• Tidak ada hasil yang ditemukan

SABARUDIN BAYURESTIVIANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "SABARUDIN BAYURESTIVIANA"

Copied!
233
0
0

Teks penuh

(1)

P

PEMAHAMAN PESERTA DIDIK TENTANG KEARIFAN

LOKAL ISLAM ABOGE DAN PENGARUHNYA TERHADAP

PENDIDIKAN KARAKTER

( Studi Kasus Pada Peserta Didik Di SMA Negeri Ajibarang Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas Jawa Tengah)

TESIS

Disusun Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Sosiologi

EMAHAMAN PDIDIK TENTANGKEARIFAN LOKAL BUDAYA JAWLAM PENDIDIKAN KARAKTER

(Analisis Sosiologi Terhdikan Karakter Melalui Pemahaman Kearifan lokal Budaya Jawa)

ukan Kepada Program Pascasarjana Jurusan Sosiologi

Universitas Negeri Sebelas Maret

Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Master of Science

Oleh:

SABARUDIN BAYU RESTIVIANA

S251108011

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2015

(2)

PEMAHAMAN PESERTA DIDIK TENTANG KEARIFAN

LOKAL ISLAM ABOGE DAN PENGARUHNYA TERHADAP

PENDIDIKAN KARAKTER

( Studi Kasus Tentang Kearifan Lokal Islam Aboge Di SMA Negeri Ajibarang Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas Jawa Tengah)

TESIS Oleh:

Sabarudin Bayu Restiviana S251108011

Komisi Pembimbing Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I Dr. Drajat Tri Kartono, M.Si ... ... 2015 NIP 19660112 199003 1 002

Pembimbing II Dr. Ahmad Zuber, S.Sos., DEA ... ... 2015 NIP 19701215 199802 1 001

Telah dinyatakan memenuhi syarat Pada Tanggal ... 2015

Ketua Program Studi Sosiologi

Dr. Argyo Demartoto, M.Si NIP 19650825 199203 1 003

(3)

PEMAHAMAN PESERTA DIDIK TENTANG KEARIFAN

LOKAL ISLAM ABOGE DAN PENGARUHYA TERHADAP

PENDIDIKAN KARAKTER

( Studi Kasus Tentang Kearifan Lokal Islam Aboge Di SMA Negeri Ajibarang Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas Jawa Tengah)

(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa: 1. Tesis yang berjudul: “ Pemahaman Peserta Didik Tentang

Kearifan Lokal Islam Aboge Dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan Karakter (Studi Kasus Pada Peserta Didik Di SMA Negeri Ajibarang Kecamtan Ajibarang Kabupaten Banyumas Jawa Tengah)” ini adalah karya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan perundang-undangan (Permendiknas No 17, tahun 2010).

(5)

PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan sebagai wujud syukur dan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua’ku tercinta, Bapak Idayat dan Ibu Kustiyati(Almh) atas segala limpahan kasih sayang, doa, perjuangan, dukungan serta harapanmu.

2. Istriku (Dina Sofiana), serta anak-anakku (Nabil Alifiansyah dan Zalistya Nareswari Restiviana) terkasih dan tersayang, atas semua doa, kasih sayang serta dukungan.

3. Saudara-saudaraku(Kapten Inf. Tatas Ike Priambanu), (Kamaruddin Hasan- Mirodiatun Resi Nuridayati), atas segala dukungan dan doanya

4. Keponakan’ku tercinta Regita Keumala Sabty, Regina Keumala Sabty, Tamlika Banu Sabkar, Zakia Keumala Sabty, semoga kalian selalu berprestasi. 5. Seluruh civitas akademika SMA Negeri Ajibarang

atas dorongan, bantuan, doa dan kesempatan yang diberikan.

6. Seluruh kawan-kawan S2 Sosiologi angkatan 2011, semoga perjuangan dan persahabatan akan tetap berkobar.

7. Dosen-dosen S2 Sosiologi yang selalu menjadi inspirasiku.

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini guna memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Magister Sosiologi Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam penyusunan Tesis yang berjudul “ Pemahaman Peserta Didik Tentang Kearifan Lokal Islam Aboge Dalam

Pendidikan Karakter (Studi Kasus Pada Peserta Didik Di SMA

Negeri Ajibarang Kecamtan Ajibarang Kabupaten Banyumas

(7)

(sederhana), dan tepa selira (tenggang rasa). Untuk itu atas segala bentuk bantuan, peneliti menyampaikan terima kasih dan penghargaan setingi-tingginya kepada:

1. Dr. Argyo Demartoto, M.Si selaku Ketua Program Studi Sosiologi Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dr. Drajat Tri Kartono, M.Si dan Dr. Ahmad Zuber, S.Sos., DEA selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, pikiran dalam seluruh proses pembimbingan sampai dengan tahap penyelesaian Tesis ini.

3. Drs. Arif Priadi, M.Ed dan Drs. Tjaraka Tjunduk Karsadi, M.Pd selaku Kepala SMA Negeri Ajibarang yang telah memberi bantuan data dan informasi selama penyelesaian Tesis ini.

4. Bapak dan Ibu (Almh) tercinta, terima kasih atas segala doa, perhatian dan curahan kasih sayangnya selama ini.

5. Kamaruddin Hasan, S.Sos, M.Si, Mirodiatun Resi Nuridayati, S.Sos, MP dan seluruh Keluarga Besar di Nangroe Aceh Darussalam yang telah banyak memberikan bantuan, bimbingan dan motivasi dalam penyelesainan Tesis ini.

6. Dina Sofiana, terkasih, serta permata hatiku Nabil Alifiansyah dan Zalistya Nareswari Restiviana yang telah banyak memberikan motivasi, doa, kasih sayang dan dukungan dalam penyelesaian Tesis ini.

(8)

7. Seluruh Keluarga Besar SMA Negeri Ajibarang, terimakasih atas kesempatan dan dukungan dalam penyususnan Tesis ini.

8. Teman-teman S2 Sosiologi UNS Angkatan 2011: Pak Sukron, Bu Yuni, Bu Yuli, Bu Retno, Pak Bambang, Pak Irsyam, Pak Sahep, Gede, Suka, Prihanto, Firman, Inung, Ratri, Tyas, Linda.

9. Berbagai pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah memberi dukungan bagi penyelesaian Tesis ini.

Peneliti berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Peneliti juga menyadari bahwa karya ini masih belum sempurna. Oleh karena itu masukan dan saran yang membangun diharapkan guna memperkaya dan mengembangkan gagasan demi kemajuan dimasa mendatang. Semoga karya yang sederhana ini mendapat Rido Allah SWT.

Amiin

Surakarta, Januari 2015

Peneliti

SABARUDIN BAYU RESTIVIANA

(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PENDAMPING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

SURAT PERNYATAAN ... iii

PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR BAGAN ... xv

ABSTRAK ... xvi

ABSTRACT ... xvii

GLOSARIUM ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... ... 1

B. Rumusan Masalah ... ... 10

C. Tujuan Penelitian ... ... 10

D. Manfaat Penelitian ... ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

(10)

A. Kajian Konsep ...

... 12

1. Peserta didik ... 12

2. Kearifan Lokal ... 14

3. Kearifan Lokal Budaya Jawa ... 19

a. Kearifan Lokal Budaya Jawa ... 19

b. Islam Aboge Perpaduan Antara Islam dan Tradisi Jawa ... 20

1) Slametan Ibu Hail ... 20

2) Ritual Kelahiran Bayi ... 21

3) Perayaan Khitan/ Sunat ... 22

4) Perayaan Pernikahan ... 23

5) Ritual Kematian(Tahlilan) ... 24

6) Pemujaan Terhadap Makam atau Kuburan ... 25

7) Penanggalan Alif Rebo Wage... 28

4. Islam Aboge ... 31

a. Sejarah Asal Usul Islam Aboge ... 32

b. Karakteristik keagamaan ... 36

1) Aqidah ... 36

2) Ibadah ... 38

5. Pendidikan Karakter ... 42

a. Pendidikan ... 42

(11)

b. Karakter ... 44

c. Pendidikan Karakter ... 48

d. Nilai-Nilai Dasar Dalam Pendidikan Karakter ... 50

B. Penelitian Terdahulu ... 52

C. Orisinalitas Penelitian ... 68

D. Landasan Teori ... ... 71

1. Teori Interaksionisme Simbolik ... 72

a. Perspektif Interaksi Simbolik ... 72

b. Pembelajaran Makna dan Simbol ... 76

2. Sosiologi Pendidikan ... 77

a. Sosiologi Sebagai pendekatan Studi Pendidikan ... 77

b. Perspektif Sosiologi Pendidikan ... 78

c. Paradigma Baru Pendidikan ... 79

E. Kerangka Pikir ... 80

BAB III METODE PENELITAN ... 85

A. Tempat Dan Waktu Penelitian ... ... 85

1. Tempat Penelitian ... 85

2. Waktu Penelitian ... 86

B. Bentuk Dan Strategi Penelitian ... 86

1. Jenis Penelitian ... 86

2. Strategi Penelitian ... 88

(12)

C. Data Dan Sumber Data ... ... 88

D. Sampling... 90

E. Teknik Pengumpulan Data ... 92

F. Validitas Data ... 94

G. Teknik Analisis Data ... 97

H. Prosedur penelitian... 100

a. Pengumpulan Data ... 101

b. Analisis Data ... 101

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 102

A. Desa Kracak Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas ... 102

B. SMA Negeri Ajibarang ... 109

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 121

A. Profil Informan ... 121

1. Informan Wawancara ... 121

2. Karakteristik Informan FGD ... 126

B. Hasil Penelitian ... 129

1. Pemahaman Peserta Didik Tentang Kearifan Lokal Islam Aboge Dalam Pendidikan Karakter ... 129

a. Makna Pendidikan Karakter... 129

b. Islam Aboge ... 132

c. Nilai-Nilai Karakter Islam Aboge ... 135 2. Upaya Melestarikan Kearifan Lokal Islam Aboge Dalam

(13)

Pendidikan Karakter ... 140

a. Melaui Pendidikan ... ... 140

1) Makna Kurikulum ... 140

2) Pengembangan Kurikulum ... 145

b. Melestarikan kearifan Lokal Islam Aboge ... 148

3. Pengaruh Kearifan Lokal Islam Aboge Terhadap Karakter Peserta Didik ... 151

a. Nilai-Nilai Karakter ... ... 151

b. Nilai-Nilai Karakter Islam... 155

c. Nilai-Nilai Karakter Di SMA Negeri Ajibarang Kecamatan Ajibarang ... 158

d. Pola Perilaku Peserta Didik ... 161

e. Pelaksanaan Tradisi ... 164

1) Slametan ... 165

2) Ruwatan ... 168

3) Nyadran ... 169

4) Tirakat/ Prihatin ... 171

5) Ziarah Makam ... 172

C. Pembahasan ... 173

BAB VI PENUTUP ... 198

A. Kesimpulan ... 198

B. Implikasi ... 199

1. Implikasi Empiris ... 199

(14)

2. Impilkasi Teoritis ... 200

3. Implikasi Metodologis ... 202

C. Saran ... 202

DAFTAR PUSTAKA ... 204

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbedaan Antara Orisinalitas Dengan Penelitian Terdahulu ... 68

Tabel 3.1 Waktu dan Kegiatan penelitian ... .. 86

Tabel 3.2 Metode Pengumpulan Data ... 90

Tabel 4.1 Jarak Kantor Kepala Desa ke Kantor Kecamatan ... 103

Tabel 4.2 Umur Tiap-Tiap Warga ... 105

Tabel 4.3 Jumlah Lembaga Pendidikan ... 106

Tabel 4.4 Mata Pencaharian Pokok Masyarakat ... 107

Tabel 4.5 Lembaga Perekonomian ... 107

Tabel 5.1 Karakteristik Informan Wawancara ... 124

Tabel 5.2 Karakteristik Informan Peserta FGD ... 127

Tabel 5.3 Makna Pendidikan Karakter ... 131

Tabel 5.4 Pengertian Islam Aboge ... 133

Tabel 5.5 Nilai-Nilai Karakter Islam Aboge ... 137

Tabel 5.6 Makna Kurikulum ... 143

Tabel 5.7 Pentingnya Pengembangan Kurikulum ... 147

Tabel 5.8 Upaya melestarikan Kearifan Lokal Islam Aboge ... 149

Tabel 5.9 Arti Nilai-Nilai Karakter ... 153

Tabel 5.10 Nilai-Nilai Karakter Islam ... 155

Tabel 5.11 Nilai-nilai Karakter di Sekolah ... 160

Tabel 5.12 Pola Perilaku ... 162

(16)

Aboge Dalam Pendidikan Karakter... 173 Tabel 5.15 Nilai-nilai Karakter kementrian Pendidikan Nasional ... 176 Tabel 5.16 Konfigurasi Karakter ... 178

(17)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Kerangka Berfikir ... 84 Bagan 2. Model Analisis Data Kualitatif ... 99

(18)

SABARUDIN BAYU RESTIVIANA. S251108011. 2014. Pemahaman Peserta Didik Tentang Kearifan Lokal Islam Aboge Dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan Karakter (Studi Kasus Pada Peserta Didik Di SMA Negeri Ajibarang Kecamatan Ajibarang kabupaten Banyumas Jawa Tengah). TESIS. Pembimbing I: Dr Drajat Tri Kartono, M.Si, II: Dr. Ahmad Zuber, S.Sos., DEA. Program Studi Sosiologi, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

ABSTRAK

SMA Negeri Ajibarang merupakan Sekolah yang telah melaksanakan Pendidikan Karakter melalui pengembangan kurikulum berbasis kearifan lokal, kearifan lokal tersebut diantaranya berasal dari lingkungan sosial di sekitar SMA Negeri Ajibarang yaitu kearifan lokal Islam Aboge. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Pemahaman Peserta didik Tentang Kearifan Lokal Islam Aboge Dalam Pendidikan Karakter (Studi Kasus Pada Peserta Didik Di SMA Negeri Ajibarang Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas Jawa Tengah) dengan menggunakan teori Interaksionisme Simbolik, Herbert Mead.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus. Sumber data pada penelitian ini adalah informan, arsip, dokumen. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah snowball sampling yaitu penelitian yang mendatangi lokasi penelitian untuk menetapkan informan yang ditemui, dan informan tersebut memberikan rujukan informan berikutnya yang berasal dari informan pertama begitu seterusnya sampai ditemukan informan yang mampu dan dianggap sebagai key informan dari key informan tersebut dapat diperoleh kelengkapan yang diperlukan dalam penelitian ini. Informan dalam penelitian ini adalah 17 orang yang terdiri dari 9 informan wawancara yaitu Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah Urusan Kurikulum, Guru Bahasa Banyumasan, Guru Agama Islam, tokoh NU, tokoh Muhammadiyah dan 2 orang peserta didik. 8 Informan Focus Group Discusion (FGD ). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Teknik triangulasi data diperoleh dari kearifan lokal Islam Aboge, nilai-nilai karakter Islam Aboge dan pendidikan karakter guna memperoleh data mengenai pemahaman peserta didik tentang kearifan lokal Islam Aboge dalam pendidikan karakter.

Hasil penelitian ini menunjukan empat temuan yaitu: pertama, pendidikan karakter bertujuan membawa peserta didik memiliki nilai-nilai karakter mulia. Kedua, pemahaman peserta didik tentang kearifan lokal Islam Aboge merupakan nilai-nilai karakter antara lain menghargai leluhur, sabar, prihatin guyub rukun dan pasrah . Ketiga, upaya melestarikan kearifan lokal Islam Aboge dalam pendidikan karakter dilaksanakan melalui pengembangan kurikulum dengan memasukan nilai-nilai kearifan lokal melalui pemaknaan dan rekonstruksi nilai-nilai luhur budaya lokal sehingga disebut sebagai kurikulum berbasis budaya lokal. Keempat, pengaruh kearifan lokal Islam Aboge terhadap karakter peserta didik antara lain rila, nerima, sabar, temenan dan budi luhur.

(19)

SABARUDIN BAYU RESTIVIANA. S251108011. 2014. The Comprehesion Of Students About The Local Wisdom Of Islam Aboge In Character Education ( Case Study The Students Of Ajibarang State Senior High School, Ajibarang, Banyumas, Central Java). THESIS. First Counselor: Dr Drajat Tri Kartono, M.Si, Second Counselor: Dr. Ahmad Zuber, S.Sos., DEA. Sociology Study Program, Postgraduate Program, Surakarta Sebelas Maret University.

ABSTRACT

This research aims at to analyze The Comprehension Of Ajibarang State Senior High School Students about The Local Wisdom Of Islam Aboge. This researtch uses the theory of Interactionalism Symbolic, Herbert Mead (A Case Study Of Ajibarang State Senior High School, in Banyumas Regency, Central Java). The School itself is a school that has conducted character building through the development of curriculum considering local wisdom base. Islam Aboge is one of local widoms that exists in Banyumas Regency.

The research is a qualitative research with a strategy of study cases. The sources of this research are information, archieves, and document. The Sampling method that is used in this research is snowball sampling. A research that is done in the location of the research to determine the informants The Muhammadiyah, and 2 students. The 8 informants of Focus Group Discussion (FGD) consist of 4 male students and 4 female students. The methods of collecting data in this research are interview and observation. The triangulation method of the data is taken from the local wisdom of Islam Aboge, character values of Islam Aboge and character education in order to get data about the comprehension of the students about the local wisdom of Islam Aboge in character education.

The result of this research shows 4 points. First, character education has a purpose of leading the students to have character values. Secondly, the comprehesion of students about local wisdom of Islam Aboge is in from of respecting ancetors, patience, harmony and submisson. Thirdly, effort to conserve the local wisdom of Islam Aboge in character education through the development of the curriculum is done by inserting the values of character education by giving meaning and recontruction of glanous values of local culture so it is called curriculum based on local culture. Fourthly, the local wisdom of Islam Aboge influences the students character, those are rila, nerima, sabar, temenan and budi luhur.

Key words : Local Wisdom, Islam Aboge, Character Education.

(20)

tivia

G

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sosiologi merupakan bidang kajian yang memiliki implikasi penting terhadap tumbuh dan berkembangnya manusia didalam masyarakat, termasuk tumbuh dan berkembangnya manusia dalam dunia pendidikan. Sosiologi pendidikan dapat membantu memberi bahan yang berharga dalam rangka melihat proses pendidikan dengan meningkatkan kepekaan dalam melihat nilai-nilai, institusi, budaya dan kecenderungan yang ada dalam masyarakat, termasuk didalamnya melihat pendidikan dan relasinya dengan masyarakat(Maliki, 2010: 4).

Pendidikan adalah sebuah usaha yang ditempuh oleh manusia dalam rangka memperoleh ilmu yang kemudian dijadikan sebagai dasar untuk bersikap dan berperilaku. Karena itu, pendidikan merupakan salah satu proses pembentukan karakter manusia. Pendidikan dapat dikatakan sebagai proses pemanusiaan manusia. Dalam keseluruhan proses yang dilakukan manusia, terjadi proses pendidikan yang akan menghasilkan sikap dan perilaku yang akhirnya menjadi watak, kepribadian, atau karakternya. Untuk meraih derajat manusia seutuhnya sangatlah tidak mungkin tanpa melalui proses pendidikan. Pendidikan juga merupakan usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi muda bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di

2

(21)

masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi diri, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat. Sejalan dengan laju perkembangan masyarakat, pendidikan menjadi sangat dinamis dan disesuaikan dengan perkembangan yang ada(Marzuki, 2012).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3 menyatakan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara

yang demokratis serta bertanggung jawab.

Berdasarkan fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional, maka pendidikan di setiap jenjang, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, dirancang dan diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Dalam rangka pembentukan karakter peserta

(22)

didik agar beragama, beretika, bermoral dan sopan santun dalam berinteraksi dengan masyarakat, maka pendidikan dipersiapkan, dilaksanakan, dan dievaluasi dengan baik serta mengintegrasikan pendidikan karakter didalamnya guna mewujudkan insan-insan Indonesia yang berkarakter mulia.

Dunia pendidikan harus mampu berperan aktif menyiapkan sumber daya manusia terdidik yang mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan, baik lokal, regional, nasional maupun internasional. Peserta didik tidak cukup hanya menguasai teori-teori, tetapi juga mau dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sosial. Peserta didik tidak hanya mampu menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh di bangku sekolah atau kuliah, tetapi juga mampu memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Sumber daya manusia yang berkarakter sebagaimana diungkapkan di atas dapat dicapai melalui pendidikan yang berorientasi pada pembentukan jiwa entrepreneurship, yaitu jiwa keberanian dan kemauan menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar, jiwa kreatif untuk mencari solusi dan mengatasi problema tersebut, dan jiwa mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Salah satu jiwa entrepreneurship yang perlu dikembangkan melalui pendidikan adalah karakter yang bersumber dari budaya bangsa.

Pendidikan yang berbasis karakter dan budaya bangsa adalah pendidikan yang menerapkan prinsip-prinsip dan metodologi ke arah pembentukan karakter anak bangsa pada peserta didiknya melalui

(23)

kurikulum terintegrasi yang dikembangkan di sekolah. Kerangka pengembangan karakter dan budaya bangsa melalui pembelajaran di kalangan tenaga pendidik dirasakan sangat penting. Sebagai agen perubahan, pendidik diharapkan mampu menanamkan ciri-ciri, sifat, dan watak serta jiwa mandiri, tanggung jawab, dan cakap dalam kehidupan kepada peserta didiknya. Di samping itu, karakter tersebut juga sangat diperlukan bagi seorang pendidik karena melalui jiwa ini, para pendidik akan memiliki orientasi kerja yang lebih efisien, kreatif, inovatif, produktif serta mandiri.

Menurut Kepala SMA Negeri Ajibarang bapak Arif Priadi pengembangan pendidikan berbasis karakter dan budaya bangsa belum secara jelas masuk dalam pengembangan kurikulum(W,ARF,10/9/2012). Nilai-nilai yang ditumbuhkembangkan dalam diri peserta didik berupa nilai-nilai dasar yang disepakati secara nasional. Nilai-nilai yang dimaksudkan di antaranya adalah kejujuran, dapat dipercaya, kebersamaan, toleransi, tanggung jawab, dan peduli kepada orang lain(Suyitno, 2012).

Franz Magnis-Suseno (2010), dalam acara Sarasehan Nasional “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” mengatakan bahwa pada era sekarang ini yang dibutuhkan bukan hanya generasi muda yang berkarakter kuat, tetapi juga benar, positif, dan konstruktif. Namun, untuk membentuk peserta didik yang memiliki karakter kuat, tidak boleh ada feodalisme para pendidik. Jika pendidik membuat peserta

(24)

didik menjadi ”manutan” (obedient) dengan nilai-nilai penting, tenggang rasa, dan tidak membantah, karakter peserta didik tidak akan berkembang. Kalau kita mengharapkan karakter, peserta didik itu harus diberi semangat dan didukung agar ia menjadi pemberani, berani mengambil inisiatif, berani mengusulkan alternatif, dan berani mengemukakan pendapat yang berbeda. Kepada peserta didik, perlu diajarkan cara berpikir sendiri. Untuk pengembangan pendidikan berbasis karakter dan budaya bangsa, dibutuhkan masukan, antara lain, menyangkut model-model pengembangan karakter dan budaya bangsa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional(Suyitno, 2012).

Kerisauan dan kerinduan banyak pihak untuk kembali memperkuat pendidikan karakter dan budaya bangsa yang berasal dari nilai-nilai kearifan lokal, berdasarkan hal tersebut maka dibutuhkan data-data yang akurat tentang model-model pengembangan karakter dan budaya bangsa yang berasal dari nilai-nilai kearifan lokal perlu digali dan dilaksanakan melalui kajian empiris, yakni kegiatan penelitian. Menurut Kepala Sekolah pelaksanaan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) memberikan keleluasaan sekolah dalam mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal diantaranya dengan memasukan nilai-nilai budi pekerti hanya msaih dalam mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan(W,ARF,10/9/2012). Syarat menghadirkan pendidikan karakter dan budaya bangsa di sekolah harus dilakukan secara menyeluruh. Pendidikan karakter tidak bisa terpisah dengan bentuk

(25)

pendidikan yang sifatnya kognitif atau akademik. Konsep pendidikan tersebut harus diintegrasikan ke dalam kurikulum. Hal ini tidak berarti bahwa pendidikan karakter akan diterapkan secara teoretis, tetapi menjadi penguat kurikulum yang sudah ada, yaitu dengan cara mengimplementasikannya dalam mata pelajaran dan keseharian peserta didik.

Globalisasi akan menghilangkan sekat-sekat budaya satu dengan lainnya. Dalam era itu karakter budaya tertentu akan menjadi semakin samar dan tergantikan dengan budaya global yang bersifat umum. Kecenderungan warna budaya tertentu yang berbasis budaya etnis akan semakin luntur, termasuk perlakuan terhadap budaya Jawa. Salah satu upaya untuk mengenalkan dan mempertahankan budaya Jawa yang komprehensif adalah melalui dunia pendidikan. Budaya Jawa memiliki kearifan lokal yang sangat kaya. Kearifan lokal terdapat dalam semua aspek kehidupan budaya Jawa. Untuk itu, kearifan lokal budaya Jawa perlu diangkat, didokumentasikan, dilestarikan, dan direvitalisasi. Salah satu aspek penting yang tak terpisahkan dari budaya adalah kearifan lokal.

Bangsa Indonesia harus mampu menyaring budaya asing yang masuk agar tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa. Salah satu cara untuk mengimplementasikan kearifan lokal dalam membangun karakter adalah perlu adanya revitalisasi budaya lokal untuk membangun pendidikan berkarakter, hal ini diharapkan agar peseta didik mampu

(26)

mencintai budaya dan daerahnya sendiri. Pendidikan berbasis kearifan lokal dapat digunakan sebagai media untuk melestarikan potensi masing-masing daerah serta untuk membentuk karakter khususnya bagi peserta didik.

Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa pendidikan karakter atau pembangunan karakter relevan dengan kearifan lokal, yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya bangsa kita. Dengan demikian, pemahaman terhadap kearifan lokal sebagai nilai-nilai budaya luhur bangsa kita dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembentukan karakter bangsa. Persoalannya sekarang, sejauh mana kearifan lokal itu telah dimanfaatkan untuk pembentukan karakter bangsa. Padahal, dampak manusia berkarakter atau manusia yang mengamalkan kearifan lokal sangat besar untuk keberhasilan seorang individu, bahkan keberhasilan sebuah bangsa. Di sinilah urgensinya kajian tradisi budaya untuk mendapatkan kearifan lokal sebagai warisan leluhur kita. Dengan kata lain, kita mengharapkan karakter bangsa kita berasal dari kearifan lokal kita sendiri sebagai nilai leluhur bangsa kita. Atas dasar itu, karakter bangsa yang diharapkan adalah karakter yang berbasis kesejahteraan dan kedamaian. Karakter yang cinta kesejahteraan meliputi karakter yang pekerja keras, disiplin, senang belajar, hidup sehat, cinta budaya, gotong royong, tidak bias gender, peduli lingkungan, sedangkan karakter yang cinta kedamaian meliputi sikap yang berkomitmen, berpikir positif, sopan santun, jujur, setia kawan, suka bersyukur, dan hidup

(27)

rukun. Pendidikan karakter berarti pendidikan kepribadian yang cinta kesejahteraan dan cinta kedamaian. Cinta kesejahteraan didasari oleh kearifan lokal inti etos kerja (core local wisdom of work ethics), sedangkan cinta kedamaian didasari kearifan lokal inti kebaikan (core local wisdom of goodness) (Sartini, 2004). Sehingga semua cakupan karakter di atas dapat diajarkan dan diterapkan dalam dunia pendidikan.

Penerapan pendidikan karakter yang berasal dari kearifan lokal sebagai warisan budaya leluhur akan menjadikan anak-anak bangsa ini berhasil dalam bidang akademis dan ekonomi yang dapat mempersiapkan mereka menjadi sumber daya manusia yang beradab dan sejahtera di masa depan. Kita dapat melihat negara-negara yang menerapkan pendidikan karakter di atas, semuanya menjadi negara maju yang sejahtera. Tiga negara tersebut ( Amerika Serikat, Jepang, dan Cina) masing-masing memiliki peringkat dunia pertama, kedua, dan ketiga tersejahtera (Jalaludin, 2012). Apapun alasannya, inilah yang diidam-idamkan oleh semua manusia dan semua bangsa. Bangsa Indonesia memberikan prioritas pada pembentukan karakter bangsa berdasarkan budaya bangsa Indonesia demi persiapan masa depan generasi mendatang. Dengan demikian, menurut wakil kepala sekolah urusan kurikulum pemahaman terhadap kearifan lokal sebagai nilai-nilai budaya luhur bangsa kita dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembentukan karakter bangsa. Persoalannya sekarang, sejauh mana kearifan lokal itu telah dimanfaatkan dalam pembentukan karakter bangsa. Padahal,

(28)

dampak manusia berkarakter atau manusia yang mengamalkan kearifan lokal sangat besar untuk keberhasilan seorang individu, bahkan keberhasilan sebuah bangsa.

Dibandingkan dengan 2 penelitian diatas maka terdapat perbedaan bila dibandingkan dengan penelitian yang berjudul Pemahaman Peserta Didik Tentang Kearifan Lokal Islam Aboge dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan Karakteryaitu:

1. Penerapan Pendidikan Karakter yang berasal dari

2. Kearifan Lokal Islam Aboge dapat menjadikan peserta didik memliki nilai-nilai karakter Nasional dan nilai-nilai karakter Islam Aboge antara lain rila, nerima, sabar, prihatin dan temenan.

2. Pemahaman tentang kearifan lokal sebagai nilai-nilai luhur budaya bangsa mampu membentuk karakter dengan mengamalkan kearifan lokal Islam Aboge peserta didik mammpu memiliki karakter yang responsif, semangat, ikhlas dan bertanggungjawab.

Pendidikan saat ini hanya mengedepankan penguasaan aspek keilmuan dan kecerdasan peserta didik. Jika peserta didik sudah mencapai nilai atau lulus dengan nilai akademik memadai atau diatas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), pendidikan dianggap sudah berhasil. Pembentukan karakter dan nilai-nilai budaya bangsa didalam diri peserta didik semakin terpinggirkan. Rapuhnya karakter dan budaya dalam kehidupan berbangsa bisa membawa kemunduran peradaban bangsa. Padahal, kehidupan masyarakat yang memiliki karakter dan

(29)

budaya yang kuat akan semakin memperkuat eksistensi suatu bangsa dan negara.

Dari latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti masalah tersebut dengan judul “Pemahaman Peserta Didik Tentang Kearifan Lokal Islam Aboge Dalam Pendidikan Karakter ( Studi Kasus Pada Peserta Didik Di SMA Negeri Ajibarang Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas Jawa Tengah).

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan kepada sekolah dalam melaksanakan pendidikan karakter berbasis budaya lokal dan Dinas Pendidikan dalam rangka membentuk karakter peserta didik yang selaras dengan tujuan pendidikan nasional yang berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal setempat termasuk nilai-nilai kearifan lokal Islam Aboge.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pemahaman peserta didik tentang pendidikan karakter? 2.Bagaimanakah pemahaman peserta didik tentang kearifan lokal Islam

Aboge?

3. Nilai-nilai kearifan lokal Islam Aboge apakah yang dimasukan dalam pendidikan karakter?

4.Bagaimanakah pengaruh kearifan lokal Islam Aboge terhadap pembentukan karakter peserta didik ?

(30)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.Untuk menjelaskan pemahaman peserta didik tentang pendidikan karakter di SMA Negeri Ajibarang Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas.

2.Untuk menjelaskan pemahaman peserta didik tentang kearifan lokal Islam Aboge di SMA Negeri Ajibarang Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas.

3.Untuk mengetahui upaya melestarikan kearifan lokal Islam Aboge dalam pendidikan karakter di SMA Negeri Ajibarang Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas.

4.Untuk mengetahui pengaruh kearifan lokal Islam Aboge terhadap karakter peserta didik di SMA Negeri Ajibarang Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas.

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian “Pemahaman Peserta Didik Tentang Kearifan Lokal Islam Aboge Dalam Pendidikan Karakter (Studi Kasus Pada Peserta Didik Di SMA Negeri Ajibarang Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas Jawa Tengah)” ini dapat diharapkan memberi manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

(31)

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dan dijadikan tambahan informasi dan pengembangan ilmu pengetahuan sosial terutama kajian-kajian di bidang Sosiologi Kebudayaan dan Sosiologi Pendidikan.

2.Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi sekolah dalam melaksanakan pendidikan karakter di SMA Negeri Ajibarang Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas serta dapat dijadikan masukan bagi Dinas Pendidikan setempat dalam pelaksanaan pendidikan karakter melalui pengembangan kurikulum berbasis budaya lokal.

(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Konsep

1. Peserta Didik

Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya peserta didik. Peserta didik merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem pendidikan, sebab seseorang tidak bisa dikatakan sebagai pendidik apabila tidak ada yang dididiknya. Peserta didik adalah orang yang memiliki potensi dasar, yang perlu dikembangkan melalui pendidikan, baik secara fisik maupun psikis, baik pendidikan itu dilingkungan keluarga, sekolah maupun dilingkungan masyarakat dimana anak tersebut berada. Sebagai peserta didik juga harus memahami kewajiban, dan etika.

Kewajiban adalah sesuatu yang wajib dilakukan atau dilaksanakan oleh peserta didik. Sedangkan etika adalah aturan perilaku, adat kebiasaan yang harus di taati dan dilaksanakan oleh peserta didik dalam proses belajar. Namun hal tesebut tidak terlepas dari keterlibatan pendidik, karena seorang pendidik harus memahami dan memberikan pemahaman tentang dimensi-dimensi yang terdapat didalam diri peserta didik terhadap peserta didik, kalau seorang pendidik tidak mengetahui dimensi-dimensi tersebut, maka potensi yang dimiliki oleh peserta didik tersebut akan sulit dikembangkan, dan peserta didikpun juga sulit untuk mengenali potensi yang dimilikinya.

(33)

Secara etimologi peserta didik dalam Bahasa Arab disebut dengan Tilmidz jamaknya adalah Talamid, yang artinya adalah “murid”, maksudnya adalah “orang-orang yang mengingini pendidikan”. Dalam Bahasa Arab dikenal juga dengan istilah Thalib, jamaknya adalah Thullab, yang artinya adalah “mencari”, maksudnya adalah “orang-orang yang mencari ilmu”. Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan (Samsul Nizar, 2002:25). Menurut pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Abu Ahmadidan Nur Uhbiyati menuliskan tentang pengertian peserta didik, peserta didik adalah orang yang belum dewasa, yang memerlukan usaha, bantuan, bimbingan dari orang lain untuk menjadi dewasa, guna dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Tuhan, sebagai umat manusia, sebagai warga negara, sebagai anggota masyarakat dan sebagai suatu pribadi atau individu (Uhbiati, 1991:26).

Berdasarkan definisi-definisi yang diungkapkan oleh para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa peserta didik adalah orang yang mempunyai fitrah (potensi) dasar, baik secara fisik maupun psikis, yang

(34)

perlu dikembangkan, untuk mengembangkan potensi tersebut sangat membutuhkan pendidikan dari tenaga pendidik.

2. Kearifan lokal

Kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata yaitu: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh seluruh anggota masyarakatnya(Echols dan Syadily,1986 )

Kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. The local wisdom is the community’s wisdom or local genius deriving from the lofty value of cultural

tradition in order to manage the community’s socialorder or social

life. Kearifan lokal merupakan nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana. The local wisdom isthe value of local culture having been applied to wisely manage the community’s social order and social

life(Sartini, 2004).

Berdasarkan uraian di atas, pengertian kearifan lokal adalah pengetahuan asli(indigineous knowledge) atau kecerdasan lokal (local

(35)

genius)suatu masyarakat yang berasal dari nilai-nilai luhur, tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat dalam rangka mencapai kemajuan komunitas baik dalam penciptaan kedamaian maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kearifan lokal dapat berupa pengetahuan lokal, keterampilan lokal, kecerdasan lokal, sumber daya lokal, proses sosial lokal, norma-norma lokal, etika lokal, dan adat-istiadat lokal. Maka secara substansial kearifan lokal adalah nilai-nilai dan norma-norma budaya yang berlaku dalam menata kehidupan masyarakat.

Nilai dan norma yang diyakini kebenarannya menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika Geertz mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi nilai dan norma budaya untuk kedamaian dan kesejahteraan dapat digunakan sebagai dasar dalam pembangunan masyarakat.

Ada anggapan bahwa pengetahuan lokal lebih diprioritaskan dari pada pengetahuan masyarakat setempat dalam hal budaya artefak seperti arsitektur tradisional dan kerajinan tangan, pengetahuan membuat konstruksi bangunan yang kuat, dan pemilihan kayu yang tahan lama, sedangkan kearifan lokal lebih diprioritaskan pada kebijaksanaan menata kehidupan sosial dalam hal budaya aktivitas dan

(36)

ide seperti hidup rukun dan saling menolong. Namun, pada perkembangan berikutnya, kearifan lokal mencakup semua nilai-nilai budaya, ide-ide, aktivitas, dan artefak-artefak yang dapat dimanfaatkan dalam menata kehidupan sosial suatu komunitas untuk tujuan penciptaan kedamaian dan peningkatan kesejahteraan.

Haryati Soebadio berpendapat bahwa kearifan lokal merupakan suatu identitas atau kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi,1986:18-19). Sementara, Moendardjito mengatakan bahwa unsur budaya daerah berpotensi sebagai kearifan lokal karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:

a. mampu bertahan terhadap budaya luar.

b. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar. c. mempunyai kemampuan untuk mengintegrasikan unsur-unsur

budaya luar kedalam budaya asli.

d. mempunyai kemampuan mengendalikan anggota masyarakat. e. mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

(Ayatrohaedi, 1986:40).

Menurut Rahyono(2009:7) kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya, kearifan lokal

(37)

adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut. Pemahaman tersebut menyatakan bahwa dalam budaya Jawa terdapat nilai-nilai yang muncul dalam kecerdasan masyarakat Jawa semasa masyarakat Jawa tersebut ada. Artinya, kearifan lokal masyarakat Jawa sudah teruji oleh waktu dan melekat pada masyarakat, oleh karena itu perlu diupayakan wacana alternatif dalam dekonstruksi globalisasi sesuai dengan pemaknaan yang dimunculkan oleh Hoed (2008:107).

Naritoom (Wagiran, 2010) merumuskan local wisdom dengan definisi, "Local wisdom is the knowledge that discovered or acquired by local people through the accumulation of experiences in trials and

integrated with the understanding of surrounding nature and culture.

Local wisdom is dynamic by function of created local wisdom and

connected to the global situation." Definisi kearifan lokal tersebut, paling tidak menyiratkan beberapa konsep, yaitu: kearifan lokal adalah sebuah pengalaman panjang yang dikedepankan sebagai petunjuk perilaku seseorang, kearifan lokal tidak lepas dari lingkungan pemiliknya, kearifan lokal itu bersifat dinamis, lentur, terbuka, dan senantiasa menyesuaikan dengan zamannya. Konsep demikian juga sekaligus memberikan gambaran bahwa kearifan lokal

(38)

selalu terkait dengan kehidupan manusia dan lingkungannya. Kearifan lokal muncul sebagai penjaga atau filter iklim global yang melanda kehidupan manusia.

Kearifan adalah proses dan produk budaya manusia, dimanfaatkan untuk mempertahankan hidup. Pengertian demikian, mirip pula dengan gagasan Geertz (1973): "Local wisdom is part of culture. local wisdom is traditional culture element that deeply rooted

in human life and community that related with human resources,

source of culture, economic, security, and laws. lokal wisdom can be

viewed as a tradition that related with farming activities, livestock,

build house, etc". Kearifan lokal adalah bagian dari budaya. Kearifan lokal Jawa tentu bagian dari budaya Jawa, yang memiliki pandangan hidup tertentu. Berbagai hal tentang hidup manusia, akan memancarkan ratusan dan bahkan ribuan kearifan lokal. Lebih lanjut dikemukakan beberapa karakteristik dari local wisdom, antara lain: a. local wisdom appears to be simple, but often is elaborate,

comprehensive, diverse.

b. It is adapted to local, cultural, and environmental conditions. c. It is dynamic and flexibel.

d. It is tuned to needs of local people.

e. It corresponds with quality and quantity of available resources. f. It copes well with changes.

(39)

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipertegas bahwa kearifan lokal merupakan sebuah budaya kontekstual. Kearifan lokal selalu bersumber dari hidup manusia. Ketika hidup itu berubah, kearifan lokal pun akan berubah pula.

3. Kearifan Lokal Budaya Jawa

a. Kearifan Lokal Budaya Jawa

Kearifan lokal budaya Jawa pada umumnya dapat dilihat melalui pemahaman dan perilaku masyarakat Jawa. Pemahaman dan perilaku itu dapat dilihat melalui:

1) Norma-norma lokal yang dikembangkan, seperti laku Jawa, pantangan dan kewajiban.

2) Ritual dan tradisi masyarakat Jawa serta makna di baliknya.

3) Lagu-lagu rakyat, legenda, mitos, dan cerita rakyat Jawa yang biasanya mengandung pelajaran atau pesan-pesan tertentu yang hanya dikenali oleh masyarakat Jawa.

4) Informasi data dan pengetahuan yang terhimpun pada diri sesepuh masyarakat, pemimpin spiritual.

5) Manuskrip atau kitab-kitab kuno yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat Jawa.

6) Cara-cara komunitas lokal masyarakat Jawa dalam memenuhi kehidupannya sehari-hari.

7) Alat dan bahan yang dipergunakan untuk kebutuhan tertentu.

(40)

8) Kondisi sumber daya alam atau lingkungan yang biasa dimanfaatkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

(Sartini, 2004).

b. Islam Aboge Perpaduan Antara Islam dan Tradisi Jawa

Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, komunitas Islam Aboge melaksanakan berbagai ritual keagamaan dengan dasar kepercayaan terhadap para leluhur. Kepercayaan yang telahmereka anut selama turun-temurun bahkan puluhan tahun, maka sulit bagi mereka untuk meninggalkannya. Hal ini banyak dipahami oleh para da’i dan mubaligh yang menyebarkan Islam ke wilayah ini, maka dilakukanlah berbagai cara agar Islam dapat diterima oleh penduduk pribumi walaupun dalam beberapa hal tampak melenceng dari ajaran Islam. Beberapa bentuk akulturasi budaya yang terdapat pada komunitas Islam Aboge adalah upacara ritual yang merupakan kolaborasi antara budaya dan kepercayaan terdahulu dengan nilai-nilai Islam, di antara akulturasi budaya tersebut antara lain :

1) Selametan ibu hamil

(41)

membentuk makanan tradisional yang unik. Tradisi ini secara historis berasal dari kebudayaan Pemujaan terhadap Dewa-Dewa yang berada di bawah Dewa-Dewa Yin dan Yang. Masih terkait dengan kehamilan bahwa ketika seorang perempuan hamil maka ia harus menggantungkan gunting atau pisau kecil agar bayi yang berada dalam kandungannya terjaga dari kejahatan makhluk halus. Kepercayaan adanya pengganggu bagi bayi yang masih berada dalam kandungan berasal dari kepercayaan animisme dan dinamisme. Selain adanya ubarampe berupa sajen dan pemberian pithik (anak ayam) kepada dukun bayi. Nilai-nilai Islam dalam selametan ini adalah diadakannya Kepungan (kenduri) yaitu mengundang para tetangga untuk makan-makan pada malam harinya. Dengan menghadirkan seorang kayim maka berbagai do’a, tahlil, tahmid dan tasbih dilantunkan sebagai bentuk rasa syukur dan permohonan kepada Gusti Allah. 2) Ritual Kelahiran bayi

(42)

keluar rumah. Ari-ari tersebut diberi lampu serta beberapa jenis bunga dan bubur merah putih. Komunitas Islam Aboge berkeyakinan bahwa saudara dari bayi yang baru lahir masih berada di sekitarnya. Model perawatan ari-ari yang dilaksanakan oleh komunitas Islam Aboge dan ritual yang berkaitan dengan kelahiran seorang bayi adalah murni budaya Jawa. Bentuk akulturasi budaya dalam ritual ini adalah dicukurnya rambut bayi pada hari ketujuh. Selama beberapa generasi tentu tidak dikenal adanya aqiqah, pada generasi belakangan baru dikenal adanya aqiqah ini. Namun demikian, penetapan hari ketujuh dan pemberian nama adalah salah satu tradisi dalam ajaran Islam. Sebagaimana dalam prosesi ngupati dan keba, dalam ritual pemberian nama sendiri dilakukan dengan mengadakan kepungan (kenduri)untuk mengundang para tetangga makan bersama, memberi nama serta mendoakan keselamatan, kesehatan dan masa depan dari bayi tersebut.

3) Perayaan Khitan/ Sunat

(43)

mengkhitankan anak saat ini menjadi sebuah pesta yang syarat dengan budaya Jawa. Pelaksanaan khitan pada komunitas Islam Aboge dilaksanakan ketika seorang anak laki-laki telah menginjak baligh, biasanya antara umur 10-14 tahun. Perayaan ini dilakukan dalam bentuk syukuran yaitu kepungan dengan mengundang para tetangga untuk makan bersama dan memanjatkan tasbih, tahmid dan tahlil. Bagi anak laki-laki yang hanya satu-satunya dalam keluarga maka dalam proses khitan wajib dilaksanakan ritual tertentu yaitu ruwatan dengan nanggap (mengadakan) pertunjukan wayang kulit. Namun tradisi ini saat ini mulai ditinggalkan karena mahalnya biaya menyewa wayang kulit. Dalam beberapa perayaan khitanan sering dilakukan acara khatam Al-Qur’anbagi anak yang dikhitan tersebut. Acara perayaan khitan sendiri sangat meriah sebagaimana perayaan pernikahan. Pada perayaan khitan ini ada pemimpin acara yang mengetuai acara bukak lawang (hari pertama pada acara khitanan) tersebut di samping yang menyediakan berbagai sajen tertentu.

4) Perayaan Pernikahan

Perayaan pernikahan adalah salah satu perayaan besar yang menjadi ciri khas budaya Jawa. Walaupun di beberapa kebudayaan juga dilaksanakan namun nilai-nilai yang terkandung pada upacara pernikahan Jawa sangat komplek dan

(44)

mengandung banyak akulturasi budaya. Baik budaya Islam, Jawa ataupun kepercayaan lainnya. Akulturasi budaya yang terjadi dalam perayaan pernikahan ini adalah adanya akad pernikahan yang sesuai dengan ajaran Islam misalnya adanya mahar, wali dan dua orang saksi dari kedua mempelai dan prosesi pernikahan yang mengikuti budaya Jawa. Di antara bentuk akulturasi budaya tersebut adalah : penyatuan prosesi akad nikah dan pesta pernikahan yang dilaksanakan dalam satu paket, sehingga seolah-olah tidak syah kalau pernikahan hanya dilakukan di depan petugas Kantor Urusan Agama (KUA). Penyatuan ini mencerminkan bahwa antara Islam dan budaya Jawa tidak terjadi pertentangan karena dapat dilaksanakan secara beriringan.

5) Ritual Kematian (Tahlilan)

Selanjutnya akulturasi Islam dan budaya Jawa yang masih dilaksanakan oleh Komunitas Islam Aboge adalah perayaan selametan atau tahlilan setelah kematian seseorang. Upacara kematian yang dilakukan di Desa Kracak adalah dimulai dari hari ke-3, 7, 40, 100 dan satu tahun atau mendhak setelah kematian. Dalam tradisi Islam yang berkembang di Timur Tengah dan wilayah lainnya tidak terdapat ritual tahlilan ini. Demikian pula di wilayah luar pulau Jawa semisal Sumatera dan yang lainnya. Hal ini menunjukan

(45)

bahwa ritual ini adalah asli budaya Jawa. Bila kita lacak sejarah dari ritual tahlilan, maka akan didapatkan bahwa ritual ini berasal dari keyakinan Tuhan Yang dari dataran China. Dimana kepercayaan ini tersebar ke wilayah-wilayah Asia Tenggara, termasuk ke Jawa. Maka setelah sekian lama kepercayaan ini berkembang ia menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Jawa. Ditambah lagi dengan kedatangan agama Hindu dan Budha yang memperkokoh ritual ini. Maka ketika Islam masuk ke Jawa budaya ini begitu kuat hingga tidak mungkin untuk menghilangkannya. Sehingga para da’i hanya menyematkan nilai-nilai Islam ke dalam budaya ritual kematian tersebut. Penamaannya sendiri kini menjadi ”Tahlilan” yang secara bahasa Arab yang berarti membaca kalimat tahlil la Ilaha Illallah.

6) Pemujaan Terhadap Makam Atau Kuburan

Penghormatan terhadap arwah leluhur adalah bagian dari tradisi Jawa yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak saja didasari pada kewajiban untuk berbuat baik kepada orang yang dituakan, namun lebih dari itu adalah keyakinan bahwa para leluhur dapat memberikan bantuan dan keselamatan kepada anak cucunya. Hal ini bisa terjadi baik ketika dia masih hidup maupun sudah meninggal dunia. Berbanding lurus dengan berbagai ritual

(46)

setelah kematian, penghormatan terhadap makam atau kuburan para leluhur yang sudah meninggal adalah sebuah tradisi yang tidak bisa diusik lagi. Walaupun komunitas Aboge telah memeluk Islam namun, pemahaman bahwa arwah orang yang sudah meninggal dunia dapat kembali ke tempatnya dan memberikan pertolongan kepada anak cucunya. Oleh karena itu pembangunan berbagai makam dan kuburan-kuburan adalah salah satu bentuk manifestasi dari penghormatan kepada orang atau leluhur yang sudah meninggal. Pada komunitas Islam Aboge ditandai dengan penghormatan terhadap leluhur mereka, terutama yang telah menyebarkan Islam Aboge dan mewariskannya kepada mereka. Komunitas ini selalu melaksanakan ziarah ke makam Mbah Nurkasim di desa Cikakak, Wangon sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur yang telah membuka desa Kracak sekaligus menyebarkan Islam di wilayah Ajibarang.

Makam-makam leluhur yang ada sering disebut sebagai Petilasan pada masyarakat Desa Kracak dikenal dengan sebutan Panembahan. Dari observasi yang dilakukan ada sekitar sepuluh panembahan yang berada di desa ini. Panembahan adalah kuburan yang dianggap memiliki kekuatan tertentu karena pemilik kuburan adalah orang-orang terhormat, sakti atau terpandang. Membahas tentang

(47)

panembahan maka tidak lepas dari dupa dan sajen. Pada komunitas Islam Aboge pembakaran kemenyan dan sajen sangat kental. Apalagi pada saat ziarah kubur atau ritual tertentu. Sajen dan pembakaran kemenyan (dupa) dilakukan pada momen-momen tertentu terutama pada saat upacara perayaan misalnya pernikahan, khitanan dan yang lainnya. Bentuk sajen sendiri beraneka ragam, jika malam Jumat diletakan bubur merah, bubur putih dan air putih yang ditambahkan bunga biasanya bunga mawar dan kenanga kemudian diletakan di sebelah rumah. Sedangkan pada acara setelah melakukan ziarah kubur membuat sajen berupa satu ekor ayam jantan yang dimasak (ingkung), bubur merah, bubur putih dan beberapa Jajan pasar. Tidak lupa bakaran kemenyan, rokok, kopi, teh dan kelapa hijau.

Tradisi ziarah kubur, memuliakan para leluhur yang shalih dan mendoakan jenazah adalah tradisi Islam, namun ketika bertemu dengan budaya Jawa maka terciptalah akulturasi budaya, sehingga ziarah kubur yang dimaknai oleh orang Jawa akan berbeda dengan ziarah kubur yang dimaknai orang Islam di wilayah lainnya. Demikian pula penghormatan terhadap leluhur dalam Islam sangat ditekankan, namun jika sampai pada bentuk meminta-minta keselamatan kepada arwah

(48)

para leluhur agar memberikan pertolongan kepada orang yang masih hidup maka ini tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. 7) Penanggalan Alip Rebo Wage (Aboge)

Pembauran antara Islam dan budaya Jawa yang menjadi ciri khas dari komunitas ini adalah penggunaan penanggalan Aboge. Kalender ini didasarkan pada perhitungan hari, bulan dan tahun yang telah disusun secara sistematis. Pada awalnya penyusunan sistem kalender ini adalah atas perintah Sultan Agung Hanyakrakusuma sebagai pemegang tertinggi kerajaan Mataram waktu itu. Dengan berjalannya waktu terjadi modifikasi dan beberapa penyesuaian, sehingga model penanggalan ini sedikit berbeda dengan apa yang telah ditetapkan pada awalnya oleh Sri Sultan.

Proses penetapan penanggalan ini didasarkan pada kebutuhan umat Islam Jawa akan adanya kepastian waktu dalam menentukan berbagai perayaan, semisal Idhul Fitri, Idhul Adha dan awal Ramadhan. Selanjutnya model penanggalan ini menyebar ke seluruh wilayah kekuasaan Mataram termasuk ke wilayah Banyumas dan Cilacap waktu itu. Sistem penanggalan ini sampai ke wilayah Banyumas dan Cilacap dibawa oleh Eyang Nurkhosim, tepatnya di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sebagaimana disebutkan oleh juru kunci makam di

(49)

Desa Kracak bahwa model penanggalan Aboge telah ada di Desa Kracak sejak tahun 1288 Hijriah. Hal ini ditandai dengan berdirinya Masjid Saka Tunggal di wilayah tersebut yang hingga kini masih dikeramatkan oleh kalangan Islam Aboge.

Komunitas Islam Aboge adalah kelanjutan dari tarekat Syaikh Siti Jenar yang disebarkan oleh seorang ulama bernama Syarif hidayatullah dari Cirebon. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut warga Desa Kracak sebagai anggota dari komunitas Islam Aboge yang menyatakan bahwa tarekat yang dijalankannya memang dekat dengan model tarekat Syaikh Siti Jenar.

Sebagaimana disebutkan, penanggalan Aboge yang digunakan oleh komunitas Islam Aboge adalah bentuk akulturasi antara penanggalan Jawa dan penanggalan Islam(hijriah). Dari nama-nama yang digunakan jelas sekali ia berasal dari bulan-bulan dalam tahun hijriyah. Namun jika dilihat dari jumlah hari dalam satu bulan serta masih melekatnya istilah hari pasaran ini jelas merupakan budaya Jawa.

Dalam menentukan masuknya awal tahun dan awal bulan, penanggalan Aboge didasarkan pada rumus Aboge yang merupakan singkatan dari Alip Rebo Wage, yaitu Alip adalah hitungan tahun awal yang harus jatuh pada hari rebo dan waktu

(50)

pasaran wage. Dalam setiap tahun ada dua belas bulan yang diistilahkan sesuai dengan jatuh awal harinya. Misalnya tahun Alip : maka bulan pertama dimulai dengan bulan Muharam disingkat ram, pada hari rabu diistilahkan ji dan hari pasaran wage diistilahkan ji menjadi ramjiji. Hal ini berlaku untuk seluruh bulan yang ada sebanyak dua belas bulan. Dalam delapan tahun yang memiliki nama berbeda, penanggalan Aboge memiliki dua belas bulan yang dapat disingkat sesuai dengan akhir potongan suku katanya, berikut istilah-istilah yang digunakan : Muharam = ram , Sapar = par, Mulud = lud, Robingul Akhir = Ngu khir, Jumadil Awal = Ju wal,

Jumadil Akhir = Ju khir, Rajab = Jab, Ruwah = Wah, Puasa =

Sa, Sawal = Wal, Dzulqangidah = Dah, Dzulhijjah = Jah

Pengaruh tradisi Islam dalam sistem penanggalan ini adalah sebutan untuk nama-nama bulan. Pada asalnya bulan pertama dalam tradisi Jawa adalah Suro, Penanggalan Aboge tidak menggunakan istilah Suro, tapi mereka menggunakan istilah Muharam. Demikian pula bulan-bulan lainnya, hanya bulan Mulud dan Puasa yang dipengaruhi tradisi Jawa. Pada penanggalan hijriyah bulan puasa disebut bulan Ramadhan, demikian pula bulan Mulud disebut dengan Jumadil awwal, walaupun dalam prakteknya terkadang dua nama ini juga digunakan.

(51)

4. Islam Aboge

Proses pembauran (sinkretisme) antara Islam dengan budaya lokal menciptakan satu metode tersendiri dalam mencari suatu kebenaran. Sehingga para guru sufi yang datang dari India dan orang-orang Indonesia yang menuntut ilmu di Saudi Arabia pulang dan menyebarkan tarekat ini. Metode tarekat pada komunitas sufi diterima secara terbuka oleh masyarakat yang masih memiliki pengetahuan tentang Islam yang sangat rendah. Dialog antara tarekat dari timur tengah dan India dengan budaya lokal melahirkan satu metode baru di bidang tasawuf yang kemudian berkembang dan diadopsi oleh beberapa komunitas Islam yang baru tumbuh di Indonesia.

Sejak saat itu munculah berbagai aliran dan tarekat sufi di Indonesia, misalnya tarekat Naqshabandiyah, Tarekat Qadariyah, tarekat Syadziliyyah, tarekat Ismailiyyah dan Tarekat Syattariyyah. Tarekat Syattariyah adalah salah satu dari tarekat yang berkembang di Indonesia, walaupun pengikutnya tidak lebih banyak dari Tarekat Qadariyah Naqshabandiyyah namun para pengikutnya memiliki komitmen yang kuat terhadap tarekat atau kepercayaan yang mereka pegang.

Aboge berasal kata dari Alip Rebo Wage. Ajaran Islam yang menurut sesepuhnya merupakan ajaran yang dibawa dan disebarkan oleh Syarif hidayatullah yang diturunkan kepada Syarifudin Cakraningrat sampai diturunkan kepada Eyang Arifin. Aboge

(52)

ditranformasikan kepada pemeluknya secara tradisional melalui pendidikan keluarga dan pertemuan para penganut Aboge. Di Kabupaten Banyumas penganut Aboge yang berjumlah ribuan tersebar di sejumlah desa antara lain di Desa Cibangkong (Pekuncen), Desa Kracak (Ajibarang), Desa Cikakak (Wangon), dan Desa Tambak Negara (Rawalo).

a. Sejarah Asal- Usul Islam Aboge

Teori Masuknya Islam ke Indonesia terbagi menjadi tiga pendapat, pendapat pertama menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada tahun 675 M, pendapat ini disebutkan oleh T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The Propagation of The Moslem Faith, ia menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah atau pada Abad Ke-VII M (Hamka, 1996) . Pendapat kedua menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad XI Masehi. Hal ini didasarkan pada penemuan makam panjang di daerah Leran Manyar, Gresik, yaitu makam Fatimah Binti Maimoon dan rombongannya. Pada makam itu terdapat prasasti huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun 475 H(1082 M) (Badri Yatim, 2001:193.). Sementara pendapat ketiga menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad Ke- XIII M. Pendapat ini disebutkan oleh R.A Kern, C. Snouck Hurgronje dan Schrieke ( Sanusi Pane, 1955:155).

(53)

Dari tiga teori ini ada satu titik kesamaan yaitu bahwa semuanya berpendapat bahwa para penyebar Islam ke Indonesia adalah para pedagang dan tokoh-tokoh sufi. Hal ini berarti bahwa Islam yang dibawa oleh para pedagang dan tokoh-tokoh sufi memiliki corak tasawwuf yang telah berkembang di wilayah Timur Tengah dan India. Corak Islam seperti inilah yang kemudian mudah diterima oleh masyarakat Indonesia, dimana pada waktu itu masyarakat Indonesia telah memiliki budaya dan adat-istiadat sendiri yang dekat dengan apa yang dibawa oleh Islam berupa nilai-nilai ketasawuffan. Maka manakala Islam masuk ke Indonesia keyakinan-keyakinan dan budaya-budaya lokal tersebut merasup ke dalam tradisi Islam, sehingga terjadilah sinkretisme Islam.

Di Desa Kracak Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas, aliran Islam Jawa (Aboge) sudah ada secara turun-temurun, bahkan sejak akhir jaman kerajaan Hindu. Aboge sendiri berasal dari kata alif rebo dan wage yaitu awal perhitungan para leluhur terdahulu yang memulai lebaran pada hari Rebo Wage. Warga desa Kracak melakukannya berdasar keyakinan dari nenek moyang secara turun temurun dan meski beda satu hari tetapi ada rumusan perhitungannya. Usai melaksanakan shalat, seluruh jamaah Shalat Id menggelar silaturahmi dengan bersalam-salaman dihalaman Masjid.

(54)

Dalam hal bersalaman kaum pria dan wanita bergabung menjadi satu, yang diakhiri dengan kenduri dan makan bersama dengan bekal yang dibawa dari rumah. Perhitungan yang dipakai aliran Aboge telah digunakan para wali sejak abad XIV dan disebarluaskan oleh Syarif Hidayatullah dari Cirebon. Perhitungan ini merupakan gabungan perhitungan dalam satu windu dengan jumlah hari dan jumlah pasaran hari berdasarkan perhitungan Jawa yakni Pon, Wage, Kliwon, Manis (Legi), dan Pahing. Dalam kurun waktu delapan tahun atau satu windu terdiri tahun Alif, Ha, Jim, Awal, Za, Dal, Ba, Wawu, dan Jim akhir serta dalam satu tahun terdiri 12 bulan dan satu bulan terdiri atas 29-30hari.

Komunitas Islam Aboge di Desa Kracak berpendapat bahwa Aboge bukan merupakan suatu agama melainkan aliran dalam agama Islam. Aboge adalah perhitungan kalender Jawa yang berdasarkan pada masa peredaran windu atau delapan tahunan, satu windu menurut aboge terbagi atas; Tahun Alip, He, Jim awal, za, Dal, Ba, Wawu, dan Jim akhir. Hitungan ini sudah turun temurun sejak jaman wali songo yang diteruskan oleh Raden Sayid Kuning dan tetap ada hingga sekarang.

(55)

disebut dengan Islam pasir, komunitas ini menyebar dari mulai Kabupaten Wonosobo, Purbalingga, Purwokerto, dan Cilacap. Di antara karakteristik dari komunitas ini adalah sifatnya yang tertutup dengan anggota masyarakat lainnya. Setiap yang akan menjadi anggota harus melalui ritual khusus (Baingat). Komunitas ini adalah salah satu dari bagian Islam Kejawen yang dalam istilah Clifford Geertz disebut Abangan.

Sebagaimana disebutkan di awal bahwa komunitas Islam Aboge melaksanakan tarekat Syattariyah, tarekat ini berkembang pesat di ”wilayah-wilayah merah” yaitu wilayah di Jawa, khususnya Jawa Tengah bagian selatan dengan mayoritas Islam abangan. Tarekat ini menjadi salah satu karakter khusus yang ada pada mereka. Secara umum tarekat yang berkembang di desa Kracak adalah tarekat Syatariyyah. Maka bisa dipahami jika komunitas Islam Aboge dianggap berbeda dengan sebagian besar tokoh agama di desa Kracak. Tarekat Syatariyyah yang dianut oleh Komunitas Islam Aboge adalah sebuah tarekat yang muncul pertama kali di India pada abad XV Masehi.

Tarekat ini didirikan dan disebarkan oleh Abdullahas -Syattar. Tarekat ini awalnya dikenal di Iran dan Transoksania dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah. Dari penelitian yang dilakukan oleh Martin Van Bruinessen salah seorang ahli antropologi,

(56)

menyebutkan bahwa tarekat ini banyak ditemukan di Jawa bagian selatan dan Sumatra. Ini berarti tarekat ini disebarkan oleh para Sufi yang menyebarkan pahamnya ke Indonesia. Hubungan antara satu komunitas dengan yang lainya dalam tarekat ini tidak saling berhubungan. Tarekat ini relatif gampang berpadu dengan berbagai tradisi setempat sehingga menjadi tarekat paling “mempribumi “di antara tarekat yang ada( Martin van Bruinessen, 1995:16)

Dari penelusuran yang peneliti lakukan, model tarekat Syatariyyah yang dilaksanakan oleh komunitas Islam Aboge memiliki lelaku yang bersifat personal dan tertutup. Sebenarnya secara umum model-model tarekat yang ada di Indonesia juga tidak akan menceritakan bagaimana pengalaman Kasyaf yang mereka alami. Demikian juga pada tarekat Syatiriyah, mereka akan merahasiakan setiap pengalaman spiritual mereka.

b. Karakteristik Keagamaan

1) Aqidah

Komunitas Islam Aboge di Desa Kracak menyandarkan segala bentuk keyakinannya pada Islam dengan mashab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Dilihat dari segi aqidah Islam, komunitas ini telah mengalami penguatan khususnya di bidang keyakinan Islam, apabila dibandingkan dengan komunitas Aboge di wilayah lainnya. Komunitas Aboge di desa Kracak, tidak mau mengamalkan hal-hal yang mengarah kepada perbuatan musyrik seperti bersemedi untuk

Gambar

Tabel 5.16  Konfigurasi Karakter .........................................................
Tabel 2.1
Tabel 3.1 Waktu dan Kegiatan Penelitian
Tabel  3.2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat dari pendidikan karakter berbasis kearifan lokal budaya Jawa dapat memberikan pengalaman secara utuh dalam menanamkan, menumbuhkan, membangun, dan mengembangkan

Penelitian Utami, Utami, dan Hapsari, (2017) menunjukkan bahwa kearifan lokal Jawa yang dilakukan di Desa Beringin Jawa Tengah, yaitu nilai-nilai yang diambil dari

Data tersebut merupakan satuan lingual frasa yang digunakan oleh masyarakat tutur bahasa Jawa di Jawa Tengah untuk mengungkapkan kearifan lokal berkaitan dengan

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkann bahwa penguatan pendidikan karakter berbasis kearifan lokal bagi peserta didik di sekolah dapat membentuk karakter peserta didik

yang terjadi pada masyarakat Islam Aboge di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, masyarakatnya hingga saat ini masih memegang teguh

Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal di Lingkungan Keluarga Pendidikan karakter berbasis kearifan lokal di lingkungan keluarga merupakan pendidikan nilai, pendidikan

Karakter lokal Indonesia menjadi penting diajarkan kepada siswa termasuk melalui bahan ajar berupa LKPD Lembar Kerja Peserta Didik berbasis kearifan lokal yang dapat dijadikan acuan

Makna kontekstual teks anekdot bermuatan karakter dan kearifan lokal meliputi situasi, peristiwa, tindak tutur, dan fungsi tuturan yang mencerminkan karakter dan kearifan lokal