• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUASA DALAM SASTRA PADA MASA ORDE BARU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KUASA DALAM SASTRA PADA MASA ORDE BARU"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

KUASA DALAM SASTRA PADA MASA ORDE BARU1

Oleh Langgeng Prima Anggradinata2

Abstrak

Power (in term of Foucault) affecting all section, especially literature. It can be seen in orde lama and orde baru. In both era, esthetics of indonesian literature has changed significantly. In orde lama (particularly 1960s), literature dominated by socialist realism esthetics that being initiated by Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). In turn, when orde lama fell, and orde baru ruling, socialist realism esthetics become a forbidden esthetic, while universal humanismthat being initiated by Manifes Kebudayaan group, was taking over the dominating. Universal humanism which emphasizes freedom of thought and work into a standard (system of discipline) in the mind of authors in orde lama era that affecting until today. In Michel Foucault approach, changing epistemé, discourse, and science directing a creation of power that affecting some particular esthetics in Indonesia n literature. With Michel Foucault approach, this paper will explain literature phenomenon in orde baru era, where working discpline system and epistemé, discourse, and science produced and producing power.

Keywords: Power, Orde Baru, socialist realism, universal humanism,

1. PENDAHULUAN

Periode sastra tahun 1960-an memperlihatkan suatu dinamika politik dan kebudayaan yang khas dan monumental. Hal itu disebabkan kondisi pada masa itu membimbing kehidupan sosial pada tahap yang menegangkan. Periode 1960-an mungkin menjadi periode paling kelam dalam sejarah Indonesia, maupun kesusastraan Indonesia.

Periode sastra 1960-an tidak bisa dilepaskan dari konfrontasi antara Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudyaan (Manikebu). Perbedaan dasar-dasar dalam berkarya menjadi pemicu persinggungan antara dua kelompok itu. Lekra yang mengusung realisme sosialis cukup berlainan kutub dengan apa yang dipegang kukuh oleh Manikebu, yaitu humanisme universal. Lekra, untuk arti yang lebih spesifik, ia mengusung seni untuk rakyat, sementara Manikebu mengusung seni untuk seni. Kedua dasar itulah yang kemudian menjadi perbedaan antara karya yang dibuat oleh pengarang-pengarang Lekra dan Manikebu, terutama mengenai ide dalam masing-masing karya sastra. Nampaknya penting menguraikan sejarah bagaimana kedua kubu tersebut lahir dan saling berkonfrontasi, minimal secara garis besar.

1Pernah disampaikan dalam seminar Fokus Sastra 2014 (Temu Sastrawan Nasional) yang bertema

“Perkembangan Ideologi Sastra Indonesia secara Historis” di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (Bandung),

26 April 2014.

(2)

Jika membicarakan Lekra, akan teringat nama-nama seperti D.N. Aidit, M.S. Ashar, Njoto, dan A.S. Dharta. Mereka adalah orang-orang yang mendirikan Lekra pada tanggal 17 Agustus 1950. Pada saat itu A.S. Dharta yang bertindak sebagai sekretaris jendral Lekra. Dalam perkembangannya, Lekra menjadi lembaga yang mendominasi. Mereka memaksa dan atau menganjurkan seniman-seniman untuk mengikuti cara mereka berkesenian. Dengan mengusung realisme sosialis, Lekra mengambil jalan bahwa sastra harus berguna bagi rakyat. Hal ini jelas menimbulkan pertentangan bagi sebagian orang yang lebih memilih berkesenian untuk seni itu sendiri. Merespons apa yang dilakukan Lekra, berdirilah Manikebu yang dipelopori Goenawan Mohamad, Arief Budiman, H.B. Jassin, Boen S. Oemarjati, Taufiq Ismail, dll.

Manikebu hadir sebagai lembaga yang berupaya membela hak-hak manusia yang ditindas oleh tirani. Dengan kata lain, Manikebu adalah kelompok seniman yang menentang orde lama, menentang Soekarno, dan ingin mengembalikan ideologi Pancasila yang telah tercerabut dari akarnya karena komunisme pada saat itu. Oleh sebab kelompok ini menentang orde lama atau Soekarno, puisi-puisi, cerpen-cerpen, dan esai-esainya pun bernada protes atau puisi-puisi tentang kemanusiaan.

Kelahiran Manikebu pun direspons oleh Lekra. Lekra yang saat itu dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan penguasa, menggunakan caranya untuk menyingkirkan Manikebu. Pada 8 Mei 1964, pemerintah kemudian mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa Manikebu adalah perkumpulan yang dilarang karena tidak sejalan dengan revolusi. Lekra pun menjadi sesuatu yang tak terhindarkan lagi dari kehidupan kesenian pada saat itu. Ia menguasai kesenian (mungkin) secara menyeluruh, dari kesenian tradisi, hingga seni kontemporer.

Namun, keadaan itu berbalik setelah terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap jenderal Angkatan Darat—peristiwa itu dikenal dengan G30S. PKI diduga menjadi dalang dalam peristiwa itu. Pada tanggal 30 September 1965, PKI dan organisasi yang diduga menjadi bagian darinya dilarang dan dibasmi. Lekra yang dianggap berafiliasi dengan PKI pun turut dilarang dan seniman-seniman yang ada di dalamnya diasingkan. Akhirnya, sejak saat itu, dominasi Lekra pun digantikan oleh Manikebu.

(3)

periode 1960-an, lebih khususnya setelah runtuhnya orde lama, dapat dilihat bagaimana

epistemé tentang PKI berubah, bagaimana wacana dan ilmu pengetahuan diproduksi untuk kekuasaan. Perubahan epistemé itu tentu saja turut mengubah dan memproduksi wacana dan ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, hal ini memengaruhi esetika karya sastra pada masa orde baru.

Dalam tulisan ini, dokumen sejarah sastra dan kajian sastra dipandang sebagai wacana dan atau pengetahuan. Terbitnya berbagai kajian sastra dan dokumen sejarah sastra (terutama yang dibuat pada periode orde baru) menunjukan adanya usaha untuk membuat definisi tentang sastra dan periode 1960-an. Definisi itu dibuat tentu saja untuk membentuk wacana dan kekuasaan.

Banyak penelitian yang talah mengkaji persoalan sastra (seni) periode 1960-an ini, baik yang dihasilkan sarjana-sarjana dalam negeri, maupun luar negeri. Krisna Sen dalam

Kuasa dalam Sinema: Negara, Masyarakat, dan Sinema Orde Baru (1994) mencoba menggali bagaimana sinema orde baru membentuk wacana kekuasaan. Dalam buku yang diangkat dari penelitiannya tersebut mencoba menggali dari mulai perkembangan sinema secara periodik, kaitan sinema dalam kebijakan politik, hingga persoalan perempuan dalam sinema Indonesia. Secara keseluruhan, Krisna Sen kira-kira ingin menunjukan bahwa politik (orde baru) dan bentuk sinema ialah saling berkait, adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan.

Wijaya Herlambang melalui buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 (2013) mencoba menggali kekerasan budaya yang terjadi pada masa orde baru. Sekurang-kurangnya, ia menjelaskan bagaimana orde baru melalui sastra dan film memproduksi kekerasan simbolik,

atau melakukan “pengiblisan” terhadap PKI. Melalui sastra dan film, orde baru berupaya untuk membentuk ideologi anti-komunis. Melalui sastra dan film, kekerasan dibenarkan dan dinormalisasi. Ia berpendapat bahwa liberalisme turut berperan dalam kampanye anti-komunis di Indonesia dan di dunia.

Lain halnya dengan Asep Sambodja dalam Historiografi Sastra Indonesia 1960-an

(2010). Apa yang dilakukannya cukup menarik, ia mencoba mendalami peristiwa politik 1960-an dan kaitannya dengan polemik Lekra dan Manikebu. Secara khusus ia berfokus pada sastrawan, karya sastra, dan sepak terjang sastrawan pada masa itu. Ia mencoba merekonstruksi periode tersebut dan mengangkat kembali Lekra, sastrawan, dan karya-karyanya yang tenggelam di masa orde baru.

(4)

tersebut saling menghegemoni. Namun kemudian, hegemoni Manikebu-lah yang bertahan karena memang didukung oleh orde baru sebagai pemerintah yang berkuasa saat itu. Kemudian, hegemoni Manikebu tersebut bertahan hingga hari ini. Demikian, banyak sekali penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan peristiwa transisi dari orde lama ke orde baru dalam bidang seni (sastra). Hal itu juga turut menentukan di mana posisi tulisan ini yang kemudian bertujuan untuk memperkaya pengetahuan mengenai periode 1960-an dan seterusnya di ranah sastra.

Tulisan ini secara sederhana mencoba untuk menemukan bagaimana kuasa dalam sastra itu terbentuk dan bagaimana sistem disiplin (meminjam istilah Foucault) bekerja dalam estetika sastra Indonesia pada dan setelah periode 1960-an. Untuk dapat menguraikan hal tersebut, tulisan ini akan menggunakan pendekatan relasi kuasa dan sistem disiplin yang dipopulerkan oleh Michel Foucault.

Sebelumnya, Sandra Lee Bartky dalam bukunya yang berjudul Femininity and Domination; Studies in the Phenomenology of Oppression (1990) pernah menggunakan pendekatan ini untuk menguraikan sistem displin yang bekerja dalam perempuan pada zaman modern. Dalam buku tersebut dijelaskan bagaimana perempuan dikonstruksi, diatur, dan disiplinkan untuk memenuhi standar-standar modern. Menurut Bartky, perempuan mengalami kekerasan simbolik oleh sebuah sistem yang dinamakan sistem disiplin. Modernitas membimbing perempuan pada bentuk-bentuk tertentu.

Apa yang disampaikan Bartky dalam bukunya tersebut memperlihatkan bahwa pendekatan ini secara fleksibel dapat menguraikan berbagai persoalan perempuan (femininitas) yang berkaitan dengan kuasa dan sistem disiplin. Tulisan ini, menguraikan persoalan kuasa dan sistem disiplin dalam ranah kehidupan sastra periode 1960-an, khususnya pasca runtuhnya orde lama. Untuk menguraikan hal tersebut, tulisan ini akan berfokus pada arsip atau dokumen sejarah dan pengkajian sastra Indonesia, khususnya periode 1960-an.

2. FOUCAULT DAN KEKUASAAN

Dalam pengertian Foucault, kekuasaan memiliki arti yang khas. Ia berpendapat bahwa

kekuasaan yang ia maksud bukanlah kekuasaan yang diinstitusikan, “bukan himpunan

(5)

Dalam hal ini, Foucault melihat bahwa kekuasaan pada masa modern ini, tidak lahir dari rahim institusi, negara, atau lembaga. Kekuasaan dalam periode modern menjadi lebih

abstrak, global, transnasional sistemik yang (bisa jadi) diampu oleh “suatu unsur” atau “kelompok atas yang lain”. Hal ini berbeda dengan kekuasaan pada masa tradisional di mana

kekuasaan dipegang oleh seorang raja. Ketika terjadi pelanggaran hukum, maka pelanggaran tersebut dianggap sebagai penghinaan terhadap raja. Hukuman bersifat langsung. Kekuasaan pada periode tradisional merupakan sistem kekuasaan searah; atas-bawah, raja-rakyat. Pada masa modern, kekuasaan berwujud sebagai modus baru sistem kontrol yang membuat individu merasa diamati, padahal itu adalah sistem kontrol yang bekerja dalam dirinya dan untuk dirinya sendiri. Ia berada dan merasuk dalam alam bawah sadar.

Kekuasaan tidak bersumber pada satu titik; ia datang dari mana pun. Menurut Foucault, kekuasaan adalah nama yang diberikan kepada suatu situasi strategis yang rumit dalam masyarakat (2008: 121-122). Gambaran di atas memperlihatkan bahwa kekuasaan

tidak lagi mengenai kekuasaan dan negara, melainkan mengenai kekuasaan dan subjek. Jika begitu, hal ini berarti kekuasaan memiliki hubungan yang banyak. Hubungan-hubungan itu dapat mencangkup dalam proses ekonomi, penyebaran ilmu pengetahuan, hubungan seksual. Kekuasaan terbentuk dari pemisahan, ketidaksamaan, ketidakseimbangan (diskriminasi). Artinya, kekuasaan terjadi dalam situasi di mana ada suatu perbedaan. Misalnya, di kantor (antara bos dan karyawan), dalam keluarga (antara suami dan istri atau orang tua dan anak). Tentu saja, perbedaan ini membentuk pertentangan, perlawanan, atau friksi-friksi.

Dalam Surveiller et punir (1975), Foucault mengatakan “secara umum harus diakui

bahwa kekuasaan lebih beroperasi daripada dimiliki. Kekuasaan tidak merupakan hak istimewa yang dapat atau dipertahankan kelas dominan, tetapi akibat dari keseluruahan posisi

strategisnya. Akibat yang menunjukan posisi mereka yang didominasi” (dalam Haryatmoko 2013).

Bagi Foucault, kekuasaan merupakan sistem, atau dalam istilahnya disebut tatanan

disiplin, “dan ia dapat dijamin oleh institusi-institusi yang terspesialisasi (penjara atau rumah koreksi abad XIX) atau oleh institusi dengan tujuan tertentu (sekolah, rumah sakit) (Haryatmoko, 2013). Pada tataran mikro, kekuasaan bekerja dan tersebar melalui keluarga, sekolah, penjara, pabrik, dll. Pada tahap ini kekuasaan terinstitusionalisasi.

Dapat dilihat bahwa kekuasaan memiliki dua dimensi, pertama dimensi makro dan dimensi mikro. Pada dimensi makro kekuasaan tidak terinstitusi, menyebar, dll. dalam bentuk sistem, disiplin. Pada dimensi mikro atau praksis, kekuasaan dijamin oleh lembaga, institusi,

(6)

Hubungan kekuasaan dengan subjek ini memperlihatkan putusnya epistemologis, di mana manusia sebagai subjek secara bersama-sama juga menjadi objek dari ilmu pengetahuan. Manusia mempelajari manusia untuk menemukan definisi atau hukum-hukum tentang manusia yang kemudian menjadi sistem disiplin. Hal ini menjadikan “setiap

kekuasaan mempunyai pengetahuannya sendiri” (Foucault dalam Haryatmoko, 2013).

Ilmu pengetahuan dan wacana menjamin terproduksinya kekuasaan. Pada tahap atau periode ini, kekuasaan lebih dipandang sebagai sesuatu yang ilmiah. Pengetahuan memproduksi nilai kebenaran, kemudian nilai kebenaran itu membentuk individu. Misalnya, kriminologi membuat definisi manusia yang baik dan penjahat, maka penjahat itu harus dikuasai dengan cara dipenjara untuk dibuat menjadi baik. Sosiologi mendefinisikan manusia modern, maka manusia akan mengejar predikat itu. Hal ini berarti kekuasaan dimungkinkan beroperasi pada seluruh ilmu pengetahuan termasuk sastra. Alih-alih ilmiah, dengan klaim objektif, ilmu pengetahuan mendorong terciptanya kekuasaan. Semakin suatu ilmu berusaha untuk objektif, semakin terlihat tanda-tanda keinginan untuk mendominasi, untuk berkuasa. Misalnya (lagi), psikologi mendefinisikan orang normal dan orang gila, maka paramedis merasa perlu untuk menguasai orang gila tersebut. Pada tahap ini, dominasi terjadi.

3. WACANA, PENGETAHUAN, DAN KUASA

Pada tahap ini, akan diuraikan bagaimana kekuasaan itu terjadi pada pasca G30S, atau setelah komunisme runtuh, atau ketika orde baru berkuasa.

Pada masa itu, dalam ranah global, terjadi “pertarungan” antara komunisme dan

liberalisme. Liberalisme mencoba menyingkirkan komunisme dari dunia. Untuk merebut kekuasaan komunisme, liberalisme masuk dari berbagai sektor kehidupan, misalnya ekonomi, politik, dan budaya. Dalam hal ini, akan dilihat bagaimana liberalisme masuk ke dalam ranah budaya dan memengaruhi gerak kebudayaan Indonesia.

Herlambang (2013: 6) menerangkan bahwa liberalisme dalam ranah budaya diwujudkan oleh humanisme universal. Humanisme universal ini merupakan suatu konsep kebebasan intelektual, kebebasan berekspresi, dan kebebasan artistik. Humanisme universal sebenarnya telah sampai di Indonesia sebelum periode 1960-an. Surat Kepercayaan Gelanggang menandai itu. Namun, sebagian kelompok yang menganut realisme sosialis menganggap bahwa humanisme universal ialah warisan atau wujud dari seni kaum borjuis. Pada tahap inilah gesekan terjadi.

(7)

humanisme universal (Manikebu). Pada tahap inilah epistemé dan wacana berubah, dari PKI yang pada awalnya dimaknai sebagai partai yang menentang keras kolonialisme, berubah menjadi partai pemberontak. Lekra yang dianggap sebagai underbow PKI, menerima predikat yang sama dengan PKI. Bersamaan dengan itu, humanisme universal (Manikebu) yang tadinya dianggap kontra-revolusi, berubah menjadi aliran yang mengembalikan makna Pancasila, makna demokrasi. Pada tahap ini wacana dan ilmu pengetahuan diproduksi untuk mengukuhkan kekuasaan baru (orde baru).

Seperti yang telah disebut di bagian sebelumnya, bahwa wacana dan ilmu pengetahuan terwujud dalam arsip dokumen sejarah dan kajian sastra. Dalam hal ini, buku

Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968) yang disusun oleh H.B. Jassin dan Puisi Indonesia Modern (2010) yang ditulis oleh Ajip Rosidi menjadi sedikit contoh arsip dan kajian yang kemudian mengukuhkan kuasa. Bolehlah menganggap bahwa buku ini menjadi wacana dominan saat itu (terutama yang disusun H.B. Jassin). Dalam kedua produk ilmu pengetahuan ini definisi coba dibangun.

Angkatan 66: Puisi dan Prosa (1968) mencoba mengukuhkan Manikebu sebagai angkatan yang sah, angkatan yang mendominasi. H.B. Jassin dalam pengantarnya yang

berjudul “Bangkitnya Satu Generasi” menyebut bahwa Angkatan 66 adalah Manikebu. Jassin menulis

Namun, hemat saya tidak adalah keberatan prinsipil untuk menolak penamaan Angkatan Manifes Kebudayaan karena apa yang diperjuangkan oleh Angkatan 66 adalah sesuai dengan apa yang dicetuskan tiga tahun sebelumnya dalam Manifes Kebudayaan (Jassin, 1966).

Tentu saja buku ini mengeliminasi Lekra sebagai bagian dari kesusastraan 1960-an. Dari sini dapat dilihat bagaimana buku ini mencoba untuk melegitimasi bahwa Manikebu adalah sastra yang sah, sastra yang berpegang teguh pada Pancasila.

(8)

dan memapankan kekuasaan. Nada-nada sentimentil acapkali terdengar dalam pengantar buku tersebut. Jassin juga membuat perbedaan estetika yang dipegang oleh Angkatan 66 dengan kelompok Lekra.

Kelebihan sajak-sajak Angkatan 66 ialah bahwa mereka memperhatikan sudut estetis—memang hanya dengan demikian kita bisa bicara tentang kesusastraan— disamping mereka memang bersajak karena ada yang mendesak mau dinyatakan. Sebagai sajak-sajak perjuangan yang dibuat untuk suatu keperluan atau yang tercetus dalam situasi-situasi yang eksploratif, sajak-sajak ini pastilah yang mempunyai nilai sejarah, yang mempunyai daya gugah yang kuat (Jassin, 1966).

Dalam kutipan di atas jelas bahwa Jassin memiliki maksud untuk membedakan Angkatan 66 dengan kelompok Lekra. Ia menyadari bahwa apa yang dilakukan Angkatan 66 sama dengan Lekra, yaitu karya-karya yang bertemakan sosial. Namun, Jassin menyatakan bahwa Angkatan 66 memerhatikan estetika dalam karya-karyanya, terutama puisi. Kata kunci

“estetis” itulah yang membuat suatu karya disebut sastra.

Hal yang perlu ditanyakan kemudian adalah apa yang dimaksud estetika? Apakah keindahan gaya bahasa atau sesuatu keindahan lainnya atau justru ketidakindahan? Tentu saja ukuran keindahan ini berbeda sama sekali jika dasar-dasar dalam berkaryanya sudah berbeda. Misalnya, estetika dalam bingkai realisme sosialis tentu saja berbeda dengan estetika dalam bingkai humanisme universal atau romantik. Siregar (Kratz, 2000: 724) sendiri menyadari adanya kesamaan Manikebu dan Lekra yang letaknya ada pada cara pengungkapannya, peristilahannya, dan semboyannya. Namun yang jadi perbedaannya terletak pada sasaran protes, malahan ini sangat berlawanan.

Dalam hal ini, buku tersebut mencoba untuk membuat standar-standar, model estetika yang sah untuk sastra Indonesia. Tahap ini (pendefinisian, pembedaan) sama seperti bagaimana kriminologi membuat definisi tentang orang yang baik dan orang yang jahat. Menurut ilmu kriminologi, dibantu pula oleh sosiologi, psikologi, (dll.) untuk mengubah orang yang jahat menjadi baik ialah dengan menguasainya (dipenjara). Dari sini terlihat bagaimana ilmu pengetahuan berpretensi untuk menguasai objek.

Atas nama sastra, estetika, dan nilai-nilai Pancasila, Jassin mendefinisikan bahwa karya realisme sosialis Lekra adalah karya yang patut dikuasai agar tidak ada pengarang yang

berpedoman pada karya Lekra yang “kriminal” itu. Menulis dengan gaya Lekra adalah

(9)

akan mengikuti estetika humanisme universal yang bebas secara gagasan, ekspresi, dan artistik.

Dalam Puisi Indonesia Modern (2010), akan juga ditemukan bagaimana ilmu pengetahuan melegitimasi kekuasaan. Buku yang cetak pertama kali pada tahun 1987 ini, tentu saja tidak menghadirkan atau membahas puisi Lekra. Buku ini, seolah-olah membuat definisi bahwa puisi Lekra bukanlah puisi Indonesia di zaman modern. Kiranya Rosidi melihat bahwa apa yang dilakukan Lekra dengan realisme sosialisnya, bukan sesuatu yang inovatif dan estetis.

Rosidi menekankan pada kebebasan berkarya, kebebasan artistik. Hal tersebut terlihat ketika ia membahas puisi pada periode 1960-an. Dalam buku tersebut, Rosidi membahas Subagio Sastrawardojo yang mengakui dan memperlihatkan kebebasan dalam berkarya. Bahkan saking bebasnya, Subagio Sastrowardoyo tidak ingin terkait dengan kelompok manapun. Ia pun seolah-olah lepas dari kekisruhan yang terjadi di zamannya. Dalam Rosidi

(2010: 59) Subagio Sastrowadojo berpendapat, “kesusastraan harusnya bersifat individuil,

karena tidak dapat dihasilkan oleh manusia yang berkelompok di bawah nama ikatan politik atau agama”.

Banyak sebenarnya wacana dan pengetahuan—yang berwujud buku—yang melegitimasi kekuasaan, dan atas nama kekuasaan wacana dan ilmu pengetahuan itu diproduksi. Misalnya, buku Gema Tanah Air yang terbit pertama kali pada tahun 1948 dan dieditori oleh H.B. Jassin. Pada cetakan kelima (1969), arsip/buku tersebut sastrawan-sastrawan yang punya latar komunis, misalnya M. S. Ashar, Boejoeng Saleh, Bakri Siregar, Pramudya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, S. Rukiah, Dodong Dwjiwapraja, Rijono Praktikto, dan Rivai Apin dihilangkan. Baru pada saat runtuhnya orde baru, pada cetakan keenam, nama-nama tersebut muncul kembali. Kemudian dalam buku Laut Biru Langit Biru

(1977), Ajip Rosidi tidak menyertakan para pengarang Lekra.

4. OBJEK DAN SISTEM DISIPLIN

Pada bagian sebelum telah dilihat bagaimana sistem kuasa itu dibentuk oleh wacana dan pengetahuan, dan bagaimana kuasa itu juga berperan dalam produksi dokumen (buku), wacana, produk ilmu pengetahuan. Pada bagian ini, akan dijelaskan bagaimana sistem disiplin yang digagas Foucault bekerja dalam individu.

(10)

standar-standar estetika yang harus dicapai oleh seorang pengarang. Misalnya, pertama karya sastra harus bebas secara gagasan, ekspresi, dan artistik; kedua, karya sastra tidak bersifat politis (lagi); ketiga, karya sastra tidak boleh beraliran realisme. Jika memenuhi ketentuan tersebut

karya sastra dapat disebut karya sastra yang indah, sah, tidak terlarang, tidak “kriminal”. Pada tahap ini, para pengarang mengalami pendisiplinan “estetik”, mungkin ia tidak sadar terkena disiplin itu, tapi itulah yang terjadi. Sebelum lebih jauh, untuk dapat memahaminya secara konkret dan jelas, dapatlah menengok dulu penelitian yang dilakukan Bartky.

Dalam penelitiannya—yang sudah diterangkan secara singkat pada awal tulisan ini, Bartky melihat bahwa standar-standar kecantikan global bekerja dalam tubuh perempuan. Perempuan dipaksa untuk memiliki tubuh yang proporsional, langsing, berkulit halus, berpakaian sesuai zaman, dan dipaksa untuk mengkonsumsi standar-standar global itu. Mereka akan membeli kosmetik di Bergdorf Goodman, makan di McDonald, ikut program diet, dan pergi ke pusat kebugaran (1990: 34).

Perempuan juga menghadapi kekuasaan yang berlapis. Ia mendapat pengawasan dan pengaturan yang berlapis pula. Pertama, secara makro, perempuan dikuasai, didisiplinkan, dan diawasi suatu sistem disiplin (image perempuan modern). Kedua, secara mikro, perempuan dikuasai, diatur, dan diawasi laki-laki—sebagai penjamin sistem disiplin. Sehingga, apa yang ia lakukan adalah representasi dari narasi nilai kebenaran/kecantikan global dan narasi laki-laki tentang perempuan.

Ini sama halnya dengan pengarang Indonesia. Pengarang Indonesia dituntut untuk

berkarya “sebebas-bebasnya” (padahal didisiplinkan), tidak politis, tidak realisme sosialis. Pengarang tidak sadar bahwa mereka telah diarahkan, didisiplinkan. Mereka berusaha mengejar suatu estetika yang telah diatur.

(11)

Pada tahap tertentu pengarang seperti diawasi untuk tidak bertindak subversif dalam karya mereka. Pada tahap ini, konsep panopticon Foucault berlaku. Negara menjadi

kekuasaan lokal yang bertindak sebagai “polisi”; jika ada karya yang subversif, revolusioner,

negara tidak segan-segan melakukan tindakan pendisiplinan. Perlu diingat sekali lagi bahwa dalam hal ini negara tidak memegang kuasa. Ia hanya bertindak sebagai penjamin agar kekuasaan itu tetap bekerja. Sebenarnya, negara tidak secara intensif apalagi represif melakukan pengawasan itu. Ia cukup menghadirkan simbol-simbol, misalnya Departemen Penerangan, Korem, intelejen, petrus, polisi, dll.

Sebenarnya, yang paling penting bagi sistem disiplin pada masa ini ialah (1) tiadanya karya yang bersifat realisme sosialis, dengan begitu komunisme tidak akan muncul kembali, terkubur dalam-dalam dalam sejarah; dan (2) terciptanya situasi yang kondusif sehingga situasi ekonomi pun akan kondusif pula.

Perlu diingat bahwa sistem disiplin ini (dalam sastra) tersebar dan berelasi satu sama lain. Pada tahun 1968, Majalah Sastra memuat cerpen “Langit Makin Mendung” karya Ki Panji Kusmin. Dengan dalih kebebasan berpikir, H.B. Jassin sebagai redaktur memuat cerpen tersebut. Namun, karena itu melanggar kekuasaan lokal/makro agama, H.B. Jassin sebagai pihak yang bertanggung jawab pun ditangkap. Hal ini menunjukan bahwa disiplin saling berelasi, terproduksi secara terus-menerus sesuai dengan situasi masyarakat yang rumit.

5. PENUTUP

Kecenderungan estetika sastra pada masa orde baru dibimbing oleh epistemé, wacana, ilmu pengetahuan, dan kuasa. Hal ini dilakukan untuk memperkokoh kekuasaan itu sendiri, baik kekuasaan makro maupun mikro. Sistem disiplin yang berwujud image estetika sastra modern turut bekerja dalam alam pikir pengarang. Hal ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan mengarahkan sastra pada suatu bentuk dan estetika tertentu.[]

Sumber Bacaan

Bartky, Sandra Lee. 1990. Feminity and Domination; Studies in the Phenomenology of Oppression. New York dan London: Routledge.

Faruk. 2005. Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Foucault, Michel. La Volonte de Savior: Histoire de la Sexualité. Jakarta: YOI.

Haryatmoko. 2013. “Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan” disampaikan dalam kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan FIB UI pada tanggal 24 Oktober 2013: tidak diterbitkan. Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965. Tangsel: Marjin Kiri.

(12)

__________. 2013. Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Kratz, Ernst Ulrich. 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: KPG. Rosidi, Ajip. 2010. Puisi Indonesia Modern. Bandung: Pustaka Jaya.

__________. 1977. Laut Biru, Langit Biru. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sambodja, Asep. 2010. Historiografi Sastra Indonesia 1960-an. Jakarta: Bukupop.

Riwayat Hidup

Langgeng Prima Anggradinata- Lahir di Bogor, 6 Desember 1987. Bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) dan Black Rose Theatre. Pernah berkuliah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Kini berkuliah di Universitas Indonesia (UI).

Pernah bekerja di salah satu kantor pemerintahan sebagai pegawai honorer. Pernah juga bekerja sebagai wartawan. Kini mengajar di Institut Pertanian Bogor (IPB).

Puisi-puisinya di bukukan dalam antologi bersama Karnaval Kupu-kupu (Flash, 2008),

Menolak Lupa (Obsesi, 2010), Si Murai dan Orang Gila (KPG, 2010). Puisi, cerpen, dan artikelnya juga dimuat di berbagai media massa (Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Suara Pembaruan, Padang Ekspres, Batam Pos, Tribun Jabar, Harian Haluan, Radar Banten,

Jurnal Bogor, Radar Tasikmalaya, Harian Global Medan, Minggu Pagi, Jurnal Raja Kadal,

Bulletin Literat, Bulletin Hysteria, dan Jurnal Sastra RM, Bulletin Sastra Siluet) dan media on-line (situseni.com, mediateater.com, dan kompas.com).

Referensi

Dokumen terkait

Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Tn.R dengan Prioritas Masalah Kebutuhan Dasar Personal Hygiene: Defisit Perawatan Diri di RS Jiwa

Penelitian diawali dengan me- ngumpulkan sediaan pap smear berbasis cairan (liqui prep TM , thin prep TM ) yang berasal dari berbagai rumah sakit di Jakarta dan yang

Hasil analisis ragam (Tabel 1.) menunjukkan bahwa perlakuan ransum pakan berbeda, yang meliputi gaplek dengan ekstrak ikan gabus (isolat albumin dan ekstrak kasar), dan yang

akan menggambarkan perilaku aliran gas dalam pipa apabila laju alir gas di inlet mengalami fluktuasi. Hasil simulasi menunjukkan bahwa akibat fluktuasi laju alir gas di inlet pipa,

Terakhir, seorang pengamat mencari konsistensi dalam tindakan seseorang. Apakah orang itu merespons dengan cara yang sama sepanjang waktu? Datang terlambat 10 menit tidak

Artemy Gelato merupakan tempat yang nyaman untuk berkumpul bersama teman-teman X2 Total Banyak saran dari teman untuk pergi ke Artemy Gelato Anda percaya dengan saran tentang

If the value of the ows:ServiceType element in 12.2(c) is incorrect or does not match a known OGC service type, it may be possible to deduce the service type from the namespace of the

Pertumbuhan penduduk yang melonjak membuat kota Jakarta tidak lagi bisa menampung penduduk dan orang-orang dari daerah yang terus berdatangan