BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pers, baik cetak maupun elektronik merupakan instrumen yang sangat vital dalam tatanan hidup bermasyarakat bagi peningkatan kualitas kehidupan warganya. Disamping fungsinya sebagai media informasi dan komunikasi, pers juga merupakan refleksi jati diri masyarakat karena apa yang dituangkan didalam sajian pers hakekatnya adalah denyut kehidupan masyarakat dimana
pers berada.1 Dari tampilan berita yang disajikan pers itulah sebagian wajah
masyarakat, baik tingkat kemajuan dan taraf berpikirnya dapat dicermati. Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dengan informasi. Pada masa lalu informasi bersumber dari hubungan komunikasi secara lisan antara anggota masyarakat dalam wilayah teritorial tertentu. Seiring dengan kemajuan teknologi dibidang informasi dalam era reformasi sekarang ini, informasi menjadi suatu aset yang berharga dan penting dalam kehidupan manusia. Dengan informasi, manusia dapat mengikuti peristiwa-peristiwa hukum, politik, ekonomi, kebudayaan, kesenian dan lainnya yang terjadi dibelahan dunia ini. Pemenuhan terhadap kebutuhan informasi masyarakat dapat menambah sekaligus menjernihkan wawasan berpikir dan memperbaharui pola hidupnya. Disamping itu dengan menguasai informasi, manusia dapat meningkatkan kedudukannya serta peranannya di masyarakat.
1
Dalam masyarakat madani, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang hakiki. Hak asasi ini juga diperlukan untuk mengawal penegakkan hukum dan keadilan, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu instrument penting yang berperan dalam penyebaran informasi adalah Pers, yang sangat efektif untuk menyebarluaskan pemberitaan kepada masyarakat sehingga dapat dijadikan alat penggerak dalam membangkitkan partisipasi masyarakat untuk ikut melaksanakan pembangunan nasional.
Kemerdekaan pers merupakan wujud kedaulatan rakyat dan menjadi salah satu aspek yang dominan dalam masyarakat yang demokratis. Prinsip demokrasi mempunyai 4 (empat) pilar utama, yakni lembaga legislatif atau parlemen sebagai tempat wakil rakyat, lembaga eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan negara dalam arti sempit, lembaga yudikatif sebagai tempat memberi putusan hukum dan keadilan dalam pelaksanaan
undang-undang, dan pers sebagai alat kontrol sosial masyarakat.2
Melalui sarana Pers, masyarakat juga dapat mengeluarkan pikiran dan pendapatnya baik secara lisan maupun tulisan melalui sarana media cetak, media elektronik maupun media lainnya. Kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat tersebut dijamin undang-undang, dalam Pasal 28 UUD 1945 telah dirumuskan dengan tegas tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
2
Moh. Mahfud. M.D, 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, hlm. 2
Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi diharapkan dapat mendukung untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia, hal ini selaras dengan beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, diantaranya, Bab XA Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia khususnya Pada Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F. Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat”.3 Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa:4
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang berbeda”.
Selain itu, didukung pula dengan adanya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Bab III yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia, khususnya pada Pasal 14
undang-undang tersebut yang isinya menyatakan bahwa:5
(1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
(2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan sejenis sarana yang tersedia.
3
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Bab XA, Pasal 28E 4
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Bab XA, Pasal 28F 5
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Bab III, Pasal 14
Meskipun beberapa regulasi telah merumuskan tentang kebebasan pers, namun dengan adanya kebebasan pers tersebut, pers tidak boleh memberikan suatu informasi yang tidak akurat dan juga harus memperhitungkan opini pembaca yang berkembang, karena pers memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi opini masyarakat.6 Oleh karena itu, berita yang disajikan pers
harus mengandung unsur fakta dan unsur public interest atau kepentingan
publik. Walaupun terdapat unsur kepentingan publik tapi kalau faktanya lemah, wartawan seyogyanya tidak mengekposenya atau ditunda dulu sambil mencari faktanya. Hal ini untuk menghindari adanya pihak yang merasa dirugikan
sebagai obyek dari pemberitaan pers.7 Dengan selalu berangkat dari suatu fakta
dalam pemberitaannya, maka akan terbentuk pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Pers yang bebas dan bertanggung jawab yaitu pers yang memiliki kebebasan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam kegiatan peliputan, pengolahan dan penyiaran berita dalam bentuk fakta,
opini, ulasan gambar-gambar dan sebagainya melalui media komunikasi.8
Ketika pers berada ditengah masyarakat, terjadilah interaksi antara pers dengan masyarakat yang dapat menimbulkan permasalahan hukum, ketika apa yang disajikan oleh pers dinilai tidak benar atau merugikan masyarakat. Permasalahan hukum antara pers dengan masyarakat juga dapat terjadi sebagai
6
Aceng Abdullah, 2000, Press Relation : Kiat-Kiat Berhubungan dengan Pers, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 4
7
Tjipta Lesmana, 2005, Pencemaran Nama Baik dan Kebebasan Pers, Erwin-Rikka Pers, Jakarta, hlm. 73
8
Moch. Budyatna, 1994, Analisa Dan Evaluasi Hukum Tertulis Tentang Asas Kebebasan Pers Yang Bertanggung Jawab, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, hlm.31
akibat dari sajian pers yang dianggap merugikan oleh seseorang atau golongan tertentu. Permasalahan hukum ini tentunya menuntut suatu penyelesaian yang adil dan dapat diterima oleh pihak terkait, sehingga tidak menggangu kehidupan masyarakat dan kelangsungan pers itu sendiri. Kelangsungan pers dalam masyarakat harus dipertahankan, karena Pers pada prinsipnya merupakan kekuatan yang sangat besar dalam mempengaruhi masyarakat, oleh karena itu pers wajib bertanggung jawab atas kebenaran dari beritanya dan
dampak yang timbul dari pemberitaannya.9
Penegakkan hukum terkait delik pers di Indonesia, terdapat perbedaan dalam proses penyelesaiannya. Terhadap suatu permasalahan hukum antara pers dan masyarakat, ada yang diselesaikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya disebut Undang-Undang Pers) dan ada juga yang diselesaikan berdasarkan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP).
Perbedaan proses penyelesaian permasalahan hukum ini terjadi antara lain disebabkan karena interpretasi atau penafsiran yang berbeda terhadap regulasi yang mengatur tentang pers tersebut. Salah satu contoh kasus yang pernah mengguncang dunia pers Indonesia adalah kasus Tomy Winata lawan
majalah Tempo10, di mana permasalahan hukum antara pers dengan
masyarakat (sebagai salah satu pihak yang merasa dirugikan) berujung pada proses penyelesaian dengan jalur pidana, tanpa menggunakan mekanisme penyelesaian yang sudah diatur dalam Undang-Undang Pers. Terkait dengan
9
A. Muis, 1999, Jurnalistik Hukum dan Komunikasi Massa Menjakau Era Cybercommunication Milenium Ketiga, Jakarta, PT Dharu Anuttama, hlm. 28
10
berita “Ada Tomy di Tenabang?” di majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003, yang dijadikan terdakwa adalah Pemimpin Redaksi yaitu Bambang Harymurti, dan dua orang wartawannya, Ahmad Taufik dan Iskandar Ali. Baik Pemimpin Redaksi maupun kedua wartawan majalah Tempo didakwa telah melakukan
tindak kejahatan menyebarkan berita bohong dan pencemaran
nama/penghinaan (Pasal 310 KUHP)11. Hingga pada akhirnya Pemimpin
Redaksi majalah Tempo dinyatakan bersalah dan dijatuhkan vonis satu tahun penjara oleh hakim, sedangkan dua orang wartawannya dibebaskan dari
hukuman meskipun tetap dinyatakan bersalah.12
Kasus Tomy Winata lawan majalah Tempo diatas menunjukkan adanya interpretasi yang berbeda terhadap regulasi yang terkait dengan pers, yakni Undang-Undang Pers diinterpretasikan bukan sebagai aturan yang khusus sehingga penyelesaian kasus Tommy vs Tempo menggunakan pasal dalam KUHP.
Hal tersebut diatas tentunya bertentangan dengan semangat dan tujuan diterbitkannya Undang-Undang Pers. Salah satu tujuan utama Undang-Undang Pers adalah untuk memberikan jaminan kepada pers nasional agar dapat menjalankan dan menggunakan fungsi, tugas, kewajiban serta hak-haknya dengan sebaik-baiknya. Undang-Undang Pers diharapkan pula dapat memberikan jaminan penegakan supremasi hukum terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan kalangan pers, meskipun Undang-Undang Pers telah memberikan jaminan bagi kebebasan pers, namun kebebasan tersebut masih
11
Ibid, hlm. 54 12
terancam dengan beberapa peraturan perundang-undangan salah satunya adalah KUHP.
Dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP dirumuskan sebagai berikut: “ Jika suatu
perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum , diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan”.
Pasal tersebut selaras dengan asas hukum lex specialis derogat legi generali
(aturan hukum yang khusus mengesampingkan aturan hukum yang umum). Undang-Undang Pers dibuat khusus untuk menjamin penegakan supremasi hukum terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan kalangan pers, namun demikian masih terdapat kasus-kasus tentang pelanggaran pers yang diputus dengan pidana tanpa menggunakan ketentuan dan mekanisme yang ada didalam Undang-Undang Pers terlebih dahulu, hal ini tentunya tidak sesuai
dengan asas hukum pidana ultimum remedium (penerapan sanksi pidana
merupakan sanksi pamungkas/terakhir dalam penegakan hukum).
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pers dirumuskan sebagai berikut: “ Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”. Pasal tersebut tidak mengatur atau merumuskan delik-delik penghinaan dan pencemaran nama, seperti yang diatur dalam Pasal 310 KUHP. Dengan tidak diatur atau tidak dirumuskan delik penghinaan dan pencemaran nama dalam Pasal 5 ayat (1) Undang Pers tersebut, maka Undang-Undang Pers dianggap tidak dapat mengakomodasikan delik penghinaan dan pencemaran nama sehingga penyidik akan menggunakan pasal-pasal dalam
KUHP untuk memeriksa perkara penghinaan dan pencemaran nama kemudian dijadikan landasan bagi hakim untuk memutus perkara pers dengan menggunakan pasal di KUHP.
Bertolak dari pemikiran tersebut diatas, ditemukan norma hukum yang kabur dalam Undang-Undang Pers dikaitkan dengan KUHP, sehinga
melahirkan interpretasi terhadap Undang-Undang Pers apakah merupakan lex
specialis dari KUHP? Dan apakah Pasal 5 Undang-Undang Pers merupakan lex posterior dari Pasal 310 KUHP?
Interpretasi yang tepat terhadap norma hukum yang kabur yang dirumuskan baik dalam Undang-Undang Pers maupun dalam KUHP tersebut sangat diperlukan agar penegakkan hukum terhadap pelanggaran delik pers dan delik penghinaan serta pencemaran nama dapat menghasilkan keadilan yang substansial bukan sebatas keadilan prosedural belaka, dengan demikian interpretasi hukum menjadi solusi utama dalam hal ditemukan norma hukum yang kabur. Jika norma hukum kabur maka orang akan berpegang pada metode interpretasi.13
Interpretasi terhadap Undang-Undang Pers dikaitkan dengan KUHP tersebut menjadi suatu kajian yang menarik untuk ditelaah secara hukum, hal ini merupakan bagian dari masalah transformasi Indonesia menuju negara yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi hukum serta menghormati Hak Asasi Manusia. Atas dasar itulah penulis tertarik untuk mengangkatnya menjadi
permasalahan dalam penulisan hukum ini, dengan judul “Interpretasi Pasal
13
Amiruddin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 18
63 ayat (2) KUHP terhadap Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Pasal 310 KUHP”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah Undang-Undang Pers merupakan lex specialis dari KUHP?
2. Apakah Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pers merupakan lex
posterior dari Pasal 310 KUHP?
C. Tujuan Penelitian
Penulisan Hukum ini mempunyai 2 (dua) tujuan, yaitu sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mencari sekaligus menemukan argumentasi hukum
bahwa Undang-Undang Pers merupakan lex specialis dari
KUHP atau bukan, serta untuk mendapatkan interpretasi hukum yang tepat terhadap norma hukum yang dianggap kabur dalam Undang-Undang Pers dikaitkan dengan KUHP.
b. Untuk mencari sekaligus menemukan argumentasi hukum
bahwa Pasal 5 Undang-Undang Pers merupakan lex posterior
2. Tujuan Subyektif
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
D. Keaslian Penelitian
Sepengetahuan Penulis, penelitian yang dilakukan oleh Penulis belum pernah diteliti dan ditulis sebelumnya. Namun setelah Penulis melakukan penelusuran kepustakaan terhadap kemungkinan adanya judul serupa yang pernah digunakan sebagai penelitian ilmiah sebelumnya, terdapat penulisan hukum yang membahas tentang Pers, namun penulisan hukum tersebut tidak dalam lingkup topik serta fokus yang sama. Penulisan hukum yang dimaksud adalah :
1. Penulisan hukum yang disusun oleh Irfan Prayoga tahun 2010,
mahasiswa Universitas Gadjah Mada, dengan rincian sebagai berikut :
a. Judul Skripsi
“ Perlindungan Hukum terhadap Saksi dari Peliputan Pers”.
b. Rumusan Masalah
1) Bagaimana perlindungan hukum terhadap saksi dari
peliputan pers di dalam persidangan?
2) Bagaimana perlindungan hukum terhadap saksi dari
c. Kesimpulan
1) Peliputan pers seringkali menyebabkan psikologis pada
diri saksi atau bahkan membentuk opini masyarakat
yang pada akhirnya justru dapat mengancam
keselamatan saksi. Alat bukti di dalam perkara pidana bukan hanya berdasarkan keterangan saksi-saksi saja. Akan tetapi, masih ada alat bukti lain berupa keterangan terdakwa, keterangan ahli, surat, dan petunjuk. Selain itu masih ada barang bukti atau bukti permulaan yang semua itu tidak diketahui oleh pers. Semuanya harus dibuktikan kebenarannya dalam persidangan.
2) Perlindungan hukum terhadap saksi dari peliputan pers
didalam persidangan belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai secara eksplisit sehingga hal tersebut menimbulkan suatu dilema antara asas persidangan terbuka untuk umum, asas kebebasan pers dan perlindungan saksi. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 menyebutkan bahwa undang-undang menghendaki agar HAM individu harus menyesuaikan dengan HAM masyarakat (sosial) namun HAM masyarakat juga tidak boleh sampai merenggut HAM individu. Seacara praktis dan konkrit pengertian kepentingan umum akhirnya diserahkan kepada hakim
untuk mempertimbangkan kepentingan mana yang lebih utama dari kepentingan lain secara seimbang dengan tetap menghormati semua kepentingan dan dengan mengacu kepada rumusan umum dalam undang-undang.
d. Perbedaan dengan Penulis
Berdasarkan pengamatan Penulis terhadap penulisan hukum tersebut, terdapat perbedaan dengan penulisan hukum yang akan Penulis lakukan, baik dari segi rumusan masalah, tujuan penelitian, dan cakupan pembahasannya. Perbedaan ini dikarenakan penulisan hukum yang dilakukan oleh saudara Irfan Prayoga adalah mengenai perlindungan hukum terhadap saksi dari peliputan pers sedangkan penulisan hukum yang akan dilakukan oleh Penulis akan membahas mengenai interpretasi Pasal 63 KUHP terhadap Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pers dan Pasal 310 KUHP.
2. Penulisan hukum yang disusun oleh M. Arief Hidayat Harahap tahun
2009, mahasiswa Universitas Sumatera Utara, dengan rincian sebagai berikut :
a. Judul Skripsi
“Perlindungan Hukum Terhadap Kebebasan Pers di Indonesia (Studi Kasus Putusan MA No.1608 K/Pid/2005)”.
b. Rumusan Masalah
1) Bagaimanakah pengaturan kebebasan Pers di
Indonesia?
2) Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap
Pers di Indonesia dalam Putusan MA No.1608 K/Pid/2005?
c. Kesimpulan
1) Kebebasan Pers sebenarnya dikonsepkan melalui suatu
konklusi dari ketentuan Pasal 4 Ayat (2) dan (3) UU No. 40 Tahun 1999 beserta penjelasannya, yang pada
intinya menyatakan Pers bebas dari tindakan
pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan dalam upaya mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Dengan demikian, makna kebebasan pers lebih luas dari makna kebebasan pers yang dipersepsikan oleh insan pers. Dalam persoalan yang berhubungan dengan kebebasan Pers maka tidak ada yang dinamakan dengan kebebasan yang mutlak. Kebebasan yang dimiliki oleh seseorang akan berhenti apabila melanggar kebebasan orang lain atau melanggar kepentingan umum. Kebebasan orang lain atau
melanggar kepentingan umum terrefleksikan di dalam hukum.
2) Bambang Harymurti dibebaskan oleh Mahkamah
Agung Republik Indonesia karena memenuhi asas cover
both sides dan tidak terpenuhinya unsur perbuatan melawan hukum, sehingga berarti perlindungan hukum terhadap kebebasan pers di Indonesia terjamin, karena hukum berada ditengah masyarakat guna untuk
menciptakan keseimbangan antara demokrasi,
kebebasan, dan tanggung jawab. Pers tidak kebal hukum tetapi kebebasan pers tidak pernah terancam karena kebebasan pers bukan kejahatan.
d. Perbedaan dengan Penulis
Penulisan hukum yang ditulis oleh saudara M.Arief Hidayat Harahap lebih condong pada perlindungan hukum terhadap kebebasan pers di Indonesia, dengan menggunakan studi kasus Putusan MA No.1608 K/Pid/2005. Penulisan hukum tersebut sama sekali tidak membahas mengenai interpretasi Pasal 63 KUHP terhadap Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pers dan Pasal 310 KUHP.
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sejauh pengamatan Penulis sampai saat ini tidak ditemukan penelitian yang secara khusus membahas mengenai interpretasi Pasal 63 ayat (2) KUHP terhadap
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pers dan Pasal 310 KUHP. Oleh karena itu,
penulisan hukum yang berjudul “Interpretasi Pasal 63 ayat (2) KUHP
terhadap Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Pasal 310 KUHP”, belum pernah ada sebelumnya. Kekhususan tersebut sekaligus menjadi keaslian dari penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian lain yang sudah dilakukan sebelumnya berkenaan dengan permasalahan pers.
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini mempunyai kegunaan, baik secara akademis maupun secara praktis. Adapun kegunaannya adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan hukum didalam bidang Hukum Pidana, khususnya bagi mahasiswa agar kritis terhadap masalah hukum sekaligus dapat menemukan solusi hukum.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberi kegunaan sebagai berikut:
a. Menjadi masukan, panduan serta dasar pengambilan keputusan
bagi insan pers dan para aparat penegak hukum, baik polisi, jaksa, hakim dan advokat dalam proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan serta pembelaan di pengadilan,
khususnya dalam menangani delik pencemaran nama yang diatur dalam Pasal 310 KUHP.
b. Menjadi bahan acuan (referensi) bagi penelitian-penelitian
yang akan dilakukan selanjutnya demi mendorong
perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan peningkatan profesionalisme penegakkan hukum di lapangan, serta diharapkan mampu memberikan pembelajaran hukum bagi masyarakat pada umumnya.