identitasnya. Lingkungan masyarakat Toraja menjadi tahap selanjutnya dari proses bersama keluarga yang dilalui oleh Majelis Gereja Toraja. Lingkungan yang diatur oleh adat istiadat dan terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat sebagai pengatur jalannya adat istiadat dalam lingkup masyarakat Toraja.

Keluarga dalam masyarakat Toraja menjadi titik awal orang Toraja membangun identitasnya termasuk Majelis Gereja Toraja secara individu. Identitas sebagai jati diri dipengaruhi atas pengertian Majelis Gereja Toraja terhadap adat istiadat yang ditanamkan mulai dari dalam keluarga. Selain pengajaran dari keluarga, terdapat pula pengaturan dari lingkungan masyarakat yang dapat mempengaruhi kepribadian Majelis Gereja Toraja untuk mengekspresikan identitasnya. Tatanan hidup yang menyangkut tentang

140 Dadan Iskandar, Identitas Budaya dalam Komunikasi Antar-Budaya: Kasus Etnik Madura dan Etnik Dayak, 126-128

(4)

65

pemahaman serta perilaku dalam masyarakat Toraja berisi tentang nilai dan norma yang selalu dijaga. Kebudayaan yang dianut masyarakat memiliki nilai dan norma yang terus dipelihara dan dipatuhi untuk menjaga tradisi.141 Kepatuhan terhadap aturan yang memuat nilai dan norma dianggap sebagai penyesuaian diri Majelis Gereja Toraja terhadap kebudayaan masyarakat Toraja. Relasi masyarakat Toraja didasari oleh rasa saling memiliki yang diwujudkan melalui kepatuhan menjalankan tradisi leluhur. Tradisi leluhur terus dipelihara dengan tujuan agar kehidupan masyarakat Toraja tetap berada pada batasan nilai dan norma. Masyakarat Toraja secara umum percaya bahwa aturan yang ada dalam adat istiadat akan menghasilkan sesuatu yang baik apabila dipatuhi serta akan mendatangkan celaka apabila dilanggar. Pemikiran ini muncul dan terus berkembang seturut pemahaman masyarakat Toraja mengenai Aluk.142

Majelis Gereja Toraja sebagai individu yang berasal dari lingkungan keluarga masyarakat Toraja, tidak dapat melepaskan dirinya dari pengaruh adat istiadat. Majelis Gereja Toraja melaksanakan adat istiadat bersama masyarakat Toraja lainnya dengan tujuan untuk menjaga tradisi leluhur. Majelis Gereja Toraja yang telah mendapat dan menerima pemahaman mengenai norma dan nilai-nilai adat istiadat berusaha untuk menyesuaikan sikap serta tingkah lakunya menurut kebudayaan masyarakat Toraja.

Berdasarkan hal ini seturut dengan pemikiran yang dikemukakan Stella Ting Toomey bahwa identitas pada dasarnya berasal dari refleksi diri serta persepsi orang lain maka

141 Mudji Sutrisno, Membaca Rupawajah Kebudayaan, 9

142 Dr. Theodorus Kobong, Aluk, adat, dan kebudayaan Toraja dalam perjumpaannya dengan Injil, 6

(5)

66

dapat dilihat bahwa identitas Majelis Gereja Toraja dipengaruhi oleh keberadaannya bersama keluarga, kebudayaan, serta proses sosialisasi yang dialami.143

Menurut keberadaan Majelis Gereja Toraja seperti yang telah dituliskan pada bab 3 maka dapat diketahui bahwa identitas sebagai pimpinan jemaat dan pelaku adat bergantung pada refleksi diri dan persepsi orang lain terhadap Majelis Gereja Toraja tersebut. Refleksi diri berasal dari dalam dirinya sendiri yang memikirkan dan menghayati makna keberadaannya. Majelis Gereja Toraja menunjukkan identitasnya seturut refleksi diri dengan menjelaskan bahwa ia memahami dirinya sebagai individu yang bertekad untuk mewartakan pelayanan Yesus Kristus di tengah masyarakat Toraja. Majelis Gereja Toraja secara personal merasa bertanggung jawab dalam proses memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat Toraja beragama Kristen. Konsep Stella Ting Toomey mengenai identitas berasal dari refleksi diri semakin memperjelas bahwa identitas Majelis Gereja Toraja sangat ditentukan dari cara mereka memahami dirinya melalui peran yang dimiliki.144 Hal ini juga didukung oleh salah satu keterangan informan penelitian yang menjelaskan bahwa sebagai Majelis Gereja Toraja, ia merefleksikan dirinya sebagai pemimpin yang memiliki tugas untuk memelihara eksistensi Gereja Toraja sebagai basis kekristenan di Toraja. Gereja Toraja dalam realitasnya berdiri bersama dengan aliran- aliran kekristenan yang lain di Toraja, sehingga Majelis Gereja Toraja sebagai tokoh dalam Gereja dapat menjadi sosok yang fleksibel dalam menuntun jemaat dalam upaya memelihara eksistensi Gereja Toraja. Majelis Gereja Toraja menunjukkan dirinya sebagai

143 Stella Ting Toomey, Identity Negotiation Theory, Sage Encyclopedia of Intercultural Competence, Volume 1: 2012, 418-422.

144 Stella Ting Toomey, Identity Negotiation Theory, 418-422.

(6)

67

tokoh pekerja gereja yang dipercaya untuk memimpin keberlangsungan hidup orang beragama Kristen di Toraja.

Majelis Gereja Toraja menyadari bahwa identitas sebagai pimpinan jemaat sangat dipengaruhi oleh penghayatan makna terhadap dirinya sendiri. Refleksi diri Majelis Gereja Toraja membentuk makna yang menentukan pola perilaku dan cara berfikir.145 Menurut Majelis Gereja Toraja, memikirkan dirinya sebagai orang yang telah diberi mandat sebagai pimpinan jemaat yang memiliki tugas mengarahkan jemaat sesuai dengan sebagaimana mestinya kehidupan umat beragama Kristen.146 Majelis Gereja Toraja menemui berbagai karakteristik jemaat di berbagai daerah pelayanan dan secara luas telah mengenal karakteristik masyarakat Toraja. Keterangan dari informan penelitian dalam hal ini Majelis Gereja Toraja dapat mengungkapkan bahwa dari refleksi diri, mereka dapat merasakan peran sebagai pimpinan jemaat merupakan suatu amanat dari jemaat bukan hanya di dalam gereja namun menjangkau lingkup masyarakat Toraja.

Identitas Majelis Gereja Toraja semakin dikenal karena perannya yang memasuki ranah masyarakat Toraja sehingga identitas tersebut juga dipengaruhi oleh persepsi orang lain. Persepsi orang lain terhadap diri Majelis Gereja Toraja berkaitan dengan cara pandang maupun ekspektasi masyarakat Toraja terhadap peran yang dipegang oleh individu sebagai pimpinan jemaat. Majelis Gereja Toraja adalah orang yang dipercaya dan diutus oleh masyarakat Toraja beragama Kristen untuk menjadi pimpinan jemaat dan

145 Jan E. Stets and Peter J. Burke, A Sociological Approach to Self and Identity, (Washington State University: Department of Sociology,2003), 8.

146 Wawancara dengan HP pada 14 Juli 2021

(7)

68

mengatur pelayanan dalam Gereja Toraja karena dirasa memiliki kompetensi.Ini berarti bahwa terdapat ikatan emosional bersifat sosial antara masyarakat Toraja dan Majelis Gereja Toraja secara personal. Ikatan emosional tersebut berasal dari unsur hereditas dalam diri masing-masing masyarakat Toraja yang disalurkan melalui tindakan sosial.147 Bingkai deskripsi Clifford Geertz untuk membaca kebudayaan sebagai sebuah sistem makna ditunjukkan melalui identitas Majelis Gereja Toraja seturut persepsi orang lain mengenai sosok yang dapat membimbing jemaat untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya.148

Persepsi orang lain dalam hal ini masyarakat Toraja memberi dampak yang besar terhadap proses pengungkapan identitas Majelis Gereja Toraja. Peran Majelis Gereja Toraja yang dimiliki tidak mengabaikan keberadaan identitas mereka sebagai bagian dari masyarakat Toraja. Majelis Gereja Toraja tetap menjadi bagian dari masyarakat Toraja yang memelihara adat istiadat. Meski memiliki peran sebagai pimpinan jemaat, Majelis Gereja Toraja tetap memiliki keterikatan dengan adat istiadat masyarakat Toraja sehingga dapat menjadikannya sebagai pelaku adat. Identitas sebagai pelaku adat membuat Majelis Gereja Toraja berada di lingkungan masyarakat Toraja yang diatur oleh nilai dan norma menurut aturan yang berasal dari leluhur.149

Identitas sebagai pimpinan jemaat dan pelaku adat sangat ditentukan oleh refleksi diri dan persepsi masyarakat Toraja terhadap Majelis Gereja Toraja. Cara berfikir dan

147 Dadan Iskandar, Identitas Budaya dalam Komunikasi Antar-Budaya: Kasus Etnik Madura dan Etnik Dayak, 126-128.

148 Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan, 6-7

(8)

69

bertindak juga sangat dipengaruhi oleh proses pemaknaan Majelis Gereja Toraja terhadap dirinya.150 Pemaknaan tersebut membentuk minat, cara berpikir, persepsi serta cara bertindak Majelis Gereja Toraja termasuk cara menunjukkan identitasnya. Identitas sebagai sebuah hasil dari pemaknaan atau penghayatan atas peran atau posisi diterapkan Majelis Gereja Toraja dalam kehidupan sehari-hari.151 Faktor lain yang dapat mempengaruhi proses pemaknaan diri Majelis Gereja Toraja adalah usia mereka.

Raymond F. Paloutzian dalam bukunya yang berjudul Psychology of Religion menjelaskan bahwa seiring bertambahnya usia, kecenderungan manusia untuk mendalami kepercayaan dan keyakinannya semakin meningkat.152 Kecenderungan seperti ini akan semakin mendorong Majelis Gereja Toraja untuk menenun makna melalui apa yang dipercaya dan diyakini.

Cara pandang dan wujud tindakan Majelis Gereja Toraja membuat pengungkapan identitas yang berbeda-beda. Identitas Majelis Gereja Toraja berkaitan dengan identifikasi yang menganalisis dirinya sendiri dan masyarakat Toraja tentang pemaknaan yang diwujudkan melalui interaksi, komunikasi, maupun lingkungan sosial. Majelis Gereja Toraja bertindak terhadap sesuatu berdasarkan proses pemaknaan yang muncul dalam dirinya. Makna tersebut disempurnakan melalui interaksi sosial bersama masyarakat Toraja sehingga Majelis Gereja Toraja memperoleh identitasnya. Seturut temuan ini maka identitas Majelis Gereja Toraja kini bukan hanya sebatas identitas individu tetapi menjadi

150 Dadan Iskandar, Identitas Budaya dalam Komunikasi Antar-Budaya: Kasus Etnik Madura dan Etnik Dayak, 126-128

151 Jan E. Stets and Peter J. Burke, A Sociological Approach to Self and Identity, 8

152 M. Akhyar dan Riskita Imanina, Gambaran Pembentukan Identitas Agama pada Religious Disbeliever Usia Emerging Adult, Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Pancasila, Vol. 9, No. 1, 2018, hal. 19.

(9)

70

identitas sosial yang berpengaruh dalam lingkungan masyarakat Toraja. Identitas sosial yang tersebut berfungsi untuk mengkategorikan dirinya sebagai bagian dari kategori sosial yaitu kelompok masyarakat.153 Identitas Majelis Gereja Toraja ini terdiri atas lebih dari satu peran sehingga identitas Majelis Gereja Toraja dapat disebut sebagai identitas kolektif.154 Richard Jenkins menjelaskan bahwa apapun identitas dalam diri individu maka dapat dipastikan identitas tersebut akan menyebabkan tindakan individu itu.155 Teori tersebut dialami oleh Majelis Gereja Toraja yang memahami jati dirinya sebagai pelaku adat dan pimpinan jemaat. Majelis Gereja Toraja berperilaku seturut pemaknaan terhadap dirinya dan proses sosialisasi yang dialaminya. Majelis Gereja Toraja yang dipengaruhi oleh refleksi diri dan persepsi orang lain terhadap dirinya membangun identitas kolektif dari proses pemaknaan melalui peran sosial dalam lingkup masyarakat Toraja.

Partisipasi Majelis Gereja Toraja dalam rangkaian upacara adat dianggap sebagai pelayanan yang dikontekstualisasikan menurut konteks, tuntutan, dan kebutuhan mereka.156 Masyarakat Toraja melaksanakan upacara adat untuk melestarikan tradisi leluhur sehingga Majelis Gereja Toraja yang adalah bagian dari masyarakat turut melaksanakan upacara adat tersebut. Keterlibatan Majelis Gereja Toraja dalam upacara adat dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan yang bertujuan untuk mengetahui tatanan hidup masyarakat Toraja. Majelis Gereja Toraja menuntun masyarakat Toraja beragama

153 Rama Tulus Pilakoannu, Agama Sebagai Identitas Sosial, 43

154 Richard Jenkins, Social Identity, 5

155 Richard Jenkins, Social Identity, 5

156 Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan, 10

(10)

71

Kristen untuk memahami dan menghayati ajaran kekristenan yang merujuk pada etika, pola pikir, dan perilaku. Ajaran Gereja Toraja bukan hanya memberi jawaban mengenai kebutuhan spiritulitas masyarakat Toraja beragama Kristen tetapi juga membentuk karakter kristiani yang berdasar pada iman terhadap Yesus Kristus. Majelis Gereja Toraja sebagai pemimpin bertanggung jawab untuk mengarahkan masyarakat Toraja beragama Kristen memenuhi kebutuhan spiritualitasnya.

Seiring perkembangan agama Kristen di Toraja, adat istiadat masih tetap dihidupi hingga kini. Adat istiadat masih ada meski tatanan hidup masyarakat Toraja telah mendapat banyak perkembangan dari proses pemaknaan terhadap nilai kekristenan.

Majelis Gereja Toraja turut melaksanakan prosesi adat untuk mencapai tujuan yakni menyelaraskan adat istiadat dan agama. Majelis Gereja Toraja sebagai bagian dari masyarakat Toraja terlibat langsung dalam praktik adat yang dilakukan oleh masyarakat Toraja. Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat dan pelaku adat menunjukkan identitasnya melalui keikutsertaan dalam prosesi upacara adat Rambu Tuka’ maupun Rambu Solo’. Majelis Gereja Toraja mengambil bagian pelayanan untuk memimpin

kebaktian di upacara adat serta terlibat dalam prosesi adat seperti Mantunu atau mengurbankan hewan.157

Meninjau adat istiadat masyarakat Toraja yang turut mengalami perkembangan, dapat dijumpai praktik adat yang tidak sesuai dengan ajaran agama Kristen. Masyarakat Toraja pelaksana ritual adat sering terjebak dalam pergeseran makna kebudayaan.

157 Wawancara dengan RM pada 30 Juni 2021

(11)

72

Misalnya kegiatan sabung ayam yang kini malah menjadi arena untuk praktik perjudian.

Majelis Gereja Toraja menjadi dilema dalam menentukan hal tersebut sebagai bentuk aktivitas budaya masyarakat Toraja atau sebuah pelanggaran dalam nilai kekristenan.

Majelis Gereja Toraja dalam jati dirinya sebagai pimpinan jemaat sekaligus pelaku adat mengalami dilema identitas akibat hal tersebut. Dilema terjadi karena praktik adat menghasilkan gesekan antara kekristenan dan kebudayaan yang sejak lama menjadi kebiasaan masyarakat Toraja. Gesekan ini berbentuk pola perilaku masyarakat Toraja beragama Kristen yang tidak sesuai dengan doktrin Gereja dan tentunya hal ini sangat mempengaruhi keberadaan Majelis Gereja Toraja.158 Lewat hal ini juga dapat diketahui bahwa pengaruh Aluk Todolo hingga kini terus terasa dan mempengaruhi pola perilaku masyarakat Toraja.

Adanya beberapa perbedaan dalam ajaran agama Kristen dan adat istiadat sangat mempengaruhi identitas Majelis Gereja Toraja. James M. Jasper dan Aidan Mcgarry dalam pembahasannya menjelaskan bahwa seseorang dapat memiliki identitas kolektif dalam dirinya.159 Identitas kolektif ini yang berfungsi sebagai sumber daya penggerak yang mendorong perilaku individu tersebut. Identitas sosial Majelis Gereja Toraja kini menjadi identitas kolektif yang membentuk perilaku seturut penghayatan pribadi sebagai pimpinan jemaat dan pelaku adat. Majelis Gereja Toraja berupaya memberi pemahaman tentang nilai kekristenan kepada jemaat melalui perilaku sehari-hari. Majelis Gereja Toraja juga turut terlibat dalam upacara adat yang dilaksanakan masyarakat Toraja untuk

158 Wawancara dengan MS pada 8 Desember 2021

159 James M. Jasper and Aidan Mcgarry, The Identity Dilemma: Social Movements and Collective Identity, 2

(12)

73

menunjukkan identitas sosialnya. Identitas sosial Majelis Gereja Toraja yang kini menjadi identitas kolektif mendapat berbagai tanggapan dari masyarakat Toraja. Richard Jenkins dalam tulisannya mengenai identitas sosial membuktikan bahwa dari proses pemaknaan akan timbul sebuah perilaku. Oleh karena itu makna yang dihayati Majelis Gereja Toraja kini dapat dilihat dalam wujud tindakan serta cara pandang terhadap keberadaan masyarakat Toraja.

Identitas memiliki hubungan dengan identifikasi yang menganalisis diri sendiri dan masyarakat tentang pemaknaan melalui berbagai cara.160 Identitas Majelis Gereja Toraja berkaitan dengan identifikasi yang menganalisis diri sendiri dan masyarakat tentang pemaknaan melalui interaksi, komunikasi, dan lingkungan masyarakat. Majelis Gereja Toraja pada kenyataannya kini bukan hanya berperan sebagai pimpinan jemaat tapi telah menjadi pelaku adat sebagai bagian dari masyarakat Toraja yang sarat dengan adat istiadat. Pemaknaan Majelis Gereja Toraja melalui interaksi dan lingkungan bergantung pada penghayatan terhadap tugas dan tanggung jawab sebagai pimpinan jemaat dalam Gereja Toraja dan pelaku adat sebagai bagian dari masyarakat Toraja. Refleksi makna yang diwujudkan melalui cara pandang, tindakan, dan komunikasi dilakukan sebagai konstrusi dari identitas kolektif dalam satu individu.161

160 Dadan Iskandar, Identitas Budaya dalam Komunikasi Antar-Budaya: Kasus Etnik Madura dan Etnik Dayak, 126-128

161 Richard Jenkins, Social Identity, 5

(13)

74

4.2 Identifikasi Dilema Identitas Majelis Gereja Toraja

Dilema menunjuk pada dua atau lebih kemungkinan yang membutuhkan pilihan, sedangkan identitas berarti tanda atau jati diri yang melekat pada individu. Richard Jenkins dalam bukunya yang berjudul Social Identity menuliskan bahwa identitas merupakan kapasitas manusia untuk mengetahui siapa dirinya, siapa orang lain, serta apa tujuan untuk mengerti identitas tersebut. Richard Jenkins juga berpendapat bahwa identitas dapat dipahami dalam klasifikasi multi dimensi sebagai individu maupun kolektif.162 Apabila penjelasan tersebut dikaitkan dengan realitas Majelis Gereja Toraja maka dapat ditemui bahwa Majelis Gereja Toraja sebagai individu memiliki identitas kolektif. Majelis Gereja Toraja sebagai individu yang hidup di kalangan masyarakat Toraja memiliki identitas kolektif yaitu berperan sebagai pimpinan jemaat dan terlibat dalam kelompok masyarakat Toraja sebagai pelaku adat. Identitas kolektif ini terbentuk dari refleksi diri dan persepsi orang lain terhadap dirinya. Melalui identitas ini juga, Majelis Gereja Toraja membentuk perilaku seturut pemaknaan terhadap dirinya. Identitas kolektif yang dimiliki Majelis Gereja Toraja merupakan dua bagian penting yang menyangkut keberlangsungan hidupnya di tengah masyarakat Toraja. Identitas kolektif ini dilaksanakan oleh satu person yaitu Majelis Gereja Toraja dengan intensi yang berbeda.

Majelis Gereja Toraja sebagai individu yang menjadi bagian dari masyarakat Toraja tidak terlepas dari identitasnya sebagai pelaku adat. Identitas sebagai pelaku adat

162 Richard Jenkins, Social Identity, 4

(14)

75

merupakan jati diri yang menunjukkan kepatuhan pada tradisi leluhur masyarakat Toraja yang berisi adat istiadat. Menurut pemikiran Tajfel dan Turner, manusia mempunyai kecenderungan untuk membuat kategorisasi sosial atau mengklasifikasikan individu- individu dalam kategori atau bagian-bagian tertentu.163 Leon Festinger menyatakan bahwa individu dapat mengalami disonansi kognitif dalam membuat keputusan dari pilihan yang diberikan padanya karena bagi individu tersebut pilihan-pilihan yang tersedia memiliki daya tarik tersendiri.164 Oleh sebab itu dari temuan data yang diperoleh, Majelis Gereja Toraja dapat mengalami kecenderungan memilih salah satu, mampu menjalankan dua peran, atau tidak mengetahui bias dari kedua peran sebagai pimpinan jemaat atau pelaku adat. Kecenderungan-kecenderungan tersebut di atas ditunjukkan dari informan yang mengalami dilema dalam menentukan sikap sebagai pimpinan jemaat yang berpelayanan dan identitas sebagai masyarakat yang menghidupi adat istiadat.165 Bagi Majelis Gereja Toraja bahasan mengenai adat dan agama tidak dapat dipisahkan tetapi seringkali mengalami benturan karena gesekan makna.

Perbedaan pemahaman yang mengakibatkan kaburnya makna dapat berdampak tidak baik bagi hubungan masyarakat adat dan Majelis Gereja Toraja. Hal ini ditunjukkan dalam pelaksanaan upacara adat yang tidak seturut dengan pemahaman iman Kristen.

Pelaksanaan upacara adat menggunakan ritual yang berasal dari Aluk Todolo yang cenderung mempercayai animisme atau kepercayaan terhadap benda-benda tertentu

163 Jimmy M. Sormin, Masyarakat Adat: Pengakuan kembali, Identitas, dan Keindonesiaan, 15

164 Rachmat Kriyanto, Teori-Teori Public Relations Perspektif Barat & Lokal, (Jakarta: Kencana Predana, 2014), 52

165 Wawancara dengan NB pada 8 September 2021

(15)

76

sehingga hal ini tidak seturut dengan pengajaran Gereja Toraja.166 Pelaksanaan upacara adat didasari dengan aturan leluhur yang lebih percaya pada Pamali dan hal mistis yang diyakini oleh masyarakat Toraja dapat mendatangkan hal buruk. Majelis Gereja Toraja mereka merasakan dilema untuk menunjukkan identitasnya karena mereka tidak dapat bersikap netral dalam menghadapi masyarakat dan jemaat.167 Majelis Gereja Toraja tidak dapat secara pasti menentukan identitasnya karena menurut mereka antara adat istiadat dan pelayanan gereja adalah kedua hal yang sudah melekat pada diri secara personal.

Penjelasan Majelis Gereja Toraja mengenai dilema identitas yang dialami semakin jelas melalui pernyataan bahwa Majelis Gereja Toraja secara personal adalah bagian dari masyarakat yang melaksanakan adat istiadat sehingga identitas tersebut mungkin saja akan lebih menonjol dibanding identitas lain dalam dirinya. Dilema akan semakin muncul setelah pelayanan gereja tidak dapat ditinggalkan demi menjalankan kegiatan adat sebagai identitas masyarakat. Majelis Gereja Toraja akan cenderung memilih salah satu peran misalnya sebagai pelaku adat yang turut terlibat dalam kegiatan sabung ayam. Sabung ayam merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan masyarakat

Toraja dengan tujuan mengumpulkan orang-orang untuk bercakap-cakap. Seiring berkembangnya waktu, maka kegiatan ini tidak lagi dipahami dengan tujuan tersebut.

Sabung ayam kini menjadi ajang perjudian yang bahkan pelaksanaannya melibatkan

orang-orang yang merupakan Majelis Gereja Toraja. Dipahami bersama bahwa perjudian merupakan hal yang bertentangan dengan ajaran kekristenan termasuk Gereja Toraja.

166 Dr. Theodorus Kobong, Aluk, adat, dan kebudayaan Toraja dalam perjumpaannya dengan Injil, 6

167 Wawancara dengan E pada 8 Agustus 2021

(16)

77

Maka identitas sebagai Majelis Gereja Toraja akan tertutupi oleh identitas sebagai pelaku adat akibat adanya pergeseran makna kegiatan adat.

Peran Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat dan pelaku adat tampak mengalami polemik dalam praktiknya terlebih dalam proses pengungkapan jati diri atau identitas. Penghayatan diri Majelis Gereja Toraja dalam perannya sebagai pimpinan jemaat sekaligus pelaku adat menghasilkan identitas kolektif pada realitasnya. Identitas kolektif tersebut terus mendorong Majelis Gereja Toraja untuk memahami dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. 168 Dilema identitas timbul dari identitas kolektif yang tidak memiliki keberpihakan pada salah satu identitas yang dimiliki. Fenomena mengenai individu yang memiliki lebih dari satu identitas atau memiliki identitas kolektif juga menjadi pokok pemikiran Manuel Castell. Bagi Castells, identitas yang ada di dalam masyarakat terbentuk dari pemaknaan secara individu setelah mengalami proses konstruksi diri.169 Konstruksi diri Majelis Gereja Toraja diperoleh dari refleksi diri dan persepsi orang lain yang menghasilkan makna terhadap dirinya sendiri. Realitas identitas Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat dan pelaku adat jika ditarik ke dalam konsep Castells mengenai identitas akan menghasilkan:

1) Legitimizing identity yang membentuk idenititas Majelis Gereja Toraja dari institusi yang dominan. Legitimizing identity Majelis Gereja Toraja dapat berasal dari kelompok masyarakat adat Toraja, Gereja Toraja, serta lingkungan kerja Majelis Gereja

168 James M. Jasper and Aidan Mcgarry, The Identity Dilemma: Social Movements and Collective Identity, 2

169 Manuel Castells, The Power of Identity, xxvi

(17)

78

Toraja. Majelis Gereja Toraja akan membentuk legitimizing identity menurut kontribusi, partisipasi, serta posisi yang mendapat perhatian lebih besar.

2) Resistance identity sebagai perlawanan terhadap legitimizing identity belum berpengaruh besar dalam identitas Majelis Gereja Toraja karena melalui perilaku yang ditimbulkan tidak terdapat proses perlawanan terhadap logika berpikir instutusi yang dominan.

3) Project identity membentuk identitasnya menurut cara individu mendefinisikan struktur sosial yang kemudian mengkreasikan sebuah perilaku kolektif. Project identity menjadi bagian penting dari temuan tentang identitas Majelis Gereja Toraja karena ada representasi diri sendiri di tengah keberadaan sosial. Perilaku dan peran Majelis Gereja Toraja dibentuk oleh norma-norma yang berlaku dalam kelompok masyarakat Toraja serta cara Majelis Gereja Toraja untuk menerapkan ajaran atau dogma agama Kristen kepada jemaat.

Seturut pemikiran Manuel Castells mengenai identitas maka Majelis Gereja Toraja cenderung berada pada definisi Project identity. Project identity muncul dari sebuah perilaku kolektif yang membentuk identitas seturut cara Majelis Gereja Toraja mengkreasikan dirinya. Identitas sebagai pimpinan jemaat dan pelaku adat saling berkontradiksi melalui refleksi diri dan persepsi orang lain sehingga menghasilkan representasi diri yang lebih mengutamakan kolektifitas. Hal ini nampak dari pemahaman informan dalam penelitian yang menyatakan bahwa masyarakat Toraja termasuk Majelis Gereja Toraja memiliki konsep untuk menyatakan identitasnya. Konsep tersebut didapatkan dari pemahaman kontekstualisasi adat istidat masyarakat Toraja ke dalam

(18)

79

ajaran kekristenan serta pemahaman agama Kristen hadir untuk menyeimbangkan keyakinan masyarakat Toraja tentang hakikat Yang Transenden.

Sementara itu, konsep Legitimizing identity dan Resistance identity seturut pemikiran Castells memiliki kemungkinan untuk dapat terjadi dalam proses identifikasi identitas Majelis Gereja Toraja. Legitimizing identity terbentuk dari kecenderungan Majelis Gereja Toraja untuk memilih adat dibanding kekristenan ataupun sebaliknya.

Pengaruh lingkungan keluarga dan realitas masyarakat Toraja dapat membentuk refleksi diri Majelis Gereja Toraja seturut adat istiadat yang tentunya memiliki kaitan dengan Aluk. Majelis Gereja Toraja yang memahami Aluk sebagai bagian dari pembentuk jati

dirinya tentu akan menunjukkan perilakunya seturut hal yang dipahami dalam adat istiadat. Sedangkan Majelis Gereja Toraja yang telah mengalami proses refleksi diri seturut nilai kekristenan dari doktrin gereja akan menunjukkan kecenderungan untuk menjadi pimpinan jemaat yang taat pada aturan gereja. Resistance identity sebagai perlawanan dari Legitimizing identity dapat terjadi apabila dalam diri Majelis Gereja Toraja terdapat penolakan untuk memilih peran sebagai pelaku adat atau pimpinan jemaat.

Artinya bahwa tidak ada kecenderungan memilih peran sebagai pelaku adat maupun pimpinan jemaat. Tendensi untuk Majelis Gereja Toraja dapat membentuk identitas di luar 3 konsep Manuel Castells bahkan dapat terjadi karena Majelis Gereja Toraja secara individual enggan untuk memilih salah satu peran ataupun kedua peran sekaligus. Majelis Gereja Toraja dapat membentuk makna bahkan penemuan konsep identitas baru melalui Resistance identity dan Project identity yang dialami.

(19)

80

Majelis Gereja Toraja menunjukkan identitasnya sebagai pimpinan jemaat dengan berbagai tindakan yang bertujuan untuk mengarahkan masyarakat Toraja beragama Kristen memenuhi kebutuhan spiritualitasnya. Majelis Gereja Toraja dalam tanggung jawabnya sebagai pimpinan jemaat mengupayakan masyarakat Toraja dapat memahami serta menerapkan ajaran kekristenan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian maka Majelis Gereja Toraja memulai hal tersebut dari dirinya sendiri yang menunjukkan contoh sikap menghayati ajaran kekristenan. Richard Jenkins dalam teorinya juga mengungkapkan bahwa manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan proses pemaknaan yang muncul dalam dirinya.170 Majelis Gereja Toraja terlibat dalam berbagai pelayanan di tengah masyarakat Toraja untuk memperlihatkan pemaknaan dirinya terhadap kekristenan. Seturut dengan hal itu, Majelis Gereja Toraja juga mengupayakan kebudayaan untuk terus tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Toraja.

Majelis Gereja Toraja terlibat dalam berbagai prosesi upacara adat agar masyarakat Toraja dapat melihat keberpihakan Majelis Gereja Toraja untuk mendukung eksistensi adat istiadat.

Keberadaan Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat dan pelaku adat membentuk dua identitas dalam satu person. Kedua identitas yang membentuk identitas kolektif ini dapat ditinjau dari penjelasan James M. Jasper dan Aidan Mcgarry bahwa individu dapat memiliki identitas kolektif yang menjadi sumber daya untuk menggerakkan individu bahwa kelompok tertentu.171 Majelis Gereja Toraja membentuk

170 Richard Jenkins, Social Identity, 5.

171 James M. Jasper and Aidan Mcgarry, The Identity Dilemma: Social Movements and Collective Identity, 2

(20)

81

identitas dari proses konstruksi diri atas pengaruh dari lingkungan keluarga, institusi Gereja Toraja dan lingkungan masyarakat Toraja. Pengaruh yang didapatkan oleh Majelis Gereja Toraja secara alami membentuk perilaku seturut penghayatan dan pemaknaannya.

Adat istiadat masyarakat Toraja berpengaruh terhadap keberadaan Majelis Gereja Toraja itu sendiri. Pengaruh ini timbul karena Majelis Gereja Toraja sebagai individu, berdomisili atau tinggal di wilayah Toraja di mana upacara adat Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’ dilaksanakan. Masyarakat Toraja adalah jemaat di dalam Gereja Toraja dan jemaat

adalah bagian dari kelompok masyarakat Toraja yang menjalankan adat istiadat sehari- harinya. Kegiatan adat dilakukan oleh masyarakat Toraja, sementara pelayanan dilakukan oleh Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat. Adat istiadat masyarakat Toraja didasari dengan nuansa kebersamaan yang berkembang secara fisik, personal, dan sosial.172 Majelis Gereja Toraja didorong untuk melaksanakan adat istiadatnya sebagai suatu sistem sosial yang berkaitan dengan hubungan kemasyarakatan dan perilaku sehari- hari.

Menurut perolehan data, ditemukan bahwa Majelis Gereja Toraja tidak dapat memilih satu peran sebagai identitasnya yang mutlak. Penemuannya adalah Majelis Gereja Toraja sebagian besar mengalami dilema dalam dirinya sendiri. Dilema terjadi karena konstruksi diri terhadap berbagai proses pemaknaan dan penghayatan. Majelis Gereja Toraja lahir dari lingkungan keluarga yang sarat dengan adat istiadat namun seiring berkembangnya kekristenan di Toraja maka Majelis Gereja Toraja juga dituntut untuk berlaku seturut iman Kristen. Menurut salah satu narasumber dalam penelitian ini,

172 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, 5

(21)

82

dilema antara identitas sebagai pimpinan jemaat dan identitas sebagai masyarakat yang menghidupi adat istiadat menjadi sebuah pergumulan hingga kini. Antara kedua hal ini tidak ada yang dapat dipisahkan tetapi seringkali mengalami benturan karena gesekan makna. Perbedaan pemahaman yang mengakibatkan bias makna dapat berdampak yang tidak baik dalam hubungan masyarakat adat dan Majelis Gereja.

Keberadaan Majelis Gereja Toraja terbentuk dari dua identitas yang dapat menghasilkan dilema karena adanya kecenderungan lebih mengutamakan salah satu identitas dibandingkan identitas lainnya. Pemahaman terhadap makna dari adat istiadat dan penghayatan ajaran kekristenan menimbulkan gesekan yang menyebabkan dilema.

Dilema terbentuk dari tendensi Majelis Gereja Toraja untuk lebih mendalami perannya dalam satu identitas tanpa memperhitungkan posisinya secara proporsional. 173 Identitas kolektif tentu membutuhkan keseimbangan dalam menyatakan peran sehingga identitas tersebut tidak pecah.174 Majelis Gereja Toraja dengan identitas sebagai pimpinan jemaat mengarahkan masyarakat Toraja menjawab kebutuhan spiritualitasnya. Majelis Gereja Toraja dengan identitas sebagai pelaku adat turut melaksanakan prosesi adat untuk menunjukkan dirinya sebagai bagian dari kelompok masyarakat Toraja. Kedua identitas ini berkembang dalam satu individu yang mempengaruhi tindakan, pola pikir, bahkan cara berkomunikasi. Seiring dengan hal tersebut, terdapat identitas yang terbagi atau terpisah karena Majelis Gereja Toraja secara personal tidak bisa memastikan identitasnya akibat ada tuntutan dari dalam dirinya dan persepsi masyarakat Toraja terhadap dirinya.

173 Manuel Castells, The Power of Identity, xxvi.

174 Jimmy M. Sormin, Masyarakat Adat: Pengakuan kembali, Identitas, dan Keindonesiaan, 15

(22)

83

Majelis Gereja Toraja pemilik identitas kolektif yaitu sebagai pimpinan jemaat dan pelaku adat mengalami dilema karena tidak dapat memilih satu diantara identitas yang dimilikinya. Posisi identitas ini pada dasarnya berdampingan dan saling melengkapi kebutuhan masyarakat Toraja. Namun pada praktiknya identitas ini justru mengalami sebuah pergumulan akibat pergeseran makna adat istiadat dan ajaran gereja yang dianggap menggekang bagi beberapa masyarakat adat Toraja.175 Contoh kasus yang terjadi di kalangan masyarakat Toraja ialah adanya praktik perjudian sabung ayam dalam prosesi Rambu Solo’. Sabung ayam merupakan kegiatan yang dilakukan oleh nenek moyang

masyarakat Toraja dengan tujuan untuk mengumpulkan orang-orang sambil mengadu ayam, tetapi kini maknanya mengalami perubahan ketika sabung ayam bukan hanya

menjadi tempat orang-orang berkumpul tetapi telah menjadi sarana perjudian. Kegiatan adat istiadat yang memiliki tujuan baik kini tidak dimaknai lagi sebagaimana yang seharusnya. Masyarakat Toraja melangsungkan kegiatan sabung ayam ini sebagai suatu proses adat istiadat. Di sisi lain, praktik perjudian yang terjadi dalam sabung ayam ini sangat bertentangan dengan aturan Gereja Toraja. Esensi dari kegiatan tersebut kini menjadi kabur, tetapi masyarakat Toraja terus menganggapnya sebagai suatu bentuk kebudayaan.

Proses revitalisasi makna menjadi dilema besar bagi Majelis Gereja Toraja.

Masyarakat Toraja terus menghidupi adat istiadat menurut apa yang mereka pahami sehingga Majelis Gereja Toraja juga tidak menyalahkan penghayatan masyarakat. Majelis Gereja Toraja yang memiliki keterkaitan dengan adat istiadat mendapatkan pengaruh

175 Wawancara dengan HP pada 14 Juli 2021

(23)

84

persepsi baik untuk dirinya sendiri maupun bagi kelompok masyarakat Toraja. Jimmy M.

Sormin dalam bukunya mengenai masyarakat adat mengungkapkan harapannya bahwa agama dan institusi tidak boleh mengalami stagnasi dan harus terus menjadi cair untuk mencari kebenaran.176 Institusi yang dimaksud ialah kelompok pelaku adat serta Gereja sebagai pemersatu masyarakat Toraja beragama Kristen. Dilema identitas yang dialami Majelis Gereja Toraja pada akhirnya menjadi refleksi bagi dirinya sendiri dalam menentukan perilaku apa yang akan ditunjukkan seturut makna yang dihayati.

4.3 Analisis identitas Majelis Gereja Toraja dalam konsep sosiologi agama menurut Emile Durkheim

Identitas Majelis Gereja Toraja dipahami sebagai pimpinan jemaat dan pelaku adat.

Identitas Majelis Gereja Toraja merujuk pada pengungkapan diri secara personal dan identitasnya sebagai bagian dari masyarakat Toraja.177 Identitas Majelis Gereja Toraja menjadi identitas kolektif karena mengandung dua peran yang berbeda namun saling berkelindan. Majelis Gereja Toraja adalah bagian dari masyarakat Toraja yang menghidupi adat istiadat dan agama Kristen di Toraja. Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat dan pelaku adat kerap mengalami dilema dalam menentukan identitasnya. Kecenderungan untuk menonjolkan salah satu peran merupakan alasan mengapa dilema tersebut dapat terjadi. Dilema yang dialami oleh Majelis Gereja Toraja sangat mempengaruhi tingkah laku dan keberadaannya sehari-hari. Majelis Gereja Toraja

176 Jimmy M. Sormin, Masyarakat Adat: Pengakuan kembali, Identitas, dan Keindonesiaan, 15

177 James D. Fearon, What is Identity (As We now use the word?), 2

(24)

85

sebagai pimpinan jemaat akan memilih untuk menunjukkan identitasnya seturut iman Kristen, sedangkan peran sebagai pelaku adat akan menunjukkan perilaku yang seturut identitas masyarakat adat Toraja. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tatanan hidup sebagai individu dan penghayatan mereka terhadap identitas yang melekat pada dirinya.

Dilema identitas yang dialami oleh Majelis Gereja Toraja dapat terjadi karena refleksi individu mengenai dirinya sendiri maupun persepsi orang lain.178 Refleksi mengenai dirinya sendiri terbentuk atas penghayatan terhadap agama Kristen serta cara mereka menunjukkan eksistensinya kepada masyarakat Toraja melalui partisipasi dalam adat istiadat. Selain itu, persepsi dari orang lain sangat berpengaruh dalam tindakan mereka karena adanya ekspektasi masyarakat Toraja mengenai Majelis Gereja Toraja yang ingin dipenuhi. Ekspektasi tersebut dapat berupa pemikiran tentang kemampuan Majelis Gereja Toraja dalam melaksanakan tugas sebagai pimpinan jemaat tanpa mengabaikan perannya sebagai bagian dari kelompok pelaku adat yaitu menjalankan adat istiadat. Melalui refleksi terhadap diri sendiri dan persepsi orang lain maka Majelis Gereja Toraja mulai membentuk jati dirinya sebagai bagian dari masyarakat dan agama. Oleh sebab itu identitas atau jati diri Majelis Gereja Toraja bukan lagi menjadi persoalan individual saja tetapi identitas yang bersifat sosial.

Majelis Gereja Toraja dalam identitasnya, menjadi sangat dekat dengan keberadaan masyarakat Toraja beragama Kristen. Majelis Gereja Toraja berada pada hubungan antara

178 Stella Ting Toomey, Identity Negotiation Theory, Sage Encyclopedia of Intercultural Competence, Volume 1: 2012, 418-422.

(25)

86

masyarakat Toraja dan agama Kristen yang berkembang di Toraja. Berdasarkan keberadaan ini maka dapat dikatakan bahwa Majelis Gereja Toraja membuktikan pemikiran Emile Durkheim mengenai konsep sosiologi agama. Bagi Durkehim sosiologi agama terbentuk dari kategori-kategori dasar seperti waktu, ruang, dan bentuk-bentuk organisasi sosial, sehingga sosiologi agama bukanlah pengalaman atau penyelidikan individual tapi merupakan representatif kolektif yang bersifat sosial. Oleh karena itu, munculnya agama dalam masyarakat lebih didominasi oleh motivasi kolektivitas ketimbang individualitas.179

Emile Durkheim menjumpai agama sebagai fakta sosial yang mampu menjelaskan hakikat religius manusia.180 Fakta sosial yang dimaksudkan pada bagian ini adalah keberadaan masyarakat Toraja sebagai masyarakat sosial yang sedang melaksanakan kebudayaan dan sementara mengalami proses penghayatan terhadap agama. Emile Durkheim berpendapat bahwa agama dipahami sebagai sistem sosial yang paling sederhana dan paling dekat keberadaannya dengan masyarakat.181 Agama Kristen di Toraja dapat dikatakan sebagai sistem sosial yang paling dekat dengan masyarakat Toraja saat ini. Hasil sensus penduduk terkait persentase agama di wilayah Toraja menunjukkan mayoritas masyarakat Toraja beragama Kristen Protestan.182

179 M. Yusuf Wibisono, Sosiologi Agama, (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati, 2020), 3

180 Bryan S. Turner, Teori-teori Sosiologi Modernitas, 95

181 Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, Translated from the French by Joseph Ward Swain, 16-17

182Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota dan Agama yang Dianut di Provinsi Sulawesi Selatan, diakses pada 7 Juli 2020 melalui https://sulsel.bps.go.id/dynamictable/2016/08/15/291/jumlah-penduduk- menurut-kabupaten-kota-dan-agama-yang-dianut-di-provinsi-sulawesi-selatan-2015.html

(26)

87

Masyarakat Toraja memahami kebudayaan dan agama Kristen sebagai suatu keyakinan atau kepercayaan yang mengelolah pikiran serta tindakannya. Pengaruh keyakinan atau kepercayaan tersebut juga turut dipahami oleh Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat dan pelaku adat. Pemahaman mengenai agama dan kebudayaan lewat tindakan sosial mendorong masyarakat Toraja terlebih Majelis Gereja Toraja menghadapi dilema sehingga memunculkan suatu Collective consciousness. Collective consciousness merupakan pemikiran Durkheim terkait berkembangnya sosiologi agama

dalam masyarakat. Oleh Durkheim Collective consciousness dipahami sebagai keyakinan, ide, atau sikap moral tentang norma-norma sosial dalam masyarakat yang dipahami dan dilakukan secara bersama-sama untuk menjadi kekuatan.183 Majelis Gereja Toraja memiliki kesadaran kolektif tersebut karena secara individual terus terlibat dalam pelaksanaan adat istiadat di Toraja dengan tetap mempertahankan perannya sebagai pimpinan jemaat dalam Gereja Toraja.

Hendropuspito dalam bukunya menuliskan bahwa masyarakat dan agama disoroti menurut struktur dan fungsinya serta pengaruhnya dalam keberadaan masyarakat.184 Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat dan pelaku adat merupakan bagian dari masyarakat Toraja yang tidak dapat memisahkan dirinya dari adat istiadat. Salah satu cara yang paling umum dilakukan oleh Majelis Gereja Toraja untuk mewujudkan keberadaan diri sebagai bagian dari masyarakat Toraja ialah berpartisipasi atau turut melaksanakan ritual dalam upacara adat. Majelis Gereja Toraja terlibat dalam upacara adat Rambu Tuka’

183 Kenneth Smith, A Study in Criminology, 41

184 Hendropuspito, Sosiologi agama, 8

(27)

88

dan Rambu Solo’ melalui keikutsertaan Mantunu atau mengurbankan hewan.

Keikutsertaan Majelis Gereja Toraja untuk melakukan prosesi Mantunu merupakan upaya nyata dari Collective Consciousness seturut pemikiran Durkheim. Collective Consciousness atau kesadaran kolektif tersebut dilakukan untuk tetap menunjukkan

eksistensi Majelis Gereja Toraja sebagai bagian dari masyarakat Toraja.185 Selain itu, tindakan yang dilakukan Majelis Gereja Toraja menjadi pembentuk orientasi religiusitas yang memiliki makna untuk dapat membangun suatu komunitas keagamaan di kalangan masyarakat Toraja.

Identitas Majelis Gereja Toraja akan semakin nampak dengan adanya agama yang dihidupi secara sosial dan kebudayaan yang diwujudkan melalui adat istiadat. Solidaritas masyarakat Toraja dalam membangun orientasi religiusitasnya juga diwujudkan dengan mendirikan Gereja Toraja sebagai institusi kekristenan di wilayah Toraja. Berdasarkan pendapat Durkheim, orientasi religiusitas dapat mengungkapkan peran agama dalam kehidupan sosial.186 Peran agama dalam kehidupan sosial masyarakat Toraja semakin nampak dengan berdirinya Gereja Toraja yang menuntun masyarakat Toraja beragama Kristen menghayati fakta sosial yang bersifat spiritual dan religius.

Gereja Toraja menjadi institusi yang dapat menunjukkan identitas Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat ataupun sebagai pelaku adat. Gereja Toraja dalam ajarannya, berisi doktrin kekristenan yang dapat membentuk refleksi diri dan persepsi orang lain terhadap Majelis Gereja Toraja. Majelis Gereja Toraja memperlihatkan

185 Kenneth Smith, A Study in Criminology, 41

186 Bryan S. Turner, Teori-teori Sosiologi Modernitas, 95

(28)

89

identitasnya seturut penghayatan terhadap peran yang dimilikinya. Penghayatan tersebut menghasilkan refleksi diri yang mendorong Majelis Gereja Toraja untuk bertindak ataupun memikirkan keberadaannya. Persepsi orang lain mengenai agama serta kebudayaan juga mempengaruhi identitas Majelis Gereja Toraja untuk melakukan tindakan. Agama dalam kaitannya dengan kebudayaan diwariskan secara simbolis yang membuat manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuannya maupun menentukan sikap menghadapi kehidupan.187 Hal ini juga diyakini oleh masyarakat Toraja secara umum bahwa agama membangun semangat spiritual sehingga dapat diwujudkan dalam tindakan sosial yang bermakna selayaknya simbol memiliki makna.188 Secara khusus Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat juga memahami semangat spiritual tersebut karena adanya doktrin kekristenan yang diterima.

Bahasan mengenai agama bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Toraja, kehidupan beragama masyarakat Toraja pada mulanya berasal dari keyakinan terhadap kepercayaan Aluk Todolo. Kepercayaan Aluk Todolo merupakan kepercayaan animisme yang dianggap sebagai sebuah hasil kebudayaan. Aluk Todolo sebagai agama suku Toraja berasal dari leluhur masyarakat Toraja yang diturunkan dari generasi ke generasi sehingga dianggap menjadi suatu wujud kebudayaan. Tylor sebagai tokoh kebudayaan mengungkapkan bahwa kebudayaan berasal dari kumpulan pengetahuan, kepercayaan,

187 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, 3

188 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, 3

(29)

90

seni, hukum, moral, adat istiadat, dan setiap kemampuan lain atau kebiasaan manusia.189 Seturut pengertian ini, keberadaan masyarakat Toraja dalam menghidupi kebudayaannya berada pada kepatuhannya menjaga dan memelihara tradisi leluhur. Kebudayaan oleh leluhur masyarakat Toraja disalurkan melalui banyak media misalnya benda, warisan, perhatian, bahkan aturan hidup. Kepatuhan masyarakat Toraja terhadap Aluk Todolo juga diwujudkan melalui pelaksanaan dan partisipasi dalam adat istiadat.

Seiring waktu dan perkembangan pemikiran maka kebudayaan di Toraja mengalami perubahan. Perubahan terhadap aturan hidup masyarakat Toraja juga terjadi setelah masyarakat Toraja mengenal agama Kristen. Keberadaan agama Kristen di Toraja tidak terlepas dari usaha Gereja Toraja untuk mengubah paradigma masyarakat Toraja terhadap agama dan makna kebudayaan. Hal ini berkaitan pula dengan ajaran yang terdapat dalam Aluk Todolo sebagai agama leluhur masyarakat Toraja. Hingga kini Gereja Toraja terus

berupaya untuk memberi sudut pandang yang baru kepada masyarakat Toraja sehingga secara jeli dapat meninjau relevansi dogma dari Aluk Todolo.

Masyarakat Toraja sebagai masyarakat pelaksana adat, terdiri atas orang Toraja atau sekumpulan orang Toraja yang berdomisili di wilayah Toraja maupun telah melakukan migrasi ke berbagai daerah.190 Masyarakat Toraja sebagai pelaksana adat dapat disebut sebagai pelaku adat yang melaksanakan berbagai ritual pada upacara Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’. Ketentuan ritual dalam upacara adat Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’ berasal dari leluhur masyarakat Toraja yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tata cara dalam

189 Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan, 4

190 Jimmy M.I. Sormin, Masyarakat Adat: Pengakuan kembali, Identitas, dan Keindonesiaan, 16

(30)

91

upacara adat dilaksanakan menurut kebudayaan masyarakat Toraja. Lebih dari pada itu, aturan adat istiadat dari kebudayaan juga sangat mempengaruhi tingkah laku masyarakat Toraja sehari-hari. Adat istiadat mengatur keberlangsungan upacara adat sekaligus mengatur pola perilaku masyarakat Toraja dalam kehidupan sehari-hari.

Adat istiadat yang berwujud keyakinan, nilai-nilai, aturan, bahasa bahkan agama membawa masyarakat Toraja pada keyakinan tentang Tuhan yang merujuk pada etika.191 Kondisi masyarakat Toraja tidak hanya berlatar belakang kebudayaan dalam adat istiadat tetapi juga dipengaruhi oleh agama Kristen yang berkembang di Toraja. Keberadaan agama dan kebudayaan di Toraja kini mengalami hubungan yang berkenaan dengan sosiologi agama. Sosiologi agama dipahami sebagai pemikiran yang menjabarkan hubungan agama dan kehidupan masyarakat. Masyarakat Toraja yang memahami kebudayaan dan memiliki kepercayaan terhadap iman Kristen menjalankan hidupnya seturut ajaran kekristenen juga adat istiadat. Kebudayaan masyarakat Toraja seringkali dikaitkan dengan penghayatannya mengenai agama tetapi nisbah antara agama dan kebudayaan sebenarnya adalah hal yang terpisah. Bakker dalam teori filsafat kebudayaannya mengungkapkan bahwa nilai dalam agama tidak dapat disamaratakan dengan karya-karya kebudayaan. Agama diyakini sebagai wahyu yang berasal dari Yang Transenden sementara kebudayaan seperti adat istiadat dibentuk dari hasil pemikiran

manusia. 192 Sehingga hal tersebut juga memberi pengaruh terhadap refleksi diri Majelis Gereja Toraja dalam menunjukkan identitasnya.

191 Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan, 14

192 Bakker, Filsafat kebudayaan, 48

(31)

92

Sosiologi agama dalam kehidupan masyarakat Toraja terlebih pada peran Majelis Gereja Toraja menyatakan bahwa agama dan kebudayaan memiliki hubungan yang erat dan mempengaruhi satu sama lain. Hubungan ini dinyatakan dalam perilaku masyarakat Toraja yang melibatkan kekristenan dalam adat istiadatnya. Upacara adat sebagai bagian dari adat istiadat yang dilaksanakan masyarakat Toraja dengan melibatkan Gereja Toraja.

Majelis Gereja Toraja mendapat kesempatan mewartakan kekristenan di tengah masyarakat Toraja melalui ibadah, kebaktian, bahkan pendampingan. Peran sebagai Majelis Gereja Toraja membangun keyakinan tentang iman melalui ajaran gereja serta memperkuat solidaritas antar masyarakat Toraja melalui pelaksanaan adat istiadat.

Agama melambangkan nilai religius dan kebudayaan melambangkan nilai-nilai moral yang dihidupi manusia.193 Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat dan pelaku adat menggambarkan keberlangsungan adat istiadat yang di dalamnya ada prinsip hidup serta nilai religius yang dipahami. Pandangan Emile Durkheim mengenai sosiologi agama terwujud melalui kehidupan masyarakat Toraja terlebih dalam proses penghayatan Majelis Gereja Toraja untuk mengungkapkan identitasnya. Pandangan Durkheim tentang kuatnya ikatan sosial antar individu dan kelompok diwujudkan masyarakat Toraja melalui solidaritas sosial dalam adat istiadat serta pengalaman emosional bagi masyarakat Toraja yang beragama Kristen. Berdasarkan pemikiran Durkheim mengenai sosiologi agama menurut fungsinya maka masyarakat akan berada pada tatanan hidup yang patuh pada nilai-nilai.194 Majelis Gereja Toraja sebagai bagian sebagai pelaku adat melaksanakan

193 Gunawan Adnan, Sosiologi Agama: Memahami Teodi dan Pendekatan, 19

194 Hendropuspito, Sosiologi agama, 8

(32)

93

seluruh praktik adat istiadat dengan atau tanpa mengabaikan perannya sebagai pimpinan jemaat dalam lingkup masyarakat Toraja beragama Kristen. Sehingga Majelis Gereja Toraja secara jelas menampakkan identitasnya sebagai individu ataupun bagian dari kelompok masyarakat Toraja yang memahami dan mempraktikan sosiologi agama secara fungsional.

Referensi

Dokumen terkait

Zeorin, senyawa yang diisolasi dari Aegle marmelos Correa, mampu menunjukkan efek penghambatan terhadap pelepasan mediator sel mast yaitu enzim -hexosaminidase dengan

Sumber: Kanwil DJP Jateng II.. Bidang Kerjasama Ekstensifikasi dan Penilaian Seksi Bimbingan Kerjasama Perpajakan Seksi Bimbingan EkstensifikasiPerpajakan Seksi BimbinganPendataan

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas berkaitan dengan peningkatan hasil belajar siswa dengan menggunakan

terpengaruh oleh kepentingan pribadi dalam penyusunan perencanaan pengawasan dengan cara mengalokasikan auditor yang telah melakukan kegiatan pengawasan selama 3

Pengelolaan sumber daya air sering berfokus pada pemenuhan kebutuhan air yang meningkat tanpa memperhitungkan secara memadai kebutuhan untuk melindungi kualitas dan

Banyaknya galian yang cukup dalam di pemukiman yang cukup ramai, tidak diberi rambu lalu-lintas, pengaman ataupun Papan Peringatan / Garis Batas sehingga membahayakan pengguna

Hasil dari penelitian pengembangan ini berupa (1) sebuah modul menggunakan strategi pembelajaran PDEODE dengan pendekatan saintifik kelas IX SMP materi peluang,

Penelitian ini juga menunjukkan hasil bahwa tekanan hampir tidak dirasakan oleh siswa, dimana hal tersebut dapat dilihat dari seringnya siswa mengisi waktu luang