• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "III. KERANGKA PEMIKIRAN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Aspek-Aspek Kemiskinan Berbasis Agroekosistem

Kemiskinan bersifat multikompleks; dapat dipandang sebagai akibat dari

suatu keadaan, tetapi secara bersamaan juga bisa dipandang sebagai sebab dari

suatu keadaan. Di Indonesia, kemiskinan bersifat multifacets; yang keragaannya

dapat dijelaskan dengan berbagai pendekatan. Untuk mengerti tentang

kemiskinan, haruslah dilihat bagaimana kehidupan orang miskin dengan

menggunakan pendekatan multidisiplin. Penanggulangan kemiskinan dapat

dicapai juga dengan berbagai pendekatan; tidak ada satu ’resep’ yang berlaku

untuk semua keadaan.

Kemiskinan dan berbagai upaya penanggulangannya khususnya di

Indonesia memperlihatkan kompleksitas permasalahan kemiskinan. Dalam

tinjauan makro, pengurangan kemiskinan dengan memacu pertumbuhan

ekonomi merupakan prioritas utama. Dalam upaya pengurangan kemiskinan,

perbaikan dimensi ekonomi saja tidaklah cukup; diperlukan dimensi selain

ekonomi. Pertumbuhan ekonomi (growth) yang berkelanjutan (sustainable)

merupakan keharusan (necessary) tetapi belumlah cukup (insufficient);

diperlukan upaya distribusi pendapatan yang berkeadilan. Dimensi ekonomi yang

menjadi prasyarat harus dilakukan bersamaan dengan dimensi non ekonomi

yang meliputi bidang sosial, politik dan hukum.

Disertasi ini tidak meneliti hal tersebut, namun mengadopsi pemikiran

bahwa dimensi ekonomi dan non ekonomi sebagaimana disebutkan di atas

menjadi prasyarat setiap kebijakan. Opsi kebijakan pengurangan kemiskinan

yang ditawarkan pada disertasi ini dapat berjalan bersamaan dengan upaya

perbaikan prasyarat dimensi ekonomi dan non ekonomi tersebut.

(2)

Kemiskinan dengan menggunakan konsep kebutuhan dasar (basic

needs) pada penelitian ini didefinisikan sebagai ketidakmampuan dalam

memenuhi kebutuhan yang bersifat mendasar baik pangan maupun non pangan

antara lain sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Strategi kebutuhan

dasar ini merupakan pendekatan langsung, bukan melalui pendekatan tidak

langsung seperti melalui efek menetes ke bawah dan menyebar (trickle-down

and spread effect) dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar tersebut dapat

ditinjau dari dua aspek yakni aspek pendapatan dan aspek pengeluaran

penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasar yang timbul oleh adanya aktivitas

ekonomi. Aspek pendapatan berhubungan erat dengan matapencarian atau

peluang kerja dan peluang usaha. Di perdesaan, matapencarian utama pada

umumnya bertumpu pada ketersediaan sumberdaya alam (resource based

economy) yang erat kaitannya dengan agroekosistem. Sedangkan aspek

pengeluaran berkaitan dengan konsumsi untuk memenuhi kebutuhan minimum;

yang pola konsumsinya dipengaruhi oleh dipengaruhi pula oleh agroekosistem.

Persoalan-persoalan kemiskinan dapat dianalisis bersifat spesifik

berdasarkan tipologi dan karakteristik rumahtangga miskin. Pemecahan masalah

kemiskinan seharusnya dikaitkan dengan tipologi kemiskinan dan kerentanan

serta faktor-faktor penciri kemiskinan. Tipologi tersebut diperlukan untuk

pengoptimuman pencapaian tujuan, khususnya dalam penentuan sasaran

kebijakan program dan penentuan jenis intervensi yang tepat. Selain itu, dapat

digunakan untuk mengevaluasi dampak kebijakan, perbandingan tingkat

kemiskinan antarruang dan waktu. Ketepatan sasaran merupakan hal penting

karena bila sasaran tidak tepat, maka manfaat program penanggulangan

(3)

kemiskinan dinikmati oleh penduduk yang bukan menjadi target, sehingga dapat

memperparah ketimpangan ekonomi.

Berdasarkan tinjauan pustaka terdahulu, kemiskinan di Indonesia

menunjukkan berbagai keragaan dan karakteristik serta memperlihatkan

kekhasan

fenomena

berdasarkan

spasial,

khususnya

berdasarkan

agroekosistem. Pada disertasi ini, agroekosistem didefinisikan sebagai sistem

interaksi antara manusia dan lingkungan biofisik sumberdaya perdesaan dan

pertanian guna memungkinkan kelangsungan hidup penduduknya. Tipe

agroekosistem yang digunakan pada penelitian ini yaitu Lahan Basah, Lahan

Kering, Lahan Campuran, Dataran Tinggi, Hutan, Pasir/Pantai. Keenam

agroekosistem ini menjadi locus penelitian pada disertasi ini, sehubungan

dengan kaitan, kekhasan, juga keragaman keragaannya dengan fenomena

kemiskinan dan kerentanan di Indonesia.

Tipologi kemiskinan pada disertasi ini didefinisikan sebagai keragaan

yang mempresentasikan karakter dan magnitut kemiskinan serta kerentanan.

Tipologi kemiskinan tidak hanya menjelaskan besaran jumlah ataupun

persentase rumahtangga miskin, tetapi juga seberapa dalam dan parah

kemiskinan tersebut. Selanjutnya, tipologi ini juga menjelaskan seberapa rentan

rumahtangga miskin terhadap gejolak perekonomian dan bagaimana sifat

kemiskinannya; apakah bersifat kronis ataukah tidak kronis.

Tipologi kemiskinan akan menunjukkan keragaman karena interaksi

faktor manusia dengan lingkungan sumberdayanya beragam, dan harga atau

nilai sumberdaya yang berbeda berdasarkan pendekatan agroekosistem. Hal ini

disebabkan agroekosistem di Indonesia menunjukkan karakter dan magnitut

yang beragam dimana tiap agroekosistem memiliki kekhasan fenomena

kemiskinan.

(4)

Selain dengan menganalisis tipologi kemiskinan, untuk mengetahui

bagaimana kehidupan orang miskin, perlu dipelajari faktor penciri yang melekat

pada rumahtangga miskin. Faktor penciri ini merupakan suatu archetype

kemiskinan yakni household that is consider to be the poor because they have all

their most important characteristics.

Faktor penciri kemiskinan pada tiap agroekosistem tersebut dalam

disertasi ini terdiri dari faktor penciri yang melekat pada rumahtangga yakni

human and social capital, dan faktor penciri yang melekat pada faktor spasial dan

infrastruktur meliputi infrastruktur fisik dan sosial. Faktor penciri kemiskinan

dianalisis melalui pengeluaran rumahtangga yang pada gilirannya mempengaruhi

kemiskinan. Tiap agroekosistem menunjukkan model yang direpresentasikan

oleh parameter pengeluaran tumahtangga yang konfigurasi dan besarannya

berbeda; meskipun ada beberapa faktor diprediksi sama pada semua

agroekosistem.

Kondisi agroekosistem mempengaruhi kemiskinan penduduk dengan

masing-masing karakteristik sosial-ekonominya melalui aktivitas ekonomi.

Interaksi manusia dengan biofisik yang beragam kondisinya ini memberikan

bentuk aktivitas sosial, ekonomi bahkan budaya yang beragam pula. Interaksi

tersebut menjadi penting karena sebagian besar penduduk menggantungkan

sumber penghidupannya pada ketersediaan lingkungan biofisiknya. Selanjutnya,

keragaman agroekosistem juga menunjukkan keragaman ekonomi penduduknya

yang oleh Ikhsan (1999) disebut sebagai zona agroekonomi.

Kemiskinan pada umumnya terkonsentrasi pada rumahtangga yang tinggal

pada agroekosistem khususnya pada kawasan hutan, pesisir/pantai dan lahan

pertanian yang terdiri dari lahan kering dan lahan campuran. Kondisi

agroekosistem mempengaruhi kemiskinan penduduk dengan masing-masing

(5)

karakteristik sosial-ekonominya melalui aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi

pada suatu agroekosistem dipengaruhi oleh antara lain faktor biofisik

sumberdaya alam sebagai sumberdaya utama kehidupan penduduk, faktor

sumberdaya manusia (human and social capital), modal produktif (physical

productive capital), infrastruktur fisik dan sosial. Keragaman aktivitas ekonomi

pada tiap agroekosistem berkaitan dengan perbedaan harga atau nilai

sumberdaya yang merupakan determinan untuk meraih peluang-peluang

ekonomi (economic opportunities). Aktivitas ekonomi ini pada akhirnya

menentukan pendapatan dan pengeluaran rumahtangga.

Faktor biofisik atau spasial menentukan harga sumberdaya dan peluang

ekonominya. Agroekosistem yang memiliki biofisik dataran tinggi dengan

kemiringan tinggi atau curam, kondisi lahan berbatuan, tidak subur, tandus

sehingga rawan erosi atau longsor akan rendah harga atau nilainya sebagai

sumberdaya kehidupan. Investasi akan enggan masuk pada lingkungan dengan

biofisik seperti ini karena dinilai tidak menghasilkan return yang tinggi.

Peluang-peluang ekonomi untuk matapencarian berkelanjutan akan sangat terbatas.

Agroekosistem hutan ditandai oleh biofisik yang berhutan lebat,

berbukitan, pergunungan ataupun lembah, terpencil di dalam hutan, akses

terhadap pelayanan pokok seperti kesehatan dan pendidikan sangat rendah,

kehidupan relatif subsisten, aksesibilitas terhadap informasi rendah. Kondisi ini

akan mempengaruhi kesempatan berusaha dan bekerja yang seterusnya

mempengaruhi kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh terhambat ataupun

terlambatnya penyesuaian-penyesuaian dalam proses pasar tenaga kerja dan

keputusan untuk migrasi atau berpindah dan mencari nafkah di tempat lain.

Meskipun hutan mengandung kekayaan alam, namun penduduk di dalam

hutan tidak sepenuhnya dapat mengakses sumberdaya hutan sebagai sumber

(6)

kehidupannya. Penduduk hampir tidak mempunyai alternatif matapencarian

selain menjadi buruh perkayuan ataupun menggantungkan nafkah pada ladang

berpindah. Selain itu, biaya penyediaan pelayanan kesehatan dan pendidikan

serta infrastruktur fisik lainnya menjadi tinggi.

Pada lahan basah dengan berpengairan relatif baik, dicirikan dengan

lahan yang relatif datar, relatif subur, aksesibilitas penduduk yang relatif baik

terhadap infrastruktur fisik, kondisi memadai terhadap pelayanan pokok, pasar,

dan trasportasi. Dengan kondisi biofisik seperti ini, pada dasarnya dapat

mendorong resource base economy. Namun, lahan dengan nilai dan harga

sumberdaya yang relatif baik ini justru rawan terhadap konversi lahan.

Pada

agroekosistem

pesisir/pantai

kondisi

biofisik

yang

khas

mempengaruhi kehidupan rumahtangga khususnya nelayan ialah faktor musim

melaut. Pola kerja nelayan menyebabkan terbatasnya pilihan-pilihan terhadap

sumber penghidupan lainnya. Selain itu, dengan sistem open access atau

common property right terhadap kekayaan laut, menciptakan peluang ekonomi

yang lebih tinggi bagi pemilik modal dan sumberdaya manusia yang menguasai

teknologi dan pasar. Kondisi ini akan mendorong relasi yang timpang antar

pelaku ekonomi.

Faktor sumberdaya manusia dan modal sosialnya (human and social

capital) mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran. Kepala keluarga atau

pencari nafkah usia produktif dengan pendidikan yang relatif tinggi atau memiliki

keahlian/ketrampilan dan dengan kondisi kesehatan yang baik, diasumsikan

mempunyai peluang kerja ataupun peluang usaha yang lebih baik. Kepala

keluarga atau pencari nafkah berjenis kelamin laki-laki ditengarai mempunyai

peluang kerja lebih tinggi dibanding perempuan. Keluarga dengan rasio

bergantung (dependency ratio) lebih tinggi, akan lebih tinggi pula peluang

(7)

menjadi katagori miskin. Paguyuban atau kegotongroyongan yang relatif baik

antar rumahtangga ditengarai lebih dapat mengatasi schock terhadap

pendapatan dan pengeluaran rumahtangga. Selain itu, modal sosial yang tinggi

dapat meningkatkan coping ability rumah tangga.

Ketersediaan infrastruktur fisik dan sosial juga menentukan harga atau

nilai sumbedaya. Infrastruktur fisik seperti listrik, jaringan air bersih, sistem

transportasi, pasar, sanitasi/pengelolaan sampah menentukan nilai atau harga

sumberdaya (GTZ dalam Rustiadi, 2007). Selanjutnya, harga atau nilai

sumberdaya ini menjadi determinan aktivitas ekonomi yang lebih luas.

Infrastruktur sosial seperti kelompok-kelompok informal, layanan kesehatan, dan

layanan pendidikan juga mempengaruhi aktivitas ekonomi. Selain itu, adanya

kelembagaan dapat menentukan nilai atau harga sumberdaya yang selanjutnya

mempengaruhi

kesempatan

untuk

meraih

peluang-peluang

ekonomi.

Kelembagaan didefinisikan sebagai the rules of society or of organization that

facilitate coordination among people by helping them from expectations which

each person can reasonably hold in dealing with others (Ruttan dan Hayami

dalam Harianto, 2007).

Kepemilikan physical productive capital: seperti aset produksi misalnya

lahan, perahu motor, kandang, alat dan mesin pengolahan, merupakan aset

pendukung dalam meraih peluang ekonomi. Selain itu, aset fisik ini juga dapat

dijadikan agunan bila memerlukan pinjaman uang, ataupun dapat dijual jika

memerlukan uang.

Jika dianalisis kondisinya, tiap agroekosistem memiliki kekhasan meliputi

biofisik, kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia, infrastruktur fisik dan sosial

termasuk kelembagaan. Tiap agroekosistem mempunyai nilai kemanfaatan

ekonomi dan lingkungan serta nilai sosial budaya yang beragam pula. Nilai

(8)

Karakteristik Agroekosistem Pantai/Pesisir

Biofisik/faktor spasial:

Relatif datar, tidak berbukit/lereng,

Infrastruktur : relatif baik

aksesibilitas wilayah: baik, akses pd sumber daya alam

’terbuka’

Akses pada pelayanan umum: relatif baik

Sosek:

Gini Indeks : 0.67 Pemilikan Lahan : 0.07- 8.3 Ha Sumber penghasilan: kurang variatif

Hutan Biofisik/faktor spasial:

wilayah relatif terisolasi berbukit/datar/lereng

Infrastruktur : relatif kurang baik

Akses terhadap sumber daya alam ‘tertutup’

Akses terhadap pelayanan umum : kurang

Sosek:

Gini Indeks: relatif tinggi Pemilikan Lahan :relatif tidak ada Sumber penghasilan: relatif tidak

Lahan Campuran Biofisik/faktor spasial:

Topografi : bervariasi berpengairan 25 - 75 %

aksesibilitas wilayah kurang baik

Infrastruktur : beririgasi, jalan

pertanian

Akses pada pelayanan umum : relatif tersedia

Sosek:

Gini Indeks : tidak ada data Pemilikan Lahan : 0.02-0.5 Ha Sumber penghasilan: relatif variatif

Lahan Kering Biofisik/faktor spasial:

Topografi berbukit/lereng, berpengairan < 25 %

Infrastruktur : beririgasi terbatas

aksesibilitas wilayah kurang baik Akses terhadap pelayanan umum : relatif kurang

tersedia

Sosek:

Gini Indeks : 0.27 -0.37 Pemilikan Lahan : 0.01-0.45 Ha Sumber penghasilan:kurang variatif

Lahan Basah Biofisik/faktor spasial:

Relatif datar, tidak berbukit/lereng,

Infrastruktur : beririgasi, jalan

pertanian, berpengairan > 75 % aksesibilitas wilayah relatif baik Akses terhadap pelayanan umum : relatif tersedia

Sosek:

Gini Indeks : 0.22 – 0.38 Pemilikan Lahan : 0.01-0.36 atau tidak berlahan

Sumber penghasilan: relatif variatif

Dataran Tinggi Biofisik/faktor spasial:

Altitude: > 500 dpl Topografi berbukit/lereng,

Infrastruktur : kurang memadai

aksesibilitas wilayah kurang baik Akses pada pelayanan umum : relatif tersedia

Sosek:

Gini Indeks : tidak ada data Pemilikan Lahan : sekitar 0.25 Ha Sumber penghasilan: relatif variatif

Gambar 2. Karakteristik Agroekosistem

kemanfaatan ini mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran rumahtangga yang

ada pada tiap agroekosistem.

Secara menyeluruh, karakteristik setiap agroekosistem secara visual

disajikan pada Gambar 2.

Selanjutnya, interrelasi antar faktor tersebut diatas akan merefleksikan

perbedaan peluang ekonomi (economic opportunities) pada tiap agroekosistem

yang ada kaitannya dengan sumber matapencarian dan pola konsumsi. Kedua

aspek ini pada gilirannya diduga akan berpengaruh terhadap kemiskinan dan

kerentanan.

(9)

Kemiskinan dan kerentanan dibentuk oleh dua aspek yaitu aspek

pendapatan dan aspek pengeluaran. Aktivitas ekonomi ditimbulkan oleh

pendapatan dan pengeluaran rumahtangga (RT). Dengan asumsi matapencarian

utama penduduk berbasis ketersediaan sumberdaya alam, maka aktivitas

ekonomi dipengaruhi oleh kondisi agroekosistem melalui konsumsi dan aktivitas

matapencarian. Dengan pendapatannya, rumahtangga dapat mengakses

pelayanan pendidikan dan kesehatan yang pada gilirannya dapat memperkuat

Human Capital (HC). Di samping memenuhi kebutuhan minimum, RT dapat

memperkuat aset-aset produktif (Physical Capital) dalam rangka mendukung

matapencariannya. Selanjutnya, pendapatan rumahtangga akan mempengaruhi

permintaan dan penawaran barang dan jasa.

Di sisi lain, agroekosistem mempengaruhi pola konsumsi RT yang secara

agregat menentukan aktivitas ekonomi pada suatu agroekosistem terutama

menentukan peluang usaha dan peluang kerja yang menggerakkan aktivitas

ekonomi RT pada agroekosistem. Aktivitas tersebut menimbulkan pengeluaran

RT misalnya pengeluaran untuk transportasi, komunikasi dan sebagainya.

Secara agregat, pengeluaran RT tersebut akan menimbulkan permintaan

terhadap barang dan jasa, yang di respon oleh produsen. Penawaran

barang-barang dan jasa akan mempengaruhi pola konsumsi RT.

Kondisi kemiskinan menyebabkan suatu rumahtangga atau individu sulit

mengakses fasilitas pendidikan dan kesehatan. Hal ini mempengaruhi kualitas

tenaga kerja suatu individu. Dengan kualitas yang rendah, maka produktivitas

tenaga kerja rendah; artinya modal manusia (human capital) rendah, maka,

pendapatan juga rendah. Dengan pendapatan rumahtangga yang rendah

(demand) rendah, perusahaan akan menyesuaikan sehingga penawarannya

(supply) barang dan jasa menjadi rendah. Kemampuan ekonomi mempengaruhi

(10)

Impli kasi Kebi jakan Pengeluaran Pendapatan Indikator Kemiskinan •P0 •P1 P2 Kerentanan Elastisitas Faktor penciri Kemiskinan Tinjauan Kebijakan Mata Pencarian Pola Konsumsi Karakteristik Biofisik SDA SDM Infrastruktur Fisik dan Sosial/ Kelembagaan Sifat Kemiskinan Kronis dan Tidak Kronis Peluang ekonomi Aktivitas ekonomi Lahan Basah Lahan kering Lahan Campuran Dataran Tinggi Hutan Pantai/Pesisir Agroekosistem Nilai/Harga Sumberdaya - Human & Social Capital - Physical Capital - Infrastruktur Fisik dan Sosial - Spasial/SDA

besarnya peluang-peluang ekonomi dan investasi serta penyediaan fasilitas

pendidikan maupun kesehatan. Dengan aktivitas ekonomi yang rendah dan

dengan kualitas sumber daya manusia /tenaga kerja yang rendah maka peluang

kerja dan peluang usaha tidak dapat dijangkau atau diciptakan; yang pada

gilirannya tidak memberikan pendapatan yang cukup bagi rumahtangga. Kondisi

ini mengantarkan suatu individu atau penduduk pada kondisi dengan katagori

miskin. Kerangka pemikiran penelitian ini, secara skematis disajikan pada

Gambar 3.

Gambar 3. Kerangka Pemikiran

Keterangan: SDA = Sumber Daya Alam

SDM= Sumber Daya Manusia P0 =insiden kemiskinan P1 = kedalaman kemiskinan P2 = keparahan kemiskinan

(11)

Menguraikan mana sebab dan mana akibat dari kemiskinan pada

hakikatnya adalah sulit. Kadangkala sebab-sebab kemiskinan dapat dilihat

sebagai akibat-akibat dari kemiskinan. Karena itu, analisis-analisis pada

kemiskinan pada umumnya mencari faktor-faktor yang berkorelasi dengan

kemiskinan atau hubungan-hubungan, bukan sebagai hubungan sebab-akibat.

Dengan pemahaman terhadap faktor-faktor yang berkorelasi dengan

kemiskinan, maka dapat dirancang alternatif kebijakan penanggulangannya.

Penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan menggerakkan aktivitas

ekonomi. Aktivitas ekonomi di lingkungan perdesaan dan pertanian dapat

dilakukan melalui penumbuhan sentra-sentra ekonomi untuk menggerakkan

matapencarian dengan meningkatkan peluang usaha dan peluang kerja yang

berkelanjutan (sustainable livelihood). Hal ini penting, mengingat lebih dari tiga

per empat penduduk pertanian dan perdesaan di Indonesia menggantungkan

matapencarian utamanya pada ketersediaan sumberdaya alam.

Selain itu, masih terbuka peluang-peluang untuk menggerakkan aktivitas

ekonomi pertanian dan perdesaan dengan meningkatkan daya dukung

agroekosistem melalui perbaikan modal sumberdaya manusia dan sumberdaya

fisik serta infrastruktur dengan memperhatikan faktor lokasinya.

Perbaikan-perbaikan tersebut akan efektif bila penanganannya sesuai dengan tipologi

kemiskinan dan kerentanannya. Hal tersebut dapat dicapai dengan intervensi

yang tepat antara lain berdasarkan analisis tipologi kemiskinan dan kerentanan

berbasis agroekosistem.

3.2. Analisis Tipologi Kemiskinan

Multikompleks kemiskinan dapat dijelaskan melalui analisis tipologi

kemiskinan dan kerentanan dan faktor penciri atau variabel-variabel yang

(12)

diuraikan diatas. Karena itu, tipologi kemiskinan dan kerentanan rumahtangga

miskin dan faktor pencirinya layak diteliti.

Disamping itu, tipologi kemiskinan dan kerentanan tiap agroekosistem

dapat menjelaskan bahwa kemiskinan tidak secara acak terjadi, tetapi mengikuti

pola-pola sistematis (systematic patterns) yang secara struktural berkorelasi kuat

dengan agroekosistem. Sebagian rumahtangga miskin pada tiap agroekosistem

terperangkap dalam kemiskinan (spatial poverty trap) yang begitu dalam dan sulit

melewati

ambang

batas

miskin

tanpa

upaya-upaya

sistematis

dan

berkesinambungan. Analisis tersebut di atas diyakini dapat menjadi alternatif opsi

dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan di Indonesia.

Tipologi ini dibangun dengan maksud memberikan arah bagi target

pengurangan kemiskinan. Tipologi kemiskinan dan kerentanan pada disertasi ini

mempresentasikan karakter dan magnitutnya. Tipologi tersebut meliputi: (a)

Indikator kemiskinan yakni insiden kemiskinan, kedalaman kemiskinan, dan

keparahan kemiskinan, (b) Kerentanan dan (c) Sifat kemiskinan. Tipologi

kemiskinan menjelaskan besaran jumlah dan persentase rumahtangga miskin,

seberapa dalam dan parah kemiskinan tersebut. Selanjutnya, tipologi ini juga

menjelaskan

seberapa

rentan

rumahtangga

miskin

terhadap

gejolak

perekonomian dan bagaimana sifat kemiskinannya; apakah bersifat kronis

ataukah tidak kronis.

Keragaman sekaligus kekhasan tipologi kemiskinan berdasarkan

pendekatan agroekosistem ini dapat dipahami mengingat agroekosistem di

Indonesia menunjukkan karakter dan magnitut yang beragam dimana tiap

agroekosistem memiliki kekhasan fenomena kemiskinan. Dengan menganalisis

tipologi kemiskinan akan diketahui bagaimana karakter dan magnitut kemiskinan.

Bagaimana kehidupan orang miskin diketahui dengan faktor penciri yang melekat

(13)

pada rumahtangga miskin. Upaya-upaya pengurangan kemiskinan layaknya

menggunakan tipologi dan faktor penciri sebagai referensi bagi penentuan arah,

sasaran dan jenis intervensi.

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk pengurangan kemiskinan

dilakukan melalui dua jalur yakni peningkatan pendapatan dan pengurangan

pengeluaran penduduk. Pengurangan kemiskinan, baik insiden kemiskinan

maupun kerentanan terhadap kemiskinan, dapat ditempuh dengan mengurangi

pengeluaran penduduk miskin dan atau meningkatkan pendapatannya. Selain

itu, dapat dilakukan melalui perbaikan distribusi pendapatan; antara lain

memberikan subsidi, mendekatkan akses penduduk pada fasilitas publik dan

usaha-usaha produktif.

Penanggulangan kemiskinan didasari pemikiran bahwa pengurangan

kemiskinan dalam jangka menengah dan panjang mencakup dua hal yaitu yang

penting dipikirkan secara bersamaan dan dalam suatu kesatuan (unified

framework) yaitu pengurangan insiden kemiskinan (poverty alleviation) dan

mengurangi kerentanan terhadap kemiskinan (poverty prevention). Pengurangan

jumlah penduduk miskin dengan mencegah penduduk jatuh kepada kondisi

miskin sangat penting dalam konsep pengurangan kemiskinan melalui

pemberdayaan masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri. Dengan

pemberdayaan ini, upaya pengurangan kemiskinan dapat dilakukan secara

berkelanjutan, mengurangi beban sosial masyarakat dan mengurangi

ketergantungan terhadap anggaran belanja pemerintah.

Data sosial ekonomi rumahtangga dapat diperoleh dari data Susenas.

Namun, untuk mempelajari insiden kemiskinan lebih spesifik dengan karakteristik

sosial ekonomi pada agroekosistem tertentu, maka diperlukan data lain yakni

Potensi Desa. Opsi kebijakan pengurangan kemiskinan yang mencakup upaya

(14)

kuratif dan upaya preventif dapat dirumuskan dengan tepat melalui pemahaman

karakteristik penduduk miskin yang berbeda dari agroekosistem satu dengan

agroekosistem lainnya. Karakteristik kemiskinan terkait erat dengan lokasi/

lingkungan tempat tinggalnya yang seterusnya akan mempengaruhi

peluang-peluang ekonomi dan matapencariannya.

Untuk merumuskan opsi kebijakan, selain berdasarkan hasil temuan dan

simulasi yang dilakukan pada penelitian ini juga diperlukan tinjauan kebijakan

pengurangan kemiskinan yang telah dilakukan. Untuk menghitung proporsi

penduduk miskin pada lokasi penelitian yang ditetapkan, digunakan formula FGT

yang akan menghasilkan gambaran insiden kemiskinan, kedalaman dan

keparahan kemiskinan.

3.3. Faktor Penciri Kemiskinan dan Kerentanan

Analisis awal dari identifikasi faktor penciri kemiskinan dan kerentanan

ialah seleksi faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi kemiskinan. Metode

analisis yang digunakan adalah metode stepwise discriminant analysis ataupun

dengan metode stepwise logistic regression (logit). Namun, karena metode

terakhir memberikan misclasification yang rendah atau memberikan interpretasi

yang lebih baik (LPEM-UI, 2001), maka pada analisis ini digunakan metode

regresi logistik.

Pada tahap awal, seleksi variabel-variabel yang menjadi variabel penciri

kemiskinan didasarkan pada hasil analisis deskriptif insiden kemiskinan dan profil

kemiskinan serta profil daerah miskin. Kemudian dilakukan review terhadap hasil

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Potensi Desa (Podes) untuk

meneliti ketersediaan data. Aspek kehidupan sosial ekonomi penduduk

menyangkut keadaan demografi, kesehatan, pendidikan, perumahan, lingkungan

(15)

Susenas 2003. Sedangkan data yang menyangkut aspek spasial dan

agroekosistem diperoleh dari data yang tersedia pada Podes 2003. Baik data

Susenas maupun Podes dikeluarkan oleh BPS. Katagori yang digunakan adalah

lahan kering, lahan basah, lahan campuran, pantai/pesisir (coastal), dataran

tinggi dan daerah sekitar hutan.

Selanjutnya, dilakukan pemilihan variabel dengan menggunakan metoda

stepwise yang menjelaskan hubungan variabel-variabel independen dengan

variabel dependen. Variabel-variabel yang dipilih yang akan dimasukkan ke

dalam fungsi yaitu yang mempunyai koefisien determinasi (R

2

) yang besar. Nilai

R

2

ini menunjukkan seberapa besar model dapat menjelaskan data. Sehingga

validasi model dapat juga dilakukan dengan menggunakan indikator nilai R

2

.

Variabel

dependen

yang

digunakan

adalah

status

kemiskinan

rumahtangga menurut kebutuhan dasar minimal versi BPS. Variabel ini disusun

dalam bentuk diskret. Rumahtangga miskin dinotasikan dengan nilai 0 sementara

rumahtangga tidak miskin dengan nilai 1. Variabel-variabel independen

merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi kemiskinan

3.3.1. Faktor Rumahtangga

Secara garis besar, aspek-aspek yang mempengaruhi kemiskinan dalam

perspektif mikro (rumahtangga) yang diteliti dikelompokkan dalam (a) variabel

modal sumberdaya manusia (human capital) yang meliputi variabel profil umum

kepala rumahtangga, variabel kondisi kesehatan rumahtangga, dan variabel

kondisi ekonomi rumahtangga dan (b) variabel modal fisik yang dimiliki

rumahtangga miskin serta (c) variabel tempat tinggal.

Variabel sumberdaya manusia merupakan faktor yang mempengaruhi

kapabilitas individu dalam rumahtangga untuk mencari nafkah atau memperoleh

(16)

yaitu pendidikan tertinggi kepala keluarga, jenis kelamin, usia, jumlah anggota

keluarga yang ditanggung (dependent) dan jumlah tahun bersekolah anggota

keluarga. Tingkat pendidikan dikaitkan dengan peluang kerja dan pendapatan.

Semakin tinggi pendidikan, peluang kerja dan peningkatan pendapatan semakin

besar. Faktor jenis kelamin dinilai berpengaruh terhadap tingkat upah yang

diperoleh oleh pencari nafkah dalam keluarga; sedangkan faktor usia dinilai

dapat

menggambarkan

pengalaman

kerja.

Jumlah

anggota

keluarga

berpengaruh terhadap kesejahteraan rumahtangga; semakin banyak dependen

dalam keluarga maka semakin kecil tingkat kesejahteraan individu dalam

keluarga tersebut.

Selanjutnya, status dan sektor berusaha rumahtangga mempengaruhi

peluang dan besaran pendapatan. Kemiskinan banyak terdapat pada penduduk

dengan status pekerjaan informal dan mencari nafkah di sektor pertanian. Selain

itu, faktor kesehatan individu rumahtangga termasuk faktor yang mempengaruhi

pendapatan rumahtangga. Pencari nafkah yang tidak atau kurang sehat dapat

turun pendapatannya sebagai akibat dari menurunnya produktivitas. Apabila

anggota keluarga (dependent) sakit dan memerlukan biaya besar, maka

diasumsikan pengeluaran keluarga meningkat untuk upaya penyembuhan

anggota keluarga tersebut.

Variabel modal fisik dimasukkan dalam kelompok variabel yang menjadi

penciri kemiskinan dengan pertimbangan bahwa kemiskinan banyak terdapat

pada penduduk dengan status pekerjaan pada sektor informal atau berusaha

sendiri (Susenas, 2003) sehingga kepemilikan modal fisik merupakan faktor yang

mempengaruhi kemampuan untuk memperoleh pendapatan.

Kepemilikan modal fisik dapat menjadi agunan apabila rumahtangga

memerlukan dana pinjaman modal dari Bank atau kredit formal. Selain itu,

(17)

kepemilikan modal fisik dapat menjadi alternatif sumber pendapatan sementara

atau cadangan apabila ada gejolak atau shock terhadap pendapatan atau

pengeluaran suatu keluarga. Sehingga, suatu rumahtangga terlindung dari

kemiskinan atau relatif tidak rentan terhadap goncangan terhadap pendapatan

atau pengeluaran. Yang dimasukkan dalam variabel modal fisik yaitu kepemilikan

aset-aset produktif seperti lahan, rumah dan kendaraan. Kenyataan bahwa

kemiskinan terkait dengan modal fisik diperkuat oleh IFAD (2002) yang

menyebutkan bahwa sebagian besar penduduk miskin di Asia adalah buruh tani,

dan petani gurem. Variabel yang dimasukkan untuk analisis determinan rumah

tangga berjumlah 37 variabel yang diolah berdasarkan data Susenas 2004 yang

menggunakan instrumen core.

3.3.2. Faktor Spasial dan Infrastruktur

Selain faktor kapasitas sumberdaya manusia dan sumberdaya

produktifnya, faktor-faktor yang berkaitan dengan spasial dan infrastruktur adalah

penting. Hal ini disebabkan oleh eratnya kaitan antara insiden kemiskinan

dengan faktor-faktor spasial dan infrastruktur. Kenyataannya, penduduk miskin

dengan kemiskinan kronis secara geografis terkonsentrasi di suatu lokasi.

Konsentrasi kemiskinan spasial ini merefleksikan perbedaan peluang ekonomi

(economic opportunities).

Jika kemiskinan bersifat kronis, dapat dikatakan bahwa terjadi kemiskinan

struktural yang ada hubungannya dengan faktor sumberdaya alam setempat

(local resource endowments). Kondisi lahan dan lokasi daerah akan

mempengaruhi lapangan kerja utama dan aksesibilitas masyarakat di daerah

tersebut yang pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan. Sebagai contoh,

daerah-daerah marginal di dataran tinggi, dengan kemiringan tinggi dan

(18)

Kondisi dan lokasi daerah tertentu umpamanya daerah terpencil, daerah dengan

akses transportasi dan komunikasi yang sulit, dapat meningkatkan peluang

terjadinya kemiskinan.

Argumen tersebut di atas diperkuat oleh referensi terdahulu bahwa suatu

komunitas dalam suatu lokasi tertentu seperti terperangkap dalam kemiskinan;

bahkan seperti terjadi secara turun temurun dari satu generasi ke generasi.

Selanjutnya, kondisi ini dipersepsikan sebagai fenomena ”spatial poverty trap”.

Kajian IFAD dalam Assessment of Rural Poverty Asia and Pacific (2002) yang

menyebutkan bahwa kemiskinan perdesaan terjadi di daerah marjinal, dataran

tinggi terpencil utamanya di daerah lahan kering dan berbukitan kapur atau

batuan serta daerah pesisir atau pantai. Mengacu pada kajian tersebut, analisis

dalam penelitian ini akan difokuskan pada pengurangan kemiskinan ke dalam

ruang lingkup pertanian dalam arti luas.

Kondisi kemiskinan di agroekosistem erat kaitannya dengan kondisi

infrastruktur; sejalan dengan Bank Dunia (2001) yang menyebutkan bahwa

infrastruktur dapat mengurangi kemiskinan dengan argumentasi sebagai berikut;

1. kelompok miskin banyak terkonsentrasi di dalam sektor ekonomi dengan

”rates of return” yang tinggi terhadap infrastruktur,

2. kelompok miskin sangat terbatas aksesnya terhadap infrastruktur, sehingga

dengan adanya infrastruktur yang menyentuh penduduk miskin, maka utilitas

infrastruktur tersebut menjadi tinggi.

Ruang lingkup infrastruktur mencakup pelayanan publik dari pemerintah

seperti energi listrik, komunikasi, persediaan air dan sanitasi, fasilitas pendidikan,

fasilitas kesehatan dan jalan umum. Sesuai dengan fokus penelitian ini, maka

aspek irigasi dan sistem drainase dimasukkan dalam variabel infrastruktur.

(19)

Selain infrastruktur fisik yakni perumahan dan lingkungan, juga

infrastruktur sosial-ekonomi seperti regulasi, kebijakan dan kelembagaan

masyarakat atau lebih dikenal dengan social capital dapat mempengaruhi

kerentanan rumahtangga miskin. Social capital diidentifikasikan dengan ada atau

tidaknya lembaga seperti lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga keuangan

mikro, koperasi simpan pinjam di lokasi rumahtangga miskin. Asumsinya,

masyarakat yang memiliki atau dapat mengakses lembaga tersebut, maka

kemanfaatannya bagi rumahtangga relatif tinggi. Sehingga, bila ada faktor shock

terhadap rumahtangga dan pendapatannya, lembaga ini dapat membantu

mencarikan alternatif solusi dan membantu kebutuhan untuk sementara waktu.

Karena itu, kekuatan modal sosial juga mempengaruhi kerentanan terhadap

kemiskinan.

Diasumsikan juga bahwa bila ikatan kelembagaan kuat, secara

bersama-sama sejumlah rumahtangga akan lebih efektif dibina kapasitasnya dalam

menggali peluang-peluang ekonominya. Diasumsikan bahwa prospek untuk

”meninggalkan kemiskinan” dapat dipengaruhi oleh kerabat, tetangga, nilai-nilai

dalam komunitas lokal dan lingkungan sosial. Kelembagaan tersebut juga dapat

mempengaruhi aspirasi dan ekspektasi individu dalam upaya mencari

peluang-peluang ekonomi.

Variabel spasial dan infrastruktur diolah berdasarkan data Podes 2003

dengan asumsi tidak terjadi perubahan signifikan tentang kondisi penduduk

antara tahun 2003 dengan 2004 dimana data Susenas menggunakan versi 2004.

Data Podes menggunakan basis desa sedangkan data Susenas menggunakan

basis rumahtangga. Analisis penciri kemiskinan rumahtangga pada penelitian ini

menggunakan basis rumahtangga. Karena itu, untuk mengkonversikan variabel

spasial dan infrastruktur pada unit analisis rumahtangga maka diasumsikan

(20)

semua rumahtangga menggunakan atau menikmati kondisi atau fasilitas yang

ada di desa tempat tinggalnya dengan kesempatan atau peluang yang sama.

Variabel yang dimasukkan untuk analisis determinan spasial dan infrastruktur

berjumlah 70 variabel yang diolah berdasarkan data Podes 2003.

3.4. Identifikasi Rumahtangga Miskin

3.4.1. Garis Kemiskinan

Pada analisis ini, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi seseorang

yang tidak dapat memenuhi kecukupan kebutuhannya; diukur dengan standar

kebutuhan minimum yang ditandai dengan batas miskin atau garis kemiskinan

yang dikeluarkan oleh BPS.

Pada penelitian ini, kecenderungan penggunaan garis kemiskinan yaitu

pada batas miskin atau garis kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS).

Penggunaan standar versi BPS ini dipilih karena batas miskin yang dibangun

versi ini didasarkan pada perhitungan bundel makanan dan non makanan, dan

dibuat atas perhitungan standar hidup per provinsi, serta membedakan

komponen bundel pengeluaran untuk perkotaan dan perdesaan. Dengan

demikian, dapat diasumsikan lebih mendekati kenyataan di lapangan atau

mendekati kondisi yang sebenarnya. Kebutuhan makanan menggunakan

patokan 2100 kalori per hari per kapita, dan kebutuhan non makanan meliputi

pengeluaran untuk sandang, perumahan, barang dan jasa termasuk untuk

pendidikan dan kesehatan.

Kebutuhan makanan menggunakan patokan 2100 kalori per hari per

kapita dan kebutuhan non makanan meliputi pengeluaran untuk sandang,

perumahan, barang dan jasa termasuk untuk pendidikan dan kesehatan. Ukuran

menghitung ketidakcukupan individu memenuhi standar hidup minimum tersebut

(21)

menggunakan pengeluaran untuk konsumsi (consumption expenditure), bukan

pendapatan dengan mengacu pada alasan sebagaimana diuraikan pada Bab II.

Pengukuran tingkat kesejahteraan berdasarkan pengeluaran atas bundel

konsumsi (consumption expenditure) lebih sering digunakan dibandingkan

dengan tingkat pendapatan karena alasan kepraktisan operasional bukan secara

konseptual.

Berdasarkan tinjauan pustaka terdahulu, dapat dikatakan bahwa

untuk Indonesia sebagai negara berkembang, data konsumsi relatif lebih akurat

dibandingkan dengan pendapatan. Dalam penggunaan data pengeluaran

konsumsi sebagai ukuran kemiskinan, digunakan asumsi-asumsi yaitu:

1. Pengeluaran untuk bundel konsumsi dalam bentuk uang sebagai upaya

memenuhi

kebutuhan

minimum

hidupnya

mencerminkan

tingkat

kesejahteraan rumahtangganya.

2. Rumahtangga menggunakan sejumlah modal fisik guna mendukung aktivitas

ekonominya.

3. Setiap

variabel

penciri

rumahtangga

diasumsikan

mempengaruhi

pengeluaran penduduk untuk bundel konsumsi.

4. Agroekosistem mempengaruhi pola konsumsi rumahtangga setidaknya

melalui tiga jalur yaitu:

(a) penggunaan infrastruktur mempengaruhi permintaan terhadap bundel

konsumsi,

(b) agroekosistem secara langsung mempengaruhi pola permintaan terhadap

konsumsi,

(c) permintaan terhadap bundel konsumsi bervariasi diantara penduduk

miskin dengan penduduk tidak miskin dikarenakan faktor spasial dan

faktor infrastruktur.

(22)

3.4.2. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional dan Potensi Desa

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Potensi Desa

(Podes) ditelaah untuk mengetahui ketersediaan data dan bagaimana kedua

hasil survei tersebut dapat dihubungkan untuk memenuhi analisis pada penelitian

ini. Telaahan mencakup substansi informasi, sampel dan instrumen yang

digunakan pada kedua survei tersebut.

3.4.3. Kemiskinan dan Kerentanan

Indikator kemiskinan dianalisis dengan menghitung: (1) rasio H

(Headcount Index) untuk menghitung persentase populasi yang hidup dalam

keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan,

(2) indeks kedalaman kemiskinan (the depth of poverty or the poverty gap index)

untuk mengukur seberapa miskin atau seberapa jauh dari garis kemiskinan suatu

individu yang hidup dalam keluarga yang pengeluaran konsumsinya di bawah

garis kemiskinan, dan (3) indeks keparahan kemiskinan. Insiden dan kedua

indeks tersebut diukur dengan menggunakan formula Foster, Greer dan

Thorbecke (FGT Index).

Kerentanan terhadap kemiskinan didefinisikan sebagai kerentanan

terhadap garis kemiskinan (Vulnerability to Poverty Line) yakni probabilitas

rumahtangga keluar dari garis kemiskinan atau kerentanan berdasarkan

Headcount Poverty Rate. Dalam penelitian ini, kerentanan diukur berdasarkan

aspek ekonomi bila terjadi perubahan-perubahan akibat gangguan eksternal

(fragile economic based and frequent exposure to shock and fluctuation),

ataupun gangguan mencari nafkah suatu individu dalam rumahtangga.

Dalam penelitian ini, diasumsikan garis kemiskinan naik sebesar

10 persen dan 20 persen; sehingga dapat dilihat laju kenaikan indikator

(23)

kemiskinan dan elastisitasnya. Sifat kemiskinan sementara (transient poverty)

ataupun kronis (chronic poverty) diukur dengan probabilitas keluar dari

kemiskinan. Seseorang dinyatakan miskin kronis apabila ia hidup dalam

rumahtangga yang mempunyai probabilitas keluar dari kemiskinan atau peluang

untuk keluar dari batas miskin lebih kecil dari 0.5.

Untuk menganalisis elastisitas kemiskinan yakni perubahan indikator

kemiskinan akibat pengaruh garis kemiskinan, diskenariokan atau disimulasikan

garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Angka tersebut digunakan

mengacu pada kecenderungan kenaikan harga barang dan jasa yang

mendorong garis kemiskinan. Pada studi yang dilakukan oleh BPS juga

digunakan simulasi sebesar 20 persen untuk mengukur rumahtangga katagori

hampir miskin di Indonesia secara keseluruhan.

Parameter kemiskinan dengan pendekatan pengeluaran konsumsi

diestimasi dengan menggunakan teknik ekonometri terhadap data Susenas dan

Podes. Teknik ini dipilih karena lebih memberikan keleluasaan berkreatifitas

untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi risiko terhadap

pendapatan ataupun pengeluaran pada masa yang akan datang, dan sekaligus

memungkinkan untuk menganalisis magnitut tingkat kerentanan. Penggunaan

teknik ini sudah memenuhi persyaratan yaitu tersedianya dua macam data dari

cross-section survey yakni Susenas dan Podes.

3.4.4. Karakteristik Rumahtangga Miskin

Dengan

diperolehnya

indikator

penduduk

miskin

dan

estimasi

parameternya, dapat dianalisis karakteristik penduduk miskin dan berpotensi

untuk menjadi miskin. Disagregasi dimaksudkan untuk mengetahui siapa saja

orang miskin, bagaimana karakteristik demografinya; mencakup jenis kelamin

(24)

dependensi rasio, kepemilikan aset produksi; bagaimana sosial ekonominya;

termasuk apa pekerjaannya, bagaimana tingkat pendapatannya dan dimana

mereka tinggal serta bagaimana kondisi-kondisi lain yang mempengaruhi

kemiskinannya seperti akses mereka terhadap pelayanan publik. Untuk itu,

dilakukan penghitungan per unit analisis secara statistik dengan cara

memilah-milahkan, menghitung rerata, mendisagregasi dan menghitung agregat

berdasarkan unit analisis rumahtangga.

3.5. Opsi Kebijakan

Mengingat keterbatasan sumberdaya pemerintah ataupun pemangku

kepentingan (stakeholders) lainnya dalam upaya pengurangan kemiskinan, maka

alokasi sumberdaya haruslah tepat sasaran dan tepat jenis intervensinya. Untuk

lebih mengoptimalkan daya agroekosistem dalam kelangsungan hidup dan

kesejahteraan penduduknya, pengetahuan tentang tipologi kemiskinan pada

agroekosistem menjadi sangat penting.

Upaya-upaya

pengurangan

kemiskinan

dapat

lebih

fokus

dan

penanganannya lebih terarah bila tipologi kemiskinan tersebut dapat diketahui.

Tepat sasaran program penanggulangan kemiskinan dianalisis berdasarkan

agroekosistem sasaran rumahtangga miskin. Analisis ini juga memberikan opsi

perbaikan penanggulangan kemiskinan yang pada ada masa lalu. Intervensi

pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan yang dilakukan melalui regulasi,

kebijakan dan investasi publik yang dapat dibenarkan karena menghasilkan

eksternalitas yang lebih besar sebagai akibat aktivitas ekonomi yang oleh sistem

pasar tidak diperhitungkan.

Tinjauan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang selama ini

diterapkan diharapkan dapat menjawab seberapa besar kemanfaatan untuk

(25)

penanggulangan kemiskinan. Pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab antara

lain apakah kebijakan tersebut memperbaiki economic opportunities, mengurangi

kerentanan penduduk miskin dari sisi ekonomi, kesehatan dan pendidikan.

Berbagai

tingkatan

dan

terminologi

digunakan

dalam

upaya

penanggulangan kemiskinan, seperti strategi, kebijakan, kebijakan operasional,

program, program aksi, proyek dan sebagainya. Pada telaah pustaka ditemukan

bahwa penggunaan istilah tersebut tidak konsisten. Antara suatu instansi atau

lembaga dengan instansi atau lembaga lainnya tidak menggunakan terminologi

yang sama untuk hal atau aspek yang sama. Evaluasi kebijakan

penanggulangan kemiskinan di dalam disertasi ini menggunakan hasil evaluasi

dari studi-studi terdahulu.

3.6. Hipotesis

Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan kerangka

pemikiran, hipotesis disusun sebagai berikut:

1. Insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan di Indonesia berasosiasi kuat

dengan faktor lokasi (spasial) berdasarkan ekonomi agroekosistem.

2.

Kerentanan

terhadap

kemiskinan

berbeda

signifikan

antara

satu

agroekosistem dengan agroekosistem lainnya.

Gambar

Gambar 2. Karakteristik Agroekosistem
Gambar 3. Kerangka Pemikiran  Keterangan: SDA = Sumber Daya Alam

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan pemerintah daerah dalam mendukung tingkat keberlanjutan pengelolaan sumber daya perikanan tangkap melalui model sinergitas

Usaha memberikan informasi kadang-kadang dapat memberikan ilham kepada masyarakat yang umumnya buta huruf, berpendidikan rendah, dan hidup dalam keterbelakangan dan

Pengamanan dilakukan pada masing masing bit masukan, melewati serangkaian pengamanan, kemudian hasil keluaran yang sama sekali berbeda Pada penelitian ini

menarik arik mela melalui lui website website penerimaan peserta didik baru di SM Mamba!us Sholihin  penerimaan peserta didik baru di SM Mamba!us Sholihin &#34;akbok, tanpa harus

Infeksi saluran kemih bawah (sistitis) tidak dengan komplikasi 1-2 gr/hari sebagai dosis tunggal atau terbagi.. Infeksi saluran kemih lainnya 2gr/hari dalam 2 dosis

Untuk melakukan perhitungan laju dosis neutron menggunakan program MCNP5v1.2 diperlukan parameter input yaitu geometri bahan bakar dan teras RGTT200K, posisi sumber

Kata dasar atau bentuk dasar yang menjadi dasar segala bentukan kata diperlakukan sebagai lema atau entri, sedangkan bentuk derivasinya (kata turunan, kata ulang, dan gabungan

Setelah model berhasil diverifikasi, akan dilakukan uji validitas untuk menentukan apakah model dapat digunakan untuk mengukur performansi yang diinginkan oleh penulis dalam