• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA TENTANG PEREMPUAN TAHUN 1922-1959 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sejarah Pada Program Studi Sejarah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SEJARAH PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA TENTANG PEREMPUAN TAHUN 1922-1959 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sejarah Pada Program Studi Sejarah"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA

TENTANG PEREMPUAN TAHUN 1922-1959

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Sejarah Pada Program Studi Sejarah

Oleh :

Iva Olami Hasdani

NIM. 144314007

PROGRAM STUDI SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

MOTTO

berjalan tak seperti rencana adalah jalan yang sudah biasa jalan satu-satunya, jalani sebaik kau bisa

(5)

GAS!-v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk Bapak, Ibuk dan Mbak Ernest yang secara

nyata mendukung saya dalam setiap pergumulan menyelesaikan skripsi. Tentu

saja, skripsi ini juga saya persembahkan untuk penulisan sejarah mengenai

(6)
(7)
(8)

viii

Abstrak

Iva Olami Hasdani,Sejarah Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Tentang Perempuan Tahun 1922-1959. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, 2019.

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga permasalahan. Pertama apa

yang melatar belakangi pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang perempuan.

Kedua apa saja buah pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang perempuan. Ketiga

bagaimana pengaruh pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang perempuan.

Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini yaitu metode sejarah

yang tahapnya antara lain heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.

Sumber primer yang dijadikan objek penelitian dalam skripsi ini yaitu

tulisan-tulisan Ki Hadjar Dewantara yang terdapat dalam bukunya yang berjudul

“Kebudayaan”, maupun dalam artikel-artikel pada majalah Wasita. Skripsi ini menggunakan perspektif sejarah pemikiran dan teori gender milik Jane Pilche dan

Imelda Whelehan. Kemudian beberapa konsep juga digunakan untuk

mempermudah membatasi penelitian yaitu konsep perempuan Jawa dan konsep

bangsawan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikiran Ki Hadjar Dewantara

mengenai perempuan yaitu kodrat bagi kaum perempuan adalah hal yang utama.

Kodrat bagi perempuan menurut Ki Hadjar Dewantara ialah menjadi ibu yang

mengandung, melahirkan serta menyusui anaknya. Kodrat perempuan yang

menjadi gagasan Ki Hadjar Dewantara merupakan aspek biologis yang dimiliki

oleh perempuan. Kendati demikian, Ki Hadjar Dewantara tetap memberi ruang

bagi kaum perempuan untuk berkarya dalam bidang pendidikan serta mempunyai

peran dan kedudukan yang sama dengan laki-laki.

(9)

ix

Abstract

Iva Olami Hasdani,Sejarah Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Tentang Perempuan Tahun 1922-1959. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, 2019.

This study is supposed to answer three main problems. First, what was

beyond Ki Hadjar Dewantara’s thought on woman, what are his thought on woman and the last one is how Ki Hadjar Dewantara’s thought on woman

affected.

The method which is used on the study is historical method, that could be

divided into some steps. Those steps are heuristic, source criticism, interpretation

and historiographic. The primary sources of the study are his writing on his book

entitled “Kebudayaan” or some of essays on the Wasita Magazine. Jane Pilche

and Imelda Whelehan writings are used on the study for the historical thought

perspective and gender studies. Then some concepts also apply on this study to

make a clear emphasize on the woman and nobility concept in Javanese culture.

Through all those methods and perspective, this study has successfully

drawn on what Ki Hadjar Dewantara’s thought on woman. He emphasized on the nature of a women as a mother. He believed that biologically woman has their

special roles as a mother which is supposed to be respected, such as give birth and

caring their children. However, He still gave a room for women to work in the

education perspective and have the same roles compares to men.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Skripsi bagi saya adalah suatu proses akademik yang cukup melelahkan.

Namun saya bersyukur karena saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

lancar. Meski dalam perjalanan mengerjakan skripsi, saya selalu menemui

kesulitan, akan tetapi banyak orang-orang yang selalu mendukung. Orang-orang

tersebutlah yang memacu saya untuk terus semangat meraih apa yang saya

impikan setelah saya lulus dari kuliah. Maka dari itu saya ingin mengucapkan

banyak terimakasih kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus atas berkat, perlindungan, kesehatan serta penyertaan

dalam kehidupan saya, terlebih saat saya bergumul pada proses

perkuliahan dan skripsi.

2. Kedua orang tua saya, Bapak Purwanto dan Ibu Sri Suprihatin, serta kakak

saya, Ernesta Katrini, yang tanpa henti memberi kasih sayang serta

dukungan untuk terus berkarya dalam hidup.

3. Dosen pembimbing skripsi, Bapak Heri Priyatmoko, M.A, yang selalu

memberikan pencerahan serta kesabaran dalam membimbing skripsi saya.

4. Para dosen Program Studi Sejarah, (alm) Ibu Lucia Juningsih, Bapak Hery

Santosa, Bapak Silverio R.L. Aji Sampurno, Bapak Yerry Wirawan,

Bapak Heri Priyatmoko, Romo Baskara T. Wardaya, Bapak Hieronymus

Purwanta, Bapak Manu, Ibu Retno, Ms. Siska, dan Mbak Diah yang telah

memberikan serta menambah wawasan saya mengenai sejarah Indonesia

dan sejarah Dunia.

5. Mas Doni selaku staf Sekretariat Program Studi Sejarah Fakultas Sastra

yang telah banyak membantu proses administrasi perkuliahan.

6. Pihak Perpustakaan serta Museum Kirti Griya Dewantara yang telah

(11)

xi

7. Pihak Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah banyak

membantu serta memfasilitasi saya dalam menulis skripsi.

8. Teman-teman seperjuangan saya di Program Studi Sejarah angkatan 2014

Axl Gerard Beelt, Gustanto, Katon Mahanani, Gregorius Aditya

Wicaksana, Bimo Bagas Basworo, Fransiska Sri Astuti, Tiur Angelina

O.B.N, Rosma, Charles Advendi Kurniawan, Ageng Pasek Dharmajati,

Luis Christian Anderson, Fransiskus Hendi, Andika Gilang Nugroho,dan

Achmad Hidayat Fajar.

9. Teman-teman Program Studi Sejarah baik kakak tingkat maupun adik

tingkat yang sudah memberikan warna dalam proses belajar saya di

Sejarah.

10. Teman-teman Teater Seriboe Djendela yang tidak bisa saya sebutkan satu

persatu, terimakasih karena sudah memperbolehkan saya masuk dalam

lingkar kekeluargaan yang luar biasa.

11. Teman-teman panitia JAKSA 2015 dan JAKSA 2016 atas seluruh

dinamikanya, terimakasih sudah mengajarkan saya tentang kesabaran dan

tanggung jawab.

12. Orang-orang terkasih saya Yohanes Marino, Lilis Pawestri, Agatha

Yuansa, Melinda Kristiana, Dhyaning Putri, Laurensius Dhion, Agatha

Carniela, Ayu Maharani, Waluyo Adi Santoso, dan Guruh Nugroho Aji

atas seluruh dukungan dan cinta kasih yang luar biasa.

Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi

tersebut, masih banyak kesalahan dan kekurangan. Maka penulis sangat

(12)

xii

2.1 Ki Hadjar Dewantara dan Keluarga Pura Pakualaman...15

2.2 Ki Hadjar Dewantara dan Kejawaannya...20

2.3 Pendidikan Ki Hadjar Dewantara...25

BAB III PEREMPUAN DALAM KACAMATA KI HADJAR DEWANTARA...32

3.1 Ki Hadjar Dewantara yang Jurnalis...32

3.2. Pandangan Ki Hadjar Dewantara Mengenai Perempuan...40

(13)

xiii

3.2.2 Pendidikan...49

3.2.3 Kesehatan...55

3.2.4 Organisasi...57

3.2.5 Pekerjaan...59

BAB IV PENGARUH PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA MENGENAI PEREMPUAN...67

4.1 Penerapan Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Tentang Perempuan Dalam Wanita Taman Siswa...67

4.2 Peran Dan Kedudukan Wanita Taman Siswa...75

4.3 Pengaruh Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Mengenai Perempuan...79

4.3.1 Perempuan dan Kodratnya...79

4.3.2 Pemikiran Soekarno Mengenai Perempuan...82

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...90

5.1 Kesimpulan...90

5.2 Saran...93

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Hari Pendidikan Nasional merupakan sebuah momentum untuk mengenang

jasa pahlawan pada bidang pendidikan. Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada

tanggal 2 Mei setiap tahunnya bukan tanpa alasan. Tanggal tersebut merupakan

tanggal lahir Ki Hadjar Dewantara tepat pada tahun 1889.1 Seluruh masyarakat Indonesia, khususnya instansi pendidikan, selalu memperingatinya dengan cara

upacara bendera. Kini, tanggal lahir tersebut selalu dikenang tidak hanya untuk

mengingat kembali seorang Ki Hadjar Dewantara, tetapi juga untuk merefleksikan

pendidikan Indonesia dahulu dan kini.

Berkat jasanya besarnya ini, Ki Hadjar Dewantara kemudian dikenal sebagai

Bapak Pendidikan Indonesia. Keseriusan dan dedikasi yang tinggi dalam bidang

pendidikan membuatnya bergairah untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia kala

itu. Beliau percaya bahwa pendidikan dapat membawa Indonesia menuju

kemerdekaan. Selain itu, kegelisahannya terhadap sistem pendidikan Belanda yang

hanya menguntungkan Belanda dapat terhapus dengan pendidikan kebangsaan ala Ki

1

(15)

Hadjar Dewantara. Meskipun dalam perjuangannya beliau mendapat kecaman dari

pihak Belanda, tidak membuat dirinya putus asa.

Perjuangannya dalam bidang pendidikan diwujudnyatakan dengan

membangun perguruan Tamansiswa.2 Dalam praktek pengajarannya, Tamansiswa selalu menyelipkan pengetahuan tentang Indonesia yang tidak pernah diajarkan di

sekolah-sekolah milik Belanda. Selain Tamansiswa, gagasannya mengenai

pendidikan tertuang dalam semboyan dan sistem tripusat pendidikan. Keduanya

sangat relevan dengan tujuan dan cita-cita Ki Hadjar Dewantara serta perguruan

Tamansiswanya.

Semboyan pendidikan Ki Hadjar Dewantara pertama yaitu Ing Ngarsa Sung

Tuladha yang berarti bahwa seorang pendidik harus selalu di depan memberi teladan serta contoh yang baik dalam perkataan maupun perbuatan. Kedua Ing Madya

Mangun Karsayaitu seorang pendidik harus selalu berada di tengah-tengah muridnya untuk memotivasi, memberikan semangat dan dukungan agar murid-murid selalu

produktif dalam menghasilkan karya. Ketiga yaitu Tut Wuri Handayani artinya

seorang pendidik harus selalu mendukung murid-muridnya agar berkarya ke arah

yang benar.

Siapa sangka seorang Ki Hadjar Dewantara juga pernah menulis tentang

perempuan di beberapa surat kabar dan majalah. Adanya anggapan bahwa seorang

2

(16)

perempuan hanya masak, macak, manak semakin membatasi gerak perempuan.3 Bahkan perempuan tidak boleh mengenyam pendidikan karena adanya asumsi bahwa

takdir perempuan nantinya hanya akan melayani suami serta anak-anak dan mengurus

rumah tangga. Pemikiran serta tulisan-tulisanya mengenai perempuan adalah sisi lain

mengenai Ki Hadjar Dewantara yang tidak banyak orang ketahui. Ki Hadjar

Dewantara mampu menghadirkan gagasan baru mengenai permasalahan yang tidak

banyak disinggung selama ini. Karena itulah studi ini melacak mengenai pemikiran

Ki Hadjar Dewantara mengenai perempuan serta pengaruhnya.

1.2

Identifikasi dan Pembatasan Masalah

1.2.1 Identifikasi

Ki Hadjar Dewantara adalah salah satu tokoh pejuang kemerdekaan

Indonesia. Perjuangannya bertumpu pada pemikirannya tentang pendidikan yang

direalisasikan lewat Tamansiswa pada 3 Juli 1922. Pemikirannya ini tentu saja tidak

sebatas tentang pendidikan saja, tetapi juga tentang keadaan politik pemerintahan

Belanda, kesenian, kebudayaan, juga perempuan. Salah satu hal yang ditulis Ki

Hadjar Dewantara yaitu tentang perempuan. Sebagai seorang bangsawan, Ki Hadjar

Dewantara tidak luput dari aturan dan adat yang mengikat. Namun dirinya mencoba

memberikan narasi lain mengenai perempuan.

3

(17)

1.2.2 Pembatasan Masalah

Penelitian akan dibatasi pada tulisan Ki Hadjar Dewantara tentang perempuan

yang ada pada bukunya yang berjudul Kebudayaan terbitan Majelis Luhur Persatuan

Taman Siswa tahun 1967. Terdapat Sembilan tulisan tentang perempuan yang

ditulisnya antara tahun 1928 hingga 1935. Tulisan-tulisan tersebut berjudul Kodrat Perempuan, Perempuan Dalam Dunia Pendidikan, Pengaruh Perempuan Pada

Barang Dan Tempat Kelilingnya, Perempuan dan Sport, Wanita Tamansiswa, Vrouwenraad dalam Tamansiswa, Perempuan Didalam Pertumbuhan Adab,

Kemajuan Adab Perempuan, Kongres Jakarta dan Protes Semarang, Berkobarnya Rasa Kehormatan Dan Rasa Kebangsaan, Lapangan Kerja Bagi Perempuan. Selain itu, juga analisis beberapa foto-foto Ki Hadjar Dewantara dan perempuan di Taman

Siswa.

Kemudian dalam konteks waktu, akan dibatasi dari tahun 1922 sampai tahun

1959. Tahun 1922 adalah tahun pertama Wanita Taman Siswa didirikan meskipun

baru pada tahun 1931 dibentuk secara formal. Hal ini dapat menjadi acuan dasar

munculnya gagasan Ki Hadjar Dewantara tentang perempuan. Kemudian tahun 1959

adalah tahun dimana Ki Hadjar Dewantara wafat. Dari sini pula, dapat diketahui

seberapa jauh pengaruh pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang perempuan terhadap

(18)

1.3

Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan di atas, maka diajukan beberapa pertanyaan sebagai

fokus penelitian, yakni:

a) Apa yang melatarbelakangi Ki Hadjar Dewantara memiliki kepedulian

terhadap perempuan ?

b) Bagaimana pandangan Ki Hadjar Dewantara terhadap perempuan ?

c) Bagaimana pengaruh pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang perempuan

terhadap masyarakat ?

1.4

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

a) Mengetahui latar belakang Ki Hadjar Dewantara memiliki kepedulian

terhadap perempuan.

b) Mengetahui pandangan Ki Hadjar Dewantara terhadap perempuan.

c) Mengetahui pengaruh pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang

perempuan terhadap masyarakat.

1.5

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru mengenai

sejarah pemikiran tentang perempuan lewat kacamata seorang Ki Hadjar Dewantara.

(19)

penulisan sejarah Indonesia mengenai perempuan. Hasil penelitian ini juga

diharapkan membawa angin segar terhadap pandangan masyarakat tentang Ki Hadjar

Dewantara bahwa ia bukan hanya berfokus pada bidang pendidikan saja.

1.6

Landasan Teori

Penelitian sejarah diwajibkan untuk memiliki teori pengetahuan yang

dipinjam dari suatu teori yang berkesinambungan dengan topik penelitian.

Berdasarkan keterangan diatas, penelitian ini akan menggunakan teori gender yang

ditulis oleh Jane Pilcher dan Imelda Whelehan dalam bukunya yang berjudul Fifty Key Concepts in Gender Studies. Dikatakan bahwa gender digunakan sebagai analisis

untuk menggambarkan sebuah garis pemisah antara sex biologis serta cara untuk

menginformasikan perilaku-perilaku dan kemampuan-kemampuan yang nantinya

akan ditetapkan sebagai masculine atau feminim.4

Selain itu, akan menggunakan beberapa konsep guna melengkapi teori dalam

penelitian ini. Konsep-konsep tersebut yaitu konsep perempuan Jawa dan konsep

bangsawan serta menggunakan perspektif sejarah pemikiran. Konsep dan perspektif

tersebut digunakan untuk membatasi wilayah penelitian yang akan diteliti.

1. Konsep Perempuan Jawa

4

(20)

Perempuan dalam budaya Jawa diidentikkan dengan istilah kanca wingking serta garwa atau sigaraning nyawa.5 Kedua istilah ini sangat melekat pada

perempuan terutama mereka yang sudah menikah. Pada konsep ini dijelaskan bahwa

perempuan jawa sangat identik dengan kultur budaya jawa seperti halus, tenang,

kalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga,

mampu mengerti dan memahami orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi, daya

tahan untuk menderita tinggi, memegang peranan secara ekonomi, dan setia atau

loyalitas tinggi.6

2. Konsep Bangsawan :

Bangsawan dalam masyarakat Jawa lebih akrab disebut sebagai priyayi. Menurut Sartono Katodirdjo priyayi berasal dari kata para yayi (para adik) yang dimaksud adik dari raja.7Dalam struktur sosial masyarakat jawa,priyayi berada pada strata sosial tertinggi. Maka priyayi merupakan orang yang sangat berpengaruh dalam struktur pemerintahan maupun dalam kehidupan sosialnya. Golongan priyayi

sangat mengeksklusifkan dirinya karena sangat membatasi pergaulan dengan

golongan di bawahnya termasuk para rakyat jelata.

5

Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hal 118-120.

6

Ibid.,hal 130.

7

(21)

Penelitian ini menggunakan perspektif sejarah pemikiran. Menurut

Kuntowijoyo, sejarah pemikiran adalah sejarah yang dilakukan pada perorangan.8 Pemikiran tersebut mempunyai tiga pendekatan yaitu kajian teks, konteks sejarah,

dan kajian hubungan antara teks dan masyarakat.9 Kajian teks melihat bagaimana seorang tokoh mencetuskan pemikirannya seperti genesis pemikiran, konsistensi

pemikira, evolusi pemikiran, sistematika pemikiran, varian pemikiran, komunikasi

pemikiran, serta kesinambungan pemikiran. Konteks sejarah dilihat dari condongnya

sebuah pemikiran pada bidang tertentu misalnya pendidikan atau perempuan.

Sedangkan kajian hubungan antara teks dan masyarakat yaitu melihat bagaimana

hubungan antara hasil pemikiran tokoh tersebut dengan lingkungan sekitarnya seperti

dampaknya dengan masyarakat.

1.7

Tinjauan Pustaka

Ada penulisan terkait yang bertema perempuan ataupun Ki Hadjar Dewantara.

Pada buku berjudulVisi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Tantangan dan Relevansi

karya Bartolomeus Samho membahas tentang biografi Ki Hadjar Dewantara sejak

masih kecil hingga dewasa. Dalam buku ini banyak membahas perihal gagasan Ki

Hadjar Dewantara tentang pendidikan Tamansiswa.

8

Kuntowijoyo,Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hal 190.

9

(22)

Buku terkait lainnya berjudul Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan Dan Pencapaian karya Cora Vreede- De Stuers. Meskipun buku ini tidak membahas

tentang Ki Hadjar Dewantara, namun dalam buku ini dibahas bagaimana gerakan

perempuan di Indonesia muncul pertama kali. Selain itu, buku ini juga membahas

mengenai adat-istiadat Indonesia dalam memandang perempuan. Permasalahan

mengenai sistem kekerabatan serta sistem perkawinan yang mengikat perempuan

Indonesia dapat dihapuskan meskipun tidak serta merta dengan pendidikan.10

Tema yang sama namun dengan pendekatan berbeda yaitu artikel karya

Yuliati berjudul “Konsep Pendidikan Perempuan di Tamansiswa” pada jurnal yang

berjudul Sejarah dan Budaya. Artikel tersebut mengatakan bahwa perempuan sangat

berperan dalam bidang pendidikan. Tamansiswa telah melihat bahwa perempuan

mempunyai peranan penting dalam mendewasakan anak-anak. Emansipasi

perempuan juga diperhatikan tetapi Tamansiswa tetap berpegang teguh pada kodrat

perempuan. Oleh karena itu pada kasus ini, Tamansiswa sangat menerapkan sistem

among yang bermateri pendidikan kebangsaan, idealisme, dan cinta tanah air.11 Studi berjudul Aktualisasi Diri Perempuan Dalam Sistem Budaya Jawa (Persepsi Perempuan Terhadap Nilai-Nilai Budaya Jawa Dalam Mengaktualisasikan

Diri)karya Atik Catur Budiati. Dijelaskan bahwa proses perubahan sosial membawa

10

Cora Vreede- De Stuers,Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan Dan Pencapaian,

(Jakarta: Komunitas Bambu, 2008).

11

Yuliati. (Konsep Pendidikan Perempuan di Tamansiswa).

(23)

perubahan pola pikir terhadap nilai-nilai budaya Jawa. Budaya Jawa yang patriarki

mulai berubah nilainya sehingga perempuan Jawa kini memiliki kapasitas untuk

mengembangkan potensi dirinya. Hal ini membuktikan bahwa perempuan mampu

mengembangkan diri tidak hanya dalam lingkup domestik saja tetapi juga ruang

publik.12

Selanjutnya terdapat penelitian skripsi dengan tema Ki Hadjar Dewantara

milik Felisitas Berni Ora. Skripsi tersebut berjudul Peranan Ki Hadjar Dewantara

Dalam Memajukan Pendidikan Pribumi Tahun 1922-1930. Skripsi tersebut menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mendorong Ki Hadjar Dewantara dalam

memajukan pendidikan yaitu politik, ekonomi dan sosial. Faktor politik yaitu

berkuasanya Pemerintah Belanda pada waktu itu yang membuat rakyat Indonesia

merasa terpuruk. Kedua yaitu faktor ekonomi dimana tanam paksa membuat rakyat

hanya semakin menderita. Ketiga yaitu faktor sosial dimana keadaan pada waktu itu

membuat jurang pemisah antara kaum elit atau bangsawan dan priyayi menjadi

semakin tebal dengan rakyat biasa.

Skripsi milik Felisitas Berni Ora tersebut juga meneliti mengenai bagaimana

upaya-upaya Ki Hadjar Dewantara dalam mendirikan Taman Siswa pada tahun

1922-1930.13 Dalam menjalankan Taman Siswanya Ki Hadjar Dewantara membuat

asas-12

Atik Catur Budiati,op.cit., 13

(24)

asas hingga dasar-dasar Taman Siswa yang berisi mengenai hak dan kewajiban para

anggota Taman Siswa. Tidak hanya mengenai bagaimana usaha Ki Hadjar Dewantara

dalam memajukan Taman Siswa, dalam skripsi ini juga dituliskan mengenai

hambatan-hambatan Taman Siswa. Hambatan-hambatan tersebut seperti pajak rumah

tangga, semakin banyaknya murid-murid yang ingin bersekolah di Taman Siswa,

hingga hambatan dari Pemerintah Belanda yaitu Ordonansi Sekolah Liar.

Kemudian skripsi tersebut juga menuliskan mengenai dampak usaha-usaha Ki

Hadjar Dewantara dalam dampak politik, ekonomi, sosial, kesenian, dan pendidikan.

Dampak politik yaitu Taman Siswa menjadi tempay mendidik generasi muda yang

mempunyai jiwa nasional. Dampak ekonomi yaitu menghasilkan anak diidk yang

mandiri dan mempunyai karya nyata dalam masyarakat serta dapat mengurangi

pengangguran. Dampak sosial yaitu Ki Hadjar Dewantara mampu membuktikan pada

pemerintah Belanda waktu itu bahwa dengan daya , upaya serta usaha sendiri, rakyat

Indonesia dapat berkarya untuk kemajuan bangsanya. Dampak kesenian yaitu Taman

Siswa selalu memasukkan kesenian seperti gamelan dan tari-tarian dalam kegiatan

belajar mengajar. Kemudia dampak pendidikan yaitu tersebarnya sekolah Taman

Siswa ke berbagai daerah di dalam pulau Jawa maupun luar pulau Jawa. Kemudian

(25)

1.8

Metode Penelitian

Rancangan serta analisis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa

deskriptif naratif, karena akan menuliskan bagaimana pemikiran Ki Hadjar

Dewantara tentang perempuan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode

sejarah yang terdiri dari beberapa tahap yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi,

dan historiografi.

1. Heuristik :

Langkah heuristik atau pengumpulan sumber ditempuh melalu studi arsip,

studi pustaka maupun film. Studi arsip dan studi pustaka dilakukan dengan

mengumpulkan sumber-sumber primer dan sumber terkait serta referensi

lainnya tentang Ki Hadjar Dewantara dan Perempuan. Sumber-sumber

tersebut didapat dari majalah Wasita, Poesara serta buku yang berjudul

Kebudayaan karya Ki Hadjar Dewantara yang diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Dalam melakukan studi arsip dan studi pustaka,

penelitian dilakukan di Perpustakaan Kirti Griya Taman Siswa dan

Perpustakaan Universitas Sanata Dharma.

Film yang digunakan berjudul “Tokoh Nasional Ki Hadjar Dewantara”

diproduksi oleh Perusahaan Film Nasional. Dalam film tersebut, tokoh Ki

Hadjar Dewantara bukan diperagakan oleh aktor melainkan oleh dirinya

sendiri. Film yang disutradarai oleh RM. Soetarto dan Mardhani S. Dipo M.A

bercerita mengenai perjalanan Ki Hadjar Dewantara dalam usahanya

(26)

ini juga ditayangkan wawancara salah seorang murid Taman Siswa dengan Ki

Hadjar Dewantara mengenai perjalanan hidup sewaktu tergabung dalam

Indische Partij. 2. Kritik sumber :

Setelah sumber-sumber yang akan digunakan terkumpul, tahap selanjutnya

yaitu memeriksa data melalui kritik sumber. Sumber yang sudah didapat

kemudian dibandingkan satu dengan yang lainnya. Jika sumber yang

dibandingkan sudah sesuai dengan topik penelitian, maka akan digunakan

dalam tahap selanjutnya. Sebaliknya jika sumber tidak sesuai maka sumber

tersebut tidak dipakai pada tahap selanjutnya.

3. Interpretasi :

Metode penelitian selanjutnya yaitu interpretasi sumer. Data yang sudah

diperoleh kemudian direkonstruksi untuk mendapatkan analisis yang sesuai

dengan sejarah pemikiran Ki Hadjar Dewantara maupun tentang sejarah

pemikiran tentang perempuan. Selanjutnya analisis tersebut akan

menghasilkan fakta yang sesuai dengan topik penelitian.

4. Historiografi :

Historiografi atau penulisan sejarah merupakan tahap akhir dari metode

penelitian sejarah. Fakta-fakta yang dihasilkan pada tahap sebelumnya

(27)

1.9

Sistematika Penulisan

Penulisan akan diawali dengan bab I yang mencakup pendahuluan yang berisi

latar belakang pemilihan topik, pembatasan masalah, rumusan masalah, kerangka

teori, tinjauan pustaka, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika. Selanjutnya

bab II akan membahas mengenai biografi Ki Hadjar Dewantara dan hasil pemikiran

Ki Hadjar Dewantara tahun 1922 hingga 1941. Kemudian pada bab III akan

membahas mengenai perempuan dalam kacamata Ki Hadjar Dewantara tahun

1942-1945. Bab IV akan membahas mengenai perbandingan persepsi antara Ki Hadjar

Dewantara dengan tokoh lain mengenai perempuan tahun 1945-1959. Pada bab V

sebagai bab penutup akan berisi tentang kesimpulan dari penulisan bab-bab

(28)

BAB II

BIOGRAFI KI HADJAR DEWANTARA

2.1

Ki Hadjar Dewantara Dan Keluarga Pura Pakualaman

Telah banyak studi pustaka yang menulis tentang Ki Hadjar Dewantara antara

lain Darsiti Soeratman,1 Sajoga,2 Gerfasius Tasen,3. Dalam studi ini, biografi Ki Hadjar Dewantara dihadirkan kembali untuk mengingat bagaimana karakter dan

pemikiran Ki Hadjar Dewantara dibentuk. Akan tetapi, biografi Ki Hadjar Dewantara

dibatasi mengenai interaksi masa kecil di istana, adat istiadat budaya Jawa, dan

1

Darsiti Soeratman menulis buku biografi yang berjudul Ki Hadjar Dewantara. Buku tersebut berisi mengenai kehidupan Ki Hadjar Dewantara mulai dari lingkungan tempat tinggal, pendidikan, upaya-upaya dalam proses mencapai kemerdekaan, hingga perjalanan Ki Hadjar Dewantara dalam hukuman buangnya. Selain itu, buku tersebut juga membahas tentang proses Ki Hadjar Dewantara pada Taman Siswa salah satunya saat melawan Ordonansi Sekolah Liar tahun 1932.

2

Sajoga menulis biografi mengenai Ki Hadjar Dewantara dalam buku yang berjudul Taman Siswa 30 Tahun. Tulisan tersebut diberi judul Riwayat Perjuangan Tamansiswa 1922-1952 berisi tentang proses awal mulanya terbentuknya Taman Siswa hingga pada massa Indonesia Merdeka. Isi tulisan mengenai Ki Hadjar Dewantara antara lain tentang karirnya di perpolitikan bersama Sarekat Islam, Indische Partij, hingga pada massa pembuangannya di Belanda. Penulisan biografi ini masih berlanjut hingga pulangnya Ki Hadjar Dewantara dari Belanda kembali ke Indonesia.

3

Studi pustaka berupa skripsi milik Gerfasius Tasen meneliti perihal kehidupan Ki Hadjar Dewantara ketika berada di Belanda untuk menjalani pengasingan. Skripsi yang

(29)

perkembangan pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Pembatasan tersebut bertujuan

supaya tidak menyimpang dengan topik penelitian yang ditulis.

Meninggal sebagai warga biasa, Ki Hadjar Dewantara tetap tercatat sebagai

keturunan bangsawan. Lahir pada 2 Mei 1889 darah kebangsawanannya berasal dari

sang ayah yaitu K.P.H Suryoningrat, anak dari Sri Paku Alam III.4Sri Paku Alam III menikah dengan puteri B.P.H Puger yaitu anak Sri Sultan Hamengku Buwono II.5 Dengan begitu darah kebangsawanan Ki Hadjar Dewantara tidak hanya dari trah Pura

Pakualaman tetapi juga dari Keraton Yogyakarta.

Nama kecilnya yaitu Suwardi yang bergelar Raden Mas. Ayahnya, K.P.H

Suryaningrat, adalah pewaris tahta sebagai raja selanjutnya. Akan tetapi hal ini tidak

pernah terjadi karena Pangeran Suryaningrat menderita tuna netra sejak kecil. Selain

itu setelah wafatnya Sri Paku Alam III, ayah Suwardi diharuskan keluar dari istana

dan menetap di kampung bersama dengan rakyat biasa lainnya. Namun hal ini tidak

menjadi suatu masalah bagi Suwardi dan keluarganya.

Keluarnya Pangeran Suryaningrat dari istana bukan tanpa alasan. Sri Paku

Alam III adalah seorang raja yang berani menentang kebijakan-kebijakan pemerintah

4

Sri Paku Alam III adalah gelar kebangsawanan yang diberikan untuk Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati Harjo Surjosasraningrat sebagai raja Puro Pakualaman yang ke tiga. Lihat Bartolomeus Samho, Citra Kepribadian Ki Hadjar Dewantara: Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Tantangan dan Relevansi,(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2013), hal 27.

5

(30)

Belanda. Sri Paku Alam III mempunyai pemikiran dan pandangan politik yang

berbanding terbalik dengan pemerintah Belanda. Sehingga ketika Sri Paku Alam III

wafat pada 1864, pemerintah Belanda segera mengambil alih kekuasaan dengan

mengangkat Pangerang Nataningrat sebagai Sri Paku Alam IV.6 Rupanya penentangan ini juga menurun pada Pangeran Suryoningrat yang menyebabkan

dirinya harus keluar dari istana.

Proses keluarnya Pangeran Suryoningrat membuat Suwardi tumbuh dengan

dua budaya yang berbeda. Sebagai seorang bangsawan, Suwardi membawa gelarnya

yaitu Raden Mas pada identitasnya di istana. Akan tetapi gelarnya ini dia tanggalkan

ketika dirinya bermain dengan teman-temannya di kampung. Peristiwa ini pula yang

nantinya mempengaruhi Suwardi benar-benar menanggalkan identitas

kebangsawaannya ketika kepulangannya dari pengasingan di Belanda.

Sejak kecil Suwardi dikenal sebagai anak yang pandai, berani, dan jujur dalam

menyatakan pendiriannya.7 Dirinya bahkan membimbing anak-anak kampung untuk berkegiatan seperti pentas sandiwara, karawitan, pencak silat, serta pemberantasan

buta huruf. Dalam kegiatan pemberantasan buta huruf Suwardi dibantu oleh kakaknya

yaitu Suryopranoto. Selain itu, Suwardi sangat menekankan kepada seluruh pelayan

yang ada di rumahnya agar dapat menulis dan membaca. Ketika akan memulai

mengajari menulis dan membaca Suwardi berpesan agar menghiraukan hubungan

6

Budiawan,Anak Bangsawan Bertukar Jalan,(Yogyakarta: LKiS, 2006), hal 23.

7

(31)

antara Putera anak Pangeran dengan anak rakyat biasa. Hal ini dia lakukan agar

mereka dapat berani bertanya hal-hal yang tidak diketahui oleh mereka.

Pura Pakualaman mempunyai kebijakan agar anak-anak keturunan bangsawan

diwajibkan untuk bersekolah baik di sekolah Eropa maupun di dalam istana.

Pendidikan di dalam istana tidak lain adalah pendidikan mengenai budaya-budaya

Jawa.8 Istana Paku Alam selalu menyediakan guru-guru yang ahli dalam bidangnya untuk mengajar pelajaran seperti sejarah, kesusastraan hingga kesenian. Pendidikan

tersebut bukan hanya pendidikan mengenai istana Pura Pakualaman saja tetapi juga

mengenai kebudayaan Jawa yang luas.

Pendidikan di dalam istana pada kalangan bangsawan bertujuan untuk

melestarikan tradisi-tradisi dari generasi ke generasi.9 Melalui hal ini, secara tidak langsung menjadikan tradisi sebagai hal utama dalam kehidupannya. Pendidikan yang

terkesan eksklusif ini juga mempertebal kesadaran akan status sosialnya terhadap

lingkungan masyarakat. Akan tetapi hal ini berbeda dengan Suwardi yang selalu

mengesampingkan status sosialnya.

Sifat merakyat Pangeran Suryoningrat tidak hanya ditunjukkan melalui

kedekatannya dengan rakyat saja. Sebagai kerabat kerjaan sudah semestinya untuk

8

Darsiti Soeratman, Ki Hadjar Dewantara, (Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorak Sejarah Dan Nilai Tradisional, 1984), hal 15.

9

(32)

membuat upacara kelahiran yang mewah dan megah layaknya keturunan bangsawan

lainnya. Hal ini dilakukan karena, bagi para bangsawan anak merupakan lambang

keberadaan serta lambang kemakmuran keluarga.10 Akan tetapi hal ini jauh berbeda dengan Pangeran Suryoningrat yang hanya melakukan upacara dengan sederhana,

bahkan jauh dari kata mewah.

Ketika Suwardi lahir, Pangeran Suryoningrat tidak mengadakan upacara

kelahiran sesuai dengan tradisi di lingkungan istana. Pemberian hadiah atau bingkisan

kepada tamu-tamu yang menjenguk ditiadakan. Tidak hanya kepada tamu saja,

pemberian hadiah kepada para dhayang yang begadang serta bermain judi juga ditiadakan.11 Akan tetapi tidak serta merta upacara kelahiran tersebut tidak diselenggarakan. Pembacaan kitab-kitab Sastra Jawa masih tetap dilakukan dengan

ditambah Tadarus Al-Quran.

Meskipun Suwardi tinggal di luar istana, dirinya masih tetap menjalin

hubungan baik dengan keluarga yang tinggal di istana. Hal ini dibuktikan dengan

kedekatannya dengan Sutartinah, anak dari pamannya. Sutartinah tidak segan untuk

membantu Suwardi ketika dirinya mengajari menulis dan membaca. Selain itu

10

Koentjoroningrat,Kebudayaan Jawa,(Jakarta: Balai Pustaka), hal 235.

11

(33)

Sutartinah juga setia mendampingi Suwardi ketika Suwardi mengikuti lomba mengaji

dan adzan dikalangan anak-anak.12

2.2

Kejawaan Ki Hadjar Dewantara

Ketika kita berbicara mengenai kejawaan seseorang, maka tidak akan bisa

lepas dari budaya yang melekat. Budaya Jawa sendiri sangatlah kompleks dengan

segala adat istiadat, sejarah, serta aturan-aturan yang mengikat. Akan tetapi, hal ini

bukanlah suatu masalah, malah masyarakat Jawa sendiri melihatnya sebagai suatu

karunia yang ditinggalkan oleh para leluhur dan setia menjaga tanpa pamrih. Budaya

inilah yang selalu diselaraskan dengan jiwa dan tindak-tanduk dalam kehidupan

sehari-hari.

Dalam kehidupan sehari-hari terdapat dua segi fundamentalis yang

merupakan hal mendasar dan menyatu dalam diri manusia. Dua segi fundamentalis

ini saling berkesinambungan sehingga tidak dapat dipisahkan satu dengan yang

lainnya yaitu segi lahir dan segi batin.13 Segi lahir merupakan hal-hal yang dapat dilihat oleh manusia dengan mata telanjang seperti tingkah laku, pembawaannya

dalam lingkungan masyarakat, hingga cara bicara. Sedangkan segi batin merupakan

12

B.S. Dewantara,op.cit.,hal 45.

13

(34)

kesadaran manusia untuk menemukan kebenaran dan kebijaksanaan yang diperoleh

melalui olah rasa.14

Dari kedua segi fundamentalis tersebut, terdapat prinsip-prinsip kesopanan.

Prinsip-prinsip ini berguna untuk menyeimbangkan antara segi lahir dan segi batin.

Prinsip pertama, bagaimana seorang manusia dapat membawa diri di dalam

lingkungan sosialnya. Kedua, untuk tidak langsung mengatakan pendapatnya

terhadap sesuatu yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Ketiga, tidak

memberitahukan hal-hal yang dianggap tidak penting. Keempat, untuk mengontrol

sikap disetiap keadaan agar tidak menimbulkan kesan yang tidak sopan.

Suwardi tidak pernah menerima pengajaran tentang kedua segi

fundamentalis serta prinsip-prinsip kesopanan tersebut. Akan tetapi sebagai putra asli

Jawa hal tersebut kemudian diajarkan melalui praktek kehidupan sehari-hari. Salah

satu segi fundamentalis, yaitu segi batin, dipelajari melalui pelajaran-pelajaran agama

Islam serta ajaran lama yang dipengaruhi oleh filsafat Hindu, yaitu wayang.15 Sedangkan prinsip-prinsip kesopanan tercermin dalam setiap tulisan Suwardi yang

ringkas namun penuh dengan nilai dan pengetahuan serta tidak memojokkan

siapapun.

14

Olah rasa dilakukan dengan bertapa di tempat-tempat yang dianggap keramat dan mempunyai nilai mistik yang kuat.

15

(35)

Dalam pengajaran agama Islam dan filsafat Hindu untuk mengolah segi

bantinnya, Pangeran Suryoningratlah yang mempunyai andil besar di dalamnya.

Pangeran Suryoningrat adalah seorang pemeluk agama Islam yang taat sekaligus

pencinta wayang.16 Dalam mencintai wayang, Pangeran Suryoningratpun rutin menggelar pertunjukan wayang kulit dengan mengundang seorang dalang ke

rumahnya. Hal ini dilakukannya bukan hanya sekedar hiburan dan seni melainkan

juga untuk media pendidikan bagi anak-anaknya.

Bagi masyarakat Jawa khususnya para priyayi, pernikahan merupakan hal

yang penting. Dari pernikahan dapat menunjukkan status sosial serta kedudukannya

di dalam kelompok masyarakat. Dalam memilih calon pengantinpun selalu

memperhatikanbibit, bebetdanbobotnya. Bagi para priyayi memilih calon pengantin sangatlah penting agar darah kebangsawanan mereka tidak pudar. Selain itu,

pernikahan yang diadakan bertujuan untuk menjalin silaturahmi antara kerajaan satu

dengan kerajaan yang lain. Hal ini juga terjadi pada pernikahan Suwardi dimana

dirinya dinikahkan dengan Sutartinah.

Sebenarnya Suwardi dan Sutartinah merupakan saudara sepupu karena ayah

keduanya merupakan saudara kandung kakak beradik. Mereka dinikahkan pada tahun

1913 tepat sebelum Suwardi bersama dengan dua rekannya, Douwess Dekker dan

Tjipto Mangunkusumo, akan berangkat ke Belanda untuk menjalani masa

16

(36)

pembuangan. Namun, pernikahan keduanya dilangsungkan dengan cara yang

sederhana mengingat saat itu Suwardi akan menjalani hukuman buang. Maka dari itu,

Sutartinah pun ikut ke Belanda menemani Suwardi dalam masa pembuangannya.

Kejawaan Suwardi tidak hanya dilihat melalui kedua segi fundamentalis dan

prinsip-prinsip kesopanan saja. Ketika dirinya menjalani hukuman buang di Belanda

lahirlah anak pertama dan keduanya.17 Douwes Dekker yang pada waktu itu menjalani hukuman yang sama di Belanda, ikut memberi nama kepada ke dua

anak-anak Suwardi. Pada anak-anak pertama, Douwes Dekker memberi nama Asti yang

kemudian menjadi nama panggilannya sehari-hari dan kepada anak kedua, yaitu Aryo

Mataram.18

Suatu kehormatan pada setiap masyarakat Jawa yang bisa ikut memberikan

nama kepada seorang bayi yang baru lahir. Masyarakat Jawa sendiri menganggap

nama adalah sebuah doa agar kehidupan sang bayi nantinya berjalan sesuai harapan

orang tua. Sering kali nama-nama bayi yang baru lahir ini kemudian diambil dari

cerita-cerita mitologi Jawa.19 Seperti Suwardi yang memberi nama anak keduanya,

17

Hukuman buang atau hukuman Internering adalah hukuman yang diberikan pemerintah kolonial Belanda kepada masyarakat Indonesia yang dianggap membangkang atau memberontak sistem pemerintahan waktu itu. Ki Hadjar Dewantara menjalani hukuman buang dari tahun 1913-1915 dengan kedua temannya yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo. Ki Hadjar Dewantara pun mengajak sang istri yaitu Nyi Hadjar Dewantara. Lihat Bartolomeus Samho,op.cit.,hal 61.

18

Bambang Sokawati Dewantara,op.cit., hal 20.

19

(37)

yaitu Subroto yang artinya Satria Pertapa. Sedangkan nama Aryo Mataram artinya

merupakan sebuah harapan serta cerminan keagungan bangsa.20

Unsur kejawaan lain yang dimiliki Suwardi, yaitu bidang kesenian.

Keahliannya dalam bidang kesenian ini diperoleh sebagai ciri khas keluarga kerajaan

Pakualaman. Pura Pakualaman sendiri menaruh perhatian yang lebih terhadap bidang

kesenian terutama pada serat-serat. Bahkan, pengetahuan mengenai budaya Jawa

diberikan kepada setiap anak-anak kerabat Pakualaman sebagai sebuah pendidikan.

Kegiatan semacam ini kemudian memupuk rasa Suwardi terhadap kebudayaannya

sendiri.

Lantaran sang ayah yang kerap menggelar pertunjukkan wayang kulit di

rumahnya serta pendidikan Jawa yang diperolehnya dari istana membuat

pengetahuannya akan budaya Jawa sangat luas. Tidak heran ketika dirinya berada di

negeri Belanda dikenal sebagai seorang ahli sastra Jawa.21 Bahkan Suwardi diundang dalam Kongres Pengajaran Kolonial I di Den Haag pada Agustus 1916 sebagai

seorang ahli kesenian.22Hal ini sangat kompleks mengingat bahwa selama ini dirinya berkecimpung dalam bidang jurnalistik dan berbagai organisasi politik lainnya.

20

Bambang Sokawati Dewantara,op. cit.,hal 22.

21

Darsiti Soeratman,op.cit.,hal 70.

22

(38)

2.3

Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Saat bersekolah, Suwardi menemukan dunia yang baru. Dirinya dikelilingi

dengan orang-orang dari berbagi daerah seperti Ambon bahkan hingga orang-orang

Indo. Tidak jarang pula Suwardi menerima ejekan dari orang-orang Indo karena

dirinya adalah orang Jawa. Namun, dengan bersekolah membuat pengetahuan

Suwardi bertambah tidak hanya tentang budaya dan sastra Jawa. Dengan bersekolah

pula Suwardi menjadi tidak buta akan nasib bangsanya.

Pada pertengahan abad ke- 19, lembaga pendidikan yang diselenggarakan

oleh pemerintah Belanda semakin bertambah. Bertambahnya lembaga yang didirikan

dikarenakan semakin banyaknya orang-orang Belanda, bahkan orang-orang Eropa

lainnya yang datang ke Indonesia. Tentunya selain orang-orang Eropa, masyarakat

Indonesia ada pula yang bersekolah di sekolah-sekolah Belanda. Tetapi hanya

masyarakat dari golongan elite dan bangsawan saja yang boleh bersekolah.

Sekolah-sekolah yang menjadi tempat Suwardi mendapatkan pendidikan

Belanda antara lain Sekolah Dasar Belanda III, Kweekschool, dan STOVIA. Sekolah

Dasar Belanda III menjadi pilihan Suwardi dan keluarga dalam menempuh

pendidikan. Hal ini dikarenakan semenjak wafatnya Sri Paku Alam III perekonomian

keluarga Suwardi menjadi tidak stabil. Maka dari itu, dirinya disekolahkan di sekolah

yang biayanya lebih terjangkau. Sementara itu seluruh kerabat Pura Pakualaman

(39)

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Dasar Belanda III, Suwardi

melanjutkan sekolahnya di Kweekschoolpada tahun 1904.23 Akan tetapi, beliau tidak menyelesaikan pendidikan gurunya setelah bertemu Dr. Wahidin Sudirohusodo.

Pertemuannya dengan Dr. Wahidin Sudirohusodo membawanya pada bidang

kedokteran dengan menawarkan beasiswa pendidikan. Beasiswa tersebut berada pada

sekolah dokter Jawa atau yang lebih dikenal STOVIA.24

Pengalaman baru didapatkannya ketika bersekolah di STOVIA pada

1905-1910. Menjadi murid STOVIA mengharuskan Suwardi untuk tinggal di asrama yang

sangat berbeda jauh dengan kehidupannya di Pakualaman. Murid-murid lainnya

berasal dari berbagai macam daerah serta latar belakang yang berbeda serta agama

yang berbeda pula. Hal ini membuat Suwardi dapat beradaptasi dengan lingkungan

baru.

Selama menjadi murid STOVIA Suwardi semakin mengolah kemampuannya

dalam berbagai bidang, termasuk berorganisasi. Organisasi pertama yang diikutinya

23

Kweekschool merupakan sekolah pendidikan guru untuk sekolah vervolg atau sekolah kelas II. Bahasa pengantarnya yaitu Bahasa Belanda. Tamatan Kweekschool

mempunyai wewenang untuk mengajar sampai kelas tinggi. Lihat I. Djumhur dan Drs. H. Danasuparta,Sejarah Pendidikan,(Bandung: CV. Ilmu, 1976), hal 140.

24

(40)

yaitu Budi Utomo tahun 1908.25 Budi Utomo menjadi ajang tempat pertemuannya dengan Douwes Dekker. Melalui organisasi inilah Suwardi menaruh perhatian pada

bidang jurnalistik serta politik. Selalu berperan aktif saat menjadi anggota sehingga

dipercayai menjalani tugas propaganda. Inilah fase awal Suwardi dalam perjuangan

kemerdekaan.

Tahun 1910 adalah tahun akhirnya bersekolah di STOVIA, Suwardi harus rela

dikeluarkan dari sekolah karena dirinya dinyatakan tidak naik kelas. Alasannya

adalah Suwardi tidak masuk selama empat bulan akibat sakit keras. Akibatnya

beasiswanya dicabut dan tidak dapat melanjutkan pendidikanya. Akan tetapi, pihak

sekolah memberikan surat keterangan baik dalam berbahasa Belanda untuk Suwardi.

Dikeluarkannya Suwardi dari sekolah menuntunnya untuk fokus dalam organisasi

serta perjuangan kemerdekaanya.

Setelah dikeluarkan, Suwardi melanjutkan untuk bekerja di laboratorium

Pabrik Gula di Banyumas. Kemudian tahun 1911 dirinya pindah ke Yogyakarta dan

bekerja sebagai asisten apoteker di Rathkamp. Akan tetapi, Suwardi kembali

berorganisasi dengan menjadi ketua Sarikat Islam cabang Bandung bersama dengan

25

(41)

Abdoel Moeis dan Wignyodisastro.26 Bersama dengan rekannya yang lain, yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo, Suwardi mendirikan sebuah partai

bernama Indische Partij ditahun berikutnya.27

Bersama dengan Indische Partij Suwardi sangat produktif menghasilkan

karya-karya jurnalistik. Tulisan-tulisannya sangat mencerminkan sikapnya yang tegas

namun tenang serta tidak meledak-ledak. Hal ini dibuktikan saat Suwardi menulis

tentang sikap pemerintah Belanda yang mengadakan perayaan Seratus Tahun di

Hindia Belanda.28 Tulisannya yang berjudul Seandainya Aku Seorang Belanda, mampu membuat pemerintah Belanda merasa terancam keberadaannya. Akibatnya

Suwardi menerima hukuman dari pemerintah Belanda bersama dengan Douwess

26

Sarikat Islam merupakan suatu organisasi yang bergerak di berbagai macam bidang serta tidak tertuju pada satu orientasi tujuan. Bidang-bidang tersebut diantaranya yaitu ekonomi,sosial, politik dan kultural. Sementara itu, agama Islam digunakan sebagai ideologi untuk melandasi segala aspek serta bidang-bidang yang berlaku. Lihat Sartono Kartodirdjo,

op.cit.,hal 107 dan B.S. Dewantara,op.cit.,hal 58.

27

Indische Partij merupakan organisasi politik pertama di Indonesia yang beranggotakan Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat. Ketiganya sangat produktif dalam menghasilkan tulisan-tulisan yang bersifat provokatif kepada kaum muda untuk melawan pemerintahan Belanda. Tak heran maka keduanya harus menjalani hukuman dari pemerintah Belanda.

28

Perayaan Seratus Tahun dilakukan Belanda untuk mengenang lepasnya Belanda dari jajahan Prancis. Pemerintah Belanda sendiri mengadakan sebuah acara dengan mendirikan Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda yang diadakan dengan menggalang dana dari rakyat. Sebagai sebuah perlawanan maka Suwardi menulis di sebuah surat kabar de Expresdengan judul “Seandainya Aku Seorang Belanda” dan menuai

(42)

Dekker dan Tjipto Mangunkusumo. Mereka bertiga kemudian mendapatkan hukuman

buang atau hukumaninterneringdi Belanda.

Gambar 2.1:Tokoh “Tiga Serangkai”, Dr. Cipto Mangunkusuno, Douwes Dekker,

dan R.M. Soewardi Sorjaningrat.29

Ketiga orang yang menamai dirinya Tiga Serangkai kemudian pada 15

September 1913 berlayar menggunakan kapal Bullow ke Belanda.30 Pembuangannya ke Belanda tidak pernah disia-siakan oleh Suwardi. Di Belanda dirinya terus

menambah wawasan dengan belajar pada berbagai bidang. Bidang-bidang yang

dipelajarinya antara lain yaitu pendidikan, seni, hingga jurnalistik. Meskipun masa

pembuangan adalah masa hukuman bagi dirinya serta kedua temannya, masih dapat

29

“Tiga Serangkai,” Koleksi Foto Digital Museum Dewantara Kirti Griya

(Tamansiswa), accessed November 21, 2018,

https://museumdewantara.omeka.net/items/show/3292.

30

(43)

dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menambah wawasan yang diperlukan

untuk perjuangan.

Salah satu bidang yang dipelajari secara teori yaitu pendidikan dengan belajar

berbagai macam metode pembelajaran dari tokoh-tokoh pendidikan ternama.

Tokoh-tokoh pendidikan tersebut antara lain J.J. Rousseau, Dr. Frobel, Dr. Montessori,

Rabindranath Tagore, John Dewey, dan Kerschenteiner.31 Diantara beberapa tokoh diatas Dr. Frobel dan Dr. Montessorilah yang menginspirasi dirinya dalam

merealisasikan perjuangannya. Kedua tokoh pendidikan inilah yang banyak

mempengaruhi pemikiran Suwardi dalam bidang pendidikan.

Kedua tokoh baik Dr. Frobel dan Dr. Montessori merupakan ahli-ahli

pendidikan yang bergerak pada pendidikan taman kanak-kanak. Menurut Dr. Frobel

melatih otak anak dengan menyediakan alat-alat dapat melatih gerak dan imajinasi

mereka. Dengan melatih imajinasi, maka kita dapat melatih pula cara berpikir

anak. Sedangkan Dr. Montessori lebih berfokus pada perilaku anak dan sikap

anak-anak. Metode milik Montessori inilah yang berkembang hingga ke Asia.32

Pendidikan formal yang ditempuh Suwardi memang tidak memuaskan,

bahkan harus dikeluarkan dari sekolahnya. Namun, jika dilihat dari apa yang sudah

disumbangkan bagi masyarakat sekitar hingga bangsa bukanlah sesuatu yang bisa

31

Darsiti Soeratman,op.cit.,hal 68.

32

(44)

dibandingkan. Selain memperoleh pendidikan lewat sekolah-sekolah formal, Suwardi

juga aktif dalam berbagai organisasi yang membuat pengetahuannya bertambah.

Organisasi-organisasi tersebut mengajarkan beliau berjuang memerdekakan bangsa

dengan cara yang berbeda. Tidak hanya dengan menulis pemikirannya, tetapi juga

memberanikan diri untuk merealisasikannya di tengah-tengah kondisi bangsa yang

(45)

BAB III

PEREMPUAN DALAM KACAMATA KI HADJAR

DEWANTARA

3.1

Ki Hadjar Dewantara Yang Jurnalis

Jurnalistik merupakan langkah awal yang ditempuh Suwardi dalam proses

kemerdekaan Indonesia. Tidak susah untuk seorang Suwardi mempelajari jurnalistik

karena latar belakang keluarganya yang menyukai serat maupun karya sastra Jawa

lainnya. Bidang jurnalistik dijadikannya sebagai alat untuk menyingkirkan

pemerintah Belanda dengan cara menuangkan ide-ide kritisnya. Hal ini sangat efektif

karena para generasi muda dapat dengan mudah membacanya di beberapa surat kabar

sehingga mereka tergugah untuk melawan pemerintah Belanda.

Meskipun Suwardi memiliki latar belakang tulis-menulis dari keluarganya,

dirinya tetap mempunyai proses dalam menulisnya sendiri. Sutartinah, istrinya, selalu

mendorongnya untuk terjun dalam bidang jurnalistik walau Suwardi sekolah di

bidang kedokteran. Sutartinah pula orang pertama yang menemukan bakat terpendam

(46)

penyakit dengan pandangan sosial, ekonomi dan politik.1 Kemudian Sutartinah mencoba mengarahkan Suwardi untuk mengirimkan karya tulisnya ke surat kabar.

Kemampuan jurnalistik Suwardi berkembang ketika dirinya terjun menjadi

anggota organisasi Budi Utomo. Pandangannya pun semakin luas pada bidang politik

yang membuatnya menjadi sosok yang makin anti-pati terhadap pemerintahan

Belanda. Latar belakang keluarga yang kontra dengan perpolitikan pemerintah

Belanda, membuat Suwardi kian getol dalam menuliskan ide-idenya terhadap

pemerintah Belanda. Kecintaan Suwardi pada bidang jurnalistik menemui titik terang

tatkala pertemuannya dengan Douwes Dekker pada 1908.2 Pada waktu itu Douwes Dekker adalah seorang redaktur majalahBataviaasche Nieuwsblad.

Tahun 1910 ketika Suwardi dikeluarkan dari sekolah dirinya tambah leluasa

untuk terjun dalam jurnalistik. Kendati Suwardi tidak langsung bekerja pada bidang

jurnalistik, tahun 1912 dirinya mendapatkan kesempatan untuk mengurus sebuah

surat kabar. Bersama dengan Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo, Suwardi

1

B.S Dewantara,Nyi Hadjar Dewantara,(Jakarta: Gunung Agung, 1984), hal 56.

2

Nama lengkap Douwes Dekker adalah Ernest Francois Eugene Douwes Dekker. Dirinya adalah seorang Indo-Belanda yang lahir di Pasuruan pada tahun 1879. Douwes Dekker mempunyai nama Indonesia yaitu Dr. Danudirja Setiabudhi. Sebelum dengan Suwardi dan Tjipto Mangunkusumo, dirinya adalah seorang redaktur majalah Belanda yaitu

(47)

dipercaya memegang jabatan sebagai pembantu tetap di majalah De Express.3 Dengan semangat dan kepentingan yang sama, mendirikan sebuah organisasi yaitu

Indische Partijyang menyatakan diri sebagai partai politik.

Tulisan Suwardi yang paling terkenal berjudul Seandainya Aku Seorang

Belanda tersebut dimuat dalam berbagai surat kabar salah satunya De Express dan dalam sebuah brosur milik Komite Bumi Putera.4 Tulisan tersebut dikirim hingga ke daerah pelosok Jawa sehingga semua orang dapat membacanya. Pemerintah Belanda

kemudian menyita seluruh brosur-brosur tersebut dan memasalahkannya pada pihak

kejaksaan. Bagi pemerintah Belanda, tulisan Suwardi merupakan tulisan yang dapat

menghasut pikiran-pikiran rakyat Indonesia. Akan tetapi, bagi rakyat Indonesia

sendiri, tulisan Suwardi disambut hangat sebagai tulisan yang berani dan tegas.

Ditahun 1913 ketika tulisannya dilarang, Suwardi bersama dengan Tjipto

Mangunkusumo dan Douwes Dekker menerima hukuman, yaitu hukuman buang ke

negeri Belanda. Kehidupannya di Belanda membuatnya semakin giat untuk

3

Majalah De Express adalah majalah yang didirikan oleh Douwes Dekker setelah dirinya dipecat dari majalah Bataviaasche Nieuwsblad. Majalah ini lahir di Bandung dengan mengajar Ki Hadjar Dewantara dan Tjipto Mangunkusumo untuk mengelolanya. De Express menggunakan bahasa Belanda dalam penerbitannya dan sangat mencerminkan tujuan ketiganya dalam mencapai Indonesia merdeka.

4

(48)

menyuarakan suara-suara rakyat Indonesia. Kemampuan jurnalistiknya semakin

terasah ketika dirinya harus rajin-rajin menulis agar mendapatkan uang demi

mencukupi kebutuhan hidupnya di Belanda. Kemudian, Sutartinah, sebagai istrinya

ikut mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan menjadi guru di Frobel

Schoolatau Taman Kanak-Kanak di Den Haag.5

Pada tahun 1914, Suwardi mendirikan biro pers Indonesia dengan nama

Indonesische Pers Bureau dibantu Sutartinah. Biro pers yang dibuat oleh Suwardi

merupakan biro pertama yang menggunakan nama Indonesia. Tujuan didirikannya

biro pers ini adalah untuk memberikan informasi-informasi kepada surat kabar di

Belanda tentang berbagai macam situasi yang sedang berlangsung di Indonesia.

Selain itu, brosur-brosur serta risalah-risalah mengenai Budi Utomo, Sarikat Islam,

Indische Partij dan lain-lain diterbitkan olehIndonesische Pers Bureau.

Melalui biro pers yang didirikannya Suwardi kemudian menerbitkan brosur

untuk memperingati masa pembuangannya di Belanda. Brosur tersebut berisi

beberapa tulisan Suwardi yang telah dilarang oleh pemerintah Belanda. Tulisan

lainnya yang dimuat dalam brosur tersebut yaitu tulisan dari Tjipto Mangunkusumo,

Douwes Dekker dan H. Mulder. Tulisan-tulisan tersebut adalah tulisan yang sudah

dilarang dan dicabut oleh pemerintah Belanda. Akan tetapi oleh Sutartinah, tulisan

5

(49)

tersebut dikumpulkan dan dirawat ketika mereka akan berangkat menuju tanah

pembuangan.

Biro pers milik Suwardi ternyata membuahkan hasil ketika Dewan Perwakilan

Rakyat Belanda berunding dan memperdebatkan pembuangan Suwardi, Tjipto

Mangunkusumo dan Douwes Dekker. Indonesische Pers Buerau berhasil untuk

membentuk pendapat umum yang kemudian mendukung serta membela “Tiga

Serangkai”. Melalui keputusan votting dihasilkan bahwa golongan demokrat, sosial,

serta golongan progresif lainnya mendukung upaya pembebasan Tiga Serangkai

tersebut. Keputusan pun dapat diambil yaitu pada tahun 1918 ketiganya dibebaskan

oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Graaf van Limburg Stirum.6

Suwardi semakin melebarkan sayapnya dalam berkiprah di bidang jurnalistik.

Sekembalinya di Indonesia dirinya memimpin majalah De Beweging serta majalah

berbahasa melayu yaitu Persatuan Hindia. Dirinya mengerahkan secara maksimal

kemampuannya dalam menulis dengan banyak mengirimkan tulisan-tulisannya ke

berbagai koran ataupun majalah-majalah. Meskipun Suwardi sudah dibebaskan dari

hukuman buang, dirinya masih menulis tentang politik dan pembebasan rakyat

Indonesia dari penjajahan Belanda. Tulisannya masih sangat sensitif bagi pemerintah

6

(50)

Belanda. Sehingga Suwardi kembali mendapatkan hukuman dari pemerintah Belanda

berupaPers Delict.7

Akan tetapi dari seluruh perjalanan karier jurnalistik Suwardi, hanya

Sutartinah lah yang menjadi pendorongnya. Sutartinah sendiri sangatlah mengetahui

bagaimana watak suaminya ketika akan menuangkan ide-idenya ke dalam tulisan.

Bagi Sutartinah, Suwardi adalah sosok yang cerdas, berani dan mempunyai semangat

juang yang tinggi. Sutartinah juga berpendapat bahwa Suwardi terlalu gegabah dan

sulit mengendalikan emosi. Dalam hal ini Sutartinah senantiasa mengarahkan

Suwardi agar tidak terjebak dalam emosi oleh pemerintah Belanda.

7

Pers Delict adalah istilah dalam hukum yang digunakan untuk memidanakan kasus-kasus yang berkaitan dengan pers. Atau dapat diartikan lagi sebagai tindak kejahatan yang dilakukan oleh pers. Selain itu penyiaran tulisan atau gambar dalam media pers yang dianggap sebagai pelanggaran hukum dapat juga dinamai sebagai pers delict. Pihak-pihak yang dapat dikenai pers delict adalah pembuat tulisan atau gambar, redaktur, penerbit, serta pencetak. Terdapat tiga unsur agar si pembuat tulisan dapat dikenai pers delict. Pertama adanya penyebarluasan gagasan melalui barang cetakan, kedua gagasan tersebut harus merupakan perbuatan yang dapat dipidanakan menurut hukum, dan ketiga gagasan tersebut

harus dapat dibuktikan telah dipublikasi. Lihat di

https://www.jurnalrozak.web.id/2014/05/pengertian-dan-unsur-delik-pers.html dan

(51)

Gambar 3.1:Ki dan Nyi Hadjar Dewantara8

Tepat di usianya yang ke 40, Suwardi mengubah namanya menjadi Ki Hadjar

Dewantara. Begitu pula dengan istrinya, Sutartinah, dirinya juga mengubah namanya

menjadi Nyi Hadjar Dewantara. Perubahan nama tersebut berawal dari sebuah

julukan yang diberikan oleh R.M. Sutatmo ketika memimpin sidang dalam acara

“Seloso-Kliwonan”.9 R.M. Sutatmo memberikan julukan “Ki Ajar”. Julukan ini

8

“Ki dan Nyi Hadjar Dewantara ,” Koleksi Foto Digital Museum Dewantara Kirti

Griya (Tamansiswa), accessed November 21, 2018,

https://museumdewantara.omeka.net/items/show/3326.

9

(52)

diberikan kepada Suwardi karena dirinya dianggap mampu dalam hal ilmu keguruan

dan pendidikan.10

Julukan tersebut menjadi hal yang serius ketika Suwardi dan istrinya

menjadikannya sebuah nama untuk selamanya. Perubahan nama ini juga

membuktikan bahwa Suwardi dan Sutartinah sudah memantabkan diri untuk

melepaskan statusnya sebagai bangsawan. Dengan tidak lagi memakai gelar pada

namanya menandakan bahwa dirinya sama seperti orang biasa. Selain itu, dirinya

juga sudah siap melepas atribut bangsawan yang telah lama melekat. Sehingga sudah

tidak ada batasan antara dirinya yang seorang bangsawan dengan masyarakat biasa

lainnya.

Dalam memperjuangkan kemerdekaan, tentunya Ki Hadjar Dewantara tidak

sendiri. Nyi Hadjar Dewantara pun mulai ikut terjun dalam kegiatan organisasi yang

bergerak dalam bidang pergerakan perempuan. Dalam perkembangannya, Nyi Hadjar

Dewantara menjadi ketua organisasi Wanita Taman Siswa sekaligus merangkap

sebagai anggota Badan Penasehat Pemimpin Umum. Nyi Hadjar Dewantara

kemudian juga terjun dalam bidang jurnalistik dengan menulis beberapa artikel

tentang perempuan.

10

(53)

3.2

Pandangan Ki Hadjar Dewantara Mengenai Perempuan

Darah bangsawan yang mengalir dalam tubuh Ki Hadjar Dewantara tidak

dapat ditutupi. Prinsip-prinsip Jawa serta keyakinan terhadap agamanya bahkan bisa

dijalankan secara bersamaan. Rendah hati dan merakyat merupakan kata-kata yang

pantas diberikan pada Ki Hadjar Dewantara. Lugas dan tegas dalam setiap

tuturkatanya serta lemah-lembut pada setiap perbuatannya menjadikan Ki Hadjar

Dewantara selalu dihormati. Keprihatinan terhadap keadaan bangsanya membuatnya

sadar akan tugasnya untuk membawa perubahan pada sistem pendidikan.

Kehidupan Ki Hadjar Dewantara diselimuti budaya Jawa yang mempengaruhi

pola pikirnya. Salah satunya, pemikiran budaya Jawa mengenai perempuan.

Perempuan dalam adat budaya Jawa selalu ditempatkan di belakang laki-laki.

Pengaruh budaya patriarki yang kuat serta konstruksi sosial yang dibangun membuat

banyak aturan yang mengikat para perempuan. Adat maupun aturan tersebut mampu

mengekang kebebasan perempuan dalam mengeksplorasi dirinya baik dalam keluarga

maupun masyarakat. Sehingga sedikit perempuan yang menyadari pentingnya posisi

perempuan pada keluarga maupun masyarakat.

Budaya Jawa sering kali menempatkan perempuan pada posisi nomor dua

setelah laki-laki. Perempuan juga selalu diidentikkan dengan pekerjaan pada sektor

domestik. Pada sektor ini perempuan hanya diberi tanggung jawab terhadap

kehidupan keluarga. Sedangkan laki-laki di tempatkan pada sektor publik dimana

(54)

sekaligus melindungi keluarga ketika menghadapi urusan luar rumah tangga.11Hal ini mampu mempengaruhi perempuan dalam kedudukannya di masyarakat dimana

mereka jarang diberi kesempatan untuk mengambil keputusan dalam kehidupan

bermasyarakat.12

Tidak hanya pada adat serta banyaknya aturan saja yang mengikat perempuan

Jawa, kesusastraan pun memuat nilai tentang seharusnya perempuan Jawa

berperilaku. Pada Serat Centhini terdapat kias lima jari tangan yang menggambarkan

kedudukan perempuan dalam keluarga. Kiasan ini menggambarkan bagaimana

seharusnya perempuan bertindak agar tidak membawa keburukan terhadap

suaminya.13Kiasan tersebut antara lain :

1. Jempolatau ibu jari digambarkan sebagai Pol ing tyas yang berarti bahwa istri harus mengikuti kehendak suami serta menuruti apa yang suami

katakan.

2. Penuduh atau telunjuk digambarkan sebagaitudhung kakung yang berarti

tidak boleh mematahkan petunjuk suami.

11

Tanti Hermawati, Budaya Jawa dan Kesetaraan Gender, (Jurnal Komunikasi Massa, Vol. 1, No. 1, 2007), hal 19.

12

Dr. Budi Susanto, Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa), (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992), hal 23.

13

(55)

3. Penunggul atau jari tengah yaitu selalu meluhurkan serta menjaga martabat suami.

4. Jari manis yang berarti tidak boleh menunjukkan ekspresi marah, harus

selalu manis di depan suami bila menghendaki sesuatu.

5. Jejenthik atau kelingking yang berarti sebagai seorang istri harus cerdas dan lincah dalam melayani suami.

Pada serat berikutnya yaitu Serat Panitasastra, perempuan hanya dilihat dari

fungsi reproduksinya saja. Fungsi reproduksi menurut serat tersebut menekankan

pada faktor perempuan yang melahirkan keturunan serta tuntutan untuk setia pada

suami.14 Dalam melahirkan keturunan, anak dianggap sebagai sumber kebahagiaan orang tua serta cerminan orang tuanya. Terlebih lagi jika perempuan melahirkan anak

yang berjenis kelamin laki-laki, karena anak laki-laki tersebut akan dijunjung tinggi.

Berbeda lagi jika perempuan tidak bisa mempunyai anak, maka perempuan itu

dianggap sia-sia.15 Selain fungsi reproduksinya, dalam serat ini perempuan dianggap lemah dalam hal kebijakan dan kekuatan.

14

Ibid.,hal 40.

15

Atik Catur Budiati, Aktualisasi Diri Perempuan Dalam Sistem Budaya Jawa: Persepsi Perempuan Terhadap Nilai-Nilai Budaya Jawa Dalam Mengaktualisasikan Diri,

(56)

Selain serat-serat Jawa, budaya Jawa sendiri mempunyai beberapa istilah yang

menempatkan posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki.16 Istilah pertama yang paling sering diucapkan yaitu kanca wingking yang dalam Bahasa Indonesia artinya teman belakang.Kanca wingkingdalam bahasa Jawa ditujukan untuk para perempuan

yang diharapkan dapat mengurusi urusan belakang rumah tangga, yaitu mengurus

anak hingga mengurusi pekerjaan rumah tangga. Istilah lainnya masak,macak, dan manak yang dalam Bahasa Indonesia artinya memasak, berdandan dan melahirkan.

Istilah ini mengharuskan perempuan untuk dapat memasak untuk keluarga, berdandan

untuk suaminya serta melahirkan keturunan sebagai penerus keluarga.

Peran dan kedudukan perempuan dalam budaya Jawa lambat laun membentuk

stereotip tentang bagaimana seharusnya perempuan berperilaku.17 Aturan yang dibungkus oleh adat secara tidak sadar mampu mengekang aktifitas perempuan dalam

bersosialisasi. Maka tidak heran bahwa perempuan tidak dapat mengembangkan

dirinya. Sebagai seorang bangsawan Jawa, Ki Hadjar Dewantara sudah lekat dengan

berbagai aturan yang mengikat tentang perempuan.

Ki Hadjar Dewantara ternyata mempunyai pandangan berbeda dengan yang

lainnya, termasuk mengenai perempuan. Di beberapa tulisan dirinya menulis tentang

perempuan dengan beberapa aspek yang dapat dikembangkan oleh perempuan. Dapat

dikatakan bahwa Ki Hadjar Dewantara memiliki perhatian khusus terhadap

16

Tanti Hermawati,op.cit,hal 20.

17

(57)

perempuan di beberapa aspek, bahkan tidak pernah terpikirkan. Aspek mendasar bagi

kaum perempuan seperti pendidikan, pekerjaan, organisasi dan lain-lain.

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai perempuan diwujudnyatakan

dalam kehidupannya melalui Nyi Hadjar Dewantara. Misalnya keikut sertaan Nyi

Hadjar Dewantara sebagai ketua dalam Wanita Taman Siswa.18 Selanjutnya tanpa meninggalkan Wanita Taman Siswa sebagai wakil, Nyi Hadjar Dewantara

melebarkan sayapnya dengan berperan serta dalam pembentukan Kongres Perempuan

Indonesia pada 22 Desember 1928. Kongres Perempuan Indonesia bertujuan untuk

memperkuat hubungan antara organisasi perempuan satu dengan yang lainnya serta

membicarakan perihal perempuan baik mengenai kewajiban, keperluan serta

kemajuannya.19

18

Wanita Taman Siswa merupakan sebuah badan kewanitaan yang berada di dalam naungan Taman Siswa sehingga azas dan tujuannya harus lurus dengan azas dan tujuan Taman Siswa. Wanita Taman Siswa bersifak eksklusif, hanya para anggota dari Taman Siswa saja yang boleh menjadi anggota Wanita Taman Siswa. Lihat Buku Peringatan Tamansiswa 30 Tahun,(Yogyakarta: Percetakan Tamansiswa, 1981), hal 97.

19

Gambar

Gambar 2.1: Tokoh “Tiga Serangkai”, Dr. Cipto Mangunkusuno, Douwes Dekker,
Gambar 3.1: Ki dan Nyi Hadjar Dewantara8
Gambar 3.2: Nyi Hadjar Dewantara menyampaikan pidato pada acara Kongres PPII
Gambar 3.3: Suasana kelas di Taman Indria.24
+6

Referensi

Dokumen terkait

Pokja Pekeriaan KonstuksiUnit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Lebong dengan ini mengumumkan hasil. Pelelanga Umum derqan Pascakualilikasi pda Bidang Bina lftarge

Dalam membangun sistem, beberapa hal yang dianalisis adalah kestabilan overlay objek virtual (dilihat dari jumlah, ukuran dan jarak marker), ketepatan occlusion detection (dilihat

komputer sulit untuk diprogram dan membatasi kecepatannya. Berikut Karakteristik komputer Generasi I secara umum. 1) Sirkuitnya Menggunakan Tabung Hampa. Penggunaan Tabung

Bagi calon penyedia jasa konstruksi yang keberatan atas Pengumuman ini, diberikan masa. sanggah sesuai dengan jadwal Sistem Pelelangan Secara Elektronik (SPSE) dan

Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran asupan tiamin pada siswa SMP Santo Thomas 1 Medan yang mengalami obesitas tahun 2014.. Jenis penelitian ini bersifat survei

Jawaban dapat lebih dari satu dalam satu pernyataan dan bila anda tidak mengalami gejala yang ada dalam pernyataan anda boleh tidak menjawabnya... Perasaan

Sahabat MQ/ Mahkamah Konstitusi akan memutar rekaman/ yang berisi dugaan rekayasa/ pimpinan KPK nonaktif -Chandra dan -Bibit// Rencananya rekaman tersebut akan

[r]