• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENENTUAN FAKTOR PENYEBAB KEMATIAN DINI ANAK SAPI BALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENENTUAN FAKTOR PENYEBAB KEMATIAN DINI ANAK SAPI BALI"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th. 199912000

PENENTUAN FAKTOR PENYEBAB KEMATIAN DINI ANAK SAPI BALI

Kata kunci : Sapi Bali, kematian anak dini, sapi induk

Key words: Bali cattle, early death calves, cow

A. R. SIREGAR', CHALID TALIB'danMATHIUS SARIUBANGZ 'Balai Penelitian Ternak

P.O. Box 221, Bogor 16002, Indonesia 11nstalasiPenelitian dun Pengkajian Teknologi Pertanian

-Gowa-Makasar, Sulawesi Selatan ABSTRAK

SIREGAR, A. R., CHALID TALIBdanMATHIUS SARIUBANG. 1999/2000. Penentuan faktor penyebab kematian dini anak sapi Bali.

Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II : 203-2Q8.

Suatu studi mengenai faktor penyebab kematian dini anak sapi Bali pada peternakan rakyat di Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru telah dilakukan. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara pada petemak pemilik induk sapi Bali dan pengamaan langsung di lapangan. Contoh ditentukan berdasarkan sapi induk yang telah melahirkan pada musim kelahiran yang berlangsung dan anak sapinya berumur 12 bulan ke bawah. Data yang dikumpulkan adalah umur dan pendidikan petani serta jumlah tenaga dewasa dalam keluarga. Besaran usahatani berupa luas areal yang diusahakan dan temak yang dipelihara. Data temak induk mengenai kondisi, umur, frekwensi beranak dan anak yang lahir dan kematian serta sebab-sebabnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petemak masih berpendidikan rendah 53,7% hanya sekolah SD tetapm pengalaman memelihara sapi umumnya telah lama (67,4% berpengalaman di atas 10 tahun). Luas lahan yang dimiliki tidak luas dan yang menyediakan lahan untuk rumput sangat terbatas. Sapi yang dipelihara juga hanya rata-rata 1 - 2 ekor induk. Umumnya sapi kalau lebih dari 5 ekor sudah dijual. Sapi induk yang diamati umumnya cukup produktif dan kondisinya sedang 86.6°/o, baik 6.2% dan kurang baik 7.2%. Sapi induk beranak pertama 3 tahun dan selanjutnya beranak setiap tahun. Masa produktif sapi induk sangat tinggi dimana ada sapi yang berumur 18 tahun dan telah melahirkan 14 kali. Sapi yang diamati memiliki anak di bawah 12 bulan ternasuk yang mati lahir adalah 294 ekor. Kematian anak di bawah umur 12 bulan adalah 19,4%. Kematan ini 4,1% adalah karena abortus, 9,9% matm di bawah umur 6 bulan, 2,0% matm antara 6 sarpai 9 bulan dan 9 sampai dengan 12 bulan sebesar 3,4%. Sebab-sebab kematian menurut keterangan petemak adalah abortus 3,4%, kurus 4,4%, mencret 1,7%, dengan indikasi tubuh dingin 1,4%, 1,4% kerbung, 0,7% dianggap cacingan, 0,7% tidak mau menyusu, 0,4% kekurangan susu, 0,4% masing-masing dengan tanda ngorok, tidak mau makan, ingus bernanah, mulut kering serta lumpuh. Kematian yang tinggi ini cukup relevan untuk dikaji lebih mendalam terutama masalah abortus, dan perlu dikaitkan dengan kondisi bobot lahir.

ABSTRACT

SIREGAR, A. R., CHALID TALIBandMATHIUS SARIUBANG. 1999/2000. Act of determinating ofthe causal factor ofearly death of

Bali calves. Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II : 203-208.

A study about the causal factor of early death of Bali calves on the fanner condition in Tanete Riaja, Banu district has conducted. Collecting data was done with interview method with the fanner who has Bali cows that become to birth on that birth season on her calves under 12 month old, Farmer's education, man power, farm size has been collecting. Cows data collect for body condition, ages, frekwensi for birth, and death percentage and causal of the death calves. The result showed that farmer's education very low 53.7% just elementary school, but the experience of the farmer to raise cattle more than ten years (67.4%). Farmer has very limited land and rear just 1-2 cattles. The cow's body condition 86.6% medium 6.2% good and 7.2% poor. Productivity of cows is good the first calving in 3 years old and continous birth every year. There is a cow has 14 calves in an 18 years old. Calves death about 19.4% from 294 calves under 12 month old. This calves death about 4.1% stillbirth, 9.9% death under 6 month, the causal factor of calves death about 3.4% abortus, 4.4% thinness, 1.7% diarrhea, 1 .4% coldness 0.4% deficiency ofmilk and 0.4% snore, snot, month become dry and paralisis.

PENDAHULUAN

Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang didomestikasi dari banteng liar (Bos Sandaicus). Sapi Bali merupakan populasi nomor dua terbanyak setelah sapi Peranakan Ongole. Sapi Bali yang pertama terkonsentrasi di pulau Bali, pertama berkembang ke NTT, NTB dan Sulawesi Selatan, dan sekarang mendominasi sapi di seluruh 203

(2)

A. R.SIREGAR et al . : Penentuan Faktor Penyebab Kematian Dini AnakSapi Bali

daerah transmigrasi di pulau Sumatera, Kalimantan, seluruh Sulawesi, bahkan di Irian Jaya. Sapi Bali di Sulawesi Selatan berkembang sangat pesat sehingga saat ini memiliki populasi sapi Bali terbesar mengalahkan jumlah sapi Bali di pulau Bali dan NTT yaitu 37,5%. Sapi Bali dengan adaptasi yang begitu baik dianggap sebagai sapi perintis untuk daerah-daerah yang baru dibuka.

Beberapa hasil penelitian terdahulu memperlihatkan bahwa sapi Bali adalah sapi yang masak dini dan fertilitasnya tinggi serta .produksi susunya rendah. Akan tetapi hal ini dibarengi oleh kematian anak yang tinggi. Untuk menanggulangi kematian anak yang tinggi ini perlu diketahui sebab-sebabnya . Kalau sebab-sebab kematian ini disebabkan kesalahan manajemen dalam jangka pendek hal ini dapat ditanggulangi sehingga produktivitas dan pertumbuhan populasi dapat ditingkatkan . Dalam jangka panjang dapat pula dilakukan seleksi pada induk-induk dengansurvival rateyang tinggi .

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut WIRDAHAYATI dan BAMUALIM (1990) sistem pemeliharaan sapi Bali yang digembalakan di NTT pada musim hujan sapi bertambah 430 - 510 gr/ekor/hari tetapi pada musim kering mengalami penurunan bobot badan 150 - 500 gr/ekor/hari . Variasi kondisi ini menyebabkan produktivitas yang tinggi yaitu angka kelahiran yang mencapai 80% dibarengi dengan kematian anak 20 - 50% per tahun. Produksi susu induk relatif rendah, yaitu 0,79 kg/ekor/hari pada sapi tanpa suplemen dan 1,01 kg/ekor/hari pada sapi induk yang diberikan suplemen. Berahi kembali setelah beranak adalah 86 ±37 hari . Bobot badan sapi Bali di NTT yang lebih rendah dari di pulau Bali diperkirakan lebih disebabkan ketersediaan dan fluktuasi pakan yang kurang mencukupi .

Kematian anak sapi Bali di NTT menurut TALIB (1998) disebabkan dehidrasi . PERANGINANGIN (1990) kejadian wabah diare menular di NTB yang terjadi pada Nopember 1988 yang menyerang 52,863 ekor sapi di 6 kabupaten, mengalami kematian 440 ekor, 11,04% adalah anak sapi yang umumnya mengalami dehidrasi. Serangan cacing pada sapi Bali terdtama ascaris dan gastro-intestinal (haemonechus sp, coopers sp dan Busostomum sp) tidak mematikan tetapi membuat sapi lemah yang apabila terserang penyakit lain akan menyebabkan kematian . Pengamatan kematian pada program P3 Bali dari 1000 kebuntingan selama 1978 sampai dengan 1987 kejadian keguguran pada induk bunting di bawah 3 bulan adalah 7,12%, sedangkan di atas bunting 3 bulan 2,78%. Penyebab utama keguguran di Bali diduga akibat makanan, stres karena kerja dan akibat panas yang tinggi (PANE, 1999). Selanjutnya disebutkan kematian saat lahir 2,14%, mati lemah 1,64%. Sedangkan kematian pedet menurut DARMADII (1980) hingga 6 bulan 8,21% di Bali, SUMBUNG, et al. (1977) melaporkan di Sulawesi Selatan 7% sedangkan WIRDAHAYATI dan BAMUALIM (1990) melaporkan di NTT 20 - 50%.

Pemberian lemak pada heifer saat bunting tua meningkatkan konsentrasi glucose pada anak yang baru lahir baik menjaga temperatur tubuh pada stres cuaca pada anak yang baru lahir (LAMMOGHIA et al., 1999). Faktor kebersihan, suplemen vitamin dan garam serta vaccinasi induk adalah nyata berpengaruh pada resiko terkena diare pada anak sapi (BENDALIet al1999).

MATERI DAN METODE

Untuk mempelajari sebab-sebab kematian anak sapi Bali di Sulawesi Selatan, dilakukan suatu studi kasus di Kecamatan Tanete Riaja Kabupaten Barru. Pengumpulan data dilakukan pada peternak dengan cara wawancara menggunakan daftar kuesioner. Contoh ditentukan berdasarkan jumlah induk yang telah melahirkan sebanyak minimal 150 ekor. Dikumpulkan jumlah kelahiran, jumlah kematian anak, umur kematian, kelamin dan sebab-sebab kematian . Dikumpulkan pula data kondisi petani, kondisi usahatani dan ternak yang dipelihara. Data yang diolah dengan menghitung nilai rataan dan melihat hubungan dengan faktor yang ada.

(3)

Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-// Th . 199912000

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil : Kondisi pendidikan peternak sapi Bali contoh adalah seperti pada Tabel 1 . Tabel 1. Rataan pendidikan, menurut kelas umur peternak

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa pendidikan peternak masih rendah. Peternak berusia muda lebih baik pendidikannya. Peternak dengan usia di bawah 25 tahun yang tamat SLTA adalah 16,6% dari kelompoknya, sedangkan pada usia 26 - 45 tahun hanya 6,6% dan pada usia di atas 45 tahun hanya 6,2%. Pada peternak muda tidak ada lagi yang tidak tamat SD, sedangkan pada usia 25 - 45 tahun masih ada yang tidak bersekolah dan tidak tamat SD, sama dengan pada usia di atas 45 tahun .

Pengalaman memelihara sapi adalah seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Pengalaman Beternak Sapi menurut Umur Peternak

Pada usia muda pengalaman betemak lebih banyak yang rendah dan pada usia tua lebih banyak berpengalaman lama. Peternak usia tua maupun yang pada usia produktif umumnya telah ikut memelihara sejak usia anak-anak 9 - 12 tahun. Peternak tua yang berpengalaman bar6 umumnya karena dapat sapi bantuan terutama proyek Spaku. Pengalaman beternak ini tidak kelihatan hubungannya dengan jumlah pemeliharaan dan kematian anak .

Jumlah keluarga sebagai gambaran tenaga kerja maupun beban keluarga terlihat seperti pada Tabel 3. Jumlah anggota keluarga dalam usahatani dapat menjadi modal tenaga kerja tetapi dapat pula hanya menjadi beban. Besaran usaha harus seimbang dengan tenaga kerja yang tersedia.

Tabel 3. Rataan besaran keluarga menurut kelas umur peternak

Tabel 3 menunjukkan bahwa peternak yang memiliki anggota keluarga lima orang lebih masih 30,5% clan ini ternyata pula pada peternak berusia muda. Belum dapat dilihat hubungan jumlah anggota keluarga dan jumlah pemeliharaan sapi. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja yang banyak masih lebih bersifat beban.

Besaran usahatani yang ditangani peternak dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 menunjukkan kecilnya usahatani yang dimiliki peternak, baik dilihat dari lahan maupun sapi yang dipelihara. Akan tetapi 81,4% petemak memelihara sapinya sendiri dan hanya 18,6% yang bagi hasil. Tidak 205 Kelas Umur 2 3 4 Jumlah 5 Keluarga 6 7 >8 Jml < 25 Thn 2.9 1 .7 4.6 0.6 0.6 - - 10.3 26-45 Thn 13.2 10.9 8 6.3 1 .7 2.3 0.6 43.1 > 45 Thn 10.3 8 9.8 9.2 3 .4 2 .9 2 .9 46 .6 Total 26.4 20.7 22 .4 16.1 5.7 5.2 3 .4 100

Kelas umur Tdk Sekolah < SD SD SLTP SLTA Jml

17-25 - - 5.2 3.4 1 .7 10.3

26-45 7.5 0.6 23 9.2 2.9 43 .1

> 45 10.9 1 .2 25.3 6.3 2.9 46.6

Total : 18.4 1 .7 53 .4 19 7.5 100.0

Kelas Umur Pengalaman Beternak Jml

< 2 Thn 2-5 Thn 5-10 Thn > 10 Thn <25 Th 26-45 Th > 45 Thn 2.9 2.9 4 2.9 8.6 2 .3 2.3 4 2 .3 2.3 27.6 37.9 10.3 43.1 46.6 Total: 9.8 13 .8 8.6 67.8 100.0

(4)

A . R. SIREGAR et al . : Penentuan Faktor Penyebab Kenuxtian Dini Anak Sapi Bali

bertambahnya pemilikan sapi ini bukan saja karena masalah tenaga clan pakan tetapi lebih disebabkan penjualan sapi untuk biaya hidup. Kecilnya pemeliharaan sapi ini merupakan masalah besar dalam pembinaan peternak pembibit dalam peningkatan mutu genetik.

Kondisi induk sapi yang dipelihara petemak adalah cukup baik. Umur induk, frekuensi beranak dan kondisinya adalah seperti Tabel 5.

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa kondisi induk sapi Bali di daerah ini tidak ada yang kondisinya jelek dan 8.8% kondisinya baik, 85,2% kondisi sedang dan 6,0% kondisi jelek. Dapat pula dilihat bahwa induk sapi Bali acla yang masih produktif sampai umur 18 tahun telah 14 kali melahirkan clan umumnya beranak pertama pada umur 3 tahun clan selanjutnya kebanyakan setiap tahun beranak.

Kematian anak sampai umur 12 bulan adalah 19,4% clan terjadi banyak di bawah umur 6 bulan (15,3%) dan abortus seperti terlihat pada Tabel 6.

Tabel 4. Rataan besaran usahatani yang dilakukan petemak sapi bali

Tabel 5. Umur, kondisi dan frekuensi sapi induk contoh Kelas umur % Pop

1 2 3 4 Frekuensi 5 Beranak 6 7 8 9 10 15 3 24,3 24,2 - - - -4 17,2 8,9 8,2 - - - -5 12,7 1,9 5,9 4,8 - - - -6 14,2 - 9 10,0 0,7 - - - -7 12,7 - 0,7 1,9 8,9 1,1 - - - -8 6,7 - - 0,4 1,9 4,1 0,4 - - - - -9 4,1 - - - 0,4 1,9 1,9 0,4 - - - -10 4,4 - - - - 1,1 0,4 1,9 0,7 - - -11 1,5 - - - 0,4 1,1 - - -12 l,l - - - 0,4 0,7 - -13 0,7 - - - . 0,4 - 0,4 -18 0,4 - - - 0,4 Total 100 34,9 18,2 17,1 11,9 8,2 3,0 2,6 2,6 0,7 0,4 0,4 Hal

Tanpa lahan ...< 0.5Luas lahan (Ha)0,5-1,0 ?11,0 % Petani

---1 . Kelas Lahan

a. Sawah 24,7 29.3 27,0 19,0

b. Lahan Kering 14,9 35,1 19,5 30,5

c. Pd. Rumput 27,6 56.9 9,2 6,3

2. Jumlah Keluarga Jumlah Jiwa

<4 4-5 6-7 >8

---% Petani

---< 25 4,6 5,1 0,6

-26-45 24 14,3 4,6 0,6

>_ 45 18,3 18,8 6,3 2,8

3. Pemilikan Sapi Tanpa Sapi _< 2 2-5 >-5

a. Jantan dewasa 67,6 25,4 8,7 0,6 b. Betina dewasa 8,7 68,2 20,8 1,2 c. Jantan muda 79,8 18,5 0,6 -d. Betina muda 65,9 28,3 4,6 -e. Anakjantan 61,8 34,1 2,9 -£ Anak betina 55,5 35.3 2,3

(5)

-Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Th. 1999/2ooo

Tabel 6. Kematian anak menurut umur, kelamin dan umur induk

Sebab-sebab kematian cukup sulit untuk menentukan secara pasti karena pengetahuan peternak yang sangat terbatas. Sebab menurutjawaban peternak adalah seperti pada Tabel 7 .

Dari Tabel 7 kelihatan bahwa mencret, abortus dan gejala kekurusan adalah penyebab kematian terbesar (61 .4%). Masalah abortus tidak ada keterangan umur abortus. Akan tetapi hanya 33 .3% yang diketahui peternak jenis kelamin sapi yang abortus. Hal ini memberi indikasi anak sapi tersebut abortus pada kebuntingan tua. Gejala mencret adalah masalah higienis tetapi dapat pula disebabkan serangan bakteri. Bagaimanapun faktor-faktor yang dikemukakan peternak masih perlu diamati secara cermat dan secara laboratori . Akan tetapi setidaknya arah pengamatan selanjutnya sudah dapat lebih mengarah. Begitu juga perbaikan manajemen telah dapat pula diarahkan pada perbaikan higienis kandang dan perbaikan pakan.

Tabel 7. Faktor penyebab kematian menurut jawaban peternak

Penelitian ini dimaksudkan sebagai awal dari penanggulangan kematian anak sapi Bali di Sulawesi Selatan. Produktivitas sapi Bali di Sulawesi Selatan yang begitu pesat ternyata masih digerogoti oleh kematian anak yang tinggi. Penanggulangannya masih memberikan peluang untuk meningkatkan produktivitas yang ada sekarang. Perbaikan pakan dan higienis bukan saja akan mengurangi kematian tetapi akan meningkatkan kualitas anak sapi Bali di Sulawesi Selatan.

207 No. Penyebab kematian

Ekor Populasi 1 . Mencret 13 22.8 2. Abortus 12 21 .1 3. Kurus 10 17.5 4. Badan Dingin 5 8 .8 5. Kembung 4 7 6. Rambut Berdiri 3 5.3 7. Cacingan 2 3.5

8. Tidak mau menyusu 2 3 .5

9. Kurang susu 1 18

10. Ngorok 1 18

11. Tidak mau makan 1 18

12. Ingus Bernanah 1 18 13. Mulut Kering 1 18 14. Lumpuh 1 18 Total : 57 100 Umur Kematian Ekor Populasi Abortus 12 21 .1 < 1 bin 3 5.3 1 bin 7 12.3 2 bin 4 7 3 bin 5 8.8 4 bin 6 10.5 5 bin 2 3 .5 6 - 9 bin 6 10.5 9 - 12 bin 10 17.5 Total : 57 100

(6)

A . R. SIPEGAR et al. : Penentuan Faktor Penyebab Kematian Dini Anak Sapi Bali

KESIMPULAN

1. Petemak sapi di Kecamatan Tanete Riaja lebih banyak berumur di atas 45 tahun, pendidikan SD bahkan 18.4% tidak berpendidikan dengan anggota keluarga lebih kecil dari 5 orang (85.6%), dan telah memelihara sapi lebih dari 10 tahun (57.8%) dengan lahan sempit.

2. Sapi Bali di Kecamatan Tanete Riaja kondisinya terbanyak adalah sedang, tidak terlalu banyak yang gemuk ataupun yang kurus.

3. Kematian anak di bawah setahun adalah 19.4% terdiri dari abortus 21 .1%, di bawah 3 bulan 31 .6%, 3 - 6 bulan sebesar 22.8%, 6 - 9% 10.5% dan 9 - 12%, 17.5%.

4. Penyebab kematian yang dikemukakan peternak ada 14 macam, yang terbanyak adalah mencret (22.8%) abortus (21.1%), kekurusan (17.5%), badan dingin (8%), kembung (7.0%) dan lainnya 23.1%.

5. Angka kematian pedet ini perlu mendapat perhatian khusus dan pengamatan lebih teknis karena menurunkannya berarti meningkatkan produktivitas.

6. Disarankan untuk melakukan penelitian teknis penentuan sebab kematian secara rinci dengan melihat faktor musim.

PRAKIRAAN DAMPAK HASIL KEGIATAN

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar dalam penanggulangan kematian sapi di daerah ini, baik dari segi penyakit, nutrisi, pemeliharaan dan seleksi.

DAFTAR PUSTAKA

BENDALI, F., 17, SANAT, H. BICHET, F. SCHELCHEN, 1999, Risk factors associated with diarrhea in new born calves, Veterinary Research

DARMADn, D., 1980, Setengah Abad Peternakan Sapi Tradisional dalam Ekosistem Pertanian di Bali, Desertasi UNPAD LAMMOGHIA, MA., RA, BELBOWS, E.E GRINGS, J.W. BERGMAN, RE Slort, M.D., Maeneil, 1999, Effects offeeding beeffemales

supplemental fat during gestation on calve tolenace in newborn calve, Journal ofAsian, Sei, Vol. 77, ass 4 pg 824 - 834 PANE, Ismed, 1991, 1991, Produktivitas dan Breeding Sapi Bali, Proceeding Seminar Nasional Sapi Bali, Fakultas Peternakan,

UNHAS, Ujung Pandang ,

PERANGINANGIN, Th. ADAT, 1990, Perkembangan dan Pengendalian Penyakit Sapi Bali di Wilayah Pelayanan BPPH VI Denpasar, Proceeding Seminar Nasional Sapi Bali, 20 - 21 September 1990, Fakultas Peternakan UNSUD

WIRDAHAYATI, R.B dan A. BAMUALIM, 1990, Penampilan Produksi dan Struktur Populasi Temak Sapi Bali di Pulau Timor, NT-f, Proceeding Seminar Nasional Sapi Bali, Fakultas Peternakan UNUD, Denpasar

Gambar

Tabel 4 menunjukkan kecilnya usahatani yang dimiliki peternak, baik dilihat dari lahan maupun sapi yang dipelihara
Tabel 5. Umur, kondisi dan frekuensi sapi induk contoh Kelas umur % Pop
Tabel 6. Kematian anak menurut umur, kelamin dan umur induk

Referensi

Dokumen terkait

Cece Wijaya dan Tabrani Rusyan, Kemampuan Dasar Guru dalam Proses Belajar Mengajar , (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm.184.. melakukan penilaian, pengawasan dan

Dapat dilihat di tabel III.17, waktu mulai mulai produksi PT BIENSI adalah tanggal 12 bulan 12 tahun 2016 pukul 09.25, waktu tersebut adalah waktu selesai dari proses pertama

Polisi mempunyai peranan dalam mennjaga kelestarian hutan terhadap pelaku illegal logging diantaranya pentingnya menumbuhkan kesadaran konservasi bagi masyarakat yang

Beberapa uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa stroke hemoragik adalah salah satu jenis stroke yang disebabkan karena pecahnya pembuluh darah otak yang menyebabkan

Oleh karena itu, melihat uraian diatas akan potensi sumber daya alam khususnya sektor kelautan dalam hal ini pemanfaatan biota laut ikan kembung dan buah lamun,

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data-data yang berhubungan dengan rumusan masalah yaitu adakah peningkatkan kemampuan smash normal bola voli

Keberhasilan mediasi dapat dilihat dari efektifitas pelaksanaan mediasi yang bertumpu pada upaya dan profesionalitas hakim mediator dalam melaksanakan proses mediasi

Budi Waluyo, S.S., M.Pd., selaku Kepala Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta dan