• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Komoditas Jagung Manis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Komoditas Jagung Manis"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

14

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Komoditas Jagung Manis

Jagung sudah sejak lama diperkenalkan di Indonesia. Menurut Sarono et al. (2001) jagung telah diperkenalkan di Indonesia pada abad ke 16 oleh bangsa Portugis dan Spanyol. Sejak saat itu jagung mulai dibudidayakan hingga sekarang. Salah satu jenis tanaman jagung yang banyak dikonsumsi dan semakin populer adalah jagung manis (Zea mays saccharata Sturt) atau sweet corn. Di Indonesia, jagung manis mula-mula dikenal dalam kemasan kaleng dari hasil impor. Sekitar tahun 1980-an barulah tanaman ini ditanam secara komersial meskipun masih dalam skala kecil. Setelah berkembangnya toko-toko swalayan yang banyak menampung hasilnya, jagung manis diusahakan secara meluas (Anonim 1992).

Secara fisik maupun morfologi, jagung manis sulit dibedakan dengan jagung biasa. Perbedaan antara kedua jagung tersebut umumnya pada warna bunga jantan. Bunga jantan jagung manis berwarna putih, sedangkan pada jagung biasa kuning kecoklatan. Rambut pada jagung manis berwarna putih, sedangkan pada jagung biasa berwarna merah. Jagung manis mengandung banyak gula dalam endospermnya daripada jagung biasa. Pada proses pematangan, kadar gula yang tinggi menyebabkan biji jagung manis menjadi keriput. Keadaan keriput inilah yang membedakan dengan biji jagung biasa. Perbedaan lainnya adalah jagung manis berumur lebih genjah dan memiliki tongkol yang lebih kecil dibandingkan jagung biasa. Jagung manis umumnya sudah siap dipanen ketika tanaman berumur antara 60-70 hari (Anonim 1992).

Jagung manis sangat potensial sebagai bahan pangan karena kandungan nutrisi yang dimilikinya. Kadar gula pada biji jagung manis bervariasi antara 4-12 persen dan kandungan airnya mencapai 74-76 persen. Tiap 100 gram jagung manis yang bisa dimakan mengandung protein (2.1-4.5%), pati (3-20%), lemak (1.1-2.7%), serat (0.9-1.9%), vitamin C 9–12 mg, dan unsur-unsur lain seperti vitamin A, B1, B2, serta mineral seperti sodium, kalsium dan magnesium (Szymanek et al. 2006). Banyak kultivar jagung manis yang memiliki kandungan provitamin A tinggi (Rubatzky dan Yamaguchi 1998). Jagung manis umumnya dimakan dalam kondisi segar setelah dimasak dan dapat dibuat menjadi bermacam-macam makanan (Rubatzky dan Yamaguchi 1998).

(2)

15 Tanaman jagung manis sangat rentan terhadap serangan hama dan penyakit yang dapat menurunkan produksi. Menurut penelitian Fitriani (2009) hama yang banyak menyerang jagung manis adalah penggerek batang (Ostrinia

furnacalis) dengan tingkat serangan hama mencapai 24 persen. Sedangkan

penyakit yang banyak menyerang tanaman jagung manis adalah penyakit bulai yang disebabkan oleh Peronosclerospora sp. Tingkat kehilangan hasil karena penyakit bulai ini bisa mencapai 90 persen.

Tanaman jagung manis merupakan tanaman yang tahan terhadap kekeringan tetapi peka terhadap drainase tanah yang tidak baik dan tidak tahan terhadap genangan (Rubatzky dan Yamaguchi 1998). Meskipun tanaman jagung manis tahan terhadap kekeringan, pada fase berbunga dan pengisian biji tanaman jagung manis tidak boleh terkena cekaman kekeringan. Cekaman kekeringan pada fase ini dapat menghasilkan produksi hanya 30-60 persen dari kondisi normal (Sirappa dan Razak 2010). Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1998) tanaman jagung manis responsif terhadap pemupukan taraf tinggi. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil produksi yang tinggi dapat dilakukan dengan penambahan unsur hara.

2.2 Kajian Budidaya Jagung Manis

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kegiatan budidaya tanaman jagung manis ini masih banyak mengalami kendala. Kendala ini menyebabkan produksi yang diperoleh petani masih dibawah produksi potensial yang seharusnya dapat dicapai. Menurut penelitian Putra (2011), usahatani jagung manis di Desa Sukajadi, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor masih mengalami kendala. Kendala yang dihadapi petani yaitu kesulitan dalam pencegahan terhadap hama dan penyakit pada jagung manis. Sedangkan menurut Widiyanti (2000), penggunaan faktor-faktor produksi usahatani jagung manis di Desa Titisan, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi secara ekonomis penggunaannya belum mencapai kondisi optimal. Penggunaan faktor produksi benih, luas lahan, pupuk kandang, pupuk urea, pupuk KCl, dan fungisida harus ditambah agar dapat mencapai keuntungan maksimum. Masih kurangnya penggunaan faktor-faktor produksi disebabkan oleh keterbatasan modal yang

(3)

16 dimiliki petani dan masih rendahnya pengetahuan petani tentang jumlah faktor produksi yang tepat.

Keberhasilan mencapai produksi optimal ditentukan oleh kesesuaian tanaman dengan lingkungan tumbuhnya. Jagung manis sangat cocok ditanam di daerah yang sejuk dan cukup dingin dengan ketinggian bisa mencapai 3000 di atas permukaan laut (Anonim 1992). Secara umum tanaman jagung manis membutuhkan curah hujan 200-300 mm/bulan, sedangkan selama pertumbuhan memerlukan sebanyak 300-660 mm/bulan. Suhu optimal untuk pertumbuhan jagung manis yaitu antara 210-300 C, tetapi masih dapat tumbuh pada suhu rendah sampai 160C dan suhu tinggi sampai 350C (Anonim 1992; Rubatzky dan Yamaguchi 1998). Jagung manis bisa tumbuh di segala jenis tanah dengan pH tanah berkisar antara 5,5-7,0 (Anonim 1992).

Kegiatan budidaya akan sangat mempengaruhi pada produksi yang akan dihasilkan. Kegiatan budidaya jagung manis harus dilakukan secara tepat untuk menghasilkan produksi yang optimal. Kegiatan budidaya usahatani jagung manis terdiri dari kegiatan pengolahan tanah, penanaman, pemupukan, perawatan tanaman dan pemanenan.

Pengolahan lahan pertama dimulai 15 hari sebelum tanam, yaitu membalikkan atau membajak tanah. Satu minggu kemudian dilakukan pengolahan tanah kedua dengan meratakan tanah dan membentuk bedengan penanaman (Kusmayadi 2011). Alur-alur untuk pengairan dibuat dengan lebar 30 cm dan kedalaman 20 cm. Jarak tiap alur 100-120 cm, sedangkan panjangnya disesuaikan dengan lahan (Anonim 1992; Kusmayadi 2011). Setelah tanah diolah dan dibuat bedengan, langkah selanjutnya adalah pemberian pupuk dasar. Pemberian pupuk dasar dilakukan satu minggu sebelum tanam atau bersamaan dengan pengolahan tanah. Pupuk dasar yang digunakan berupa pupuk kandang dengan dosis yang diberikan sebanyak 10 ton/ha (Anonim 1992).

Setelah dilakukan pengolahan tanah maka tahap selanjutnya adalah kegiatan penanaman. Tanaman jagung manis ditanam pada jarak tanam 80 cm x 25 cm atau 70 cm x 40 cm (Anonim 1992). Jarak tanam yang rapat dianjurkan untuk menggunakan satu biji per lubang sedangkan jarak tanam lebar menggunakan dua biji per lubang (Zubachtirodin et al. 2008; Aqil et al. 2008).

(4)

17 Apabila tanah yang akan ditanami tidak menjamin ketersediaan hara yang cukup maka harus dilakukan pemupukan. Dosis pupuk yang dibutuhkan tanaman sangat bergantung pada kesuburan tanah dan diberikan secara bertahap. Anjuran dosis rata-rata adalah: Urea sebanyak 435 kg/ha, TSP sebanyak 335 kg/ha dan KCl sebanyak 250 kg/ha (Anonim 1992). Pupuk urea diberikan sebanyak dua kali yaitu pada saat tanam diberikan 1/3 bagian dan kemudian pada 4-5 minggu diberikan 2/3 bagian. Sedangkan pupuk TSP dan KCl diberikan satu kali pada saat tanam (Anonim 1992).

Salah satu kegiatan perawatan pada tanaman jagung manis yaitu kegiatan pengendalian hama dan penyakit. Menurut Wakman (2008) dan Sarono et al. (2001), hama utama tanaman jagung adalah penggerek batang, penggerek tongkol, belalang dan tikus. Pengendaliannya bisa menggunakan pestisida hayati, predator alami, pemasangan perangkap atau secara mekanis. Penyakit utama tanaman jagung adalah bulai (Peronosclerospora sp), hawar upih (Rhizoctonia sp), hawar daun (Exerohilum turcicum), bercak daun (Bipolaris maydis), busuk batang

(Fusarium sp), karat daun (Puccinia sp), dan bercak daun kelabu (Cescospora sp).

Cara pengendaliannya pun dapat menggunakan pestisida alami, predator alami, pengendalian secara kultur teknis dan pengendalian secara mekanis.

Perawatan tanaman yang lainnya terdiri dari kegiatan penyiangan, pembumbunan dan penyiraman. Penyiangan bertujuan untuk membersihkan lahan dari tanaman pengganggu (gulma). Penyiangan dilakukan 2 minggu sekali setelah tanaman berumur 15 hari (Zuraida 2010). Dalam upaya memperkuat perakaran tanaman jagung diperlukan pembumbunan tanaman yang dilakukan ketika tanaman berusia 4 minggu. Tanaman jagung merupakan tanaman yang tergolong tidak tahan kelebihan air dan atau kekurangan air, relatif sedikit membutuhkan air dibandingkan dengan padi (Zubachtirodin et al. 2008). Penyiraman dilakukan pada stadium pertumbuhan awal, saat berbunga, dan saat pengisian biji. Kekurangan air pada stadium pertumbuhan awal, saat berbunga, dan saat pengisian biji akan menyebabkan hasil yang menurun (Purwono dan Hartono 2008).

Tanaman jagung manis dapat dipanen pada umur 60-70 hari setelah tanam, tetapi di daerah dataran tinggi umur panen dapat mencapai 80 hari (Anonim

(5)

18 1992). Jagung manis yang siap dipanen biasanya ditandai dengan penampakan luar rambut yang mengering, keketatan kelobot, dan kekerasan tongkol ketika digenggam. Panen dilakukan ketika biji masih belum matang, pada fase susu dan sebelum fase kental awal (Rubatzky dan Yamaguchi 1998).

2.3Analisis Risiko Produksi Komoditas Pertanian

Budidaya pertanian tidak dapat lepas dari pengaruh risiko. Risiko yang sering terjadi pada komoditas pertanian adalah risiko produksi. Indikasi adanya risiko produksi dapat dilihat dengan adanya variasi hasil output produksi. Variasi

output produksi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor internal seperti

tingkat penggunaan input maupun faktor eksternal seperti pengaruh iklim atau cuaca.

Dampak risiko produksi sangat besar pada pertanian secara umum dan berdampak besar secara khusus pada pola produksi serta perilaku penawaran pada petani skala kecil (Fufa dan Hassan 2003). Risiko produksi menjadi kendala dominan terhadap pengambilan keputusan petani dalam mengalokasikan faktor produksi. Akibatnya terjadi kesenjangan produktivitas potensial di tingkat petani dengan produktivitas aktual yang dicapai petani (Purwoto 1993). Menurut Fufa dan Hassan (2003) pengaruh gangguan stokastik alam dari kegiatan produksi pertanian menjadi sumber utama risiko produksi. Akan tetapi variasi pada hasil panen suatu produksi pertanian tidak hanya dijelaskan oleh faktor di luar kendali petani seperti harga input dan output, tetapi juga faktor yang dapat dikendalikan oleh petani seperti alokasi pada penggunaan input produksi (Just dan Pope 1979; Antle 1983 yang diacu dalam Fufa dan Hassan 2003). Hal tersebut menunjukkan bahwa sumber-sumber risiko tidak hanya berasal dari faktor eksternal seperti cuaca. Sumber risiko produksi juga dapat berasal dari faktor internal yaitu penggunaan input produksi seperti penggunaan benih, lahan, atau pupuk. Penggunaan faktor produksi yang tidak sesuai dengan anjuran budidaya dapat mengakibatkan variasi pada hasil produksi.

Beberapa metodologi telah banyak dikembangkan untuk menganalisis risiko yang berhubungan dengan produksi. Salah satu konsep risiko yang digunakan dalam penelitian risiko produksi adalah konsep risiko yang dirumuskan oleh Just dan Pope dengan metode yang lebih dikenal dengan model risiko

(6)

19 produksi Just dan Pope (J-P) (Ligeon et al. 2008). Model ini banyak digunakan karena model ini dapat mengakomodasikan fungsi produksi dan fungsi risiko dalam satu persamaan matematis. Dengan menggunakan fungsi risiko produksi J-P ini dapat diketahui pengaruh alokasi penggunaan input terhadap hasil produksi rata-rata dan variasi hasil produksi. Dengan kata lain, melalui model ini dapat dilihat faktor produksi mana saja yang dapat bertindak sebagai pengurang risiko produksi (Risk Reducing Factor) atau sebagai penyebab meningkatnya risiko produksi (Risk Inducing Factor). Beberapa penelitian yang menggunakan model ini diantaranya dilakukan oleh Ligeon et al. (2008), Fufa dan Hassan (2003), Fariyanti et al. (2007), Pratiwi (2011) dan Puspitasari (2011).

Model risiko produksi J-P menggunakan pendekatan fungsi produksi dan fungsi varian (fungsi risiko). Penelitian Ligeon et al. (2008) dan Fufa dan Hassan (2003) menggunakan data cross section sehingga dalam melakukan estimasi fungsi produksi dan fungsi risiko dilakukan secara terpisah. Ligeon et al. (2008) menggunakan model fungsi produksi kuadratik untuk mengestimasi fungsi produksi dan fungsi risiko pada komoditas kacang tanah sedangkan Fufa dan Hassan (2003) menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas pada komoditas jagung. Pendekatan dengan menggunakan model fungsi Cobb-Douglas ini juga digunakan oleh Fariyanti et al. (2007) untuk analisis risiko produksi kentang dan kubis, Pratiwi (2011) untuk analisis risiko produksi caisin dan Puspitasari (2011) untuk analisis risiko produksi mentimun. Akan tetapi penelitian yang dilakukan Fariyanti et al. (2007), Pratiwi (2011) dan Puspitasari (2011) memiliki perbedaan dengan penelitian Ligeon et al. (2008), Fufa dan Hassan (2003). Fariyanti et al. (2007), Pratiwi (2011) dan Puspitasari (2011) menggunakan data berupa data panel. Selain itu, estimasi fungsi produksi dan fungsi risiko dilakukan secara bersamaan dengan metode GARCH (1,1).

Penelitian Ligeon et al. (2008), Fufa dan Hassan (2003), Fariyanti et al. (2007), Pratiwi (2011) dan Puspitasari (2011) menunjukkan bahwa interaksi input terhadap risiko produksi bisa berbeda. Menurut Ligeon et al. (2008), Fufa dan Hassan (2003) dan Pratiwi (2011), peningkatan penggunaan input benih dapat meningkatkan risiko produksi yang dilihat dari peningkatan variance produksi ketika jumlah penggunaan input ditingkatkan. Akan tetapi menurut penelitian

(7)

20 Fariyanti et al. (2007) dan Puspitasari (2011), peningkatan jumlah penggunaan benih dapat menurunkan risiko produksi.

Selain penggunaan input benih dapat meningkatkan dan menurunkan risiko produksi, penggunaan lahan juga memiliki dampak yang berbeda terhadap risiko produksi. Penelitian Fufa dan Hassan (2003) membagi responden menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang mengadopsi teknologi dan yang tidak mengadopsi teknologi. Hasil estimasi fungsi risiko menunjukkan bahwa lahan sebagai faktor yang meningkatkan risiko pada petani yang mengadopsi teknologi sedangkan pada kelompok petani yang tidak mengadopsi teknologi sebagai faktor pengurang risiko. Penelitian Fariyanti et al. (2007) juga menunjukkan hasil yang berbeda pada komoditas kentang dan kubis. Pada petani yang melakukan usahatani kentang, lahan bertindak sebagai faktor pengurang risiko sedangkan pada usahatani kubis sebagai faktor peningkat risiko.

Hal yang sama juga terjadi pada input pupuk kimia dan tenaga kerja. Peningkatan jumlah penggunaan pupuk kimia dapat meningkatkan risiko produksi seperti yang ditunjukkan pada penelitian Fufa dan Hassan (2003). Akan tetapi pada penelitian Puspitasari (2011), peningkatan penggunaan pupuk kimia dapat mengurangi risiko produksi. Sementara itu, tenaga kerja merupakan faktor yang dapat mengurangi risiko seperti yang ditunjukkan pada penelitian Pratiwi (2011) dan Puspitasari (2011). Sedangkan pada penelitian Fariyanti et al. (2007) menunjukkan bahwa, tenaga kerja sebagai faktor peningkat risiko pada usahatani kentang dan sebagai faktor pengurang risiko pada usahatani kubis.

Pada penelitian ini akan diidentifikasi bagaimana pengaruh alokasi input produksi terhadap produksi rata-rata dan risiko produksi jagung manis. Penelitian ini menggunakan pendekatan model risiko produksi Just dan Pope seperti yang dilakukan oleh Ligeon et al. (2008), Fufa dan Hassan (2003), dan Koundouri dan Nauges (2005). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah komoditas yang diteliti, lokasi penelitian dan faktor input. Komoditas yang diteliti adalah jagung manis. Lokasi penelitian berada di Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor. Faktor input produksi yang digunakan adalah benih, pupuk kandang, pupuk urea, pupuk phonska, pupuk TSP, pestisida cair, furadan, dan tenaga kerja. Input yang dimasukkan dalam model ini

(8)

21 merupakan input produksi yang digunakan oleh petani. Dalam model yang diestimasikan juga memasukkan variabel dummy musim dan varietas untuk melihat pengaruh kedua variabel tersebut terhadap risiko produksi. Penelitian ini menggunakan pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas untuk fungsi produksi maupun fungsi variance (fungsi risiko). Fungsi produksi Cobb-Douglas dipilih karena dapat melihat pengaruh penambahan input terhadap perubahan marjinal output. Selain itu dalam penelitian ini akan dikaji pula bagaimana pengaruh risiko produksi terhadap pendapatan usahatani.

2.4 Analisis Pendapatan Usahatani Jagung

Pendapatan usahatani merupakan salah satu ukuran keberhasilan dalam melakukan kegiatan usahatani. Tingkat pendapatan usahatani yang diperoleh petani berbeda-beda tergantung dengan jenis dan hasil produksi komoditas yang dihasilkan, penggunaan input produksi, harga input dan harga output. Kegiatan usahatani yang dilakukan oleh petani diharapkan mampu menghasilkan pendapatan bagi petani sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani.

Beberapa penelitian terdahulu yang melakukan analisis pendapatan usahatani jagung diantaranya dilakukan oleh Putra (2011), Setiyanto (2008), Suroso (2006) dan Ali (2005). Putra (2011) dan Ali (2005) meneliti mengenai pendapatan pada komoditas jagung manis sedangkan Setiyanto (2008) dan Suroso (2006) meneliti pendapatan usahatani pada komoditas jagung. Penelitian Putra (2011) dan Ali (2005) menghitung pendapatan berdasarkan kepemilikan lahan yaitu pendapatan petani pemilik dan pendapatan petani penyewa. Akan tetapi Ali (2005) mengelompokkan lagi pendapatan usahatani berdasarkan petani mitra dan non mitra. Sementara itu, Setiyanto (2008) menghitung pendapatan usahatani untuk lahan sawah dan lahan tegal sedangkan, Suroso (2006) menghitung pendapatan usahatani untuk lahan sempit dan lahan luas.

Sebelum melakukan penghitungan pendapatan usahatani maka terlebih dahulu dilakukan penghitungan penerimaan usahatani. Penerimaan usahatani merupakan nilai produk usahatani dikali dengan harga jualnya. Penerimaan usahatani terdiri dari penerimaan tunai dan penerimaan yang diperhitungkan. Penerimaan tunai merupakan penerimaan dari hasil penjualan produk usahatani yang diterima secara langsung oleh petani. Penerimaan tidak tunai merupakan

(9)

22 nilai produk yang tidak dijual oleh petani seperti nilai produk yang disimpan atau dikonsumsi sendiri. Penelitian Putra (2011), Setiyanto (2008), Suroso (2006) dan Ali (2005) menghitung penerimaan tunai usahatani saja tanpa memperhitungkan penerimaan yang diperhitungkan. Hal ini dikarenakan semua hasil produksi petani dijual seluruhnya. Pendapatan tunai jagung manis diperoleh dari jumlah produksi jagung manis segar dikali dengan harga jualnya (Putra 2011, Ali 2005). Berbeda dengan jagung manis, pendapatan tunai jagung diperoleh dari harga jual jagung pipil kering dikali dengan harga jualnya (Setiyanto 2008, Suroso 2006). Penerimaan usahatani jagung manis bervariasi dari Rp 4.000.000 – 7.000.000 per hektar (Putra 2011, Ali 2005). Sedangkan untuk penerimaan usahatani jagung pipilan berkisar Rp 8.000.000 per hektar (Suroso 2006) bahkan menurut Setiyanto (2008) penerimaan jagung pipil bisa mencapai Rp 18.000.000. Perbedaan penerimaan usahatani ini dikarenakan perbedaan jumlah produksi dan harga jual yang diterima petani.

Setelah dilakukan perhitungan penerimaan usahatani maka dilakukan perhitungan untuk pengeluaran ushatani. Pengeluaran usahatani merupakan biaya yang dikeluarkan petani untuk kegiatan usahatani yang terdiri dari pengeluaran tunai dan pengeluaran yang diperhitungkan. Pengeluaran tunai terdiri dari biaya pengeluaran input produksi termasuk biaya sewa lahan, pajak lahan, sewa alat, biaya pengangkutan dan biaya lainnya (biaya pemipilan dan biaya pengairan). Sedangkan biaya diperhitungkan meliputi biaya tenaga kerja dalam keluarga, penyusutan, dan sewa lahan yang diperhitungkan (Putra 2011, Setiyanto 2008, Suroso 2006 dan Ali 2005).

Pengeluaran untuk biaya tunai memiliki presentase terbesar terhadap total pengeluaran usahatani antara 61,42 persen sampai 72,87 persen (Setiyanto 2008, Suroso 2006 dan Ali 2005). Akan tetapi penelitian Putra (2011) menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian Putra (2011) menunjukkan bahwa biaya yang tidak diperhitungkan memiliki presentase terbesar terhadap biaya total. Hal ini dikarenakan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga sangat besar. Diantara komponen biaya tunai, biaya tenaga kerja di luar keluarga memiliki presentase terbesar terhadap pengeluaran total (Setiyanto 2008, Suroso 2006, dan Putra 2011). Akan tetapi pada penelitian Ali (2005), petani mitra lahan sewa

(10)

23 mengeluarkan biaya tunai terbesar untuk pupuk kandang dan petani non mitra lahan sewa mengeluarkan biaya tunai terbesar untuk benih.

Pengeluaran untuk biaya tenaga kerja dalam keluarga memiliki presentase terbesar terhadap total pengeluaran usahatani yang tidak diperhitungkan (Putra 2011, Setiyanto 2008, Suroso 2006 dan Ali 2005). Bahkan pada penelitian Putra (2011) dan Ali (2005) pengeluaran untuk biaya tenaga kerja dalam keluarga ini memiliki presentase terbesar terhadap total pengeluaran usahatani. Besarnya pengeluaran tenaga kerja dalam keluarga ini menunjukkan bahwa partisipasi petani dan anggota keluarga petani dalam melakukan kegiatan usahatani masih sangat besar.

Setelah mengetahui penerimaan dan pengeluaran usahatani, maka dapat ditentukan berapa pendapatan usahatani yang diperoleh oleh petani. Pendapatan usahatani diperoleh dengan mengurangi total penerimaan usahatani dengan total biaya usahatani. Pendapatan usahatani dibagi menjadi dua yaitu pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Hasil penelitian Putra (2011), Setiyanto (2008), Suroso (2006) dan Ali (2005) menunjukkan bahwa pendapatan atas biaya tunai rata-rata petani memiliki angka yang positif dan lebih dari nol. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani jagung dan jagung manis yang dilakukan petani secara tunai menguntungkan. Jika dilihat pendapatan atas biaya total, pendapatan usahatani ada yang menunjukkan angka positif dan juga angka negatif. Pada penelitian Ali (2005) terhadap petani non mitra lahan sewa dan Putra (2011) terhadap petani penyewa menunjukkan angka yang negatif. Hal ini berarti petani mengalami kerugian. Meskipun mengalami kerugian, usahatani jagung manis masih bisa dilaksanakan untuk periode musim selanjutnya karena biaya tunai masih bisa tertutupi oleh pendapatan tunai usahatani (Putra 2011).

Untuk mengetahui efisiensi pendapatan usahatani dilakukan penghitungan

R/C ratio. Nilai R/C ratio merupakan perbandingan antara nilai pendapatan yang

diperoleh petani dengan biaya yang dikeluarkan, sehingga dapat dilihat berapa pendapatan yang bisa diterima petani dari setiap biaya yang dikeluarkan. R/C

ratio harus lebih besar daripada satu. Artinya, setiap satu rupiah biaya yang

dikeluarkan petani diharapkan pendapatan yang diterima lebih dari satu rupiah. Nilai R/C ratio ini juga dilihat atas biaya tunai dan atas biaya total. Penelitian

(11)

24 Putra (2011) menunjukkan nilai R/C ratio atas biaya tunai dan atas biaya total petani lahan pemilik secara berturut-turut 2,48 dan 1,08. Sedangkan, pada petani lahan sewa secara berturut-turut 1,8 dan 0,8. Nilia R/C ratio petani penyewa atas biaya total menunjukkan nilai kurang dari satu sedangkan pada petani pemilik memiliki nilai lebih dari satu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usahatani jagung manis lahan pemilik lebih efisien dari sisi pendapatan.

Pada penelitian ini juga akan melakukan analisis pendapatan usahatani jagung manis. Akan tetapi analisis pendapatan pada penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Pada penelitian ini analisis pendapatan usahatani akan dikelompokkan berdasarkan musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Hal ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh musim sebagai salah satu sumber risiko produksi terhadap pendapatan usahatani. Selain itu juga akan dilakukan uji beda untuk mengetahui apakah rata-rata pendapatan pada kedua musim tersebut berbeda nyata.

Referensi

Dokumen terkait

Apakah respons lingkungan belanja konsumen secara simultan dengan pengalaman belanja melalui resources expenditure berpengaruh terhadap pembelian yang tidak terencana

Permasalah bisa diambil dari sisi siswa (misalnya latar belakang kognitif, sosial ekonomi, latarbelakang budaya dan afektif ); dari proses atau kegiatan belajar

Padat tebar cacing tanah dalam media harus seimbang karena berhubungan dengan persaingan untuk mendapatkan pakan sehingga pertumbuhan cacing tanah menjadi

Kelainan bicara dan/atau bahasa adalah adanya masalah dalam komunikasi dan bagian-bagian yang berhubungan dengannya seperti fungsi organ bicara Keterlambatan dan

Ho : ρ = 0, hipotetsis nol : tidak terdapat pengaruh antara lingkungan pengendalian, penaksiran risiko, informasi dan komunikasi, aktivitas pengendalian dan

Pembiasaan memberikan manfaat bagi anak. Karena pembiasaan berperan sebagai efek latihan yang terus menerus, anak akan lebih terbiasa berperilaku dengan nilai-nilai

Industri asuransi memperlihatkan pertumbuhan produksi premi dan pengalaman klaim yang cukup menggembirakan selama tahun 2012. Namun demikian bila dilihat lebih jauh,

Model relasi yang mengarah kepada dominasi antara laki-laki terhadap perempuan, antara kelompok manusia, maupun antara manusia dengan mahkluk hidup lainnya berusaha