• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN ANTARA SISWA LAKI-LAKI DAN SISWA PEREMPUAN SMA NEGERI I SEWON – BANTUL YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN ANTARA SISWA LAKI-LAKI DAN SISWA PEREMPUAN SMA NEGERI I SEWON – BANTUL YOGYAKARTA"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN

ANTARA SISWA LAKI-LAKI DAN SISWA PEREMPUAN

SMA NEGERI I SEWON – BANTUL YOGYAKARTA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh

Dewie Retno Eko Saputro

Nim: 989114148 Nirm: 980051121705120148

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Ambillah Waktu

Ambillah Waktu Untuk Berfikir,

Karena itulah sumber kekuatan.

Ambillah waktu untuk membaca,

Karena itulah sumber hikmat.

Ambillah waktu untuk bermain,

Karena itulah rahasia untuk tetap muda.

Ambillah waktu untuk berdiam,

Karena itulah kesempatan untuk mencari Allah.

Ambillah waktu untuk mengasihi dan dikasihi,

Karena itulah anugerah Allah yang terbesar.

Ambillah waktu untuk tertawa,

Karena itulah musik bagi jiwamu.

Ambillah waktu untuk bersahabat,

Karena itulah jalan menuju kebahagiaan.

Ambillah waktu untuk berdoa,

Karena itulah kekuatan terbesar di permukaan bumi ini.

Kupersembahkan karya sederhana ini untuk:

(5)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Februari 2007 Penulis

(6)

ABSTRAK

Dewie Retno Eko Saputro (2007) Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Jurusan Psikologi, Program Studi Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta. Hipotesis yang diajukan adalah ada perbedaan yang signifikan pada tingkat kecemasan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan, dengan asumsi siswa perempuan lebih tinggi tingkat kecemasannya dari siswa laki-laki.

Timbulnya kecemasan termanifestasi dalam tiga aspek, yaitu aspek afektif, aspek kognitif, dan aspek fisiologis.

Subyek dalam penelitian ini adalah siswa laki-laki dan siswa perempuan kelas 2 di SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta yang berjumlah 100 orang, dengan rincian 42 orang siswa laki-laki dan 58 siswa perempuan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala tingkat kecemasan yang diadaptasi dari TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale) dari Janet Taylor (Byrne, 1961).

Berdasarkan data statistik item dan reliabilitas skala tingkat kecemasan, 50 item dinyatakan lolos seleksi dengan koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,889. Sedangkan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat kecemasan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan digunakan metode analisis data uji-t.

(7)

ABSTRACK

Dewie Retno Eko Saputro (2007) the Difference of the Level of the Anxiety between the Male Students and the Female Students in SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta: The Faculty Of Psychology, Psychology Department, Psychology Study Program, Sanata Dharma University.

This research aimed at knowing the difference of the level of the anxiety between the male students and the female students in SMA N I Sewon – Bantul Yogyakarta. The hypothesis that was put forward was to have the difference that was significant in the level of the anxiety between the male students and the female students, and the assumption of the female students was taller the level of his anxiety from the male students.

The anxiety emergence manifested in three aspects, those are afektive aspect, the cognitive aspect, and the physiological aspect.

The subject in this research were male students and the female students of 2nd grade of SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta that were numbering 100 people, consist of 42 male students and 58 female students. Measurement used in this research was the Scale of the Anxiety level that was adapted from TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale) from Janet Taylor (Byrne, 1961).

Based of the statistical item data and reliability of the Scale of the Level of the Anxiety, 50 items were used with the coefficient alpha of 0.889. To know was not the difference of the level of the anxiety between the male students and the female students was used by the analysis method of the data t-test.

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukurku hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, Allahku yang hidup. Berkat campur tangan Tuhan atas segala perkara dalam kehidupanku, proses pembuatan skripsi ini dapat selesai dengan baik. Skripsi dengan judul ”Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan SMA N I Sewon – Bantul Yogyakarta” ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana psikologi pada program studi psikologi Universitas Sanata Dharma – Yogyakarta.

Untuk itu penulis tidak lupa menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang mendukung hingga selesainya skripsi ini, kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus, atas kekuatan hidup baru, sukacita, berkat, kasih, cinta, kesetiaan, perlindungan, dan campur tanganNya dalam kehidupanku aku percaya apa yang telah aku kerjakan tidak akan sia-sia, Amin.

2. Bapak P. Edy Suhartanto, S.Psi., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma-Yogyakarta.

3. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si., selaku Pembantu Dekan I dan Dosen Pembimbing Akademik, atas dorongannya. Terlebih untuk kesediaannya meluangkan waktu, mendengarkan segala kesulitan yang dialami penulis selama menyelesaikan skripsi.

4. Ibu Kristiana Dewayani, S.Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi atas koreksi, masukkan, semangat dan kesabarannya sampai terselesainya skripsi ini. 5. Almamaterku tercinta Universitas Sanata Dharma – Yogyakarta, tempat aku

berproses menjadi sarjana. Seluruh dosen Akademik Fakultas Psikologi atas ilmu yang sangat bermanfaat, seluruh pengajar dan staf, perpustakaan USD dan karyawannya, mas Gandung, pak Gik atas kemudahan dan keramahannya, sungguh luar biasa.

(9)

adik-adik kelas 2 SMA Negeri I Sewon Bantul – Yogyakarta yang ikut berpartisipasi dalam penelitian ini.

7. Kedua orang tuaku tercinta, Bapak Y. Tri Joko J.P dan Ibu Timbul Sri Rahayu atas kesabaran yang tiada batas, untuk doa yang tak berujung, yang tiada lelah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 8. Adik-adikku terkasih, Andhi Sapto Prabowo S.E, Dhimas Kristianto dan Ajeng

Kristianti yang selalu membuatku lebih bersemangat dalam menjalani kehidupan. 9. Om Wahyu & Bulek Mary sekeluarga atas petuah bijak, semangat dan potret

keluarga sempurna and all of Atmo Surono family.

10.Bapak Suharto alias ”babe” atas dukungan yang sangat berarti bagi penulis, ucapan terimakasih belumlah cukup untuk mewakili semua yang babe sediakan. 11.“Among” yang membuat hidupku lebih berarti.

12.Tiara ”Ulit” Putri, Indah ”Susan” Susanti, Rosna ”Icha” Lisa, Evelyn Romora ”Mora” Hutapea, sahabat-sahabat terbaik yang selalu punya tempat dihatiku, karena kalian hidupku jadi lebih berwarna.

13.Semua teman-teman angkatan 98, Rully & Ari-nya, Yona, Ika, Hera, Shita, Etta ”Donat”, Lephi, Lina, Yona, Hengky, Sunu, Martin, Bram, Ardhi, Kowuk, Amek, untuk kebersamaannya. Teman-teman seperjuangan skripsi, Yuni, Biyik, Darmono, Anton, Charles Meyer, yang sudah pendadaran, doakan aku segera menyusul!

14.Opik, Shela & Dede Sadam atas keceriaan dan motivasinya, rukun terus ya….! 15.Indah, Endah, Wiwit, Inta, Dery, Ayuk, Sisca, Atik Cecek, Duwik, Yeyen, Fenny,

Dhe Chi2k, teman-teman kost Anne, Bonding, Day-day, Yoya, dunia sepi kalo ga ada kalian.

16.Abi, sahabat setia yang selalu mengajarkanku akan kebijaksanaan menghadapi hidup, untuk keceriaan yang tiada akhir. Terimakasih telah memberi warna tersendiri dalam hidupku, sahabat yang luar biasa!

(10)

Penulis banyak menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Sehingga, untuk dapat berevolusi menuju kebaikkan, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang sifatnya membangun. Semoga karya tulis yang sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Tuhan Yesus Memberkati.

Yogyakarta, Februari 2007

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL……… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN………. iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN………. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. v

ABSTRAK………... vi

ABSTRACK……….... vii

KATA PENGANTAR………. vii

DAFTAR ISI……… xi

DAFTAR TABEL……… xiv

DAFTAR LAMPIRAN……… xv

BAB I PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang……… 1

B. Rumusan Masalah……….. 10

C. Tujuan Penelitian……… 10

D. Manfaat Penelitian……….. 10

1. Manfaat Teoritis………. 10

2. Manfaat Praktis……….. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………. 11

A. Kecemasan…….……… 11

(12)

2. Dimensi Kecemasan……… 13

3. Reaksi Kecemasan……….. 16

4. Aspek Kecemasan……….. 18

B. Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan……… …………... 19

1. Remaja……… 19

2. Perbedaan Remaja Laki-laki dan Remaja Perempuan… 24

C. Dinamika Antar Variabel…..………. 31

D. Hipotesis……… 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN……… 36

A. Jenis Penelitian……… 36

B. Identifikasi Variabel Penelitian………... 36

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian……… 36

D. Subyek Penelitian………... 38

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data……….. 39

F Metode Analisis Data....………... 42

1. Uji Validitas Isi ...……….. 42

2. Korelasi Item Total……….. 42

3. Uji Reliabilitas……….... 43

4. Uji Asumsi... 45

a. Uji Normalitas... 45

b. Uji Homogenitas... 45

5. Uji Hipotesis... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 47

(13)

1. Validitas Isi……… 47

2. Korelasi Item Total ……… 48

3. Reliabilitas………... 48

B. Pelaksanaan Penelitian………. 49

C. Deskripsi Data Penelitian………. 49

D. Analisis Data………. 53

1. Uji Asumsi………. 53

2. Uji Hipotesis……….. 54

E. Pembahasan………... 55

BAB V PENUTUP………. 60

A. Kesimpulan……… 60

B. Saran……….. 60

DAFTAR PUSTAKA……… 63

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 1 Tabel Spesifikasi Skala Tingkat Kecemasan

(Sebelum Uji Coba)………. 40 Tabel 2 Tabel Spesifikasi Skala Tingkat Kecemasan

(Setelah Uji Coba)……… 48 Tabel 3 Tabel Norma Kategorisasi……… 50 Tabel 4 Tabel Kategorisasi Tingkat Kecemasan Siswa Laki-laki

dan Siswa Perempuan……… 50 Tabel 5 Tabel Gambaran Kategori Tingkat Kecemasan

Pada Tiap Aspek………... 50 Tabel 6 Tabel Gambaran Kecemasan Antar Aspek Pada Siswa

Laki-laki dan Siswa Perempuan……… 52 Tabel 7 Tabel Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Siswa

(15)

LAMPIRAN

A. Hasil Validitas dan Reliabilitas Penelitian.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tugas utama bagi seorang siswa adalah belajar, sekolah sebagai tempat belajar para siswa memiliki fungsi ganda. Selain tempat belajar sekolah memiliki fungsi sosial, yaitu menekankan kepada pengaruh-pengaruh sosial dari pada pengalaman murid-murid di dalam kelas. Siswa laki-laki dan siswa perempuan tidak saja mengalami perkembangan fisik dan intelektual, tetapi juga mengalami proses sosialisas. Mereka sedang belajar memperoleh kemantapan sosial dalam mempersiapkan diri menjadi orang dewasa yang baru (Sulastri, 1983).

Sekolah dapat dikatakan sebagai masyarakat para siswa. Pada umumnya para siswa menghabiskan waktu di sekolah selama tujuh jam dalam sehari, belum termasuk waktu yang digunakan untuk mengikuti kegiatan ekstra kurikuler. Hal ini menunjukkan bahwa hampir setengah dari waktu yang dimiliki para siswa dalam sehari dihabiskan di sekolah, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah berperan penting dalam mempengaruhi perkembangan mental para siswa dalam melewati masa remajanya.

(17)

Tugas perkembangan diartikan sebagai tugas yang harus diselesaikan pada suatu periode tertentu dalam kehidupan, karena merupakan petunjuk bagi seseorang untuk mengerti dan memahami apa yang diharapkan dan menjadi tuntutan masyarakat serta lingkungan terhadap keberadaan remaja. Tugas perkembangan remaja ini berlaku juga bagi para siswa laki-laki dan siswa perempuan kelas 2 SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta yang sedang memasuki masa remaja. Dikarenakan usia kronologis mereka berkisar antara 15-18 tahun yang dikategorikan sebagai remaja pertengahan (Monks, 1996).

Masa remaja sering dikatakan sebagai masa yang paling sulit dalam seluruh rentang kehidupan manusia (Hurlock, 1990). Remaja tidak hanya mengalami suatu perubahan fisik tetapi juga perubahan kognitif, sikap dan tuntutan sosial, sehingga dalam menghadapi segala tuntutan kehidupan remaja membutuhkan dukungan dalam segala segi kehidupan, terlebih dukungan dari keluarga. Interaksi remaja dengan anggota keluarganya sangatlah penting, karena dapat membentuk kepribadian dan menciptakan kondisi mengenai cara berkembang dengan orang lain.

(18)

Kecemasan yang dialami remaja timbul ketika menemui permasalahan dalam kehidupan, mereka merasa tidak mampu mengatasi kesulitan dalam kehidupannya. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Davidson dan Neale (2000), bahwa individu yang mengalami gangguan kecemasan umum (generalized anxiety disorder), merasa tidak mampu mengatasi situasi dalam kehidupan sehari-hari

sehingga merasa takut dengan sebagian besar waktu yang dijalani. Ketika individu berhadapan dengan stimulus yang menyakitkan dan tidak memiliki kontrol yang seimbang dalam merespon stimulus tersebut maka akan timbul kecemasan.

Kecemasan didefinisikan oleh Kretch and Qrutch (Hartanti dan Dwijayanti, 1997), sebagai suatu keadaan tidak menyenangkan yang dialami oleh seseorang yang muncul karena ketidakmampuan menyelesaikan suatu permasalahan atau kurang siap dalam menghadapi situasi baru. Darajat (1996), menambahkan pengertian kecemasan sebagai manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika individu sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin.

Beberapa ahli mendefinisikan kecemasan sebagai bagian dari emosional umum yang meliputi ketakutan, kekhawatiran, kegelisahan, dan adanya rangsangan fisiologis terhadap sesuatu yang tidak jelas serta membaur dan mempunyai ciri menghukum diri, terutama dalam menghadapi situasi kehidupan sehari-hari (Kartono, 1981; Furhmann, 1990).

(19)

remaja merasa rendah diri dan merasa tidak yakin akan kemampuan yang dimilikinya maka akan menyebabkan mereka mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangannya, seperti: berhubungan dengan orang lain, bebas mengekspresikan dirinya, mengetahui dan menerima kemampuan diri sendiri, dapat menguasai diri berdasarkan dengan norma dan nilai yang berlaku serta meninggalkan cara penyesuaian diri yang kekanak-kanakan (Gunarsa, 1986).

Pada dasarnya kecemasan merupakan kondisi yang tidak menyenangkan, dapat bernilai positif jika seseorang mampu melakukan penyesuaian positif untuk mengurangi kecemasan serta dapat bernilai negatif jika kecemasan tersebut menjadi kecemasan yang neurotik (Byrne, 1991).

Kecemasan yang dialami remaja akan mempengaruhi kondisi fisik, psikis, maupun kognitifnya. Secara kognitif mempengaruhi proses berfikir dan menyebabkan kesulitan berkonsentrasi dalam pelajaran sehingga akan berpengaruh pada prestasi akademiknya (Maher dalam Calhoun & Acocella, 1990). Ditambahkan lagi bahwa kecemasan yang dialami seseorang umumnya dapat menurunkan kualitas hidupnya, pendidikannya gagal serta karirnya berantakan (Surabaya Post, 2 Juli 1997). Secara fisiologis kecemasan akan termanifestasi dalam tidak lancarnya perilaku, seperti gerakan yang terpotong-potong, bergetar, merapikan pakaian atau tampilan rambut, bahkan perubahan tinggi suara, (Maher dalam Calhoun & Acocella, 1990).

(20)

mampu menghadapi masalah (Hurlock, 1979). Terlebih lagi perasaan takut akan ketidakmampuan dalam melaksanakan tugas perkembangan sebagai remaja, maupun dalam menjalankan fungsinya dalam keluarga, sekolah, atau masyarakat.

Remaja yang mengalami kesulitan dalam mencapai tugas perkembangannya akan tampak ketika mengalami kesulitan dalam berhubungan sosial dengan teman sebaya atau ketika berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Bagaimanapun juga sosialisasi yang baik akan membantu remaja untuk mandiri, membuat rencana-rencana, menentukan pilihan dan mengembangkan tanggung jawab atas perilakunya sendiri.

Berdasarkan beberapa teori dan penjelasan diatas, penulis menyadari bahwa kecemasan yang dialami remaja akan sangat berpengaruh bagi kehidupannya dimasa yang akan datang. Sehingga penulis tertarik untuk memfokuskan penelitian pada remaja usia 15-18 tahun, dengan asumsi bahwa remaja pada kisaran usia tersebut mengalami peralihan dari usia remaja awal menuju usia remaja akhir, sehingga memiliki tugas perkembangan yang harus diselesaikan untuk memasuki usia dewasa.

Dikhawatirkan apabila remaja tersebut mengalami kecemasan yang berkepanjangan akan mengganggu fungsi dan perannya dalam kehidupan bersosialisai di masyarakat, keluarga serta dunia kerja di masa yang akan datang.

(21)

Hal ini disebabkan perempuan menganggap bahwa kualitas hubungan interpersonal dengan orang-orang disekeliling mereka merupakan hal yang sangat penting dan merupakan prioritas hidup dibandingkan dengan laki-laki. Karena kaum perempuan lebih dipengaruhi oleh tekanan lingkungan, sehingga menyebabkan perempuan lebih cemas dibandingkan laki-laki yang cenderung menganggap kurang penting lingkungannya. Pernyataan tersebut dikuatkan dengan hasil sebuah studi kecemasan, yang menyatakan bahwa perempuan lebih cemas dibanding dengan laki-laki (Maccoby and Jacklin, 1974).

Selain secara fisik perempuan dan laki-laki dipandang memiliki perbedaan dalam hal psikis. Perempuan dinilai lebih feminin sementara laki-laki maskulin. Dalam studi tentang kecemasan yang berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin Myers (1983), mengatakan bahwa perempuan lebih cemas akan ketidakmampuannya dibanding dengan laki-laki. Dikatakan juga bahwa laki-laki lebih aktif, eksploratif, dan lebih rileks sedangkan perempuan lebih sensitif.

Berawal dari hal-hal tersebut maka dinamika tingkat kecemasan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan menjadi berbeda. Kecemasan yang dialami siswa perempuan ternyata cenderung lebih kompleks, selain lebih dipengaruhi oleh tekanan lingkungan, perempuan ternyata juga cenderung cemas akan ketidakmampuannya. Sementara laki-laki lebih rileks dalam berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungannya, serta tidak mudah dipengaruhi oleh tekanan lingkungan, sehingga menjadikan laki-laki tidak lebih cemas dari perempuan.

(22)

tinggi, mempunyai sifat memelihara, cenderung mengungkapkan perasaan ketika memiliki kedekatan hubungan dengan orang lain serta cenderung peka terhadap orang lain dibanding dengan laki-laki. Sedangkan laki-laki lebih mengarah dan mengembangkan potensinya pada kemandirian, rasa percaya diri, tegas, lebih berorientasi pada pencapaian tujuan, serta lebih menekankan pada petualangan (Lips, 1988).

Menurut teori Byrne (1961), kecemasan ditunjukkan oleh aspek-aspek yang mencolok (overt) dari perilaku kecemasan, seperti: berkeringat, muka kemerahan, gemetar. Sebagian lagi mengandung keluhan-keluhan somatik, misalnya: perut terasa mual, pusing, diare, gangguan lambung. Sedangkan aspek lain yang menyertai kecemasan ditunjukkan melalui: kesulitan berkonsentrasi, perasaan eksitasi atau tidak dapat istirahat, menurunnya kepercayaan diri, sensitivitas yang berlebihan terhadap orang lain, perasaan tidak bahagia dan tidak berguna.

Johnston (1971), mendefinisikan kecemasan sebagai reaksi terhadap adanya ancaman, hambatan, terhadap keinginan pribadi atau perasaan tertekan yang dapat disebabkan oleh perasaan kecewa, rasa tidak puas, tidak aman, atau sikap bermusuhan dengan orang lain.

(23)

Gejala fisiologis yang sering menyertai kecemasan antara lain: timbulnya gerakan-gerakan yang tidak terkontrol, salah tingkah dan gejala-gejala psikologis seperti perasaan ragu-ragu, emosional dan tertekan (Bucklew, 1980).

Pada dasarnya kecemasan merupakan suatu keadaan yang umum dialami oleh setiap prang, karena tidak ada kehidupan tanpa tantangan. Tantangan tersebut dapat berarti positif jika seseorang menjadi semangat dan bergairah, dapat pula mempunyai arti negatif jika seseorang menjadi putus asa karena adanya tantangan (Steiner dan Gebser, 1962).

Kecemasan merupakan suatu gejala jiwa yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan menusia. Dengan demikian kecemasan yang dialami remaja tentunya memerlukan perhatian khusus dari orang-orang terdekat terutama keluarga, yang dapat memberikan serta menumbuhkan rasa aman dan kepercayaan diri, sehingga kecemasan yang mereka alami dapat berkurang dari frekuensi tinggi menjadi frekuensi rendah atau hilang.

Dikhawatirkan jika tidak segera diatasi hal ini dapat mengganggu fungsi dan peran remaja dalam bersosialisasi di masyarakat, keluarga, serta untuk dunia kerja di masa yang akan datang. Kecemasan merupakan suatu gejala jiwa yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan seseorang, dikhawatirkan bila seseorang yang mempunyai tingkat kecemasan tinggi cenderung akan memiliki tingkat gangguan jiwa yang tinggi pula.

(24)

atau mengurangi kegiatan-kegiatan menyenangkan yang biasa dilakukan. Jika hal ini terus berlanjut, maka individu akan memiliki pikiran-pikiran negatif dan merasa seolah-olah terancam dalam situasi sosial yang sebenarnya tidak mengancamnya (Leary, 1983).

Penulis menyadari bahwa kecemasan memberikan kontribusi yang kurang baik bagi kelangsungan hidup di masa yang akan datang, terlebih bagi remaja yang sedang memasuki masa paling sulit dalam seluruh rentang kehidupan manusia. Sehubungan dengan hal tersebut penulis memfokuskan penelitian pada remaja pertengahan usia 15-18 tahun, lebih spesifik lagi siswa laki-laki dan siswa perempuan SMA kelas 2.

Dengan asumsi bahwa remaja pada kisaran usia tersebut mengalami peralihan dari usia remaja awal menuju usia remaja akhir, maka memiliki tugas perkembangan yang harus diselesaikan untuk memasuki usia dewasa. Sehingga diharapkan nantinya kecemasan tidak mengganggu fungsi dan perannya dalam kehidupan bersosialisasi di masyarakat, keluarga serta untuk dunia kerja di masa yang akan datang.

Dari berbagai fakta yang berkaitan dengan kecemasan yang dialami oleh siswa laki-laki dan siswa perempuan yang sedang memasuki usia remaja, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang: ”Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan SMA Negeri I

(25)

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah dapat disimpulkan yang menjadi fokus permasalahan adalah apakah ada perbedaan tingkat kecemasan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan kelas 2 SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta.

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat kecemasan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan kelas 2 SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi bidang psikologi mengenai masalah kecemasan, khususnya tentang perbedaan tingkat kecemasan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan, lebih spesifik lagi siswa kelas 2 SMA.

b. Menjadi literatur untuk melaksanakan penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecemasan

1. Pengertian Kecemasan

Kecemasan atau dalam bahasa inggrisnya ”anxiety”, berasal dari bahasa latin ”angustus” yang berarti kaku dan ”ango, anci” yang berarti mencekik. Byrne (1991), menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu perasaan yang dialami oleh individu pada saat mengalami ketakutan. Ciri utama kecemasan adalah obyeknya yang tidak jelas.

Menurut Wignyo Soebroto (1981), ada perbedaan yang mendasar antara kecemasan dan ketakutan. Pada ketakutan, apa yang menjadi sumber penyebabnya selalu dapat ditunjuk secara nyata, sedangkan kecemasan sumber penyebabnya tidak dapat ditunjuk dengan jelas dan tepat. Sedangkan Prasadio (1975), mendefinisikan kecemasan sebagai suatu pengalaman emosional yang dirasakan sebagai suatu respon yang tidak menyenangkan, tidak jelas apa yang dirasakan dan tidak diketahui penyebabnya.

(27)

Pada dasarnya kecemasan yang normal dapat merupakan fungsi yang bermanfaat sehingga dapat membuat seseorang melakukan sesuatu hal atau gerakan yang luar biasa, akan tetapi kecemasan yang berlebihan dapat berakibat merugikan, misalnya menjadikan seseorang depresi, merasa tidak ada harapan dan putus asa, Cammeron (1963). Munculnya kecemasan dalam diri seseorang akan memotivasi pribadi tersebut untuk melakukan sesuatu, bisa lari dari daerah yang mengancam untuk menghalangi impuls yang membahayakan atau menuruti suara hati (Corey, 1997; Hall, 1993).

Ketika seseorang berada dalam keadaan cemas, ia berada dalam pengalaman ketakutan tertentu, tetapi tidak diketahui penyebabnya dengan pasti bahkan kesulitan untuk mengatakan apa yang membuatnya takut (O’kelly & Muckler, 1959). Furman (1990) mengungkapkan bahwa kecemasan seperti bagian dari rasa sakit yang tidak mampu ditoleransi dalam waktu yang lama. Masalah akan muncul ketika kita banyak menghadapi masalah kecemasan karena akan membuang-buang energi fisik dan psikis serta kondisi tersebut akan menghilangkan tanggapan diri yang membuat kita menjadi merasa kecil dan tidak berdaya (Calhoun & Acocella, 1990).

(28)

mempengaruhi kemampuan proses berfikir seseorang, seperti sulit berkonsentrasi, sulit membuat keputusan, khawatir terhadap sesuatu yang mengerikan dan seolah-olah akan terjadi (Fischer, 1970; Kiske, Morling & Stevens, 1996).

Daradjat (1996), menambahkan pengertian kecemasan sebagai manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika individu sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin. Sedangkan Santrok (2002), mendefinisikan gangguan kecemasan (anxiety disorder) adalah gangguan psikologis yang dicirikan dengan ketegangan motorik (seperti: gelisah, gemetar, dan ketidakmampuan untuk rileks) dan hiperaktivitas, seperti: pusing, jantung berdebar-debar, berkeringat, pikiran serta harapan yang mencemaskan.

Berdasarkan uraian dari pendapat beberapa ahli, dapat disimpulkan kecemasan merupakan manifestasi berbagai proses emosi yang komplek yang dirasakan individu sebagai akibat dari proses berfikir. Meliputi interpretasi subyektif yang negatif dan cenderung tidak menyenangkan dalam menghadapi situasi yang dianggap mengancam. Hal ini dirasakan sebagai konsekuensi atas ketidakberdayaan, pertentangan batin, tekanan batin, stress dan termanifestasi dalam gejala kognitif, afektif dan fisiologis, sehingga muncul respon yang tidak menyenangkan seperti: perasaan tidak terkontrol, ketakutan, kekhawatiran, kegelisahan, dan adanya rangsangan psikologis.

2. Dimensi Kecemasan

(29)

1. Dimensi Psikoanalis, dalam teorinya (Frued dalam Notosoedirjo, 1990), menyatakan munculnya kecemasan karena adanya konflik antara dorongan id melawan ego atau super ego yang tidak disadari. Banyak dorongan id yang mengancam individu karena berlawanan dengan nilai normative maupun nilai moral dalam masyarakat. Sedangkan menurut Davidson dan Neale (2002), sumber kecemasan karena adanya konflik antara dorongan id dan ego yang tidak disadari. Pada dasarnya keberhasilan individu dalam mengatasi kecemasan merupakan manifestasi dari keberhasilannya menekan dorongan id, yang dapat berupa dorongan seksual maupun agresifitas.

2. Dimensi Behavioral, perspektif ini banyak digunakan untuk menghadapi kecemasan umum, teori ini memandang munculnya kecemasan dipicu oleh peristiwa eksternal spesifik dari pada konflik internal (Attkinson, 1987). Sedangkan pada individu yang mengalami gangguan kecemasan umum (generalized anxiety disorder) merasa tidak mampu mengatasi situasi kehidupan sehari-hari sehingga merasa takut dengan sebagian besar waktunya. Ketika individu berhadapan dengan stimulus yang menyakitkan dan tidak memiliki kontrol yang seimbang dalam merespon stimulus tersebut maka akan muncul kecemasan (Davidson dan Neale, 2000).

(30)

kecemasan umum dikarenakan kekhawatiran yang berlebihan. Oleh sebab itu, dimensi kognitif kecemasan ini mempengaruhi kemampuan berfikir ketika individu berhadapan dengan situasi yang mendorong kecemasan. Individu yang mengalami kecemasan ini selalu berfikir bahwa apa yang terjadi pada dirinya dan apa yang dilakukannya adalah negatif dalam pandangan lingkungan sekitarnya, sehingga hal ini menimbulkan kekhawatiran yang besar dalam dirinya. Mereka cenderung merasakan ketidaknyamanan disaat tertentu dan pemikirannya selalu terfokus pada adanya malapetaka yang akan menimpanya dimasa yang akan datang.

4. Dimensi Fisiologis, sewaktu mengalami situasi yang merangsang munculnya kecemasan, tubuh merespon melalui sistem syaraf simpatik atau SNS (Sympatic Nervous System). Adapun fungsi SNS adalah mengambil alih tubuh untuk mempersiapkan diri dari situasi yang mengancam (Groves dan Schlesinger, 1982). Beberapa reaksi tubuh memacu kerja SNS, yang dapat terlihat dari meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan pernafasan. Reaksi tersebut menghasilkan lebih banyak darah dan oksigen bagi otot dalam tubuh, yang menjadikan otot lebih kuat dan berfungsi lebih baik dalam menghadapi situasi yang mengancam. Oleh sebab itu, dimensi fisiologis kecemasan meliputi respon tubuh dalam beberapa bentuk terhadap situasi yang mendorong kecemasan (Brown, Tomarken, Loosen, Kalin, dan Davidson, 1996).

(31)

kognitif, tingkah laku dan kepribadian yang dialami individu. Saat merespon kecemasan, tubuh mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi yang mengancam. Seperti menekan konflik internal, melakukan kontrol terhadap stimulus yang kurang menyenangkan, menghadapi kekhawatiran yang berlebihan yang disebabkan oleh proses berfikir tidak realistik, serta adanya gangguan kelancaran perilaku. Munculnya kecemasan disebabkan adanya dorongan dan keinginan dasar yang dihindari akibat munculnya konflik atau penundaan kebutuhan. Individu akan mengalami ketegangan psikis karena ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri sendiri, dengan orang lain maupun dengan lingkungan.

3. Reaksi Kecemasan

Dalam kondisi gangguan kecemasan, Frued menjelaskan bahwa individu selalu memunculkan beberapa reaksi sebagai bentuk defense mechanisme (pertahanan diri). Untuk membedakan kecemasan berdasarkan reaksi yang dimunculkan individu dari kecemasan yang sedang dideritanya, maka Lazarus (1991), membedakan reaksi kecemasan sebagai berikut:

1. Kecemasan sebagai suatu respon

(32)

a. State Anxiety, kecemasan yang timbul bila individu sedang dihadapkan pada situasi tertentu dan gejala kecemasan tersebut selalu menetap selama situasi sebagai stimulus yang memicu kecemasan itu tetap ada.

b. Trait Anxiety, kecemasan yang muncul pada diri individu sebagai suatu yang menetap pada diri individu. Kecemasan ini sangat berhubungan dengan kepribadian individu yang mengalaminya, memiliki pengertian disposisi untuk menjadi cemas dalam berbagai situasi dan sering mengarah pada kesulitan individu dalam beradaptasi.

2. Kecemasan sebagai Intervening Variabel

Merupakan suatu keadaan yang diperkirakan terjadi karena kondisi tertentu dan memiliki konsekuensi. Kecemasan tersebut merupakan serangkaian stimulus dan respon. Kecemasan ini hanya dapat diketahui dengan melihat keadaan yang mendahuluinya, bukan hanya melalui observasi. Karena yang dapat diketahui melalui observasi hanyalah kondisi stimulus dan perilaku yang mendahuluinya serta menifestasinya sebagai akibat dari keadaan tersebut yang dapat dilihat melalui kondisi fisiologis dari situasi yang mencemaskan tersebut. Individu yang terlibat didalamnya akan berusaha membentuk penyesuaian diri untuk menghilangkan kecemasan yang dialaminya.

(33)

4. Aspek Kecemasan

Maher (Calhoun & Acocella, 1999) menyatakan terdapat tiga aspek dalam kecemasan. Aspek-aspek tersebut adalah:

a. Aspek Afektif (emosional), yaitu munculnya kecemasan yang berkaitan dengan perasaan individu terhadap suatu hal yang dialami secara sadar dan mempunyai ketakutan yang mendalam. Misalnya: cenderung selalu merasa khawatir akan sesuatu hal yang menimpanya, mudah tersinggung, tidak sabar, sering mengeluh, dan gampang marah.

b. Aspek Kognitif, yaitu ketakutan yang meningkat akhirnya mengganggu kemampuan seseorang untuk berfikir jernih dalam memecahkan masalah atau menangani tuntutan lingkungan. Aspek ini berkaitan dengan kekhawatiran individu terhadap konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dialami, apabila meningkat dapat mengganggu kemampuan kognitif individu. Seperti: sulit berkonsentrasi, sulit membuat keputusan, khawatir terhadap sesuatu yang mengerikan dan seolah-olah akan terjadi, pelupa, pikiran kacau, mudah panik, dan binggung.

(34)

mudah terkejut, tidak rileks, menggerakkan anggota tubuh secara berlebihan, membenahi dandanan atau tatanan rambut yang masih rapi.

”Taylor Manifest Anxiety Scale” (TMAS) disusun oleh Taylor, J.A., (Byrne, 1961), kecemasan ditunjukkan oleh aspek-aspek yang mencolok (overt) dari perilaku kecemasan, seperti: berkeringat, muka kemerahan, gemetar. Sebagian lagi mengandung keluhan-keluhan somatik, misalnya: perut terasa mual, pusing, diare, gangguan lambung. Sedangkan aspek lain yang menyertai kecemasan ditunjukkan melalui: kesulitan berkonsentrasi, perasaan eksitasi atau tidak dapat istirahat, menurunnya kepercayaan diri, sensitivitas yang berlebihan terhadap orang lain, perasaan tidak bahagia dan tidak berguna.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kecemasan meliputi aspek fisik, aspek kognitif dan aspek afektif. Semua kondisi tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain dan akan mempengaruhi kondisi mental dan psikis seseorang.

B. Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan

Dalam penelitian ini banyak digunakan teori tentang remaja, dengan alasan bahwa subyek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah siswa laki-laki dan siswa perempuan yang berusia antara 15-18 tahun. Dimana usia tersebut masuk dalam kategori sebagai usia remaja pertengahan (Monks, 1996).

1. Remaja

(35)

memiliki tempat yang jelas dalam perkembangannya. Remaja sudah bukan anak-anak lagi, tetapi juga belum dapat digolongkan sebagai dewasa (Monks, 1999).

Hurlock (1990), menyatakan bahwa usia remaja merupakan tahap perkembangan yang amat penting dalam sepanjang rentang kehidupan manusia. Dalam tahap ini terjadi proses pembentukan jati diri dan kepribadian individu, karena itu masa remaja dikatakan sebagai masa pencapaian identitas diri. Pada usia remaja seseorang mulai menyadari perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya dalam menghadapi berbagai situasi. Dengan kata lain remaja ingin meninggalkan perilaku, nilai, dan sifatnya di masa kanak-kanak untuk mencari otonomi atas dirinya sendiri.

Permasalahan yang dihadapi remaja memang sangat komplek, sehingga masa remaja dikatakan sebagai masa yang paling sulit dalam seluruh rentang kehidupan manusia (Hurlock, 1990). Selain memiliki tugas dan kewajiban sebagai seorang pelajar, pada masa ini remaja juga mengalami suatu perubahan tidak hanya perubahan fisik tetapi juga perubahan kognitif, sikap dan tuntutan sosial. Pada masa transisi ini, remaja diharapkan mampu meninggalkan sikap kekanak-kanakannya dan mampu bersikap dewasa (Monks, 1999).

Remaja diartikan sebagai usia dimana seseorang sudah siap untuk berintegrasi dengan masyarakat dewasa, mencapai transformasi intelektual yang khas dari cara berfikirnya untuk memasuki hubungan sosial dengan orang dewasa lainnya, Piaget (Hurlock, 1990).

(36)

maupun orang dewasa lainnya. Meskipun dalam kenyataannya remaja belum memiliki kemampuan yang memadahi untuk mengatasi masalahnya menurut cara mereka sendiri. Sehingga dalam menghadapi segala tuntutan kehidupan, dimasa tumbuh dan perkembangannya tidak jarang remaja membutuhkan dukungan dalam segala segi kehidupan, terlebih dukungan dari keluarga.

Masa remaja berlangsung ketika seseorang berada pada usia 12-21 tahun. Dengan pembagian sebagai berikut: usia 12-15 tahun dikategorikan sebagai masa remaja awal, usia 15-18 tahun termasuk masa remaja pertengahan dan usia 18-21 tahun termasuk masa remaja akhir (Monks, 1996).

Menurut Havighurst (Hurlock, 1990), remaja memiliki tugas-tugas perkembangan dalam kehidupan masa remaja yang harus diselesaikan pada saat mereka memasuki masa remaja. Tugas-tugas itu disebut sebagai tugas perkembangan remaja yang diartikan sebagai tugas yang harus dipenuhi pada suatu periode tertentu dan merupakan petunjuk yang memungkinkan seseorang mengerti dan memahami apa yang diharapkan dan dituntut oleh masyarakat serta lingkungan terhadap seseorang dalam usia tertentu.

Tugas-tugas perkembangan remaja tersebut adalah sebagai berikut:

1. Mencapai hubungan baru dan hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya.

2. Mencapai peran sosial menurut jenis kelaminnya.

(37)

5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya.

6. Mempersiapkan karir ekonomi dan mampu mencapai kemandirian secara ekonomi.

7. Mengembangkan kecakapan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan untuk kepentingan hidup bermasyarakat.

8. Memperlihatkan tingkah laku yang secara sosial dapat dipertanggungjawabkan.

9. Mempersiapkan perkawinan dan kelurga, serta

10.Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai peganggan untuk berperilaku.

Tugas-tugas perkembangan tersebut harus dilakukan oleh setiap remaja, karena apabila tidak terpenuhi akan membawa akibat yang tidak baik di masa-masa berikutnya serta akan menghambat dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangan selanjutnya (Hurlock,1990).

(38)

Sebaliknya kegagalan remaja dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangannya dapat menyulitkan remaja untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangan dimasa selanjutnya. Dengan demikian semakin banyak tugas perkembangan yang tidak mampu dilaksanakan oleh remaja maka akan semakin tinggi pula intensitas persoalan yang akan dihadapi oleh remaja (Mappiare, 1982). Pada masa remaja perubahan sosial merupakan masalah yang terpenting dan tersulit, terlebih dalam hal penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya (Hurlock, 1990). Dengan kata lain hubungan dengan orang lain merupakan hal yang terpenting dalam perkembangan selama masa remaja. Pendapat ini sejalan dengan pernyataan Havighurst (Hurlock, 1990), bahwa salah satu tugas perkembangan di masa remaja adalah mencapai hubungan baru dan hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya.

Perubahan sosial di kalangan siswa SMA yang sedang memasuki usia remaja adalah harus menyesuaikan diri dengan orang dewasa diluar lingkungan sekolah atau keluarga serta harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang belum pernah ada sebelumnya. Biehler (1999), mengatakan bahwa remaja merasa perlu menyesuaikan diri dengan kelompok karena ingin menjadi bagian dalam dalam kelompok pada umumnya. Mereka menghindari segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kelompok, dengan cara mematuhi cita-cita, sikap, kebiasaan, serta peraturan kelompok.

(39)

yang khas dari cara berfikirnya. Ditandai dengan adanya perubahan fisik, psikologis,perubahan kognitif, sikap dan tuntutan sosial. Dalam tahap ini terjadi proses pembentukan jati diri dan kepribadian individu, karena itu remaja dikatakan sebagai masa pencapaian identitas diri, yang artinya mulai menyadari perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya dalam menghadapi berbagai situasi dan mencari otonomi atas dirinya sendiri.

2. Perbedaan Remaja Laki-Laki dan Remaja Perempuan

Pergaulan remaja laki-laki cenderung berorientasi pada kegiatan yang menekankan persaingan dan perkembangan ketangkasan maupun keterampilannya. Remaja laki-laki lebih terbuka terhadap teman lawan jenis, akan tetapi tidak demikian dengan remaja perempuan. Pergaulan remaja perempuan cenderung berorientasi kepada hal-hal yang bersifat afeksi, lebih menikmati segi positif pergaulan dan belajar dari segi negatif pergaulan (Hamachek, 1985).

(40)

Proses perkembangan hubungan sosial remaja dimulai dari hubungan dengan teman-teman sebaya mereka. Ketika remaja diterima dalam suatu kelompok tertentu maka akan menimbulkan rasa percaya diri untuk mengembangkan kemampuan sosial dalam lingkup yang lebih luas, dan sebaliknya ketika remaja ditolak oleh teman sebayanya maka hal ini bisa menciptakan kecemasan untuk memulai proses interaksi dengan orang lain.

Bahaya psikologis utama remaja berkisar sekitar kegagalan melaksanakan peralihan ke arah kematangan yang merupakan tugas perkembangan terpenting dari masa remaja. Sosialisasi menjadi salah satu tugas perkembangan dimasa remaja yang wajib dipenuhi, karena dengan soaialisasi yang baik akan membantu remaja untuk mandiri, membuat rencana-rencana, menentukan pilihan dan mengembangkan tanggung jawab atas perilakunya sendiri sebagai langkah untuk menjadi manusia dewasa.

(41)

Kekhawatiran muncul apabila kecemasan yang dialami oleh para siswa SMA Negeri I Sewon – Bantul tidak segera diatasi, maka akan mengganggu fungsi dan peran para siswa dalam kehidupan bersosialisasi di masyarakat, dengan keluarga serta untuk dunia kerja di masa yang akan datang. Dikarenakan kecemasan merupakan gejala jiwa yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan seeorang.

Masa remaja adalah masa peralihan dari usia anak-anak menuju usia dewasa, bukan hanya dalam artian psikologis, tetapi juga dalam artian fisik. Bahkan perubahan-perubahan fisik yang terjadi itulah yang merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja, sedangkan perubahan-perubahan psikologis muncul antara lain sebagai akibat dari perubahan-perubahan fisik tersebut (Sarwono, 2002).

Diantara perubahan-perubahan fisik itu, yang terbesar pengaruhnya adalah pertumbuhan tubuh, secara lengkap Muss (Sarwono, 2002) membuat urutan perubahan fisik pada wanita sebagai berikut:

a. Pertumbuhan tulang-tulang (badan menjadi bertambah tinggi, anggota-anggota badan yang lain menjadi lebih panjang).

b. Pertumbuhan payudara.

c. Tumbuh bulu berwarna gelap dikemaluan.

d. Mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimal setiap tahunnya. e. Datangnya haid.

(42)

Pada masa ini seorang wanita mengalami kematangan yang berlangsung secara lambat dan teratur. Masa ini merupakan kunci dari perkembangan seseorang, dimana introspeksi dan pencarian jati diri dimulai pada masa remaja. Oleh karena itu wanita dewasa yang matang dan berkepribadian banyak ditentukan oleh peristiwa-peristiwa dan pengalamannya pada masa remaja, baik itu pengalaman yang bersifat fisik maupun psikis (Kartono, 1977).

Masa tumbuh dan berkembangnya seorang wanita sering kali oleh Frued (Kartono,1977), disebut sebagai ’’edisi baru dalam kompleks oedipus’, karena hubungan seorang wanita dengan lawan jenis masih banyak diwarnai oleh ikatannya dengan sang ayah.

Sehubungan dengan hal tersebut remaja perempuan memiliki beberapa tugas perkembangan khusus, yaitu:

1. Remaja perempuan dituntut untuk mengalahkan kompleks oedipus, sehingga mereka dapat menjalin suatu hubungan cinta yang mantap dan lebih dewasa. 2. Remaja perempuan dituntut untuk memutuskan identifikasi total dan relasi

yang akrab dengan ibunya yang sifatnya infantile dan primitif.

3. Remaja perempuan harus dapat menghapuskan keragu-raguan biseksuil, untuk dapat mengarahkan dirinya dalam proses heteroseksuil yang positif.

Sedangkan perubahan fisik remaja laki-laki menurut Muss (Sarwono, 2002) meliputi:

a. Pertumbuhan tulang-tulang. b. Testis (buah pelir) membesar.

(43)

d. Awal perubahan suara.

e. Ejakulasi (keluarnya air mani).

f.. Pertumbuhan tinggi badan mencapai tingkat maksimal setiap tahunnya. g. Tumbuh rambut-rambut halus diwajah (seperti: kumis, jenggot). h. Tumbuh bulu ketiak.

i. Akhir perubahan suara.

j. Rambut-rambut di wajah bertambah tebal dan gelap. k. Tumbuh bulu di dada.

Secara jelas perbedaan antara laki-laki dan perempuan tampak pada perubahan fisiknya, lebih jauh lagi terdapat beberapa hal yang membedakan antara laki-laki dan perempuan seperti dalam sifat dan karakteristiknya. Konsep nature mengakui bahwa perbedaan biologis laki-laki dan perempuan membentuk

sifat alami maskulin untuk laki-laki sedangkan feminin untuk perempuan, yang kemudian membedakan sifat antara laki-laki dan perempuan (Megawangi, 1999).

(44)

Perbedaan tersebut bisa dilihat dari cara mereka melakukan aktivitas dan permainan. Perempuan lebih menekankan kedekatan, sedangkan laki-laki lebih pada petualangan. Lips (1988), juga mengungkapkan bahwa pada masa remaja hubungan dengan orang lain lebih penting artinya bagi perempuan dibandingkan bagi laki-laki. Sebuah penelitian membuktikan bahwa ketika remaja diminta untuk merangking hal-hal yang menurut mereka penting, diperoleh hasil hubungan interpersonal menempati urutan ketiga bagi perempuan setelah identitas diri dan seksualitas. Sedangkan bagi laki-laki otonomi merupakan urutan ketiga setelah identitas diri dan seksualitas, Strommen (Lips, 1988).

Gillingan (1997), mengemukakan bahwa aspek kepedulian, perhatian, kasih sayang, dan tanggung jawab terhadap orang lain lebih banyak ditemukan pada perempuan. Karena pada hakikatnya perempuan memiliki kecenderungan menjalin hubungan serta mempertahankan hubungan dengan orang lain. Dalam penelitian Piaget (Gillingan, 1997), mengungkapkan bahwa ternyata anak perempuan lebih toleran terhadap aturan, bersedia menerima pengecualian, dan lebih mudah menyesuaikan diri dengan hal baru. Akibatnya hukum dan aturan bukan menjadi hal pokok dalam perkembangan moral bagi anak perempuan dibandingkan bagi anak laki-laki.

(45)

hubungan yang dekat secara afeksi dengan orang lain, serta lebih mengekspresikan perasaannya secara pribadi, seperti dalam persahabatan dibandingkan dengan laki-laki.

Eisenberg and Lennon (Buss, 1995), mengugkapkan ternyata perempuan juga cenderung memiliki sifat empatik dan simpati terhadap orang lain dibandingkan dengan laki-laki. Pendapat ini didukung oleh Bartholomew (Buss, 1995), yang secara jelas menyatakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan terletak dalam hal perilaku sosialnya. Dimana perempuan cenderung bersifat empati dan simpati dibandingkan dengan laki-laki.

Menurut Shaevitz (1989), laki-laki kurang memiliki perhatian pada orang lain, sedangkan perempuan cenderung akan mengalami kepuasan jika berhasil dalam berhubungan dengan orang lain. Sebenarnya bagi laki-laki persahabatan juga penting, akan tetapi perasaan berharga yang berkaitan dengan karir bagi lelaki lebih penting.

(46)

C. Dinamika Antar Variabel

Remaja diartikan sebagai usia dimana seseorang sudah siap untuk berintegrasi dengan masyarakat dewasa, mencapai transformasi intelektual yang khas dari cara berfikirnya untuk memasuki hubungan sosial dengan orang dewasa lainnya, Piaget (Hurlock, 1990). Banyak perubahan yang dialami oleh remaja, tidak hanya perubahan fisik tetapi juga perubahan kognitif, sikap dan tuntutan sosial. Pada masa transisi ini, remaja diharapkan mampu meninggalkan sikap kekanak-kanakannya dan mampu bersikap dewasa (Monks, 1999).

Siswa laki-laki dan siswa perempuan SMA Negeri I Sewon Bantul yang termasuk dalam usia remaja, memiliki tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Diantaranya adalah mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dan melakukan penyesuaian sosial untuk dapat diterima dalam lingkungan masyarakat (Havinghurst dalam Hurlock, 1990).

Sekolah sebagai tempat belajar lebih berfungsi kepada fungsi sosialnya, yaitu lebih menekankan kepada pengaruh sosial dari pada pengalaman para siswa didalam kelas. Siswa laki-laki dan siswa perempuan tidak saja mengalami perkembangan fisik dan intelektual, tetapi juga mengalami proses sosialisasi. Mereka sedang berproses untuk memperoleh kemantapan sosial dalam mempersiapkan diri menjadi orang dewasa yang baru (Sulastri, 1983).

(47)

sebayanya maka hal ini dapat menciptakan kecemasan untuk memulai proses interaksi dengan orang lain (Hurlock, 1990).

Sarason dan Cowen (White and Watt, 1981), menambahkan bahwa karakteristik orang yang memiliki kecemasan tinggi adalah: kurang percaya diri, kurang berani mengambil resiko, serta cenderung meremehkan diri sendiri. Hal tersebut terkait dengan study kecemasan oleh Myers (1983), yang menyatakan bahwa perempuan lebih cemas akan ketidakmampuannya dibanding dengan laki-laki yang cenderung lebih aktif, eksploratif.

Perempuan menganggap bahwa kualitas hubungan interpersonal lebih penting (Lips, 1988), sehingga penerimaan oleh teman sebaya maupun oleh lingkungan dianggap sebagai hal yang sangat penting bagi perempuan dibandingkan laki-laki. Sehingga perempuan yang kurang diterima oleh lingkungannya cenderung mengalami kecemasan dibandingkan laki-laki.

Kecemasan diartikan sebagai manifestasi dari berbagai proses emosi kompleks yang dirasakan sebagai akibat dari peristiwa tidak menyenangkan dalam menghadapi situasi yang dianggap mengancam sebagai konsekuensi atas ketidakberdayaan dalam menghadapi situasi kehidupan sehari-hari (Kartono, 1981; Furhmann,1990).

(48)

sebagai remaja, selain harus memenuhi tuntutan lingkungan masyarakat dimana mereka tinggal.

Dimana perubahan sosial yang harus dilakukan oleh remaja yaitu menyesuaikan diri dengan orang dewasa diluar lingkungan sekolah atau keluarga (Hurlock, 1990). Sehingga hal ini menimbulkan kecemasan dalam diri para siswa, yang akan berdampak terhadap kondisi psikis mereka.

Kecemasan yang dialami siswa laki-laki dan siswa perempuan akan tercermin dalam gejala kognitif, dimana akan mempengaruhi proses berfikir para siswa dan menyebabkan sulit berkonsentrasi dalam pelajaran sehingga mempengaruhi prestasi akademiknya. Gejala afektif akibat kecemasan tercermin dalam perasaan takut dan khawatir atas suatu kejadian yang akan menimpa mereka. Terlebih lagi ketakutan akan ketidakmampuan dalam memenuhi tugas perkembangan di masa remaja, maupun ketakutan akan ketidakmampuan menjalankan fungsinya dalam lingkungan keluarga, sekolah, atau masyarakat.

Siswa yang mengalami kesulitan dalam mencapai tugas perkembangannya, tampak ketika mengalami kesulitan dalam berhubungan sosial dengan teman sebaya maupun ketika berinteraksi dengan lingkungan masyarakat sekitarnya.

(49)

terpotong-potong, bergetar, merapikan tampilan rambut atau pakaian, bahkan perubahan tinggi suara.

Selain secara fisik perempuan dan laki-laki juga dipandang memiliki perbedaan dalam hal psikis. Perempuan dinilai lebih feminin sementara laki-laki maskulin. Dalam studi tentang kecemasan yang berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin Myers (1983), mengatakan bahwa perempuan lebih cemas akan ketidakmampuannya dibanding dengan laki-laki. Dikatakan juga bahwa laki-laki lebih aktif, eksploratif, dan lebih rileks dalam berhubungan dengan orang lain sedangkan perempuan lebih sensitif.

Hasil penelitian James (Smith, 1968), mengatakan bahwa perempuan lebih mudah dipengaruhi oleh tekanan-tekanan lingkungan dibandingkan laki-laki. Lebih jauh lagi dalam studi kecemasan secara umum oleh Maccoby and Jacklin (1974), menyatakan bahwa perempuan cenderung lebih mudah cemas dibandingkan laki-laki.

Berawal dari hal-hal tersebut maka dinamika tingkat kecemasan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan menjadi berbeda. Perempuan lebih dipengaruhi oleh tekanan lingkungan, mereka menganggap bahwa kualitas hubungan interpersonal sangat penting, terlebih lagi penerimaan dari lingkungan sangat dibutuhkan oleh perempuan. Sehingga perempuan yang kurang diterima oleh lingkungan cenderung mengalami kecemasan dibandingkan laki-laki.

(50)

kehidupan sehari-hari maupun ketika berhubungan dengan orang lain. Laki-laki lebih aktif dan lebih eksploratif ketika menggungkapkan hal-hal yang disenangi atau yang tidak disukainya. Sementara perempuan cenderung dipengaruhi tekanan lingkungan dan terlalu mempertimbangkan kejadian yang akan menimpanya, sehingga kurang berani mengambil resiko dibanding laki-laki.

Dari sini dapat dikatakan bahwa tingkat kecemasan siswa laki-laki dan siswa perempuan berbeda karena beban psikologis yang mereka hadapi dan yang mereka bayangkan juga berbeda. Bertolak dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa siswa perempuan secara signifikan memiliki kecemasan yang lebih tinggi dari pada siswa laki-laki.

D. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

(51)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini berjudul Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta. Penelitian ini merupakan studi perbandingan. Peneliti ingin mencari perbedaan tingkat kecemasan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel bebas : Jenis kelamin Variabel tergantung : Tingkat kecemasan

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah variabel jenis kelamin dan tingkat kecemasan :

1. Jenis Kelamin

(52)

2. Tingkat Kecemasan

Tingkat kecemasan adalah tinggi rendahnya perasaan tidak menyenangkan dalam diri individu yang dianggap sebagai kejadian mengancam yang dirasakan sebagai akibat ketidakberdayaan individu dalam mengatasi permasalahan maupun situasi yang mengancam kecemasan, yang termanifestasi dalam 3 aspek.

Aspek-aspek kecemasan tersebut meliputi: a. Aspek Afektif

Yaitu munculnya kecemasan yang berkaitan dengan perasaan individu terhadap suatu hal yang dialami secara sadar dan mempunyai ketakutan yang mendalam. Misalnya: diwujudkan dalam perasaan mudah marah dan tersinggung, perasaan takut dan khawatir serta tidak sabaran.

b. Apek Kognitif

Aspek kognitif ini berkaitan dengan proses berfikir seperti: sulit berkonsentrasi, sulit membuat keputusan, perasaan tidak tenang, pelupa, pikiran kacau, bingung, perasaan khawatir berlebihan atas suatu hal yang dianggap mengerikan yang seolah-olah akan terjadi.

c. Aspek Fisiologis

(53)

dapat rileks, mudah terkejut dan terkadang menggerakan anggota tubuh secara berlebihan.

”Taylor Manifest Anxiety Scale” (TMAS) disusun oleh Taylor, J.A., (Byrne, 1961), kecemasan ditunjukkan oleh aspek-aspek yang mencolok (overt) dari perilaku kecemasan, seperti: berkeringat, muka kemerahan, gemetar. Sebagian lagi mengandung keluhan-keluhan somatik, misalnya: perut terasa mual, pusing, diare, gangguan lambung. Sedangkan aspek lain yang menyertai kecemasan ditunjukkan melalui: kesulitan berkonsentrasi, perasaan eksitasi atau tidak dapat istirahat, menurunnya kepercayaan diri, sensitivitas yang berlebihan terhadap orang lain, perasaan tidak bahagia dan tidak berguna.

Tingkat kecemasan dalam penelitian ini diukur menggunakan skala tingkat kecemasan TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale). Tinggi rendah tingkat kecemasan dilihat dari hasil angka skala yang diperoleh, semakin tinggi angka skala semakin tinggi pula tingkat kecemasannya. Sebaliknya semakin rendah angka skala semakin rendah tingkat kecemasannya.

D. Subyek Penelitian

(54)

Usia subyek penelitian ditetapkan sekitar 15-18 tahun, hal ini didasarkan karena pada usia tersebut termasuk dalam kategori remaja pertengahan. Dengan asumsi bahwa remaja pada kisaran usia tersebut mengalami peralihan dari usia remaja awal menuju usia remaja akhir, sehingga memiliki tugas perkembangan yang harus diselesaikan untuk memasuki usia dewasa.

Kekhawatiran muncul apabila kecemasan yang dialami oleh para siswa SMA Negeri I Sewon – Bantul tidak segera diatasi, maka akan mengganggu fungsi dan peran para siswa dalam kehidupan bersosialisasi di masyarakat, dengan keluarga serta untuk dunia kerja di masa yang akan datang. Dikarenakan kecemasan merupakan gejala jiwa yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan seeorang.

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Pengertian data primer menurut Umar (1999), adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama yaitu dari individu atau perorangan seperti hasil wawancara atau hasil pengisian kuesioner yang dilakukan oleh subyek penelitian. Data primer dalam penelitian ini berasal dari daftar pertanyaan atau pernyataan (skala) yang diberikan kepada subyek penelitian.

(55)

a) Skala Tingkat Kecemasan

Data yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner adalah teknik pengumpilan data dengan menggunakan seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab (Sugiyono, 1999).

Indikator-indikator dalam penyusunan skala tingkat kecemasan dimanifestasikan dalam aspek afektif, kognitif, serta aspek fisiologis. Adapun tingkat kecemasan diukur menggunakan skala tingkat kecemasan yang diadaptasi dari skala tingkat kecemasan Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS) dari Janet Taylor (Byrne, 1961).

TMAS terdiri dari 50 item, meliputi variasi yang agak luas dari perilaku kecemasan yang termanifestasikan dalam aspek afektif, aspek kognitif, dan aspek fisiologis. Tabel spesifikasi skala tingkat kecemasan dapat dilihat secara rinci pada tabel spesifikasi berikut:

Tabel 1

Tabel Spesifikasi Skala Tingkat Kecemasan (Sebelum Uji Coba)

No Aspek Favorabel Unfavorabel Total

(56)

Skala untuk melihat tinggi rendah tingkat kecemasan para siswa laki-laki maupun siswa perempuan ini terdiri dari 36 item favorable dan 14 item unfavorable. Item-item favorable adalah item-item yang mendukung terbentuknya kecemasan secara umum, dalam skala ini ditunjukkan oleh pernyataan nomor: 2, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 13, 14, 16, 17, 19, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 30, 31, 33, 35, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 44, 45, 46, 47, 48, 49. Sedangkan item-item unfavorable adalah item-item yang tidak mendukung terbentuknya kecemasan secara umum, ditunjukkan pernyataan nomor: 1, 3, 4, 9, 12, 15, 18, 20, 28, 29, 32, 38, 43, 50.

b) Nilai Skala

Teknik skoring yang digunakan dalam penelitian ini adalah berbentuk dikotomi yakni pernyataan-pernyataan yang diberikan dengan memberikan dua alternatif jawaban dan diberi skor.

Skala dikotomi ini digunakan untuk mengukur variabel tingkat kecemasan dengan nilai skoring: untuk jawaban dari pernyataan-pernyataan favorabel skor 0 diberikan untuk jawaban tidak, skor 1 untuk jawaban ya. Sedangkan untuk pernyataan-pernyataan unfavorabel skor 0 diberikan untuk jawaban ya, skor 1 untuk jawaban tidak.

(57)

kecemasannya makin tinggi, sebaliknya makin sedikit memberikan jawaban ya, artinya tingkat kecemasan yang dialami makin rendah.

Dalam penelitian ini, variabel jenis kelamin diketahui dengan menggunakan skala nominal. Skala ini untuk mengetahui jenis kelamin dari responden, yaitu skor 1 untuk responden laki-laki dan skor 2 untuk responden perempuan.

F. Metode Analisis Data

1. Uji Validitas Isi

Tujuan dari uji validitas adalah untuk mengetahui dan menentukan apakah item yang tersusun layak untuk diujii cobakan dan mampu memperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian. Pada penelitian ini, validitas yang diuji adalah validitas isi. Uji validitas isi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana isi terdalam penelitian ini bisa mengukur apa yang akan diukur (Azwar, 2000).

Dalam Penelitian ini analisis yang digunakan adalah analisis rasional atau profesional judgment, yang bertujuan untuk menetapkan apakah item-item yang akan diujikan memang representatif dalam hal ini mewakili aspek-aspek yang membentuk kecemasan. Profesional Judgement dilakukan oleh orang-orang yang sudah ahli, yaitu oleh dosen pembimbing skripsi.

2. Korelasi Item Total ( Seleksi Butir)

(58)

Keterangan:

rxy = koefisiensi korelasi product moment N = jumlah sampel

∑ x = jumlah skor butir

∑ y = jumlah skor total

∑ xy = jumlah perkalian skor butir dengan skor total

∑ x2 = jumlah kuadrat skor butir

∑ y2 = jumlah kuadrat skor total

Syarat minimum untuk dianggap memenuhi validitas adalah, rxy ≥ 0,3. Jadi apabila korelasi antara butir dengan skor total kurang dari 0,3 maka butir dalam instrumen tersebut dinyatakan tidak valid (Sugiyono, 1999).

3. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas dilakukan untuk mengukur keajegan hasil pengukuran. Dengan kata lain uji reliabilitas diperlukan untuk melihat sejauh mana pengukuran itu dapat memberikan hasil yang relatif sama jika dilakukan pengukuran kembali dengan alat ukur yang sama.

Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx’) yang angkanya

(59)

Reliabilitas dalam penelitian ini diuji dengan pendekatan konsistensi internal dengan menggunakan koefisien reliabilitas alpha (α). Prosedur pendekatan ini hanya menggunakan satu bentuk tes yang dikenakan hanya sekali saja pada kelompok subyek, karena itu pendekatan ini mempunyai nilai praktis dan efisien yang tinggi (Azwar, 2000).

Uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan tehnik Cronbach Alpha dari hasil pengolahan data dengan SPSS For Windows Release 10,0. Rumus alpha adalah sebagai berikut (Simamora, 2002):

Keterangan:

r 11 = reliabilitas instrumen

k = banyaknya butir pertanyaan = jumlah varians butir

= varians total

Suatu instrumen dapat disebut reliabel apabila memiliki nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,50 (Sugiyono, 1999).

(60)

4. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Uji normalitas diperlukan agar dapat diketahui apakah sebaran untuk suatu variabel yang diteliti normal atau tidak, karena hal ini sangat terkait dengan jenis statistik yang akan dipergunakan, apakah parametrik atau nonparametrik. Pengujian normalitas mempergunakan Kolmogorv-Smirnov (K – S) dua ekor. Kriteria yang digunakan: bila p > 0,05 maka sebaran item dikatakan normal.

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas untuk mengetahui apakah varians dari sampel yang akan diuji tersebut sama. Uji homogenitas adalah suatu syarat untuk uji-t bila data berdistribusi normal, dan jika data tidak normal, maka prasyarat homogenitas ini tidak diperlukan lagi.

5. Uji Hipotesis

Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini digunakan Uji-t (Independen t-test) jika datanya berdistribusi normal dan menggunakan uji Mean Whitney Test jika datanya tidak berdistribusi normal (Hadi, 1997).

(61)

Keterangan:

t = Uji beda dua rata-rata = Rata-rata hitung dua sampel s2 = Varian populasi

(62)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitian

Persiapan yang dilakukan untuk melaksanakan penelitian ini meliputi persiapan administrasi dan persiapan alat ukur. Persiapan administrasi berupa permohonan ijin untuk pengambilan data. Permohonan ijin diperoleh dari dosen pembimbing skripsi dan dekan fakultas psikologi. Setelah surat ijin dari fakultas diperoleh, kemudian meminta ijin ke kantor BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) sebelum diberikan kepada lembaga yang bersangkutan untuk permohonan ijin pengambilan data (penelitian).

Penyusunan alat ukur dimulai dengan adaptasi skala dan pembuatan tabel spesifikasi skala tingkat kecemasan (blue print). Butir item meliputi pernyataan favorable dan pernyataan unfavorable. Butir item dinyatakan layak sebagai alat ukur jika sudah diuji validitas dan reliabilitasnya. Maka untuk menentukan kelayakan alat ukur tersebut, item-item pernyataan dikenai uji validitas dan uji reliabilitas.

1. Validitas Isi

(63)

mengetahui sejauh mana isi terdalam penelitian ini bisa mengukur apa yang akan diukur (Azwar, 2000).

2. Korelasi Item Total

Pengujian ini menggunakan taraf signifikasi 5% dengan N=100. Item yang dianggap valid adalah item yang memiliki rxy ≥ 0,3. Dari hasil perhitungan,

diperoleh koefisien korelasi item total berkisar antara 0,321 - 0,455. Hasil pengujian dari 50 item tidak terdapat item yang gugur. Sehingga koefisien kesahihan item berkisar antara 0,321 - 0,455. Susunan tabel spesifikasi item-item yang sahih adalah sebagai berikut:

Tabel 2

Tabel Spesifikasi Skala Tingkat Kecemasan (Setelah Uji Coba)

No Aspek Favorabel Unfavorabel Total

1 Afektif No: 7, 25, 26, 27, 30,

(64)

sebesar 0,889. Jadi dapat dikatakan bahwa reliabilitas skala kecemasan Trait Manifest Anxiety Scale (TMAS) tinggi, karena syarat nilai Alpha > 0,50 terpenuhi.

B. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 26 Januari 2007. Subyek dalam penelitian ini adalah para siswa laki-laki dan siswa perempuan kelas 2 SMA Negeri I Sewon – Bantul Yogyakarta, yang berjumlah 100 orang. Dengan rincian 42 orang siswa laki-laki dan 58 orang siswa perempuan. Jumlah keseluruhan kelas 2 di SMA Negeri I Sewon ada 7 kelas, karena peneliti hanya membutuhkan subyek 100 orang siswa, maka yang dikenai penelitian hanya 3 kelas saja.

Penelitian ini dilakukan dengan cara memberikan skala pada subyek penelitian sebanyak 100 eksemplar. Setelah dilakukan proses seleksi, ternyata semua skala memenuhi kriteria sehingga semua skala diikut sertakan dalam analisis data sejumlah 100 skala.

C. Deskripsi Data Penelitian

Subyek dalam penelitian ini berjumlah 100 orang, dengan perbandingan siswa laki-laki sebanyak 42 orang dan siswa perempuan sebanyak 58 orang. Umur dari subyek berkisar antara 15 - 18 tahun, dengan kriteria tingkat pendidikan yang sama yaitu siswa SMA kelas 2.

(65)

Tabel 3 Norma Kategorisasi

Norma Kategorisasi Keterangan X < (µ - 1,0 σ)

Untuk skor tingkat kecemasan dengan item berjumlah 50, skor 0 diperoleh rentang minimum 50 x 0 = 0, sedangkan rentang maksimum 50 x 1 = 50. Adapun nilai σ = 50/6 = 8,3 dan mean teoritisnya adalah µ = 50 x 0,5 sebesar 25. Setelah dihitung diperoleh kategorisasi sebagai berikut:

Tabel 4

Kategorisasi Tingkat Kecemasan Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan Siswa Laki-laki Siswa Perempuan Kategori Rentang

(66)

persentase sebesar 66,7 %. Sedangkan 8 orang siswa laki-laki lainnya memiliki tingkat kecemasan tinggi, dengan persentase sebesar 19 %.

Untuk subyek siswa perempuan sejumlah 2 orang memiliki tingkat kecemasan rendah, ditunjukkan dengan persentase sebesar 3,4 %. 35 orang siswa perempuan memiliki tingkat kecemasan sedang, dengan menunjukkan persentase 60,3%. Sejumlah 21 orang siswa perempuan memiliki tingkat kecemasan yang tinggi dengan persentase 36,2 %.

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa subyek siswa perempuan memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dari siswa laki-laki. Pernyataan ini terlihat dari angka yang diperoleh, terdapat 21 orang siswa perempuan yang masuk dalam kategorisasi memiliki tingkat kecemasan tinggi dengan persentase sebesar 36,2 %. Sedangkan siswa laki-laki hanya terdapat 8 orang siswa yang memiliki tingkat kecemasan tinggi, dengan persentase sebesar 19 %.

Temuan lain dalam penelitian ini adalah persentase besarnya kecemasan pada tiap aspek dalam diri para siswa, dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5

Gambaran Kategori Tingkat Kecemasan Pada Tiap Aspek Tingkat

Kecemasan

Aspek Afektif

Aspek Kognitif

Aspek Fisiologis

Rendah 27 % 31 % 12 %

Sedang 45 % 35 % 60 %

Tinggi 28 % 34 % 28 %

(67)

Tabel 5 diatas dimaksudkan untuk menjelaskan tinggi rendahnya tingkat kecemasan pada tiap-tiap aspek dan bukan untuk menjelaskan tinggi rendah tingkat kecemasan antar aspek. Angka-angka yang terdapat dalam tabel 5 tersebut diatas dapat dilihat secara terinci dari olahan data penelitian halaman 71.

Dari tabel 5 dapat dijelaskan pada kategori tingkat kecemasan rendah, aspek kognitif menunjukkan nilai yang paling banyak yaitu 31%. Jika dibandingkan aspek lain, aspek kognitif paling banyak rendahnya (tidak cemas). Artinya aspek kognitif tidak memberi kontribusi yang besar pada kecemasan bagi siswa pada level rendah.

Pada kategori tingkat kecemasan sedang, aspek fisiologis menunjukkan angka 60%. Artinya aspek fisiologis cukup memberikan kontribusi yang besar pada kecemasan siswa pada level sedang. Sedangkan pada kategori tingkat kecemasan tinggi, aspek kognitif menunjukkan angka sebesar 34 %. Yang artinya jika dibandingkan dengan aspek lain, pada aspek kognitif paling banyak tingginya (paling cemas). Jadi dapat disimpulkan bahwa aspek kognitif paling banyak memberikan kontribusinya pada kecemasan para siswa.

Tabel 6

Gambaran Kecemasan Antar Aspek Pada Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan

Gambar

Tabel Spesifikasi Skala Tingkat Kecemasan  Tabel 1 (Sebelum Uji Coba)
Tabel 2 Tabel Spesifikasi Skala Tingkat Kecemasan
Tabel 3 Norma Kategorisasi
Tabel 6 Gambaran Kecemasan Antar Aspek
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan persamaan (4.5) diperoleh peluang pasien menderita penyakit glaukoma klasifikasi glaukoma absolut jika diketahui pasien tersebut berusia 31 tahun, tidak memiliki

It is thus timely to promote sustainable production of gaharu as an important strategy for conserving natural gaharu tree species, thus the forest habitats, and

Gambar 12. Diagram Layang-layang Dimensi Keberlanjutan Kota Baubau.. Berdasarkan hasil penelitian, maka beberapa hal yang perlu mendapat perhatian pemerintah guna

.DUHW DODP GDQ VHOXORVD PHUXSDNDQ GXD PDWHULDO \DQJ PHPLOLNL NRPSDWLELOLWDV \DQJ VDQJDW EHUEHGD .DUHW DODP EHUVLIDW QRQSRODUVHGDQJNDQVHOXORVDEHUVLIDWSRODU .RPELQDVL DQWDUD NDUHW

Kita akan merancang suatu sistem DM yang dapat memberikan informasi bagi pemilik kedai dengan harapan pemilik kedai dapat mengambil keputusan tentang makanan apa

Woolfolk (2004) menambahkan bahwa aktivitas mencatat membantu siswa untuk memfokuskan perhatian selama proses belajar dan membantu untuk mengkodekan informasi dalam

Antara matlamat penubuhan ASEAN termasuklah mengekalkan kestabilan politik di rantau Asia Tenggara, membantu antara satu sama lain dalam bidang ekonomi, sosial, dan kebudayaan,

Apakah kombinasi ampas singkong dan tahu dapat dijadikan sebagai substrat dalam pembuatan laru tempe dari isolat daun waru (Hibiscus tiliaceius).. Kombinasi substrat manakah