commit to user
EKSISTENSI DAN PEMAKNAAN MASYARAKAT PADA
TRADISI YAQOWIYYU DI JATINOM KECAMATAN JATINOM
KABUPATEN KLATEN
Fajriani Evalinda Alvianif
alvianiffajriani@yahoo.co.id
This research aims to find out the history of Sebaran Apem Yaaqowiyyu
and the definition of the community against the tradition of Yaqowiyyu in
Jatinom district Jatinom Klaten Regency.The reasearch employed a qualitative
research method with phenomenology. The theory was used symbolic
interactionism by Herbert Blummer. The selection technique informers used is
purposive. Techniques of collecting data were used observation, interview, and
documentation. The data validation was carried out with source triangulation.
Data analysis was conducted using interactive model of analysis.
The results of research explain that the origin of the yaqowiyyu began
when Kyai Ageng Gribig was ordered by Sultan Agung to accompany the Hajj
in Mecca. When it brings apem will be used as media to spread Islam. There
are three meanings of the apem as a symbol of forgiveness, traditions, and
symbols of the alms. In addition, the meaning of the apem apem spread i.e.
giver sorry and winning apem likened as the applicants are sorry, because
people who come the more so that it is not possible to hand out one by one,
then being the naming of this tradition. The meaning of the gunungan apem i.e.
alms symbols, symbols of the apem community Tourism Committee and, the
symbols of the notifier to the community that the gunungan apem will be
distributed the next day.
Summary of the research that tradition of sebaran apem yaqowiyyu
commenced when Kyai Ageng Gribig held his hand out with apem to his
commit to user
symbol containing the meaning depends on the definition of the society, there
are several factors that lead to differences in the definition of the community to
interpret a symbol i.e. educational background, role in tradition, status of
residence, age and occupation the tradition of sebaran apem yaqowiyyu remain
preserved in spite of the development of human life the more modern.
Keywords: Existence, Definition to Society, Yaqowiyyu.
A.PENDAHULUAN
Budaya merupakan salah satu unsur penanda kehidupan manusia.
Melalui budaya, dapat diketahui sejarah perkembangan manusia. Manusia
hidup dalam masyarakat. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena di dalam
masyarakat, manusia dapat mengembangkan budayanya dan mencapai
kebudayaannya. Di dalam kehidupan bermasyarakat, manusia selalu
mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru dan selalu bertambah. Manusia
adalah sumber kebudayaan. Hal ini karena hanya manusia yang dapat belajar
dan memahami bahasa, semua itu adalah bersumber dari akal manusia. Dapat
disimpulkan bahwa hanya manusia yang memiliki dan menghasilkan
kebudayaan, tidak ada kebudayaan tanpa adanya manusia.
Manusia, masyarakat dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang
tidak lagi dapat dipisahkan dalam artinya yang utuh (Prasetya, 2013:36).
Ketiga hal tersebut adalah unsur dari keberlangsungan kehidupan makhluk
sosial. Masyarakat tidak dapat dipisahkan dari manusia, hanyalah manusia
yang hidup bermasyarakat yaitu sebagai makhluk sosial karena mereka saling
membutuhkan satu sama lain. Begitu juga dengan manusia yang tidak dapat
lepas dari masyarakat. Karena apabila manusia tidak mengalami kehidupan
bermasyarakat, dapat dikatakan manusia tersebut tidak menjadi manusia
seutuhnya, manusia yang mengembangkan bakat-bakat manusia yaitu
commit to user
Kawasan Negara Republik Indonesia menunjukkan keanekaragaman
kondisi geografis dan corak kehidupan serta sifat masyarakat yang multi etnis
(Warsito, 2015:94). Kondisi geografis yang menyebabkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau dan lautan inilah yang
menyebabkan keragaman budaya yang dimiliki Indonesia sehingga Indonesia
terdiri dari masyarakat Multikultural.
Suyatno Kartodirdjo dalam makalahnya yang berjudul “Revitalisasi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa dalam Rangka Menuju
Indonesia Baru” mengemukakan bahwa aneka budaya dan komunitas di
Indonesia seperti ditunjukkan hasil studi Geertz (1981), antara lain disebutkan
bahwa di Indonesia terdapat lebih dari 300 kelompok etnis (suku bangsa) yang
berbeda-beda, dengan identitas kebudayaan tersendiri, dan lebih dari 200
bahasa khas. Kepercayaan keagamaan juga bermacam-macam. Hampir semua
agama yang besar dan penting di dunia ada di kepulauan Indonesia. Selain itu,
Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan, dimana
masing-masing wilayah memiliki kekayaan budaya yang beragam.
Kebudayaan daerah yang masih dilestarikan hingga saat ini, salah
satunya sebuah tradisi asli daerah yaitu sebaran apem di Jatinom, Kecamatan
Jatinom, Kabupaten Klaten yang masih dilakukan setiap tahun pada bulan
Sapar menurut penanggalan Jawa yang disebut “Yaqowiyyu”.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji tentang “Eksistensi dan Pemaknaan Masyarakat pada Tradisi Yaqowiyyu di Jatinom Kecamatan Jatinom Kabupaten Klaten”.
B.METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi yang disajikan dalam bentuk deskriptif. Penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian. Studi fenomenologis
mendeskripsikan pemaknaan umum dari sejumlah individu terhadap berbagai
commit to user
Lokasi penelitian ini berada di Jatinom Kecamatan Jatinom Kabupaten
Klaten. Pemilihan lokasi ini karena tradisi Yaqowiyyu hanya ada di Jatinom
Kecamatan Jatinom Kabupaten Klaten. Penelitian ini menggali data secara
khusus pada kearifan lokal yang ada di Jatinom guna memperoleh gambaran
dan informasi tentang sejarah yaqowiyyu dan bagaimana pemaknaan
masyarakat pada tradisi yaqowiyyu.
Teknik pemilihan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan teknik purposive. Informan dipilih berdasarkan klasifikasi usia
(dewasa dan muda), status kependudukan (warga asli dan pendatang), peran
sosial (tokoh masyarakat dan masyarakat). Dalam penelitian kualitatif, teknik
pemilihan informan dilakukan secara purposive karena dianggap lebih mampu
menangkap kelengkapan dan kedalaman data dalam permasalahan yang diteliti
(Sutopo, 2006:46). Berdasarkan hal tersebut maka informan terdiri dari tokoh
masyarakat sebagai Pengelola Pelestarian Peninggalan Kyai Ageng Gribig dan
Panitia Sebaran Apem. Informan berjumlah 3 orang. Pengelola Pelestarian
Peninggalan Kyai Ageng Gribig dianggap sebagai informan yang mengetahui
sejarah yaqowiyyu. Informan dari masyarakat yaitu terdiri dari masyarakat
warga asli Jatinom usia dewasa dan muda, serta masyarakat pendatang usia
dewasa dan muda. Sehingga informan sebanyak 4 orang. Informan yang dipilih
yaitu warga asli Jatinom dan pendatang yang tinggal di Jatinom minimal 10
tahun. Kategori usia dewasa yaitu 40 tahun ke atas, sedangkan usia muda di
bawah 40 tahun. Untuk informasi tambahan dengan teknik triangulasi sumber,
informan dipilih yaitu dari Instansi Pemerintah yaitu Disbudparpora Kabupaten
Klaten dan Pemerintah Kecamatan Jatinom.
Sumber data dalam penelitian ini diperoleh melalui data primer dan data
sekunder. Data primer ini diperoleh berasal dari hasil wawancara dengan
informan dan hasil observasi pada lokasi penelitian serta hasil dokumentasi dan
catatan lapangan. sedangkan data sekunder Adapun data sekunder yang akan
diperoleh melalui studi pustaka, arsip, dan literatur lain yang relevan dengan
fokus penelitian dan sebagai pelengkap informasi yang dibutuhkan.
commit to user
lapangan (observasi), wawancara mendalam (indept interview) dan
dokumentasi. Untuk menguji keabsahan data yang telah terkumpul, peneliti
menggunakan teknik triangulasi. Peneliti akan menggunakan triangulasi
sumber. Penulis membandingkan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang lain sehingga informasi yang diperoleh dapat
dibandingkan dengan informasi lainnya. Kemudian peneliti akan
membandingkan hasil wawancara dengan suatu dokumen yang berkaitan.
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis
interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman. Miles dan Huberman
(1984), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif
dilakukan secara interaktif dan berlangsung secera terus menerus sampai
tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.
C.PEMBAHASAN
Tradisi sebaran apem Yaqowiyyu merupakan sebuah perilaku simbolik
masyarakat Jatinom yang mengandung makna-makna. Untuk menganalisis
simbol yang mengandung makna tersebut, penulis menggunakan Teori
Interaksionisme Simbolik Herbert Blummer. Menurut Blummer, istilah
interaksionisme simbolik menunjuk kepada sifat khas dari interaksi antar
manusia. Kekhasannya adalah bahwa manusia saling menerjemahkan dan
saling mendefinisikan tindakannya. Bukan hanya sekedar reaksi belaka dari
tindakan seseorang terhadap orang lain. Tanggapan seseorang tidak dibuat
secara langsung terhadap tindakan orang lain, tetapi didasarkan atas “makna”
yang diberikan terhadap tindakan orang lain itu. Interaksi antar individu,
diantarai oleh penggunaan simbol-simbol, interpretasi atau saling berusaha
untuk saling memahami maksud dari tindakan masing-masing (Ritzer,
2002:52).
Makna-makna tersebut berasal dari interaksi dengan orang lain, terutama dengan orang yang dianggap “cukup berarti” (Poloma, 1999:259). Berdasarkan hasil penelitian, informan-informan memperoleh cerita-cerita tentang tradisi
Cerita-commit to user
cerita tersebut merupakan sebuah interaksi sosial secara lisan dalam
membagikan makna-makna simbolik yang ada pada tradisi sebaran apem
Yaqowiyyu dalam proses pewarisan tradisi ini. Makna-makna tersebut
kemudian diinterpretasikan oleh masing-masing individu sejak sesepuh mereka
sampai sekarang.
Tradisi sebaran apem Yaqowiyyu di Jatinom merupakan tindakan
bersama yang mengandung perilaku simbolik. Tradisi sebaran apem
Yaqowiyyu mengandung simbol-simbol di dalam tahapan pelaksanaannya yaitu
benda-benda yang digunakan maupun proses kegiatannya. Simbol merupakan
bagian sentral dari kehidupan manusia. Simbol adalah sesuatu yang harus
dipelajari, maka simbol-simbol yang ada dalam tradisi sebaran apem
Yaqowiyyu kemudian diinterpretasikan oleh masyarakat sehingga muncul
makna dari simbol tersebut. Setelah itu, muncul sebuah tindakan yang
merupakan hasil dari interpretasi terhadap stimulus tersebut. Berdasarkan hasil
wawancara dan observasi, sebagian masyarakat Jatinom tidak menyaksikan
pelaksanaan tradisi sebaran apem. Mereka justru memanfaatkan momen
tersebut untuk menjual apem sepeti pengakuan ST dan IN. Menurut pengakuan
BS, beliau tidak menghadiri tradisi sebaran apem karena bosan. Sebelumnya
beberapa kali pernah ikut berebut apem namun belum pernah mendapat apem.
Alasan ini yang membuatnya lebih memilih tidak hadir pada acara puncak
sebaran apem.
Masyarakat memaknai apem sebagai simbol pengampunan atau maaf.
Apem sebagai media dakwah Kyai Ageng Gribig. Masyarakat memaknai
demikian, apem dianggap sebagai simbol pengampunan artinya dengan
mendapatkan apem berarti mendapat ampunan dari Sang Pencipta.
Masyarakat memaknai berbeda, apem diartikan sebagai kue tradisi dan
kue oleh-oleh khas Jatinom. Masyarakat memaknai demikian, karena apem
merupakan unsur pokok pada tradisi yaqowiyyu. Selain itu, tradisi masyarakat
Jatinom selalu membuat apem ketika bulan sapar tiba, baik untuk disuguhkan
commit to user
Masyarakat memaknai berbeda, apem diartikan sebagai simbol sedekah.
Masyarakat memaknai demikian, karena ketika pelaksanaan tradisi yaqowiyyu
masyarakat Jatinom maupun luar Jatinom menyumbang apem kepada panitia
acara sesuai kemampuan masing-masing masyarakat.
Masyarakat memaknai cara apem yang disebar sebagai pemberi maaf dan
pengunjung diibaratkan sebagai pemohon maaf. Masyarakat memaknai
demikian karena untuk mendapatkan maaf, masyarakat harus usaha berebut
maaf dengan pengunjung lainnya.
Masyarakat memaknai berbeda, cara apem yang disebar menjadi
penamaan dari tradisi ini. Masyarakat memaknai demikian karena santri yang
datang semakin banyak sehingga tidak memungkinkan untuk dibagikan satu
per satu. Selain itu, jumlah apem yang akan disebar jumlahnya banyak dan
tidak pasti dapat mencukupi jumlah pengunjung yang datang.
Masyarakat memaknai gunungan apem sebagai simbol sedekah apem
dari masyarakat. Masyarakat memaknai demikian, karena masyarakat
berbondong-bondong melakukan sedekah apem kepada panitia. Apem dari
masyarakat tersebut yang akan disebarkan oleh panitia. Sehingga perlu adanya
bentuk simbolis untuk menyerahkan apem dari masyarakat kepada panitia.
Masyarakat memaknai berbeda yaitu gunungan apem sebagai simbol
apem dari Dinas Pariwisata dan Panitia. Masyarakat memaknai seperti ini,
karena ketika penyerahan gunungan apem dilakukan oleh Pemerintah yaitu
Bupati, Dinas Pariwisata dan Kecamatan kepada panitia acara dan paraga Kyai
Ageng Gribig.
Masyarakat memaknai berbeda yaitu gunungan apem sebagai simbol
pemberitahu kepada masyarakat bahwa gunungan apem akan dibagikan
keesokan harinya. Artinya, serah terima gunungan apem dilakukan sehari
sebelum pelaksanaan sebaran apem. Sehingga ketika apem telah diserahkan
kepada panitia acara, berarti gunungan apem sudah siap disebarkan.
Tempat pelaksanaan tradisi sebaran apem menurut masyarakat pada
awalnya dilaksanakan di serambi masjid besar Jatinom. kemudian dipindah di
commit to user
pemindahalan tempat penyebaran apem karena ketika masa Kyai Ageng
Gribig, santri yang datang semakin banyak sehingga dipindah di depan masjid
dengan mendirikan panggung. Pengunjung yang hadir semakin banyak
sehingga merusak bangunan milik warga disekitar masjid. Dengan
pertimbangan tersebut maka tempat pelaksanaan tradisi sebaran apem
dipindahkan di lapangan.
Persepsi tempat pelaksanaan tradisi sebaran apem menurut masyarakat
ada yang berbeda, yaitu awalnya dilaksanakan di depan masjid dengan
mendirikan 2 menara kemudian dipindah di lapangan dekat sendang
Klampeyan. Masyarakat memaknai demikian, karena pengunjung semakin
banyak dan halaman masjid semakin sempit maka dipindahkan ke tempat yang
lebih luas yaitu di lapangan.
Persepsi masyarakat tentang waktu pelaksanaan sebaran apem Yaqowiyyu
yaitu hari Jum’at diantara tanggal 12 sampai dengan 20 pada bulan sapar. Artinya, hari Jum’at dianggap sebagai hari suci bagi umat muslim. Penanggalan pelaksanaan sudah menjadi warisan dari sesepuh, namun tanggal
pelaksanaan tidak pasti setiap tahunnya.
Persepsi lain masyarakat tentang waktu pelaksanaan sebaran apem
Yaqowiyyu dilaksanakan hari Jum’at tanggal 15 pada bulan sapar menurut
kalender Jawa Islam atau aboge. Masyarakat demikian, karena masyarakat
awam mematenkan tanggal pelaksanaan yaqowiyyu pada pertengahan bulan.
Penulis menganalisis, ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan
persepsi masyarakat dalam memaknai suatu simbol yaitu latar belakang
pendidikan, peran dalam tradisi, status kependudukan, umur dan pekerjaan.
Semakin tinggi latar belakang pendidikan seseorang, semakin tinggi
kemampuan berfikir secara rasional. Peran dalam tradisi mempengaruhi
tindakan seseorang terhadap tradisi sebaran apem. Status kependudukan
mempengaruhi proses interpretasi seseorang. Semakin tua umur seseorang,
semakin banyak pengalaman dan sosialisasi yang diperoleh. Pekerjaan
commit to user
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan pelaksanaan tradisi
sebaran apem yaqowiyyu yang dilakukan oleh masyarakat Jatinom sesuai
dengan tiga premis yang dikemukakan oleh Herbert Blummer dalam
Interaksionisme Simbolis:
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna
yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. Masing-masing masyarakat
mempunyai makna tentang sebaran apem Yaqowiyyu menurut
dirinya sendiri berdasarkan proses interpretasi. Mereka bertindak
sesuai dengan makna tersebut bagi mereka. Berdasarkan hasil
penelitian, salah satu makna apem bagi beberapa masyarakat
Jatinom, misalnya BS yang merupakan pendatang dari Wates
Kulon Progo adalah mengajarkan kepada masyarakat untuk
bersedekah. Jadi, masyarakat yang memaknai apem sebagai ajaran
bersedekah, maka mereka akan melakukan sedekah apem pada
malam hari sebelum acara sebaran apem. Begitu pula masyarakat
yang memaknai apem sebagai kue tradisi maupun oleh-oleh khas
Jatinom, seperti IN dan ST yang bekerja sebagai pedagang, maka
mereka akan memanfaatkan tradisi sebaran apem Yaqowiyyu
dengan menjual apem.
2. Makna tersebut berasal dari “interaksi sosial seseorang dengan
orang lain”. Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat Jatinom
melaksanakan tradisi sebaran apem berdasarkan makna-makna
pada tradisi sebaran apem Yaqowiyyu. Makna yang muncul
merupakan hasil interaksi dengan keluarga, sesepuh maupun
lingkungannya. Interaksi mereka biasanya dengan menggunakan
cerita-cerita lisan sehingga masyarakat menjadikan sebaran apem
ini menjadi tradisi yang sudah turun temurun menjadi warisan.
3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi
berlangsung. Berdasarkan hasil penelitian, dalam tradisi sebaran
apem terdapat beberapa perubahan. Salah satu diantaranya adalah
commit to user
yang disebar harus dibungkus plastik. Hal ini karena panitia
mendapat saran dari masyarakat. Apem yang dibungkus plastik
tidak mengurangi kesakralan dari tradisi sebaran apem. Selain itu,
pada saat acara puncak sebaran apem pihak panitia mengingatkan
perjuangan Kyai Ageng Gribig dalam menyebarkan ajaran islam
supaya masyarakat tidak mempunyai niat menyimpang seperti
apem dianggap jimat yang diletakkan di sawah.
D.KESIMPULAN
Tradisi adalah kegiatan yang dilakukan secara turun temurun sejak nenek
moyang hingga saat ini. Begitu pula sebaran apem yaqowiyyu di Jatinom telah
menjadi tradisi masyarakat Jatinom. Meski telah terbuka dengan modernisasi,
namun tradisi sebaran apem Yaqowiyyu setiap tahun masih dilaksanakan
masyarakat Kelurahan Jatinom. Tradisi sebaran apem adalah penyebaran apem
yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali pada hari Jum’at antara tanggal 12
sampai dengan 20 bulan sapar menurut Kalender Jawa Islam (aboge), karena
pada bulan sapar Kyai Ageng Gribig ibadah haji dari Mekkah. Tradisi sebaran
apem memiliki latar belakang sejarah berupa cerita lisan dari generasi ke
generasi.
Berdasarkan perspektif sejarah dari cerita-cerita para sesepuh yang masih
diyakini masyarakat Jatinom, sejarah Yaqowiyyu bermula ketika Sultan Agung
mengajak Kyai Ageng Gribig untuk menunaikan ibadah haji di Mekkah.
Sepulang dari ibadah haji, Kyai Ageng Gribig membawa oleh-oleh berupa
tanah dan kue gimbal. Kue ini akan dibagikan kepada santri-santrinya sebagai
media dakwah menyebarkan ajaran Islam. Tempat yang digunakan Kyai Ageng
Gribig melakukan dakwah yaitu di serambi masjid besar Jatinom.
Masyarakat memaknai apem sebagai simbol pengampunan atau maaf.
Apem sebagai media dakwah Kyai Ageng Gribig. Masyarakat memaknai
demikian, apem dianggap sebagai simbol pengampunan artinya dengan
commit to user
Masyarakat memaknai berbeda, apem diartikan sebagai kue tradisi dan
kue oleh-oleh khas Jatinom. Masyarakat memaknai demikian, karena apem
merupakan unsur pokok pada tradisi yaqowiyyu. Selain itu, tradisi masyarakat
Jatinom selalu membuat apem ketika bulan sapar tiba, baik untuk disuguhkan
kepada sanak saudara dan tamu maupun untuk dijual.
Masyarakat memaknai berbeda, apem diartikan sebagai simbol sedekah.
Masyarakat memaknai demikian, karena ketika pelaksanaan tradisi yaqowiyyu
masyarakat Jatinom maupun luar Jatinom menyumbang apem kepada panitia
acara sesuai kemampuan masing-masing masyarakat.
Masyarakat memaknai cara apem yang disebar sebagai pemberi maaf dan
pengunjung diibaratkan sebagai pemohon maaf. Masyarakat memaknai
demikian karena untuk mendapatkan maaf, masyarakat harus usaha berebut
maaf dengan pengunjung lainnya.
Masyarakat memaknai berbeda, cara apem yang disebar menjadi
penamaan dari tradisi ini. Masyarakat memaknai demikian karena santri yang
datang semakin banyak sehingga tidak memungkinkan untuk dibagikan satu
per satu. Selain itu, jumlah apem yang akan disebar jumlahnya banyak dan
tidak pasti dapat mencukupi jumlah pengunjung yang datang.
Masyarakat memaknai gunungan apem sebagai simbol sedekah apem
dari masyarakat. Masyarakat memaknai demikian, karena masyarakat
berbondong-bondong melakukan sedekah apem kepada panitia. Apem dari
masyarakat tersebut yang akan disebarkan oleh panitia. Sehingga perlu adanya
bentuk simbolis untuk menyerahkan apem dari masyarakat kepada panitia.
Masyarakat memaknai berbeda yaitu gunungan apem sebagai simbol
apem dari Dinas Pariwisata dan Panitia. Masyarakat memaknai seperti ini,
karena ketika penyerahan gunungan apem dilakukan oleh Pemerintah yaitu
Bupati, Dinas Pariwisata dan Kecamatan kepada panitia acara dan paraga Kyai
Ageng Gribig.
Masyarakat memaknai berbeda yaitu gunungan apem sebagai simbol
pemberitahu kepada masyarakat bahwa gunungan apem akan dibagikan
commit to user
sebelum pelaksanaan sebaran apem. Sehingga ketika apem telah diserahkan
kepada panitia acara, berarti gunungan apem sudah siap disebarkan.
Tempat pelaksanaan tradisi sebaran apem menurut masyarakat pada
awalnya dilaksanakan di serambi masjid besar Jatinom. kemudian dipindah di
depan masjid. Dan dipindah lagi di lapangan dekat masjid. Artinya,
pemindahalan tempat penyebaran apem karena ketika masa Kyai Ageng
Gribig, santri yang datang semakin banyak sehingga dipindah di depan masjid
dengan mendirikan panggung. Pengunjung yang hadir semakin banyak
sehingga merusak bangunan milik warga disekitar masjid. Dengan
pertimbangan tersebut maka tempat pelaksanaan tradisi sebaran apem
dipindahkan di lapangan.
Persepsi tempat pelaksanaan tradisi sebaran apem menurut masyarakat
ada yang berbeda, yaitu awalnya dilaksanakan di depan masjid dengan
mendirikan 2 menara kemudian dipindah di lapangan dekat sendang
Klampeyan. Masyarakat memaknai demikian, karena pengunjung semakin
banyak dan halaman masjid semakin sempit maka dipindahkan ke tempat yang
lebih luas yaitu di lapangan.
Persepsi masyarakat tentang waktu pelaksanaan sebaran apem Yaqowiyyu
yaitu hari Jum’at diantara tanggal 12 sampai dengan 20 pada bulan sapar. Artinya, hari Jum’at dianggap sebagai hari suci bagi umat muslim. Penanggalan pelaksanaan sudah menjadi warisan dari sesepuh, namun tanggal
pelaksanaan tidak pasti setiap tahunnya.
Persepsi lain masyarakat tentang waktu pelaksanaan sebaran apem
Yaqowiyyu dilaksanakan hari Jum’at tanggal 15 pada bulan sapar menurut
kalender Jawa Islam atau aboge. Masyarakat demikian, karena masyarakat
awam mematenkan tanggal pelaksanaan yaqowiyyu pada pertengahan bulan.
Penulis menganalisis, ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan
persepsi masyarakat dalam memaknai suatu simbol yaitu latar belakang
pendidikan, peran dalam tradisi, status kependudukan, umur dan pekerjaan.
Semakin tinggi latar belakang pendidikan seseorang, semakin tinggi
commit to user
tindakan seseorang terhadap tradisi sebaran apem. Status kependudukan
mempengaruhi proses interpretasi seseorang. Semakin tua umur seseorang,
semakin banyak pengalaman dan sosialisasi yang diperoleh. Pekerjaan
mempengaruhi cara seseorang dalam memanfaatkan tradisi sebaran apem.
E.DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Alfan, Muhammad. 2013. Filsafat Kebudayaan. Bandung: Pustaka Setia
Basrowi. 2005. Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia (Anggota
IKAPI)
Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme. Jakarta: PT Rineka
Cipta
Dillistone, F.W. 2002. Daya Kekuatan Simbol The Power Of Symbols.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian
Kebudayaan Ideologi, Epistimologi, dan Aplikasi. Sleman: Pustaka
Widyatama.
Esten, Mural. 1992. Tradisi dan Modernitas dalam Sandiwara. Jakarta:
Intermasa
Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan
Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta: Penerbit Erlangga
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka
Cipta
Liliweri, Alo. 2014. Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung: Penerbit
Nusa Media
Meinarno, dkk. 2011. Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat.
Jakarta: Salemba Humanika
Moloeng, Lexy J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Nuraeni, Gustini. Heny dan Muhammad Alfian. 2012. Studi Budaya
commit to user
Poloma, Margaret. 1999. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Prasetya, Joko Tri. 2013. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta
Ritzer, George. 2002. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Santosa, Bambang. Daliman, Edi Tri Sulistyo, Jumiyanto Widodo,
Sutapa, Mulyada dan Tentrem Widodo. 2008. Ilmu Sosial dan Budaya
Dasar. Surakarta: UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS
Press)
Setiadi, Elly M. Kama A. Hakam dan Ridwan Effendi. 2006. Ilmu Sosial
Budaya Dasar. Jakarta: Penerbit Kencana
Slamet, Yulius. 2006. Metode Penelitian Sosial. Surakarta: UNS Press
Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:
PT.Grafindo Persada
Soetopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. UNS Press:
Surakarta
Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Syarbani, S dan Rusdiyanta. 2013. Dasar-Dasar Sosiologi. Yogyakarta:
Graha Ilmu
Sztompka, Piotr. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada
Tim. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Upe, Ambo. 2010. Tradisi Aliran dalam Sosiologi Dari Filosofi
Positivistik ke Post Positivistik. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. 2000. Metodologi
Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara
W. Creswell, John. 2015. Penelitian Kualitatif dan Desain Riset Memilih
Di Antara Lima Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
commit to user
Sumber Skripsi, Jurnal:
Elvia Rini, Istivani. 2012. Makna Tradisi Frebeg Suro Dalam
Melestarikan Budaya Bangsa Bagi Masyarakat. Skripsi pada
Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret
Surakarta
(http://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/25392/NTM5NTY=/M
akna-Tradisi-Grebeg-Suro-Dalam-Melestarikan-Budaya-Bangsa- Bagi-Masyarakat-Studi-Kasus-Masyarakat-Kelurahan-Baluwarti-
Kecamatan-Pasar-Kliwon-Surakarta-Istivani-Elvia-Rini-k8408006.pdf diakses pada 23 Oktober 2015 pukul 16.45 WIB)
Jati, Ignatius Radix A.P. 2014. “Local Wisdom behind Tumpeng as an
Icon of Indonesian Traditional Cuisine”, Nutrion and Food Science, Vol. 44 Iss 4 pp. 324-334 Diakses pada 23 Oktober 2015
Pukul 16:45 WIB dari emeraldinsight
Pilar Naredia, Shubuha. 2012. Interaksi Simbolik Antar Pelaku Seni
Dalam Memaknai Nilai-Nilai Luhur Pada Kesenian Tradisional Di
Kampung Bumen, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede,
Kota Yogyakarta. Skripsi pada Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu
sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta
(http://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/25246/Interaksi-Simbolik- Antar-Pelaku-Seni-Dalam-Memaknai-Nilai-Nilai-Luhur-Pada- Kesenian-Tradisional-Di-Kampung-Bumen-Kelurahan-Purbayan-Kecamatan-Kotagede-Kota-Yogyakarta diakses pada 23 Oktober 2015 pukul 16.45 WIB)
Pornpitakpan, Chanthika. 2005. “The Effect of Cultural Adaption on Perceived Trustworthiness Americans Adapting to Chinese
Indonesians”. Asia Pasific Journal of Marketing and Logistics, Vol.
17 Iss 1 pp. 70-88. Diakses pada 23 Oktober 2015 Pukul 16:45
commit to user
Prasetya, Mukhlis. 2012. Eksistensi Wayang Beber Dalam Pelestarian
Nilai-Nilai Budaya Jawa Di Pacitan. Skripsi pada Jurusan
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta
(https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/29029/NjEyNTQ=/Ek sistensi-Wayang-Beber-Dalam-Pelestarian-Nilai-Nilai-Budaya-Jawa-Di-Pacitan-MUKHLIS-PRASETYA-K-4406005.pdf diakses
pada 23 Oktober 2015 pukul 16.45 WIB)
Sumber Internet:
https://www.google.com/search?q=peta+kecamatan+jatinom+klaten&so