• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Etnografi Sunda Wiwitan dan Global

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Studi Etnografi Sunda Wiwitan dan Global"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA GLOBALISASI DALAM SUNDA

WIWITAN: STUDI ETNOGRAFIS WARGA DESA

CIREUNDEU

Dikerjakan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Mata Kuliah studi-Studi Budaya

Dosen oleh:

Dra. Junita Budi Rahman, M.Si., Ph.D.

Tutor oleh:

Deden Habibi 170210100122

Disusun oleh:

Yanti Silviana 170210110071 Aditya Oktora 1702101000

20 Melardi Putrohadi 170210110102

Muhammad Adam 1702101100

24 Ilham Rachmadi 170210110106

M. Oktabrian 1702101100

44 Yoga Miftahul Ihsan 170210110113 Resti Asih Anggraeni 1702101100

45 Azhary Rizky 170210110119

Rizma H. Trinidyasari

1702101100 69

Indita H. H. 17021011012

8 Inggrid Ayu R 1702101100

80 Agnes BangkitTriatmo 170210110143 Majma Albahraini 1702101100

(2)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

(3)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Globalisasi sekarang ini semakin terus berkembang membuat teknologi dan komunikasi ikut menjalar masuk kesetiap plosok-plosok daerah di berbagai belahan dunia. Hal ini menjadi sebuah trend yang bahkan manusia sudah mencapai tahap terbiasa dengan banyaknya perubahan dan kemajuan yang telah tercipta akibat dari globalisasi itu sendiri. Namun adapula masyarakat yang masih bertahan dengan identitas aslinya. Pertemuan antara masyarakat yang masih memegang identitas aslinya dengan nilai-nilai yang masuk akibat globalisasi menghadirkan fenomena dimana masyarakat seperti ini dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh globalisasi, layaknya hubungan antara struktur dan agen dalam konstruktivisme.

Hubungan antara identitas dengan globalisasi ini membawa keingintahuan kami untuk meneliti bagaimana proses tersebut berlangsung. Lingkungan studi kami yang lekat dengan budaya Sunda sebagai suatu identitas, menjadi pertimbangan kami untuk mengkaji bagaimana identitas khas Sunda mempengaruhi/dipengaruhi globalisasi. Hingga kemudian kami bermaksud mengangkat Sunda Wiwitan yang merupakan kepercayaan asli masyarakat Sunda sebagai suatu identitas yang masih eksis bertahan di tengah pengaruh globalisasi.

(4)

Wiwitan itu sendiri, karena sampai sekarang masyarakat Sunda Wiwitan adalah masyarakat yang paling gigih dalam memperjuangkan keekstensian kepercayaan atau agamanya agar dapat diterima di publik bahkan diakui oleh pemerintah Indonesia sendiri tanpa dengan tanpa adanya syarat ataupun peraturan-peraturan yang mengikat mereka.

Objek studi kami akan berfokus pada masyarakat Sunda Wiwitan yang berada Cireundeu, Cimahi, Jawa Barat karena letaknya yang masih terjangkau dengan mudah. Perlu diketahui bahwa di Jawa Barat sendiri Sunda Wiwitan terbagi menjadi dua aliran yang berpusat pada Cireundeu dan Baduy yang kedua aliran ini memiliki norma-norma yang cukup berbeda sehingga kami akan berfokus pada satu aliran saja yaitu yang terletak di Cireundeu karena Sunda Wiwitan yang satu ini lebih terbuka dengan masyakat pada umumnya sehingga diharapkan mampu menjawab bagaimana hubungan antara Sunda Wiwitan dengan Globalisasi itu sendiri.

I.2. Rumusan Masalah

Apakah Sunda Wiwitan di era globalisasi mengalami glokalisasi atau grobalisasi bila dilihat dari sistem pengetahuan pangannya?

I.3. Tujuan Penelitian

Memahami dinamika globalisasi antara glokalisasi dan grobalisasi yang mungkin terjadi pada budaya kepercayaan Sunda Wiwitan di Desa Cireundeu.

I.4. Manfaat Penelitian

(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Globalisasi

Secara etimologis, globalisasi berasal dari kata “globe” yang berarti bola dunia, sedangkan akhiran sasi mengandung makna sebuah “proses” atau keadaan yang sedang berjalan atau terjadi saat ini. Jadi, secara etimologis, globalisasi mengandung pengertian sebuah proses mendunia yang tengah terjadi saat ini menyangkut berbagai bidang dan aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara-negara di dunia. Hal ini sejalan dengan Lodge yang mengemukakan bahwa “globalisasi adalah suatu proses dimana masyarakat dunia menjadi semakin terhubungkan (interconnected) satu sama lainnya dalam berbagai aspek kehidupan. baik dalam aspek budaya, ekonomi, politik, teknologi, maupun lingkungan” (Lodge, 1995). Sebagai sebuah proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antarbangsa, yakni dimensi ruang dan waktu. Dimana dimensi ruang semakin sempit dan waktu semakin singkat dalam interaksi dan komunikasi di skala dunia.

Globalisasi sendiri merupakan istilah yang berkaitan dengan peningkatan keterkaitan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya popular dan bentuk interaksi lainnya. Namun secara definitif, kata ‘globalisasi’ bisa diartikan ke dalam 5 pengertian umum (Scholte, 2007:13-15) :

1. Internasionalisasi, yang berarti sebuah intensifikasi dari hubungan-hubungan yang melewati batas negara serta saling ketergantungan antara negara-negara. 2. Liberalisasi, yang berarti sebagai sebuah proses untuk menghapus

(6)

3. Universalisasi, yang berarti penyebaran berbagai objek dan pengalaman kepada masyarakat di seluruh penjuru dunia.

4. Westernisasi, sebagai bentuk kritik bagi imperialisme kultural, khususnya dalam bentuk “Americanized”.

5. Deteritorialisasi, yang berarti perubahan dalam geografi, tepatnya pada wilayah teritorial, jarak teritorial, dan batas teritorial yang kehilangan beberapa pengaruhnya

Menurut Smith dan Baylis dalam bukunya yang berjudul The Globalizations of World Politics, “proses meningkatnya keterkaitan dimana apa yang dilakukan perkumpulan-perkumpulan di suatu bagian dunia bisa memiliki pengaruh lebih besar pada perkumpulan-perkumpulan di belahan dunia lainnya”(Smith, 2001:1-12). Dalam perkembangan zaman saat ini era globalisasi sudah tidak dapat terbendung lagi pergerakannya, dimana revolusi komunikasi sebagai pionir utama dalam kemajuan globalisasi yang menyebabkan kejadian apapun dan dimana pun dapat diketahui dengan mudah dari berbagai belahan dunia tanpa mengenal tempat, batas, dan waktu. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Perkembangan teknologi yang begitu cepat membuat segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya. Dan kehadiran dari adanya globalisasi ini tentu saja membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia.

(7)

Negara-negara Barat memang lebih maju, tetapi bukan berarti semua unsur budaya Barat dapat berkembang di Indonesia, tetapi harus diseleksi dan disesuaikan dengan nilai-nilai kepribadian bangsa.

Salah satu contoh penerapan nilai nilai glokalisasi adalah pada ajang terbesar dunia yaitu Miss World di Bali pada tahun 2013 lalu. Seperti yang kita ketahui Miss World merupakan sebuah ajang kecantikan para perempuan didunia ini, tidak hanya dinilai dari kecantikannya saja melainkan kecerdasan dan prilaku sangat menjadi pertimbangan untuk menjadi juara. Dalam rangkaian acaranya selalu terdapat peragaan busana bikini, yang mengharuskan para finalis tersebut menggunakan bikini untuk memperlihatkan keindahan bentuk tubuh dari para finalis. Namun ada yang berbeda pada penyelenggaraaan Miss World tahun 2013 di Bali ini, karena ditiadakannya peragaan busana bikini. Ini dikarenakan budaya Indonesia tidak membenarkan adanya pameran aurat, karena mayoritas agama di Indonesia adalah muslim, jadi harus menghormati budaya lokal ini. Disini lah letak nilai glokalisasi ini, rangkaian ajang Miss World yang bersifat Global, masih bisa disamakan nilai lokalnya dengan ditiadakannya peragaan busana bikini.

II.2. Glokalisasi

Budaya lokal merupakan identitas masyarakat yang sangat dijunjung tinggi dalam suatu masyarakat dalam suatu tempat sesuai dengan nilai-nilai dan konteks yang berlaku ditempat itu. “Men unmodified by the customs of particular places do not in fact exist, have never existed, and most important, could not in the very nature of the case exist”1. Dari Geertz dapat dikaji bahwa manusia tidak dapat dimodifikasi dengan adat yang tidak ada disekitar mereka. Mereka dipengaruhi oleh keadaan sekeliling mereka. Budaya tersebut menjadi entitas dalam diri mereka.

1 Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Selected Essays, New York: Basic Books, 1973

(8)

“it is these cultural barriers that separate “us”; it defines us; ultimately, it finished us: “culture, rather than being added on, so to speak, to finished or virtually finished animal, was ingredient, and centrally ingredient, in the production of that animal itself”2

Glokalisasi muncul ketika budaya lokal yang dipegang oleh kelompok masyarakat dengan budaya global yang dibawa oleh sapuan arus globalisasi. Glokalisasi didefinisikan oleh beberapa ahli; kebudayaan lokal adalah melengkapi kebudayaan regional, dan kebudayaan regional adalah bagian-bagian yang hakiki dalam bentukan kebudayaan nasional.

Roland Robertson mengenalkan konsep berkaitan dengan globalisasi, yaitu glokalisasi yang merupakan integrasi antara global dengan lokal. Glokalisasi adalah percampuran yang melibatkan kombinasi dari dua atau lebih elemen-elemen budaya dari bagian-bagian dunia yang berbeda. Istilah lain yang dapat digunakan untuk menunjuk glokalisasi adalah creolization atau kreolisasi, yang berasal dari kata creole (biasa diartikan sebagai ras campuran). Kendati terjadi percampuran, globalisasi tetap mempertahankan elemen-elemen asal, sehingga heterogenitas tetap terjaga3.

Thomas L. Friedman, mendefinisikan glokalisasi sebagai kemampuan sebuah budaya (lokal) ketika bertemu dengan budaya kuat lainnya (global), akan menyerap pengaruh-pengaruh tersebut dan secara alami masuk dan memperkaya budaya (lokal) tersebut, menolak hal-hal yang bersifat sangat asing. Menyaring budaya tersebut, dan dinikmati dalam perayaan perbedaan4.

“In the short, the word “glocalization” is meant to point to a strategy involving a substantial reform of the different aspects of globalization, with the goal being both to reestablish a link between the benefits of the global dimension- in terms technology, information, and economics – and local realities. While, at the same 2 Ibid. (hal. 47)

3 Roland Robertson, Globalization. Social Theory and Global Culture, London : Sage Publication, 1992 (hal. 186)

(9)

time, establishing of planet’s resource and on authentic social and cultural rebirth of disadvantages population”.5

Budaya lokal yang dimediasi oleh perusahaan lokal mutinasional, industri hiburan dan media, disesuaikan dengan kondisi lokal yang terkait dengan identitas masyarakat lokal tersebut sesuai dengan tempat, kondisi pemukiman, dan etnisitas agar dapat bertahan dari serangan global darti kapitalisme, media dan industri.

Dalam glokalisasi budaya, terdapat beberapa kategori yang mempresentasi proyeksi glokalisasi dalam fenomena sosial, identitas budaya dan makna. Ada empat faktor untuk menganalisa kategori tersebut; penerimaan budaya, jarak sosial, ritual sosial, dan kebiasaan kolektif dan pola-pola asosiasi. Antara lain ada empat kategori dari proyeksi glokalisasi:

1. Relativitas; pelaku sosial berusaha untuk melestarikan budaya mereka sebelum institusi, praktik dan makna dalam lingkungan baru, sehingga mencerminkan komitmen untuk diferensiasi dari budaya lokal.

2. Akomodasi: pelaku sosial pragmatis menyerap praktek-praktek, lembaga-lembaga dan makna yang terkait dengan masyarakat lain, untuk mempertahankanunsur-unsur kunci dari budaya lokal sebelumnya.

3. Hibridasi: aktor sosial mensintesis fenomena budaya lokal dan lainnya untuk menghasilkan praktik budaya yang berbeda dan hybrid, institusi dan makna. 4. Transformasi: aktor sosial yang datang untuk mendukung praktek, lembaga

atau makna yang terkait dalam budaya. Transformasi bisa mendapatkan bentuk-bentuk budaya segar atau lebih kstem meninggalkan budaya lokal dalam mendukung alternatif yang atau mendukung budaya-budaya hegemoninya.

Kristen Toraja

5 CERFE, Glocaliization: Research Study and Policy Recommendations, Roma:

Global Forum, 2003 (hal. 13-14), tersedia online di

(10)

Stanislaus Sandarupa, Ph.D dalam artikelnya Warisan dan Pewarisan Budaya: Glokalisasi Warisan Budaya6 memberi contoh adanya bentuk glokalisasi antara agama Kristen yang masuk ke Tanah Toraja melalui Belanda sejak tahun 1905 dengan kepercayaan lokal, yaitu Alukta. Ketika itu para zending menilai bahwa kepercayaan lokal ini perlu dimurnikan dari kepercayaan pada takhyul ke kepercayaan universal Yesus Kristus. Karena itu persoalan utama yang mereka hadapi adalah persoalan inkulturasi satu aspek dari glokalisasi warisan budaya.

Salah satu contoh inkulturasi antar keduanya ada pada praktik tau-tau atau patung sebagai badan baru arwah, calon dewa. Dewa-dewa ini sangat dipercayai kekuatannya oleh penganut Alukta. Hal-hal inilah yang membuat pihak gereja mencap praktik ini sebagai kepercayaan tahyul, sehingga selama beberapa dekade patung-patung ini dilarang pemakaiannya dalam upacara kematian.

Keadaan berubah ketika kesadaran baru muncul untuk menemukan kembali tradisi yang sudah ditinggalkan. Konsep universal arwah yang langsung menghadap Tuhan, suatu ajaran Calvin dan Luther, kemudian diterima dan ditunjang oleh universalisme teknologi kamera yang diperkenalkan ke daerah itu sejak kedatangan Belanda. Terjadilah reinterpretasi dengan mendialogkan yang lokal dan global. Pemakaian patung dibolehkan gereja kembali sejauh tau-tau tersebut foto almarhum. Dengan kata lain penekanannya pada representasi suatu momen kehidupan almarhum sebagaimana layaknya makna foto. Perubahan konsep ini menyebabkan terjadinya perubahan pada ciri-ciri patung yang dibuat. Hingga akhirnya, semua ciri dualitas Alukta pada saat ini diubah ke ciri monoteis Kristen seperti posisi tangan dan lain-lain. Inilah bentuk glokalisasi antara Alukta dengan Kristen.

II.3. Grobalisasi

6 Sandarupa, Stanislaus. 2013. Warisan dan Pewarisan Budaya: Glokalisasi Warisan Budaya. dalam

<http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/sites/46/2013/10/

(11)

Grobalisasi merupakan suatu pandangan modern yang berfokus pada kemampuan dari organisasi-organisasi dan negara-negara modern yang semakin meningkat di seluruh dunia yang dimana sebagian besar kemampuan tersebut bersifat kapitalistik dan memiliki tujuan untuk meningkatkan kekuasaan mereka dan menjangkau dunia.7 Pengertian dari grobalisasi tersebut di sampaikan oleh George Ritzer, seorang sosiolog, professor, dan juga penulis yang mempelajari mengenai globalisasi, metateori, pola konsumsi, dan teori sosial modern dan postmodern, yang berasal dari Amerika.8 Pada kenyataanya, grobalisasi merupakan suatu ambisi imperialistik dari negara-negara atau perusahaan-perusahaan multinasional yang ingin menempatkan diri mereka di berbagai wilayah geografis. Perhatian utama mereka adalah melihat adanya kekuatan, pengaruh mereka, dan di beberapa kasus mereka juga melihat adanya “pertumbuhan” keuntungan mereka di seluruh dunia.

Menurut Ritzer, terdapat dua teori yang membentuk landasan perspektif grobalisasi, yaitu yang pertama adalah teori Marxian yang memandang bahwa satu dari banyaknya kekuatan yang menjadi pendorong utama dari suatu proses globalisasi adalah kebutuhan suatu perusahaan akan peningkatan keuntungan dan kekuatan pendorong lainnya adalah kebutuhan perusahaan tersebut akan dukungan dari pihak lain. Teori kedua yang membentuk landasan perspektif grobalisasi adalah teori Weberian yang dimana teori tersebut menekankan pada ketersediaan yang semakin lama semakin bertambah dari struktur-struktur yang dirasionalisasikan dan control mereka yang juga semakin meningkat atas orang-orang di seluruh dunia. Teori Weberian ini juga membiasakan kita kepada penyebaran “grobal” dari struktur-struktur rasional.

Berbeda dengan glokalisasi yang bersifat “mencampurkan”, grobalisasi bersifat “menyamakan”, grobalisasi bertujuan menciptakan homogenitas dan cenderung menyingkirkan elemen-elemen lokal yang kemudian menggantikanya dengan alternatif-alternatif global. Maka dari itu, grobalisasi lebih mengarah kepada pluralistic yang sifatnya homogeny. Ritzer telah membuktikan bahwa

(12)

kapitalisme, Mcdonaldisasi, dan Amerikanisasi merupakan serangkaian proses yang paling utama bagi berlangsungnya grobalisasi.9 Ketiga proses tersebut juga menjadi kekuatan utama dalam penyebaran kehampaan global ditambah juga dengan media yang mendukung melalui internet yang menyediakan ruang penyebaran kehampaan yang canggih dan efektif. Meskipun tidak terdapat hubungan hukum di antara ketiganya tetapi terdapat sebuah elective affinity (hubungan tarik-menarik) di antara ketiganya dan salah satunya di antara ketiga paham tersebut cenderung menggantikan eksistensi yang lainnya.

Secara alamiah, grobalisasi mengarah kepada keragaman ide-ide yang sebagian besar merupakan antitesis:10

1. Dunia semakin lama semakin tumbuh dan menjadi serupa. Teori grobalisasi cenderung meminimalkan perbedaan-perbedaan di dalam dan diantara wilayah-wilayah yang ada di dunia.

2. Proses-proses sosial sebagain besar mengarah kepada satu arah dan deterministic. Grobalisasi cenderung menyergap yang lokal dan membatasi kemampuanya untuk bertindak kembali kepada grobal.

3. Individu-individu dan kelompok-kelompok secara relatif memiliki kemampuan untuk melakukan adaptasi, memperbarui, dan melakukan maneuver dalam sebuah dunia yang tergrobalisasi.

4. Komoditas-komoditas dan media adalah kekuatan pokok dan wilayah perubahan budaya, serta mereka juga dipandang sebagian besar menentukan diri sendiri dan kelompok-kelompok di seluruh wilayah dunia yang mengalami proses grobalisasi.

Grobalisasi dalam Matryoshka

9 http://rohmadsosiawan.blog.uns.ac.id

(13)

Dalam penelitian terdahulu yang berjudul Dampak Perubahan Sistem Pemerintahan dan Globalisasi di Rusia terhadap Modifikasi Matryoshka sebagai Bentuk Rusifikasi11, Dariyah menjelaskan bahwa Boneka Matryoshka mengalami kedua proses globalisasi, baik glokalisasi maupun grobalisasi. Pada fase grobalisasi, matryoshka mengalami apa yang disebut Rietzer dalam Rethinking Globalization (2003) sebagai grobalization of nothing. Pada fase ini, matryoshka disebarkan ke luar Rusia bahkan produksi itu sendiri terjadi di luar Rusia seperti di Tiongkok.

Pembuatan matryoshka di luar Rusia dianggap mengurangi jiwa dari matryoshka itu sendiri. Larisa Solo’eva (1995) menekankan bahwa matryoshka merupakan penerus tradisi kuno seperti ikon. Dalam matryoshka terdapat ekspresi kehidupan Rusia. Sehingga, matryoshka buatan bangsa Rusia memiliki makna lebih tinggi terutama pada proses pembuatannya, daripada buatan bangsa lain yang mungkin kurang memahami makna matryoshka dan kehidupan Rusia.

Dariyah kemudian menjelaskan adanya fase pemaknaan kembali, grobalization of something melalui pameran-pameran matryoshka yang dilakukan di luar Rusia. Pameran-pameran ini dapat menjadi cara melestarikan (kembali) matryoshka sebagai simbol budaya Rusia.

Untuk membedakan proses glokalisasi dan globalisasi, Dariyah juga menjelaskan proses glokalisasi-grobalisasi matryoshka secara garis besar. Pada tahap glokalisasi, matryoshka sebagai produk budaya lokal menjadi produk industri budaya dalam rangka masuknya wisatawan ke Rusia. Selain itu, matryoshka sebagai suvenir berkembang seiring dengan masuknya wisatawan dan informasi dunia luar ke Rusia yang menginspirasi seniman matryoshka menciptakan motif-motif baru. Selanjutnya, pada tahap grobalisasi, matryoshka memperluas penyebarannya tidak hanya dijual di Rusia.

BAB III

(14)

METODE PENELITIAN

Pada bab pertama dan kedua penelitian ini, peneliti telah menjelaskan latar belakang penelitian dan pada bab kedua telah dijelaskan kajian teoritis yang akan digunakan serta beberapa konsep yang dirasa sesuai dengan penelitian yang dimaksudkan untuk memudahkan pembaca dalam memahami alur penelitian ini. Pada bab tiga ini akan dijelaskan metodologi penelitian dan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini.

III.1. Metode Etnografi

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode etnografi. Metode etnografi merupakan seni dan ilmu yang digunakan untuk mendeskripsikan sebuah kelompok atau budaya (Fetterman, 1998). Menurut Angrosino (2007) ethnografer mencari pola prediksi di dalam pengalaman hidup manusia dengan cara mengamati dan berpartisipasi dalam kehidupan orang-orang yang diteliti. Etnografi juga melibatkan penuh peneliti di dalam kehidupan sehari-hari atau budaya yang akan diteliti. Etnografi sebagai metode memiliki karakteristik khas tertentu (Angrosino,2007). Etnografi juga mengumpulkan data dengan berbagai cara melalui triangulasi jangka waktu. Proses ini bersifat induktif, holistik dan membutuhkan komitmen jangka panjang dari peneliti.

Menurut Wolcott (1999) terdapat beberapa keuntungan di dalam menggunakan metode etnografi :

1. Metode penelitian etnografi dapat dilakukan sepenuhnya oleh satu individu.

2. Hal yang diteliti bersifat alamiah sehingga memungkinkan peneliti untuk mengamati dan melakukan perubahan catatan dari waktu ke waktu.

3. Hal ini dapat dilakukan hampir di setiap tempat.

(15)

5. Metode ini memberikan data rinci dan kaya untuk penyelidikan lebih lanjut di dalam menulis.

6. Peneliti dapat membuat penelitian ini tidak hanya menarik tetapi sebagai petualangan.

7. Hal ini tidak memerlukan peralatan yang mahal atau rumit.

8. Dengan menggunakan metode ini peneliti mendapatkan kesempatan untuk belajar dan menggunakan bahasa lain.

9. Metode ini dapat menyediakan data wawasan yang mendalam.

10. Metode etnografi dapat digunakan untuk mempelajari kelompok terpinggirkan, individu yang tertutup di apabila diteliti dengan penelitian lain.

11. Hal ini memungkinkan Anda untuk mengumpulkan data dalam pengaturan yang realistis atau naturalistik di mana orang bertindak secara alami, dengan fokus pada kedua perilaku baik verbal dan nonverbal.

III.2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan suatu proses untuk mengumpulkan dan mencari informasi yang berkaitan dengan penelitian. Di dalam metode penelitian etnografi terdapat tiga model pengumpulan data (Angrosino, 2007) yang akan digunakan di dalam penelitian ini :

1. Observasi

Observasi adalah tindakan mengamati kegiatan dan hubungan timbal balik dari orang-orang di sekitar lingkungan lapangan. Dalam observasi, terdapat penggabungan antara partisipasi peneliti dengan kehidupan orang-orang yang diteliti, namun peneliti juga tetap memberikan jarak secara profesional sebagai peneliti (apa yang mau kita observasi).

(16)

Wawancara adalah proses mengarahkan percakapan untuk mengumpulkan informasi (siapa yang akan kita wawancara).

3. Penelitian arsip

Ini merupakan analisis bahan yang disimpan untuk penelitian, layanan atau tujuan lain resmi dan tidak resmi (arsip resmi dan tidak resmi kita dapat darimana).

III.3. Teknik Analisis Data

Agar data yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis dapat dengan mudah dipahami dan diinformasikan kepada orang lain, peneliti harus kembali memilah dan mengolah data hingga menghasilkan hasil penelitian yang baik. Di dalam penelitian ini peneliti atau etnografer dapat mengumpulkan data dalam jumlah yang besar untuk menggambarkan seseuatu dari penelitian dalam bentuk seperti kepercayaan sunda wiwitan dan bagaimana para penganut sunda wiwitan ini berperilaku dalam situasi sehari-hari. Oleh karena itu peneliti perlu memahami materi penelitian dengan baik (Roper & Shapira, 2000).

Pertama melalui proses pemahaman induktif di mana peneliti mulai dengan belajar melalui data praduga tentang materi peneliti. Analisis data juga harus dimulai sementara data sedang dikumpulkan sehingga peneliti dapat menemukan tema tambahan di dalam penelitian. Roper dan Shapira mengemukakan strategi di dalam analisis etnografis :

1. Coding for descriptive labels

(17)

struktur sosial, perspektif umum, strategi, proses, makna dan frase yang diulang.

2. Sorting for patterns

Langkah berikutnya adalah menyortir kelompok label deskriptif dalam set yang lebih kecil. Dimulai dengan mengembangkan tema dari pengelompokan dan hubungan antara informasi- informasi yang didapatkan.

3. Identifying outliers

Kasus, situasi, peristiwa atau pengaturan yang tidak "cocok" dengan sisa temuan dapat diidentifikasi. Kasus-kasus ini harus disimpan dalam pikiran sebagai langkah yang berbeda di dalam proses penelitian yang dikembangkan, misalnya, ketika muncul pertanyaan apakah kita harus mengumpulkan informasi lebih lanjut tentang kasus tersebut?.

4. Generalizing constructs and theories

Pola atau temuan terhubung terkait dengan teori untuk memahami dan memperkaya data kompleks yang telah dikumpulkan. Literatur juga digunakan di dalam ulasan data.

5. Memoing with reflective remarks

(18)

III.4. Validitas Data

Validitas diartikan sebagai alat kontrol kunci terhadap sebuah isu melalui pengumpulan dan penginterpretasian data secara akurat sehingga mencerminkan dan mewakili fakta yang ada di lapangan. Validitas di dalam penelitian lapangan ini melalui kepercayaan yang ditempatkan pada kemampuan peneliti untuk mengumpulkan dan menganalisis data yang akurat dan mewakili kehidupan atau budaya yang sedang diteliti (Neuman, 2003). Validitas data di dalam penelitian ini menggunakan validitas ekologi.

Validitas ekologi adalah sejauh mana data yang dikumpulkan dan dijelaskan oleh peneliti dapat mencerminkan budaya yang sedang diteliti (Neuman, 2003). Sejarah alam merupakan deskripsi lengkap dan pengungkapan peneliti berupa tindakan, asumsi, dan prosedur lain untuk mengevaluasi. Jika penelitian ini diterima dan kredibel untuk orang lain di dalam dan di luar lokasi lahan penelitian tersebut maka penelitian tersebut sah di dalam hal sejarah alam.

(19)

BAB IV

SUNDA WIWITAN KAMPUNG CIREUNDEU

Kampung Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan merupakan salah satu pusat penghayat Sunda Wiwitan di barat Jawa selain di Kanekes/Baduy (Banten) dan Kuningan (Jawa Barat). Dalam meneliti keterkaitan Globalisasi dengan Sunda Wiwitan, maka perlu adanya kajian terhadap objek yang akan diteliti. Karena Sunda Wiwitan merupakan objek yang sifatnya

intangible, dalam artian, bukanlah benda hidup maupun mati, melainkan suatu bentuk kebudayaan, maka perlu adanya penjelasan terhadap kebudayaan tersebut.

Menurut Koentjaraningrat melalui bukunya Pengantar Ilmu Antropologi

(1985), dalam menjelaskan kebudayaan manusia, antropolog biasa menggunakan tujuh unsur kebudayaan (cultural universal) sebagai pedoman, diantaranya (1) sistem bahasa, (2) sistem teknologi, (3) sistem ekonomi, (4) sistem organisasi sosial, (5) sistem pengetahuan, (6) kesenian, (7) sistem religi. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut oleh Koentjaraningrat diuraikan kembali menjadi sembilan unsur. Berikut penjelasan tentang Sunda Wiwitan di Kampung Cireundeu hasil observasi yang telah diuraikan berdasarkan sembilan unsur menurut Koentjaraningrat:

1. Lokasi, Lingkungan Alam dan Demografi

Cireundeu berasal dari nama “pohon reundeu”, karena sebelumnya di kampung ini banyak sekali populasi pohon reundeu. Pohon reundeu itu sendiri ialah pohon untuk bahan obat herbal. Oleh karena itu, kampung ini disebut Kampung Cireundeu.12 Kampung Cireundeu merupakan sebuah kampung yang secara geografis terletak di lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlugu.13 Namun, secara administratif, Kampung Cireundeu lebih dikenal

terletak dekat Tempat Pembuangan Akhir Sampah Leuwi Gajah, Kecamatan

12 Disparbud. 2012. Kampung Adat Cireundeu. dalam

http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.phpeidl1033&langlid [3 Juni 2015]

(20)

Cimahi Selatan. Dengan lingkungan alam yang berupa perbukitan, Kampung Cireundeu dahulunya dikenal sebagai TPAS di mana masyarakat luar akan berpikir dan berharap menemukan pemandangan lahan sawah yang menguning dan menghijau. Namun, kini setelah kejadian longsor pada TPAS tahun 2005, Kampung Cireundeu menjadi kampung adat yang terkenal dengan pemandangan penanaman ketela atau singkong dengan rumah-rumah warga yang kecil dan sederhana diantaranya.14

Pada Kampung Cireundeu, terdapat sekitar 50 kepala keluarga dan 800 jiwa manusia yang menetap di mana sebagian dari mereka memeluk kepercayaan Sunda Wiwitan dan sebagian besar lagi memeluk agama Islam. Kampung Cireundeu memiliki luas kurang lebih 64 ha di mana 60 ha digunakan untuk pertanian, dan 4 ha digunakan untuk pemukiman. Dari 60 ha tersebut, wilayah terbagi menjadi 3 bagian hutan yaitu Leuweung Larangan (hutan terlarang) yang merupakan hutan yang tidak boleh ditebang karena merupakan penyimpanan air untuk masyarakat Cireundeu; Leuweung Tutupan (hutan reboisasi) yang merupakan hutan yang boleh dipergunakan dan ditebang namun harus ditanam kembali dengan pepohonan yang baru; dan Leuweung Baladahan (hutan pertanian) yang boleh digunakan untuk berkebun masyarakat adat Cireundeu seperti jagung, kacang tanah, singkong, ketela dan umbi-umbian.15

2. Asal Mula dan Sejarah Suku Bangsa

Wiwitan adalah kata dalam bahasa Sunda yang artinya permulaan (awal), sehingga Sunda Wiwitan merupakan Sunda yang paling awal. Menurut Kang Yana, tidak ada asal mula khusus dari masyarakat Sunda Wiwitan di Cireundeu. Namun umumnya masyarakat Cireundeu memiliki hubungan dengan masyarakat Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat.

14 Ibid.

(21)

Penghayat Sunda Wiwitan sudah ada jauh sebelum Belanda menduduki Jawa. Namun, institusionalisasi Sunda Wiwitan lahir ketika Pangeran Madrais seorang tokoh keturunan Kesultanan Gebang (Cirebon), diasingkan (dilindungi dari Kolonialis Belanda) ke Kuningan, Jawa Barat. Sederhananya, determinasi diri golongan atau kelompok masyarakat Sunda Wiwitan baru muncul pada zaman Pangeran Madrais ini.

Pada 1918, determinasi diri masyarakat Sunda Wiwitan di Cireundeu semakin kuat ketika para leluhur penghayat Sunda Wiwitan di sana memisahkan (membedakan) diri dari masyarakat di sekitarnya yang umumnya beragama Islam. Pemisahannya bukan dengan membagi-bagi wilayah, namun apabila kita melihat kelompok orang yang tidak memakan nasi di Cireundeu, melainkan hanya memakan olahan singkong, maka bisa dipastikan ia penghayat Sunda Wiwitan. Bentuk determinasi diri ini dilakukan leluhur Sunda Wiwitan Cireundeu karena ketika itu, mereka khawatir di masa yang akan datang generasi penerus mereka akan kesulitan mendapatkan bahan makanan pokok. Karenanya, pada 1924 masyarakat penghayat Sunda Wiwitan di Cireundeu mulai beralih mengkonsumsi olahan singkong dan rasi (beras singkong).

Dari kekhawatiran dan kepedulian leluhur akan generasi anak-cucunya ini, lahirlah beberapa prinsip yang menunjukkan determinasi kelompok penghayat Sunda Wiwitan di Cireundeu, diantaranya:

"Teu Nyawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat.

Maknanya, Tidak Bertani Asal Punya Padi, Tidak Punya Padi Asal Punya Beras, Tidak Punya Beras Asal Bisa Memasak, Tidak Memasak Asal Makan, Tidak Makan Asal Kuat. Namun meski mereka penghayat Sunda Wiwitan, tidak berarti mereka sama dengan penghayat Sunda Wiwitan di Baduy, Banten yang tertutup. Mereka juga memiliki prinsip:

(22)

Makna denotasinya adalah mengibu ke waktu dan mebapak ke zaman. Sementara konotasinya berarti kita harus menghargai waktu dan zaman meski kita teguh/tegas terhadap perubahan zaman. Sederhananya, mereka pada dasarnya mengikuti perkembangan zaman, namun tetap memegang teguh identitas diri mereka sebagai masyarakat Sunda Wiwitan.

3. Bahasa

Bahasa yang digunakan di Kampung Cireundeu dalam kesehariannya adalah Bahasa Sunda dan Indonesia. Sebagian besar dari penduduk Kampung Cireundeu merupakan keturunan leluhur yang asli penduduk Kampung Cireundeu jauh semenjak penjajahan Belanda dan Jepang bahkan sebelumnya. Oleh karena itu, sebagian besar warga menggunakan Bahasa Sunda yang telah diturun temurunkan dalam kesehariannya. Namun, mereka juga mampu berbahasa Indonesia dikarenakan (1) keluarga mereka yang berasal dari luar kampung, (2) tuntutan administratif, (3) dipelajari di sekolah dasar dan menengah. Selain dari faktor tersebut, karena Kampung Cirendeu sudah dilabeli sebagai ‘Desa Wisata’ maka ada tuntutan dalam penggunaan bahasa Indonesia bagi wisatawan domestik dan bahasa Inggris bagi wisatawan asing.

(23)

4. Sistem Teknologi

Warga Kampung Cireundeu dan kampung itu sendiri secara keseluruhan sudah sangat terbuka dengan dunia luar. Hal ini dapat dilihat bagaimana difokuskannya Kampung Cireundeu sebagai Desa Wisata yang berhasil menarik para pengunjung yang tidak hanya lokal, tetapi juga internasional. Pada dasarnya di Sunda Wiwitan klasik, sistem teknologi yang digunakan oleh warga berupa barang hasil alam yang diolah menjadi perangkat atau alat-alat tertentu, contohnya seperti tulang, kayu pohon, bebatuan, serat-serat daun, bambu dan lain-lain. Bagaimana pun, karena prinsipnya terhadap zaman cukup fleksibel, warga Sunda Wiwitan Kampung Cireundeu sudah tidak hanya menggunakan alat-alat dan perkakas tradisional lagi, tetapi juga telah menggunakan keramik, kaca beling, plastik, alumunium, seng, dan lain-lain.

Teknologi modern yang diadaptasi oleh warga Cireundeu dapat dilihat dalam penggunaan peralatan dapur bersama untuk memproduksi berbagai olahan singkong yang dijual kembali dan pada warga sekitar yang sehari-hari telah turut menggunakan handphone, kalkulator, komputer dan teknologi-teknologi terkini lainnya. Perumahan dan bangunan-bangunan pun dapat dilihat telah menggunakan ubin dan genteng dengan dinding yang sudah kokoh dari batu-bata dan tidak sekedar anyaman bambu atau tanah liat dengan lantai semen atau tanah. Peralatan dapur pun telah menggunakan kompor gas, sendok-garpu alumunium, piring plastik dan kaca yang diiringi dengan kendaraan bermotor dan pakaian modern seperti celana atau rok jeans dan kaos oblong.

5. Sistem Mata Pencaharian (Ekonomi)

(24)

memiliki 3 hingga 5 petak kebun ketela yang berbeda-beda masa tanamnya. Setiap petak kebun dibuat berbeda masa tanamnya, sehingga pada tiap petaknya akan berbeda masa panennya, maka sepanjang tahun ladang mereka selalu menghasilkan ketela.16

Selain dari petani, mata pencaharian yang berada di Kampung Cireundeu tidak lain adalah peternak, seperti ternak bebek, ayam dan ikan, penjual obat herbal yang merupakan sisa tanaman pohon reundeu di Cireundeu dan wirausahawan yang membentuk UKM dan menjual-belikan olahan-olahan singkong atau ketela. Mata pencaharian warga Kampung Cireundeu tidak terlalu bervarian, karena warga Kampung Cireundeu kebanyakan tidak suka merantau atau berpindah-pindah dengan orang-orang kerabatnya, sehingga warga pun hanya memanfaatkan apa yang ada di dalam Kampung.

6. Organisasi Sosial

Sunda Wiwitan di Kampung Cireundeu bercakup hanya pada satu kampung, dan tidak satu desa atau kelurahan. Organisasi sosial yang benar-benar dipakai pun tidak sesuai administrasi negara dengan Kepala RW dan RT walaupun Kampung Cireundeu melingkupi satu RW dan terdapat pula Kepala RW dan Kepala RT. Kampung Cireundeu memiliki sistem kekerabatan khusus yang merupakan sistem keluarga dalam suku Sunda yang bersifat bilateral, yaitu garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama. Sistem tersebut dalam adat Sunda dikenal sebagai pancakaki.

(25)

yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak dari kakak, keponakan anak dari adik, dan seterusnya. Adapula istilah sistem kekerabatan lainnya berdasarkan ego, contohnya Ibu dapat disebut Ema, Ma. Sedangkan Bapak disebut Bapa, Apa, Pa. untuk Kakak laki-laki disebut Akang, kang dan untuk Kakak perempuan disebut Ceu, Eceu.17

Sistem kekerabatan ini merupakan simbol dari tali silaturahim khas Sunda (pancakaki) yang sesuai dengan ajaran agama yang mengajarkan umatnya untuk menyebarkan keselamatan. Di samping itu, warga Kampung Cireundeu juga memiliki sistem gotong-royong dalam berbagai kegiatan bersama yang masih terasa diantara warganya, mau warga tersebut Sunda Wiwitan ataupun bukan. Setiap pengambilan keputusan diantara warga Kampung Cireundeu khususnya untuk yang Sunda Wiwitan dilakukan dengan cara musyawarah. Tidak ada pemilihan kepemimpinan kepala suku dan lain-lain, karena semua terjadi dari seleksi alam. Adapun interaksi kepala suku dan pengikut, yaitu ada sesepuh, Ais Pangampih dan Paniten yang terpilih 3 tahun sekali kemudian dievaluasi.

7. Sistem Pengetahuan

Sistem pengetahuan masyarakat Sunda Wiwitan di Cireundeu bisa dikatakan unik dan prematur. Bila kita melihat sejarah tentang leluhur di sana yang mengalihkan masyarakat Sunda Wiwitan di Cireundeu agar mengkonsumsi singkong, kita bisa melihat bagaimana para leluhur mengajarkan generasi penerusnya untuk peka terhadap alam.

Para leluhur tahu dan mengajarkan, apabila seluruh lahan ditanami sawah, maka pepohonan yang merupakan tempat berlindung hewan-hewan harus ditebang, kondisi tanah dan air tanah akan terganggu, erosi lebih rentan terjadi, ekosistem alam juga tidak akan seimbang, apalagi melihat kondisi geografi Cireundeu yang berbukit-bukit. Oleh karena itu, perlu ada pepohonan dan semak yang cukup. Singkong menjadi alternatif pohon kecil. Berbeda dengan sawah,

(26)

singkong bisa ditanam di bawah pepohonan rindang. Sehingga, pohon-pohon tetap lestari, tidak seluruhnya ditebang untuk lahan persawahan.

Selain peka terhadap alam, mereka juga diharuskan peka terhadap lingkungan. Karenanya, selain faktor alam di atas, ada faktor lain yaitu meningkatnya populasi. Para leluhur khawatir para penerusnya akan mengalami kelangkaan dalam memperoleh makanan pokok karena harus berebut dengan orang lain. Menurut Kang Yana, ada cerita bahwa para leluhur berkorban selama enam tahun tidak memakan makanan pokok agar penerusnya tahan pangan.

Melalui bantuan pemerintah, para penghayat Sunda Wiwitan di Cireundeu mengembangkan olahan singkong yang memiliki gizi yang baik. Sebelumnya, melalui para leluhur, mereka telah sadar bahwa rasi justru memiliki kadar (manis) glukosa yang lebih rendah daripada nasi. Sehingga aman dari ancaman diabetes. Selain rasi, adapula Dendeng dari Kulit Singkong sebagai salah satu contoh pengembangan olahan singkong yang kaya akan gizi. Kulit singkong merupakan bagian yang sering dibuang dan tidak memiliki kandungan gizi sebanyak dagingnya, maka mereka memanfaatkan kulitnya untuk diolah, mereka juga menambahkan daging ikan dalam membuat Dendeng Kulit Singkong sebagai sumber proteinnya.

Secara umum, masyarakat Sunda Wiwitan di Cireundeu memiliki sistem pengetahuan di bidang pangan yang lebih dahulu maju daripada masyarakat Indonesia pada umumnya. Kebiasaan mereka mengkonsumsi singkong membuat mereka ahli dalam mengolah makanan dari bahan alternatif, bukan bahan pokok.

(27)

Identitas diri mereka terjaga melalui aktivitas rutin setiap malam minggu. Setiap malam minggu, di Bale Sarasehan Desa Cireundeu, selalu ada latihan kesenian, seusai latihan diadakan diskusi nilai, pikiran dan pendapat. Aktivitas ini menjadi media dalam mentransfer pengetahuan dari leluhur ke generasi penerus untuk menjaga identitas mereka dan memegang teguh prinsip-prinsip mereka sekaligus mengiringi perkembangan zaman. Bahkan untuk melakukan harmonisasi dengan zaman, para penghayat tetap menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah dasar dan sekolah menengah.

8. Sistem Religi

Karena Sunda Wiwitan di Cireundeu memiliki hubungan dengan para penghayat di Kuningan, maka para penghayat memiliki kesamaan prinsip:

o Jangan memakan keringat orang lain, ini berarti kita tidak boleh memakan hak orang lain seperti merampas, merampok, mencuri atau menyakiti orang lain.

o Tidak boleh memaksa orang lain untuk menganut aliran kepercayaan yang mereka peluk.

Sementara prinsip utama Sunda Wiwitan secara umum yang mendasar adalah:

 Monoteisme

Sang Hyang Kersa; atau Batara Tunggal; atau Gusti; atau dalam bahasa Indonesia disebut Tuhan Yang Maha Kuasa/Yang Maha Esa.

 Hubungan dengan Tuhan, Hubungan dengan Alam dan Hubungan dengan

Manusia.

 Pikukuh Tilu

1. Ngaji Badan

(28)

Secara denotasi diartikan setia terhadap tanah. Secara konotasi, tanah di sini terbagi dua: taneuh adegan dan taneuh hamparan.

- Taneuh Adegan adalah raga atau jasmani. Prinsip ini mengajarkan kita untuk cinta terhdap diri secara fisik dalam artian bersyukur akan kesempatan mengisi dan mengolah raga ini. Prinsip ini menekankan pada

cara-ciri manusia.

o Cara-ciri manusia yaitu welas asih. Welas muncul dari dalam diri, dari niat. Asih merupakan bentuk tindakan dari niat yang diolah melalui rasa. Sehingga kita tidak boleh hanya berwelas, melainkan harus pula diamalkan, mengasih. Amal tidak hanya dengan ucapan (doa), tapi tindakan.

- Taneuh hamparan adalah tanah yang kita pijak. Selain itu, harus cinta pada bumi yang kita pijak, dimana lebih diartikan sebagai sifat pribadi bangsa. Sebagai seorang manusia yang telah diciptakan sebagai anggota salah satu sukubangsa harus dapat mencintai dan menghargai cara-ciri bangsa sendiri.

o Cara-ciri bangsa di sini dapat digolongkan ke dalam bentuk bangsa atau ras. Penghayat Sunda Wiwitan Cireundeu mengacu pada terminologi ‘Sunda Besar’ (bukan hanya Sunda Kecil) karenanya mereka memiliki larangan dalam pernikahan. Mereka boleh menikahi non-penghayat, namun cara-ciri bangsanya harus sama. Mereka tidak boleh menikah dengan orang kulit putih, bermata biru, berambut pirang dan segala yang tidak mencirikan cara-ciri bangsa Sunda Besar. Sunda Besar sendiri menurut Kang Yana meliputi Indonesia termasuk Maluku dan Papua, Melayu, Indochina, India hingga Madagaskar.

3. Madep ka ratu-raja anu 3-2-4-5 lilima 6

- Ratu-raja 3: sir, rasa, pikir (tekad, ucap, perbuatan)

(29)

diselaraskan dengan dengan pikiran yang menghasilkan tindakan (di sinilah lahir konsep benar dan salah, sesuai atau tidak).

- Ratu-raja 2: Hukum Keseimbangan

Dalam hidup selalu ada yang berpasang-pasangan seperti adanya siang dan malam, atau laki-laki dan perempuan.

- Ratu-raja 4: Filosofi Empat Mata Angin

Proses wiwaha yuda nagara (perang dalam diri sendiri). Bagaikan arah mata angin yang pasti mengarah kea rah yang tepat, maka ketika menuju suatu tujuan, kita harus teguh tidak boleh tergoda oleh hal-hal lain. - Ratu-raja 5: Lima Pancaran Getaran Jasmani

Lima pancaran daya sukma salira. Menjaga lima pancaindera - Ratu-raja Lillima: Lima Pancaran Getaran Rohani

Lima pancaran daya sukmasejati. Memfungsikan indera dari pancaran hati nurani dan pengalaman indrawi karena rangsangan dari alam.

- Ratu-raja 6: Genep

Dalam bahasa Sunda, enam berarti genep yang berarti menggenapkan wujud diri manusia seutuhnya.

‘Ratu-raja’ sendiri memiliki makna agar menghargai ibu terlebih dahulu. Urutan angka tiga mendahului angka dua karena ‘sir, rasa, pikir’ adalah salah satu prinsip utama dalam Sunda Wiwitan. Sementara tidak adanya angka satu karena angka tersebut hanya dimiliki oleh Sang Hyang Kresa.

 Atribut Religik

Penghayat Sunda Wiwitan tidak memiliki atribut religi tertentu. Mereka hanya memiliki atribut kebudayaan yang juga dikenakan oleh adat sunda non-penghayat. Mereka mengedepankan spiritualitas diri dengan Tuhan, sesama manusia dan alam, bukan atribut-atribut keagamaan.

(30)

nama. Perihal pemakaman juga menjadi kendala bagi penghayat Sunda Wiwitan di Indonesia. Karena secara administratif (di KTP) kolom agama mereka kosong, mereka tidak diperbolehkan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum dimanapun di Indonesia. Oleh karena itu, banyak para penghayat yang meninggal di luar Cireundeu, namun meminta izin agar dapat dimakamkan di kampung Cireundeu.

 Momen dan Penanggalan

- Upacara 1 Sura

Upacara atau ritual ini merupakan Hari Besar yang dirayakan setiap tanggal 1 Sura menurut penanggalan tahun Islam. Biasanya dilakukan mulai dari pagi hari hingga malam hari yang bertempat di Bale Saresehan. 1 Sura sudah dianggap seperti lebaran bagi warga Cireundeu, bukan hanya bagi penghayat Sunda Wiwitan tapi juga yang beragama Kristen dan Islam. Karena pada momen ini, seluruh penganut agama maupun penghayat di Kampung Cireundeu berkumpul serta bersilaturahim.

- Penanggalan Saka Sunda

Para penghayat Sunda Wiwitan di Cireundeu juga memiliki tanggalan yang mengikuti perputaran Bulan seperti halnya tanggalan Islam. Penyebutan hari yang digunakan mirip penanggalan Jawa Kuno namun bahasanya menggunakan bahasa Sunda.

- Puasa

(31)

9. Kesenian

Secara umum, bentuk-bentuk kesenian di Kampung Cireundeu tidaklah berbeda dengan masyarakat Adat Sunda pada umumnya, namun keunikannya terdapat pada Angklung Buncis dan Rumpaka:

Seni Rupa: Tidak Ada

Seni Suara: Seni vocal : Nembang, Ngawih Cianjuran

Seni instrumental : Angklung, gamelan, kacapi

Seni sastra : Rumpaka

Apabila pembaca pernah mendengar Batik Cireundeu (Batik Singkong), maka sejatinya batik tersebut bukanlah berasal dari Kampung Cireundeu. Kampung Cireundeu tidak memproduksi batik. Para desainer batik singkongpun bukan berasal dari masyarakat Cireundeu, mereka umumnya berasal dari Cimahi kota yang memiliki perhatian akan Kampung Cireundeu.

Angklung Buncis di Cireundeu merupakan perpaduan antara angklung dengan alat music dog-dog, terbuat dari bambu dan dipukul oleh stik kayu. Di Cireundeu, mereka masih membuat sendiri alat musik yang mereka mainkan Awalnya Angklung Buncis dimainkan oleh pria dewasa namun tahun 1999 para sesepuh bersepakat menurunkan kesenian ini pada anak laki-laki yang usianya 6-13 tahun, ini merupakan salah satu upaya pelestarian kesenian yang dimaksudkan agar sedari kecil mereka mengenal kesenian dari leluhurnya.

Rumpaka secara singkat adalah kata-kata yang dipergunakan dalam sekar. Penggunaan rumpaka tidak terbatas pada lirik atau syair saja, tetapi juga epik dramatik dan bentuk puisi lainnya termasuk juga bentuk prosa (prosa liris) masuk didalamnya. Rumpaka dapat disamakan juga dengan puisi atau syair, bedanya rumpaka dapat pula disindenkan atau sebagai pengiring dalam pewayangan.

(32)
(33)

BAB V

GLOBALISASI DAN POLA HIDUP PENGHAYAT SUNDA WIWITAN DI KAMPUNG CIREUNDEU

V.1. Falsafah Ngindung ka Bumi, Mibapa ka Jaman

Globalisasi merupakan suatu gerakan untuk membuat dunia ini menjadi satu kampung dunia, jadi di dunia ini tidak mengenal lagi adanya batas-batas Negara, atau ada usaha-usaha baik itu suatu faham, isme, atau suatu idiologi, yaitu supaya sejagat ini hanya ada satu isme, satu idiologi saja.18 Globalisasi sendiri memiliki turunan yang sekaligus cara pandang kita melihat globalisasi, yaitu Glokalisasi dan Grobalisasi. Globalisasi memberi memberikan peluang bagi berlangsungnya proses trans-informasi cultural yang bersifat lintas Negara bahkan lintas benua.19 Sehingga baik Glokalisasi maupun Grobalisasi dapat diistilahkan sebagai suatu arus trans-informasi dua arah yang menciptakan fenomena Globalisasi. Penghayat Sunda Wiwitan di Kampung Cireundeu menyadari bahwa globalisasi seharusnya tidak dimaknai satu arah atau mewakili satu budaya (popular atau industrialis), tapi mendunia, menyeluruh, global. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mereka memiliki prinsip yang menjadi dasar para penghayat untuk mengembangkan sistem pengetahuan mereka. Sehingga, terjadi proses pengembangan yang positif antara identitas diri dan perkembangan zaman. Dalam pembahasan ini, kami mengklasifikasikan pola hidup penghayat Sunda Wiwitan di Cireundeu dengan falsafahnya, Ngindung ka Bumi, Mibapa ka Jaman, menjadi dua bagian. Tentunya hal ini didasarkan dari studi etnografi yang sebelumnya telah kami lakukan. Tujuannya untuk menelaah mana identitas yang muncul dari dalam diri dan menjadi karakter, serta mana identitas hasil proses mereka mengolah pengetahuan dari arus globalisasi yang masuk. Berikut pembagiannya:

18 Drs H. Takrib idi Sobari. Suatu tantangan terhadap eksistensi Wawasan Nusantara. Diunduh pada :http://elib.fkip.unpas.ac.id.

(34)

1. Identitas yang Dipertahankan

 Bahasa

Dengan berlokasi di daerah Cimahi, Jawa Barat dan sebagian besar memang menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa sunda dipertahankan sebagai bahasa lokal dan dianggap sebagai bahasa ibu bagi penghayat Sunda Wiwitan dikarenakan sifat turun-menurun dari nenek moyang mereka. Bahkan para sesepuh penghayat di sana menjadi referensi bagi guru dan murid SD Negeri Cireundeu dalam mempelajari bagaimana berbahasa Sunda yang baik dan benar.

 Makanan Pokok

Mengenai makanan para penghayat Sunda Wiwitan di Kampung Cirendeu menganut prinsip Teu Nyawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat. Inti dari filosofi ini adalah mereka sama sekali tidak memakan nasi dari beras, melainkan hanya memakan rasi (beras singkong) dari singkong. Sekali mereka menyatakan diri mereka sebagai Penghayat Sunda Wiwitan, maka pantang bagi mereka makan nasi. Bahkan olahan kue dan makanan ringan yang terbuat dari tepung beraspun tidak boleh mereka makan. Mereka tidak menyatakan nasi haram bagi mereka, namun mereka memaknainya sebagai bentuk welas asih terhadap masyarakat di dunia ini dan generasi mendatang terkait kekhwatiran manusia akan ketersediaan sumber makanan pokok (ketahanan pangan).

 Cara-ciri Bangsa

(35)

pernikahan dengan orang ‘Bule’ atau ‘Barat’ (bila menggunakan perspektif studi HI) adalah dilarang.

 Sistem Ekonomi

Sebagian besar warga Sunda Wiwitan ini berprofesi sebagai petani, beternak dan berkebun yang dilakukan secara turun menurun. Walaupun ada sedikit yang bekerja diluar akan tetapi dikarenakan penghayat Sunda Wiwitan di Kampung Cirendeu ini lebih memilih untuk tidak bepergian keluar dari lingkungan mereka. Istilah merantau sangat jarang bagi penghayat di sana, kecuali bila berpindah atau bepergiannya menuju Kuningan, Jawa Barat. Dapat diartikan, ada pengecualian yaitu bila terdapat penghayat lainnya, maka ada kemungkinan mereka berpindah. Intinya, karena mereka lebih memilih untuk menetap di lingkungannya, mata pencaharian yang dimiliki oleh para penghayat hanya di seputar itu saja dan lebih kepada optimalisasi dari lingkungan alam yang sudah ada.

2. Hal yang Mengikuti Perkembangan Zaman

 Bahasa

(36)

 Teknologi

Perkembangan teknologi memang tidak ada habisnya, secara berkelanjutan terus menerus datang ke berbagai lapisan elemen masyarakat. Bahkan sampai ke masyarakat pedalaman juga mau tidak mau, suka tidak suka juga mewabah. Dan perkembangan ini juga tidak sepenuhnya dapat dinilai secara negatif akan tetapi banyak nilai positifnya pula yaitu dengan mempermudah aktifitas sehari-hari yang dilakukan oleh para penghayat Sunda Wiwitan di Kampung Cirendeu. Sulit memisahkan pengetahuan dan teknologi, para penghayat menyadari bahwa untuk mengoptimalisasi pengetahuan mereka maka mereka perlu menerima perkembangan teknologi di era globalisasi. Dari hasil observasi dan studi etnografi, kami menemukan beberapa bukti nyata bagaimana globalisasi telah mempengaruhi para Penghayat Sunda Wiwitan di Cireundeu untuk menerima informasi dan pengetahuan dari luar:

- Akses Jalan Cor

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa akses jalan adalah gerbang bagi pertukaran informasi, karena dengan akses jalan yang baik maka dua peradaban dapat terhubung dengan lebih efisien. Ini menunjukkan para penghayat Sunda Wiwitan di Cireundeu membuka diri bagi pertukaran informasi, siap menerima globalisasi, siap juga aktif dalam globalisasi. Jalan yang dibangun dengan cara dicor membuktikan bahwa mereka telah mengenal teknologi dari perkembangan keilmuan teknik sipil.

- Listrik dan Lampu

(37)

- Alat-alat Produksi

Para penghayat Sunda Wiwitan mengolah singkong menjadi beras singkong, tepung singkong dan olahan singkong lainnya tentu dengan bantuan alat-alat produksi. Alat-alat produksi ini sendiri terdiri dari mesin-mesin hasil penemuan dan pengembangan sejak masa industrialisasi dan imperialisme. Ini menunjukkan grobalisasi Industrialisme Barat diterima oleh Penghayat Sunda Wiwitan di Cireundeu. Bahkan mereka mengkreasikannya memanfaatkan nilai-nilai yang mereka pegang seperti prinsip-prinsip serta pengetahuan tentang mereka tentang kondsis alam dan manusia, menjadikan proses grobalisasi yang mengepung Sunda Wiwitan di Cireundeu, diglokalisasi sehingga memperkaya pluralitas globalisasi itu sendiri.

- Kendaraan Bermotor

Penggunaan kendaraan bermotor di Kampung Cireundeu menunjukkan terjadinya arus satu arah dari barat ke timur memanfaatkan proses globalisasi. Mereka jelas tidak menciptakan kendaraan bermotor lain, mereka juga tidak mengkreasikan kendaraan bermotor baru. Tidak ada proses glokalisasi yang terjadi, menunjukkan bahwa pemanfaatan kendaraan bermotor di Kampung Cireundeu masih murni sebagaimana maksud dan tujuan kendaraan bermotor pertama kali diciptakan.

- Televisi, radio, mesin cuci dan alat elektronik

(38)

- Telefon genggam, Komputer dan Internet

Teknologi-teknologi ini adalah beberapa teknologi yang dimanfaatkan para penghayat sebagai media glokalisasi. Meski mereka dikepung oleh grobalisasi para kaum kapitalis dan menjadikan para penghayat ketergantungan dengan –terutama telefon genggam dan internet– namun pemanfaatannya mampu mereka optimalkan untuk mengenalkan budaya, pola hidup dan olahan pangan mereka. Menjadikannya sebagai media bertukar informasi merupakan proses glokalisasi yang mereka lakukan terhadap arus globalisasi yang datang dari barat. Sehingga lahir karakter bahwa penggunaan teknologi tersebut tidaklah hanya untuk kaum kapitalis, tidaklah hanya bagi golongan konsumtif, tetapi juga sebagai media glokalisasi.

 Sistem Pengetahuan

Selain sistem pengetahuan yang diterapkan melalui kesenian –seperti yang telah dijelaskan dalam BAB sebelumnya– para penghayat juga memanfaatkan sistem teknologi seperti televisi, telefon genggam dan internet sebagai media dalam mengembangkan sistem pengetahuan mereka.

 Sistem Ekonomi

(39)

Dari pengklasifikasian di atas, kita dapat melihat bahwa pada beberapa aspek, telah terjadi proses grobalisasi dari luar dan proses glokalisasi dari para penghayat Sunda Wiwitan di Cireundeu itu sendiri. Dilihat dari kedelapan poin tersebut, kami menemukan bahwa proses pengolahan informasi dari luar sebagai potensi mereka mengembangkan nilai-nilai yang mereka pegang --salah satu yang utamanya-- yaitu mengkonsumsi olahan singkong, merupakan bentuk glokalisasi. Ini didasari dari bagaimana arus informasi mengepung mereka melalui adanya globalisasi ini. Sementara informasi dan nilai yang mereka sebarkan keluar, (1) tidak menunjukkan niatan yang kapitalistik karena mereka berfokus pada pemenuhan kebutuhan kampung mereka sendiri serta kepedulian mereka akan kelangkaan pangan pokok; dan (2) tidak bermaksud memaknai kembali/memperkuat nilai mereka yang sebelumnya telah mengglobal karena ruang lingkup nilai yang mereka pengaruhi masih regional. Kedua hal tersebut merupakan bentuk grobalisasi yang justru hadir mengepung nilai-nilai yang dipegang para penghayat Sunda Wiwitan di Cireundeu.

Kemudian, dari kedelapan poin yang telah kami klasifikasi, kami meneruskan dan memfokuskan penelitian pada sistem pengetahuan dalam pengolahan pangannya. Olahan pangan singkong mereka tidak akan tercipta tanpa nilai dan prinsip Sunda Wiwitan Cireundeu yang mereka pegang sejak dari leluhur mereka. Olahan pangan singkong mereka juga tidak akan tercipta tanpa arus informasi yang datang dari luar. Maka di sini, globalisasi ternyata memberi keuntungan bagi para penghayat dalam melakukan glokalisasi.

V.2. Sistem Pengetahuan Pangan

(40)

modernisasi tersebut. Hal ini bisa kita lihat dalam kehidupan penghayat Sunda Wiwitan di Kampung Cireundeu. Salah satu pola hidup dan sistem pengetahuan yang coba mereka kenalkan ke dunia dikreasikan melalui bidang pangan.

Sebelum membahasnya lebih lanjut, kita perlu tahu dulu bagaimana sistem pengetahuan modern yang populer saat ini. Kami mengambil dua contoh sistem pengetahuan masyarakat modern dengan fokus di bidang pangan:

1. Pengetahuan akan Fast Food

2. Perhatian akan Nutrisi dan Keterjangkauan

Kedua fenomena tersebut lahir dari perhatian masyarakat dunia bahwa populasi dunia terus bertumbuh sehingga mengancam ketersediaan pangan. Industrialisasi memberi solusi sekaligus menggiring pola pikir masyarakat dunia agar dapat memproduksi sumber pangan dengan cepat dan efisien. Hasilnya, beraneka ragam fast food atau makanan cepat saji diproduksi. Restoran-restoran cepat saji dan makanan-makanan instan menjadi opsi baru pengganti makanan pokok. Namun ternyata solusi ini memberi dampak nutrisi yang kurang terpenuhi. Keadaan ini melahirkan dilemma antara ketersediaan pangan dengan pemenuhan nutrisi. Dari sini muncullah kembali perhatian dunia akan pangan melalui badan bentukan PBB yaitu FAO dan WHO:20

(41)

Codex Alimentarius Commission (CAC)

Codex terbentuk pada tahun 1963. Codex merupakan badan antar pemerintah yang bertugas melaksanakan Joint FAO/WHO Food Standards Programme (program standar pangan FAO/WHO).21 Codex dibentuk dengan tujuan antara lain untuk melindungi kesehatan konsumen, menetapkan teks-teks yang terdiri dari standar, pedoman, code of practice dan rekomendasi lainnya yang mencakup bidang komoditi pangan, kententuan bahan tambahan dan kontaminan pangan, batas maksimum residu pestisida dan residu obat hewan, prosedur sertifikasi dan inspeksi serta metoda analisa dan sampling.

Codex Alimentarius memiliki patokan standar keamanan pangan dan pengakuan secara internasional yang pada akhirnya memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan kemanan pangan dan meningkatkan status gizi. Saat ini, The International Organization for Standardization telah membuat suatu standar yang dikenal secara internasional untuk sistem manajemen keselamatan pangan yang dapat diterapkan dalam produk pangan.22 Dengan pendekatan manajemen sistem dan persyaratan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) standar sistem ini dikenal dengan sebutan ISO 22000.

Itulah bagaimana kita melihat FAO dan WHO memfasilitasi dunia dengan menciptakan sistem pengetahuan masyarakat internasional. Kami mengambil istilah sistem pengetahuan masyarakat internasional karena kedua organisasi internasional ini menggunakan sistem pengetahuan yang didapat dari hasil pembahasan yang dilakukan dalam konferensi-konferensi maupun pertemuan antar negara yang mereka lakukan.

Sebagai contoh, untuk dapat mengukur tingkat gizi yang dimiliki oleh masyarakat dunia, World Health Organization (WHO) juga telah mengembangkan standar pertumbuhan yang sampelnya berasal dari enam negara

21 http://codexindonesia.bsn.go.id/main/submodule/submodule_det/1

(42)

yaitu Brazil, Ghana, India, Norwegia, Oman dan Amerika Serikat. Salah satu sistem yang digunakan adalah dengan Antropometri atau pengukuran tubuh manusia dilihat dari ciri-ciri fisik dan selnya. Tujuannya untuk menilai status gizinya. Antropomteri disajikan dalam bentuk indeks yang dikaitkan dengan variabel lain.23 Maka antropometri menjadi salah satu sistem pengetahuan yang mereka kembangkan untuk melihat gizi masyarakat dunia.

Masyarakat penghayat Sunda Wiwitan di Cireundeu juga memiliki sistem pengetahuan pangannya sendiri. Tidak ada standar seperti ISO 22000 ataupun standar Codex Alimentarius. Karena mereka melakukan sendiri perawatan bahan pangannya, memantau sendiri pembuatan olahan singkongnya serta melihat sendiri efek yang diberikannya. Kang Yana menginformasikan, “Puji syukur, tidak ada yang diabetes atau obesitas di Kampung Cireundeu. Sudah ada juga peneliti-peneliti dari pemerintah yang mengatakan kalau rasi memiliki nutrisi yang cukup, tidak seperti nasi aking.”

Pada dasarnya apa yang dilakukan para sesepuh dan penghayat Sunda Wiwitan dalam memantau proses mengolah pangan mereka, sudah dapat dikategorikan sebagai teknik Antropometri. Mereka memantau ciri-ciri fisik dan kesehatan warganya melalui posyandu yang telah tersedia di sana. Di sini kita dapat melihat proses grobalisasi barat terhadap masyarakat dunia melalui antropometri dan standarisasi-standarisasi. Bentuk-bentuk standarisasi tersebut tidak menjadi hirau bagi para penghayat Sunda Wiwitan di Cireundeu karena mereka telah memantau pola pangan mereka sendiri selama 91 tahun. Mereka yakin dan telah membuktikan, sistem pengetahuan pangan yang diturunkan oleh leluhur mereka sejak 1924 dapat menjadi alternatif baru bagi masyarakat dunia.

Selain sistem pengetahuan pangan para penghayat Sunda Wiwitan Cireundeu yang terbukti memenuhi standar gizi, sistem pengetahuan pangan Sunda Wiwitan Cireundeu ini juga memiliki keunggulan khusus, yaitu ramah dengan alam. Seperti yang telah dijelaskan pada BAB sebelumnya, peralihan masyarakat Cireundeu dari yang seluruhnya bertani menjadi berkebun (singkong)

(43)

oleh leluhur para penghayat, bertujuan untuk menjaga alam dan generasi penerus. Menjaga alam di sini dimaknai dengan terjaganya hutan tanpa harus membuka lahan untuk persawahan, yang justru bila seluruh wilayah dimanfaatkan untuk persawahan akan mengganggu ekosistem, berdampak erosi dan banjir. Salah satu sepuh Cireundeu, Abah Emen, meyakini bahwa segala yang berlebihan adalah tidak baik, karenanya proporsi hutan, sawah dan kebun haruslah seimbang.

Proses globalisasi di Cireundeu terkait sistem pengetahuan pangan memang masih satu arah, dari dunia ke Cireundeu. Pada kasus ini, kita hanya dapat melihat bagaimana grobalisasi mengepung masyarakat Sunda Wiwitan di Cireundeu, dengan segala standarisasinya. Namun pembuktian mereka di bidang pangan yang saat ini cakupan informasinya baru mencapai tingkat regional, akan menjadi potensi mereka memberi warna baru dalam proses globalisasi dunia melalui glokalisasi olahan singkong sebagai pangan pokok mereka.

Sehingga sistem pengetahuan pangan singkong ini dapat juga dikatakan sebagai alat perjuangan salah satu masyarakat minoritas dunia (yaitu Sunda Wiwitan Kampung Cireundeu) dalam mendefinisi ulang globalisasi. Bahwa globalisasi bukan hanya berupa grobalisasi, melainkan juga ada proses

glokalisasi. Globalisasi bukanlah westernisasi atau modernisasi melainkan arus trans-informasi global, dua arah, plural, mendukung perkembangan zaman serta --yang seharusnya tidak boleh dilupakan adalah-- menghargai dan melestarikan alam (seperti halnya nilai religi yang menjadi Sunda Wiwitan).

V.3. Potensi dan Dampak Proses Glokalisasi yang terjadi di Cirendeu

(44)

suatu tradisi tertentu dan dianggap berhak untuk dimiliki oleh semua orang, menembus batas wilayah dan budaya, hal ini kerap dipandang sebagai dampak terhadap kemurnian nilai tradisi yang ada.

Pada kasus sunda wiwitan di Cirendeu, proses glokalisasi juga memberikan potensi yang cukup signifikan terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat setempat. Hal ini membuat masyarakat penganut kepercayaan sunda wiwitan tetap bertindak lokal namun berpikir global. Dalam kesehariannya, masyarakat penganut kepercayaan sunda wiwitan memanfaatkan pengolahan singkong secara maksimal dan kemudian menjadi gaya hidup oleh penganut kepercayaan tersebut. Namun kini, dengan tetap memanfaatkan singkong sebagai bahan panganan utamanya mereka juga menghasilkan variasi baru dalam mengolah bahan baku tersebut. Penganut kepercayaan sunda wiwitan mengolah singkong pada setiap produknya seperti egg roll dan daging berbahan dasar singkong. Hal itu dilakukan untuk menarik minat masyarakat diluar penganut kepercayaan sunda wiwitan. Yang juga merupakan salah satu strategi glokalisasi dengan memanfaatkan potensi khas kepercayaan sunda wiwitan untuk bersaing dengan pasar lokal.

(45)

BAB V

PENUTUP

V.1. Kesimpulan

Studi Etnografi yang kami lakukan memberi kesimpulan bahwa jelas masyarakat penghayat Sunda Wiwitan di Cireundeu telah mengalami dampak globalisasi. Namun dengan nilai-nilai, prinsip dan budaya mereka, mereka memanfaatkan arus yang masuk untuk mengembangkan serta memperkaya nilai dan budaya mereka sendiri terutama terkait sistem pengetahuan pangan. Sehingga tidak salah bila para penghayat Sunda Wiwitan di sana tergolong telah melakukan proses glokalisasi.

Glokalisasi muncul ketika budaya lokal yang dipegang oleh kelompok masyarakat dengan budaya global yang dibawa oleh sapuan arus globalisasi. Inilah yang secara umum terjadi di dalam masyarakat penghayat Sunda Wiwitan di Kampung Cireundeu. Dengan falsafah hidup ngindung ka bumi, mibapa ka jaman yang berarti masyarakat perlu untuk mengikuti arus globalisasi yang ada dan bagaimana zaman menuntut untuk adanya perkembangan, akan tetapi tidak lupa untuk tetap memegang teguh prinsip-prinsip yang telah diajarkan. Sebagai hasilnya, terdapat beberapa budaya lokal Sunda Wiwitan yang mengalami pergeseran dan perkembangan terutama dalam sistem pengetahuan dan teknologi.

(46)

Segala pola hidup para penghayat Sunda Wiwitan di Cireundeu tersebut, terutama sistem pengetahuan pangan yang mereka kembangkan, dapat dikatakan sebagai bentuk perjuangan salah satu masyarakat minoritas dunia (yaitu Sunda Wiwitan Kampung Cireundeu) dalam mendefinisi ulang globalisasi. Bahwa globalisasi bukan hanya berupa grobalisasi, melainkan juga ada proses glokalisasi. Globalisasi bukanlah westernisasi, modernisasi ataupun industrialisasi melainkan arus trans-informasi global, dua arah, plural, mendukung perkembangan zaman serta --yang seharusnya tidak boleh dilupakan adalah-- menghargai dan melestarikan alam (seperti halnya nilai religi yang menjadi Sunda Wiwitan).

V.2. Saran

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Angrosino, M.. 2007. Doing ethnographic and observational research. Thousand Oaks, CA: Sage.

Drs H. Takrib idi Sobari. Suatu tantangan terhadap eksistensi Wawasan Nusantara. Diunduh pada :http://elib.fkip.unpas.ac.id.

Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru

Lodge, George C. 1995. Managing Globalization In The Age Of Interdependence. Pfeiffer & Company: San Diego, CA.

Neuman, W. L. 2003. Social research methods: Qualitative and quantitative approaches (5th ed.). Boston: Allyn and Bacon.

Robertson, Roland. 1992. Globalization. Social Theory and Global Culture, London: Sage Publication.

Roper, J. M., & Shapira, J. 2000. Ethnography in nursing research. Thousand Oaks CA: Sage.

Scholte, Jan Aart. “The Globalization of World Politics” dalam The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations oleh John Baylis dan Steve Smith. 2007. United Kingdom: Oxford University Press. Smith, Steve & Baylis, John .2001. “Introduction,” in Baylis, John & Smith,

Steve (eds.), The Globalization of World Politcs, 2nd edition, Oxford University Press.

Wolcott, H. F. 1999. Ethnography: A way of seeing. Walnut Creek, CA: Altamira Press.

Sumber E-Book dan Internet:

CERFE. 2003. Glocaliization: Research Study and Policy Recommendations. Roma: Global Forum. dalam <http://www.cerfe.org/public/GLOCAL.pdf> diakses pada 1 Mei 2015.

Dariyah. 2010. Dampak Perubahan Sistem Pemerintahan dan Globalisasi di Rusia terhadap Modifikasi Matryoshka sebagai Bentuk Rusifikasi. Depok: Universitas Indonesia. dalam <http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20160895-RB12D38d-Dampak%20perubahan.pdf> diunduh pada 3 Mei 2015.

Ericza Merdiana. 2013. Studi Etnografi Komunikasi Dengan Pendekatan Interaksi Simbolik Mengenai Makna Dalam Media Tradisional Angklung "Budaya Urang Nurutkeun Ciri Sunda" Kampung Adat Cireundeu Sebagai Kearifan Lokal Kota Cimahi. Bandung: Unikom. dalam

Referensi

Dokumen terkait

Password user berhasil di reset, untuk mengirimkan hasil reset password ke email admin centang pada bagian Send password in email/Kirim kata sandi di email, lalu masukkan email

Berdasarkan besarnya intensitas penyakit yang terjadi, ketahanan varietas Dena-1 dikategorikan sangat tahan, varietas Detam-1 tahan, varietas Burangrang agak tahan sementara

Data yang dihasilkan adalah data kualitatif karena data berbentuk kalimat-kalimat terkait permasalahan yang diteliti untuk mengetahui bagaimana pengendalian minuman

Penelitian ini akan mengambil sampel kelas XI jurusan Agama dan alasan penulis mengambil kelas XI karena mereka telah mengalami pendidikan dan pengalaman belajar

Dalam konteks kajian ini, penyelidik menggunakan pesampelan bermatlamat (purposive sampling). seramai 10 orang peserta kajian telah dipilih dan mereka adalah terdiri

Peneliti akan menganalisis data hasil pengamatan untuk mengetahui tentang kemampuan siswa setelah diberikan tindakan dalam praktik keterampilan bercerita menggunakan model

Prosedur perhitungan simulasi dimulai dari perhitungan kebutuhan air, perhitungan potensi air yaitu dengan debit andalan untuk masing-masing lokasi waduk dan sub das,

Dengan menyoroti latar belakang tersebut, pendekatan konstruktivisme dipilih sebagai alternatif tindakan dalam pengajaran dalam menulis karena pendekatan ini