• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium tuberculosiscomplex (PDPI, 2006).

2.2. Epidemiologi Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru TB pada tahun 2002 dengan 3,9 juta adalah kasus Basil Tahan Asam (BTA) positif (PDPI, 2006).

Sebagian besar dari kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%) terjadi di negara-negara yang sedang berkembang. Indonesia adalah negara dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India. Sedangkan berdasarkan umur, terlihat angka insidensi TB secara perlahan bergerak ke arah kelompok umur tua (dengan puncak pada 55-64 tahun), meskipun saat ini sebagian besar kasus masih terjadi pada kelompok umur 15-64 tahun (Amin, 2007).

2.3. Etiologi

Proses terjadinya infeksi M. tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung BTA. (Amin, 2007).

Penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 μm dan tebal 0,3-0,6 μm. Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), peptidoglikan, dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam

(2)

(asam alkohol) sehinga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan dia juga lebih tahan tehadap gangguan kimia dan fisis. Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat

dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit lagi dan menjadikan penyakit TB menjadi aktif lagi (Amin, 2007).

2.4. Patogenesis

2.4.1. Tuberkulosis Primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

3. Menyebar dengan cara :

 Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya.

 Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan.

 Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, adrenal, genitalia dan sebagainya (PDPI, 2006).

2.4.2. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)

Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis

(3)

post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :

1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat 2. Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan

dengan penyebukan jaringan fibrosis.

3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kavitas sklerotik) (PDPI, 2006).

2.5. Klasifikasi TB 2.5.1. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.

1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak/BTA Tuberkulosis paru dibagi atas:

a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:

• Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif.

• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. • Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif

dan biakan positif. b. Tuberkulosis paru BTA (-)

• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif.

• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis positif.

(4)

2. Berdasarkan tipe pasien

Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :

a. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan obat anti tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

b. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.

c. Kasus defaulted atau drop out

Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

d. Kasus gagal

• Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).

• Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.

e. Kasus kronik / persisten

Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

f. Kasus Bekas TB:

• Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.

(5)

• Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologik (PDPI, 2006).

2.5.2. Tuberkulosis Ekstra-paru

Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain (PDPI, 2006).

Tuberkulosis ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:

a. TB ekstra-paru ringan

Misalnya : TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

b. TB ekstra-paru berat

Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin (Depkes RI, 2003).

2.6. Diagnosis TB 2.6.1. Gejala Klinis

1. Gejala respiratorik

Gejala respiratorik berupa batuk 2 minggu, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi.

2. Gejala sistemik

Gejala sistemik lain berupa demam, malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.

(6)

3. Gejala TB ekstra paru

Gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis TB akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis TB terdapat gejala sesak napas dan terkadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan (PDPI, 2006).

2.6.2. Pemeriksaan Fisik/Jasmani

Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat (PDPI, 2006).

2.6.3. Pemeriksaan Bakteriologik a. Bahan pemeriksasan

Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquorcerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)

b. Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):

- Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan) - Pagi ( keesokan harinya )

- Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.

c. Cara pemeriksaan dahak Pemeriksaan mikroskopik:

 Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen

 Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk

(7)

lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila : • 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif

• 1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto toraks, kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif → BTA positif • bila 3 kali negatif → BTA negatif

Pemeriksaan biakan kuman:

Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara:

- Egg-based media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh - Agar-based media : Middle brook

2.6.4. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform) (PDPI, 2006).

2.7. Pengobatan TB

2.7.1. Directly Observed Treatment Short-course (DOTS)

Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia bekerjasama dengan WHO, melaksanakan suatu evaluasi bersama bernama WHO-Indonesia Joint Evaluation

yang menghasilkan rekomendasi perlunya segera dilakukan perubahan mendasar pada strategi penanggulan TB di Indonesia yang kemudian disebut “STRATEGI DOTS” (Permatasari, 2005).

Istilah DOTS dapat diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) (Permatasari, 2005).

Tujuannya mencapai angka kesembuhan yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek samping obat jika timbul dan mencegah resistensi (Permatasari, 2005). DOTS mengandung lima komponen, yaitu:

(8)

1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana 2. Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis

3. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO)

4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin 5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan

evaluasi program penanggulangan TB (Depkes RI,2002).

Obat Anti Tuberkulosis yang digunakan dalam program pengobatan TB jangka pendek adalah: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S) dan Ethambutol (E). Oleh karena itu penggunaan Rifampisin dan Streptomisin untuk penyakit lain hendaknya dihindari untuk mencegah timbulnya resistensi kuman. Pengobatan penderita harus didahului oleh pemastian diagnosis melalui pemeriksaan radiologik, dan laboratorium terhadap adanya BTA pada sampel sputum penderita (Girsang, 2002).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif (2-3 bulan) dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan (4-7 bulan) pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister

(9)

2.7.2. Jenis, Sifat, dan Dosis OAT

Tabel 2.1. Jenis, Sifat, dan Dosis OAT

Jenis OAT Sifat

Dosis yang direkomendasikan (mg/kg) Harian 3x seminggu Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12) Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12) Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40) Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18) Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35) 2.7.3. Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.

 Evaluasi klinik

Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan. Evaluasi berupa respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik.

 Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)

Evaluasi ini bertujuan mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopik dilaksanakan sebelum pengobatan

(10)

dimulai, setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif), dan pada akhir pengobatan. Bila ada fasilitas biakan dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.

 Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada saat sebelum pengobatan, setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan), dan pada akhir pengobatan.

 Evaluasi efek samping OAT secara klinik

Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan). Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila ada keluhan). Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.

 Evalusi keteraturan berobat

Evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

(11)

 Evaluasi pasien yang telah sembuh

Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh (PDPI,2006).

2.8. Peranan Status Gizi Pada Penderita TB

Status gizi menentukan kesehatan normal tubuh serta semua fungsi sistem pada tubuh termasuk sistem imun yang bertanggungjawab sebagai pertahanan tubuh dalam berbagai penyakit infeksi (Dodor, 2008). Salah satu faktor yang mempengaruhi terjangkitnya penyakit TB adalah status gizi. Status gizi yang buruk akan meningkatkan resiko terhadap penyakit TB paru. Sebaliknya, penyakit TB paru dapat mempengaruhi status gizi penderita karena proses perjalanan penyakitnya yang mempengaruhi daya tahan tubuh. Selain itu, penderita TB yang mengalami kekurangan gizi akan mengakibatkan produksi antibodi dan limfosit terhambat, sehingga proses penyembuhan akan terhambat pula (Triwanti, 2005).

Pasien TB sering ditemukan mengalami kehilangan berat badan yang hebat, suatu gejala yang menjelaskan mengenai penurunan imun seseorang (immuno-suppresive) dan merupakan penentu utama dari berat dan prognosa penyakit tersebut (Vasantha, 2008). Mariono (2003) dalam Usman (2008), malnutrisi menyebabkan berat badan berkurang, kekuatan otot pernapasan berkurang, menurunnya kapasitas ventilasi dan berkuranganya pertahanan paru sehingga memperburuk kondisi pasien. Kekurangan nutrisi pada umumnya berkaitan dengan terganggunya respon imun, khususnya fungsi fagosit, produksi sitokin, respon sekresi antibody, dan sistem komplemen. Ringkasnya kekurangan nutrisi menyebabkan immudodefisiensi secara umum untuk berbagai penyakit infeksi termasuk tuberkulosis (Usman, 2008).

Kebanyakan penderita TB adalah kelompok usia produkif (15-55 tahun) secara tidak langsung penyakit dan status gizi yang buruk akan mempengaruhi

(12)

produktivitas. Untuk itu diperlukan dukungan nutrisi yang adekuat sehingga akan mempercepat perbaikan status gizi dan menignkatkan sistem imun yang dapat mempercepat proses penyembuhan disamping pemberian obat yang teratur sesuai metode pengobatan TB (Usman, 2008).

Menurut Linder (1991) dalam Usman (2008), gizi secara umum terdiri dari karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral. Dalam keadan normal gizi dapat tercukupi dari makanan sehari-hari tetapi dalam kondisi kemiskinan dan penyakit kronis, tidak semua komponen gizi dapat terpenuhi terutama protein. Kebutuhan protein dalam keadaan normal 0,8-1 gr/kgBB/hari, dan pada keadaan sakit kebutuhan protein mencapai 1,5-3 gr/kgBB/hari.

Chan (1996) dalam Usman (2008), peranan protein pada pengobatan TB selain memenuhi kebutuhan gizi, meningkatkan regenerasi jaringan yang rusak juga mempercepat sterilisasi dari kuman TB.

Linder (1991) dalam Usman (2008), menyatakan dengan memberikan diit Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan obat TB pada penderita TB yang di rawat di rumah sakit didapatkan perbaikan secara klinis berupa peningkatan berat badan, peningkatan kadar Hb, dan penurunan SGOT, SGPT.

Vasantha (2008), menunjukkan bahwa kenaikan berat badan pengobatan dikaitkan dengan usia (<45 tahun), di pusat pemerintah, tidak ada riwayat pemakaian obat sebelumnya. Pada akhir masa intensif pengobatan DOTS, ditemukan perubahan berat badan pada pasien TB secara signifikan berhubungan status pernikahan, pendapatan per bulan, tingkat pendidikan, kepercayaan dalam memilih jenis makanan tertentu pada saat sakit dan porsi makan dalam keluarga. Pada pasien TB laki-laki didapati peningkatan BMI sedikit lebih tinggi dibandingkan pasien wanita saat pengobatan dimulai (Dodor, 2008). Sedangkan menurut Khan (2006), pasien yang memiliki berat badan rendah pada saat diagnosis, kenaikan berat badan 5% atau kurang yang terjadi setelah pengobatan dua bulan (fase intensif) berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya kekambuhan.

(13)

2.8.1. Patofisiologi Penurunan Berat Badan pada Pasien TB Infeksi Mycobacterium tuberculosis

Aktifasi makrofag oleh IFN-γ produksi pirogen endogen IL -1, IL-4, IL-6, TNF-α

Pirogen endogen bersirkulasi sistemik & menembus masuk hematoencephalic barrier bereaksi terhadap hipotalamus.

Efek sitokin pirogen endogen pada hipotalamus menyebabkan produksi prostaglandin.

Prostaglandin merangsang cerebral cortex

( respon behavioral) → nafsu makan menurun & leptin meningkat menyebabkan stimulasi dari hipotalamus → nafsu makan disupresi

Pada masa yang sama terjadi peningkatan metabolisme tubuh pada pasien TB karena peningkatan penggunaan energi metabolik.

Penurunan nafsu makan dan peningkatan metabolisme tubuh pasien TB menyebabkan penurunan BB

Gambar

Tabel 2.1. Jenis, Sifat, dan Dosis OAT

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dipandang perlu mengingat begitu cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat lintasdisiplin, sehingga kerjasama penelitian atau

(1989) yang mengamati peranan vitamin C terhadap induk ikan trout mencatat bahwa pada saat vitelogenesis, kandungan kolesterol serum induk yang menerima pakan dengan

Meski secara umum semua sektor mengalami penurunan investasi riil, sektor Hotel dan Restoran yang merupakan pendorong peningkatan pertumbuhan Provinsi Jambi dari 5,89 persen

Pada hari ke 20 bobot tubuh cacing tanah yang meningkat pada tiap media, hal ini karena pada media sayur dan kotoran ayam cacing tanah memperoleh nutrisi,

Kalaulah di dunia ini ada kelom pok yang kukuh t anzim nya, berakhlak dengan akhlak I slam iah dan akhlak asasiah, m aka adalah m ust ahil kepim pinan akan dipegang oleh kelom

Promosi yang kami gunakan untuk memperkenalkan “Pia SIPUT” adalah melalui face to face yaitu produsen sendiri atau melalui bagian pemasaran memperkenalkan produk kepada

emas dari batuan X1 dengan metode bisulfit disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan data pada Tabel 3, dari sekitar 6 g sampel X1 yang dilarutkan dalam air raja kemudian direduksi

Setelah dilakukan evaluasi terhadap dokumen kualifikasi dan penawaran yang Saudara ajukan pada pekerjaan Pengadaan Jasa Konstruksi Pembangunan Gedung Kantor Pengadilan