• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEQUENTIALLY PLANNED INTEGRATIVE COUNSELING FOR CHILDREN (SPICC) UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SEQUENTIALLY PLANNED INTEGRATIVE COUNSELING FOR CHILDREN (SPICC) UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Risna Rogamelia

STKIP PGRI Bandar Lampung

ABSTRACT

Assertive behavior is shown by having self-esteem and self-respect, recognizing strengths and limitations, assessing thinking and feeling and expressing it clearly, directly and precisely. Children who are lack of the assertive behavior is likely to have the risk of becoming a victim of bullying and potentially experience a variety of psychological and emotional problems that will hamper its development. The purpose of this research is to improve assertive behavior of fourth grade of Elementary School students who are victims of bullying by using counseling SPICC models. The method used in this study is an experimental research using a quasi-experimental design. Data collection technique used is assertive behavior questionnaire. Samples are taken from the fourth grade students of SD Negeri 1 Kelapa Tujuh obtained by using purposive sampling technique. Data are analyzed using t-test to compare the average gain score of assertive behavior of the fourth grade students who are being bullied in SDN 1 Kelapa Tujuh before (pretest) and after receiving treatment (posttest). The result is that the assertive behavior level of students is in middle category and shows an average difference of 0.35 points between pretest and posttest. It means that SPICC counseling models is effective to improve assertive behavior at the fourth grade students who are being bullied in SDN 1 Kelapa Tujuh in the academic year of 2012/2013.

(2)

136 LENTERA

STKIP-PGRI Bandar Lampung, Vol. 2 2017 PENDAHULUAN

Bullying menjadi fenomena yang terus menjadi perhatian di dunia, semakin besar jumlah kasus yang melibatkan siswa sebagai pelaku dan korban menjadi perhatian utamanya. Terdapat lebih dari 2.000 penelitian yang dipublikasikan tentang bullying dan mengangkat masalah korban dari seluruh dunia (Chen dan Schwartz, 2012:1). 30-40% siswa SD, SMP, dan SMA siswa di Amerika Serikat mengalami bullying di sekolah setiap hari atau mingguan (Sawyer & O'Brennan; Nishina, et al, dalam Moon, et al, 2012: 1).

Kecenderungan yang terjadi yaitu anak-anak yang "berbeda" (status sosial ekonomi rendah, memakai kacamata, kelebihan berat badan, memakai pakaian yang berbeda), memiliki resiko menjadi korban bullying (Espelage dan Asiado, dalam McEachern, et al: 2005), Beane (2008: 74) menambahkan bahwa anak-anak yang kurang dapat menunjukkan perilaku asertif juga memiliki resiko menjadi korban bullying, hal tersebut dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Novalia & Dayakisni, Tri (2013) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi perilaku asertif siswa maka semakin rendah kecenderungan menjadi korban bullying, demikian juga sebaliknya, semakin rendah perilaku asertif maka semakin tinggi kecenderungan menjadi korban bullying.

Anak yang menjadi korban bullying tersebut berpotensi memiliki berbagai masalah psikologis dan emosional seperti depresi, kecemasan, bunuh diri, putus sekolah, penarikan diri, dan kesulitan belajar (Greenbaum & Stephens; Olweus; Rigby & Slee; Salmon, et al, dalam Moon, et al, 2012: 828). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian (Dini: 2012) yang menyimpulkan bahwa korban bullying dapat mengalami perasaan rendah diri, dan dalam jangka waktu yang lama dikhawatirkan korban akan mengalami post-traumatic disorder (PTSD) yang ditandai dengan adanya kecemasan yang berlebihan pada individu dalam menghadapi suatu kejadian yang berkaitan dengan pengalaman traumatisnya.

(3)

137 LENTERA

STKIP-PGRI Bandar Lampung, Vol. 2 2017

mencapai perkembangan dirinya dengan optimal, sesuai dengan fungsi bimbingan dan konseling di sekolah yang bertujuan untuk memandirikan peserta didik agar peserta didik dapat mencapai perkembangan optimalnya (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 24-25).

Bimbingan konseling memiliki beberapa bidang layanan, yaitu bidang layanan akademik, bidang layanan karir dan bidang layanan bimbingan pribadi sosial. Bidang layanan bimbingan konseling pribadi-sosial merupakan bagian dari bidang layanan bimbingan dan konseling yang difokuskan terhadap proses bantuan terhadap permasalahan pribadi-sosial individu, agar individu dapat mencapai keberhasilan dalam perkembangan pribadi-sosialnya. Menurut Syaodih (2007:74), individu yang berhasil adalah individu yang dapat menyesuaikan diri, mampu menghadapi tantangan dan ancaman, juga mampu mengatasi hal-hal baru.

Syaodih (2007:72), mengemukakan beberapa alasan mengapa pemberian layanan bimbingan dan konseling dapat mengoptimalkan perkembangan anak-anak dan remaja, yaitu: 1) pemberian bantuan dalam bimbingan dan konseling didahului oleh upaya-upaya pemahaman kemampuan, karakteristik dan kesulitan-kesulitan yang dialami oleh perserta didik; 2) pemberian layanan bimbingan dan konseling dilaksanakan secara individual, kelompok, klasikal dan massal; 3) layanan bimbingan dan konseling diberikan secara profesional oleh orang-orang yang memiliki profesi di bidang bimbingan dan konseling.

(4)

138 LENTERA

STKIP-PGRI Bandar Lampung, Vol. 2 2017

Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada 28 Mei 2013 di SD Negeri 1 Kelapa Tujuh mendapatkan hasil dari 60 siswa kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh, terdapat 42 siswa yang memiliki perilaku asertif dalam kategori sedang dan 18 siswa yang memiliki perilaku asertif dalam kategori tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan, rata-rata siswa kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh memiliki perilaku asertif dalam kategori sedang. Secara lebih lanjut, pencapaian skor pada setiap aspek perilaku asertif siswa kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh sesuai dengan kategori dan frekuensi jumlah siswa digambarkan dalam tabel 1.1 sebagai berikut :

Tabel 1.

Profil Aspek Perilaku Asertif Siswa Kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh Berdasarkan Kategori dan Frekuensi Jumlah Siswa

Berdasarkan hasil dari observasi yang dilakukan pada studi pendahuluan, masih ditemukan siswa yang sering kali menjadi target ejekan, keisengan, bahkan terdapat siswa yang sering menjadi “pelaku” bullying terhadap teman yang lain dibawah ancaman pelaku sebenarnya. Sehingga bantuan kepada siswa yang memiliki perilaku asertif yang kurang dibandingkan dengan temannya yang lain masih dianggap perlu untuk dilakukan.

Perilaku Asertif

Perilaku asertif adalah kemampuan untuk dapat mengekspresikan diri dengan jelas, langsung dan tepat; menilai apa yang dipikirkan dan rasakan;

Aspek Frekuensi Kategori

1. Memiliki harga diri dan menghormati diri sendiri

36 Sedang

2. Mengenali kekuatan dan keterbatasan diri 33 Sedang 3. Menilai apa yang dipikirkan dan dirasakan 38 Tinggi 4. Mengekspresikan secara jelas, langsung

dan tepat pikiran juga perasaan

(5)

139 LENTERA

STKIP-PGRI Bandar Lampung, Vol. 2 2017

memiliki harga diri dan menghormati diri sendiri; serta mengenali kekuatan dan keterbatasan diri sendiri (Rees & Graham, 2006: 1).

Secara konseptual, Townend (2007: 12) mengungkapkan kunci dari perilaku asertif adalah tentang menghargai diri dan orang lain; pengakuan positif; emosi, pikiran dan membayangkan hal positif; hubungan otentik; arti dan tujuan; mendengarkan kata hati; koneksi antara pikiran, tubuh, dan otak; merasa aman; kesadaran fisik, intelektual, emosional dan spiritual; serta penerimaan dan kesadaran.

Perilaku asertif merupakan perilaku yang terbentuk akibat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dialami oleh individu sepanjang hidupnya, bukan merupakan faktor bawaan (hereditas) (Rathus, 1988). Rathus dalam Fensterheim & Buer (1980: 65) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan asertif, yaitu : a) Jenis kelamin; b) Kepribadian; c) Intelegensi; d) Kebudayaan.

Hal tersebut sejalan dengan Lioyd (1991) yang juga mengatakan bahwa perilaku asertif dipengaruhi oleh jenis kelamin, karena semenjak kanak-kanak peran dan pendidikan laki-laki dan perempuan telah dibedakan oleh masyarakat, sejak kecil telah dibiasakan bahwa anak laki-laki harus tegas dan kompetitif dan anak perempuan harus pasif menerima perintah dan sensitif. Hal ini berakibat laki-laki akan berperilaku lebih asertif dibandingkan anak perempuan.

Kepribadian dapat mempengaruhi perkembangan perilaku asertif karena interaksi akan lebih efektif jika seseorang mau terlibat dan berperan aktif. Sementara orang yang berperan aktif dalam proses komunikasi adalah seseorang yang secara spontan mengutamakan buah pikirannya dan menanggapi pendapat pihak lainnya. Sifat spontan ini dapat dijumpai pada orang yang berkepribadian ekstrovert.

(6)

140 LENTERA

STKIP-PGRI Bandar Lampung, Vol. 2 2017

Hal tersebut sesuai dengan penggolongan tipe kepribadian yang diungkapkan oleh Jung (Nurihsan & Yusuf, 2011: 77) bahwa orang yang ekstrovert terutama dipengaruhi oleh dunia objektif, yaitu dunia diluar dirinya dan orientasi utamanya ditentukan oleh lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun non-sosial. Sementara orang yang introvert terutama dipengaruhi oleh dunia subjektif, yaitu dunia didalam dirinya sendiri dan orientasi utamanya tertuju pada dirinya sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa orang dengan kepribadian introvert cenderung berpotensi memiliki perilaku asertif yang rendah.

Faktor selanjutnya yang mempengaruhi perilaku asertif yaitu faktor intelegensi, hal ini dapat berpengaruh karena intelegensi dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk merumuskan dan mengungkapkan pikirannya secara jelas dan dapat dipahami oleh pihak lain sehingga proses komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Sehingga seseorang yang memiliki intelegensi yang tinggi cenderung lebih mampu mengungkapkan pikiran dan perasaannya dengan tepat dibandingkan dengan seseorang yang memiliki intelegensi lebih rendah.

Selanjutnya faktor kebudayaan dianggap dapat mempengaruhi perkembangan perilaku asertif, karena secara tidak langsung manusia berperilaku didasari dengan sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat (Sarwono & Mienarno, 2012: 154).

Bullying

Kata bullying berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari kata bull yang berarti banteng yang senang menyeruduk kesana kemari. (Wiyani, 2012 : 11). Secara etimologi, istilah bullying menggambarkan berbagai perilaku intimidasi yang dapat berdampak pada properti seseorang, tubuh, perasaan, hubungan, reputasi, dan status sosial. Bullying adalah bentuk perilaku terbuka dan agresif yang disengaja, menyakitkan, dan berulang (Beane, 2008: 2). Bullying melibatkan keinginan untuk menyakiti, tindakan menyakitkan, ketidakseimbangan kekuatan, penggunaan kekuasaan yang tidak adil, biasanya berulang, serta terdapat kenikmatan pada pelaku dan rasa tertindas pada korban (Rigby, 2003: 6).

(7)

141 LENTERA

STKIP-PGRI Bandar Lampung, Vol. 2 2017

atau siswa lain yang secara berulang-ulang dari waktu ke waktu sehingga seseorang terintimidasi atau menjadi korban ketika dia mengalaminya.

Konseling Model SPICC

Model SPICC bersumber dari konsep teoritis dan strategi praktis yang berasal dari berbagai pendekatan konseling yang telah mapan. Konseling Model SPICC adalah model terpadu yang menggunakan sejumlah pendekatan yang diatur secara berurutan. Pendekatan yang dimaksud adalah konseling berpusat pada klien (client centered), konseling gestalt, konseling naratif, konseling kogitif perilaku (cognitive behavior), dan konseling perilaku (behavior) (Geldard & Geldard dalam Widijanto, 2012: 79).

Masing-masing pendekatan mempunyai teori perubahannya sendiri yang unik dan khusus, konseling model SPICC yang memadukan pendekatan tersebut satu persatu dalam urutan tertentu bertujuan untuk dapat mencapai keefektifan tujuan tiap sesi konseling dengan menggunakan masing-masing pendekatan yang sesuai. Seperti yang telah digambarkan sebelumnya mengenai proses konseling pada anak, berikut ini adalah siklus perubahan yang terjadi pada anak selama proses konseling berlangsung yang kemudian mendasari Geldard & Geldard untuk mengembangkan model SPICC (Widijanto, 2012: 70).

(8)

142 LENTERA

STKIP-PGRI Bandar Lampung, Vol. 2 2017 METODE PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan metode eksperimen. Metode penelitian eksperimen kuantitatif bermaksud meneliti ide (suatu praktek atau prosedur) untuk melihat apakah memiliki pengaruh terhadap hasil atau variabel dependen (Cresweel, 2008: 299). Desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain eksperimen kuasi. Desain ini menggunakan subyek yang tidak dipilih secara random (nonrandom assigment). Subyek dibagi menjadi kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, kelompok eksperimen ialah kelompok yang mendapatkan perlakuan intervensi konseling model SPICC (Sequentially Planned Integrative Counseling for Children) dan kelompok kontrol ialah kelompok pembanding atau kelompok yang tidak mendapat perlakuan intervensi konseling model SPICC.

Subyek penelitian dipilih sebanyak 16 orang anak yang memiliki skor terendah dalam kategori sedang hasil dari instrumen perilaku asertif, 8 orang pada kelompok eksperimen dan 8 orang pada kelompok kontrol. Jumlah subyek ditetapkan sebanyak 8 orang pada masing-masing kelompok, berdasarkan asumsi bahwa dalam konseling kelompok biasanya terdiri dari 4-8 anak, karena jumlah yang lebih besar membuat masing-masing anggota kelompok sulit untuk memenuhi kebutuhan pribadinya dalam sesi kelompok (Rose dan Edleson dalam Geldard & Geldard, 2012: 122).

HASIL PENELITIAN

(9)

143 LENTERA

STKIP-PGRI Bandar Lampung, Vol. 2 2017 Tabel 2.

Profil Perilaku Asertif Berdasarkan Pencapaian Setiap Aspek, Kondisi Awal Perilaku Siswa dan Penilaian Kebutuhan

0

Gambaran Kondisi Awal Perilaku Asertif Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Siswa Kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh

Eksperimen Kontrol

NO Aspek Kategori Kondisi Awal

(10)

144 LENTERA

STKIP-PGRI Bandar Lampung, Vol. 2 2017

Konseling model SPICC dilakukan dengan 5 sesi pertemuan, sesi pertama dilaksanakan dengan tema “Aku dan Teman-Teman di Sekolah” menggunakan teknik konseling berpusat pada klien dengan setting kelompok dan dilakukan melalui aktivitas menggambar, tujuan dari kegiatan pada sesi pertama ini adalah agar anak dapat masuk ke dalam hubungan konseling dengan konselor juga dengan anggota kelompok yang lain. Sesi pertama ini dapat dikatakan berhasil jika anak mau membuka diri menceritakan tentang dirinya dan agar anak mau berinteraksi bersama dengan konselor dan anggota kelompok yang lain.

Sesi kedua, dilaksanakan dengan tema “Bagaimana diriku?” menggunakan teknik konseling gestalt dengan setting kelompok dan dilakukan melalui aktivitas menulis dan bercerita, tujuan dari kegiatan pada sesi kedua ini adalah agar anak dapat mengungkapkan emosi dan menginternalisasi permasalahannya. Sesi kedua ini dapat dikatakan berhasil jika anak mau menceritakan tentang dirinya dan anak dapat menyebutkan permasalahan yang dialami dirinya.

Sesi ketiga, dilaksanakan dengan tema “Jika aku menjadi” menggunakan teknik konseling naratif dengan setting kelompok, tujuan dari kegiatan pada sesi ketiga ini adalah agar anak dapat mengembangkan cerita sesuai dengan harapannya. Sesi ketiga ini dapat dikatakan berhasil jika anak berani bercerita dan mengemukakan pendapat.

Sesi keempat, dilaksanakan dengan tema “Mengapa dan Bagaimana” menggunakan teknik konseling kognitif perilaku dengan setting kelompok, tujuan dari kegiatan pada sesi keempat ini adalah agar anak dapat

(11)

145 LENTERA

STKIP-PGRI Bandar Lampung, Vol. 2 2017

mengembangkan pikiran rasional yang dapat membantu anak mengembangkan diri dan menghadapi masalahnya. Sesi keempat ini dapat dikatakan berhasil jika anak dapat mengembangkan pikiran rasional.

Sesi kelima, dilaksanakan dengan tema “Belajar bersama teman”, tujuan dari kegiatan pada sesi kelima ini adalah anak dapat Agar anak dapat mengembangkan kemampuan berperilaku asertif, sesi kelima ini dapat dikatakan berhasil jika mengekspresikan secara jelas, langsung dan tepat pikiran juga perasaannya dengan tepat dan jelas.

Program konseling model SPICC yang dilakukan untuk membantu siswa meningkatkan perilaku asertif adalah konseling dalam setting kelompok, konseling dengan setting kelompok memberikan suasana sosial yang membantu anak belajar dari interaksi sosialnya dalam kelompok (Geldard dan Geldard, 2008: 116-117).

Kompetensi konselor pada konseling anak pada umumnya sama seperti pada konseling pada remaja dan dewasa, namun pada konseling anak Geldard & Geldard (2012: 22) menambahkan beberapa karakteristik yang harus dimiliki oleh konselor anak, yaitu : konselor harus kongruen, menyelami jiwa kanak-kanaknya sendiri, menerima dan tidak melibatkan emosi sendiri.

Konselor harus kongruen artinya antara konselor dan konseli berada pada hubungan yang bisa dipercaya dan lingkungan yang aman. Agar hal tersebut terjadi konselor secara pribadi harus terbuka, tulus, konsisten dan stabil sehingga rasa percaya bisa dikembangkan dan dipertahankan.

Konselor diharapkan mampu menyelami jiwa kanak-kanaknya, namun mengakses jiwa kanak-kanak bukan berarti menjadi kekanakan, namun berarti menggali bagian dari diri konselor yang tepat dengan dunia anak. Dengan menyelami dunia kanak-kanak pada diri sendiri, konselor akan lebih dapat menjalin hubungan yang sukses dengan anak, memahami perasaan dan pandangan anak, serta memberi kesempatan bagi anak untuk mengalami sepenuhnya.

Konselor harus mampu menerima konseli apa adanya, hal tersebut sama halnya dengan konseling pada remaja maupun dewasa. Jika kita ingin mengeksplorasi konseli secara lebih pribadi lagi, konselor perlu menunjukkan perilaku penerimaan sehingga konseli dapat merasa menjadi diri sendiri tanpa pengekangan.

(12)

146 LENTERA

STKIP-PGRI Bandar Lampung, Vol. 2 2017

konselornya “tertekan” oleh apa yang diungkapkan, maka anak cerderung menarik diri dan tidak lagi membicarakan masalah yang menyakitkan.

Program konseling SPICC juga menggunakan berbagai media dalam pelaskanaan sesi konselingnya, pemilihan media dilakukan berdasarkan beberapa faktor yaitu kesesuaian dengan tingkat usia perkembangan anak, kesesuaian dengan jenis konseling apakah individu atau kelompok dan berdasarkan tujuan konseling anak (Geldard & Geldard, 2012: 214). Menurut Geldard & Geldard (2012: 215) untuk anak usia sekolah dasar yaitu usia 6-10 tahun, media dan aktivitas yang paling cocok untuk digunakan pada konseling ialah buku/cerita, lempung, konstruksi, menggambar, melukis dengan jari, permainan, permainan pura-pura imajinatif, hewan miniatur, boneka tangan/mainan kain, baki pasir, simbol/figur dan lembar kerja.

Hasil uji Efektivitas Penggunaan Konseling Model SPICC Terhadap Aspek Perilaku Asertif Pada Siswa Kelas IV Korban Bullying Di SD Negeri 1 Kelapa Tujuh diperoleh hasil seperti yang tersaji pada Tabel 3 berikut :

Tabel 3.

Hasil Uji t Independen Data Normalized Gain Aspek Perilaku Asertif Siswa Kelompok Eksperimen dan Kontrol

(13)

147 LENTERA

STKIP-PGRI Bandar Lampung, Vol. 2 2017

4 63 972

Kontrol

-0,02 25

0,20 091

Hasil posttest yang diberikan kepada siswa setelah pelaksanaan konseling model SPICC yang menekankan pada pengembangan perilaku asertif, memperoleh hasil yang positif. Tingkat perilaku asertif pada kelompok eksperimen meningkat. Sedangkan tingkat perilaku asertif pada kelompok kontrol meskipun ada beberapa aspek yang mengalami perubahan namun tidak mengalami perubahan yang signifikan, bahkan pada aspek tertentu mengalami penurunan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku asertif pada siswa yang menjadi korban bullying dapat dikembangkan melalui penggunaan konseling model SPICC. Keberhasilan program ini dapat terlihat pada pencapaian skor aspek yang mengalami perubahan kearah positif. Temuan ini dapat ditafsirkan bahwa konseling dengan menggunakan model SPICC dapat digunakan sebagai alternatif layanan bimbingan dan konseling di sekolah yaitu sebagai layanan preventif (pencegahan) bagi siswa yang kurang memiliki perilaku asertif dan berpotensi menjadi korban bullying dan sebagai layanan responsif bagi siswa yang terlah mengalami atau menjadi korban perilaku bullying.

(14)

148 LENTERA

STKIP-PGRI Bandar Lampung, Vol. 2 2017 Grafik 2.

Peningkatan Perilaku Asertif Siswa Kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh Setelah Menggunakan Konseling Model SPICC

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai efektifitas konseling model SPICC (Sequantially Planned Integrative Counseling for Children) untuk meningkatkan perilaku asertif siswa kelas IV korban bullying yang dilakukan kepada siswa kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Gambaran profil perilaku asertif siswa kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh memiliki perilaku asertif pada kategori sedang dan tinggi, secara rata-rata kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh memiliki perilaku asertif pada kategori sedang.

2. Program konseling model SPICC (Sequantially Planned Integrative Counseling for Children) sebagai layanan responsif untuk meningkatkan dan mengembangkan perilaku asertif siswa kelas IV korban bullying di SD Negeri 1 Kelapa Tujuh tahun ajaran 2012/2013.

3. Secara statistik, hasil uji efektifitas menunjukkan bahwa konseling model SPICC (Sequantially Planned Integrative Counseling for

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Pretest 1,250 1,750 3,375 1,125 1,125 2,500 0,875 2,500 2,625 1,000 Posttest 1,625 2,250 5,125 2,000 1,375 3,125 1,125 4,125 3,625 1,625

0,000 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000

(15)

149 LENTERA

STKIP-PGRI Bandar Lampung, Vol. 2 2017

Children) efektif untuk meningkatkan perilaku asertif siswa kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh tahun ajaran 2012/2013, terutama membantu meningkatkan aspek memiliki harga diri dan menghormati diri sendiri dan aspek mengekspresikan secara jelas, langsung dan tepat pikiran juga perasaan namun kurang efektif untuk meningkatkan untuk aspek mengenali kekuatan dan keterbatasan diri dan menilai apa yang dipikirkan dan dirasakan.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Saifuddin. (2010). Penyuusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Beane, A.L. (2008). Protect Your Child From Bullying. San Fransisco: Jossey-Bass

Chairul dan Puspaningtyas. (2013). Anak Korban 'Bully' Balas Dendam. http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/01/ 12/mgiid8-anak-korban-bully-balas-dendam. 12 Januari 2013

Connecticut School Counselor Association (CSCA), et al. (2000). Connecticut Comprehensive School Counseling Program.

Cowie, H & Jennifer, A.W. (2008). New Perspectives On Bullying. New York : Open University Press.

Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur

Pendidikan Formal. Jakarta: Depdiknas.

Desmita. (2010). Psikologi Perkembangan. Bandung : Rosdakarya. _________. (2011). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung:

Rosdakarya.

Dini, L.S. (2012). Trauma Mahasiswa yang Pernah Mengalami Bullying Ketika Duduk Di Bangku Sekolah Dasar. Error! Hyperlink reference not valid./2013/01 /trauma-mahasiswa-yang-pernah-mengalami.html Gibson & Mitchell. (2008). Introduction to Counseling and Guidance. Alih

Bahasa oleh Santoso, Yudi. (2011). Bimbingan dan Konseling. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

(16)

150 LENTERA

STKIP-PGRI Bandar Lampung, Vol. 2 2017

Hansen,J.C., Stevic, R.R & Warner Jr, R.W. (1982). Counseling Theory and Process Third Ed. USA : Allyn and Bacon, Inc.

Hurlock, E.B. (1978). Child Development (Sixth Ed). Alih Bahasa oleh Tjandrasa,Meitasari dan Zarkasih, Muslichah. Perkembangan Anak Jilid 1(Edisi Keenam). Jakarta : Erlangga.

_________. (1980). Developmental Psychology: A Life Span Approach (Fifth ed). Alih Bahasa oleh Istidwiyanti dan Soedjarwo. (1997). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Kaman, Colleen. (2012). What country has the most bullies?.

http://www.latitudenews.com/story/what-country-has-the-mostbullies-2/, 28 Oktober 2012

Lesmana, J.M. (2006). Dasar-Dasar Konseling. Jakarta : UI-Press

McEachern., et.al, (2005). Peer Victimization in Schools: An International Perspective. Journal of Social Sciences Special Issue No. 8: 51-58. Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia & Menteri Agama

Republik Indonesia. (2011)

http://www.pdkjateng.go.id/downloads/file_berita/

Sekretariat/110711/PPFB%20Permen%20Bersama%20nomorvipb2011. pdf.

Mc Leod, John. (2008). Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Jakarta : Kencana

Mruk,C.J. (2006). Self-Esteem Research, Theory, and Practice. New York : Springer Publishing Company, Inc.

Moon, B., Morash, M. & McCluskey, J.D. (2012). “General Strain Theory and School Bullying : An Empirical Test in South Korea”. Crime & Delinquency, 58, (6), 827–855.

Nurikhsan, A.J. (2009). Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Refika Aditama

________ &Agustin, M. (2011). Dinamika Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Refika Aditama.

Novalia & Dayakisni, Tri. (2013). “Perilaku Asertif Dan Kecenderungan Menjadi Korban Bullying”. Jurnal Ilmiah dan Psikologi Terapan, 01, (01), 169-175.

(17)

151 LENTERA

STKIP-PGRI Bandar Lampung, Vol. 2 2017

Rees & Graham. (2006). You Really Are Assertion Training: How To Be Who. London and New York : A Tavistock/Routledge Publication Rigby, Ken. (2003). Stop the Bullying : A Handbook for Schools. Melborne:

Acerpress.

Rusmana, Nandang. (2009). Bimbingan Dan Konseling Kelompok Di Sekolah. Bandung : Rizqi

Rogers, C.R. (1961). On Becoming a Person. Alih Bahasa oleh Fajar, Rahmat (2012). Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Singhal, A & Nagao, M. (1993). Assertiveness as Communication

Competence A Comparison of the Communication Syles of American and Japanese Students. Asian Journal of Communication, 3, (1), 1-18.

Sunardi. (2013) . Latihan Asertif. [Online Tersedia]

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/19600201 1987031-SUNARDI/karya_tls-materi_ajar_pdf/

LATIHAN_ASERTIF.pdf).

Sofwat, R.A.W. (2012). [Makalah Seminar] Training for Tester. Bandung : Tidak diterbitkan.

Syaodih, N.S. (2007). Bimbingan dan Konseling Dalam Praktek;

Mengembangkan Potensi dan Kepribadian Siswa. Bandung : Maestro. Townend, Anne. (2007). Assertiveness and Diversity. New York : Palgrave

Macmillan.

Universitas Pendidikan Indonesia. (2010). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

Uno, H.B. (2006). Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara

Williams, C.J. (2001). Being Assertive dalam Overcoming Depression: A Five Areas Approach. UK: Arnold Publishers.

Wikipedia. (2013). Narrative Therapy. [Online Tersedia] http://en.wikipedia.org/wiki/ Narrative_therapy. Biodata Penulis :

Gambar

Tabel 1. Profil Aspek Perilaku Asertif Siswa Kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh
Gambar 1. Spiral Perubahan pada Konseling Anak
Tabel 2. Profil Perilaku Asertif Berdasarkan Pencapaian Setiap Aspek,
Tabel 3.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan fakta empiris mengenai temuan penyesuaian diri di atas, maka diperlukan bimbingan dan konseling sekolah sebagai salah satu layanan interpersonal

Layanan bimbingan belajar sebagai sebuah layanan atau pendekatan dasar dalam bimbingan dan konseling yang memberikan bentuk pemahaman diri dalam belajar yang mana

Oleh karena itu, kegiatan bimbingan dan konseling merupakan layanan ahli oleh konselor dalam hal ini yang berperan sebagai konselor adalah guru bimbingan dan konseling

Bagi sekolah, guru bimbingan dan konseling di sekolah dapat menggunakan teknik menggambar sebagai alternatif penanganan untuk siswa korban cyberbullying yang mengalami

Implikasi dari penerapan modul bimbingan karir diantaranya adalah modul bimbingan karir layak dan efektif digunakan sebagai alternatif dalam menunjang layanan

Layanan bimbingan dan konseling melalui teknik sosiodrama dipandang dapat menjadi salah satu media alternatif untuk membantu siswa dalam mendapatkan bimbingan dan

Berdasarkan pemaparan di atas, bahwa nilai budaya dalam kearifan lokal dapat menjadi kekuatan untuk lebih mengokohkan layanan bimbingan dan konseling di sekolah terutama yang berkaitan

Adapun temuan-temuan yang berhasil ditemukan peneliti adalah sebagai berikut: Peran Supervisi dalam Perencanaan Layanan Bimbingan dan Konseling di SMA Negeri 4 Metro adalah memberikan