• Tidak ada hasil yang ditemukan

ZUHROTUS SOFIYAH BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "ZUHROTUS SOFIYAH BAB II"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Persepsi Guru Pendidikan Kewarganegaraan 1. Pengertian Persepsi

Persepsi merupakan sebuah istilah yang sudah sangat familiar didengar dalam percakapan sehari-hari. Istilah persepsi berasal dari bahasa inggris “perception”, yang diambil dari bahasa latin “perceptio”,

yang berarti menerima atau mengambil. Dalam kamus Inggris Indonesia, kata perception diartikan dengan “penglihatan” atau “tanggapan” (Echols & Shandily dalam Desmita,2009:117)

Menurut Leavit dalam Desmita (2009:117) perception dalam pengertian sempit adalah “penglihatan”, yaitu bagaimana cara seseorang

melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas, perception adalah “pandangan”, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan

sesuatu.

(2)

mengindrakan objek di lingkungannya, kemudian ia memproses hasil pengindraannya itu, sehingga timbullah makna tentang objek itu. (Desmita,2009:118)

Menurut Walgito (2005:99), Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Karena itu proses persepsi tidak dapat lepas dari proses penginderaan, dan proses penginderaan merupakan proses pendahulu dari proses persepsi. Stimulus yang diindera itu kemudian oleh individu diorganisasikan dan diinterprestasikan, sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang diindera itu, dan proses ini disebut persepsi. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa stimulus diterima oleh alat indera, yaitu yang dimaksud dengan penginderaan, dan melalui proses penginderaan tersebut stimulus itu menjadi sesuatu yang berarti setelah diorganisasikan dan diinterprestasikan. (Davidoff dalam Walgito, 2005: 100). Karena itu dalam penginderaan orang akan mengkaitkan dengan stimulus, sedangkan dalam persepsi orang akan mengaitkan dengan objek. Dengan persepsi individu akan menyadari tentang keadaan di sekitarnyadan juga keadaan diri sendiri.

(3)

stimulus datang dari luar individu yang bersangkutan. Sekalipun persepsi dapat melalui macam-macam alat indera yang ada pada diri individu, tetapi sebagian besar persepsi melalui alat indera penglihatan. Karena itulah banyak penelitian mengenai persepsi adalah persepsi yang berkaitan dengan alat penglihatan.

Karena persepsi merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu, maka apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat dikemukakan karena perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan lain. Persepsi itu bersifat individual (Davidoff dalam Walgito, 2005: 100).

Menurut Sarwono (2010:86) persepsi berlangsung saat seseorang menerima stimulus dari dunia luar yang ditangkap oleh organ-organ bantunya yang kemudian masuk kedalam otak. Di dalamnya terjadi proses berpikir yang pada akhirnya terwujud dalam sebuah pemahaman. Pemahaman ini yang kurang lebih disebut persepsi.

(4)

2. Proses Terbentuknya Persepsi

Proses pembentukan persepsi diawali dengan masuknya sumber melalui suara, penglihatan, rasa, aroma atau sentuhan manusia, diterima oleh indera manusia (sensory receptor) sebagai bentuk sensation. sensation sebagian besar yang diperoleh dari proses pertama (sumber) kemudian diseleksi dan diterima. penyaringan atau seleksi dijalankan oleh faktor-faktor seperti harapan individu, motivasi, dan sikap (Riadi 2012).

Menurut Walgito (2012: 102) proses stimulus mengenai alat indera merupakan proses kealaman atau proses fisik. Stimulus yang diterima oleh alat indera diteruskan oleh syaraf sensoris ke otak. Kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga individu menyadari apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa taraf terakhir dari proses persepsi ialah individu menyadari tentang misalnya apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba, yaitu stimulus yang diterima melalui alat indera. Proses ini merupakan proses terkhir dari persepsi dan merupakan persepsi sebenarnya. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dalam berbagai macam bentuk.

(5)

panca indera selanjutnya diolah melalui proses penalaran dan perasaan sehingga menimbulkan suatu persepsi.

3. Faktor-Faktor Yang Berperan Dalam Persepsi

Menurut Walgito (2005:101), dalam persepsi individu mengorganisasikan dan menginterprestasikan stimulus yang diterimanya, sehingga stimulus tersebut mempunyai arti bagi individu yang bersangkutan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa stimulus merupakan salah satu faktor yang berperan dalam persepsi. Berkaitan dengan faktor-faktor yang berperan dalam persepsi dapat dikemukakan adanya beberapa faktor, yaitu:

a. Objek yang dipersepsi

Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun sebagian terbesar stimulus datang dari luar individu.

b. Alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf

(6)

c. Perhatian

Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek.

Dari hal-hal tersebut dapat dikemukakan bahwa untuk mengadakan adanya beberapa faktor yang berperan, yang merupakan syarat agar terjadi persepsi, yaitu (1) objek atau stimulus yang dipersepsi, (2) alat indera dan syaraf-syaraf serta pusat susunan syaraf, (3) perhatian.

B. Pendidikan Kewarganegaraan

1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

(7)

secara subtantif lebih luas cakupannya dari istilah Pendidikan Kewarganegaraan. (Taniredja, 2009: 3)

John J. Cogan (dalam Winarno, 2014: 4) membedakan istilah pendidikan kewarganegaraan (bahasa Indonesia) dalam dua pengertian: civic education dan citizenship education atau education for citizenship. Civic education adalah pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian sempit, yaitu sebagai bentuk pendidikan formal, seperti mata pelajaran, mata kuliah, atau kursus dilembaga sekolah, universitas, atau lembaga formal lain. Sedangkan citizenship education mencakup tidak hanya sebagai bentuk formal pendidikan kewarganegaraan, tetapi bentuk-bentuk informal dan non formal pendidikan kewarganegaraan. Citizenship education adalah pengertian pendidikan kewarganegaraan yang generic (umum) dan dalam arti luas. Pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian yang luas seperti “citizenship education” atau “education for citizenship” mencakup pendidikan kewarganegaraan di

(8)

Pendidikan kewargaan menurut Azra (dalam Taniredja dkk, 2009: 2) adalah pendidikan yang cakupannya lebih luas daripada Pendidikan Demokrasi dan Pendidikan HAM. Karena, pendidikan Kewargaan mencakup kajian dan pembahasan tentang pemerintahan, konstitusi dan lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, hak dan kewajiban warga negara, proses demokrasi, partisipasi aktif dan keterlibatan warga negara dalam masyarakat madani, pengetahuan tentang lembaga-lembaga dan sistem yang terdapat dalam pemerintahan, warisan politik, administrasi publik dan sistem hukum, pengetahuan tentang proses seperti kewarganegaraan aktif, refleksi kritis, penyelidikan dan kerja sama, keadilan sosial, pengertian antar budaya dan kelestarian lingkungan hidup dan hak asasi manusia (HAM).

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Civic Education sebagai Pendidikan Kewargaan (citizenship education) selain mendidik generasi muda agar menjadi warga negara yang baik, yaitu warga negara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya, juga mempersiapkan warga negara menjadi warga dunia.

Pendidikan kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang wajib diberikan di Indonesia, mulai dari jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, maupun pendidikan tinggi. Penjelasan Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa “Pendidikan Kewarganegaraan

(9)

yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. Pendidikan

kewarganegaraan (PKn) pada hakekatnya merupakan pendidikan yang mengarah pada terbentuknya warga negara yang baik dan bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai dan dasar negara Pancasila. Berdasarkan Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi dijelaskan bahwa:

“Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang menfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh pancasila dan UUD 1945”.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian Pendidikan kewarganegaraan (PKn) ini pada intinya membentuk warga negara yang baik yaitu warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya, serta menjadi warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

(10)

menjadi kepribadian Indonesia yang bebas dan mandiri dengan tetap berbasis pada nilai-nilai pancasila. Pendidikan nilai juga diharapkan dapat memberdayakan peserta didik menjadi warga negara yang baik yang sadar akan tanggung jawabnya dan berpartisipasi aktif kepada kelangsungan kehidupan bangsa dan bernegara. Sedangkan sebagai pendidikan kesadaran hukum, pendidikan kewarganegaraan memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan kesadaran hukum masyarakat melalui pendidikan yang memberikan pengetahuan tentang hukum, isi hukum, sikap yang positif terhadap hukum, dan kepatuhan hukum. Jadi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan hukum bukan semata-mata pendidikan pengetahuan hukum, namun lebih mengacu pada upaya pembinaan kesadaran hukum nasional yang bersumber pada nilai-nilai moral bangsa Indonesia.

2. Peran Pendidikan Kewarganegaraan

Permendiknas No. 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah pada Bab II ada ketentuan bahwa :

“Kelompok mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan kepribadian dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan pendidikan akan status, hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia”.

(11)

kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi dan nepotisme.

Berdasarkan penjelasan di atas salah satu peningkatan kesadaran dan wawasan adalah ketaatan terhadap hukum maka melalui pendidikan kewarganegaraan diharapkan dapat membina siswa menjadi warga negara yang baik yang taat pada hukum dan peraturan yang berlaku, seperti halnya yang terdapat pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum maka setiap warga negara Indonesia wajib menjunjung tinggi hukum dan mentaati hukum atau aturan yang berlaku.

(12)

3. Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan

Menurut Winataputra dalam (Winarno, 2014: 11), visi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam arti luas, yakni sebagai sistem pendidikan kewarganegaraan (PKn) yang berfungsi dan berperan sebagai program kulikuler dalam konteks pendidikan formal dan non-formal, program aksi sosial-kultural dalam kontks kemasyarakatan, dan sebagai bidang kajian ilmiah dalam wacana pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial. Visi ini mengandung dua dimensi, yakni dimensi substansif berupa muatan pembelajaran dan objek telaah serta objek pengembangan dan dimensi proses berupa penelitian dan pembelajaran, sedangkan misi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah sosio-pedagogis, sosio-kultural, dan substansif-akademis.

(13)

dalamnya konsep, prinsip, dan generalisasi mengenai dan yang berkenaan dengan civic virtue atau kebijakan kewarganegaraan dan civic culture atau budaya kewarganegaraan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan (fungsi epistemologis) dan memfasilitasi praksis sosio-pedagogis dan sosio-kultural dengan hasil penelitian dan pengembangannya. (Winarno, 2014: 12-13)

C. Hakikat Civic Virtue

1. Pengertian Civic Virtue

Quigley, CN, Buchanan, JH and Bahmuller, CF dalam Civitas: A framework for Civic Education, (1991) menyatakan bahwa civic disposition merupakan bagian dari civic virtue. Dikatakan sebagai berikut.

Civic virtue is described in terms of civic dispositions and civic commitment. Civic disposition refer to those attitudes and habits of mind of the citizen that are conducive to the healthy functioning and common good of the democtaric system. Civic commitments refer to the freelygiven, reasoned commitment of the citizen to the fundamental values and principles of American constitutional democracy.

(14)

secara sadar untuk menerima, memegang teguh nilai dan prinsip demokrasi Amerika. (Winarno, 2014:181)

Civic virtues include the traits of character, dispositions, and commitments necessaryforthe preservation and improvement of democratic governance and citizenship.Examples ofcivic virtues are respect for the worth and dignity of each person, civility,integrity,self-discipline, tolerance, compassion, and patriotism. Commitments include adedication tohuman rights, the common good, equality, and a rule of law, (Quigley.2000). Maksud kesemua itu adalah Kebajikan kewarganegaraan mencakup sifat-sifat karakter, disposisi, dan komitmen yang diperlukan untuk pelestarian dan peningkatan tata pemerintahan dan kewarganegaraan yang demokratis. Contoh kebajikan masyarakat adalah penghormatan terhadap nilai dan martabat setiap orang, kesopanan, integritas, disiplin diri, toleransi, kasih sayang, dan patriotisme. Komitmen termasuk adedikasi terhadap hak asasi manusia, kebaikan bersama, persamaan, dan peraturan hukum.

(15)

sebagimana yang dicontohkan dengan 10 pilar demokrasi Indonesia dari Prof. Dr. Achmad Sanusi (2006). (Winarno, 2014: 181)

2. Cakupan Civic virtue

Rumusan dari “Civitas: A frame work for civic education” (Udin

S. Winataputra dan Dasim Budimansyah, 2007:56) membagi civic dalam: a. Civic Virtue,

b. Civic Participation,

c. Civic Knowledge and Skills.

Pengertian Civic Virtue menurut Quigley dalam Udin S. Winataputra dan Dasim Budimansyah (2007:60) adalah “…the willingness of citizen to set aside privateinterests and personal concerns

for the sake of the common good”. Yakni kemauan warga negara untuk

menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Civic Virtue memiliki dua unsur, yaitu:

a. Civic Disposition, adalah sikap atau kebiasaan berpikir warga negara yang mendorong berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan kepentingan umum dari sistem demokrasi.

Meliputi sejumlah karakteristik kepribadian, yakni: “Civility

(16)

penghormatan dan interaksi manusiawi, tanggung jawab individual, disiplin diri, kepedulian terhadap masyarakat, keterbukaan pikiran yang mencakup keterbukaan, skeptisisme, pengenalan terhadap kemenduaan, sikap kompromi yang mencakup prinsi-prinsip konflik dan batas-batas kompromi, toleransi terhadap keragaman, kesabaran dan keajekan, keharuan, kemurahan hati, dan kesetiaan terhadap bangsa dan segala prinsipnya.

(17)

dankebahagiaan), keadilan, persamaan (dalam bidang poitik, hukum, sosial, ekonomi),kebhinekaan, kebenaran, dan cinta tanah air.

CIVITAS describes civic virtue in terms of civic dispositions and civic commitment. Civic dispositions refer to those attitudes and habits of mind of the citizen that are conducive to the healthy functioning and common good of the democratic system. Civic commitments refer to the freely given, reasoned commitment of the citizen to the fundamental values and principles of American constitutional democracy, (Bahmueller.1992) Yang dimaksud adalah CIVITAS menggambarkan kebajikan kewarganegaraan dalam hal disposisi kewarganegaraan dan komitmen kewarganegaraan. Pemosisian civic mengacu pada sikap dan kebiasaan pikiran warga negara yang kondusif terhadap fungsi sehat dan kebaikan bersama dari sistem demokrasi. Komitmen masyarakat sipil mengacu pada komitmen beralasan yang diberikan secara bebas kepada warga negara terhadap nilai-nilai fundamental dan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional Amerika.

Jadi kesimpulannya bahwa pengembangan civic virtue merupakan landasan bagi pengembangan civic participation yang memang merupakan tujuan akhir dari civic education atau Pendidikan Kewarganegaraan. Dimensi civic participation ini dikembangkan dengan tujuan untuk memberikan “…the knowledge and skills required to

(18)

mengmbangkan “…an understanding of the importance of citizen

participation (Quigley dalam Udin S. Winataputra dan Dasim Budimansyah, 2007: 62), yakni pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk berperanserta secara efektif dalam masyarakat, pengalaman berperanserta yang dirancang untuk memperkuat kesadaran berkemampuan dan berprestasi unggul dari siswa, dan mengembangkan pengertian tentang pentingnya peran serta aktif warga negara. Untuk dapat berperan secara aktif tersebut diperlukan “ A knowledge of the

fundamental concepts, history, contemporary events, issues, and facts related to the matter and the capacity to apply this knowledge to the situation, a disposition to act in accord with the traits of civic characters, and a commitment to the realization of the fundamental values and

principles” (Quigley dalam Udin S. Winataputra dan Dasim

Budimansyah, 2007: 62). Yang dimaksud adalah pengetahuan tentang konsep fundamental, sejarah, isu dan peristiwa aktual, dan fakta yang berkaitan dengan substansi dan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan itu secara kontekstual dan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan watak dari warganegara.

Jika dilihat dari sasaran dikembangkannya “civic virtue” dan “civic participation”, dapat disimpulkan bahwa salah satu dimensi dari “civic education” di Amerika adalah pengembangan watak dan karakter

(19)

Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa pengembangan civic virtue merupakan landasan bagi pengembangan civic participation yang memang merupakan tujuan akhir dari civic education atau pendidikan kewaganegaraan. Sehubungan dengan beberapa pendapat dari para pakar mengenai civic virtue di atas dapat disimpulkan bahwa civic virtue adalah suatu kebajikan warga negara yang berupa sikap baik dan komitmen untuk nilai-nilai yang mewujud dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

D. Hakikat Lalu lintas

1. Pengertian Lalu Lintas

Di dalam bab 1 ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 Undang-undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, disebutkan bahwa “lalu lintas adalah gerakan kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan”. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia disebutkan bahwa “lalu

lintas adalah berjalan bolak-balik, hilir mudik, dan perihal perjalanan di jalan dan berhubungan antara sebuah tempat dengan tempat lainnya”. Dengan demikian lalu lintas adalah merupakan gerak lintas manusia dan barang dengan menggunakan barang atau ruang di darat, baik dengan alat gerak ataupun kegiatan lalu lintas di jalan yang dapat menimbulkan permasalahan seperti terjadinya kecelakaan dan kemacetan lalu lintas.

(20)

lalu lintas umum sehari-hari. Lalu lintas identik dengan jalur kendaraan bermotor yang ramai yang menjadi jalur kebutuhan masyarakat umum. 2. Tujuan Lalu Lintas

Berdasarkan Undang-undang Republik indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan bahwa yang disebut dengan lalu lintas dan angkutan jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas lalu lintas, angkutan jalan, jaringan lalu lintas dan angkutan jalan, prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, kendaraan, pengemudi, pengguna jalan, serta pengelolaannya. Adapun tujuan diselenggarakannya lalu lintas dan angkutan angkutan jalan pada pasal 3 yaitu:

a. Terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;

b. Terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan c. Terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi

masyarakat

(21)

3. Unsur Pembentuk Lalu Lintas

Lalu lintas merupakan pergerakan kendaraan (sarana) prasarana sebenarnya meliputi seluruh moda yang ada yaitu, moda jalan raya, moda jalan rel, moda angkutan laut dan sungai, dan moda angkutan udara. Lalu lintas tersusun dari berbagai unsur yakni manusia sebagai pemakai jalan (road user yang dapat berfungsi sebagai pengemudi, penumpang dan pejalan kaki), kendaraan (vehicle), prasarana jalan, dan lingkungan. Keempat unsur tersebut saling berinteraksi sehingga membentuk lalu lintas (Arif dan Amirotul, 2007: 9)

Manusia merupakan salah satu unsur dalam lalu lintas yang spesifik, artinya setiap individu mempunyai komponen fisik dasar tertentu dan nonfisik yang berbeda satu dengan yang lainnya dalam hal kemampuannya. Komponen tersebut meliputi pendengaran, penglihatan, tenaga, pendidikan, dan psikologis. Kombinasi komponen tersebut akan menghasilkan suatu perilaku pengambilan keputusan yang berbeda pada saat menghadapi satu permasalahan lalu lintas. Arif dan Amirotul, 2007 Menyebutkan bahwa karakteristik manusia sebagai pengemudi adalah sebagai berikut:

a. Perseption merupakan kesadaran akan adanya suatu objek atau rangsangan yang datang dari luar sehingga dibutuhkan suatu respon atau tindakan.

(22)

c. Emotion atau decision yaitu penentuan sikap atau hasil telaah terhadap objek atau rangsangan tersebut, sehingga dihasilkan suatu kesimpulan akan tindakan apa yang diambil, (apakah harus berhenti, cukup mengurangi kecepatan saja, membelok ringan atau membanting stir, menyalip, atau cukup membunyikan klakson). d. Volition atau reaction yaitu suatu tindakan nyata yang dilakukan

sebagai hasil dari keputusan tahap sebelumnya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keempat karakteristik manusia sebagai pengemudi adalah sebagai berikut:

a. Faktor usia

Kondisi mental dan emosi antara orang muda dan orang tua sangat berbeda, semakin tua tingkat kepekaan dan agresivitas terhadap rangsangan semakin menurun, untuk itu sebaiknya ada pembatasan usia maksimum untuk dapat mengendarai kendaraan seperti halnya adanya pembatasan usia minimum yang diizinkan untuk memliki Surat Izin Mengemudi.

b. Kondisi Fisik

(23)

c. Kondisi Lingkungan

Lingkungan sekitar, di kanan kiri jalan, dapat menyebabkan terciptanya kondisi yang berlainan pada pengemudi. Perasaan pengemudi ketika melewati daerah tengah kota yang rumit tentu memerlukan konsentrasi yang penuh dibandingkan dengan ketika melintas di jalan antar kota dengan pemandangan yang hijau di kanan kiri jalan yang kadang justru kurang konsentrasi.

d. Faktor Pendidikan

Faktor perbedaan tingkat pendidikan dapat pula berpengaruh pada perilaku mengemudi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula kesadaran dalam menaati aturan lalu lintas karena pengetahuan tentang bahaya yang akan terjadi apabila melanggar lalu lintas akan semakin dimengerti. Disamping itu, pendidikan yang tinggi akan dapat membentuk watak serta kepribadian yang lebih baik, lebih bertoleransi terhadap pengendara lain, dan ada perasaan malu jika melanggar aturan.

(24)

E. Pendidikan Lalu Lintas

1. Aturan Dalam Berkendara

Etika dalam berlalu lintas adalah pedoman sikap atau aturan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain di dalam berlalu lintas. Etika tidak hanya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari saja, namun etika juga sangat penting diterapkan dalam berlalu lintas. Prinsip etika yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan berlalu lintas hampir sama yaitu tenggang rasa dan saling menghargai. Dalam berlalu lintas kita harus tenggang rasa dengan pengguna jalan lain dan jangan bersikap egois. (Raharjo, 2014:37).

Hal demkian juga terdapat pada Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yaitu dikatakan tertib, lancar, aman, dan terpadu apabila dalam berlalu lintas berlangsung secara teratur sesuai dengan hak dan kewajiban pengguna jalan serta bebas dari hambatan dan kemacetan jalan. Tanpa adanya etika berlalu lintas, maka pengemudi akan mengemudi seenaknya sendiri, tanpa memperdulikan keselamatan orang lain, lalu lintas di jalan akan berjalan semrawut, sehingga rawan kecelakaan, serta akan terjadi kemacetan.

(25)

juga dapat mengurangi kecelakaan lalu lintas yang sering kali terjadi akibat pengguna jalan raya yang tidak mematuhi peraturan lalu lintas.

2. Landasan Yuridis Mengenai Tata Cara Berlalu Lintas

Tata cara berlalu lintas dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan paragraph 1 tentang ketertiban dan keselamatan diatur dalam pasal 105 yaitu sebagai berikut:

Setiap orang yang menggunakan jalan wajib: a. Berperilaku tertib, dan/atau

b. Mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan, keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan, atau yang dapat menimbulkan kerusakan jalan.

Pada pasal 106 menyebutkan bahwa:

(1) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.

(2) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda. (3) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan

wajib mematuhi ketentuan tentang persyaratan teknis dan laik jalan.

(4) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan:

a. Rambu perintah atau rambu larangan, b. Marka jalan,

c. Alat pemberi isyarat lalu lintas, d. Gerakan lalu lintas,

e. Berhenti dan parkir,

f. Peringatan dengan bunyi dan sinar,

g. Kecepatan maksimal atau minimal, dan/atau,

(26)

(5) Pada saat diadakan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor wajib menunjukkan:

a. Surat tanda nomor kendaraan bermotor atau surat tanda coba kendaraan bermotor,

b. Surat Izin Mengemudi,

c. Bukti lulus uji berkala, dan/atau d. Tanda bukti lain yang sah.

(6) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda empat atau lebih dijalan dan penumpang yang duduk disampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan.

(7) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda empat atau leih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah di jalan dan penumpang yang duduk disampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia.

(8) Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor dan penumpang sepeda motor wajib mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia.

(9) Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor tanpa kereta samping dilarang membawa penumpang lebih dari 1 (Satu) orang.

Pada pasal 107 menyebutkan bahwa :

(1) Pengemudi kendaraan bermotor wajib menyalakan lampu utama kendaraan bermotor yang digunakan di jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu.

(2) Pengemudi sepeda motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.

Pada pasal 108 menyebutkan bahwa:

(1) Dalam berlalu lintas pengguna jalan harus menggunakan jalur jalan sebelah kiri.

(2) Penggunaan jalur jalan sebelah kanan hanya dapat dilakukan jika:

a. Pengemudi bermaksud akan melewati kendaraan di depannya, atau

(27)

(3) Sepeda motor, kendaraan bermotor yang kecepatannya lebih rendah, mobil barang, dan kendaraan tidak bermotor berada pada jalur kiri jalan.

(4) Penggunaan lajur sebelah kanan hanya diperuntukkan bagi kendaraan dengan kecepatan lebih tinggi, akan membelok kanan, mengubah arah, atau mendahului kendaraan lain.

Pada pasal 109 menyebutkan bahwa:

(1) Pengemudi kendaraan bermotor yang akan melewati kendaraan lain harus menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan dari kendaraan yang akan dilewati, mempunyai jarak pandan yang bebas, dan tersedia ruang yang cukup.

(2) Dalam keadaan tertentu, pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan jalur jalan sebelah kiri dengan tetap memperhatikan keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan.

(3) Jika kendaraan yang akan dilewati telah memberi isyarat akan menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan, pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melewati kendaraan tersebut.

(2) Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika terhalang oleh suatu rintangan atau pengguna jalan lain di depannya wajib mendahulukan kendaraan yang datang dari arah berlawanan.

Pada pasal 111 menyebutkan bahwa:

Pada jalan yang menanjak atau menurun yang tidak memungkinkan bag kendaraan untuk saling berpapasan, pengemudi kendaraan yang arahnya menurun wajib memberi kesempatan jalan kepada kendaraan yang mendak.

Pada pasal 112 menyebutkan bahwa:

(28)

(2) Pengemudi kendaraan yang akan berpindah lajur atau bergerak ke samping wajib mengamati situasi lalu lintas di depan, di samping, dan di belakang kendaraan serta memberikan isyarat. (3) Pada persimpangan jalan yang dilengkapi alat pemberi isyarat

lalu lintas, pengemudi kendaraan dilarang langsung berbelok kiri, kecuali ditentukan lain oleh rambu lalu lintas atau alat pemberi isyarat lalu lintas.

Pada pasal 113 menyebutkan bahwa:

(1) Pada persimpangan sebidang yang tidak dikendalikan dengan alat pemberi isyarat lalu lintas, pengemudi wajib membrikan hak utama kepada:

a. Kendaraan yang datang dari arah depan dan/atau dari arah cabang persimpangan yang lain jika hal itu dinyatakan dengan rambu lalu lintas atau marka jalan;

b. Kendaraan dari jalan utama jika pengemudi tersebut datang dari cabang persimpangan yang lebih kecil atau dari pekarangan yang berbatasan dengan jalan;

c. Kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan sebelah kiri jika cabang persimpangan 4 (empat) atau lebih dan sama besar;

d. Kendaraan yang datang dari arah cabang sebelah kiri di persimpangan 3 (tiga) yang tidak tegak lurus atau;

e. Kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan yang lurus pada persimpangan 3 (tiga) tegak lurus.

(2) Jika persimpangan dilengkapi dengan alat pengendali lalu lintas yang berbenduk bundaran, pengemudi harus memberikan hak utama kepada kendaraan lain yang datang dari arah kanan. Pada pasal 114 menyebutkan bahwa:

Pada perlintasan sebidang antara jalur kreta api dan jalan, pengemudi kendaraan wajib:

a. Berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kreta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain;

b. Mendahulukan kreta api dan

c. Memberikan hak utama kepada kendaraan yang lebih dahulu melintasi rel.

Pasal 115 menyebutkan bahwa:

Pengemudi kendaraan bermotor dijalan dilarang:

(29)

b. Berbalapan dengan kendaraan bermotor lain. Pada pasal 116 menyebutkan bahwa:

(1) Pengemudi harus memperlambat kendaraannya sesuai dengan rambu lalu lintas.

(2) Selain sesuai dengan rambu lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengemudi harus memperlambat kendaraannya jika:

a. Akan melewati kendaraan bermotor umum yang sedang menurunkan dan menaikkan penumpang;

b. Akan melewati kendaraan tidak bermotor yang ditarik oleh hewan, hewan yang ditunggangi, atau hewan yang digiring c. Cuaca hujan dan/atau genangan air

d. Memasuki pusat kegiatan masyarakat yang belum dinyatakan dengan rambu lalu lintas

e. Mendekati persimpangan atau perlintasan sebidang kreta api dan/atau

f. Melihat dan mengetahui ada pejalan kaki yang akan menyebrang.

Pada pasal 117 menyebutkan bahwa:

Pengemudi yang akan memperlambat kendaraannya harus mengamati situasi lalu lintas di samping dan di belakang kendaraan dengan cara yang tidak membahayakan kendaraan lain.

Pada pasal 118 menyebutkan bahwa:

(1) Selain Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek, setiap Kendaraan Bermotor dapat berhenti di setiap Jalan, kecuali: a. terdapat rambu larangan berhenti dan/atau Marka Jalan

yang bergaris utuh;

b. pada tempat tertentu yang dapat membahayakan keamanan, keselamatan serta mengganggu Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau

c. di jalan tol.

Pada pasal 119 menyebutkan bahwa:

(1) Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum atau mobil bus sekolah yang sedang berhenti untuk menurunkan dan/atau menaikkan Penumpang wajib memberi isyarat tanda berhenti. (2) Pengemudi Kendaraan yang berada di belakang Kendaraan

(30)

Pada pasal 120 menyebutkan bahwa:

Parkir Kendaraan di Jalan dilakukan secara sejajar atau membentuk sudut menurut arah Lalu Lintas.

Pada pasal 121 menyebutkan bahwa:

(1) Setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib memasang segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan bahaya, atau isyarat lain pada saat berhenti atau Parkir dalam keadaan darurat di Jalan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk Pengemudi Sepeda Motor tanpa kereta samping.

Maka dapat disimpulkan bahwa tata cara berlalu lintas yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dimaksudkan agar tercipta suatu ketertiban dan keamanan dalam berkendara serta mengurangi adanya pelanggaran-pelanggaran terhadap lalu lintas sehingga dapat mengurangi terjadinya kecelakaan lalu lintas.

F. Penelitian Yang Relevan

1. Penelitian yang dilakukan oleh Bahrul ulum tahun 2012 Fakultas Tarbiyah dan keguruan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau tentang “ Persepsi Guru Tentang Tata-tertib di Sekolah Menengah

(31)

2. Penelitian yang dilakukan oleh Eko Pathi Wianto 2010 Program studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universita Sebelas Maret yang berjudul “Studi Analisis Pembentukan Civic Virtue Dalam Ruang Lingkup Norma, Hukum Dan Peraturan Di Smp Negeri 1 Gemolong Tahun 2009” Hasil penelitian ini yaitu bahwa pembentukan civic virtue dalam penyajian materi ruang lingkup norma, hukum, dan peraturan yang dilaksanakan di kelas VII SMP Negeri 1 Gembolang tahun 2009 belum tercapai. Keberhasilan penyampaian atau penyajian materi ajar terhadap siswa tidak diimbangi dengan keberhasilan pembentukan civic virtue pada kehidupan keseharian siswa.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Desti Dwi Setiana tahun 2013 Program Studi Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purwokerto tentang “Peran Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Dalam

Meningkatkan Kesadaran Hukum Berlalu Lintas Di Smk N 1 Purwokerto”. Hasil penelitian ini yaitu bahwa pentingnya kesadaran

(32)

G. Kerangka Berfikir

Terdapat beberapa pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh usia remaja yaitu pelajar

Gambar 2.1. Kerangka Berpikir

Persepsi Guru Pkn mengenai civic virtue dalam berlalu lintas

Pembelajaran Organisasi Sosialisasi

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Misalnya pendidikan kewarganegaraan dimunculkan dalam pelajaran civic (Kurikulum 1957/1962); Pendidikan Kemasyarakatan yang merupakan Integrasi Sejarah, Ilmu Bumi,

Maksud dan tujuan akhir dari Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah terwujudnya warga negara yang cerdas dan baik, yakni warga negara yang

Berdasarkan contoh di atas bisa dikatakan pemakaian himpunan crisp untuk menyatakan umur sangat tidak adil, adanya perubahan sedikit saja pada suatu nilai

Risiko non-sistematis yaitu risiko yang mempengaruhi kepada perusahaan saja, bisa dikatakan risiko yang spesifik yang terdapat pada perusahaan seperti pertumbuhan

Acara-acara tersebut tentu saja harus dikonsep dengan baik dan menarik sehingga bisa mendatangkan massa, karena sebuah acara atau event bisa dikatakan sukses

Dengan adanya kegiatan balapan di wilayah alun-alun tentu akan mengganggu ketertiban, mereka yang melakukan balapan bisa saja mencelakai warga lain, kerumunan

Lantas muncul pertanyaan bagaimana dikatakan pencabutan warga negara tidak bertentangan dengan HAM bahwa di Indoensia pencabutan status kewarganegaraan hanya

Pengetahuan kewarganegaraan (Civic Knowledge) yaitu pemahaman yang mendasar yang dimiliki oleh siswa tentang hal-hal yang berkaitan dengan kewarganegaraan. Yang