• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Ulang 23 Juni 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tinjauan Ulang 23 Juni 2013"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

Tinjauan Ulang

(2)

Daftar Isi

1 Logika Matematika, Himpunan, Relasi, dan Pemetaan 3

1.1 Logika Matematika . . . 3

1.2 Formalisme Himpunan . . . 4

1.3 Himpunan Bilangan . . . 5

1.3.1 Himpunan Bilangan Dasar . . . 5

1.3.2 Himpunan Bilangan Turunan . . . 6

1.4 Relasi dan Pemetaan . . . 7

1.4.1 Relasi . . . 7

1.4.2 Pemetaan . . . 7

1.4.3 Relasi Kardinalitas . . . 8

1.5 Ruang Topologis . . . 8

2 Sistem Aljabar, Aljabar Asosiatif, Modul, dan Matriks 10 2.1 Sistem Operasi . . . 10

2.2 Sistem Aljabar Murni . . . 10

2.2.1 Semigrup . . . 10 2.2.2 Grup . . . 11 2.2.3 Gelanggang (Ring) . . . 12 2.3 Aljabar Asosiatif . . . 13 2.4 Modul . . . 13 2.5 Formalisme Matriks . . . 15 3 Lapangan Nyata 19 3.1 Limit Fungsi . . . 19 4 Lapangan Kompleks 20 4.1 Bilangan Kompleks . . . 20 4.2 Fungsi Kompleks . . . 21

4.3 Kalkulus pada Lapangan Kompleks . . . 24

5 Formalisme dalam Mekanika Kuantum 25 5.1 Hasil Kali Skalar dan Norma . . . 25

5.2 Operator dalam Ruang Hilbert . . . 26

5.3 Komutasi dan Anti-Komutasi . . . 28

5.4 Swanilai dan Swafungsi dari Suatu Operator . . . 28

5.5 Wakilan Matriks . . . 29

5.6 Prinsip Ketidakpastian . . . 31

(3)

2 DAFTAR ISI

6 Mekanika Kuantum di Ruang Tiga Dimensi 33

6.1 Laju dari Rata-Rata Suatu Observabel Fisis . . . 33

6.2 Persamaan Schr¨odinger dalam Sistem Koordinat Bola . . . 34

6.2.1 Pemisahan Peubah . . . 34 6.2.2 Persamaan Sudut . . . 35 6.2.3 Persamaan Radial . . . 36 6.3 Momentum Sudut . . . 38 6.3.1 Swanilai . . . 38 6.4 Spin . . . 41 6.4.1 Spin 0 . . . 41 6.4.2 Spin 1/2 . . . 41

(4)

Bab 1

Logika Matematika, Himpunan,

Relasi, dan Pemetaan

1.1

Logika Matematika

Dalam logika matematika, suatu pernyataan biasanya dilambangkan dengan sebuah huruf kecil, misalnya p. Apabila suatu pernyataan memuat suatu frase x1, x2, x3, . . ., maka

bi-asanya pernyataan tersebut ditulis, misalnya, sebagai p(x1, x2, x3, . . .). Secara klasik, suatu

pernyataan hanya dapat bernilai benar atau salah, di mana nilai kebenaran suatu pernya-taan p dapat ditulis sebagai |p|. Apabila diketahui p = q, maka pastilah |p| = |q|, tetapi apabila diketahui |p| = |q|, maka belum tentu p = q. Negasi dari pernyataan p biasa ditu-lis sebagai ∼ p yang bernilai benar apabila p bernilai salah, serta bernilai salah apabila p bernilai benar. Ternyata, ∼ (∼ p) = p. Disjungsi antara pernyataan p dan pernyataan q biasanya ditulis sebagai p∨q yang bernilai benar apabila salah satu dari p, q bernilai benar, serta bernilai salah apabila p, q keduanya salah. Operasi ∨ ini bersifat komutatif, sehingga (q ∨p) = (p∨q). Pernyataan p∨q dibaca sebagai “p atau q”, alias dapat pula dibaca “p maupun q”. Ternyata, pernyataan p∨ ∼ p selalu bernilai benar. 1 Konjungsi antara pernyataan p dan pernyataan q biasanya ditulis sebagai p∧q yang bernilai benar apabila p, q keduanya benar, serta bernilai salah apabila salah satu dari p, q bernilai salah. Operasi

∧ ini bersifat komutatif, sehingga (q∧p) = (p∧q). Pernyataanp∧q dibaca sebagai “p dan q”, alias dapat pula dibaca “ptetapi q”. Ternyata, pernyataan p∧ ∼pselalu bernilai salah. Dalam hal ini, (p∨p) = (p∧p) =p. Dapat ditunjukkan bahwa,∼(p∨q) = (∼p∧ ∼q) serta

∼(p∧q) = (∼p∨ ∼q). Terdapat pula hukum distributif, yaitu (p∨(q∧r)) = ((p∨q)∧(p∨r)) serta (p∧(q∨r)) = ((p∧q)∨(p∧r)). Implikasi pernyataan pterhadap pernyataan q biasa ditulis sebagai p⇒q yang bernilai salah hanya jika p bernilai benar tetapi q bernilai salah, serta bernilai benar apabila p bernilai salah, atau p, q keduanya bernilai benar. Operasi ⇒

ini bersifat tak komutatif. Pernyataan p ⇒ q dibaca sebagai “jika p maka q”, alias dapat pula dibaca “q jika p”. Ternyata, (p ⇒q) = (∼ p∨q) = ((∼p)∨ ∼(∼ q)) = (∼ q ⇒∼p), serta ∼ (p ⇒ q) =∼ (∼ p∨q) = (p∧ ∼ q). Biimplikasi antara pernyataan p dan per-nyataan q biasa ditulis sebagai p ⇔ q yang setara dengan pernyataan (p ⇒ q)∧(q ⇒ p), sehingga pernyataan p ⇔ q bernilai benar apabila p, q keduanya bernilai benar atau ke-duanya bernilai salah, serta bernilai salah apabila p bernilai benar tetapi q bernilai salah, atau p bernilai salah tetapi p bernilai benar. Pernyataan p⇔ q dibaca sebagai “p jika dan hanya jika q”. Operasi ⇔ bersifat komutatif, sehingga (p ⇔ q) = (q ⇔ p). Ternyata, (p ⇔ q) = ((p∧q)∨ ∼ (p∨q)) = (∼ (∼ p∨ ∼ q)∨(∼ p∧ ∼ q)) = (∼ p ⇔∼ q), serta

∼(p⇔q) = ((∼p∨ ∼q)∧(p∨q)) = ((∼p∧q)∨(p∧ ∼q)). Dalam logika matematika klasik, terdapat dua jenis kuantor, yaitu kuantor universal∀dan kuantor eksistensial∃. Pernyataan

1

Kata “atau” di sini bermakna memilih, yang tentu saja berbeda dengan kata “alias”.

(5)

4 BAB 1. LOGIKA MATEMATIKA, HIMPUNAN, RELASI, DAN PEMETAAN

∀p, q dibaca “untuk semua p berlaku q”. Pernyataan ∃p, q dibaca “terdapat p sedemikian rupa sehingga q”. Terdapat hubungan antara ∀ dan ∃, yaitu ∼ (∀p, q) = (∃p,∼ q) serta

∼ (∃p, q) = (∀p,∼ q). Kontrapositif serta konversi dari pernyataan p ⇒ q berturut-turut adalah ∼q ⇒∼ p serta q ⇒ p. Ternyata, pernyataan p ⇒q memiliki nilai kebenaran yang sama dengan nilai kebenaran pernyataan kontrapositifnya.

1.2

Formalisme Himpunan

Definisi himpunan dalam teori himpunan merupakan kumpulan beberapa hal yang memenuhi satu atau beberapa syarat tertentu yang didefinisikan dengan jelas. 2 Suatu himpunan S

dapat dinyatakan sebagai S :={a, b, c, d, e, . . .} di manaa, b, c, d, e, . . . merupakan anggota dari himpunan S. Mengingat a di sini merupakan anggota dari S, maka dapat dituliskan a ∈ S. Mengingatb juga merupakan anggota dari S, maka dapat dituliskan a, b∈ S, yang merupakan bentuk ringkas dari a∈S dan b∈S. Apabila xbukan merupakan anggota dari S, maka dapat dituliskanx /∈S. Apabilaa, b, c, d, e, . . . ini memiliki pola tertentu, misalnya a=x1, b=x2, c=x3, dan seterusnya, makaS dapat ditulis sebagai S :={x1, x2, x3, . . .}. Contoh 1.2.1. Himpunan bilangan asli biasa dinyatakan sebagai N := {n1, n2, n3, . . .} di

mana n1 = 1 dan nj+1 = nj + 1. Himpunan bilangan cacah biasa dinyatakan sebagai

N0 :={n0, n1, n2, n3, . . .} di mana n0 = 0 dannj+1 =nj + 1.

Kardinalitas suatu himpunan S merupakan cacah (banyaknya) anggota himpunan S, yang biasa dilambangkan dengan n(S) atau |S| atau notasi lain. Cacah dari himpunan S dapat terhingga maupun tak terhingga, bahkan dapat pula nol. Himpunan yang cacah anggotanya tak terhingga dapat merupakan himpunan tercacah maupun himpunan tak ter-cacah. Himpunan yang memiliki cacah terhingga (tak terhingga) disebut sebagai himpunan terbatas (tak terbatas). Himpunan kosong, yang biasa dinyatakan sebagai maupun { }, merupakan himpunan di mana||= 0. Tentu saja pernyataanx∈selalu salah. 3 Apabila

cacah suatu himpunan S tidak terhingga, baik tercacah maupun tidak tercacah, maka bi-asanya himpunanS dinyatakan dengan notasi pembentuk himpunan, yaituS :={x| p(x)}, dengan p(x) adalah pernyataan terbuka yang menyatakan x. Notasi pembentuk himpunan ini biasanya juga digunakan untuk menyatakan himpunan terbatasS, dengan nilai|S|relatif besar, di mana cenderung merepotkan untuk menuliskan semua anggotanya. Selain itu, no-tasi pembentuk himpunan ini biasanya juga digunakan untuk menyatakan himpunan yang anggota-anggotanya belum jelas.

Hasil kali Cartesis himpunan A dengan himpunan B biasa dinyatakan sebagai A×B :=

{(a, b) | a ∈ A dan b ∈ B}. 4 Tentu saja, |A×B| = |A| |B|. Hasil kali Cartesis n buah himpunan, misalnya,A1, . . . , An, biasa dinyatakan sebagai

A1× · · · ×An:={(x1, . . . , xn) | xj ∈Aj untuk setiapj}.

Tentu saja, |A1 × · · · ×An| = |A1| . . . |An|. Hasil kali Cartesis suatu himpunan A dengan

dirinya sendiri sebanyak n faktor kali Cartesis adalah (A)n :=A1 × · · · ×An dengan A1 =

· · ·=An=A, sehingga |(A)n|=|A|n.

Gabungan antara himpunan A dan himpunan B biasa dinyatakan sebagai A ∪B :=

{x | x ∈ A atau x ∈ B}. Irisan antara himpunan A dan himpunan B biasa dinyatakan 2

Kumpulan bunga indah, kumpulan makanan lezat, dan kumpulan bilangan besar, merupakan tiga contoh kumpu-lan yang bukan merupakan himpunan, sebab ”indah”, ”lezat”, dan ”besar” di sini bersifat relatif. Lain halnya, apabila ”indah”, ”lezat”, dan ”besar” tersebut didefinisikan dengan syarat tertentu yang jelas, maka tiga buah kumpulan tersebut merupakan tiga buah himpunan.

3

Karena∅tidak memiliki anggota, maka terkadang∅tidak dianggap sebagai himpunan.

4Pada umumnya,A×B tidak sama denganB×A. Selain itu, demi kepraktisan, kadang-kadang, notasi perkalian

(6)

1.3. HIMPUNAN BILANGAN 5

sebagai A∩B := {x | x ∈A dan x ∈B}. Himpunan A dan himpunan B dikatakan saling lepas apabila A∩B = . Ternyata untuk setiap himpunan A, berlaku A∪ = A dan A∩=. Demikian pula,5

A∪(B∩C) = (A∪B)∩(A∪C) dan A∩(B∪C) = (A∩B)∪(A∩C).

Dapat ditunjukkan bahwa |A ∪B|+|A∩B| = |A|+|B|. Komplemen dari himpunan S dapat dinyatakan sebagaiAc :={x|x /A}. Tentu saja

∅cmerupakan himpunan segalanya, sehingga pernyataanx∈cselalu benar. Dapat ditunjukkan bahwa (Ac)c=A,AAc =

∅, A∪Ac=

∅c, (A∪B)c=Ac∩Bc, dan (A∩B)c =Ac∪Bc. Selisih himpunanB dari himpunan Abiasa dinyatakan sebagaiA−B :=A∩Bc. Tentu saja, (AB)(BA) =

∅. Ternyata,

|A−B|=|A∩Bc|=|A|+|Bc| − |ABc|. MengingatABc= (AcB)c= (BA)c, maka

|A−B|+|(B−A)c|=|A|+|Bc|. Dapat pula didefinisikan operasi + antara himpunanAdan

himpunanBdi manaA+B := (A∪B)−(A∩B) = (A∪B)∩(A∩B)c= (AB)(AcBc) =

(A∩Bc)(BAc) = (AB)(BA). Ternyata,

|A+B|=|(A−B)∪(B−A)|=|A−B|+|B −A|.

HimpunanAdikatakan sama dengan himpunanB, yang biasa dinyatakan sebagaiA=B, apabila untuk setiap x berlaku x ∈ A jika dan hanya jika x ∈ B. Himpunan A dikatakan tidak sama dengan himpunan B, yang biasa dinyatakan sebagai A 6= B, apabila terdapat x sedemikian rupa sehingga x ∈ A tetapi x /∈ B, atau, x ∈ B tetapi x /∈ A. Himpunan A merupakan himpunan bagian dari himpunan B, yang biasa dinyatakan sebagai A ⊂ B, apabila A 6= B, serta untuk setiap x berlaku x ∈ B jika x ∈ A. Apabila A ⊂ B atau A = B, maka dapat dikatakan bahwa A ⊆ B. 6 Himpunan 2S didefinisikan 7 sebagai

2S := {A | A S}, sehingga |2S| = 2|S|. Tentu saja,

∅ ∈ 2S dan S ∈ 2S. Himpunan AB didefinisikan sebagai himpunan semua pemetaan menyeluruh 8 dari himpunan B ke

himpunan A. Tentu saja, |AB|=|A||B|.

Terdapat beberapa identitas, misalnya

• |2A×B|= 2|A×B| = 2|A||B| = (2|A|)|B|= (2|B|)|A|=|2B||A|=|2A||B|, • |2A∪B|= 2|A∪B|= 2|A|+|B|−|A∩B|= 2|A|2|B|/2|A∩B|=|2A||2B|/|2A∩B|, • |2A∩B|= 2|A∩B|= 2|A|+|B|−|A∪B|= 2|A|2|B|/2|A∪B|=|2A||2B|/|2A∪B|, • |2A∪B||2A∩B|=|2A||2B|, • |2A×2B|=|2A||2B|= 2|A|2|B|= 2|A|+|B|, • |2A+B|= 2|A+B| = 2|A−B|+|B−A|= 2|A−B|2|B−A|=|2A−B||2B−A|, • |AB×CD|=|AB||CD|=|A||B||C||D|, • dan sebagainya.

1.3

Himpunan Bilangan

1.3.1 Himpunan Bilangan Dasar

• Himpunan bilangan asli (himpunan bilangan bulat positif) adalah himpunan N :=

{1,2,3, . . .} yang tak terbatas, di mana anggota terkecil adalah bilangan 1, serta anggota ke-(j+ 1) bernilai satu lebihnya dari anggota ke-j.

5

Ini merupakan hukum distributif dalam teori himpunan.

6Terkadang, notasiini maksudnya adalah, sehingga dalam hal ini, notasi

(maksudnya adalah⊂. 7Kadang-kadang, himpunan 2Sdi sini ditulis sebagaiPS, yang dikenal sebagai himpunan pangkat.

8

(7)

6 BAB 1. LOGIKA MATEMATIKA, HIMPUNAN, RELASI, DAN PEMETAAN

• Bilangan nyata adalah bilangan yang dapat mewakili posisi suatu titik sepanjang su-atu garis kontinyu yang tak berujung pangkal. Himpunan bilangan nyata merupakan himpunan R yang berisi semua bilangan nyata.

• Himpunan bilangan kardinal adalah{0,1,2,3, . . . ,ℵ0,ℵ1,ℵ2,ℵ3, . . .}di mana|N|=ℵ0

dan |R|=ℵ1, sertaℵ1 = 2ℵ0.

Masalah 1.3.1. Benarkah ℵα+1 = 2ℵα untuk semua α∈N?

1.3.2 Himpunan Bilangan Turunan

• Himpunan bilangan prima adalah himpunan PN yang berisi semua bilangan asli yang memiliki tepat dua buah faktor perkalian bilangan asli.

• Himpunan bilangan cacah adalah N0 :=N∪ {0}.

• Himpunan bilangan bulat negatif adalah himpunanZ−:={−1,−2,−3, . . .}yang berisi semua negatif dari anggota N.

• Himpunan bilangan bulat adalah himpunan Z:=N0∪Z−.

• Himpunan bilangan nyata positif merupakan himpunan R+:={x∈R| x >0}.

• Himpunan bilangan nyata negatif merupakan himpunan R−:={x∈R | x <0}.

• Bilangan rasional merupakan bilangan nyata yang dapat dinyatakan sebagai m/n de-ngan m, n∈Z dan n 6= 0. Himpunan bilangan rasional merupakan himpunan Q yang berisi semua bilangan rasional.

• Himpunan bilangan rasional positif merupakan himpunan Q+:={x

Q |x >0}.

• Himpunan bilangan rasional negatif merupakan himpunan Q− :={x∈Q | x <0}.

• Bilangan irasional merupakan bilangan nyata yang tidak dapat dinyatakan sebagai m/ndengan m, n∈Z dan n 6= 0. Himpunan bilangan irasional merupakan himpunan I:=R−Q yang berisi semua bilangan irasional.

• Himpunan bilangan irasional positif merupakan himpunan I+:={x

I| x >0}.

• Himpunan bilangan irasional negatif merupakan himpunan I− :={x∈I | x <0}.

• (a, b)≡(a, b)R :={x∈R | a < x < b}dan [a, b]≡[a, b]R:={x∈R |a ≤x≤b}. • (a, b]≡(a, b]R :={x∈R | a < x≤b} dan [a, b)≡[a, b)R :={x∈R | a≤x < b}. • (a, b)Q :={x∈Q| a < x < b} dan [a, b]Q :={x∈Q |a ≤x≤b}. • (a, b]Q :={x∈Q| a < x≤b} dan [a, b)Q :={x∈Q | a≤x < b}. • (a, b)I:={x∈I | a < x < b} dan [a, b]I:={x∈I | a≤x≤b}. • (a, b]I :={x∈I | a < x≤b} dan [a, b)I:={x∈I |a ≤x < b}.

(8)

1.4. RELASI DAN PEMETAAN 7

1.4

Relasi dan Pemetaan

1.4.1 Relasi

ApabilaAdanB merupakan dua buah himpunan, sertaP merupakan himpunan yang berisi semua pernyataan, maka suatu relasi R : A×B → P mengkaitkan a ∈ A dengan b ∈ B menjadi sebuah pernyataan R(a, b) yang bernilai benar atau salah secara klasik. Biasanya, R(a, b) ditulis sebagai a R b. Secara khusus, apabila B = A, maka R tersebut merupakan relasi pada himpunan A. Apabila R merupakan relasi pada himpunan A, serta R =∼

sedemikian rupa sehingga

1. a∼a untuk setiap a∈A, 9

2. jika a∼b, maka b∼a, untuk setiap a, b∈A, 10 serta

3. jika a∼b dan b∼c, maka a∼c, untuk setiap a, b, c∈A,11

maka relasi ∼ ini disebut sebagai relasi setara pada himpunan A. Suatu relasi setara ∼

pada himpunan A membentuk himpunan-himpunan bagian dari A yang saling lepas, di mana himpunan bagian yang memuata ∈A disebut sebagai kelas setara ayang dinyatakan sebagai [a]∼A:={b∈A| b∼a} ⊂A∈2A. Apabila a∼b, maka [a]∼A= [b]∼A. Himpunan yang berisi semua kelas setara dari relasi setara ∼ pada himpunan A merupakan ruang kuosien dari A relatif terhadap ∼, yang dinyatakan sebagai (A/∼) ⊂2A.

1.4.2 Pemetaan

Apabila A dan B merupakan dua buah himpunan, maka pemetaan f : A→B merupakan aturan yang menentukan bayangan daria∈ApadaB, yaituf(a)∈B. 12 Apabila diketahui

f(x) = y∈B, maka invers dari pemetaanf : A→B tersebut adalahf−1 sedemikian rupa

sehingga f−1(y) =xA merupakan salah satu kemungkinan. Apabila B merupakan suatu

lapangan, 13 maka pemetaan f tersebut disebut sebagai fungsi. Domain atau daerah asal

dari pemetaan f : A → B, adalah himpunan domf := {x | f(x) ∈ B} ⊆ A yang semua anggotanya memiliki bayangan diB, sedangkan daerah hasil atau bayangan dari f tersebut, merupakan himpunan imf :={f(x) |x∈ domf} ⊆B yang semua anggotanya merupakan bayangan dari f terhadap semua anggota dari domf. Untuk semua pemetaan f : A→ B dan untuk semuaA0 ⊆ domf, dapat pula didefinisikan himpunan f(A0) := {f(x)| x∈A0}. Selanjutnya,

• f dikatakan injektif alias satu-satu apabila untuk setiap a, b ∈ domf, maka a 6= b harus berakibat f(a)6=f(b),

• f dikatakan surjektif apabila untuk setiap a0 ∈ B, terdapat a ∈ A sedemikian rupa sehingga f(a) =a0,

• f dikatakan menyeluruh apabila domf =A,

• f dikatakan bijektif apabila f bersifat injektif, surjektif, dan menyeluruh. 14

9

Ini merupakan syarat refleksif. 10

Ini merupakan syarat setangkup. 11Ini merupakan syarat transitif. 12

Seandainya pemetaanf : A1× · · · ×An→Bmerupakan pemetaan yang memetakan (a1, . . . , an)∈A1× · · · ×An

menjadi f((a1, . . . , an)) ∈ B, maka demi kepraktisan, pemetaan f ini dapat dianggap memetakan a1 ∈ A1, . . .,

an∈Anmenjadif(a1, . . . , an)∈B.

13Pengertian lapangan terdapat pada Batasan 2.2.8 dalam Sesi 2.2.3. 14

(9)

8 BAB 1. LOGIKA MATEMATIKA, HIMPUNAN, RELASI, DAN PEMETAAN Batasan 1.4.1. Pemetaan f : A → B dikatakan setara dengan pemetaan g : A → B apabila domf = domg serta f(x) = g(x) untuk semuax∈ domf.

Contoh 1.4.1. Pemetaan f : ZZ : n 7→ (−1)n setara dengan pemetaan g :

Z →Z : n7→cosnπ.

Untuk setiapA0 ⊂ domf, maka pembatasan dari pemetaanf : A→B padaA0 merupakan pemetaan (f A0) : A0 →B sedemikian rupa sehingga (f A0)(b) =f(b) untuk setiap b ∈

A0 ⊂ domf. Pemetaan inklusi iA0 : A0 ,→A dari A0 ⊆A merupakan pemetaan sedemikian

rupa sehingga iA0(a) = a untuk setiap a ∈ A0, sehingga iA0 = idA A0, di mana pemetaan

idA : A →A, dengan idA(a) =a untuk setiap a∈ A, merupakan pemetaan identitas pada

A. Apabila A, B, C merupakan tiga buah himpunan, serta g : A → B dan f : B → C merupakan pemetaan, maka pemetaan komposisi f ◦ g merupakan g dilanjutkan dengan f, di mana (f ◦g)(x) := f(g(x)) ∈ C. Apabila diketahui x ∈ domf dan y ∈ img serta (f◦g)(x)≡f(g(x)) =y, makag(x) = f−1(y), lalux=g−1(f−1(y))≡(g−1◦f−1)(y) sebagai salah satu kemungkinan, padahalx= (f◦g)−1(y) merupakan salah satu kemungkinan pula,

sehingga dapat dikatakan (f◦g)−1 =g−1f−1. 1.4.3 Relasi Kardinalitas

• Apabila terdapat sebuah pemetaan bijektif dari himpunan A ke himpunan B, maka dapat dikatakan bahwa|A|=|B|.

• Apabila terdapat sebuah pemetaan injektif dari himpunan A ke himpunan B, maka dapat dikatakan bahwa|A| ≤ |B|.

• Apabila terdapat sebuah pemetaan injektif yang tidak bijektif dari himpunan A ke himpunan B, maka dapat dikatakan bahwa |A|<|B|.

Masalah 1.4.1. Bagaimana relasi kardinalitas antaraQ dan I?

1.5

Ruang Topologis

SeandainyaXmerupakan sebuah himpunan danI merupakan himpunan semua indeks, serta

T :={Ui ⊂X |i∈I} ⊆2X merupakan kumpulan tertentu himpunan bagian dariX, maka

(X,T) merupakan ruang topologis 15 apabila

, X ∈T,

• S

j∈JUj ∈T untuk semua J ⊂I, dan

• T

k∈KUk ∈T untuk semua K ⊂I dengan|K| terhingga,

di mana Ui disebut sebagai himpunan terbuka, serta T merupakan topologi untuk X.

Masalah 1.5.1. Sebutkan contoh himpunanX 6=sedemikan rupa sehingga (X,T) bukan merupakan ruang topologis untuk semua T ⊆2X.

Seandainya (X,T ) merupakan ruang topologis, maka himpunan A ⊆ X disebut seba-gai himpunan tertutup dalam (X,T ) apabila X−A merupakan himpunan terbuka dalam (X,T), sehingga otomatis, X keduanya merupakan himpunan terbuka dan tertutup dalam (X,T). Seandainya (X,TX) dan (Y,TY) masing-masing merupakan ruang topologis, maka

pemetaan f : X → Y dikatakan kontinyu apabila untuk setiap himpunan terbuka Y0 ⊆ Y dalam (Y,TY) menghendakif−1(Y0) merupakan himpunan terbuka dalam (X,TX).

15

(10)

1.5. RUANG TOPOLOGIS 9 Batasan 1.5.1. Fungsi d : (A)2

R disebut sebagai metrik pada himpunan A apabila untuk semua x, y, x∈A berlaku

• d(y, x) =d(x, y),

• d(x, y)≥0, di manad(x, y) = 0 jika dan hanya jika x=y, dan

(11)

Bab 2

Sistem Aljabar, Aljabar Asosiatif,

Modul, dan Matriks

2.1

Sistem Operasi

Apabila Amerupakan himpunan tak kosong, maka pemetaan f : (A)nA, yang

memeta-kana1, . . . , an∈Amenjadif(a1, . . . , an)∈A, disebut sebagai operator bervalensi-npadaA.

Himpunan A 6= yang disertai beberapa operator, misalnya f1, f2, f3, . . ., berturut-turut

bervalensi n1, n2, n3, . . ., yang terdefinisi pada A, disebut sebagai sistem operasi, yang

dike-mas sebagai (A, f1, f2, f3, . . .), di mana himpunanAmerupakan basis bagi (A, f1, f2, f3, . . .). Batasan 2.1.1. Seandainya A adalah suatu himpunan, dan (A, f1, f2, f3, . . .) merupakan

sistem operasi, serta A0 merupakan himpunan bagian dari A, maka (A0, f1, f2, f3, . . .)

dise-but sebagai sub-sistem-operasi dari (A, f1, f2, f3, . . .) apabila (A0, f1, f2, f3, . . .) merupakan

sistem operasi.

2.2

Sistem Aljabar Murni

Apabila A merupakan himpunan tak kosong, maka pemetaan f : (A)2 A, yang

meme-takan a, b ∈ A menjadi f(a, b) := a∗b, disebut sebagai operasi biner pada A. Dalam hal ini, ∗ dapat dipandang sebagaif itu sendiri. HimpunanA 6= yang disertai beberapa ope-rasi biner, misalnya ∗1,∗2,∗3, . . ., yang terdefinisi pada A, disebut sebagai sistem (struktur)

aljabar murni 1, yang dikemas sebagai (A,∗1,∗2,∗3, . . .), di mana himpunan A merupakan

basis bagi (A,∗1,∗2,∗3, . . .).

Batasan 2.2.1. Seandainya A adalah suatu himpunan, dan (A,∗1,∗2,∗3, . . .) merupakan

sistem aljabar murni, serta A0 merupakan himpunan bagian dariA, maka (A0,∗1,∗2,∗3, . . .)

disebut sebagai sub-sistem-aljabar-murni bagi (A,∗1,∗2,∗3, . . .) apabila (A0,∗1,∗2,∗3, . . .)

merupakan sistem aljabar murni.

2.2.1 Semigrup

Suatu sistem aljabar murni (S,∗) disebut semigrup apabila operasi biner∗bersifat asosoatif, yaitu bahwa (a∗b)∗c=a∗(b∗c) untuk setiap a, b, c∈S. 2 Suatue

l∈S disebut identitas

kiri dari semigrup (S,∗) apabilael∗a=auntuk setiapa∈S. Suatuer ∈S disebut identitas

kanan dari semigrup (S,∗) apabilaa∗er =auntuk setiapa ∈S. Suatu semigrup boleh saja

1

Terkadang, sistem aljabar murni disebut secara lebih ringkas sebagai sistem aljabar.

2Karena operasi pada semigrup (S,) selalu asosiatif, maka tanda kurung pada ungkapan (ab)c maupun

a∗(b∗c) boleh dihilangkan.

(12)

2.2. SISTEM ALJABAR MURNI 11

memiliki beberapa identitas kiri atau beberapa identitas kanan. Apabila semigrup (S,∗) memiliki identitas kiriel∈S dan identitas kananer∈S, maka el=el∗er =er, yang berarti

bahwa el maupun er tersebut harus tunggal, sehingga apabila e ∈S memenuhi persamaan

e ∗a = a ∗e = a untuk setiap a ∈ S, maka e ini disebut sebagai identitas dari (S,∗). Seandainya e ∈ S merupakan identitas dari semigrup (S,∗), maka a−l1 ∈ S disebut invers kiri daria ∈S dalam semigrup (S,∗) apabila a−l 1∗a=e, sedangkana−r1 ∈S disebut invers kanan dari a ∈ S dalam semigrup (S,∗) apabila a∗ar−1 = e, sehingga apabila a−1 ∈ S memenuhi persamaana−1a=aa−1 =e, makaa−1 S disebut sebagai invers (kebalikan)

dari a ∈S dalam semigrup (S,∗). Apabila e∈S merupakan identitas dari semigrup (S,∗), maka a ∈ S dikatakan inversibel (dapat dibalik) apabila terdapat invers bagi a tersebut. Semigrup (S,∗) dikatakan komutatif alias abelian apabila a∗b=b∗a untuk setiap a, b∈S.

Batasan 2.2.2. Seandainya S adalah suatu himpunan, dan (S,∗) merupakan semigrup, sertaS0 merupakan himpunan bagian dariS, maka (S0,∗) disebut sebagai subsemigrup bagi (S,∗) apabila (S0,∗) merupakan semigrup.

2.2.2 Grup

Batasan 2.2.3. Suatu semigrup (G,∗) disebut sebagai grup (G,∗) apabila

• terdapat e∈G sedemikian rupa sehinggae∗a=a untuk semua a ∈G, serta

• terdapat a−1 G sedemikian rupa sehingga a−1 a =e untuk semua a G, di mana

e∈G memenuhi persamaane∗a=a untuk semua a ∈G.

Teorema 2.2.1. Grup (G,∗) merupakan semigrup (G,∗) yang memiliki identitas sedemikian rupa semua a∈G memiliki invers menurut operasi biner ∗.

Bukti. Grup (G,∗) merupakan semigrup (G,∗) yang memenuhi semua syarat pada Batasan 2.2.3. Seandainya (G,∗) merupakan semigrup, serta e merupakan identitas kiri dari (G,∗), serta a0 ∈Gmerupakan invers kiri dari a∈G, sedangkana00 ∈Gmerupakan invers kiri dari a0 tersebut, maka a∗a0 = e∗a∗a0 = a00 ∗a0∗a∗a0 = a00∗e∗a0 = a00∗a0 = e, sehingga dalam hal ini a0 tersebut juga merupakan invers kanan dari a tersebut. Jadi, setiap a ∈ G memiliki invers dalam semigrup (G,∗). Apabila e merupakan identitas kiri dari semigrup (G,∗), serta a−1 G merupakan invers dari a G dalam semigrup (G,), maka karena

a∗e = a∗a−1 a =ea =a, tentu saja e tersebut juga merupakan identitas kanan dari

semigrup (G,∗). Sebaliknya, apabila semigrup (G,∗) memiliki identitas sedemikian rupa sehingga semua a ∈ G memiliki invers menurut operasi biner ∗, maka tentu saja semigrup (G,∗) memenuhi semua syarat pada Batasan 2.2.3.

Apabila G merupakan sebuah himpunan, di mana (G,∗) merupakan sebuah grup, maka invers dari g ∈G dapat dinyatakan sebagaig−1∗ ∈G, sedangkan identitas dari (G,∗) dapat dinyatakan sebagai e∗. 3

Teorema 2.2.2. Seandainya G merupakan sebuah himpunan, di mana (G,∗) merupakan sebuah grup, maka untuk setiapa, b∈G, berlaku kaitan (a∗b)−1∗ =b−1∗∗a−1∗.

Bukti. Karenaa∗b=a∗b, makaa−1∗ab =e

∗∗b =b, lalub−1∗a−1∗∗a∗b =b−1∗∗b=e∗,

padahal (a∗b)−1∗ ab = e

∗ juga, sehingga (a∗b)−1∗ = b−1∗a−1∗. Demikian pula, karena

a∗b =a∗b, maka a∗b∗b−1∗ =a∗e∗ =a, lalu a∗b∗b−1∗∗a−1∗ =a∗a−1∗ =e∗, padahal

a∗b∗(a∗b)−1∗ =e∗ juga, sehingga (a∗b)−1∗ =b−1∗∗a−1∗.

3

(13)

12 BAB 2. SISTEM ALJABAR, ALJABAR ASOSIATIF, MODUL, DAN MATRIKS Batasan 2.2.4. Seandainya G adalah suatu himpunan, dan (G,∗) merupakan grup, serta G0 merupakan himpunan bagian dari G, maka (G0,∗) disebut sebagai subgrup bagi (G,∗) apabila (G0,∗) merupakan grup.

2.2.3 Gelanggang (Ring)

Sistem aljabar murni (R,+,·) disebut sebagai gelanggang (ring) apabila

• (R,+) merupakan grup komutatif,

• (R,·) merupakan semigrup, serta

• operasi biner · bersifat distributif kiri-kanan terhadap operasi biner +, yaitu bahwa a·(b+c) = (a·b) + (a·c) dan (a+b)·c= (a·c) + (b·c)

untuk setiapa, b, c∈R.

Di sini, + dan ·berturut-turut merupakan operasi penjumlahan dan perkalian pada gelang-gang (R,+,·). Dalam hal ini, identitas dari grup komutatif (R,+) biasanya ditulis sebagai 0, yang disebut sebagai unsur nol dari gelanggang (R,+,·). Invers dari a ∈ R dalam grup komutatif (R,+) biasanya ditulis sebagai −a, di mana a+ (−a) = 0. Tentu saja, −0 = 0. Selain itu, dapat juga didefinisikan operasi pengurangan, yaitu−, pada gelanggang (R,+,·), sedemikian rupa sehingga a−b:=a+ (−b). Oleh karena itu, 0 =a−a untuk setiapa ∈R.

Teorema 2.2.3. ApabilaRmerupakan sebuah himpunan, serta (R,+,·) merupakan sebuah gelanggang, maka untuk semua a, b, c∈R, berlaku

1. a·0 = 0 = 0·a,

2. a·(−b) = −(a·b) = (−a)·b, 3. a·(b−c) = (a·b)−(a·c), dan 4. (a−b)·c= (a·c)−(a·b).

Bukti. Karena a · b = a · (b + 0) = (a· b) + (a · 0), maka a ·0 = 0. Karena a · b = (a+ 0)·b = (a·b) + (0·b), maka 0·b = 0. Jadi, a·0 = 0 = 0·a. Karena a·0 = 0, maka a·(b+ (−b)) = (a·b) + (a·(−b)) = 0, sehinggaa·(−b) =−(a·b). Karena 0·b = 0, maka (a+(−a))·b = (a·b)+((−a)·b), sehingga (−a)·b=−(a·b). Jadi,a·(−b) =−(a·b) = (−a)·b. Oleh karena itu,a·(b−c) = a·(b+(−c)) = (a·b)+(a·(−b)) = (a·b)+(−(a·b)) = (a·b)−(a·b), serta (a−b)·c= (a+ (−b))·c= (a·c) + ((−b)·c) = (a·c) + (−(b·c)) = (a·c)−(b·c).

Apabila semigrup (R,·) ternyata memiliki identitas 1 ∈ R, maka gelanggang (R,+,·) dikatakan memiliki unsur 1∈R di mana 1·a=a·1 =a untuk setiap a∈R.

Batasan 2.2.5. Gelanggang (R,+,·) dikatakan komutatif apabila semigrup (R,·) meru-pakan grup komutatif.

Batasan 2.2.6. Gelanggang (R,+,·) dikatakan beridentitas apabila semigrup (R,·) memi-liki identitas.

Batasan 2.2.7. Apabila R merupakan sebuah himpunan di mana (R,+,·) merupakan gelanggang komutatif, maka setiap r∈R disebut sebagai skalar.

Batasan 2.2.8. Gelanggang (R,+,·) disebut sebagai gelanggang divisi apabila semigrup (R− {0},·) merupakan grup. Gelanggang divisi (R,+,·) disebut sebagai lapangan apabila grup (R− {0},·) komutatif.

(14)

2.3. ALJABAR ASOSIATIF 13

Apabila (F,+,·) merupakan sebuah lapangan dengan unsur nolnya dan unsur satunya berturut-turut adalah 0∈F dan 1∈F, maka invers daria∈F, maka invers daria∈F−{0}

dapat dinyatakan sebagaia−1 ∈F−{0}di manaa−1·a=a·a−1 = 1 untuk setiapa ∈F−{0}. Oleh karena itu, dapat didefinisikan ungkapan pembagian pada lapangan (F,+,·) sedemikian rupa sehingga a/b :=b−1·a≡a·b−1 untuk setiap a∈F dan b∈F − {0}.

Masalah 2.2.1. Apakah gelanggang (Q,+,·), di mana + dan · berturut-turut merupakan operasi penjumlahan dan perkalian biasa, merupakan lapangan?

Batasan 2.2.9. SeandainyaR1danR2merupakan dua buah himpunan, di mana (R1,⊕1,1)

dan (R2,⊕2,2) merupakan dua buah gelanggang, maka pemetaan f : R1 →R2 disebut

se-bagai homomorfisme gelanggang apabilaf(r⊕1s) =f(r)⊕2f(s) danf(r1s) =f(r)2f(s)

untuk setiap r, s∈R1.

2.3

Aljabar Asosiatif

Seandainya (A,⊕,) merupakan sebuah gelanggang, dan (R,+,·) merupakan gelanggang komutatif dengan identitas 1R, maka ((A,⊕,),(R,+,·),◦) disebut sebagai aljabar asosiatif

4 di atas gelanggang komutatif (R,+,·), alias aljabar-R, 5 apabila terdapat pemetaan f :

R×A →A : (α, x)7→α◦x sedemikian rupa sehingga

• (α+β)◦x= (α◦x)⊕(β◦x) untuk semua α, β ∈R dan x∈A,

• α◦(x⊕y) = (α◦x)⊕(α◦y) untuk semuaα∈R dan x, y ∈A,

• (α·β)◦x=α◦(β◦x) untuk semua α, β ∈R dan x∈A,

• 1R◦x=xuntuk semua x∈A, serta

• α◦(xy) = (α◦x)y=x(α◦y) untuk semua α∈R dan x, y ∈A.

Pemetaanf : R×A→A : (α, x)7→α◦xyang memenuhi kelima syarat tersebut disebut se-bagai perkalian dengan skalar. Apabila gelanggang (A,⊕,) tadi beridentitas, maka aljabar ((A,⊕,),(R,+,·),◦) tadi dikatakan unital. Apabila gelanggang (A,⊕,) tadi komutatif, maka aljabar ((A,⊕,),(R,+,·),◦) tadi dikatakan komutatif.

Batasan 2.3.1. Apabila ((A,⊕,),(F,+,·),◦) adalah aljabar di atas gelanggang (F,+,·), di mana gelanggang (F,+,·) merupakan lapangan, maka ((A,⊕,),(F,+,·),◦) disebut se-bagai aljabar asosiatif di atas lapangan (F,+,·).

2.4

Modul

Seandainya (R,+,·) merupakan sebuah gelanggang, serta (M,⊕) merupakan sebuah grup komutatif, maka ((M,⊕),(R,+,·),◦) disebut sebagai modul-R kiri alias modul kiri di atas gelanggang (R,+,·) apabila terdapat pemetaanf : R×M →M(α, m)7→α◦m sedemikian rupa sehingga

• r◦(m⊕n) = (r◦m)⊕(r◦n) untuk setiap r ∈R dan m, n∈M,

• (r+s)◦m= (r◦m)⊕(s◦m) untuk setiap r, s∈R dan m∈M, serta 4Barangkali, aljabar asosiatif itu dapat dikatakan secara lebih ringkas sebagai aljabar.

5

Dalam hal ini, biasanya, (A,⊕,) itu sendiri disebut sebagai aljabar asosiatif di atas (R,+,·). Bahkan, apabila himpunanAdanR serta operasi biner⊕,, +,·, dan◦tersebut telah biasa dipakai, maka sering kali himpunanA

(15)

14 BAB 2. SISTEM ALJABAR, ALJABAR ASOSIATIF, MODUL, DAN MATRIKS

• (r·s)◦m=r◦(s◦m) untuk setiap r, s∈R dan m∈M.

Apabila ternyata (R,+,·) memiliki identitas 1∈ R, maka agar supaya ((M,⊕),(R,+,·),◦) dapat disebut sebagai R-modul kiri, haruslah dipenuhi syarat bahwa

• 1◦m=m untuk setiapm ∈M.

Pemetaanf : R×M →M : (r, m)7→r◦m yang memenuhi ketiga syarat pertama disertai syarat khusus tambahan tersebut, disebut sebagai perkalian dengan skalar.

Batasan 2.4.1. Apabila ((V,⊕),(F,+,·),◦) adalah modul kiri di atas gelanggang (F,+,·), di mana gelanggang (F,+,·) merupakan lapangan, maka ((V,⊕),(F,+,·),◦) disebut sebagai ruang vektor di atas lapangan (F,+,·).

Batasan 2.4.2. ApabilaV dan F merupakan himpunan di mana ((V,⊕),(F,+,·),◦) meru-pakan ruang vektor di atas lapangan (F,+,·), maka semua v ∈V disebut sebagai vektor.

Batasan 2.4.3. Seandainya V0 merupakan himpunan bagian dari himpunanV, sedemikian rupa sehingga ((V,⊕),(F,+,·),◦) merupakan ruang vektor di atas lapangan (F,+,·), maka ((V0,⊕),(F,+,·),◦) disebut sebagai sub-ruang-vektor dari ruang vektor ((V,⊕),(F,+,·),◦) apabila ((V0,⊕),(F,+,·),◦) merupakan ruang vektor.

Batasan 2.4.4. Seandainya V1, V2, danF merupakan himpunan sedemikian rupa sehingga

((V1,⊕1),(F,+,·),◦1) dan ((V2,⊕2),(F,+,·),◦2) merupakan dua buah ruang vektor di atas

lapangan (F,+,·), maka pemetaan f : V1 → V2 disebut sebagai pemetaan linier apabila

(( domf,⊕1),(F,+,·),◦1) merupakan sub-ruang-vektor dari ((V1,⊕1),(F,+,·),◦1), serta

f((α◦1v)⊕1(β◦1w)) = (α◦2f(v))⊕2(β◦2f(w))

untuk setiap v, w∈ domf ⊆V1 dan α, β ∈F.

Batasan 2.4.5. Seandainya V dan F merupakan himpunan sedemikian rupa sehingga ((V,⊕),(F,+,·),◦) merupakan ruang vektor di atas lapangan (F,+,·), maka pemetaan f : V → F disebut sebagai fungsi linier apabila (( domf,⊕),(F,+,·),◦) merupakan sub-ruang-vektor dari ((V,⊕),(F,+,·),◦), sertaf((α◦v)⊕(β◦w)) = (α·f(v)) + (β·f(w)) untuk setiap v, w∈ domf ⊆V dan α, β ∈F. Ruang vektor ((V∗,⊕∗),(F,+,·),), denganV:=

{f | f : V → F pemetaan linier}, disebut ruang vektor jodoh bagi ((V,⊕),(F,+,·),◦), di mana operasi⊕∗ dandidefinisikan sedemikian rupa sehingga (f

1⊕∗f2)(v) = f1(v)⊕f2(v)

dan (α◦∗f)(v) =αf(v) untuk setiap f

1, f2, f ∈V∗, v ∈V, dan α∈F.

Batasan 2.4.6. SeandainyaV danV0merupakan himpunan di mana ((V,),(F,+,·),◦) dan ((V0,0),(F,+,·),◦0) merupakan ruang vektor di atas lapangan (F,+,·), maka pemetaanf :

(V)nV0 disebut sebagai pemetaan linier berderajatn apabilaf(v

1, . . . , vjwj, . . . , vn) =

f(v1, . . . , vn) 0 f(v1, . . . , wj, . . . , vn) dan f(α ◦v1, . . . , α ◦ vn) = α ◦0 f(v1, . . . , vn) untuk

setiap (v1, . . . , vn),(v1, . . . , wj, . . . , vn) ∈ domf untuk setiap j ∈ {1, . . . , n}, serta untuk

setiap α∈F.

Batasan 2.4.7. Seandainya V dan F merupakan himpunan di mana ((V,),(F,+,·),◦) merupakan ruang vektor di atas lapangan (F,+,·), maka pemetaan f : (V)n F disebut

sebagai forma-n apabilaf(v1, . . . , vjwj, . . . , vn) =f(v1, . . . , vn) +f(v1, . . . , wj, . . . , vn) dan

f(α◦v1, . . . , α◦vn) =α·f(v1, . . . , vn) untuk setiap (v1, . . . , vn),(v1, . . . , wj, . . . , vn)∈ domf

(16)

2.5. FORMALISME MATRIKS 15

2.5

Formalisme Matriks

Apabila (R,+,·) merupakan sebuah gelanggang, serta ab:=a·b ∈R untuk setiapa, b∈R, maka dapat didefinisikan suatu matriks Aberlarik m×n dengan m, n∈N, yaitu

A=   a11 . . . a1n .. . . .. ... am1 . . . amn  ,

di mana unsur (elemen) baris ke-j kolom ke-kdari matriksAtersebut adalah (A)jk =ajk ∈R.

Himpunan semua matriks m×n, yang unsur-unsurnya merupakan anggota dari himpunan R, dinyatakan sebagai Ml(m×n, R), di mana Ml(n, R) := Ml(n×n, R). Dua buah matriks

A,B ∈ Ml(m ×n, R) dikatakan sama, yaitu A = B, apabila (A)jk = (B)jk untuk setiap

j ∈ {1, . . . , m}dank ∈ {1, . . . , n}, serta dikatakan tidak sama, yaituA6=B, apabila terdapat j ∈ {1, . . . , m} dan k ∈ {1, . . . , n} sedemikian rupa sehingga (A)jk 6= (B)jk. Transpos dari

matriks A ∈ Ml(m×n, R) adalah matriks AT ∈ Ml(n×m, R) sedemikian rupa sehingga (AT)jk = (A)kj untuk setiap j ∈ {1, . . . , n} dan k ∈ {1, . . . , m}. Karena untuk semua j ∈

{1, . . . , m} dan k ∈ {1, . . . , n} serta A∈Ml(m×n, R), berlaku ((AT)T)jk = (AT)kj = (A)jk,

maka (AT)T =A. Konjugat dan konjugat Hermite dari matriks A∈Ml(m×n,C) berturut-turut adalahA∗ ∈Ml(m×n,C) dan A†∈Ml(n×m,C) sedemikian rupa sehingga (A∗)jk =

(A)∗jk dan (A†)kj = (A)jk∗ untuk setiap j ∈ {1, . . . , m} dan k ∈ {1, . . . , n}. Untuk semua

j ∈ {1, . . . , m} dan k ∈ {1, . . . , n} serta A ∈ Ml(m×n,C), berlaku ((A∗)∗)jk = (A∗)∗jk =

((A)∗jk)∗ = (A)jk serta ((A†)†)jk = (A†)∗kj = ((A)∗jk)∗ = (A)jk, sehingga (A∗)∗ = A serta

(A†)†=A. Untuk semuaj ∈ {1, . . . , m}dan k ∈ {1, . . . , n} sertaA∈Ml(m×n,C), berlaku ((AT)∗)jk = (AT)∗jk = (A)

kj = (A

)jk = (A∗)kj = ((A∗)T)jk, maka (AT)∗ =A† = (A∗)T. Lacak

dari matriks A ∈ Ml(n, R) adalah TrA := Pn

j=1(A)jj ∈ R. Apabila (R,+,·) merupakan

gelanggang komutatif, maka determinan dari matriks A∈Ml(n, R) biasa ditulis sebagai

detA≡ (A)11 . . . (A)1n .. . . .. ... (A)n1 . . . (A)nn ∈R,

yang nilainya didefinisikan sebagai detA := n X j1,...,jn=1 j1...jn(A)1j1. . .(A)njn = n X j1,...,jn=1 j1...jn(A)j11. . .(A)jnn = 1 n! n X j1,...,jn,k1,...,kn=1 j1...jnk1...kn(A)j1k1. . .(A)jnkn ∈R.

Apabila (R,+,·) merupakan gelanggang, maka perkalian matriks A∈Ml(m×n, R) dengan α ∈ R dari kiri [dari kanan] menghasilkan matriks αA ∈ Ml(m ×n, R) [Aα ∈ Ml(m ×

n, R)] di mana (αA)jk = α(A)jk [(Aα)jk = (A)jkα] untuk setiap j ∈ {1, . . . , m} dan k ∈

{1, . . . , n}. Apabila (R,+,·) merupakan gelanggang, maka untuk semua j ∈ {1, . . . , m} dan k ∈ {1, . . . , n} serta A∈Ml(m×n, R) dan α∈ R, berlaku ((αA)T)jk = (αA)kj =α(A)kj =

α(AT)jk = (αAT)jk sehingga (αA)T = αAT. Mengingat (C,+,·) merupakan gelanggang,

maka untuk semua j ∈ {1, . . . , m} dan k ∈ {1, . . . , n} serta A ∈ Ml(m×n,C) dan α ∈ R, berlaku ((αA)∗)jk = (αA)∗jk = (α(A)jk)∗ =α∗(A)∗jk =α∗(A ∗ )jk = (α∗A∗)jk serta ((αA)†)kj = (αA)∗jk = (α(A)jk)∗ =α∗(A)∗jk = α ∗(A† )kj = (α∗A†)kj sehingga (αA)∗ = α∗A∗ serta (αA)† =

(17)

16 BAB 2. SISTEM ALJABAR, ALJABAR ASOSIATIF, MODUL, DAN MATRIKS

komutatif, sehingga dapat didefinisikan penjumlahan dua buah matriksA,B∈Ml(m×n, R), yaituA+B∈Ml(m×n, R) sedemikian rupa sehingga (A+B)jk = (A)jk+(B)jk. Penjumlahan

dua buah matriks bersifat komutatif. Untuk setiapA,B∈Ml(m×n, R) sertaj ∈ {1, . . . , m}

dan k ∈ {1, . . . , n}, berlaku ((A+B)T)jk = (A+B)kj = (A)kj + (B)kj = (AT)jk + (BT)jk =

(AT + BT)jk sehingga (A+ B)T = AT + BT. Untuk setiap A,B ∈ Ml(m × n,C) serta

j ∈ {1, . . . , m} dan k ∈ {1, . . . , n}, berlaku ((A+B)∗)jk = (A+B)∗jk = ((A)jk + (B)jk)∗ =

(A)∗jk + (B)∗jk = (A∗)jk + (B∗)jk = (A∗+B∗)jk sehingga (A+B)∗ =A∗+B∗, serta

(A+B)†= ((A+B)T)∗ = (AT+BT)∗ = (AT)∗+ (BT)∗ =A†+B†.

Matriks nol0∈Ml(m×n, R) didefinisikan sedemikian rupa sehingga (0)jk = 0 untuk semua

j ∈ {1, . . . , m} dan k ∈ {1, . . . , n}, di mana A+0 = A untuk semua A ∈ Ml(m ×n, R). Lawan dari matriks A ∈ Ml(m × n, R) adalah matriks −A ∈ Ml(m × n, R) sedemikian rupa sehingga (−A)jk = −(A)jk untuk semua j ∈ {1, . . . , m} dan k ∈ {1, . . . , n}. Matriks

A∈Ml(m×n, R) dikatakan setangkup apabilaAT =A, serta dikatakan anti-setangkup apa-bilaAT =−A. MatriksA∈Ml(m×n,C) disebut sebagai matriks nyata apabilaA∗ =A, serta disebut sebagai matriks khayal apabila A∗ =−A. Matriks A∈Ml(m×n,C) dikatakan her-mitean apabila A† =A, serta dikatakan anti-hermitean apabila A† = −A. Apabila (R,+,·) merupakan gelanggang, maka tentu saja (R,·) merupakan semigrup, sehingga dapat dide-finisikan perkalian matriks A ∈ Ml(m ×n, R) dengan matriks B ∈ Ml(n × p, R), yaitu

AB ∈ Ml(m ×p, R), didefinisikan sedemikian rupa sehingga (AB)jk =

Pn

l=1(A)jl(B)lk

un-tuk semua j ∈ {1, . . . , m} dan k ∈ {1, . . . , p}. Perkalian suatu matriks A ∈ Ml(n, R) dengan dirinya sendiri sebanyak n faktor, biasa ditulis sebagai An ∈ Ml(n, R). Apabila (R,+,·) merupakan gelanggang komutatif, maka untuk setiap A ∈ Ml(m×n, R) dan B ∈

Ml(n × p, R), serta j ∈ {1, . . . , m} dan k ∈ {1, . . . , p}, berlaku ((AB)T)jk = (AB)kj =

Pn l=1(A)kl(B)lj = Pn l=1(B T )jl(AT)lk = (BTAT)jk, sehingga (AB)T = BTAT. Karena (C,+,·)

merupakan gelanggang komutatif, maka untuk setiapA∈Ml(m×n,C) danB∈Ml(n×p,C), serta j ∈ {1, . . . , m} dan k ∈ {1, . . . , p}, berlaku ((AB)∗)jk = (AB)∗jk = (

Pn l=1(A)jl(B)lk) ∗ = Pn l=1(A) ∗ jl(B) ∗ lk = Pn l=1(A ∗ )jl(B∗)lk = (A∗B∗)jk sehingga (AB)∗ = A∗B∗, serta (AB)† = ((AB)T)= (BTAT)= (BT)(AT)= B

A†. Apabila gelanggang (R,+,·) memiliki unsur satu 1 ∈ R, maka matriks identitas 1 ∈ Ml(n, R) didefinisikan sedemikian rupa sehingga (1)jk = δjk untuk setiap j, k ∈ {1, . . . , n}, di mana 1A = A ∈ Ml(n × p, R) untuk

se-tiap A ∈ Ml(n ×p, R), serta B1 = B ∈ Ml(m ×n, R) untuk setiap B ∈ Ml(m ×n, R). Apabila (R,+,·) merupakan gelanggang komutatif beridentitas, maka swanilai dari matriks

A∈Ml(n, R) adalah semua µA ∈R sedemikian rupa sehingga det(A−µA1) = 0, sedangkan

swavektor dari swanilai µA tersebut adalah semua matriks B ∈ Ml(n × p, R) sedemikian

rupa sehingga AB=µAB, atau semua matriks C∈ Ml(m×n, R) sedemikian rupa sehingga CA = µAC. Invers dari matriks A ∈ Ml(m ×n, R) adalah matriks A

−1

Ml(n ×m, R) sedemikian rupa sehingga A−1A = 1n ∈ Ml(n, R) serta AA−1 = 1m ∈ Ml(m, R), sehingga

tentu saja (A−1)−1 = A. Karena untuk setiap A ∈ Ml(m × n, R), B ∈ Ml(n, R), dan

C∈Ml(n×p, R), serta untuk setiap j ∈ {1, . . . , m} dan k ∈ {1, . . . , p}, berlaku ((AB)C)jk = n X l=1 (AB)jl(C)lk = n X l,q=1 (A)jq(B)ql(C)lk = n X q=1 (A)jq(BC)qk= (A(BC))jk,

maka dapat dikatakan (AB)C =A(BC), sehingga tanda kurung pada ungkapan terakhir ini boleh dihilangkan mengingat perkalian matriks ternyata bersifat asosiatif. KarenaAB=AB

untuk setiap A ∈ Ml(m ×n, R) dan B ∈ Ml(n × p, R), maka A−1AB = 1nB = B, lalu

B−1A−1AB = B−1B = 1p, padahal (AB)−1AB = 1p, sehingga (AB)−1 = B

−1

A−1. Karena

AB = AB untuk setiap A ∈Ml(m×n, R) dan B ∈ Ml(n×p, R), maka ABB−1 =A1n = A,

(18)

2.5. FORMALISME MATRIKS 17

untuk setiap A∈ Ml(m×n, R) dan B,C ∈Ml(n×p, R), serta untuk setiap j ∈ {1, . . . , m}

dan k ∈ {1, . . . , p}, berlaku (A(B+C))jk = Pn l=1(A)jl(B+C)lk = Pn l=1(A)jl((B)lk+ (C)lk) = Pn l=1(A)jl(B)lk+ Pn

l=1(A)jl(C)lk = (AB)jk + (AC)jk = (AB+AC)jk, maka dapat dikatakan

A(B+C) = AB+AC. Karena untuk setiapA,B∈Ml(m×n, R) danC∈Ml(n×p, R), serta untuk setiapj ∈ {1, . . . , m}dank ∈ {1, . . . , p}, berlaku ((A+B)C)jk =

Pn l=1(A+B)jl(C)lk= P l=1((A)jl+ (B)jl)(C)lk= Pn l=1(A)jl(C)lk+ Pn l=1(B)jl(C)lk= (AC)jk+ (BC)jk = (AC+BC)jk,

maka dapat dikatakan (A+B)C =AC+BC. Apabila (R,+,·) merupakan gelanggang, maka untuk setiap A,B ∈ Ml(n, R) dan α ∈ R, berlaku Tr (AT) = Pn

j=1(A T) jj = Pnj=1(A)jj = TrA dan Tr (A+B) = Pn j=1(A+B)jj = Pn j=1((A)jj + (B)jj) = Pn j=1(A)jj + Pn j=1(B)jj = TrA+ TrB, serta Tr (αA) = Pn j=1(αA)jj =α Pn j=1(A)jj =αTrA, dan det(AT) = n X j1,...,jn=1 j1...jn(A T) j11. . .(A T) jnn= n X j1,...,jn=1 j1...jn(A)1j1. . .(A)njn = detA.

Apabila (R,+,·) merupakan gelanggang komutatif, maka untuk setiap A,B∈Ml(n, R) dan α∈R, berlaku Tr (AB) = n X j=1 (AB)jj = n X j,k=1 (A)jk(B)kj = n X k,j=1 (B)kj(A)jk = n X k=1 (BA)kk = Tr (BA), det(αA) = n X j1,...,jn=1 j1...jn(αA)j11. . .(αA)jnn= n X j1,...,jn=1 j1...jnα(A)j11. . . α(A)jnn = αn n X j1,...,jn=1 j1...jn(A)j11. . .(A)jnn =α ndetA, det(AB) = n X j1,...,jn=1 j1...jn(AB)j11. . .(AB)jnn = n X j1,...,jn,k1,...,kn=1 j1...jn(A)j1k1(B)k11. . .(A)jnkn(B)knn = n X j1,...,jn,k1,...,kn=1 j1...jn(A)j1k1. . .(A)jnkn(B)k11. . .(B)knn = (detA) n X k1,...,kn=1 k1...kn(B)k11. . .(B)knn= (detA)(detB).

Karena (C,+,·) merupakan gelanggang, maka untuk setiapA∈Ml(n,C), berlaku Tr (A∗) =

Pn j=1(A ∗ )jj =Pnj=1(A)∗jj = ( Pn j=1(A)jj) ∗ = ( TrA)dan Tr (A† ) = Tr ((AT)∗) = ( Tr (AT))∗ = ( TrA)∗ = Tr (A∗), serta det(A∗) = n X j1,...,jn=1 j1...jn(A ∗ )j11. . .(A ∗ )jnn= n X j1,...,jn=1 j1...jn(A) ∗ j11. . .(A) ∗ jnn = n X j1,...,jn=1 j1...jn(A)j11. . .(A)jnn !∗ = (detA)∗,

(19)

18 BAB 2. SISTEM ALJABAR, ALJABAR ASOSIATIF, MODUL, DAN MATRIKS

dan det(A†) = det((AT)∗) = (det(AT))∗ = (detA)∗ = det(A∗). Apabila (R,+,·) merupakan gelanggang komutatif, maka minor dari unsur (A)jk milik suatu matriksA∈Ml(n, R)

dinya-takan sebagai min(A)jk ∈R yang merupakan determinan suatu matriks A0jk ∈Ml(n−1, R)

yang diperoleh dari matriksA∈Ml(n, R) yang unsur-unsur pada baris ke-j kolom ke-k -nya dihilangkan, sehingga detA = Pn

j=1(−1) j+k(A) jkmin(A)jk = Pn j=1(−1) j+k(A) kjmin(A)kj

untuk salah satu k ∈ {1, . . . , n}. Apabila (F,+,·) merupakan lapangan, maka kofaktor dari matriks A ∈ Ml(n, F) adalah cofA ∈ Ml(n, F) sedemikian rupa sehingga ( cofA)jk =

(−1)j+kmin(A)

jk untuk setiap j, k ∈ {1, . . . , n}, sedangkan adjoin dari matriks A

terse-but adalah adjA := ( cofA)T, di mana ternyata A−1

= adjA/detA, sehingga karena

A−1A=AA−1 =1, maka ( adjA)A=A( adjA) = (detA)1.

Apabila (F,+,·) merupakan lapangan, maka biasanya didefinisikan beberapa himpunan matriks yang memiliki sifat tertentu, yaitu

• Gl(n, F) :={A∈Ml(n, F) | detA6= 0} yang merupakan himpunan matriks umum,

• Sl(n, F) :={A∈Gl(n, F) | detA= 1} yang merupakan himpunan matriks khusus,

• O(n) :={A∈Gl(n,R) | AT=A−1} yang merupakan himpunan matriks ortogonal,

• U(n) := {A∈Gl(n,C) |A†=A−1} yang merupakan himpunan matriks uniter,

• SO(n) := Sl(n,R)∩O(n) yang merupakan himpunan matriks ortogonal khusus,

• SU(n) := Sl(n,C)∩U(n) yang merupakan himpunan matriks uniter khusus,

(20)

Bab 3

Lapangan Nyata

Gelanggang (R,+,·), dengan + dan · berturut-turut merupakan operasi penjumlahan dan perkalian biasa pada R, ternyata merupakan lapangan, di mana ab := a·b untuk setiap a, b ∈ R. Unsur nol dan unsur satu dari gelanggang tersebut berturut-turut adalah 0 ∈ R

dan 1∈R, sehingga dapat didefinisikan operasi pengurangan− maupun operasi pembagian /sedemikian rupa sehinggaa−b :=a+ (−b) untuk semuaa, b∈R, serta a/b :=b−1auntuk

semua a∈Rdanb ∈R− {0}, di manab−1

Rmerupakan invers perkalian darib ∈R− {0} dalam lapangan (R,+,·).

3.1

Limit Fungsi

Untuk f, g : RR dan h : R2 →R, serta a∈R, berlaku

• lim

x→a+f(x) =f(a+) untuk >0 sekecil-kecilnya,

• lim

x→a−f(x) = f(a−) untuk >0 sekecil-kecilnya,

• lim

x→af(x)∈Rada apabila limx→a+f(x) = limxa−f(x),

• lim x→af(x) =f(a) apabila f(a)∈R ada, • lim x→af(g(x)) =f lim x→ag(x) apabila lim x→ag(x)∈R ada, serta • lim x→ah(f(x), g(x)) = h lim x→af(x),xlim→ag(x) apabila lim

x→af(x)∈R dan limx→ag(x)∈R ada.

(21)

Bab 4

Lapangan Kompleks

4.1

Bilangan Kompleks

Himpunan bilangan kompleks C merupakan hasil kali Cartesis antara himpunan bilangan nyata R dengan dirinya sendiri, sehingga dapat dikatakan bahwa C :=R2. Bilangan

kom-pleksz := (x, y)∈Cmerupakan pasangan berurutan dari dua buah bilangan nyatax, y ∈R, di mana biasanyaxdanyberturut-turut merupakan bagian nyata dan bagian khayal dariz. Apabila x= rcosθ dan y=rsinθ, dengan r∈ R+∪ {0

R} dan θ ∈ R, makar :=

p

x2+y2

dan θ := arctan2(x, y) + 2nπ, dengan n ∈ Z, berturut-turut merupakan modulus dan ar-gumen (sudut) dari z. Oleh karena itu, terdapat empat buah pemetaan proyeksi, yaitu Re : CR, Im : CR, mod : CR+∪{0

R}, dan arg : C→R, sedemikian rupa se-hingga Rez, Imz, mod z ≡ |z|, dan argz berturut-turut merupakan bagian nyata, bagian khayal, modulus, dan argumen dari z, sehingga terdapat hubungan Rez =|z|cos argz dan Imz =|z|sin argz, serta |z| =p( Rez)2+ ( Imz)2 dan argz := arctan

2( Rez, Imz) + 2nπ,

dengann ∈Z. 1

Konjugat kompleks dari z ∈ C adalah z∗ ∈ C sedemikian rupa sehingga Re (z∗) = Re (z) dan Im (z∗) = −Im (z), atau dengan kata lain, |z∗| = |z| dan arg(z∗) = −argz. Penjumlahan dua buah bilangan kompleksa, b∈C, yaitua+b∈C, didefinisikan sedemikian rupa sehingga Re (a+b) = Rea+ Rebdan Im (a+b) = Ima+ Imb, sedangkan perkaliannya, yaitu ab ∈ C, didefinisikan sedemikian rupa sehingga Re (ab) = ReaReb− ImaImb dan Im (ab) = ReaImb+ ImaReb. 2 Terdapat pula hubungan

(a+b)∗ =a∗+b∗, (ab)∗ =a∗b∗, serta |z|2 =z

z.

Perkalian suatu bilangan kompleksz ∈Cdengan suatu bilangan nyataα∈R, yaituαz ∈C, didefinisikan sedemikian rupa sehingga Re (αz) = αRez dan Im (αz) =αImz.

Himpunan {1, i} ⊂ C, dengan 1 := (1,0) ∈ C dan i := (0, 1) ∈ C, merupakan basis alamiah pada C, sehingga untuk setiap x, y ∈R, berlaku

(x, y) = (x,0) + (0, y) = (1, 0)(x,0) + (0, 1)(y,0) =x+iy.

Tampak pula bahwa 12 = (1,0) = 1 dan i2 = (−1, 0) = −(1, 0) = −1. Unsur identitas dan unsur nol padaCberturut-turut adalah 1 := (1, 0)∈C dan 0 := (0, 0)∈C, sehingga untuk setiap bilangan kompleks z ∈ C, berlaku 1z = z dan z+ 0 = z. Lawan dari z ∈ C adalah

−z ∈ C sedemikian rupa sehingga z + (−z) = 0, sedangkan kebalikannya adalah z−1

C sedemikian rupa sehingga z−1z = 1. Dengan demikian 0

C tidak memiliki kebalikan. 1

Nilai dari argz tidaklah tunggal untuk setiapz∈C.

2Dapat ditunjukkan bahwa penjumlahan dan perkalian antara dua buah kompleks semacam ini bersifat komutatif maupun asosiatif, dan ternyata juga bersifat distributif kiri maupun kanan.

(22)

4.2. FUNGSI KOMPLEKS 21

Pengurangan dan pembagian pada C berturut-turut didefinisikan sedemikan rupa sehingga a−b :=a+(−b) dana/b :=b−1auntuk setiapa, b

C, sehinggaa−a= 0 untuk setiapa∈C, dan a/a = 1 untuk setiap a ∈ C− {0}. Karena C disertai konsep penjumlahan semacam tadi membentuk suatu grup penjumlahan, serta C− {0}disertai konsep perkalian semacam tadi membentuk suatu grup perkalian yang komutatif, makaCdisertai konsep penjumlahan dan perkalian semacam tadi membentuk suatu lapangan, yaitu lapangan kompleks.

Karena untuk setiap z ∈C, berlaku

cos argz = ∞ X j=0 1 j!(argz) jcos

2 dan sin argz =

∞ X j=0 1 j!(argz) jsinjπ 2 , maka tentu saja

cos argz = ∞ X j=0 1 j!(iargz) j cos2 jπ

2 dan isin argz =

∞ X j=0 1 j!(iargz) j sin2 jπ 2 , sehingga

cos argz+isin argz =

∞ X j=0 1 j!(iargz) j cos2 jπ 2 + sin 2 jπ 2 = ∞ X j=0 1 j!(iargz) j =eiargz.

4.2

Fungsi Kompleks

Apabila S merupakan suatu himpunan tak kosong, maka semua pemetaan f : S → C

merupakan fungsi kompleks. Apabila S =C, maka f tersebut merupakan fungsi pada C. 3 Fungsi fR : RRberpadanan dengan fungsi fC : CC, di mana

fC(z) := lim x→0 ∞ X j=0 1 j!f (j) R (x)z j dengan f(j) R (x) := dj dxjfR(x),

sehingga sifat-sifat dari fC serupa dengan sifat-sifat dari fR, hanya saja, beberapa dari fC tidak bernilai tunggal, mengingat e2niπ = 1 untuk setiap n

Z. Fungsi fC yang tidak bernilai tunggal ini disebut sebagai fungsi bernilai banyak, misalnya fungsi logaritma, fungsi pangkat pecahan, fungsi kebalikan trigonometri, dan sebagainya. Mengingat semua z ∈ C

dapat diproyeksikan ke R, maka semua fungsi kompleks f : Cn

C dapat diproyeksikan menjadi f0 : Cn

R.

Teorema 4.2.1. Untuk semuaa, θ ∈Rdann∈Z, berlaku Rea =a, Ima= 0,|a|=asgna, a∗ =a, serta arga =      2nπ jika a >0 θ jika a= 0 (2n+ 1)π jika a <0 .

Teorema 4.2.2. Untuk semuaa, b∈C dan n∈Z, berlaku

• Rea+iIma =|a|eiarga=a,

3

Misalkan fungsi Ψ : Rn →C memetakan sebagianr∈ Rn menjadi Ψ(r) ∈ C. Sering kali, demi kepraktisan, nilai Ψ(r) ini ditulis sebagai Ψ saja. Padahal Ψ(r) di sini merupakan bayangan dari r∈Rn diC, sedangkan Ψ itu sendiri merupakan pemetaannya, atau secara lebih khusus, merupakan fungsinya. Oleh karena itu, sering kali Ψ dan Ψ(r) disetarakan demi kepraktisan, dengan menyatakan bahwa Ψ = Ψ(r), sehingga Ψ(r0), yang nilainya tidak sama dengan Ψ(r), tidaklah bernilai Ψ.

(23)

22 BAB 4. LAPANGAN KOMPLEKS

• |a|=p( Rea)2+ ( Ima)2 dan arga = arctan

2( Rea, Imb) + 2nπ,4

• Re (a∗) = Rea, Im (a∗) =−Ima,|a∗|=|a|, arg(a∗) =−arga, dan (a∗)∗ =a,

• Re (a+b) = Rea+ Reb dan Im (a+b) = Ima+ Imb,

• Re (ab) = ReaReb− ImaImb dan Im (ab) = ReaImb+ ImaReb,

• |ab|=|a||b| dan arg(ab) = arga+ argb,

• a+a∗ = 2 Rea dan a−a∗ = 2iIma, • (a+b)∗ =a∗+b∗, (ab)∗ =a∗b∗, dan |a|2 =aa, • |a+b|2 =|a|2+|b|2+ 2( ReaReb+ ImaImb), • Re a b = ReaReb+ ImaImb ( Rea)2+ ( Ima)2 dan Im a b = ImaReb− ReaImb ( Rea)2+ ( Ima)2 ,

• |a/b|=|a|/|b| dan arg(a/b) = arga−argb,

• |ea|=|eRea| dan arg(ea) = Ima+ arg(eRea),5

• Re lna= Ln|a| dan Im lna = arga, 6

• |ab|=||a|Rebe−argaImb| dan arg(ab) = argaReb+ Ln|a|Imb+ arg(|a|Rebe−argaImb),

• Re (alogb) = Ln|a|Ln|b|+ argaargb

( Ln|a|)2+ (arga)2 dan Im (

alogb) = Ln|a|argb−argaLn|b|

( Ln|a|)2+ (arga)2 ,

• Re sina= sin Reacosh Ima dan Im sina = cos Reasinh Ima,

• Re cosa= cos Reacosh Ima dan Im cosa=−sin Reasinh Ima,

• Re tana= tan Reasech

2Ima

1 + tan2 Reatanh2 Ima dan Im tana=

sec2 Reatanh Ima 1 + tan2 Reatanh2 Ima,

• Re cota= cot Reacsch

2Ima

cot2 Rea+ coth2 Ima dan Im cota=−

csc2 Reacoth Ima

cot2 Rea+ coth2 Ima,

• Re seca= sec Reasech Ima

1 + tan2 Reatanh2 Ima dan Im seca=

sec Reatan Reasech Imatanh Ima 1 + tan2 Reatanh2 Ima ,

• Re csca= csc Reacsch Imacoth Ima

cot2 Rea+ coth2 Ima dan Im csca=−

csc Reacot Reacsch Ima cot2 Rea+ coth2 Ima ,

• Re sinha= sinh Reacos Ima dan Im sinha= cosh Reasin Ima,

• Re cosha= cosh Reacos Ima dan Im cosha= sinh Reasin Ima,

• Re tanha= tanh Reasec

2 Ima

1 + tanh Reatan2 Ima dan Im tanha=

sech2Reatan Ima 1 + tanh Reatan2 Ima,

• Re cotha= coth Reacsc

2 Ima

coth2 Rea+ cot2 Ima dan Im cotha=−

csch2Reacot Ima coth2 Rea+ cot2 Ima,

4Di sini,p

( Rea)2+ ( Ima)2 selalu merupakan bilangan nyata tak negatif. 5

Dalam hal ini, arge= 0 dianggap sebagai satu-satunya kemungkinan. 6Fungsi Ln :

R+→Rbekerja pada|a|dengan menganggap arg|a|= 0 dianggap sebagai satu-satunya kemung-kinan.

(24)

4.2. FUNGSI KOMPLEKS 23

• Re secha = sech Reasec Ima

1 + tanh2 Reatan2 Ima dan Im secha=

sech Reatanh Reasec Imatan Ima 1 + tanh2 Reatan2 Ima ,

• Re cscha = csch Reacsc Imacot Ima

coth2 Rea+ cot2 Ima dan Im cscha=−

csch Reacoth Reacsc Ima coth2 Rea+ cot2 Ima ,

• Re arcsina= arg(ia±√1−a2) dan Im arcsina=Ln|ia±1a2|,

• Re arccosa= arg(a±√a21) dan Im arccosa=Ln|a±a21|,

• Re arctana = arg r 1 +ia 1−ia dan Im arctana=−Ln r 1 +ia 1−ia , • Re arccota = arg r a+i a−i dan Im arccota=−Ln r a+i a−i , • Re arcseca= arg 1±√1−a2 z dan Im arcseca =−Ln 1±√1−a2 z , • Re arccsca= arg i±√a21 a dan Im arccsca=−Ln i±√a21 a ,

• Re arcsinha = Ln|a±√a2+ 1|dan Im arcsinha= arg(a±a2+ 1),

• Re arccosha= Ln|a±√a21| dan Im arccosha = arg(a±a21),

• Re arctanha= Ln r 1 +a 1−a

dan Im arctanha = arg ±

r 1 +a 1−a ! , • Re arccotha= Ln r a+ 1 a−1

dan Im arccotha= arg ±

r a+ 1 a−1 ! , • Re arcsecha= Ln 1±√1−a2 z

dan Im arcsecha= arg

1±√1−a2 z , • Re arccscha= Ln 1±√a2+ 1 a

dan Im arccscha = arg 1±

√ a2+ 1 a ! , • dan sebagainya.

Teorema 4.2.3. Setiap ungkapan z, Rez, Imz, z∗, |z|, maupun argz dapat dinyatakan secara tunggal dalam dua ungkapan selain dirinya dari ungkapan-ungkapan tersebut.

Bukti. Untuk semua z ∈C dan n ∈Z, berlaku

z = Rez+iImz= 2 Rez−z∗ = Rez±ip|z|2( Rez)2 = (1 +itan argz) Rez

= 2iImz+z∗ =±p|z|2( Imz)2+iImz = (cot argz+i) Imz = |z| 2

z∗

(25)

24 BAB 4. LAPANGAN KOMPLEKS Rez = z−iImz = 1 2(z+z ∗ ) = 1 2 z+ |z| 2 z = z 1 +itan argz = z∗+iImz =±p|z|2( Imz)2 = Imzcot argz = 1 2 | z|2 z∗ +z ∗ = z ∗

1−itan argz =|z|cos argz,

Imz = i( Rez−z) = 1 2i(z−z ∗ ) = 1 2i z− |z| 2 z = z cot argz+i = i(z∗− Rez) =±p|z|2( Rez)2 = Reztan argz = 1 2i | z|2 z∗ −z ∗ = z ∗

cot argz−i =|z|sin argz,

z∗ = 2 Rez−z=z−2iImz = |z|

2

z =z e

−2iargz = ReziImz

= Rez∓ip|z|2( Rez)2 = (1itan argz) Rez =±p|z|2( Imz)2iImz

= (cot argz−i) Imz =|z|e−iargz,

|z| = pz(2 Rez−z) =pz(z−2iImz) =√zz∗ =z e−iargz =p

( Rez)2+ ( Imz)2

= pz∗(2 Rezz) = Rezsec argz =pz(z+ 2iImz) = Imzcsc argz =z

eiargz, argz = arctan2( Rez, i( Rez−z)) + 2nπ = arctan2(z−iImz, Imz) + 2nπ =

1 2iln z z∗ = 1 i ln z |z| = arctan2( Rez,Imz) + 2nπ = arctan2( Rez, i(z ∗ Rez)) + 2nπ = ±arccos Rez |z| + 2nπ = arctan2(z ∗ +iImz,Imz) + 2nπ = π 2 ± π 2 −arcsin Imz |z| + 2nπ =iln z ∗ |z|.

Masalah 4.2.1. Seandainya untuk setiapz ∈C didefinisikan suatu himpunan A:={z, Rez, Imz, z∗,|z|,argz},

maka tentukan (∂a/∂b)c untuk semua a, b, c∈A.

4.3

Kalkulus pada Lapangan Kompleks

Apabila f : CC, maka turunan ke-n dari f adalahf(n) sedemikian rupa sehingga 7

f(n)(z) := dn dznf(z)≡ d dzf(n−1)(z) dengan f(1)(z) := d dzf(z) := lim∆z→0 ∆f(z) ∆z , di mana ∆f(z) := f(z+ ∆z)−f(z).

7Karena tampilan geometris dari

Cadalah berupa sebuah bidang, maka titik z ∈ Cdapat didekati dari segala arah. Sedangkan ∆z= ∆ Rez+i∆ Imz= [∆|z|+|z|(ei∆ argz−1)]eiargz.

(26)

Bab 5

Formalisme dalam Mekanika

Kuantum

5.1

Hasil Kali Skalar dan Norma

Andaikan H adalah suatu ruang vektor kompleks 1, maka hasil kali skalar dua buah vektor 2 Ψ,Ψ0 ∈ H merupakan suatu skalar hΨ,Ψ0i ∈

C, sedemikian rupa sehingga

• hΨ,Ψ0i∗ =hΨ0,Ψi, denganmenyatakan konjugat kompleks,

• hΨ,Ψi ≥0, di mana hΨ,Ψi= 0 jika dan hanya jika Ψ = 0,

• untuk setiapα ∈C, berlaku hΨ, αΨ0i=αhΨ,Ψ0i, serta

• untuk setiap Ψ00 ∈ H, berlaku hΨ,Ψ0+ Ψ00i=hΨ,Ψ0i+hΨ,Ψ00i.

Dapat pula didefinisikan suatu pemetaan linier Ψ† : H → C yang memetakan Ψ0 ∈ H

menjadi sebuah skalar Ψ†(Ψ0) ≡ Ψ†Ψ0 := hΨ,Ψ0i ∈ C. Demikian pula dapat didefinisikan suatu norma kΨk ≥ 0 sedemikian rupa sehingga kΨk2 := ΨΨ ≡ hΨ,Ψi. Jarak antara Ψ

dan Ψ0 adalahkΨ−Ψ0k ≥0. hαΨ,Ψ0i=hΨ0, αΨi∗ = (αhΨ0,Ψi)∗ =α∗hΨ0,Ψi∗ =α∗hΨ,Ψ0i. hΨ + Ψ0,Ψ00i=hΨ00,Ψ + Ψ0i∗ = (hΨ00,Ψi+hΨ00,Ψ0i)∗ =hΨ,Ψ00i+hΨ0,Ψ00i. kΨ + Ψ0k2 =hΨ + Ψ0,Ψ + Ψ0i = hΨ,Ψi+hΨ,Ψ0i+hΨ0,Ψi+hΨ0,Ψ0i = kΨk2+kΨ0k2+ 2 RehΨ,Ψ0i . kΨ + Ψ0k2 ≥ kΨk2+kΨ0k2.3 kΨk2 = hΨ0,Ψi kΨ0k2 Ψ 0+ Ψ−hΨ 0,Ψi kΨ0k2 Ψ 0 2 = |hΨ 0,Ψi|2 kΨ0k2 + Ψ−hΨ 0,Ψi kΨ0k2 Ψ 0 2 + 2 kΨk2 Re hΨ,Ψ0i Ψ0,Ψ− hΨ 0,Ψi kΨ0k2 Ψ 0 = |hΨ 0,Ψi|2 kΨ0k2 + Ψ−hΨ 0,Ψi kΨ0k2 Ψ 0 2 .

1Ruang vektor kompleks merupakan ruang vektor di atas lapangan C. 2

Di sini, suatu fungsi dianggap sebagai vektor yang merupakan anggota ruang vektor, yang dalam hal ini meru-pakan ruang fungsi yang memenuhi syarat sebagai ruang vektor.

3

Ini merupakan ketaksamaan segitiga.

Referensi

Dokumen terkait

Kelenjar ini se$ara langsung dipengaruhi dan diatur aktifitasnya oleh kadar  hormon tiroid dalam sirkulasi yang bertindak sebagai umpan balik negatif terhadap hormon tiroid

 perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris  contoh pemuatan kata yang tidak penting:.. “Pengalaman dari Praktik Sehari-hari …” atau, “Beberapa Faktor yang

Mengingat struktur punggung bawah yang sangat berdekatan dengan organ lain yang terletak di dalam rongga perut serta rongga pelvis, dan juga mengingat banyaknya faktor penyebab

Konsentrasi COD dengan keberadaan akar wangi selama 61 hari proses remediasi mengalami penurunan dari 3840 mg/L menjadi 24 mg/L (Gambar 5A). Akar wangi umur 75 HST pada

(a) Sebuah gambaran umum dari pesawat yang menekankan karakteristik fisik yang mungkin memiliki pengaruh pada saat pendaratan darurat di air, evakuasi, dan dalam prosedur

Model persamaan parabolik yang diperoleh pada penelitian ini belum dapat menggambarkan hubungan antara lipofilisitas senyawa turunan kuinolon dan aktivitas anti toksoplasma

PERANCANGAN MEDIA BANTU ANAK MENGENAL AJARAN YESUS MELALUI ILUSTRASI DAN BUKU BERDASAR INJIL.. Dengan Studi Kasus