• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKTUALISASI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL BUDAYA JAWA DALAM MEMBENTUK AHLAK ANAK

N/A
N/A
Dyah Ayu Mawarti

Academic year: 2024

Membagikan "AKTUALISASI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL BUDAYA JAWA DALAM MEMBENTUK AHLAK ANAK "

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

AKTUALISASI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL BUDAYA JAWA DALAM MEMBENTUK AHLAK ANAK

Oleh Sukarman pakar@unisnu.ac.id

UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA

Abstract

The condition of the Millennium Generation in the global era is at an alarming condition. The influence of the progress of Information Technology (IT) became the largest contributor. The rush of foreign cultural flows that are inconsistent with norms and ethics are the factors behind the shift of values and morals.

Because character education or Ahlak is one of the important aspects that is inseparable in the purpose of education, so it becomes important to stem the threat. One effort that can be done is to actualize the local wisdom of Javanese culture. Local wisdom of Javanese culture contains Islamic morals values as one of the efforts of planting morals on millenial generation.

Keywords : Education of Morals, Javanese Culture

Abstrak

Kondisi ahlak Generasi milenial di era global berada pada kondisi yang memprihatinkan. Pengaruh kemajuan Teknologi Informasi (TI) menjadi penyumbang terbesarnya. Derasnya arus budaya asing yang tidak sesuai dengan norma dan etika menjadi faktor penyebab terjadinya pergeseran nilai dan moral.

Oleh karena pendidikan karakter atau Ahlak merupakan salah satu aspek penting yang tidak terpisahkan dalam tujuan pendidikan, sehingga menjadi penting untuk membendung ancaman tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengaktualisasikan kearifan lokal budaya Jawa. Kearifan lokal budaya Jawa mengandung nilai-nilai ahlak islami sebagai salah satu upaya penanaman ahlak pada generasi milenial.

Kata-kata kunci: Pendidikan Ahlak, Budaya Jawa

(2)

PENDAHULUAN

Pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk tercapainya perubahan perilaku dan kedewasaan karena pada dasarnya pendidikan memiliki sifat progressif, pendidikan itu bersifat dinamis (berubah) bukan statis (tetap).

Pendidikan juga bersifat taqoddumiyyah / memiliki orientasi pada kemajuan.

Perubahan yang diharapkan sebagai dampak (atsar) dari pendidikan tersebut adalah perubahan yang bersifat positif bukan sebaliknya perubahan yang bersifat negatif.

Salah satu tujuan pendidikan Islam adalah adalah terbentuknya manusia yang sempurna (insan kamil). Manusia yang sempurna (insan kamil) adalah pribadi yang memiliki kesempurnaan sebagai manusia, manusia yang mnyeimbangkan (balance) tidak hanya hubungannya terhadap tuhannya namun juga hubungannya kepada sesama manusia. Manusia yang sempurna adalah manusia yang memiliki keutuhan potensi kodratinya sebagai manusia yang mampu mengembangkan potensi manusiawinya secara menyeluruh (holistic) Manusia sebagai mahluk religious hendaknya manusia dapat mengenal Tuhannya beiman dan bertakwa. Manusia sebagai mahluk pedagogis hendaknya dapat menerima pendidikan maupun memberikan pendidikan, sebagai mahluk sosial manusia hendaknya dapat bermasyarakat (zoon politicon). Dalam hidup bermasyarakat manusia bergaul , berkelompok dan bersosialisasi dengan manusia lainnya. Setiap manusia tercipta dengan karakteristik yang beraneka ragam antara individu satu dengan individu lainnya, kelompok satu dengan kelompok lainnya, suku bangsa satu dengan suku bangsa lainnya sebagai salah satu bukti kekuasaan (qodrat irodat) Allah swt.

       

       

      

(3)

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.

Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Al Hujuraat:

13)

Keanekaragaman dan perbedaan tersebut seyogyanya bukan menjadi faktor penyebab perpecahan saling mencela serta menghina antar satu kelompok dengan kelompok lainnya ataupun bangsa satu dengan bagsa lainnya, namun sebaliknya harus saling menghormati dan saling menghargai sebagai bentuk keluhuran ahlak dengan sikap memanusiakan manusia. Keragaman budaya yang ada dapat dipadukan secara harmonis. Ummi Sumbulah dalam tulisannya Islam Jawa dan Akulturasi Budaya menuturkan bahwa dua budaya dapat berbaur secara harmonis dalam masyarakat sebagaimana dicontohkan adanya akulturasi antara budaya Islam dan Budaya Jawa (Sumbulah, 2012). Masyarakat dapat hidup berbaur dengan baik dengan mengedepankan etika pergaulan dan ahlak.

PEMBAHASAN

Manusia pada dasarnya adalah manusia selain mahluk individu manusia juga mahluk sosial yang memiliki kecenderungan untuk hidup berelompok.

Mahluk sosial sebagaimana ungkapan “No men is an island” bahwa tak seorangpun yang dapat menyendiri seperti sebuah pulau. Artinya manusia memiliki kecenderungan hidup berkelompok (Zunaidi, 2013). Kelompok tersebut dapat berupa suku, bangsa, agama ataupun ras. Setiap kelompok tentunya memiliki budaya dan adat istiadat yang khas dari masing-masing kelompok.

Secara harfiah kata adat berasal dari bahasa arab ‘adat dengan bentuk jamaknya adalah ‘adah yang memiliki arti kebiasaan. Kata adat ini bersinonim dengan ‘urf yang diartikan sebagai sesuatu yang dikenal atau diterima secara umum (AG, 2001). Dalam pandangan Islam perintah untuk memerintah pada kebaikan dan mencegah kemungkaran juga menggunakan istilah amar makruf dimana kata

(4)

makruf berakar dari kata ‘urf. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa perintah tersebut menurut kepatutan dalam adat istiadat budaya setempat.

      

      

 

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung (Q.S. Ali Imron: 104)

Ayat tersebut diatas mengindikasikan bahwa mengajak kepada kebaikan disesuaikan juga dengan adat istiadat kearifan lokal budaya setempat. Seruan ini tidak semata-mata berpedoman pada syariat saja namun juga memperhatikan budaya , adat istiadat setempat termasuk didalamnya adalah seruan perbaikan karakter atau ahlak.

Setiap budaya masyarakat memiliki unsur penyokongnya masing-masing.

Unsur penyokong tersebut bisa berupa ritual, lembaga, ungkapan-ungkapan bijak, cerita rakyat, nilai-nilai moral, dan sebagainya (Putri, 2016). Budaya Jawa misalnya, memiliki ritual yang tentunya berbeda dengan budaya lainnya.

Demikian halnya dengan tata nilai, adat istiadat yang tentunya berbeda. Perbedaan unsur budaya ini menyebabkan perbedaan pembentukan karakter.

Seligman (2002) mengatakan bahwa karakter seseorang dipengaruhi oleh budaya (Seligman, 2002). Hal ini tidak dapat dinafikan. Faktanya karakter setiap bangsa berbeda, karakter bangsa barat dengan timur. Cara berbicara yang digunakan oleh orang-orang barat berbeda dengan orang-orang timur. Jangankan masyarakat dalam lingkup yang luas, lingkup masyarakat yang lokal saja memiliki perbedaan karakter. Contoh misalnya cara bicara orang Jawa dengan orang Madura ataupun orang Batak. Orang Jawa cenderung berbicara dengan intonasi yang pelan-pelan dan dengan nada yang cenderung rendah. Berbeda dengan masyarakat Madura yang cenderung berbicara dengan intonasi yang rapat

(5)

dan cepat. Demikian halnya dengan masyarakat Medan yang cenderung berbicara dengan intonasi yang tinggi dan lugas.

Kearifan lokal budaya Jawa dapat dijumpai dalam Pendidikan ahlak.

Dalam budaya jawa terdapat nilai-nilai pendidikan ahlak yang dapat dijadikan pelajaran yang relevan dengan pendidikan ahlak yang diajarkan oleh Islam. Pada dasarnya Rasulullah saw diutus ke muka bumi adalah untuk menyempurnakan ahlak manusia.

امنإ تثعب ممأتل مراكم اقلاخلا

Dalam pandangan Islam manusia yang mulia bukan mereka yang hanya memiliki kecerdasan intelektual saja melainkan harus diimbangi dengan ahlak yang baik..

بادلاو ملعلاب ناسن لا فرش

“kemuliaan manusia itu dikarenakan ilmu dan adabnya.”

Seberapapun tinggi kadar keilmuan seseorang jika tanpa diimbangi dengan ahlak / adab yang baik maka tidak akan berarti. Kecerdasan intelektual tidak ada nilainya tanpa diimbangi dengan ahlak / adab yang baik. Ungkapan jawa yang tepat adalah “wong ra pinter nanging bener luwih apik ketimbang wong pinter tapi ora bener ” artinya orang yang tidak pandai dan berbudi lebih baik daripada orang pandai tapi idak berbudi. Standar yang diharapkan adalah pinter tur bener (pandai dan juga berbudi).

ETIKA BERBICARA

Keterampilan berbicara atau berbahasa pada seorang anak terbentuk dalam lingkungan keluarga. Pola komunikasi dalam keluarga ketika berkomunikasi dengan anak akan tercermin dalam cara anak berkomunikasi dengan orang lain (Setyowati, 2005). Menurut Balson segala perilaku seseorang termasuk kemampuan berbahasa dan lain sebagainya dikembangkan tidak hanya dalam

(6)

keluarga namun juga sekolah dan masyarakat (Balson, 1999). Masyarakat Jawa memiliki etika yang khas dalam hal etika berbicara.

Menggunakan bahasa sesuai tingkatan

Ucapan menjadi salah satu aspek pendidikan ahlak dalam budaya jawa.

Secara etika budaya jawa mengajarkan bagaimana etika berbicara kepada lawan bicara. Berbicara kepada lawan bicara yang lebih tua, Berbicara kepada lawan bicara yang sebaya maupun berbicara kepada lawan bicara yang lebih muda.

Dalam budaya jawa etika berbicara kepada orang yang lebih tua dibedakan dengan etika berbicara kepada orang yang lebih muda ataupun sebaya. Cara berbicara kepada orang yang lebih tua menggunakan bahasa yang lebih halus dibandingkan berbicara kepada sebaya maupun orang yang lebih muda. Berbeda dengan bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris, bahasa jawa memiliki tingkatan bahasa dari yang kasar (jawa ngoko) sampai dengan bahasa yang paling halus (krama inggil) yang digunakan sesuai dengan lawan bicaranya. Berikut beberapa contohnya.(Daryanto, 1999).

Ngoko Krama madya Krama inggil Artinya

Mangan Nedha Dhahar Makan

Lunga Kesah Tindak Pergi

Mulih Mantuk Kundur Pulang

Misalnya ketika seseorang menyatakan kegiatan makan. Ketika pelakunya adalah diri sendiri maka menggunakan kalimat dengan tingkatan yang lebih rendah, dan menggunakan kalimat yang lebih halus untuk orang lain.

Diri sendiri Orang lain / orang yang lebih tua Aku lagi mangan atau kulo nembe

madhang (Saya sedang makan )

Bapak nembe Dhahar (Bapak sedang makan)

Ketika seseorang menyatakan kegiatan bepergian dibedakan sesuai dengan pelakunya. Penggunaan bahasa dengan tinkatan yang lebih rendah untuk diri sendiri

(7)

sementara ketika pelakunya adalah orang yang lebih tua maka bahasa yang digunakan adalah bahasa dengan tingkatan yang lebih tinggi.

Diri sendiri Orang lain / orang yang lebih tua Aku lunga Jakarta atau kula kesah

Jakarta (saya pergi ke Jakarta)

Bapak tindak Jakarta (Bapak pergi ke Jakarta)

Ketika seseorang menyatakan kegiatan pulang penggunaan bahasapun dibedakan antara memposisikan diri sendiri dan memposisikan orang lain atau orang yang lebih dewasa.

Diri sendiri Orang lain / orang yang lebih tua Aku mulih atau kula wangsul

(aku pulang)

Bapak kundur (Ayah pulang)

Penggunaannyapun tidak bisa sembarangan, masing-masing kata harus digunakan secara benar sesuai dengan siapa pelaku atau subyeknya. Penempatan dan pemilihan kata juga tidak boleh salah karena akan dianggap tidak beretika karena bisa diartikan meninggikan diri sendiri dan merendahkan orang lain terutama orang yang lebih tua.. Misalnya contoh berikut.

Bapak adus (bapak mandi)

Kula siram (saya mandi)

Salah

Bapak siram (Bapak mandi)

Kula adus (saya mandi)

Benar

Etika berbicara juga harus memperhatikan lawan bicara yang diajak berbicara.

مهلوقع ردقب سانلااوبط ااخ

Ungkapan di atas mengandung maksud bahwa berbicara kepada orang lain dengan memperhatikan kadar akal lawan bicara. Kadang-kadang seseorang karena

(8)

ingin terlihat intelek di depan orang lain maka ketika berbicara menggunakan bahasa-bahasa ilmiah yang tidak dimengerti oleh lawan bicaranya.

Berbicara dengan lemah lembut kepada orang tua

Budaya Jawa mengajarkan bahwa dalam berbicara kepada orang yang lebih tua terutama orang tua hendaknya tidak menggunakan nada bicara yang lebih tinggi apalagi berbicara kasar dan memotong pembicaraan orang tua terlebih saat orang tua sedang menyampaikan nasihatnya.

Dalam pandangan Islam ahlak berbicara juga diperhatikan terlebih ahlak berbicara terhadap orang tua.

       

         

        

“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Q.S. Al Isra’: 23).

Pada ayat diatas terdapat larangan mengucapkan kata “uffin” yang bearti ah atau hus kepada orang tua. Meski demikian bukan berarti kata itu saja yang tidak boleh diucapkan kepada orangtua namun kata-kata lain yang tidak pantas seharusnya juga tidak diucapkan.

         

  

“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (Q.S. Al Baqoroh: 263)

(9)

TINDAKAN

Budaya Jawa mengajarkan tentang etika dalam bertindak yang sering disebut dengan istilah unggah ungguh. Pada dasarnya baik atau buruk etika seseorang dapat dinilai dari tindakan/perbuatannya. Tindakan seseorang mencerminkan kepribadiannya.

Mencium tangan orang tua saat bersalaman (salim)

Mencium tangan (salim) orang tua dalam budaya jawa adalah wujud rasa hormat seseorang terhadap orang lain yang lebih tua misalnya seorang anak salim kepada orang tuanya (ayah dan ibu), kakak, paman, kakek ataupun neneknya.

Salim juga biasa dilakukan kepada seseorang yang dituakan misalnya guru, sesepuh agama dan sebagainya.

Duduk dalam posisi yang lebih rendah dari tempat duduk orang tua

Sikap duduk dalam posisi yang lebih rendah dari tempat duduk orang tua ini merupakan suatu bentuk andhap asor (tata karma). Dalam budaya jawa sikap semacam ini tidak hanya dilakukan oleh seorang anak kepada orang tuanya saja namun juga kepada guru, sesepuh. Dalam pandangan Islam hal tersebut merupakan suatu bentuk tawadlu terhadap orang tua. Tawadlu sendiri memiliki yaitu sikap rendah hati (Hamid, 2017). Di pesantren salaf hal tersebut dilakukan sebagai wujud tawadlu seorang santri kepada kiai/ gurunya. Demikian halnya dalam budaya jawa duduk dalam posisi yang lebih tinggi dari orang tua dianggap sebagai perbuatan yang tidak sopan.

Tidak berjalan mendahului orang tua

Adat Jawa mengajarkan Etika berjalan bahwa orang yang lebih muda harus berjalan tidak boleh mendahului orang tua. Juka hal tersebut dilakukan maka dianggap menyalahi norma kesopanan. Apabila ingin berjalan mendahului

(10)

orang tua maka ada mekanisme yang yang harus dilakukan yakni dengan beberapa hal yakni:

Jika sama-sama berjalan , ketika ingin berjalan mendahului maka mengucapkan

amit sewu” atau “ nderek langkung”.

Jika melintas didepan orang tua, maka harus membungkkan badan dengan mengucapkan “amit sewu” atau “ nderek langkung”. Ungkapan “amit sewu” atau

nderek langkung” dalam Bahasa Indosesia memiliki arti permisi atau numpang lewat.

UNGKAPAN-UNGKAPAN / KALIMAT BIJAK

Norma-norma Jawa juga berupa ungkapan-ungkapan, bisa berupa ungkapan nasehat, adakalanya berupa kalimat-kalimat bijak yang digunakan dalam mengungkapkan sesuatu hal atau peristiwa dalam keseharian yang dimaksudkan untuk mengarahkan kepada kebaikan.

Ora ilok

Dalam budaya jawa terdapat satu istilah ora ilok. Dalam bahasa yang lain hampir semakna dengan istilah pamali dalam bahasa Sunda. Istilah ora ilok sering digunakan untuk menyatakan hal-hal yang ketika dilakukan mengandung unsur ketidak patutan atau ketidak pantasan. Pada umumnya istilah ini digunakan untuk menegur atau mengingatka seseorang yang melakukan perbuatan yang menurut adat budaya Jawa dianngap tidak patut / atau tidak baik.

Contoh:

Ora ilok mangan ngombe ro ngadeg. (tidak baik makan dengan berdiri).

Maksud dari ungkapan tersebut adalah makan dan minum hendaklah dilakukan dengan cara duduk karena manusia ketika makan dan minum

(11)

seharusnya menggunakan cara-cara manusia yakni dengan duduk, tidak dengan berdiri apalagi sambil berjalan.

Ojo dumeh

Ungkapan ojo dumeh sering kali digunakan untuk mengungkapkan hal- hal seperti ketika ada seseorang yang sombong atau merasa lebih dibandingkan orang lain.

Contoh:

Ojo dumeh bagus, pinter tur sugih banjur dadi gumedhe (Jangan mentang- mentang tanpan, pintar dan kaya sehingga menjadi sombong).

Kalimat ungkapan diatas mengandung maksud bahwa orang tidak boleh sombong dengan membanggakan fisik, intelektual, ataupun hal-hal lain yang biasanya dapat menimbulkan sifat sombong.

Dalam pandangan Islam sombong merupakan ahlak tercela (madzmumah/

sayyiah) yang harus dihindari. Sikap sombong cenderung pada sifat riya. Sifat riya sendiri berasal dari kata ra a, yara, ru’yatan, wa riya an bermakna melihat.

Maksudnya adalah segala sesuatu yang dimiliki, dikuasai atau dilakukan supaya dilihat atau dipuji orang lain (Khon, 2014). Sifat sombong adalah sifat tercela yang dilakukan oleh iblis. Iblis merasa lebih unggul dibandingkan dengan Nabi Adam as. Ketika Allah memerintahkan iblis dan malaikat untuk bersujud kepada Nabi Adam as. Malaikat bersujud namun berbeda dengan iblis yang bersikap sombong dengan membangkang perintah Allah swt. Iblis merasa lebih unggul daripada manusia (Adam as ) karena ia diciptakan dari api sedang manusia diciptakan dari tanah.

           

      

Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" menjawab Iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau

(12)

ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah". (Q.S. Al A’raaf:

12)

Mikul dhuwur mendhem jero

Budaya Jawa sangat menjunjung tinggi kedudukan orang tua. Orang tua merupakan sosok yang harus dihormati dan ditinggikan derajatnya. Mikul dhuwur mendhem jero adalah ungkapan yang digunakan sebagai bentuk bakti seorang anak terhadap orang tua. Mikul berarti memanggul/ memikul, dhuwur berarti tinggi. Sedangkan mendhem berarti memendam, dan jero berarti dalam. Secara harfiah Mikul dhuwur mendhem jero memikul tinggi dan memendam dalam- dalam. Ungkapan ini memiliki makna bahwa seorang anak harus meninggikan daam arti memuliakan orang tua, mengharumkan nama orang tua. Ungkapan tersebut juga mengandung arti menjaga nama baik orang tua. Seorang anak harus bisa melindungi citra orang tua serta tidak membuka aib orang tua bukan sebaliknya melakukan perbuatan-perbuatan mencemarkan nama baik orang tua.

Ungkapan yang umum digunakan adalah “anak pola bapa kepradah” artinya anak berulah orang tua menanggung dampaknya.

Becik ketitik ala ketara

Ungkapan jawa Becik ketitik ala ketara memiliki makna bahwa setiap perbuatan baik maupun buruk cepat atau lambat akan terlihat/nampak. Dalam pandangan Islam perkara yang haq dan yang bathil itu sudah jelas.

Dalam pandangan Islam semua amal perbuatan tidak dapat disembunyikan. Karena bukan mulut yang bersaksi namun anggota badan tangan dan kakilah yang akan bersaksi di hadapan tuhan.

      

    

“Pada hari Ini kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (Q.S. Yasin: 65)

(13)

Rukun agawe Santosa

Budaya Jawa mengandung nilai-nilai ajaran pada kehidupan yang baik.

Kehidupan ang baik menurut budaya Jawa mengandung dua unsur menghindari konflik dan prinsip saling menghormati (Leiwakabessy, 2010). Masyarakat jawa mengutamakan kerukunan. Rasa kebersamaan dan menghindari sifat individualis sehingga muncul rasa tolong menolong. Budaya hidup rukun tolong menolong dan tolong menolong sejalan dengan ajaran islam bahwasannya islam menyeru pada umat manusia untuk bersatu dan melarang untuk bercerai-berai.

        

       

       

        

  

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali Imron : 103)

        

         

“… dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

(Q.S. al Maidah: 2)

Beberapa contoh yang dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari adalah gugur gunung / sambatan atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan kerja bakti

(14)

/ gotong royong baik untuk sarana publik seperti memperbaiki jembatan, jalan, ataupun rumah ibadah, ataupun individu seperti membangun rumah tinggal.

Masyarakat biasanya bahu-membahu dalam kegiatan ini.

KESIMPULAN

Kearifan lokal budaya Jawa sejatinya memuat nilai-nilai Pendidikan ahlak yang diajarkan oleh Islam. Sehingga dapat dipahami bahwa proses akulturasi budaya tidak harus menghapus budaya asal menjadi budaya baru. Meskipun Islam adalah budaya pendatang di masyarakat Jawa namun dapat diterima dan beradaptasi dengan harmonis. Kearifan lokal budaya Jawa tidak sepenuhnya bertentangan dengan ajaran Islam, contoh yang nyata adalah nilai-nilai pendidikan ahlak yang bersumber dari kearifan lokal jawa banyak yang sesuai dengan ajaran Islam baik dati adab / etika tutur, tindakan serta ungkapan-ungkapan ataupun nasehat tentang kebaikan serta mengarahkan anak pada pendidikan akhlak.

DAFTAR PUSTAKA

AG, M. (2001). Islam dalam Bingkai Budaya Lokal potret dari Cirebon.

Balson, M. (1999). Menjadi Orang Tua Yang Sukses.

Daryanto. (1999). Kawruh Basa Jawa Pepak.

Hamid, A. (2017). PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS PESANTREN (Pelajar dan Santri dalam era IT & Cyber Culture).

Khon, A. M. (2014). Hadis Tarbawi.

Leiwakabessy, A. (2010). Pengaruh Orientasi Etis Dan Budaya Jawa Terhadap Perilaku Etis Auditor. JURNAL MAKSI, 10(1), 5.

Putri, E. A. (2016). Pengaruh Budaya Jawa dalam Pendidikan karakter.

Seligman, M. E. P. (2002). Authentic happiness: Using the new positive psychology to realize your potential for lasting fulfillment.

Setyowati, Y. (2005). Pola Komunikasi Keluarga dan Perkembangan Emosi Anak ( Studi Kasus Penerapan Pola Komunikasi Keluarga dan Pengaruhnya terhadap

Perkembangan Emosi Anak pada Keluarga Jawa ). ILMU KOMUNIKASI, 2(1), 69.

(15)

Sumbulah, U. (2012). Islam Jawa Dan akulturasi Budaya: Karakteristik, Variasi dan Ketaatan Ekspresif. El Harokah, 14(1), 52.

Zunaidi, A. (2013). Kehidupan sosial Ekonomi Pedagang Di Pasar Tradisional Pasca Relokasi Dan Pembangunan Pasar Modern. Jurnal Sosiologi Islam, 3(1), 53.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa makna yang terkandung dalam syair lagu dolanan Jawa mengungkapkan nilai kearifan lokal yang sangat mendukung

Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) latar belakang apa yang mempengaruhi kearifan lokal dalam bahasa dan budaya Jawa orang Samin

casila untuk menguatkan karakter dan jati diri bangsa dengan didasari oleh: (a) integrasi kearifan lokal budaya jawa yang bersumber dari core value hormat, rukun,

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Buku Panduan Materi Pranikah Bermuatan Kearifan Lokal Budaya Jawa untuk Pelatihan Fasilitator Keluarga yang layak digunakan

Penelitian etnografi dalam hal ini berfungsi untuk mengkonsepsi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat Bali Aga di desa Trunyan sebagai pusat pembudayaan,

Saran bagi para peneliti yang tertarik dengan nilai-nilai kearifan budaya Jawa adalah perlunya menelusuri lebih dalam setting ala- miah praktik akuntansi yang dijalankan..

PENANAMAN NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL BUDAYA GAYO SUMANG PERCERAKEN PERKATAAN SEBAGAI UPAYA PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER Zawirda Fathonah1, Haniyatul Halwa2, Alhuda3 SMA IT AL

ABSTRAK Kata Kunci: kearifan lokal, masyarakat pesisir, nilai pendidikan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kearifan lokal masyarakat pesisir kota Langsa budaya lokal yang