BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Kapital Sosial Pierre Bourdieu
Bourdieu mendefenisikan kapital sosial adalah kumpulan sejumlah sumberdaya, baik aktual maupun potensial yang terhubung dengan kepemilikan jaringan atau relasi, yang sedikit banyak telah terinstitusionalisasi dalam pemahaman dan pengakuan bersama. Secara lebih sederhana, Turner mendefenisikan kapital sosial sebagai suatu posisi atau relasi dalam suatu kelompok serta jaringan-jaringan sosial (Turner, 1997:512).
Sedangkan Coleman (1988) mendefinisikan kapital sosial sebagai sesuatu yang memiliki dua ciri yaitu merupakan aspek dari struktur sosial serta memfasilitasi tindakan individu dalam struktur sosial tersebut. Dalam pengertian ini, bentuk-bentuk kapital sosial berupa kewajiban dan harapan, potensi informasi, norma dan sanksi yang efektif, hubungan otoritas, serta organisasi sosial yang bisa digunakan secara tepat. Selain itu, menurut Putnam (1993) mendefinisikan kapital sosial sebagai suatu nilai mutual trust (kepercayaan) antara anggota masyarakat dan masyarakat terhadap pemimpinnya. Kapital sosial didefinisikan sebagai institusi sosial yang melibatkan networks (jaringan), norms (norma-norma), dan social trust (kepercayaan sosial) yang mendorong pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk tercapai kepentingan maupun tujuan bersama
(http://insanazzamit.blogspot.co.id/2012/11/peranan-capital-social-dalam.html?m=1 diakses 11/03/17).
Bourdieu menyampaikan kapital dengan memulai melakukan kritik terhadap adanya simplifikasi makna kapital. Menurutnya, telah terjadi reduksi makna yang dilakukan oleh para pemikir kapitalis dalam teori-teori ekonominya. Pertukaran yang sebenarnya memiliki makna dan dimensi yang universal dan luwes (fleksibel) telah dibatasi hanya pada aspek perdagangan (to mercantile exchance) yang secara objektif maupun subyektif semata-mata berorientasi pada upaya untuk memaksimalkan kepentingan individu dalam bentuk peningkatan keuntungan material.
Dalam karyanya, the from off capital (TFC), secara metaforis Bordieu mendefenisikan kapital sebagai “sekumpulan tenaga (dalam bentuk yang sudah termaterikan atau berwujud dalam bentuk tertentu) yang bila digunakan secara pribadi atau ekslusif (umpamanya dijadikan modal besar dasar atau agen-agen maupun sekelompok agen) maka dia akan mungkin sekali menyediakan energi sosial dalam bentuk tenaga yang bernyawa dan nyata” (Bourdieu,http//viet-studies.org diakses pada 11/05/17).
Pemikiran Bourdieu ini menunjukkan adanya relasi yang kuat antara pengertian kapital dalam perspektif sosiologis dengan relasi sosial yang terjadi dalam masyarakat. Disini terlihat bahwa kapital tidak hanya hal-hal yang bersifat kebendaan (material) tetapi juga hal-hal yang immaterial, seperti relasi sosial, power, posisi dan sebagainya. Seseorang yang tidak memiliki material, tetapi dia memiliki jaringan sosial yang kuat, posisi bagus, pendidikan yang legitimate dan mendapat pengakuan dari masyarakat, maka sebenarnya dia memiliki potensi kapital yang baik yang bisa pertukarkan oleh agen yang memilikinya. Berbagai kapital immaterial yang dimiliki oleh agen dapat mendatangkan keuntungan material melalui proses konversi.
Bourdieu (1986) menjelaskan adanya tiga bentuk kapital yang dapat dilihat dalam kegiatan ekonomi manusia sebagai mahluk sosial. Bentuk kapital tersebut pertama, dalam bentuk kapital ekonomi yang secara langsung dapat ditukar menjadi uang dan terinstitusionalisasi dalam bentuk hak kepemilikan barang. Kedua, dalam bentuk kapital kultural yang dalam kondisi tertentu juga dapat ditukar menjadi kapital ekonomi dan setelah terinstitusi kedalam bentuk-bentuk kualifikasi pendidikan. Ketiga, dalam bentuk kapital sosial yang menbentuk ikatan-ikatan sosial “koneksi-koneksi”.
Tiga kapital Bourdieu tersebut kemudian dikembangkan oleh Turner dengan menambahkan satu tipe baru, yaitu symbolic capital (kapital simbolik). Kapital jenis ini mengasumsikan adanya simbol-simbol yang dapat digunakan untuk melegitimasi kepemilikan atas beberapa kapital lainnya (Turner, Op. Cit. 52). Dalam penelitian ini peneliti memilih untuk menggunakan teori kapital sosial yang dikemukakan oleh Bourdieu agar mempermudah peneliti dalam mengkaji lebih dalam tentang strategi bertahan hidup para pedagang pakaian pasca kebakaran Pasar Aksara di Kota Medan.
Menurut Fukuyama kapital sosial adalah “serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota kelompok, yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka” (F. Fukuyama, Terj. Ruslani 2002:22). Bagi Fukuyama persoalan manifestasi keluar dari nilai-nilai dan norma-norma sosial begitu penting untuk melihat apakah nilai-nilai dan norma-norma-norma-norma dalam suatu masyarakat dapat bernilai kapital sosial. Pada titik ini Fukuyama membedakan antara eksternalitas positif dan eksternalitas negative dari nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat (F. Fukuyama, Terj. Ruslani, Op. Cit. 17). Dengan Menginterpretasi pemikiran Weber, Fukuyama mengatakan, bentuk eksternalitas
positif dari nila-nilai dan norma-norma telah ditunjukkan Weber dalam bukunya The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism. Sementara, manifestasi eksternalitas negative dari nilai-nilai dan norma tidak memiliki nilai kapital sosial yang baik seperti norma kebencian pada kelompok lain, mafioso dan sejenisnya.
Selain itu, menurut Lawang (2005) jaringan sosial merupakan salah satu dimensi sosial selain kepercayaan dan norma. Jaringan dalam kapital sosial lebih memfokuskan pada aspek ikatan antar simpul yang bisa berupa orang atau kelompok (organisasi). Dalam hal ini terdapat pengertian adanya hubungan sosial yang diikat oleh adanya kepercayaan yang mana kepercayaan itu dipertahankan dan dijaga oleh norma-norma yang ada. Jaringan ini, terdapat unsur kerja, yang melalui media hubungan sosial menjadi kerja sama.
Pada dasarnya jaringan sosial terbentuk karena adanya rasa saling tahu, saling menginformasikan, saling mengingatkan, dan saling membantu dalam melaksanakan ataupun mengatasi sesuatu. intinya, jaringan dalam kapital sosial ini menunjuk pada semua hubungan dengan orang atau kelompok agar masalah yang dihadapi teratasi (https://teddymagister.wordpress.com/2012/06/12/teori-jaringan-sosial/ diakses pada 11/05/17).
Selanjutnya jaringan itu sendiri dapat terbentuk dari hubungan antar personal, antar individu dengan institusi, serta jaringan antar institusi. Sementara jaringan sosial (network) merupakan dimensi yang bisa saja memerlukan dukungan dua dimensi lainnya karena kerjasama atau jaringan sosial tidak akan terwujud tanpa dilandasi norma dan rasa saling percaya.
Adapun menurut Damsar (2002:157) jaringan sosial adalah merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antar banyak individu dalam suatu kelompok
ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Hubungan-hubungan yang terjadi bisa dalam bentuk yang formal maupun bentuk informal. Hubungan sosial adalah gambaran atau cerminan dari kerjasama dan koordinasi antar warga yang didasari oleh ikatan sosial yang aktif dan bersifat resiprosikal. Sama halnya seperti yang dikatakan Agusyanto (2007:13) jaringan sosial merupakan suatu jaringan tipe khusus, di mana „ikatan‟ yang menghubungkan satu titik ke titik lain dalam jaringan adalah hubungan sosial. Berpijak pada jenis ikatan ini, maka secara langsung atau tidak langsung yang menjadi anggota suatu jaringan sosial adalah manusia (person). Mungkin saja, yang menjadi anggota suatu jaringan sosial itu berupa sekumpulan dari orang yang mewakili titik-titik, jadi tidak harus satu titik diwakili dengan satu orang, misalnya organisasi, instansi, pemerintah atau negara (jaringan negara-negara nonblok dan sebagainya).
Dari defenisi-defenisi yang telah dijelaskan sebelumnya, menunjukkan bahwa aspek utama yang bisa dilihat dari kapital sosial adalah ditentukan dari posisi, jaringan dan relasi seseorang dalam suatu interaksi sosial. Artinya kuat tidaknya kapital sosial yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok akan tergantung pada sejauh mana dia menempati posisi yang bisa menguasai dan memiliki jaringan dan relasi, semakin banyak seseorang atau kelompok memiliki jaringan, relasi dan menduduki posisi yang penting dalam kelompok maka kapital sosial yang dimiliki seseorang itu juga akan semakin meningkat.
Para ahli sosiologi telah melakukan berbagai kajian tentang pentingnya kapital sosial kaitannya dengan kegiatan ekonomi maupun politik. Klaim-klaim empirik tentang pentingnya kapital sosial diantaranya pertama kapital sosial selalu penting untuk pengembangan kapital manusia (human capital). Kedua kapital sosial dianggap
dapat meningkatkan kesejahteraan individu dan memberi kebahagiaan yang subyektif. Ketiga kapital sosial juga dianggap penting peranannya guna meminimalisir ongkos dan resiko yang mungkin dikeluarkan dalam kegiatan ekonomi. Keempat kapital sosial dapat mendorong individu atau kelompok untuk melakukan mobilitas sosial secara vertikal (John F. Halliweel, 2001:47).
Dalam hal ini, kapital sosial yang dimaksud yaitu mengenai hubungan masalah pedagang pakaian dalam menghadapi masalah yang dihadapinya pasca kebakaran Pasar Aksara. Kebakaran Pasar Aksara mengakibatkan para pedagang kehilangan tempat berjualan mereka serta kehilangan modal, dengan gagasan utamanya terfokus kepada teori kapital sosial (human capital) agar dalam penelitian ini menemukan siapa saja kapital sosial yang diandalkan pedagang pakaian dalam mengatasi masalah perekonomian baik itu modal awal mereka untuk berdagang kembali pasca kebakaran. Melalui teori kapital sosial ini agar dapat diketahui jaringan pedagang pakaian sampai sekarang ini masih dapat berjualan di badan (trotoar) Jalan Aksara. Sementara yang kita ketahui berjualan di tengah jalan adalah tindakan yang tidak sewajarnya dimana badan (trotoar) jalan adalah milik pengguna jalan. Interaksi yang baik yang terjalin pada pedagang memungkinkan pedagang untuk berkomitmen satu sama lain, dan menciptakan tatanan sosial untuk mencapai sebuah tujuan bersama dalam hal menyepakati dimana mereka berjualan pasca kebakaran terjadi.
2.2 Strategi Bertahan Hidup
Snel dan Staring dalam Setia (2005:6) mengemukakan bahwa strategi bertahan hidup adalah sebagai rangkaian tindakan yang dipilih secara sadar oleh individu dan rumah tangga yang miskin secara sosial ekonomi. Melalui strategi ini seseorang bisa
berusaha untuk menambah penghasilan lewat pemanfaatan sumber-sumber lain ataupun mengurangi pengeluaran lewat pengurangan kuantitas dan kualitas barang atau jasa. Cara-cara individu menyusun strategi dipengaruhi oleh posisi individu atau kelompok dalam struktur masyarakat, sistem kepercayaan dan jaringan sosial yang dipilih termasuk keahlian dalam memobilitasi sumber daya yang ada, tingkat keterampilan, kepemilikan aset, jenis pekerjaan, status gender dan motivasi pribadi. Nampak bahwa jaringan sosial dan kemampuan memobilisasi sumber daya yang ada didalamnya mendapatkan kepercayaan dari orang lain membantu individu dalam menyusun strategi bertahan hidup.
Dalam menyusun strategi, individu tidak hanya menjalankan satu jenis strategi saja, sehingga kemudian muncul istilah multiple survival strategies atau strategi bertahan jamak. Selanjutnya Snel dan Starring mengartikan hal ini sebagai kecenderungan pelaku-pelaku atau rumah tangga untuk memiliki pemasukan dari berbagai sumber daya yang berbeda, karena pemasukan tunggal terbukti tidak memadai untuk menyokong kebutuhan hidupnya. Strategi yang berbeda-beda ini dijalankan secara bersamaan dan akan saling membantu ketika ada strategi yang tidak bisa berjalan dengan baik.
Strategi yang dilakukan masyarakat termaksuk pedagang pakaian dalam mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi dapat dilakukan dengan berbagai macam strategi. Adapun strategi bertahan hidup yang dilakukan pedagang pakaian pasca kebakaran Pasar Aksara yaitu strategi aktif, strategi pasif dan strategi jaringan yang termaksuk dalam teori kapital sosial yang telah dijelaskan sebelumnya. Berikut ini akan dijelaskan secara rinci strategi aktif dan strategi pasif dalam mengatasi permasalahan perekenomian pedagang pakaian pasca kebakaran pasar.
1. Strategi Aktif
Strategi aktif merupakan strategi bertahan hidup yang dilakukan dengan cara memanfaatkan segala potensi yang dimiliki pedagang pakaian. Menurut Suharto (2009:31) strategi aktif merupakan strategi yang dilakukan dengan cara mengoptimalkan segala potensi yang ada (misalnya melakukan aktivitasnya sendiri, memperpanjang jam kerja dan melakukan pekerjaan tambahan apapun untuk menambah penghasilan). Dengan memaksimalkan pendapatan atau mencari penghasilan tambahan dengan cara melakukan pekerjaan sampingan.
Menurut Andrianti dalam Kusnadi (2000:192) salah satu strategi yang digunakan oleh rumah tangga untuk mengatasi kesulitan ekonomi para nelayan adalah dengan mendorong para istri untuk ikut mencari nafkah. Bagi masyarakat yang tegolong miskin mencari nafkah bukan hanya menjadi tanggungjawab suami semata tetapi menjadi tanggungjawab semua anggota keluarga sehingga pada keluarga yang tergolong miskin isteri juga ikut bekerja demi membantu menambah penghasilan dan mencukupi kebutuhan keluarganya.
Berdasarkan uraian di atas bahwa yang dimaksud strategi aktif adalah strategi bertahan hidup yang dilakukan masyarakat termaksud pedagang pakaian dengan cara memaksimalkan segala sumber daya dan potensi yang dimiliki salah satunya dengan melakukan pekerjaan sampingan pedagang pakaian mampu mengatasi masalah dalam perekonomiannya pasca kebakaran Pasar Aksara.
2. Strategi Pasif
Strategi pasif merupakan strategi bertahan hidup yang dilakukan dengan cara meminimalisir pengeluaran pedagang pakaian sebagaimana pendapat Suharto yang menyatakan bahwa strategi pasif adalah strategi bertahan hidup dengan cara
mengurangi pengeluaran (misalnya biaya untuk sandang, pangan, pendidikan, dan sebagainya). Strategi pasif yang biasanya dilakukan dengan membiaskan hidup hemat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Hemat diartikan sebagai sikap berhati-hati, cermat, tidak boros dalam membelanjakan uang (Suharto, Loc. Cit).
Berusaha meminimalisir pengeluaran uang, strategi ini merupakan salah satu cara masyarakat miskin untuk bertahan hidup. Pola hidup hemat dilakukan agar penghasilan yang mereka terima bisa untuk mencukupi kebutuhan pokok keluarga mereka. Sama halnya juga dengan pedagang pakaian pasca kebakaran yang terjadi mereka melakukan pola hidup hemat. Penghematan dalam kebutuhan pangan bahkan menghemat kebutuhan sandang mereka, menerapkan hidup hemat dengan cara berhati-hati dalam membelanjakan uang mereka (Kusnadi, Op. Cit. 8). Strategi bertahan hidup yang dilakukan dengan cara selektif, tidak boros dalam mengatur pengeluaran keluarga, dengan menerapkan strategi pasif ini pedagang juga mampu mengatasi masalah perekonomian mereka pasca bencana kebakaran terjadi. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan maka yang dimaksud dengan strategi pasif adalah strategi bertahan yang dilakukan secara selektif, tidak boros dalam mengatur pengeluaran.
Strategi bertahan dalam hal ini dapat diartikan sebagai cara, di mana seseorang dapat bertahan hidup atau melakukan perubahan dalam segala kondisi yang ada di sekitarnya. Setiap individu pasti memiliki strategi sendiri, tak terkecuali pada pedagang pakaian. Pasca kebakaran Pasar Aksara membuat semua pedagang khususnya pedagang pakaian mengalami kerugian yang sangat besar, hal ini membembuat para pedagang mengalami kesulitan dalam mencari nafkah. Dalam menghadapi perekonomian yang sulit ini maka, pedagang pakaian memiliki strategi
tersendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti kebutuhan primer, kebutuhan skunder dan kebutuhan tersier. Perekonomian pedagang pakaian yang tidak stabil pasca kebakaran mengakibatkan pada masa tertentu pedagang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik.
Segala kegiatan perekonomian dilakukan guna memenuhi kebutuhan, agar dapat bertahan hidup dari permasalahan-permasalahan ekonomi yang ada di dalamnya. Manusia seperti mahluk hidup lainnya, memiliki naluri untuk mempertahankan hidupnya dan hidup lebih lama. Usaha dikendalikan oleh pokok dari hidup yaitu, hidup dalam situasi apapun dengan lebih berkualitas dari pada sebelumnya dan ini adalah ide dasar dari bertahan hidup. Bagaimanapun, untuk memperoleh tujuan ini seseorang harus mempersiapkan banyak taktik untuk hidup, dimanifestasikan dalam satu kesatuan sistematis.
Strategi bertahan adalah usaha yang digunakan untuk mempertahankan diri dalam mencapai sebuah tujuan. Strategi bertahan dapat muncul dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang akan mengalami permasalahan. Permasalahan tersebut dapat berasal dari luar maupun dari dalam diri seseorang.
Adapun penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu jurnal penelitian Hayat (2012) dengan judul Strategi Bertahan Hidup Pedagang Kaki Lima (PKL) menyimpulkan bahwa pedagang kaki lima di Yogyakarta memiliki cara dalam mempertahankan hidupnya saat dianggap sebagai the others yang sejatinya tidak diinginkan bagi komunitas mainstream kota. Ketidakbersahabatan kota inilah yang mengakibatkan mereka bisa membangun kelompok sosial dengan nilai-nilai mereka.
Dengan begitu mereka bisa terus mempertahankan diri dalam batas-batas yang tertentu dan kemampuan mengambil remah-remah yang lebih besar lagi.
Selain itu, jurnal penelitian Endrizal (2009) dengan judul Strategi Pedagang Pasar Tradisional Menghadapi Persaingan Dengan Pasar Modren (Bukit Tinggi Sumatera Barat) menyimpulkan bahwa para pedagang pasar teradisional menghadapi persaingan dengan pasar modren serta mempertahankan kekhasannya sebagai pasar rakyat orang Bukit Tinggi. Hal tersebut dapat menyulitkan para pedagang untuk mengembangkan usaha dan mengurangi penghasilan mereka. Pada penelitian ini menerapkan tiga strategi yaitu strategi politik, sosial dan ekonomi. Strategi politik terfokus bagaimana mensiasati atau mensikapi kebijakan-kebijakan yang diterapkan sebagai suatu lembaga kekuasaan. Strategi rasional sebagai memperkuat hubungan abtara komunitas pasar dengan pedagang pasar tradisional. Sedangkan strategi secara ekonomi dilakukan dengan menambah modal, cara berdagang dan mempertahankan pembeli dan menambah jumlah ragam komuditas.
2.3 Pedagang
Pedagang secara umum dapat diartikan kegiatan penyaluran barang kepada konsumen melalui kegiatan menjual barang. Adapun pengertian pedagang yang dikemukakan oleh K.S.T. Pamoentjak (1993:32) Tindakan perniagaan adalah tindakan-tindakan pembelian barang untuk dijual kembali dalam jumlah yang besar maupun kecil.
Dengan batasan pengertian tersebut, maka pedagang adalah tindakan perniagaan yang melakukan pembelian barang-barang baik dalam jumlah besar maupun jumlah yang kecil yang kemudian akan dijual kembali kepada konsumen baik
secara langsung maupun tidak langsung. Dalam perdagangan semua tindakan yang tujuannya menyampaikan barang untuk tujuan hidup sehari-hari, prosesnya berlangsung dari produsen kepada konsumen. Orang yang pekerjaannya memperjualbelikan barang atas prakarsa dan resiko dinamakan pedagang.
Perdagangan dibedakan atas perdagangan besar dan perdagangan kecil. Dalam perdagangan besar jual beli berlangsung secara besar-besaran. Dalam perdagangan besar, barang tidak dijual secara langsung kepada konsumen atau pengguna. Sedangkan dalam perdagangan kecil, jual beli berlangsung secara kecil-kecilan dan barang dijual langsung kepada konsumen. Sementara itu, pedagang sendiri jenisnya bermacam-macam. Ada pedagang keliling, pedagang asongan, pedagang dari pintu ke pintu (door to door), pedangang kios, pedangang kaki lima, grosir (pedagang besar), pedagang supermarket dan sebagainya. Seperti halnya di Pasar Aksara saat sebelum terbakar di mana pedagang kecil berjualan yaitu sebagai pedagang pengecer pakaian.
Adapun yang dimaksud pedagang dalam penelitian ini adalah Pedagang pakaian kecil (tidak grosir) yang menawarkan barang dagangannya dengan cara menggelarnya di trotoar dan badan jalan. Pada dasarnya Setiap warga dalam masyarakat mempunyai kesempatan dan memiliki keinginan untuk mencapai status dan penghasilan yang lebih tinggi. Keinginan untuk mengubah nasib, dari nasib yang kurang baik menjadi nasib yang lebih baik merupakan impian setiap orang.
2.4 Relokasi
Relokasi adalah salah satu wujud dari kebijakan pemerintah daerah yang termaksuk dalam kegiatan revitalisasi. Selain itu, menurut Sari (2004:2) relokasi adalah membangun kembali perumahan, harta kekayaan, termaksuk tanah produktif
dan prasarana umum di lokasi atau lahan lain. Dalam hal ini relokasi yang dimaksud peneliti adalah pemindahan tempat berjualan dari pasar yang sudah terbakar eks Pasar Aksara ke tempat yang baru eks lahan Rumah Sakit Martondi.
Salah satu merevitalisasi atau membangun pasar tradisional yang baru adalah menciptakan pasar tradisional dengan jauh lebih, aman serta lebih mengutamakan antisipasi kebakaran misalnya Alat Pemadam Api Ringan (APAR) dan hydrant atau pemadam kebakaran otomatis.