• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Anak 1. Pengertian Anak - DICO BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Anak 1. Pengertian Anak - DICO BAB II"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Anak

1. Pengertian Anak

Secara umum apa yang dimaksud dengan anak adalah keturunan atau generasi sebagai suatu hasil dari hubungan kelamin atau persetubuhan (sexual intercoss) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan baik dalam ikatan perkawinan maupun diluar perkawinan.

Kemudian didalam hukum adat sebagaimana yang dinyatakan oleh Soerojo Wignjodipoero yang dikutip oleh Tholib (2010), menyatakan bahwa:

”kecuali dilihat oleh orang tuanya sebagai penerus generasi juga anak itu dipandang pula sebagai wadah di mana semua harapan orang tuanya kelak kemudian hari wajib ditumpahkan, pula dipandang sebagai pelindung orang tuanya kelak bila orang tua itu sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah”.

Berikut ini merupakan pengertian anak menurut beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia antara lain:

a. Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

(2)

b. Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

c. Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

d. Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990.

Anak adalah mereka yang berusia 18 tahun kebawah.

e. UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia 0 sampai dengan 18 tahun.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (0-18 tahun). 2. Hak-hak Anak

Berikut ini merupakan hak-hak anak menurut beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia antara lain:

a. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Dalam Bab II Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, mengatur tentang hak-hak anak atas kesejahteraan, yaitu:

1) Hak atas pelayanan.

(3)

5) Hak untuk memperoleh asuhan. 6) Hak untuk memperoleh bantuan. 7) Hak diberi pelayanan dan asuhan.

8) Hak untuk memeperoleh pelayanan khusus. 9) Hak untuk mendapatkan bantuan dan pelayanan.

b. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Hak anak dalam Undang-undang ini diatur dalam Bab III bagian kesepuluh, pasal 52-66, yang meliputi:

1) Hak atas perlindungan

2) Hak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan 3) taraf kehidupannya.

4) Hak atas suatu nama dan status kewarganegaraan.

5) Bagi anak yang cacat fisik dan atau mental hak: (a) memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus. (b) untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, (c) berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

6) Hak untuk beribadah menurut agamanya.

7) Hak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing.

8) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum. 9) Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran.

10) Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial. 11) Hak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan

hukum.

Selain itu, secara khusus dalam Pasal 66 Undang-undang 39 Tahun 1999 tentang hak anak-anak yang dirampas kebebasannya, yakni meliputi:

1) Hak untuk tidak dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup.

2) Hak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.

(4)

4) Hak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.

c. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Dalam Undang-undang Perlindungan Anak ini, hak-hak anak diatur dalam Pasal 4 - Pasal 18, yang meliputi:

1) Hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

2) Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.

3) Hak untuk beribadah menurut agamanya.

4) Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial. 5) Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran.

6) Bagi anak yang menyandang cacat juga hak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga hak mendapatkan pendidikan khusus.

3. Kewajiban Anak

a. Pasal 19 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. Setiap anak berhak untuk;

1) Menghormati oran tua, wali dan guru

2) Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman 3) Mencintai tanah air, bangsa dan negara

4) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya,dan 5) Melaksanakan etika dan akhlam yang mulia.

b. Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

(5)

c. Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

“Jika anak telah dewasa wajib memelihara menurut kemampuannya orang tua dan keluarga dala garis lurus keatas bila mereka itu memerluka bantuanya”.

d. Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

“Anak yang belum mencapai umur (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicbut dari kekuasaannya”.

e. Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

“Jika anak telah dewasa wajib memelihara menurut kemampuannya orang tua dan keluarga dala garis lurus keatas bila mereka itu memerluka bantuanya”.

f. Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

“Anak yang belum mencapai umur (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicbut dari kekuasaannya”.

4. Perlindungan Anak

(6)

perlindungan anak. perlindungan anak menurut arief gosita merupakan suatu usaha mengadakan kondisi dan situasi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi (Gosita, 2005).

Oleh karena itu, setiap hak anak harus dijunjung tinggi demi pencapaian tujuan yaitu lahirnya generasi muda yang sehat untuk kelangsungan kehidupan berbangsa. Anak adalah manusia yang merupakan pembawa hak, yaitu segala sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban yang disebut subjek hukum. Pengertian anak diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi sebagai berikut:

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara tersendiri mengenai kriteria anak. Kriteria anak berpengaruh pada kedudukan hukum anak sebagai subjek hukum. Dalam hukum indonesia terdapat pluralisme mengenai batasan usia, hal ini yang menyebabkan tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara tersendiri mengenai kriteria tentang anak (Prints, 2001).

(7)

mengalami kejadian/peristiwa yang mengakibatkan kesejahteraannya terusik dan menjadi korban kejahatan, maka sudah sewajarnya apabila negaranya bertanggung jawab untuk memulihkan kesejahteraan warga negaranya, mengingat mengingat negara telah gagal dalam memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya.

Mengabaikan perlindungan anak adalah suatu yang tidak dapat dipeertanggung jawabkan, dan juga kurang perhatian dan tidak diselanggarakannya perlindungan anak akan membawa akibat yang sangat merugikan diri sendiri dikemudian hari. Salah satu contoh kurang diperhatikannya maslah penegakan hukum pidan dimana masalah ini berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidan, dan dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukakan korban kejahatan kurang memperoleh hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immteril maupun material.

Pengertian perlindungan anak berdasarkan pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa:

“Perlindungan Anak Adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

(8)

berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak indonesia yang berkualitas, berakhalak mulia, dan sejahtera. Seseorang manusia mempunyai hak asasi manusia yang telah diundangkan oleh Negara kepada warga negaranya, berarti seseorang manusia mempunyai hak asasi sedari sejak diahirkan, begitupun dengan anak, anak mempunyai hak yang sedikit berbeda dengan orang yang sudah dewasa menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia ini.

Setiap anak selama dalam pengasuahan orang tuanya yang bertanggung jawab atas pengasuhan, layak mendapatkan perlindungan dan perlakuan yang salah menurut peraturan yang berlaku di Indonesia saat ini. Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak, oleh sebab itu masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis, tetapi perlu pendekatan yang lebih luas, yaitu ekonomi, sosial dan budaya.

(9)

merupakan prasyarat yang mutlak dalam upaya perlindungan anak yang efektif.

Pada prinsipnya perlindungan anak berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 yang dilakukan berdasarkan Pancasila dan UUD tahun 1945. Prinsip perlindungan tersebut diatur berdasarkan kepentigan terbaik bagi anak (The best interest of the Child), dimana prinsip ini mengatur bahwa dalam semua tindakan yang nenyangkut anak dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislative dan yudikatif, maka kepentingan anak harus menjadi pertimbangan yang utama.

Realitas keadaan dan nasib mereka belum seperti ungkapan yang kerap kali memposisiskan anak bernilai penting, penerus, masa depan bangsa dan sejumlah simbolik lainnya. Pada tataran hukum, kebutuhan yang diberikan kepada anak belum sepenuhnya bisa ditegakkan. Pemenuhan kebutuhan anak sebagaimana dimaksud dalam dokumen hukum mengenai perlindungan anak masih belum cukup bisa menyingkirkan keadaan yang buruk bagi anak.

(10)

merupakan penerus suku, bangsa, dan ekonomi dilihat dari segi hukum, anak mempunyai posisi dan kedudukan strategis di depan hukum, tidak saja sebagai penerus dan ahli waris keluarga tetapi sebagai bagian dari subyek hukum dengan segala pemenuhan kebutuhan uuntuk anak yan mendapat jaminan hukum (Krisnawati, 2005).

Anak merupakan pribadi yang masih bersih dan peka terhadap ransangan-ransangan yang berasal dari lingkungannya. Anak juga tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecendrungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan bersifat memaksa (Soemitro, 2000).

Anak didalam masa pertumbuhan secara fisikmdan mental membutuhkan perawatan, perlindungan, khusus serta perlindungan hukum sebelum maupun sesudah lahir. Disamping itu, juga patut diakui bahwa keluarga merupakan lingkungan alami bagi pertumbuhan dan kesejahteraan anak. Untuk perkembaangan kepribadiannya maka membutuhkan lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang.

B. Tinjauan Perlindungan Hukumn

1. Pengertian Perlindungan Hukum

(11)

subyek hukum, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Kemendikbud, 2009).

Menurut Mertokusumo (2005) perlindungan hukum adalah suatu hal atau perbuatan untuk melindungi subyek hokum berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku disertai dengan sanksi-sanksi bila ada yang melakukan wanprestasi.

Dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan:

“Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”.

Dalam hal ini undang-undang tersebut menyatakan bahwa suatu perlindungan telah diberikan kepada setiap orang, baik orang dewasa maupun anak-anak yang menjadi saksi dan/atau korban dalam suatu tindak pidana.

(12)

2. Perlindungan Hukum terhadap Anak

Dalam kaitannya dengan perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia, telah ditegaskan dalam Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945 bahwa:

“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Menindaklanjuti hal tersebut maka pemerintah telah membuat berbagai peraturan perundang-undangan yang memuat mengenai hak-hak anak.

Soetodjo (2010) mengklasifikasikan hak-hak anak sebagai berikut: a. Bidang hukum, melalui Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang

Peradilan Anak.

b. Bidang kesehatan melalui Undang-undang No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan, diatur dalam Pasal 1, Pasal 3 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (2).

c. Bidang pendidikan

1) Undang-undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1).

2) Undang-undang No. 12 Tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, diatur dalam Pasal 19 dan Pasal 17.

(13)

memberlakukan Undang-undang Kerja No. 12 Tahun 1948 di Republik Indonesia.

e. Bidang kesejahteraan sosial, melalui Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Dalam perkembangannya perlindungan terhadap anak di bidang hukum juga ditur dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia, telah diatur dalam berbagai peraturan perUndang-undangan, namun secara khusus diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Menurut pasal 1 nomor 2, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak disebutkan bahwa: Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, meliputi:

a. Perlindungan di bidang agama

1) Perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.

(14)

b. Perlindungan di bidang kesehatan

1) Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak.

2) Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak jika tidak mampu melaksanakan tanggung jawab, maka pemerintah wajib memenuhinya.

3) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan.

4) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain. 5) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi

anak dari perbuatan:

a) pengambilan organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak;

b) jual beli organ dan/atau jaringan tubuh anak; dan

c) penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak.

c. Perlindungan di bidang pendidikan

1) Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak.

2) Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.

3) Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus.

4) Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.

5) Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.

d. Perlindungan di bidang sosial

(15)

2) Pemerintah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan wajib mengupayakan dan membantu anak, agar anak dapat:

a) berpartisipasi;

b) bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya;

c) bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak;

d) bebas berserikat dan berkumpul;

e) bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni budaya; dan

f) memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.

3) Anak terlantar karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya, maka lembaga, keluarga, atau pejabat yang berwenang dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak sebagai anak terlantar.

4) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud sekaligus menetapkan tempat penampungan, pemeliharaan, dan perawatan anak.

e. Perlindungan Khusus

1) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi pengungsi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum humaniter.

2) Perlindungan khusus bagi anak korban kerusuhan, korban bencana, dan anak dalam situasi konflik bersenjata, meliputi: a) pemenuhan kebutuhan dasar, yaitu: pangan, sandang,

pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan

b) pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial. 3) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum,

anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, meliputi:

a) perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;

b) penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; c) penyediaan sarana dan prasarana khusus;

d) penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;

e) pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; f) pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan

(16)

g) perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

4) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana meliputi:

a) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;

b) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;

c) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan

d) pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

5) Perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri, dan menggunakan bahasanya sendiri.

6) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, meliputi:

a) penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; b) pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

c) pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

7) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

8) Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

9) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya: penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perUndang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.

10) Perlindungan khusus bagi anak yang menyandang cacat dilakukan melalui upaya:

a) perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak;

(17)

c) memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu.

11) Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

C. Tinjauan Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dikenal dengan istilah strafbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat (Kartonegoro, 2008).

Poernomo (2000), pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi dua, yaitu:

(18)

mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum;

b. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadiaan (feit) yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Tindak pidana menurut Moeljatno (2008) yaitu:

“perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

Menurut E.Utrecht (2003) pengertian tindak pidana dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga disebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan (handelen atau doen positif) atau suatu melalaikan (natalen-negatif), maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu).

Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana, tindak pidana adalah pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan atau kejahatan yang diartikan secara yuridis atau secara kriminologis. Tindak pidana secara umum dapat diartikan sebagai perbuatan yang melawan hukum baik secara formal maupun secara materiil (Nawawi, 2003).

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

(19)

a. Unsur Subyektif

Yaitu hal-hal yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan si pelaku, yang terpenting adalah yang bersangkutan dengan batinnya. Unsur subyektif tindak pidana meliputi:

1) Kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); 2) Niat atau maksud dengan segala bentuknya; 3) Ada atau tidaknya perencanaan;

b. Unsur Obyektif

Merupakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan lahiriah yaitu dalam keadaan mana tindak pidana itu dilakukan dan berada diluar batin si pelaku.

1) Memenuhi rumusan undang-undang 2) Sifat melawan hukum;

3) Kualitas si pelaku;

4) Kausalitas, yaitu yang berhubungan antara penyebab tindakan dengan akibatnya.

Pada dasarnya unsur tindak pidana tidak terlepas dari dua faktor yaitu faktor yang ada dalam diri si pelaku itu sendiri dan faktor yang timbul dari luar diri si pelaku atau faktor lingkungan.

3. Jenis Tindak Pidana

(20)

perundang-undangan yang mengaturnya. Menurut M.v.T (Memorie van Toelichting) yang dikutib oleh Moeljatno, bahwa kejahatan adalah rechtsdelicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak

ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagi perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Sedangkan pelanggaran adalah “wetsdelicten” yaitu perbuatan-perbuatan

yang sifatnya melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada ketentuan yang menentukan demikian (Moeljanto, 2003).

a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pembagian atas kejahatan dan pelanggaran didasarkan pada berat ringannya pidana. Kejahatan terdapat dalam Buku II, dan Pelanggaran diatur dalam Buku III. Ancaman pidana dalam kejahatan relatif lebih berat daripada pelanggaran. Beberapa perbedaan tersebut dapat dilihat dari:

1) Dalam hal percobaan, hanya kejahatan yang dapat dipidana, sedangkan percobaan dalam pelanggaran tidak dipidana.

2) Hal pembantuan, pembantuan dalam hal melakukan tindak pidana kejahatan dapat dipidana, dalam hal pembantuan melakukan tindak pidana pelanggaran tidak dipidana.

3) Dalam hal penyertaan yang dilakukan terhadap tindak pidana menggunakan alat percetakan hanya berlaku bagi kejahatan, sedangkan dalam pelanggaran tidak berlaku.

(21)

hukum Indonesia melakukan kejahatan jabatan, dan bukan pelanggaran jabatan.

5) Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek dari pada kejahatan.

6) Dalam hal perbarengan perbuatan (concursus), system penjatuhan pidana dalam concursus kejahatan menggunakan sistem absorbsi yang diperberat, sedangkan dalam concursus pelanggaran menggunakan sistem kumulasi murni.

b. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan menitik beratkan pada perbuatan yang dilarang. Jika seseorang telah berbuat sesuai dengan rumusan delik maka orang itu telah melakukan tindak pidana (delik), tidak dipermasalahkan bagaimana akibat dari perbuatan itu.

c. Sedangkan tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan menitik beratkan pada akibat yang dilarang atau tidak dikehendaki. Tindak pidana ini baru selesai jika akibatnya sudah terjadi sedangkan cara melakukan perbuatan itu tidak dipermasalahkan.

d. Tindak pidana dolus adalah tindak pidana yang memuat unsur kesengajaan dalam rumusannya.

(22)

mewujudkannya diisyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Terdapat delicta commisionis perommisionem commissa yaitu delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat (Moeljanto, 2003)

f. Tindak pidana aduan merupakan tindak pidana yang timbul karena adanya pengaduan dari korban atau keluarga korban yang dirugikan. Contoh: Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik.

g. Tindak pidana biasa merupakan tindak pidana yang sebagian besar telah tercantum dalam KUHP dimana dalam tindak pidana biasa tersebut tanpa ada aduan dari siapapun, pelaku dari tindak pidana tersebut dapat dituntut secara hukum.

h. Tindak pidana communia adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang pada umumnya, tindak pidana memang diberlakukan pada semua orang. Tindak Pidana Propia adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu (Moeljanto, 2003). Contoh: Pasal 346 KUHP tentang seorang wanita yang menggugurkan kandungannya sendiri.

(23)

diperingan menyebutkan kualifikasi pasal dalam bentuk pokoknya, yang kemudian ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan.

D. Tinjauan Tindak Pidana Anak

1. Pengertian Tindak Pidana Anak

Tindak pidana anak adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak. Tindak pidana anak dapat dihubungkan dengan istilah Juvenile Deliquency, yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan beragam istilah, yaitu kenakalan anak, kenakalan remaja, kenakalan pemuda, taruna tersesat, ataupun jalin quersi anak. Secara etimologis dapat dijabarkan bahwa “Juvenile” berarti “anak” sedangkan “Deliquency” berarti “kejahatan”. Dengan demikian “Juvenile Deliquency” adalah “Kejahatan Anak”, sedangkan apabila menyangkut subjek atau

pelakunya, maka Juvenile Deliquency berarti penjahat anak atau anak jahat.

Soetodjo (2010) menyebutkan bahwa yang dimaksud juvenile delinquency adalah:

Setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.

Rusli Muhammad (2007) merumuskan bahwa yang dikatakan sebagai juvenile delinquency adalah:

(24)

remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.

Tingkah laku orang dewasa adalah tingkah laku yang sempurna, sedangkan perangai anak si anak apabila diselidiki adalah merupakan suatu kritik nilai saja, karena dalam proses pertumbuhan ke masa remaja, sedang dalam proses mencari identitas diri. Dalam proses pencarian jati diri tersebut terkadang anak-anak tidak dapat mengendalikan diri sehingga mudah melakukan kenakalan yang menjurus pada tindak kejahatan.

2. Bentuk Tindak Pidana Anak

Menurut Sudarsono (2004) norma-norma hukum yang sering dilanggar oleh anak-anak remaja pada umumnya adalah pasal-pasal tentang:

a. Kejahatan-kejahatan kekerasan 1) Pembunuhan

2) Penganiayaan b. Pencurian

1) Pencurian biasa

2) Pencurian dengan pemberatan c. Penggelapan

(25)

g. Anak sipil

h. Remaja dan narkotika

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dinyatakan bahwa tindak pidana anak merupakan salah satu dari pelanggaran terhadap pasal 489, 490, 492, 497, 503, 505, 514, 517, 518, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540, yaitu:

a. Pelanggaran keamanan umum, seperti:

1) Mabuk di muka umum dan merintangi lalu lintas, menganggu ketertiban, atau mengancam keamanan orang lain.

2) Menyebabkan kebakaran di muka umum.

b. Melakukan pelanggaran terhadap ketertiban, meliputi:

1) Membuat kegaduhan, keramaian sehingga mengaganggu masyarakat.

2) Menggelandang. 3) Penadah.

4) Pemalsuan.

5) Perusakan informasi di muka umum. c. Melakukan pelanggaran kesusilaan, meliputi:

1) Menyanyikan lagu, berpidato, dan menyebarkan tulisan yang melangggar kesusilaan di muka umum.

2) Mabuk di muka umum.

E. Tinjauan Sanksi Pidana

1. Pengertian Sanksi Pidana

(26)

atau membahayakan kepentingan hukum. Sanksi pidana pada dasarnya merupakan suatu penjamin untuk merehabilitasi perilaku dari pelaku kejahatan tersebut, namun tidak jarang bahwa sanksi pidana diciptakan sebagai suatu ancaman dari kebebasan manusia itu sendiri.

Pidana adalah penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi unsur syarat-syarat tertentu. Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja dilimpahkan Negara kepada pembuat delik (Chazawi, 2002).

2. Jenis-jenis Pidana

Jenis-jenis pidana sebagaimana telah diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdiri atas:

a. Pidana Pokok 1) Pidana mati; 2) Pidana penjara; 3) Pidana kurungan; 4) Pidana denda; 5) Pidana tutupan

b. Pidana Tambahan

1) Pencabutan hak-hak tertentu; 2) Perampasan barang-barang tertentu; 3) Pengumuman putusan hakim.

(27)

gabungan disebut sebagai pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan yang beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan yang plural, yang merupakan gabungan dari pandangan utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan, keadilan tidak boleh melalui pembebanan penderitaan yang patut diterima untuk tujuan penderitaan itu sendiri, misalnya bahwa penderitaan pidana tersebut tidak boleh melebihi ganjaran yang selayaknya diberikan pelaku tindak pidana.

3. Jenis Pidana bagi Anak

Berdasarkan ketentuan Pasal 69 Undang-undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dinyatakan bahwa seorang anak dapat dijatuhi pidana setelah berumur 14 tahun, sedangkan anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan. Selanjutnya jenis pidana dan tindakan yang dapat dijatuhkan bagi anak nakal. Selanjutnya dalam Pasal 71 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak dapat dijatuhi pidana sebagai berikut: a. Pidana pokok

1) Pidana peringatan 2) Pidana dengan syarat:

a) pembinaan di luar lembaga b) pelayanan masyarakat, atau c) pengawasan

3) Pelatihan kerja

4) Pembinaan dalam lembaga, dan 5) Penjara

b. Pidana tambahan terdiri atas:

(28)

Selanjutnya apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. Pelaksanaan pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat anak.

Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak menurut Pasal 82 ayat (1) Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, meliputi:

a. Pengembalian kepada orang tua/Wali b. Penyerahan kepada seseorang c. Perawatan di rumah sakit jiwa d. Perawatan di LPKS

e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta

f. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau g. Perbaikan akibat tindak pidana

F. Tinjauan tentang Narkotika

1. Pengertian Narkotika

Segi yuridis, menurut Undang-undang Narkotika Nomor 35 tahun 2009, arti narkotika dapat dilihat dalam Bab I Pasal 1 ayat (1)

“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai hilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini.”

(29)

dalam perkembangan di era globalisasi saat ini sudah dibahas dalam berbagai media baik itu media cetak ataupun media elektronik.Narkotika dalam perkembangan saat ini sudah merupakan masalah yang global yang dihadapi oleh hampir seluruh Negara di Dunia.

Narkotika berasal dari bahasa Yunani “narke” yang berarti terbius, sehingga tidak merasakan apa-apa.Jadi narkotika merupakan suatu bahan-bahan yang menumpulkan rasa, menghilangkan rasa nyeri dan sebagainya (Soedarto, 2001).

Narkotika atau sering disebut sebagai drug adalah sejenis zat.Zat narkotika ini merupakan zat yang memiliki ciri-ciri tertentu.Narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkan ke dalam tubuh. Pengaruh tersebut berupa pembiusan , hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan (Dirdjosisworo, 2003).

(30)

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Menurut istilah kedokteran, narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan trauma rasa sakit dan nyeri yang berasal dari daerah viresal atau alat-alat rongga dada dan rongga perut, juga dapat menimbulkan efek stupor atau bengong yang lama dalam keadaan masih sadar serta menimbulkan adiksi atau kecanduan (Mardani, 2007).

Bosu (2002) memberikan pengertian bahwa narkotika adalah: “sejenis zat yang apabila dipergunakan atau dimasukkan kedalam tubuh sipemakai akan menimbulkan pengaruh-pengaruh seperti berupa menenangkan, merangsang dan menimbulkan khayalan atau halusinasi”.

Supramono (2009) menyatakan bahwa pengertian narkotika adalah: “suatu obat yang merusak pikiran menghilangkan rasa sakit, menolong untuk dapat tidur dan dapat menimbulkan kecanduan dalam berbagai tingkat”

2. Jenis-jenis Narkotika

(31)

a. Narkotika Golongan I

Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Adapun jenis-jenis Narkotika Golongan I yaitu:

1) Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kejuali bijinya.

2) Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya.

3) Opium masak terdiri dari:

a) Candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.

b) Jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.

c) Jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing d) Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon

dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya e) Daun koka yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam

bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia.

f) Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.

(32)

hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk dammar ganja dan hasis.

b. Narkotika Golongan II

Narkotika golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Adapun jenis-jenis Narkotika Golongan II misalnya, alfasetilmetadol, alfameprodina, alfametadol, alfaprodina, alfentanil, alilprodina, anileridina, asetilmetadol, benzetidin, benzilmorfina, betameprodina, betasetilmetadol, bezitramida, dll.

c. Narkotika Golongan III

Narkotika golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Adapun jenis-jenis Narkotika Golongan III misalnya, kodeina, nikodikodina, nikokodina, norkadeina, dll.

(33)

3. Faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkotika

Terdapat 3 (tiga) faktor yang dapat dikatakan sebagai “pemicu”

seseorang dalam penyalahgunaan narkotika menurut Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN RI) Tahun 2004 yaitu sebagai berikut:

a. Faktor diri :

1) Keingintahuan yang besar untuk mencoba, tanpa sadar atau berfikir panjang tentang akibatnya di kemudian hari.

2) Keinginan untuk mencoba-coba karena penasaran. 3) Keinginan untuk bersenang-senang.

4) Keinginan untuk dapat diterima dalam suatu kelompok (komunitas) atau lingkungan tertentu.

5) Workaholic agar terus beraktivitas maka menggunakan stimulant (perangsang).

6) Lari dari masalah, kebosanan.

7) Mengalami kelelahan dan menurunnya semangat belajar.

8) Kecanduan merokok dan minuman keras. Dua hal ini merupakan gerbang ke arah penyalahgunaan narkotika.

9) Karena ingin menghibur diri dan menikmati hidup sepuas-puasnya.

10) Upaya untuk menurunkan berat badan atau kegemukan dengan menggunakan obat penghilang rasa lapar yang berlebihan. 11) Merasa tidak dapat perhatian, tidak diterima, atau tidak

disayangi, dalam lingkungan keluarga atau lingkungan pergaulan.

12) Ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan.

13) Ketidaktahuan tentang dampak dan bahaya penyalahgunaan narkotika.

14) Pengertian yang salah bahwa mencoba narkotika sekali-kali tidak akan menimbulkan masalah.

15) Tidak mampu atau tidak berani mengahadapi tekanan dari lingkungan atau kelompok pergaulan untuk menggunakan narkotika.

16) Tidak dapat atau tidak mampu berkata tidak pada narkotika. b. Faktor lingkungan:

1) Keluarga bermasalah (broken home).

(34)

3) Lingkungan pergaulan atau komunitas yang salah satu atau beberapa atau bahkan semua anggotanya menjadi penyalahguna atau pengedar gelap narkotika.

4) Sering berkunjung ke tempat hiburan (cafe, diskotik, karaoke, dll).

5) Mempunyai banyak waktu luang, putus sekolah atau menganggur.

6) Lingkungan keluarga yang kurang atau tidak harmonis.

7) Lingkungan keluarga dimana tidak ada kasih sayang, komunikasi, keterbukaan, perhatian, dan saling menghargai di antara anggotanya.

8) Orang tua/keluarga yang permisif, tidak acuh, serba boleh, kurang/tanpa pengawasan.

9) Orang tua/keluarga yang super sibuk mencari uang/di luar rumah.

10) Lingkungan sosial yang penuh persaingan dan ketidakpastian.\ 11) Kehidupan perkotaan yang hirup piruk, orang tidak dikenal

secara pribadi, tidak ada hubungan primer, ketidakacuhan, hilangnya pengawasan sosial dari masyarakat.

12) Pengangguran, putus sekolah dan keterlantaran. c. Faktor ketersediaan narkotika:

1) Narkotika semakin mudah didapat dan dibeli.

2) Harga narkotika semakin murah dan dijangkau oleh daya beli masyarakat.

3) Narkotika semakin beragam dalam jenis, cara pemakaian, dan bentuk kemasan.

4) Modus operandi tindak pidana narkotika makin sulit diungkap aparat hokum

5) Masih banyak laboratorium gelap narkotika yang belum terungkap.

6) Sulit terungkapnya kejahatan komputer dan pencucian uang yang bisa membantu bisnis perdagangan gelap narkotika.

7) Semakin mudahnya akses internet yang memberikan informasi pembuatan narkotika.

8) Bisnis narkotika yang menjanjikan keuntungan besar.

9) Perdagangan narkotika dikendalikan oleh sindikan yan kuat dan profesional. Bahan dasar narkotika (prekursor) beredar bebas di masyarakat.

10) 11

(35)

1) Kemudahan didapatinya obat secara sah atau tidak, status hukumnya yang masih lemah dan obatnya mudah menimbulkan ketergantungan;

2) Kepribadian meliputi perkembangan fisik dan mental yang labil, kegagalan cita-cita, cinta, prestasi, jabatan dan lain-lain, menutup diri dengan lari dari kenyataan, kekurangan informasi tentang penyalahgunaan obat keras, bertualang dengan sensari yang penuh resiko dalam mencari identitas kepribadian, kurangnya rasa disiplin, kepercayaan agamanya minim;

3) Lingkungan, meliputi rumah tangga yang rapuh dan kacau, masyarakat yang kacau, tidak adanya tanggung jawab orang tua dan petunjuk serta pengarahan yang mulia, pengangguran, orang tuanya juga kecanduan narkotika, penindakan hukum yang masih lemah, dan kesulitan zaman.

(36)

4. Dampak Penyalahgunaan Narkotika

Kondisi persoalan narkoba sangat rumit dan hampir tidak bisa terdeteksi, karena terbentuknya jaringan antara produsen, pengedar, dan pengguna merupakan jaringan yang bersifat underground terlebih lagi keluarga juga sering cenderung menyembunyikan anggota keluarganya yang menjadi korban narkotika karena berbagai alasan.

Tindak kekerasan atau kriminalitas sangat besar kemungkinan muncul pada pecandu yang mulai kehabisan uang maupun barang untuk dijual. Mereka sangat nekad dan tidak peduli, sehingga melakukan kekerasan fisik, seperti pencurian, perampokkan serta berbagai tindakan kriminal lainnya untuk mendapatkan apa yang diinginkan demi mendapat pasokan narkotika (Suyono, 1999).

Berdasarkan efek yang ditimbulkan oleh narkotika itu sendiri dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:

a. Memberikan efek depresan, yaitu menekan sistem syaraf pusat dan mengurangi aktivitas fungsional tubuh sehingga pemakai merasa tenang, bahkan bisa membuat pemakai tidur dan tak sadarkan diri.13 b. Bila dosis yang diberikan berlebihan dapat mengakibatkan kematian.

Jenis narkotika depresan antara lain opioda, dan berbagai turunannya seperti morphin danheroin. Contohnya putaw.

(37)

d. Memberi efek halusinogen, efek utamanya adalah mengubah daya persepsi atau mengakibatkan halusinasi. Halusinogen kebanyakan berasal dari tanaman seperti mescaline dari kaktus dan psilocybin dari jamur-jamuran.

Selain itu ada juga yang diramu di laboratorium seperti LSD. Yang paling banyak dipakai adalah marijuana atau ganja (Abdalla, 2008). Dampak penyalahgunaan narkotika seseorang sangat tergantung pada jenis narkotika yang dipakai, kepribadian pemakai dan situasi atau kondisi pemakai. Secara umum, dampak negatif penyalahgunaan narkotika dapat terlihat pada fisik, psikis, maupun sosial seseorang. a. Dampak fisik:

1) Gangguan pada sistem syaraf (neurologis) seperti: kejang-kejang, halusinasi, gangguan kesadaran, kerusakan syaraf tepi. 2) Gangguan pada jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler)

seperti: infeksi akut otot jantung, gannguan peredaran darah. 3) Gangguan pada kulit (dermatologis) seperti : penanahan (abses),

alergi, eksim.

4) Gangguan pada paru-paru (pulmoner) seperti : penekanan fungsi pernafasan, kesukaran bernafas, pengerasan jaringan paru-paru. 5) Sering sakit kepala, mual-mual, muntah, suhu tubuh meningkat,

(38)

fungsi hormon reproduksi (estrogen, progesteron, testosteron), serta gangguan fungsi seksual.

6) Dampak terhadap kesehatan reproduksi pada remaja perempuan antara lain perubahan periode menstruasi, ketidakteraturan menstruasi.

7) Bagi pengguna narkotika melalui jarum suntik, khususnya pemakaian jarum suntik secara bergantian, resikonya adalah tertular penyakit seperti hepatitis B, C, dan HIV yang hingga saat ini belum ada obatnya.

8) Penyalahgunaan narkotika bisa berakibat fatal ketika terjadi over dosis yaitu konsumsi narkotika melebihi kemampuan tubuh untuk menerimanya. Over dosis bisa menyebabkan kematian. b. Dampak psikis:

1) Lamban kerja, ceroboh, sering tegang dan gelisah.

2) Hilang kepercayaan diri, apatis, pengkhayal, penuh curiga. 3) Menjadi ganas dan tingkah laku brutal.

4) Sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan.

5) Cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, bahkan bunuh diri.

(39)

psikologis ini juga berkaitan dengan gejala sosial seperti dorongan untuk membohongi orang tua, mencuri, pemarah dan manipulatif (Alkhaisar, 2013).

Menurut Lydia Harlina Martono dan Satya Joewana (2008), akibat dari penyalahgunaan narkotika dapat dibagi menjadi empat yaitu: 2215 a. Bagi diri sendiri, dampak pemakaian narkotika adalah sangat buruk

seperti:

1) Terganggunya fungsi otak dan perkembangan normal yaitu daya ingat sehingga mudah lupa, sulit berkonsentrasi, perasaan yang tidak rasional, turunnya motivasi dalam bidang kehidupan. 2) Intoksikasi (keracunan), gejala yang timbul akibat pemakaian

narkotika yang tidak sesuai dengan dosis atau takaran yang dianjurkan cukup berpengaruh terhadap tubuh dan perilaku, gejala yang ditimbulkan tergantung dari jenis, jumlah, dan cara penggunaan seperti fly, mabuk, teler, dan koma.

3) Overdosis dapat menyebabkan kematian karena terhentinya pernafasan atau pendarahan otak, dimana overdosis terjadi karena pemakaian narkotika yang melebihi batas toleransi tubuh atau karena pemakaian yang lama tanpa henti.

(40)

5) Berulang kali kambuh, ketergantungan akibat pemakian narkotika menyebabkan crawling (rasa rindu) walaupun telah berhenti memakai, baik itu terhadap narkotika atau perangkatnya, kawan-kawan, suasana, serta tempat-tempat pengguna terdahulu yang mendorong pengguna untuk memakai narkotika kembali.

6) Gangguan mental/sosial dan perilaku adalah dimana menimbulkan sikap acuh tak acuh, sulit mengendalikan diri, menarik diri dari pergaulan, serta hubungan dengan keluarga yang terganggu. Terjadinya perubahan mentel dalam pemusatan perhatian, belajar/bekerja yang lemah ide yang paranoid dan lain-lain.

7) Masalah keuangan dan hukum, akibat keperluannya untuk memenuhi kebutuhan akan narkotika maka si pemakai akan berusaha untuk menipu, mencuri, menjual segala barang-barang milik diri sendiri atau orang lain, akibat lain adalah ditangkap polisi, ditahan, dan dihukum penjara, atau dihakimi masyarakat. b. Bagi keluarga, dimana dampak yang ditimbulkan adalah suasana

(41)

c. Bagi sekolah, narkotika dapat merusak disiplin dan motivasi yang penting dalam proses belajar serta prestasi yang merosot dan menciptakan iklim acuh tak acuh baik antara sesama murid maupun guru serta pihak lainnya.

d. Bagi masyarakat, Bangsa dan Negara, narkotika dapat mengganggu kesinambungan pembangunan, negara menderita kerugian karena masyarakat yang tidak produktif serta tingkat kejahatan yang meningkat.

5. Tindak Pidana Narkotika

UU. No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika tidak memberikan definisi secara khusus mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana narkotika itu sendiri, namun hanya merumuskan perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana narkotika. Maka secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana narkotika adalah suatu perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkotika, dalam hal ini adalah UU No. 35/2009 Tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dalam ketentuan Undang-undang tersebut.

(42)

Ketiga sistem penegakan hukum tersebut masing-masing didukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara atau biasa disebut aparatur (alat) penegak hukum, yang mempunyai aturannya sendiri-sendiri pula.

Jenis-jenis Tindak Pidana Narkotika yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Supramono, 2009): 1) Pasal 111

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman.

2) Pasal 112

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman.

3) Pasal 113

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I. 4) Pasal 114

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I.

5) Pasal 115

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengakut, atau mentransito Narkotika Golongan I. 6) Pasal 116

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain.

7) Pasal 117

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II 8) Pasal 118

(43)

9) Pasal 119

Setiap orang yang tanpa hak atau melawah hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II. 10) Pasal 120

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II. 11) Pasal 121

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain.

12) Pasal 122

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan III.

13) Pasal 123

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III. 14) Pasal 124

Setiap orang yang tanpa hak atau melawah hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III. 15) Pasal 125

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III. 16) Pasal 126

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain.

17) Pasal 127

Setiap Penyalah Guna Narkotika Golongan I, II, dan III bagi diri sendiri.

18) Pasal 128

(44)

19) Pasal 129

Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk perbuatan Narkotika; Memproduksi, menimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.

20) Pasal 130

Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana Narkotika.

21) Pasal 131

Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.

22) Pasal 133

Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana Narkotika; Untuk menggunakan Narkotika. 23) Pasal 134

Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri; Keluarga dari Pecandu Narkotika yang dengan sengaja tidak melaporkan Pecandu Narkotika tersebut.

Undang-undang Narkotika mengatur sanksi pidana maupun tindakan seperti rehabilitasi tetapi jika melihat sebenarnya Undang-undang Narkotika mempunyai perbedaan dengan KUHP, berikut adalah perbedaan Undang-undang Narkotika dibandingkan dengan KUHP (Supramono, 2011):

(45)

sementara kegiatan dan pecambutan izin serta hukuman tambahan yang diatur dalam pasal 130 ayat (2) UU Narkotika, berupa:

1) Pencabutan izin usaha; dan/atau 2) Pencabutan status badan hukum.

Sedangkan dalam KUHP hukumannya berupa: 1) Hukuman Pokok

a) Hukuman mati b) Hukuman penjara c) Hukuman kurungan d) Hukuman denda.

e) Hukuman Pidana Tutupan 2) Hukuman Tambahan

a) Pencabutan beberapa hak yang tertentu. b) Perampasan barang yang tertentu. c) Pengumuman keputusan hakim.

(46)

yang diadakan bagi kejahatan dikurangkan dengan sepertiganya, dalam hal percobaan.

c. Undang-Undang Narkotika bersifat elastis, seperti perubahan dari Undang Narkotika Tahun 1997 berubah menjadi Undang-Undang No.35 Tahun 2009, sedangkan KUHP tidak bersifat elastis karena didalamnya mengatur banyak hal.

d. Perluasan Berlakunya Asas Teritorial, dalam hal ini Undang-Undang Narkotika beserta pemerintah mengupayakan hubungan kerjasama secara bilateral ataupun multilateral guna untuk pembinaan dan pengawasan Narkotika, sedangkan KUHP hanya berlaku di Indonesia.

(47)

yang tidak mendapatkan pengakuan atau dinilai tidak bermanfaat bila ditaati. Pengaruh hukum dan konsep tujuan dapat dikatakann bahwa konsep pengaruh berarti sikap tindak atau perilaku yang dikaitkan dengan suatu kaidah hukum dalam kenyataan, perpengaruh positif atau efektivitasnya yang tergantung pada tujuan atau maksud suatu kaidah hukum. Suatu tujuan hukum tidak selalu identik dinyatakan dalam suatu aturan dan belum tentu menjadi alasan yang sesungguhnya dari pembuat aturan tersebut (Nawawi, 2004).

G. Putusan Nomor 18/pid.sud-anak/2017/pn.bks

(48)

Referensi

Dokumen terkait

Apabila kedua gelombang ini mempunyai beda phase 180 ̊ , maka amplitudo gabungan akan saling meniadakan sehingga terjadi redaman 100% (noise cancellation).Berdasarkanpenelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah Menggambarkan asuhan keperawatan dengan pemberian pendidikan kesehatan tentang pemberian makan yang baik pada bayi untuk

Praktikum merupakan strategi pembelajaran atau bentuk pengajaran yang digunakan untuk membelajarkan secara bersama-sama kemampuan psikomotorik (keterampilan), kognitif

Melalui identi- fikasi awal hambatan melaluipembelajaran bersama dengan guru PAUD Gugus 11 Arjowinangun untuk menemukenali faktor kegagalan pemahaman pada K13 PAUD dari

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

Dalam membuktikan sifat-sifat dari kedua pembangkit bilangan acak yang telah dibahas sebelumnya, kita dapat melihat pada beberapa percobaan dengan menggunakan

Bentuk rumah tradisional daerah Riau pada umumnya adalah rumah panggung yang berdiri di atas tiang dengan bangunan persegi panjang.. Draf beberapa bentuk rumah ini