TINGKAT KECUKUPAN ZAT GIZI, AKTIVITAS FISIK, DAN
KEBUGARAN PEGAWAI PT INDOCEMENT DI CITEUREUP
BOGOR
KHARISMA TAMIMI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tingkat Kecukupan Zat Gizi, Aktivitas Fisik, dan Kebugaran Pegawai PT. Indocement di Citereup Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor
Bogor, September 2014
Kharisma Tamimi NIM I14100056
Kebugaran Pegawai PT. Indocement di Citerureup Bogor. Dibimbing oleh RIMBAWAN
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat kecukupan gizi, aktivitas fisik, dan tingkat kebugaran kardiorespiratori pegawai PT. Indocement di Citeureup Bogor. Desain penelitian adalah cross-sectional dengan
purposive sampling, dan melibatkan 32 pegawai kantor dan 32 pegawai lapang PT Indocement. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar subjek memiliki IMT yang normal dan tidak terdapat perbedaan IMT pada kedua kelompok (p>0.05). Tingkat kecukupan zat gizi kedua kelompok tidak berbeda, cenderung dalam kategori kurang. Rata-rata aktivitas fisik kelompok lapang lebih besar daripada kelompok kantor. Sebagian besar pegawai kelompok lapang mempunyai kategori aktivitas sedang dan kelompok kantor mempunyai kategori aktivitas fisik ringan. Kebiasaan olahraga kelompok kantor lebih baik dibandingkan kelompok lapang. Terdapat perbedaan aktivitas fisik dan kebiasaan olahraga antara kelompok kantor dan lapang (p<0.05). Terdapat hubungan yang signifikan antara usia, kebiasaan olahraga, dan aktivitas fisik dengan VO2 max pada kelompok
lapang (p<0.05), tidak ditemukan hubungan yang signifikan pada kelompok kantor (p>0.05).
Kata kunci: aktivitas fisik, kebugaran, tingkat kecukupan zat gizi.
ABSTRACT
KHARISMA TAMIMI. Nutritional Adequacy, Physical Activity, and Cardiorespiratory Fitness of Indocement Workers at Citeureup Bogor supervised by RIMBAWAN.
The general objective of this study was to analyse nutritional adequacy, physical activity, and cardiorespiratory fitness among Indocement’s workers at Citeureup Bogor. This study which used cross-sectional design with purposive sampling, involved 32 office subjects and 32 plant subjects. The result showed that most of subjects had normal Body Mass Index (BMI) and found no BMI diferrence between two groups of workers (p>0.05). There were no differences of level macrocutrients adequacy (energy, protein, fat, and carbohydrate) between two groups of workers, most of the subjects from two groups had low level of macronutrients adequacy. Physical activity level of plant group was higher than the office group, and can be categorized as moderately active, whereas that of office group can be categorized as sedentary. The office group tended to have better exercise habit than the plant group. Moreover, there were differences on physical activity and habitual exercise between two groups (p<0.05).The significant correlations between age, physical activity, and habitual exercise with VO2 max were found on plant group (r=0.585, r=0.585), but not on office group
(p>0.05).
KHARISMA TAMIMI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari
Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Indocement di Citeureup Bogor Nama : Kharisma Tamimi
NIM : I14100056 Disetujui oleh Dr. Rimbawan Dosen Pembimbing Diketahui oleh Dr. Rimbawan Ketua Departemen Tanggal Disetujui:
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul pada karya ilmiah ini adalah Tingkat Kecukupan Zat Gizi, Aktivitas Fisik, dan Kebugaran Pegawai PT Indocement di Citeureup Bogor. Skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Rimbawan selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu untuk memberikan saran, arahan, serta dorongan kepada penulis selama proses penyelesaian tugas akhir ini.
2. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku dosen pembimbing akademik serta pemandu dalam seminar dan penguji pada ujian skripsi yang telah memberikan saran, arahan kepada penulis selama menuntut ilmu di Departemen Gizi Masyarakat hingga penyelesaian tugas akhir.
3. Dr. Devi Dwiratih, MKKK selaku pembimbing di Indocement yang telah membantu serta mendukung dalam proses pengambilan data.
4. Ibu, Bapak, serta seluruh keluarga yang telah mendukung dan membimbing hingga saat ini.
5. Seluruh pegawai PT. Indocement yang telah berpartisipai serta membantu dalam penelitian ini.
6. Sahabat serta Teman-teman Gizi Masyarakat Angkatan 47 yang telah membantu serta memberikan dukungan.
Penulis memohon maaf atas segala kekurangan ataupun kesalahan yang penulis lakukan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bogor,September 2014
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iii
DAFTAR LAMPIRAN iii
PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan 2 Kegunaan Penelitian 3 KERANGKA PEMIKIRAN 3 METODE 4
Desain, Tempat, dan Waktu 4
Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek 5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data 5 Pengolahan dan Analisis Data 6
Definisi Operasional 9
HASIL DAN PEMBAHASAN 10
Karakteristik Subjek Penelitian 11
Status Gizi 11
Tingkat Kecukupan Zat Gizi Makro 12
Aktivitas Fisik 16
Kebiasaan Olahraga 17
Tingkat Kebugaran Kardiorespiratori 18 Uji Hubungan Antar Variabel 19
SIMPULAN DAN SARAN 23
Simpulan 23
Saran 24
DAFTAR PUSTAKA 24
1 Jenis dan cara pengumpulan data 6 2 Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan zat gizi 7 3 Contoh kategori aktivitas fisik berdasarkan nilai PAR 8 4 Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL 8 5 Kategori kebugaran berdasarkan VO2 max 9
6 Sebaran subjek berdasarkan usia 11 7 Sebaran subjek berdasarkan pendapatan per kapita/bulan 11 8 Sebaran subjek menurut status gizi berdasarkan IMT 12 9 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi 13 10 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan protein 14 11 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan lemak 14 12 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan karbohidrat 15 13 PAL subjek pada hari kerja dan libur 16 14 Sebaran subjek berdasarkan rata-rata aktivitas fisik selama dua hari 16 15 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan olahraga 17 16 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan merokok 18 17 Sebaran subjek berdasarkan kategori VO2 max 19
18 Sebaran subjek pegawai lapang berdasarkan usia dan VO2 max 20
19 Sebaran subjek lapang berdasarkan aktivitas fisik dan VO2 max 22
20 Sebaran subjek lapang berdasarkan kebiasaan olahraga dan VO2 max 22
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran penelitian 4
DAFTAR LAMPIRAN
1 Statistik deskriptif variabel kelompok kantor 29 2 Statistik deskriptif variabel kelompok lapang 29 3 Sebaran subjek kantor berdasarkan usia dan VO2 max 30
4 Sebaran subjek kantor berdasarkan IMT dan VO2 max 30
5 Sebaran subjek lapang berdasarkan IMT dan VO2 max 30
6 Sebaran subjek kantor berdasarkan TKE dan VO2 max 30
7 Sebaran subjek lapang berdasarkan TKE dan VO2 max 31
8 Sebaran subjek kantor berdasarkan TKP dan VO2 max 31
9 Sebaran subjek lapang berdasarkan TKP dan VO2 max 31
10 Sebaran subjek kantor berdasarkan TKL dan VO2 max 31
11 Sebaran subjek lapang berdasarkan TKL dan VO2 max 32
12 Sebaran subjek kantor berdasarkan TKK dan VO2 max 32
13 Sebaran subjek lapang berdasarkan TKK dan VO2 max 32
16 Sebaran subjek kantor berdasarkan kebiasaan merokok dan VO2 max 33
17 Sebaran subjek lapang berdasarkan kebiasaan merokok dan VO2 max 33
18 Hasil uji beda variabel 33 19 Hasil uji hubungan Spearman variabel kelompok kantor dengan VO2
max 33
20 Hasil uji hubungan Spearman variabel kelompok lapang dengan VO2
max 34
21 FormulirPar-Q & You 34
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Undang-Undang No 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia yang bekerja hingga tahun 2013 adalah sebanyak 110.80 juta orang. Sebanyak 59 juta pegawai di seluruh dunia terpapar berbagai bahaya kesehatan dan keselamatan setiap harinya (WHO 2008).
Salah satu masalah kesehatan adalah penyakit degeneratif. Laporan WHO tahun 2002 menunjukkan kasus kesakitan dan kematian akibat penyakit degeneratif terus meningkat. Kecenderungan prevalensi penyakit degeneratif di Indonesia seperti Diabetes Mellitus (DM) pada tahun 2013 (2.1%) lebih tinggi dibandingkan tahun 2007 (1.1%). Peningkatan kecenderungan prevalensi juga terjadi pada hipertensi (7.6% menjadi 9.5%) dan stroke (8.3 % menjadi 12.1%) (Riskesdas 2013). Salah satu faktor yang menyebabkan penyakit degeneratif adalah tingkat kebugaran. Penelitian menunjukkan bahwa rendahnya kebugaran kardiorespiratori merupakan prediktor yang kuat dan bebas terhadap kejadian sindrom metabolik pada laki-laki dan perempuan (La Monte et al. 2005).
Hasil pemetaan kebugaran jasmani PNS di Kantor Pemerintah Daerah dan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Bali pada tahun 2002 menunjukkan sebanyak 73% memiliki tingkat kebugaran jasmani kurang, dan hanya 9.3 % pegawai memiliki tingkat kebugaran yang baik (Rismayanthi 2012). Tingkat kebugaran berhubungan dengan beberapa faktor seperti aktivitas fisik, dan konsumsi pangan.
Pegawai kantor cenderung memiliki aktivitas fisik yang rendah. Hal tersebut terkait dengan berkembangnya gaya hidup sedentary. Pegawai cenderung lebih lama menghabiskan waktu untuk duduk, misalnya duduk di depan komputer, duduk di dalam transportansi daripada untuk bergerak. Hasil Riskesdas (2013), menunjukkan bahwa 44.2% pegawai memiliki aktivitas sedentary antara 3.0-5.9 jam per hari. “pegawai kerah biru” (pegawai dengan status lebih rendah) seharusnya membutuhkan pengeluaran energi yang lebih tinggi untuk melakukan pekerjaan. Namun perkembangan teknologi menyebabkan sebagian besar pegawai tidak mengeluarkan energi sebanyak pegawai pada beberapa tahun yang lalu. Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kebugaran. Penelitian Wareham et al. (2000) menunjukkan bahwa aktivitas fisik dan VO2 max memiliki hubungan positif (p<0.01).
Faktor lain yang mempengaruhi tingkat kebugaran adalah konsumsi pangan. Ketidakseimbangan asupan zat gizi menjadi permasalahan yang dialami pegawai. Sebagian besar asupan zat gizi pegawai tambang berada di bawah standar rekomendasi (Dabadher et al.2013). “pegawai kerah putih” (pegawai dengan status lebih tinggi) dan “pegawai kerah biru” memiliki asupan energi yang sebagian besar berasal dari lemak (Kachan et al. 2013). Penelitian Smith dan Baghrust (1992) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kecukupan zat gizi antara “pegawai kerah putih”, “pegawai kerah biru”, dan petani. Penelitian Willborn et al. (2005) menunjukkan bahwa orang-orang dengan tingkat aktivitas
fisik rendah cenderung memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi lemak serta memiliki tingkat kebugaran yang rendah.
Pegawai PT. Indocement di Citeureup Bogor secara keseluruhan terdiri dari pegawai yang bekerja di lapang dan di kantor. Perbedaan lokasi serta jenis pekerjaan dapat menyebabkan perbedaan pada asupan zat gizi, aktivitas fisik, serta tingkat kebugaran pegawai. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menganalisis aktivitas fisik, konsumsi pangan serta hubungannya dengan tingkat kebugaran pegawai kantor dan lapang PT. Indocement di Citerureup Bogor.
Perumusan Masalah
Pegawai kantor cenderung memiliki jadwal kerja yang padat. Sebagian besar pegawai kantor menghabiskan waktu untuk duduk, bekerja di depan komputer, dan melakukan aktivitas ringan lainnya. Kesibukan dalam pekerjaan menyebabkan pegawai kantor sering melewatkan waktu makan sehingga asupan zat gizinya tidak seimbang. Selain itu, kebiasaan olahraga yang rendah dapat mempengaruhi tingkat kebugaran. Disisi lain, pegawai yang bekerja di lapang cenderung memiliki aktivitas fisik yang lebih berat serta asupan zat gizinya masih berada di bawah standar rekomendasi. Penelitian terkait tingkat kebugaran pada pegawai lapang di Indonesia masih sangat terbatas. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk membandingkan tingkat kecukupan zat gizi, aktivitas fisik, dan tingkat kebugaran antara pegawai kantor dan lapang PT. Indocement di Citerureup Bogor.
Tujuan Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis tingkat kecukupan zat gizi, aktivitas fisik, dan kebugaran kardiorespiratori pada pegawai PT Indocement di Citeureup Bogor.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah
1. mengkaji karakteristik subjek (usia dan pendapatan) 2. menilai status gizi (IMT) subjek
3. menilaitingkat kecukupan zat gizi makro subjek 4. menilai aktivitas fisik dan kebiasaan olahraga subjek 5. menilai tingkat kebugaran kardiorespiratori subjek
6. membandingkaan tingkat kecukupan zat gizi makro, aktivitas fisik, dan tingkat kebugaran respiratori antara pegawai kantor dan lapang.
7. mengkaji hubungan karakteristik, status gizi, tingkat kecukupan zat gizi makro, aktivitas fisik subjek dengan tingkat kebugaran kardiorespiratori.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi terkait pentingnya pola makan yang seimbang, aktivitas fisik, dan tingkat kebugaran yang baik bagi masyarakat terutama pegawai perusahaan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menyediakan data dasar yang diperlukan untuk penyusunan program perbaikan kesehatan terutama bagi pegawai PT Indocement di Citeureup Bogor.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kebugaran kardiorespiratori dapat diukur melalui Volume Oksigen Maksimum (VO2 max). Perbedaan tingkat kebugaran kardiorespiratori pada
individu dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi VO2 max pada individu adalah usia, jenis kelamin dan aktivitas
fisik (Greenberg et al. 2004).
Daya tahan kardiorespiratori merupakan komponen tunggal penting dari kebugaran fisik terkait kesehatan. Nilai daya tahan aerobik seseorang dengan berat badan yang lebih kecil cenderung memiliki nilai daya tahan kardiorespiratori (VO2 max) relatif lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan jumlah oksigen yang
tersedia lebih banyak untuk setiap kilogram berat badan (Hoeger 2001).
Hasil penelitian Sephard (1987) dalam Huang et al. (2005) menunjukkan bahwa VO2 max akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia seseorang.
Penelitian Betik dan Hepple (2008) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara usia dengan VO2 max. semakin tinggi usia maka semakin
rendah nilai VO2 max. Penelitian Posner et al. (1995) menunjukkan bahwa peningkatan usia menyebabkan penurunan pada kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari terkait dengan penurunan VO2 max.
Penelitian Wareham et al. (2000) menunjukkan bahwa aktivitas fisik dan VO2 max memiliki hubungan positif (p<0.0.01). Aktivitas fisik yang cenderung
tinggi menyebabkan kemampuan tubuh dalam mengedarkan serta memanfaatkan oksigen meningkat, seperti yang terjadi pada orang yang memiliki kebiasaan olahraga yang baik.
Kebiasaan olahraga juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kebugaran seseorang. Penelitian Huang et al. (2005) menujukkan bahwa terdapat peningkatan VO2 max secara signifikan pada subjek yang mengalami
intervensi olahraga selama lebih dari 20 minggu. Selain kebiasaan olahraga, faktor lain yang mempengaruhi tingkat kebugaran adalah kebiasaan merokok. Nilai VO2
kelompok perokok berat lebih rendah secara signifikan dibandingkan kelompok perokok ringan dan sedang dengan nilai p<0.01 (Richard et al.2009).
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Keterangan :
Variabel yang tidak diteliti
Variabel yang diteliti
Hubungan yang tidak diteliti
Hubungan yang diteliti
METODE
Desain, Tempat, dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan desain studi cross sectional. Penelitian dilakukan di PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk Citeureup, Bogor, Jawa Barat. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni hingga Juli 2014.
Tingkat kebugaran (VO2
max) Keturunan Aktivitas Fisik Konsumsi Pangan Status Gizi (IMT) Kebiasaan Merokok Penyakit Degeneratif Usia Kebiasaan olahraga
Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek
Subjek merupakan pegawai laki-laki PT Indocement di Citeureup Bogor. Pengambilan subjek dilakukan secara purposive berdasarkan lokasi yang dapat dijangkau dari Poliklinik PT Indocement. Kriteria subjek dalam penelitian yaitu pegawai kantor maupun lapang berjenis kelamin laki-laki, dalam keadaan sehat, tidak memiliki penyakit maupun kelainan kardiovaskuler, pernapasan, dan persendian, serta bersedia mengikuti rangkaian penelitian.
Jumlah sampel ditentukan berdasarkan rumus uji hipotesis Lemeshow (1997). Proporsi pegawai dengan proporsi tingkat aktivitas rendah dihitung berdasarkan penelitian Mediawan (2010). Proporsi pegawai kantor yang memiliki aktivitas fisik rendah yaitu 38%. Proporsi pegawai lapang dengan aktivitas fisik rendah yaitu 10.5%. Tingkat error yang ditentukan adalah sebesar 10%. Kekuatan uji adalah 80%. Jumlah minimal subjek yang diambil yaitu sebanyak 32 orang per kelompok pegawai. Dengan menambahkan koreksi 10%, maka total subjek yang diambil adalah sebanyak 72 orang.
n=
n = besar sampel minimum
Z1- /2 = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada 0.05
Z1- = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada 0.1
P1 = perkiraan proporsi pegawai kantor yang beraktivitas rendah
P2 = perkiraan proporsi pada pegawai lapang yang beraktivitas rendah
P = (P1 + P2)/2
Calon subjek yang memenuhi kriteria inklusi berjumlah 76 orang. Sebanyak 8 orang calon subjek tidak menyelesaikan tahap wawancara dan 4 orang calon subjek tidak mengikuti tes kebugaran sehingga dikeluarkan dari penelitian. Jumlah subjek akhir yang mengikuti penelitian ini adalah sebanyak 32 subjek pegawai kantor dan 32 subjek pegawai lapang.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan merupakan data primer. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan kuesioner dan pengukuran langsung. Data primer terdiri dari data karakteristik subjek (usia, besar keluarga, dan pendapatan per bulan), status gizi, konsumsi pangan, aktivitas fisik, kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok, dan tingkat kebugaran. Data konsumsi pangan diperoleh dengan melakukan recall 1x24 jam selama dua hari, yaitu pada hari kerja dan hari libur.
Aktivitas fisik subjek ditentukan dengan melakukan recall aktivitas fisik 1x24 jam pada dua hari berbeda melalui wawancara. Tingkat kebugaran diperoleh berdasarkan hasi test Cooper 12 menit. Tes Cooper 12 menit merupakan tes lapang yang paling sering digunakan untuk memperkirakan VO2 max. Selama
test, subjek diminta untuk berlari atau berjalan dengan jarak tempuh semaksimal mungkin selama 12 menit (Haff dan Charles 2011). Jenis dan cara pengumpulan data dalam penelitian dicantumkan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
Variabel Jenis data Cara Pengumpulan Data
Karakteristik subjek 1. Usia 2. Pendapatan
Primer Wawancara
Pola konsumsi
1. Jenis konsumsi pangan 2. Jumlah konsumsi pangan
Primer Recall 1x24 jam pada dua hari berbeda
Aktivitas fisik
1. Jenis aktivitas 2. Alokasi waktu
Primer Recall aktivitas fisik 1x24 jam pada dua hari berbeda Kebugaran Kardioresporatori
1. Estimasi VO2 max
Primer Tes Cooper 12 menit Status gizi
1. BB 2. TB
Primer 1. Timbangan BB digital 2. Stature Meter Kebiasaan olahraga 1. Kebiasaan olahraga 2. Frekuensi olahraga 3. Durasi olahraga Primer Wawancara Kebiasaan merokok 1. Jumlah rokok Primer Wawancara
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah diperoleh diperiksa terlebih dahulu sebelum dilakukan pengolahan untuk memastikan tidak ada data yang terlewati. Tahapan pengolahan data yaitu editing, coding, entry, cleaning, dan kemudian dianalisis. Pengolahan dan analisis data dilakukan menggunakan software Microsoft Excel 2007 serta
Statistical Product and Service Solution(SPSS) versi 16.0 for Windows.
Karakteristik Subjek
Data usia subjek dikategorikan menjadi (1) remaja (13-19 tahun); (2) dewasa muda (20-30 tahun); (3) dewasa madya (31-50 tahun); (4) dewasa lanjut (51-75 tahun). Besar keluarga dikelompokkan berdasarkan BKKBN (1998) yaitu: (1) kecil (4 orang); (2) sedang (5-6 orang); (3) besar ((≥7 orang). Pendapatan perkapita dikelompokkan berdasarkan BPS Jawa Barat (2014) menjadi miskin (< Rp 302 735) dan tidak miskin (≥Rp 302 735).
Tingkat Kecukupan Zat Gizi Makro
Data konsumsi pangan diperoleh dari metode penimbangan dan food recall
1 x 24 jam selama dua hari berbeda. Data konsumsi pangan yang meliputi jenis dan jumlah pangan, kemudian dikonversikan ke dalam kandungan gizi yaitu energi, protein, lemak dan karbohidrat berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) menggunakan program Microsoft Excel 2013. Rumus perhitungan zat gizi makanan sebagai berikut (Hardinsyah dan Briawan 1994).
Keterangan:
KGij = Kandungan zat gizi ke-i dalam bahan makanan ke-j Bj = Berat makanan ke-j yang dikonsumsi
Gij = Kandungan zat gizi ke-i dalam 100 gram BDD bahan makanan ke-j BDDj = Bagian yang dapat dimakan dalam bahan makanan ke-j
Untuk menentukan Angka Kecukupan Gizi (AKG) subjek digunakan rumus:
AKGI = (Ba/Bs) x AKG Keterangan:
AKGI = Angka kecukupan gizi subjek Ba = Berat badan aktual sehat (kg) Bs = Berat badan standar (kg) AKG = Angka Kecukupan Gizi (2013)
Tingkat kecukupan zat gizi makro selanjutnya diperoleh dengan cara membandingkan jumlah konsumsi zatgizi dengan angka kecukupan gizinya. Rumus yang digunakan adalah
TKG = (K/AKGI) x 100% Keterangan :
TKG = Tingkat kecukupan zat gizi K = Konsumsi zat gizi
AKGI = Angka kecukupan gizi subjek
Tingkat kecukupan zat gizi subjek kemudian dikelompokkan berdasarkan Klasifikasi Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi. Kategori tingkat kecukupan energi dan zat gizi disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan zat gizi
Zat Gizi Klasifikasi Tingkat Kecukupan
Energi dan protein a. Defisit tingkat berat b. Defisit tingkat sedang c. Defisit tingkat ringan d. Normal
e. Di atas angka kebutuhan
<70% angka kebutuhan 70-79% angka kebutuhan 80-89% angka kebutuhan 90-119% angka kebutuhan ≥120% angka kebutuhan Lemak a. Kurang b. Normal c. Lebih <20% kebutuhan energi 20-30% kebutuhan energi >30% kebutuhan energi Karbohidrat a. Kurang b. Normal c. Lebih <50% kebutuhan energi 50-65% kebutuhan energi >65% kebutuhan energi Sumber : Depkes (2003) dan Kemenkes (2014)
Status Gizi
Data berat badan dan tinggi badan yang diperoleh dimasukkan ke dalam rumus perhitungan IMT
IMT kemudian dikategorikan berdasarkan kategori (Depkes 2005), yaitu status gizi kurang (IMT < 18,5 kg/m2), status gizi normal (IMT 18.5-25 kg/m2) dan status gizi lebih (IMT >25 kg/m2).
Aktivitas Fisik
Data aktivitas fisik diperoleh melalui recall aktivitas fisik 1x24 jam pada dua hari berbeda,meliputi jenis aktivitas yang dilakukan subjek dan lama waktu melakukan aktivitas dalam sehari (24 jam). Data aktivitas fisik diolah menggunakan program Microsoft Excel 2013. Besarnya aktivitas fisik yang dilakukan subjek selama 24 jam dinyatakan dalam PAL (Physical Activity Level). PAL merupakan besarnya energi yang dikeluarkan (kkal) per kilogram berat badan dalam 24 jam. Nilai PAR (Physical Activity Rate) untuk berbagai jenis aktivitas dan tingkat aktivitas fisik mengacu pada WHO/FAO (2001) tercantum dalam Tabel 3.
Tabel 3 Contoh kategori aktivitas fisik berdasarkan nilai PAR
Aktivitas Fisik PAR/satuan waktu
Tidur 1.0
Berkendaraan dalam bus/mobil 1.2
Aktivitas santai (nonton TV dan mengobrol) 1.4
Makan 1.5
Duduk 1.5
Mengendarai mobil/berjalan 2.0
Memasak 2.1
Berdiri, membawa barang yang ringan 2.2
Sumber : FAO/WHO/UNU (2001)
PAL ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
PAL = Keterangan :
PAL =Physical Activity Level (tingkat aktivitas fisik)
PAR =Physical Activity Ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk jenis aktivitas per satuan waktu tertentu)
Data PAL yang diperoleh kemudian dikategorikan berdasarkan tabel kategori tingkat aktivitas fisik.
Tabel 4 Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL
Kategori aktivitas Nilai PAL
Sangat ringan <1.4
Ringan (sedentary lifestyle) 1.40-1.69
Sedang (active or moderately active lifestyle) 1.70-1.99 Berat (vigorous or vigorously active lifestyle) 2.00-2.40 Sumber : FAO/WHO/UNU (2001)
Tingkat Kebugaran
Tingkat kebugaran diukur dengan menghitung estimasi VO2 max
dengan menggunakan Microsoft Excel 2013. Berdasarkan Haff dan Charles (2011), persamaan yang digunakan untuk memperkirakan VO2 max adalah
VO2max (mL/kg/mnt) = 0.0268 x (jarak tempuh dalam km) -11.3
VO2 max kemudian dikategorikan ke dalam tingkat kebugaran laki-laki
berdasarkan (Hoeger et al. 2001).
Tabel 5 Kategori kebugaran berdasarkan VO2 max
Usia Kategori
Kurang Cukup Sedang Baik Baik Sekali
<29 <24,9 25-33,9 34-43,9 44-52,9 >53 30-39 <22,9 23-30,9 31-41,9 42-49,9 >50 40-49 <19,9 20-26,9 27-38,9 39-44,9 >45 50-59 <17,9 18-24,9 25-37,9 38-42,9 >43 Sumber: Hoeger et al. 2001
Kebiasaan Olahraga
Data kebiasaan olahraga diolah menggunakan Microsoft Excel 2013. Kebiasaan olahraga dikategorikan berdasarkan durasi berolahraga selama seminggu menurut Depkes (2005). Kategori kebiasaan olahraga terdiri dari (1) kurang, jika durasi olahraga <90 menit per minggu; (2) baik, jika durasi olahraga ≥90 menit per minggu.
Kebiasaan Merokok
Data kebiasaan merokok diolah menggunakan Microsoft Excel 2013. Kebiasaan merokok dikelompokkan berdasarkan jumlah konsumsi rokok per hari menurut Sitepoe (2000) dalam Alamsyah (2009). Kategori kebiasaan merokok terdiri dari (1) ringan, jika konsumsi rokok ≤ 10 batang per hari; (2) sedang, jika konsumsi rokok 11-20 batang per hari; dan (3) berat, jika konsumsi rokok >20 batang per hari.
Definisi Operasional
Aktivitas fisik adalah kegiatan yang dilakukan selama satu hari (24 jam) meliputi jenis dan lama waktu.
Indeks massa tubuh adalah perbandingan antara berat badan (kg) dengan kuadrat tinggi badan (m2).
Kebiasaan merokok adalah jumlah rokok yang dihisap dalam satu hari dinyatakan dalam batang.
Kebiasaan olahraga adalah aktivitas fisik yang dilakukan secara terstruktur dan terencana untuk meningkatkan kesehatan atau kebugaran dinyatakan dalam durasi kegiatan (menit) selama satu minggu.
Kebugaran kardiorespiratori adalah kemampuan sistem respirasi dan sirkulasi untuk memberikan oksigen kepada otot selama seseorang menjalankan aktivitas fisik serta dikategorikan berdasarkan VO2 max.
Kebutuhan zat gizi adalah jumlah zat gizi yang diperlukan selama satu hari berdasarkan referensi AKG (2013).
Pendapatan per kapita perbulan adalah jumlah penghasilan per anggota keluarga dalam satu bulan.
Status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antarajumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requirement) untuk digunakan (utilization) berbagai fungsi biologis yang ditentukan melalui Indeks Massa Tubuh.
Subjek pegawai kantor adalah pegawai PT Indocement di Citeureup Bogor yang sebagian besar pekerjaannya ditempatkan di kantor maupun ruangan
Subjek lapang adalah pegawai PT Indocement di Citeureup Bogor yang sebagian besar pekerjaannya berada di lapang.
Tingkat kecukupan gizi adalah perbandingan antara jumlah konsumsi zat gizi aktual dengan jumlah kebutuhan zat gizi yang dinyatakan dalam persen.
Usia adalah lama hidup subjek dari mulai dilahirkan hingga terlibat dalam penelitian dan dinyatakan dalam tahun.
VO2 max adalah jumlah maksimum oksigen dalam miliLiter yang dapat
digunakan subjek selama melakukan tes Cooper 12 menit.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Perusahaan
PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. (ITP) merupakan salah satu produsen bahan bangunan terbesar di Indonesia yang memproduksi berbagai jenis semen yang dipasarkan dengan merek dagang Semen Tiga Roda. PT. ITP didirikan pada tahun 1985 dan dioperasikan secara terpadu dengan total kapasitas produksi per tahun mencapai 18.6 juta ton per tahun. Saat ini, PT. ITP mengoperasikan 12 pabrik, sembilan di antaranya berlokasi di Citeureup, Bogor, dua pabrik di Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, dan satu pabrik di Tarjun, Kota Baru, Kalimantan Selatan. Jumlah total pegawai di head office, Citeureup, Cirebon, dan Tanjun adalah 6625 orang. Lokasi pekerjaan pegawai tersebar pada beberapa tempat yaitu kantor, produksi, dan daerah pertambangan. Sebagian besar pegawai berjenis kelamin laki-laki. Pegawai memiliki jam kerja normal dan shift. Rata-rata lama waktu bekerja adalah 8 jam sehari. Tidak terdapat penyelenggaraan makanan bagi pegawai. Sebagian besar pegawai membawa bekal atau memanfaatkan fasilitas kantin untuk kegiatan makan siang.
Salah satu divisi yang terdapat di PT. Indocement adalah Divisi
Occupational Health Medical Service (OHMS). Divisi ini bertugas menangani masalah kesehatan dan keselamatan kerja. Beberapa program yang dijalankan oleh divisi ini adalah penyuluhan tentang gizi dan kesehatan pada karyawan, dan senam aerobik Jantung Sehat setiap 2 kali seminggu di seluruh divisi.
Karakteristik Subjek Penelitian
Subjek terdiri dari 32 pegawai lapang dan 32 pegawai kantor. Semua subjek merupakan pegawai laki-laki. Sebaran subjek berdasarkan usia disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6 Sebaran subjek berdasarkan usia
Kategori Usia Kantor Lapang n % n % Remaja 1 3 1 3 Dewasa muda 7 22 10 31 Dewasa madya 14 44 17 53 Dewasa lanjut 10 31 4 13 Total 32 100 32 100
Berdasarkan Tabel 6, pegawai kantor (44%) dan pegawai lapang (53%) sebagian besar termasuk dalam kategori dewasa madya. Jumlah anggota keluarga rata-rata pegawai kantor adalah sebanyak 3.5 ± 1.9 orang. Jumlah anggota keluarga pegawai lapang adalah sebanyak 3.4 ± 2.1 orang. Pendapatan perkapita ditentukan berdasarkan kategori BPS Jawa Barat (2014), menjadi miskin (<Rp 302 735) dan tidak miskin (≥Rp 302 735). Sebaran subjek berdasarkan pendapatan perkapita disajikan dalam Tabel 7.
Tabel 7 Sebaran subjek berdasarkan pendapatan per kapita/bulan
Kategori Pendapatan Kantor Lapang n % n % Miskin 0 0 0 0 Tidak miskin 32 100 32 100 Total 32 100 32 100
Berdasarkan Tabel 7, semua pegawai kantor termasuk dalam kategori tidak miskin (100%). Rata-rata pendapatan per kapita per bulan pegawai kantor adalah Rp 2 464 844 ± Rp 1 718 286. Pegawai lapang memiliki sebaran yang sama, yaitu sebanyak 100% termasuk dalam kategori tidak miskin. Rata-rata pendapatan per kapita per bulan subjek pegawai lapang sebesar Rp 1 906 306 ± Rp 1 192 128.
Status Gizi
Menurut CDC (2014), salah satu pendekatan yang digunakan untuk mengukur status gizi adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). Sebaran subjek berdasarkan status gizi disajikan dalam Tabel 8.
Tabel 8 Sebaran subjek menurut status gizi berdasarkan IMT
Kategori Status Gizi
Kantor Lapang p n % n % Kurus 2 6.2 2 6.2 0.176 Normal 19 59.4 25 78.2 Gemuk 6 18.8 2 6.2 Obes 5 15.6 3 9.4 Total 32 100 32 100
Berdasarkan Tabel 8, status gizi subjek pegawai kantor dan lapang tersebar pada kategori kurus, normal, gemuk, dan obes. Sebagian besar subjek memiliki status gizi normal, baik kelompok kantor (59%) maupun kelompok lapang (78%). Nilai rata-rata IMT pada kelompok pegawai kantor (23.6± 3.1 kg/m2) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pegawai lapang (22.6± 2.6 kg/m2). Meskipun rata-rata IMT kelompok pegawai kantor lebih tinggi, hasil uji beda Mann-Whitney
tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara IMT kelompok kantor dan lapang (p=0.157). Hal ini dapat dilihat dari sebaran jumlah masing-masing kelompok subjek yang cukup sama. Kedua kelompok menyebar dalam setiap kategori status gizi dengan persentase yang tidak jauh berbeda. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Silventoinen et al. (2013), penelitian tersebut menunjukkan nilai rata-rata IMT pegawai di Jepang yang hampir sama pada setiap kategori pekerjaan, yaitu berkisar antara 23.1 hingga 23.6 kg/m2. Penelitian lain yang dilakukan oleh Duncan et al. (2013) juga menunjukkan hal yang sama, yaitu tidak terdapat perbedaan IMT antara “pegawai kerah putih” (jabatan lebih tinggi) dengan “pegawai kerah biru” (jabatan lebih rendah).
Tingkat Kecukupan Zat Gizi Makro
Angka Kecukupan Gizi (AKG) merupakan suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan usia, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal (Depkes 2013). AKG digunakan sebagai acuan untuk menentukan Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) subjek. Tingkat kecukupan zat gizi makro terdiri dari tingkat kecukupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat.
Tingkat Kecukupan Energi
Subjek penelitian berada dalam 3 golongan usia pada tabel Angka Kecukupan Gizi (2013). Angka Kecukupan Energi (AKE) subjek usia 19-25 tahun adalah 2725 kkal per hari. Subjek dengan usia 30-49 tahun memiliki AKE sebesar 2625 kkal per hari. Sementara itu subjek dengan usia 50-64 tahun memiliki AKE sebesar 2325 kkal per hari. Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi
Tingkat kecukupan energi
Kantor Lapang p n % n % Defisit berat 17 53 10 31 0.703 Defisit sedang 5 16 8 25 Defisit ringan 3 9 7 22 Normal 6 19 7 22 Lebih 1 3 0 0 Total 32 100 32 100
Rata-rata jumlah asupan energi pada subjek pegawai kantor selama dua hari adalah 1940 ± 434 kkal. Rata-rata jumlah asupan energi pada subjek pegawai lapang adalah 1983 ± 430 kkal. Berdasarkan Tabel 9, sebagian besar (78%) subjek pegawai kantor mengalami defisit energi. Hal yang sama terjadi pada pegawai lapang, yaitu sebanyak 78% subjek mengalami defisit energi. Penelitian Sartika (2012) menunjukkan kecenderungan hasil yang sama, yaitu sebagian besar (92.2%) pegawai memiliki asupan energi yang kurang. Kurangnya asupan zat gizi pegawai dapat disebabkan karena pada saat recall konsumsi pangan dilakukan rata-rata waktu makan pegawai hanya terdiri dari tiga kali makan utama dan pegawai sangat jarang mengkonsumsi makanan tambahan.
Rata-rata tingkat kecukupan energi subjek pegawai kantor dan pegawai lapang adalah 73.4 ± 19.5 % dan 75.1 ± 16.2%. Rata-rata tingkat kecukupan energi pada pegawai kantor lebih rendah 26.6% untuk dapat memenuhi anjuran tingkat kecukupan normal menurut Kemenkes (2014). Rata-rata tingkat kecukupan energi pada pegawai lapang 14.9% lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kecukupan normal menurut Kemenkes (2014). Kecenderungan hasil yang sama ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Dabhadker et al. (2013) pada pekerja tambang di India, hasil penelitian menunjukkan bahwa asupan energi pekerja berada di bawah standar kebutuhan gizi per hari. Selisih asupan energi berada pada rentang 11% hingga 36.4% dari sandar kebutuhan, sehingga tingkat kecukupan energinya termasuk kategori kurang.
Meskipun rata-rata tingkat kecukupan energi pegawai lapang lebih tinggi dibandingkan pegawai kantor, hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi pegawai kantor dengan pegawai lapang (p>0.05). Hal ini sejalan dengan penelitian Smith dan Baghrust (1992) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kecukupan zat gizi antara “pegawai kerah putih”, kerah biru, dan petani.
Tingkat Kecukupan Protein
Angka Kecukupan Protein (AKP) subjek usia 19-29 tahun adalah 62 g per hari. Subjek dengan usia 30-49 tahun memiliki AKP sebesar 65 g per hari. Subjek dengan usia 50-64 tahun memiliki AKP sebesar 65 g per hari. Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan protein disajikan dalam Tabel 10.
Tabel 10 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan protein
Tingkat kecukupan protein
Kantor Lapang p n % n % Defisit berat 9 28 7 22 0.322 Defisit sedang 6 19 4 13 Defisit ringan 7 22 6 18 Normal 9 28 13 41 Lebih 1 3 2 6 Total 32 100 32 100
Rata-rata asupan protein selama dua hari pada subjek pegawai kantor adalah 55.4 ± 11.9 g. Rata-rata asupan protein selama dua hari pada subjek pegawai lapang adalah 55.9 ± 11.7 g. Berdasarkan Tabel 10, pegawai kantor sebagian besar memiliki tingkat kecukupan protein yang termasuk dalam kategori defisit (69%), begitu pula dengan pegawai lapang sebagian besar (54%) tingkat kecukupan protein pegawai termasuk kategori defisit. Rata-rata tingkat kecukupan protein pegawai kantor adalah 82.4 ± 17.3%. Nilai rata-rata ini lebih rendah 7.6% dibandingkan dengan tingkat kecukupan protein normal (Kemenkes 2014). Rata-rata tingkat kecukupan protein pegawai lapang adalah 87.0 ± 19.4%, sehingga perlu ditingkatkan minimal sebesar 3% untuk dapat mencapai anjuran normal (Kemenkes 2014). Hasil penelitian Dabhadker et al. (2013) menunjukkan bahwa asupan protein pada pekerja tambang yang diteliti berada di bawah standar rekomendasi. Sebagian besar pekerja tambang mengalami defisiensi protein. Walaupun rata-rata tingkat kecukupan protein pegawai lapang lebih besar dibandingkan dengan pegawai kantor, hasil uji beda tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan protein kedua kelompok pegawai (p>0.05).
Tingkat Kecukupan Lemak
Angka Kecukupan Lemak (AKL) subjek usia 19-29 tahun adalah 91 g per hari. Subjek dengan usia 30-49 tahun memiliki AKL sebesar 73 g per hari. Subjek dengan usia 50-64 tahun memiliki AKL sebesar 65 g per hari. Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan lemak disajikan dalam Tabel 11.
Tabel 11 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan lemak
Tingkat kecukupan lemak
Kantor Lapang p n % n % Kurang 14 44 12 38 0.354 Normal 13 41 13 41 Lebih 5 15 7 21 Total 32 100 32 100
Rata-rata jumlah asupan lemak selama dua hari pada subjek pegawai kantor adalah 64.5 ± 18.5 g. Rata-rata jumlah asupan lemak selama dua hari pada subjek pegawai lapang adalah 71.1 ± 22.3 g. Sebagian besar subjek kelompok kantor memiliki tingkat kecukupan lemak pada kategori kurang (44%) dan normal (44%). Sebagian besar kelompok lapang memiliki tingkat kecukupan lemak yang normal (41%) dan kurang (38%). Menurut Kemenkes (2014), kecukupan lemak
yang baik adalah jika perbandingan komposisi energi dari lemak adalah sebesar 20-30% kebutuhan. Rata-rata kontribusi lemak terhadap energi pada kelompok kantor adalah 22.2 ± 7.7%. Rata-rata kontribusi lemak terhadap energi pada kelompok 24.4 ± 8.6%. Rata-rata persen kontribusi lemak terhadap energi kelompok kantor dan lapang berada dalam rentang tingkat kecukupan normal menurut Kemenkes (2014). Hasil tersebut berbeda dengan penelitian Dabhadker
et al. (2013) yang menunjukkan bahwa rata-rata asupan lemak pekerja tambang memiliki asupan lemak yang rendah, yaitu dengan selisih pada rentang 18.14% hingga 38.9% dari standar kebutuhan yang disarankan. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena bentuk olahan makanan yang paling sering dikonsumsi oleh subjek adalah digoreng menggunakan minyak kelapa sawit. Minyak kelapa sawit memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi sehingga konsumsi lemak subjek meningkat. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kecukupan lemak pada kedua kelompok subjek (p>0.05) meskipun rata-rata kecukupan lemak kelompok lapang lebih tinggi dibandingkan kelompok kantor.
Tingkat Kecukupan Karbohidrat
Angka kecukupan karbohidrat subjek usia 19-29 tahun adalah 375 g per hari. Subjek dengan usia 30-49 tahun memiliki angka kecukupan karbohidrat sebesar 394 g per hari. Subjek dengan usia 50-64 tahun memiliki angka kecukupan karbohidrat sebesar 349 g per hari. Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan karbohidrat disajikan dalam Tabel 12.
Tabel 12 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan karbohidrat
Tingkat kecukupan karbohidrat
Kantor Lapang p n % n % Kurang 23 72 20 63 0.476 Normal 6 19 12 38 Lebih 3 9 0 0 Total 32 100 32 100
Rata-rata jumlah asupan karbohidrat pada subjek pegawai kantor adalah 291.9 ± 86.8 g. Rata-rata jumlah asupan karbohidrat subjek pegawai lapang selama dua hari adalah 298.5 ± 70.7 g. Sebagian besar (72%) subjek kantor memiliki tingkat kecukupan karbohidrat yang kurang. Rata-rata persen kontribusi karbohidrat terhadap energi pada kelompok kantor adalah 44.2 ± 14.7%. Kemenkes (2014) menyatakan bahwa kecukupan karbohidrat yang normal jika perbandingan komposisi energi dari karbohidrat sebesar 50-65% kebutuhan. Hal ini berarti bahwa rata-rata persen kontribusi karbohidrat terhadap energi pada kelompok kantor 5.8% kurang dari anjuran Kemenkes (2014).
Sebanyak 63% subjek kelompok lapang memiliki tingkat kecukupan karbohidrat yang kurang. Rata-rata persen kontribusi karbohidrat terhadap energi pada kelompok lapang adalah 45.0 ± 9.8%. Rata-rata ini lebih kecil sebesar 5% dibandingkan dengan anjuran kecukupan karbohidrat yang normal dari Kemenkes (2014). Uji beda tingkat kecukupan karbohidrat kedua kelompok menunjukkan tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan (p>0.05).
Data yang dsajikan pada Tabel 9, 10,11, dan 12 menunjukkan bahwa secara umum konsumsi energi, protein, lemak, dan karbohidrat pegawai lapang lebih
baik dibandingkan dengan pegawai kantor. Kondisi tersebut diikuti dengan lebih baiknya kondisi status gizi pada pegawai lapang. Almatsier (2001) menyatakan status gizi sebagai keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik merupakan gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot-otot rangka, membutuhkan pengeluaran energi serta memberikan manfaat bagi kesehatan (Hoeger et al. 2001). Rata-rata PAL subjek pada hari kerja dan libur disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13 PAL subjek pada hari kerja dan libur
Rata-Rata PAL Kantor Lapang p
Hari kerja 1.69 ± 0.14 2.01 ± 0.14 0.000
Hari libur 1.61 ± 0.17 1.76 ± 0.29 0.039
Berdasarkan Tabel 13, dapat diketahui bahwa PAL hari kerja antara subjek kantor dan lapang berbeda secara signifikan (p<0.05). Rata-rata PAL hari kerja kelompok lapang lebih tinggi dibandingkan kelompok kantor. Aktivitas fisik hari kerja kelompok kantor sebagian besar berada pada kategori ringan (56.3%). Sebanyak 40.6% subjek kantor memiliki aktivitas hari kerja sedang dan 3.1% memiliki aktivitas yang berat. Subjek pegawai lapang memiliki aktivitas fisik yang berat (62.5%), 34.3% memiliki aktivitas fisik sedang dan 3.2% memiliki aktivitas fisik ringan. Tingginya aktivitas fisik pada subjek lapang berkaitan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan di lapang seperti berjalan, naik-turun tangga, jongkok, berdiri, dan kegiatan pertambangan, sedangkan aktivitas yang dilakukan subjek kantor cenderung ringan hingga sedang.
Nilai PAL hari libur antara kedua kelompok juga menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05). Rata-rata PAL hari libur kelompok lapang lebih tinggi dibandingkan kelompok kantor. Sebaran aktivitas fisik subjek kantor pada hari libur terdiri dari aktivitas fisik ringan (71.9), aktivitas sedang (18.8%) dan aktivitas sangat ringan (6.3%). Subjek lapang memiliki aktivitas fisik tingkat ringan (37.4%), aktivitas fisik sedang (34.4%), aktivitas berat (18.8%) dan aktivitas sangat ringan (9.4%). Sebaran subjek berdasarkan rata-rata aktivitas fisik selama dua hari disajikan dalam Tabel 14.
Tabel 14 Sebaran subjek berdasarkan rata-rata aktivitas fisik selama dua hari
Aktivitas Fisik Kantor Lapang p n % n % Ringan 24 75.0 5 15.6 0.000 Sedang 8 25.0 19 59.4 Berat 0 0.0 8 25.0 Total 32 100 32 100
Berdasarkan Tabel 14, rata-rata aktivitas fisik subjek kantor sebagian besar (75.0%) berada dalam kategori ringan, sementara itu sebagian besar (59.4%)
aktifitas fisik subjek lapang termasuk dalam kategori sedang. Rata-rata aktivitas fisik selama dua hari subjek kantor (1.65 ± 0.13) lebih rendah dibandingkan subjek lapang (1.88 ± 0.20). Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara aktivitas fisik pegawai kantor dan pegawai lapang (p<0.05). Hal tersebut didukung oleh perbedaan jenis aktivitas fisik kedua kelompok pada hari kerja serta hari libur. Penelitian Kruger (2006) menunjukkan bahwa subjek yang memiliki kategori pekerjaan lebih berat cenderung memiliki proporsi aktivitas fisik sedang dan berat yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek dengan pekerjaan yang lebih ringan (p<0.05). Penelitian Leino-Arjas (2004) juga sejalan dengan hasil tersebut, yaitu “pegawai kerah biru” (jabatan lebih rendah) cenderung memiliki total aktivitas fisik yang lebih tinggi dibandingkan “pegawai kerah putih” (jabatan lebih tinggi).
Kebiasaan Olahraga
Olahraga merupakan aktivitas fisik yang dilakukan secara terstruktur, terencana, dan berkesinambungan dengan mengikuti aturan-aturan tertentu dan bertujuan untuk meningkatkan kebugaran jasmani dan prestasi (Depkes 2011). Kebiasaan olahraga subjek dinyatakan dalam durasi berolahraga dalam satu minggu (menit/minggu). Kebiasaan olahraga dikategorikan berdasarkan Depkes (2005). Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan olahraga disajikan dalam Tabel 15.
Tabel 15 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan olahraga
Kategori Kebiasaan Olahraga
Kantor Lapang p n % n % Kurang 9 28.1 22 68.8 0.002 Baik 23 71.9 10 31.2 Total 32 100 32 100
Berdasarkan Tabel 15, sebagian besar (71.9%) subjek kantor memiliki kebiasaan berolahraga yang baik atau memenuhi anjuran Depkes (2005), yaitu minimal 90 menit perminggu. Rata-rata lama berolahraga dalam satu minggu pada subjek kantor (160.3 ± 118.0 menit) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lapang (89.1 ± 167.6 menit). Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) antara kebiasaan olahraga subjek kantor dengan subjek lapang. Hal tersebut dapat dilihat dari kecenderungan kelompok kantor yang sebagian besar berada pada kategori baik, sedangkan kelompok lapang memiliki kecenderungan yang sebaliknya. Sebanyak 56.2% kelompok lapang tidak terbiasa berolahraga (0 menit perminggu). Persentase subjek kantor yang tidak berolahraga lebih sedikit, yaitu sebanyak 18.8 %. Penelitian Leino-Arjas (2004) menunjukkan bahwa “pegawai kerah putih” cenderung memiliki kebiasaan olahraga lebih tinggi dibandingkan “pegawai kerah biru”. Hal ini terkait dengan beban fisik saat bekerja yang dimiliki oleh pekerja kerah putih lebih berat dibandingkan pekerja kerah biru. Sehingga waktu luang lebih dimanfaatkan untuk beristirahat.
Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok subjek dinyatakan dalam jumlah konsumsi rokok per hari. Kategori kebiasaan merokok ditetapkan berdasarkan Sitepoe (2000) dalam Alamsyah (2009). Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan merokok disajikan dalam Tabel 16.
Tabel 16 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan merokok
Kategori Merokok Kantor Lapang p n % n % Tidak 27 84.4 21 65.6 0.044 Ringan 5 15.6 6 18.8 Sedang 0 0.0 5 15.6 Total 32 100 32 100
Berdasarkan Tabel 16, sebagian besar (84.4%) kelompok kantor tidak memiliki kebiasaan merokok, atau dapat dikatakan bahwa jumlah rokok yang dikonsumsi selama satu hari adalah 0 batang. Kebiasaan merokok kelompok kantor tersebar pada kategori tidak merokok dan ringan (<10 batang per hari). Jumlah rokok terbanyak pada kelompok kantor adalah sebanyak 10 batang per hari. Sementara itu sebanyak 65.6% kelompok lapang tidak memiliki kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok kelompok lapang tersebar pada kategori tidak merokok, ringan (≤10 batang per hari), dan sedang (11-20 batang per hari). Jumlah rokok tertinggi pada kelompok lapang adalah sebanyak 17 batang per hari. Rata-rata jumlah rokok yang dihisap pegawai lapang (3.2 ± 5.3 batang) lebih tinggi dibandingkan pegawai kantor (1.1 ± 2.7 batang). Hasil uji beda Independent sample T-Test menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05) pada kebiasaan merokok antara kelompok kantor dan lapang.
Tingkat Kebugaran Kardiorespiratori
Kebugaran dapat dibedakan menurut aspek yang berhubungan dengan kinerja dan yang berkaitan dengan kesehatan. Salah satu aspek kebugaran yang berhubungan dengan kesehatan adalah kebugaran kardiorespiratori. Kebugaran kardiorespiratori berhubungan dengan sistem respirasi dan sirkulasi untuk memberikan oksigen kepada otot selama seseorang menjalankan aktivitas fisik (Gibney et al. 2005). Tingkat kebugaran kardiorespiratori dapat dihitung dengan menggunakan Volume Oksigen Maksimum (VO2 max). VO2 max merupakan
jumlah maksimum oksigen dalam miliLiter yang dapat digunakan seseorang dalam satu menit per kilogram berat badan. Estimasi VO2 max dalam penelitian
ini diperoleh berdasarkan tes Cooper 12 menit (Haff dan Charles 2011) yang dikategorikan berdasarkan Hoeger et al. (2001) menurut usia dan jenis kelamin. Sebaran subjek berdasarkan VO2 max disajikan dalam Tabel 17.
Tabel 17 Sebaran subjek berdasarkan kategori VO2 max Kategori VO2max Kantor Lapang p n % n % Kurang 13 40.6 9 28.1 0.361 Cukup 14 43.8 18 56.3 Sedang 4 12.5 4 12.5 Baik 0 0.0 1 3.1 Sangat baik 1 3.1 0 0.0 Total 32 100 32 100
Berdasarkan Tabel 17, sebagian besar (59.4%) subjek kantor memiliki VO2
max yang cukup dan lebih dari cukup, sedangkan pada subjek lapang sebesar (71.9%). Rata-rata VO2 max kelompok kantor adalah 22.9 ± 7.49 mL/kg/mnt
sedangkan rata-rata nilai VO2 max subjek lapang adalah sebesar 24.4 ± 7.57
mL/kg/mnt. Data tersebut menunjukkan bahwa secara umum tingkat kebugaran kelompok subjek lapang relatif lebih baik dibandingkan subjek kantor. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian D’Allesio (2007) yang menunjukkan bahwa pegawai kategori sedentary memiliki VO2 max yang lebih rendah dibandingkan
pegawai non sedentary. Meskipun rata-rata VO2 max kelompok lapang lebih
tinggi dibandingkan kelompok kantor, hasil uji beda Mann-Whitney tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara VO2 max pada kedua
kelompok pegawai.
Data yang diperoleh dalam penelitian menunjukkan bahwa tingkat kebugaran subjek yang bekerja di lapang secara umum lebih baik dibandingkan subjek yang bekerja di kantor. Hal ini dapat dijelaskan dari kecenderungan tingkat kecukupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat yang lebih baik pada kelompok lapang dibandingkan kelompok kantor. Meskipun kebiasaan olahraga kelompok kantor lebih baik, namun tingkat aktivitas fisik secara keseluruhan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok lapang sehingga VO 2 max kelompok kantor lebih
rendah. Selain itu, rata-rata IMT kelompok kantor lebih tinggi dibandingkan kelompok lapang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata VO2 max
kelompok kantor lebih rendah dibandingkan kelompok lapang. Penelitian Setty et al. (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang kuat antara obesitas dengan VO2 max (r=-0.88, p<0.05). Selanjutnya uji hubungan antara
variabel-variabel tersebut akan dilakukan dengan uji korelasi Spearman.
Uji Hubungan Antar Variabel Hubungan Usia Subjek dengan VO2 max
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan hubungan yang negatif antara usia dengan VO2 max kelompok kantor namun hubungan tersebut tidak mencapai
nilai signifikan (r=-0.336, p=0.06). Sebaran subjek kantor berdasarkan usia dan VO2 max dapat diketahui pada Lampiran 3. Uji korelasi Spearman antara usia
dengan VO2 max kelompok lapang menunjukkan adanya hubungan negatif yang
signifikan (r=-0.648, p=0.000). Sebaran subjek pegawai lapang berdasarkan usia dan VO2 max disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18 Sebaran subjek pegawai lapang berdasarkan usia dan VO2 max
VO2 Max Usia
Kurang Cukup Sedang Baik
Total % n % n % n % n % Remaja 0 0.0 1 100.0 0 0.0 0 0.0 1 100 Dewasa muda 1 10.0 6 60.0 2 20.0 1 10.0 10 100 Dewasa madya 6 35.3 9 52.9 2 11.8 0 0.0 17 100 Dewasa lanjut 2 50.0 2 50.0 0 0.0 0 0.0 4 100 Total 9 28.1 18 56.2 4 12.5 1 3.1 32 100
Hasil penelitian ini menunjukkan kecenderungan semakin bertambah usia subjek lapang semakin meningkat persentasi VO2 max yang berada pada kategori
kurang. Menurut Sephard (1987) dalam Huang et al. (2005) VO2 max sebagai
salah satu indeks dari kebugaran kardiorespiratori mengalami penurunan secara progresif seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Penelitian Posner et al.
(1995) menunjukkan bahwa pertambahan usia menyebabkan penurunan pada kemampuan dalam melakukan aktivitas fisik sehari-hari terkait dengan penurunan VO2 max pada usia 60 tahun.
Penurunan VO2 max yang terjadi karena pertambahan usia seseorang
disebabkan oleh menurunnya determinan VO2 max. Pertambahan usia
menyebabkan penurunan dalam pengantaran oksigen otot karena penurunan
cardiac output dan kemungkinan karena maldistribusi dari cardiac output. Selain itu, terjadi penurunan pada kapasitas oksidatif otot rangka seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini disebabkan oleh gangguan pada fungsi mitokondria sehingga terjadi penurunan VO2 max otot rangka mencapai 50% (Betik dan
Hepple 2008). Hasil yang tidak signifikan pada kelompok kantor kemungkinan disebabkan karena rata-rata pegawai kantor dengan usia yang lebih tinggi tidak memiliki VO2 max yang rendah karena subjek tersebut memiliki kebiasaan yang
baik seperti kebiasaan olahraga yang baik, tidak merokok, dan diet yang cenderung mencapai angka kecukupan gizi.
Hubungan IMT dengan VO2 max
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara IMT dengan VO2 max pada kelompok kantor (r= -0.277.
p=0.124) dan lapang (r=-0.285. p=0.114). Sebaran subjek berdasarkan IMT dan VO2 max dapat diketahui pada Lampiran 4 dan Lampiran 5. Hasil uji hubungan
pada kedua kelompok memiliki nilai koefisien yang negatif, yang dapat diartikan semakin tinggi nilai IMT semakin rendah VO2 max. Hubungan yang tidak
signifikan kemungkinan disebabkan karena perubahan perilaku seperti meningkatnya pengetahuan mengenai kesehatan sehingga terjadi peningkatan dalam frekuensi atau durasi berolahraga. Hal tersebut dapat memperbaiki nilai VO2 max.
Penelitian Ranjbar et al. (2014) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara IMT dengan VO2 max pada subjek laki-laki
sedenter, sedangkan penelitian Setty et al. (2013) menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif yang kuat antara obesitas dengan VO2 max (r=-0.88. p<0.05).
Sanada et al. (2007) menyatakan bahwa orang yang memiliki massa bebas lemak yang tinggi memiliki oksigen darah pada arteri dan vena yang lebih tinggi sehingga memiliki tingkat VO2 max yang lebih tinggi. IMT merupakan salah satu
indikator lemak tubuh (CDC 2014) sehingga dapat dikatakan bahwa orang dengan IMT yang tinggi memiliki kecenderungan massa bebas lemak yang rendah sehingga VO2 max menjadi rendah. Hasil yang tidak signifikan kemungkinan
disebabkan karena data IMT pada kedua kelompok cenderung homogen, sementara nilai VO2 max cenderung bevariasi yang dipengaruhi oleh faktor lain
seperti genetika, keadaan fisiologis dan status hidrasi.
Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi dengan VO2 max
Hasil uji Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dengan VO2 max subjek kelompok kantor dan
kelompok lapang (p>0.05). Hal tersebut tidak sama dengan penelitian Cuenca-Garcia et al. (2012) yang menunjukkan bahwa tingginya tingkat kebugaran kardiorespiratori berhubungan dengan tingginya total asupan energi. Hal yang sama terdapat pada uji korelasi antara tingkat kecukupan protein dengan VO2
max pada kedua kelompok yang menunjukkan tidak terdapatnya hubungan yang signifikan (p>005). Hasil uji Spearman juga menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara asupan lemak dan karbohidrat dengan VO2 max pada kedua
(p>0.05). Hasil uji yang tidak signifikan pada kedua kelompok sejalan dengan penelitian Adawiyah (2012) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan protein, lemak, dan karbohidrat dengan VO2 max.
Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi dan VO2 max dapat
diketahui pada Lampiran 6 sampai dengan Lampiran 13. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kecenderungan hubungan negatif antara tingkat kecukupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat dengan VO2 max. Hubungan yang negatif
kemungkinan disebabkan karena tingginya subjek yang mengalami defisit zat gizi namun hasil VO2 max tidak menunjukkan kecenderungan yang kurang. Hasil
yang tidak signifikan kemungkinan disebabkan karena terdapatnya faktor lain yang lebih mempengaruhi nilai VO2 max subjek seperti faktor genetika yang tidak
diukur dalam penelitian ini. Selain itu VO2 max merupakan hasil kumulatif dari
perilaku lampau hingga saat ini termasuk di dalamnya adalah perilaku konsumsi pangan, sehingga kemungkinan metode recall 1x24 jam selama dua hari pada penelitian ini belum mampu mewakili kebiasaan makan subjek pada masa sebelumnya. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan pengembangan teknik recall
untuk dapat menggambarkan kebiasaan makan dengan lebih baik.
Hubungan Aktivitas Fisik dengan VO2 max
Hasil uji korelasi Spearman antara aktivitas fisik dengan VO2 max pada
kelompok kantor memiliki nilai r=0.112 dan p=0.542. Sebaran subjek pegawai kantor berdasarkan aktivitas fisik dan VO2 max dapat diketahui pada Lampiran
14. Hasil uji korelasi menunjukkan adanya kecenderungan hubungan positif, namun nilainya tidak signifikan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh terdapatnya faktor lain yang mempengaruhi VO2 max subjek kelompok kantor
seperti faktor genetika dan fisiologis yang mempengaruhi proses pengantaran oksigen ke sel tubuh. Penelitian Hui et al. (2005) menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat aktivitas fisik dengan VO2 max (r=0.30. p>0.05)
pada laki-laki.
Hasil uji hubungan pada kelompok lapang memiliki nilai r=0.585. p=0.000. yang berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik
dengan VO2 max. Sebaran subjek kelompok lapang berdasarkan aktivitas fisik
dan VO2 max disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Sebaran subjek lapang berdasarkan aktivitas fisik dan VO2 max
VO2 Max Aktivtias Fisik
Kurang Cukup Sedang Baik
Total % n % n % n % n % Ringan 4 80.0 1 20.0 0 0.0 0 0.0 5 100 Sedang 4 21.1 13 68.4 2 10.5 0 0.0 19 100 Berat 1 12.5 4 50.0 2 25.0 1 12.5 8 100 Total 9 28.1 18 56.2 4 12.5 1 3.1 32 100
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin berat tingkat aktivitas fisik pegawai lapang, semakin sedikit persentase subjek yang memiliki VO2 max pada
kategori kurang dan persentase subjek dengan VO2 max yang baik semakin besar.
Oleh karena itu, hubungan antara aktivitas fisik dan VO2 max pegawai lapang
bersifat positif. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Wareham et al. (2000) yang menunjukkan bahwa aktivitas fisik dan VO2 max memiliki hubungan positif
(p<0.0.01). Aktivitas fisik yang cenderung tinggi menyebabkan kemampuan tubuh dalam mengedarkan serta memanfaatkan oksigen meningkat, seperti yang terjadi pada orang yang memiliki kebiasaan olahraga yang baik. Aktivitas fisik dapat meningkatkan efisiensi mekanis dan mengurangi pengeluaran energi. Orang-orang yang termasuk dalam kategori aktif memiliki efisiensi mekanis yang lebih baik daripada orang-orang yang tergolong dalam kategori sedentari serta jumlah energi yang digunakan lebih sedikit (Keytel et al. 2005).
Hubungan Kebiasaan Olahraga dengan VO2 max
Uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan olahraga dengan VO2 max kelompok kantor walaupun
hubunganya cenderung bersifat positif (r=0.153, p=0.403), sementara itu uji korelasi Spearman pada kelompok lapang menunjukkan hubungan yang positif signifikan (r=0.416, p=0.018). Sebaran subjek pegawai lapang berdasarkan kebiasaan olahraga dan VO2 max disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20 Sebaran subjek lapang berdasarkan kebiasaan olahraga dan VO2 max
VO2 Max Olahraga
Kurang Cukup Sedang Baik
Total %
n % n % n % n %
Kurang 9 40.9 10 45.5 3 13.6 0 0.0 22 100
Baik 0 0.0 8 80.0 1 10.0 1 10.0 10 100
Total 9 28.1 18 56.2 4 12.5 1 3.1 32 100
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subjek pegawai lapang dengan kebiasaan olahraga yang baik memiliki VO2 max pada kategori cukup hingga baik
serta tidak terdapat subjek dengan kategori kurang, sedangkan subjek lapang dengan kebiasaan olahraga yang kurang berada pada kategori kurang hingga sedang. Hal ini dapat menjelaskan hubungan yang positif antara kebiasaan olahraga dengan VO2 max. Semakin sering subjek berolahraga maka nilai VO2
max subjek akan semakin tinggi. Sebaran subjek kelompok kantor berdasarkan kebiasaan olahraga dapat diketahui pada Lampiran 15. Kecenderungan hubungan
yang positif terdapat pada kelompok kantor. Hubungan yang tidak signifikan pada kelompok kantor kemungkinan disebabkan karena faktor lain lebih berpengaruh terhadap VO2 max seperti genetik dan variasi pada pemanfaatan oksigen (Kravitz
dan Lance 2002).
Penelitian Huang et al. (2005) menujukkan bahwa terdapat peningkatan VO2 max secara signifikan pada subjek yang mengalami intervensi olahraga
selama lebih dari 20 minggu. Kebiasaan berolahraga menyebabkan peningkatan pada volume darah dan ukuran bilik jantung, sehingga volume akhir diastolik dan
stroke volume meningkat (Doohan 2000). Peningkatan stroke volume
menyebabkan jumlah darah yang dialirkan ke seluruh tubuh meningkat, maka jumlah oksigen yang dialirkan mealuli darah juga meningkat. Selain itu, olahraga juga meningkatkan kapilaritas pembuluh darah, jumlah mitokondria, serta enzim oksidatif yang berperan dalam peredaran oksigen di dalam darah (Holloszy 2008).
Hubungan Kebiasaan merokok dengan VO2 max
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan VO2 max kelompok kantor
walaupun hubungannya cenderung bersifat negatif (r=-0.94, p=0.610). Hal yang sama terdapat pada kelompok lapang, hubungan antara variabel cenderung negatif namun tidak mencapai level signifikan (r=-0.120, p=0.513).
Hubungan yang negatif mengindikasikan adanya kecenderungan bahwa semakin banyakjumlah rokok yang dihisap seseorang maka akan semakin rendah VO2 max orang tersebut. Kecenderungan hubungan yang negatif pada penelitian
ini dapat diketahui pada tabulasi silang antara kebiasaan merokok dengan VO2
max yang disajikan pada Lampiran 16 dan Lampiran 17. Penelitian Richard et al.
(2009) menunjukkan bahwa nilai VO2 kelompok perokok berat lebih rendah
secara signifikan dibandingkan kelompok perokok ringan dan sedang (p<0.01). Penuruan VO2 max kemungkinan disebabkan oleh gangguan pada fungsi dan
perkembangan paru-paru sebagai dampak dari kebiasaan merokok. Selain itu kadar karbon monoksida yang tinggi dalam darah dapat menyebabkan penurunan kemampuan sel dalam mengikat oksigen. Karbon monoksida akan lebih mudah terikat dengan hemoglobin (karboksi hemoglobin) dibandingkan dengan oksigen (ASH 2013).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Subjek pada penelitian ini merupakan pegawai PT. Indocement di Citeureup Bogor terdiri dari 32 subjek kelompok kantor dan 32 subjek kelompok lapang. Sebagian besar subjek kantor (44%) dan subjek lapang (53%) termasuk dalam kategori dewasa madya. Jumlah anggota keluarga subjek kantor adalah sebanyak 3.5 ± 1.9 orang, sedangkan jumlah anggota keluarga subjek lapang adalah sebanyak 3.4 ± 2.1 orang. Seluruhsubjek pada kedua kelompok pegawai termasuk dalam kategori tidak miskin.
Terdapat perbedaan aktivitas fisik kedua kelompok pegawai yang diteliti (p<0.05). Sebagian besar subjek kantor (75%) memiliki aktivitas fisik ringan dan kelompok lapang memiliki aktivitas fisik sedang (59.4%). Kebiasaan olahraga kelompok kantor lebih baik dibandingkan dengan kelompok lapang.
Tidak terdapat perbedaan antara tingkat kecukupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat pada kedua kelompok (p>0.05), meskipun tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada kelompok lapang cenderung lebih baik dibandingkan kelompok kantor.
Kedua kelompok subjek memiliki VO2 max yang tidak berbeda (p>0.05),
meskipun rata-rata VO2 max pada kelompok lapang lebih tinggi (24.4 ± 7.6)
dibandingkan dengan kelompok kantor (22.9 ± 7.5 mL/kg/mnt).
Hasil uji korelasi tidak menunjukkan adanya hubungan antara usia, kebiasaan olahraga, IMT, aktivitas fisik, tingkat kecukupan zat gizi makro dengan VO2 max pada kelompok kantor (p>0.05), sedangkan korelasi yang signifikan
ditemukan antara usia, kebiasaan olahraga, dan aktivitas fisik dengan VO2 max
pada kelompok lapang (p<0.05).
Secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok lapang memiliki tingkat kecukupan zat gizi, aktivitas fisik, status gizi, dan tingkat kebugaran yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok kantor.
Saran
Saran pada penelitian ini bagi pegawai adalah pegawai sebaiknya lebih memperhatikan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi agar dapat memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari. Selain itu pegawai perlu meningkatkan kebugaran dengan cara meningkatkan aktivitas fisik dengan meningkatkan pemanfaatan fasilitas serta program kebugaran yang terdapat di PT. Indocement. Saran bagi perusahaan agar perusahaan dapat menyediakan makanan pada waktu untuk makanan selingan agar dapat membantu meningkatkan pemenuhan kebutuhan zat gizi pegawai. Selain itu perusahaan sebaiknya menyediakan waktu tambahan bagi pegawai untuk dapat melakukan aktivitas olahraga. Untuk mengetahui kebiasaan makan dan aktivitas fisik subjek dengan lebih tepat diperlukan pengembangan teknik recall makanan dan aktivitas.
DAFTAR PUSTAKA
[ASH] Action on Smoking and Health. 2013. Smoking, heart, and circullation [internet]. [diacu 2014 September 1]. Tersedia dari: http://ash.org.uk
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Tenaga kerja [internet]. [diacu 2014 Agustus 20]. Tersedia dari: http://www.bps.go.id .
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2104. Jumlah dan persentase penduduk miskin, garis kemiskinan, indeks kedalaman kemiskinan (P1), dan indeks keparahan kemiskinan (P2) menurut ProvinsiMaret 2014 [internet]. [2014 September 20]. Tersedia dari: www.bps.go.id.