• Tidak ada hasil yang ditemukan

DOKTRIN ULTRA VIRES DAN KONSEKUENSI PENERAPANNYA TERHADAP BADAN HUKUM PRIVAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DOKTRIN ULTRA VIRES DAN KONSEKUENSI PENERAPANNYA TERHADAP BADAN HUKUM PRIVAT"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Johnny Ibrahim

E-mail: j ohn. ibra@yahoo. com

Abst ract

An act s i s ul t r a vir es when cor por at ion i s wit hout aut hor it y t o per f or m i t under any cir cumst ance or f or any pur pose beyond t he scope of t he power s of cor por at ion, as def i ned by it s char t er or by l aw of i ncor por at ion. Some count r ies r est r i ct t he appl i cat i on of t he doct r i ne of ul t r a vir es but do not abol i sh i t . Indonesi a adopt doct r i ne of ul t r a vir es in some of it s l aw such as Law No. 40 of 2007 concer ning Li mit ed Li abi l i t y Company and Law No. 25 of 2003 concer ni ng Ant i Money Launder ing. The pr ovi sions of ul t r a vir es doct r i ne has i mpact t o ot her l egal per son t han Limi t ed Li abi l i t y Company.

Key wor ds: ul t r a vir es, ext r a vi r es, i nt r a vir es.

Abst rak

Suat u perbuat an at as nama perusahaan disebut ul t r a vir es apabila dilakukan dengan maksud dan t uj uan apapun melampaui kewenangan yang diat ur dalam anggaran dasar perusahaan. Beberapa negara mulai membat asi penerapan dokt rin ul t r a vi r es t et api t idak mencabut nya sama sekali. Indonesia menerapkan dokt rin ul t r a vi r es sebagaimana diat ur dalam UU No. 40 Tahun 2007 t ent ang Perseroan Terbat as dan UU No. 25 t ahun 2003 t ent ang Tindak Pidana Pencucin Uang. Pemberlakuan dokt rin ul t r a vir es membawa dampak pengat uran yang sama t erhadap badan hukum lain selain Perseroan Terbat as.

Kat a kunci : ul t r a vir es, ext r a vir es, i nt r a vir es.

Pendahuluan

Berbagai pemberit aan yang muncul di-media, maupun kasus-kasus yang menj adi per-hat ian masyarakat yang sampai di pengadilan, umumnya melibat kan sengket a t ent ang penya-lahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh pihak direksi dalam perusahaan maupun badan hukum privat yang akt if menj alankan kegia-t annya di kegia-t engah-kegia-t engah masyarakakegia-t . Prakkegia-t ik penyalahgunaan kewenangan t ersebut dapat t erj adi oleh karena ket erbat asan pemahaman t ent ang dokt rin hukum yang melandasi dan membat asi penyelenggaraan kewenangan yang diberikan perusahaan dan at au badan hukum dalam prakt ik manaj emen dan pengelolaan kegiat annya sehari-hari. At as dasar pert im-bangan t ersebut , maka perlu dilakukan kaj ian hukum unt uk memperj elas bat as-bat as wewe-nang yang diberikan pada direksi perseroan,

at au pengurus badan hukum sebagaimana yang dit et apkan dalam anggaran dasarnya. Unt uk it u maka lingkup pembahasan meliput i pemahaman t erhadap dokt rin t erkait yait u: ul t r a vir es, ex-t r a vi r es dan i nt r a vir es.

(2)

perundang-undangan lain, sehingga menghapus dan at au memberikan pengert ian baru t erhadap pasal-pasal t ert ent u dalam KUH Dagang. Sesuai pemahaman klasikal, badan hukum privat at au badan hukum perdat a, adalah badan hukum yang didirikan oleh masyarakat dan diakui oleh negara, at au didirikan oleh negara, t et api t idak memiliki kewenangan menet apkan kebi-j akan publik yang mengikat publik. Beberapa cont oh yang dapat dikemukan disini adalah Perseroan Terbat as, Koperasi, Yayasan dan Perkumpulan.

Badan hukum publik didirikan berdasar-kan at uran hukum yang khusus mengat urnya baik melalui perundang-undangan at aupun pe-net apan pemerint ah (execut ive or der ). Badan hukum publik dengan demikian adalah merupa-kan badan hukum yang didirimerupa-kan oleh negara dan memiliki kewenangan menet apkan kebij ak-an publik yak-ang mengikat umum at au masya-rakat unt uk memat uhinya. Cont ohnya adalah negara, pemerint ah pusat , propinsi, kabupat en dan kot a. Perat uran-perat uran yang dikeluar-kan oleh badan hukum publik mengikat unt uk dipat uhi oleh siapa yang t erkena perat uran t er-sebut . Tulisan ini membahas penerapan dokt rin

ul t r a vi r es t erhadap badan hukum privat khu-susnya penerapannya dalam perusahaan perse-roan dan dampaknya t erhadap badan hukum privat lain yang masuk dalam wilayah hukum keperdat aan, dan t idak mengulas penerapan dokt rin ul t r a vir es dalam penyelenggaraan ke-kuasaan pemerint ahan dalam badan hukum publik yang merupakan wilayah hukum admi-nist rasi.

Pembahasan

Makna doktrin ult ra vires, ext ra vires dan

int ra vires

Ul t r a vi r es berasal dari bahasa Lat in yang dalam bahasa Inggris dit erj emahkan sebagai

“ beyond t he power ” at au dalam bahasa Indo-nesia dit erj emahkan melampaui kewenangan. Pemahaman secara akademis misalnya dit ulis-kan oleh Timot hy Endicot t , “ ul t r a vir es means

beyond (t he agency) l egal power s”1. Frank Mack mengart ikannya sebagai:

“ The t er m ul t r a vir es i n i t s pr oper sense, denot es some act or t r ansact ion on t he par t of cor por at ion whi ch al t hough not unl awf ul l or cont r ar y t o publ i c pol i cy i f done or execut ed by an i ndivi dual , i s j et beyond t he l egi t imat e power s of t he cor por at ion as t hey ar e def ined by t he st at ut e under whi ch i t i s f or med, or whi ch ar e appl i cabl e, or by it s char t er or i ncor por at i on paper s”2.

Ul t r a vir es, dalam kepust akaan hukum, seringkali disebut j uga sebagai ext r a vir es,

karena ext r a vi r es j uga memiliki makna yang sama dengan ul t r a vir es yait u beyond t he po-wer at au melampaui kewenangan. Dokt rin ul t r a vi r es dit erapkan pada perusahaan-perusahaan sert a organisasi kemasyarakat an, organisasi sosial dan keagamaan berbadan hukum yang memiliki peranan yang sangat luas t erhadap kehidupan masyarakat . Sebuah per-buat an yang dilakukan oleh organ perusahaan, pengurus or-ganisasi sosial berbadan hukum, yang dilakukan melampaui kewenangan yang diat ur dalam Anggaran Dasar dan at au at uran perudangan-undangan t erkait yang mengat ur eksist ensi ba-dan hukum t ersebut , maka perbuat an t ersebut dapat dikat egorikan sebagai t indakan ul t r a vi -r es at au perbuat an melampaui kewenangan. Dampak pelanggaran t erhadap dokt rin ul t r a vi -r es dapat berupa t unt ut an perdat a yang diaj u-kan oleh pihak-pihak yang dirugiu-kan, sert a dapat dimint akan pert anggung j awaban pidana baik t erhadap korporasi maupun t erhadap or-gan yang melakukannya.

Dokt rin ul t r a vi r es sebenarnya t elah lama dij adikan pegangan oleh para pemangku kepen-t ingan dalam pengelolaan perusahaan. Pada awalnya dokt rin t ersebut t idak t erlalu diperha-t ikan karena dianggap diperha-t idak bermanf aadiperha-t dalam memberikan perlindungan hukum t erhadap

1 Ti mot hy Endi cot t , “ Const i t ut ional Logic” , Uni ver si t y of

Tor ont o Law Jour nal, No. 53, Tahun 2003, hl m. 201

2 Frank A. Mack, “ The Law on Ul t r a Vir es Act s and

(3)

sisi invest or dan kredit ur. Hal ini dapat dipaha-mi karena dalam bent uk awal perusahaan se-belum revolusi indust ri melanda Eropa masih bersif at par t ner shi p. Segala sesuat u yang ber-sif at f undament al dalam perusahaan mest i sa-ling diket ahui oleh part ner usaha at au kongsi-nya masing-masing. Sekalipun t erj adi perubah-an yperubah-ang pent ing yperubah-ang t elah dilakukperubah-an dperubah-an be-lum diket ahui part ner/ kongsi lain dalam per-usahaan yang berbent uk par t ner shi p t ersebut , namun hal it u masih dapat dirat if ikasi oleh para kongsi lain dalam rapat perusahaan yang di-adakan unt uk kepent ingan t ersebut .

Pada t ahun 1875 t erj adi perubahan yang f undament al di Inggris berkait an dengan pe-mahaman dan penerapan dokt rin ul t r a vir es, karena dokt rin t ersebut oleh House of Lor ds

dit et apkan masuk dalam Company Act. Lat ar belakangnya keput usan House of Lords t ersebut adalah diput uskannya kasus Ashbur y Rai l way Car r i age and Ir on Company Lt d v. Hect or Ri che

(1875) L. R. 7 H. L. 653. Dalam kasus ini, Ang-garan Dasar (Memorandum of Associat ion) Ash-bur y Rai l way Car r i age and Ir on Company yang didirikan berdasarkan Company Act, 1862 me-nyebut kan bahwa perusahaan t ersebut ber-usaha dalam bidang pembuat an dan penj ualan, meminj amkan dan at au menyewakan gerbong barang dan gerbong penumpang, sert a segala sesuat u yang berkait an dengan bisnis pembuat -an, penj ual-an, persewaan gerbong. Namun da-lam Kenyat aannya direksi Ashbur y Rai l way Car -r i age and I-r on Company Lt d. j ust ru membuat kont rak dengan Hect or Ri che isinya ant ara lain unt uk membiayai pembangunan j aringan rel ke-ret a api di Belgia, yang t idak t ermasuk dalam apa yang diamanat kan dalam Anggaran Dasar

(Memor andum of Associ at ion) perusahaan t er-sebut .

Isu hukum yang muncul dalam kasus Ash-bur y Rai l way Car r i age and Ir on Company Lt d v. Hect or Ri che adalah apakah kont rak t ersebut berlaku at au t idak, dan apakah kont rak dapat dirat if ikasi oleh para pemegang saham (para kongsi) Ashbur y Rai l way Car r i age and Ir on Company Lt d ?. Ternyat a The House of Lords memut uskan bahwa:

(a) The cont r act was beyond t he obj ect s as def i ned i n t he obj ect s cl ause of i t s memor andum and, t her ef or e i t was voi d, and

(b) The company had no capacit y t o r at if y t he cont r act .

The House of Lor ds dalam put usannya menyat akan bahwa perbuat an ul t r a vi r es dan at au kont rak yang dibuat secara ul t r a vi r es

dianggap t idak ada (voi d) karena perusahaan t ersebut t idak memiliki kapasit as unt uk mem-buat kont rak dan dengan alasan t ersebut di-pert anyakan at as dasar apa para pemegang sa-ham merat if ikasi kont rak t ersebut , karena de-ngan berbuat it u maka para pemegang saham j uga akan melanggar Company Act , 1862.

Lima t ahun kemudian dalam kasus At -t or ney Gener al v. Gr ea-t Eas-t er n Rai l way Co.

(1880) 5 A. C. 473, The House of Lords mene-gaskan kembali makna dokt r in ul t r a vir es yang dit egakkan dalam kasus Ashbur y Rai l way Car -r i age and I-r on Company Lt d v. Hect o-r Ri che

yang ant ara lain memut uskan bahwa dokt rin

ul t r a vir es: “ ought t o be r easonabl e, and not r easonabl e under st ood and appl i ed and what -ever may f ai r ly be r egar ded as i nci dent al t o, or consequent i al upon, t hose t hi ngs whi ch t he l egi sl at ur e has aut hor i zed, ought not t o be hel d, by j udi ci al cont r uct i on, t o be ul t r a vi -r es” . Sesudah put usan kasus At t or ney Gener al v. Gr eat East er n Rai l way Co. maka selanj ut nya pelaksanaan dokt rin ul t r a vi r es mengalami pen-cerahan karena sej ak it u maka penerapan dok-t rin ul t r a vir es lebih diperlonggar: “ a company i ncor por at ed under t he Company Act has po-wer t o car r y out t he obj ect set out in t he ob-j ect s cl ause of it s memor andum and al so ever y-t hi ng y-t hay-t is r easonabl y necessar y y-t o enabl e i y-t t o car r y t hose obj ect s”3. Put usan yang menj adi preseden dalam common l aw t ersebut, mene-gaskan bahwa perusahaan memiliki kewenang-an menj alkewenang-ankkewenang-an apa ykewenang-ang diat ur dalam Ang-garan Dasar (i nt r a vir es), sert a melakukan

3 Raghvendr a Si ngh Raghuvanshi, 2009, Doct r i n of Ul t r a

(4)

gala sesuat u yang mendukung t ercapainya t u-j uan perusahaan.

Pada kasus At t or ney Gener al v. Mer sey Rai l way Co. (1907) 1 Ch 81, sebuah perusaha-an yperusaha-ang didirikperusaha-an dalam bidperusaha-ang usaha bisnis perhot elan, membuat kont rak dengan pihak ke-t iga unke-t uk membeli peraboke-t an f urnike-t ure, meng-gaj i pelayan unt uk merawat omnibus. Tuj uan didirikannya perusahaan t ersebut sesuai dengan Anggaran Dasar (Memor andum of Associ at i on)

hanyalah unt uk berusaha dibidang perhot elan dan t idak t ercant um usaha usaha pembelian perabot an dan menyewa pelayan. Gugat an di-aj ukan oleh Jaksa ke pengadilan unt uk memas-t ikan apakah memas-t indakan direksi memas-t ersebumemas-t memas-t erma-suk perbuat an ul t r a vir es. Pengadilan t ernyat a memut uskan bahwa perusahaan yang bergerak dibidang perhot elan dapat melakukan t ransaski pembelian perabot an, mempekerj akan pelayan dan merawat omnibus unt uk mengant ar para t amu hot el ke st asiun keret a api, dan karena it u apa yang dilakukan oleh direksi perusahan perhot elan t ersebut adalah “ r easonabl y neces-sar y t o ef f ect uat e t he pur pose f or whi ch t he company has been i ncor por at ed” , karena it u maka perbuat an direski perusahaan perhot elan t ersebut t idaklah t ermasuk sebagai ul t r a vi r es

t api masih dalam lingkup i nt r a vi r es.

Dinamika penerapan dokt rin ul t r a vi r es

di Inggris berdasarkan hukum yang t idak t ert ulis dan kebiasaan (cust omar y l aw), dan t he l aw of pr ecedent, t erpengaruh oleh wacana penerap-an dokt rin ul t r a vir es dalam kasus-kasus yang muncul dalam masyarakat . At uran-at uran yang t idak t ert ulis cenderung menj adi at uran t ert ulis sampai memengaruhi wilayah hukum adminis-t rasi sehingga David Jenkins menegaskan bahwa

“ … ul t r a vi r es doct r ine has become a f unda-ment al par t of Br it i sh const it ut ional pr ac-t i ce”4.

Diundangkannya European Communit ies Act 1972, seiring dengan upaya harmonisasi perat uran hukum di Eropa, di Inggris ada upaya unt uk mempersempit pemberlakuan dokt rin

4 David Jenki ns, “ From Unwr it t en t o Wri t t en: Tr ansf

or-mat ion in t he Brit ish Common – Law Const it ut ion” ,

Vander bi l t Jour nal of Tr ansnat i onal Law, Vol . 36 : 863, Tahun 2003, hl m. 894.

ul t r a vir es, karena keluhan berbagai pihak yang menganggap pemberlakuan dokt rin ul t r a vi r es

secara ket at dan kaku dalam bisnis akan mem-bawa dampak yang merugikan. Ref ormasi unt uk mengakhiri penerapan dokt rin ul t r a vi r es dalam rangka menghadapi globalisasi perdagangan du-nia t elah diupayakan oleh Depart ement of Tra-de and Indust ry, namun upaya t ersebut belum sepenuhnya berhasil dengan diundangkannya

Compani es Act 1989 yang masih memberikan indikasi dimungkinkannya penerapan dokt rin

ul t r a vir es5. Barulah dalam Companies Act 2006 pendaf t aran pendirian perusahaan t idak waj ib lagi mencant umkan t uj uan perusahaan sepert i dapat dibaca dalam pasal 31(1): “ Unl ess a com-panys ar t i cl es speci f i cal l y r est r i ct t he obj ect s of t he company, it s obj ect ar e unr est r i ct ed”. Juga dalam Pasal 41 (1) diat ur: “ In f avour a per son deal i ng wi t h a company i n good f ait h, t he power of t he dir ect or s t o bi nd t he com-pany, or aut hor i zed t o do so, i s deem t o be f r ee of any l imi t at ions under t he company’ s const i t ut i on”. Sehubungan dengan diundang-kannya The Companies Act s 2006 t ersebut , Gre-gory Mit chell dan Richard Brent menegaskan bahwa : “ The Companies Act 2006 makes i t di f f i cul t f or and Engl i sh r egi st er ed company t o seek t o r el y upon t he st r i ct Engl i sh l aw ul t r a vi r es doct r ine”6. Dengan demikian perkembang-an t erbaru di Inggris membat asi secara sperkembang-angat ket at penerapan dokt rin ul t r a vir es t ersebut .

Pengat uran dalam European Communi-t ies AcCommuni-t 1972, yang diCommuni-t indak lanj uCommuni-t i dengan dikeluarkannya Company Law Direct ives (Direc-t ive 68/ 151) dalam ar(Direc-t icle 9(1) menga(Direc-t ur: “ Act s done by or gans of t he company shal l be bi ndi ng upon it even i f t hose act s ar e not wi t hin t he obj ect s of t he company, unl ess act s exeed t he power t hat l aw conf er s or al l ows t o conf f er ed on t hose or gans” . Menurut St ephen Grif f in, Di-rect ives 68/ 151 t ersebut isinya menghapus

5

Paul J. Omar, Power, “Pur poses and Obj ect s: The Pr o-t r aco-t ed Demi se of o-t he Ul o-t r a Vi r es Rul e”, Bond Law Revi ew Vol ume 16, Issue 1, Tahun 2004, p. 110, t er-sedia di websit e ht t p: / / epubl icat ions. bond. edu. au/ bl r/ vol 16/ iss1/ 4, diakses t anggal 22 Mei 2011.

6 Gregory Mit chel l and Ri chard Brent , “ Engl ish Law

Cont ract s, Foreign Count erpart i es and Ul t ra Vires” ,

(5)

pemberlakuan t indakan ul t r a vi r es bagi pihak ket iga yang berit ikad baik (i n good f ai t h)7.

At uran ini mewaj ibkan negara-negara yang t er-gabung dalam Uni Eropa (European Union–EU) memiliki at uran hukum yang harmonis, dan ka-rena it u negara-negara anggot a EU masih ber-usaha mencari j alan keluar membat asi pene-rapan dokt rin ul t r a vi r es baik melalui proses pem-buat an at uran yang mengikat maupun dalam proses put usan peradilan (l egi sl at ive and j udi ci al act i on)8.

Black’ s Law Dict ionary mendef inisikan t ent ang ul t r a vir es sebagai berikut :

“ An act per f or med wi t hout any aut hor i t y t o act on subj ect . Act s beyond t he scope of t he power s of cor por at ion, as def i ned by i t s char t er or l aws of st at e of i ncor -por at ion. Act s i s ul t r a vir es when cor po-r at ion i s wit hout aut hopo-r it y t o pepo-r f opo-r m it under any cir cumst ance or f or any pur -pose”9.

sedangkan def inisi t ent ang ext r a vir es dalam Black’ s Law Dict ionary hanya disebut kan be-yond t he power, yang meruj uk pada pengert ian yang sama dengan ul t r a vi r es10.

Berdasarkan def inisi t ersebut , dapat di-lihat bahwa j ika t ernyat a sebuah perusahaan melalui organ perusahaan t ersebut melakukan perbuat an diluar kewenangan at au melampaui kewenangan at au cakupan bidang usaha yang dit et apkan dalam Anggaran Dasar perusahaan at au badan hukum yang dimaksud, maka per-usahaan t ersebut dikat egorikan t elah melaku-kan perbuat an yang dimaksud sebagai ul t r a vi r es. Dengan demikian dokt rin ul t r a vi r es me-negaskan bahwa perusahaan at au perseroan t idak dapat melakukan kegiat an diluar apa yang diamanat kan dalam Anggaran Dasar perseroan t ersebut (int r a vi r es), sebagai cont oh,

7

St ephen Grif f in, 1998, “ The Rise and Fal l of t he Ul t ra Vires Rul e in Corpor at e Law ” , Mount bat t en Jour nal of Legal St udi es, June 1998, p. 19, t er sedia diwebsit e ht t p : / / ssudl . sol ent . ac. uk/ pol icies/ 954/ di akses t anggal 23 Mei 2011.

8 Paul Craig, “ The EJC and Ul t r a Vires Act ion : A

Concept ual Anal ysi s” , Common Mar ket Law Revi ew, No. 48, Tahun 2011, hl m. 395-437

9 Henry Campbel l Bl ack, 1990, Bl ack’ s Law Di ct i onar y,

St . Paul , Minn. , Sixt h Edit ion, West Publ i shi ng Co. , p. 1522.

10 Ibi d. , hl m. 588.

usahaan yang didirikan unt uk berusaha dalam bidang pert ambangan sesuai amanat yang dicant umkan dalam Anggaran Dasar pendirian-nya, t ernyat a pada saat yang sama berusaha j uga dibidang asuransi yang t idak diat ur dalam Anggaran Dasarnya, maka perusahaan t ersebut t elah melakukan perbuat an yang dimaksud de-ngan ul t r a vir es t ersebut . Jika perusahaan t ersebut dalam menj alankan usaha asuransinya membuat kont rak dengan pihak lain yang ber-kait an dengan bisnis asuransi yang t idak diat ur dalam Anggaran Dasarnya, maka penanda t a-nganan kont rak it u adalah sebuah perbuat an melanggar hukum dengan konsekuensi kont rak it u dianggap t idak ada (voi d) at au dapat diba-t alkan (voi dabl e). Dalam konst ruksi ci vi l l aw

kont rak t ersebut dapat berdimensi niet i g at au

ver niet i gbaar. Penent uan apakah suat u kont rak dianggap t idak ada (voi dni et i g) at au dapat di-bat alkan (voi dabl e–ver niet i gbaar ), hal it u ada-lah merupakan kewenangan hakim unt uk me-mut uskan, berdasarkan gugat an yang diaj ukan oleh salah sat u pihak yang dirugikan.

Pembahasan dokt rin ul t r a vir es, t idak dapat dilepaskan dari dokt rin i nt r a vi r es, yang memiliki makna yang berlawanan dengan ul t r a vi r es. Def inisi i nt r a vi r es menurut Black’ s Law Dict ionary adalah “ An act i s sai d t o be i nt r a vi -r es (wit hi n t he powe-r ) of a pe-r son o-r co-r po-r at ion when it i s wit hi n t he scope of hi s opo-r it s power s of aut hor i t y. It i s t he opposit e of t he ul t r a vi r es”11. Berdasarkan hal t ersebut , cakup-an i nt r a vir es adalah semua yang diamanat kan dalam Anggaran Dasar yang memuat maksud dan t uj uan sert a kegiat an usaha perseroan sert a hal-hal yang menj adi pegangan para di-reksi perseroan dalam menj alankan kegiat an perseroan.

Belakangan ini banyak negara mulai membat asi penerapan dokt rin ul t r a vir es dalam hukum bisnis. Di Belanda, pembat asan pene-rapan dokt rin ul t r a vi r es dapat dilihat dalam Pasal 36 (h) Buku I Bab 3 t ent ang Korporasi dari

Commer ci al Code of Net her l ands, diat ur se-bagai berikut :

(6)

“ The Cor por at ion cannot i nvoke t he de-f ense t hat an act per de-f or med i n i t s name cannot be hel pf ul t o t he at t ai ni ng of t he cor por at ion’ s pur pose, unl ess i t show t hat ot her par t y knew t hat t he act was ext r a vir es or t hat sai d par t y coul d not have been i gnor ant of t he excessi ons: t he ot her par t y has no r i ght t o i nvoke ex-cession of t he l i mi t s of t he pur pose” .

Berdasarkan hal t ersebut , penerapan ul t r a vi -r es at au ext r a vir es di Belanda sudah dibat asi, t idak lagi seluas cakupan penerapan awal dok-t rin ul t r a vi r es dalam hukum perseroan. Per-kembangan penerapan hukum di Belanda de-ngan sist im cont i nent al / ci vi l l aw, mengikut i apa yang t erj adi dalam perkembangan penerap-an dokt rin ul t r a vir es di negara-negara common l aw dan Uni Eropa dengan berlakunya European Communit ies Act 1972. Meskipun masih bersif at dilemat is, hal ini t erj adi j uga di Jerman dimana penerapan dokt rin ul t r a vir es yang dianggap le-bih longgar dalam Ger man Basi c Law berhadap-an dengberhadap-an at urberhadap-an dalam Eur opean Law (Eur o-par echt s-f r eundl i chkei t ) yang harus dit egakkan oleh Eur opean Cour t of Just i ce (ECJ) t erhadap pembat asan dokt rin ul t r a vir es yang semakin ket at12.

Hukum perusahaan dan hukum bisnis di Aust ralia, dalam menerapkan dokt rin ul t r a vi -r es hanya dilakukan secara selekt if dan esksis-t ensi dokesksis-t rin esksis-t ersebuesksis-t hanya esksis-t erbaesksis-t as dalam penerapan secara int ernal dalam perusahaan, t idak lagi dit erapkan pada pihak ket iga diluar perusahaan. Bahkan di Selandia Baru negara t et angga Aust ralia dengan sist em common l aw

muncul wacana bahwa sesungguhnya dokt rin ult ra vires t elah usai dan mat i13.

Penerapan dokt rin ul t r a vir es t erhadap kasus-kasus perusahaan di Amerika Serikat , j u-ga mulai menunj ukan penurunan. Menurut Ro-bert Hamilt on, gej ala penurunan kasus-kasus yang melibat kan penerapan dokt rin ul t r a vi r es

12

Mat t hi as Mahl mann, “ The Pol it ics of Const it ut ional Ident it y and i t s Legal Frame – t he Ul t ra Vires Decision of t he German Feder al Const it ut ion” , Ger man Law Jour nal , Vol . 11 No. 12, p. 1410 – 1411, Tahun 2010.

13 Phil ip A. Joseph, “ The Demi se of ul t r a vires – a repl y t o

Christ oper Forsyt h and Linda Whit t l e” , Cant er bur y Law Revi ew 10, t ersedia di websit e ht t p: / / NZLII/ Dat abases/ cant er bury l aw review/ 2002/ (2002) Cant er-Law Rw 10, diakses t anggal 22 Mei 2011.

adalah karena pemberlakuan dokt rin lain oleh hakim yang lebih dapat dit erima umum sepert i misalnya dokt rin est oppel s, unj ust enr i chment,

quasi cont r act dan waiver, dalam mengadili ka-sus-kasus penyalahgunaan kewenangan perusa-haan. Hamilt on mengulas gej ala t ersebut se-bagai berikut :

“ Some cour t s avoi ded t he ul t r a vir es doc-t r ine by consdoc-t r uing pur poses cl auses br o-adl y and f i ndi ng i mpl i ed pur pose f r om t he l anguage used. … Ot her doct r i ne t hat have f ound accept ance incl ude est oppel , unj ust enr i chment , quasi cont r act , and wai ver . In par t i cul ar , t hese doct r i n wer e appl i ed t o ensur e t hat compl et ed t r an-sact i on woul d not be di st ur bed, and t o per mi t t or t cl ai mant s t o r ecover f or i n-j ur i es suf f er ed as a consequences of t he cor por at ion conduct of an ul t r a vir es bu-si ness. Ul t r a vi r es cont inued t o be ap-pl i ed, however , in connect ion wi t h exe-cut or agr eement s, and when it al l i s sai d done, t he doct r i ne was undi ser abl e one, i nvol vi ng har sh and er r at i c consequen-ces”14.

Pernyat aan Hamilt on t ersebut , dapat dilihat bahwa hakim t idak semat a-mat a mendasarkan keput usannya pada dokt rin hukum baku yang ada saj a sepert i halnya ul t r a vi r es t ersebut t et api j uga melakukan eksplorasi lebih lanj ut dengan melihat kebut uhan yang lebih luas melalui menerapkan dokt rin lain yang lebih mencerminkan keadilan dalam memut us perkara. Keseimbangan pert imbangan hakim dalam memut us perkara guna mewuj udkan keadilan t elah dit uliskan j auh sebelumnya oleh Charles E. Carpent er: “ The doct r i ne of ul t r a vi -r es i s t he means by whi ch t he cou-r t have wo-r k-ed out t he answer t o t hi s quest i on”15.

Penerapan dokt rin ul t r a vir es, meskipun demikian, secara ket at pada beberapa negara bagian di Amerika Serikat t et ap dipert ahan-kan, misalnya di Michigan, prakt ik hukum yang t idak berij in oleh sebuah korporasi adalah

14 Robert W. Hamil t on, 2005, Cases and Mat er i al s on

Cor por at i ons, St . Paul . Minn. , Ameri can Case Book Series, West Group, hl m. 263.

15 Charl es E. Carpent er, “Shoul d t he Doct r i ne of Ul t r a

(7)

buat an ul t r a vir es (karena seharusnya mest i dalam bent uk Law Firm), sebagai-mana dikat a-kan oleh Josh Ard: “ . . . unaut hor i zed pr act i ce of l aw by a cor por at ion a cr i me. Obvi ousl y pr ac-t i ci ng l aw woul d be an ul ac-t r a vir es acac-t ivi ac-t y”16.

Pengawasan secara ket at j uga dilakukan pada organisasi-organisasi berbadan hukum yang ber-sif at non-prof it at au bergerak dibidang f ilant ro-f is yang memperoleh keringanan dan bahkan penghapusan paj ak t erhadap donasi yang dibe-rikan pada organisasi-organisasi penghimpun dana t ersebut . St at ist ik menun-j ukan bahwa di Amerika Serikat ada sekit ar 1. 118. 187 organi-sasi bebas paj ak, diant aranya sebanyak 612. 830 organisasi nirlaba bebas paj ak akt if yang t er-cant um dalam berkas induk Int er nal Revenue Ser vi ce (IRS). Organisasi-organisasi ini t idak hanya bebas paj ak, t et api sumbangan kepada organisasi dimaksud dapat diperhit ungkan dalam pengecualian paj ak sesuai dengan hukum yang berlaku. Selain it u donasi yang dilakukan oleh korporasi besar berorient asi laba yang di-berikan pada para polit ikus unt uk mencapai t uj uan polit ik t ert ent u j uga dianggap sebagai perbuat an ul t r a vir es, karena menyimpang dari t uj uan perusahaan17. Sebelumnya di Inggris donasi yang diberikan perusahaan unt uk t uj uan polit ik j uga dianggap sebagai perbuat an ul t r a vi r es. Hal ini dit egaskan oleh K. D. Ewing: “ … company pol i t i cal donat ion must sur el y be ul -t r a vir es because -t hey canno-t possi bl y inci den-t al den-t o achi evi ng or pr omoden-t ing any of den-t he goal of t he company”18.

Henry R. Cheeseman, dalam menghadapi penyalahgunaan penerapan dokt rin ul t r a vir es, mencoba memberikan j alan keluar:

“ An act by a cor por at i on t hat i s beyond i t s expr ess or impl i ed power s i s cal l ed ul t r a vir es act . The f ol l owi ng r emedi es ar e avai l abl e i f an ul t r a vir es act i s

16

Josh Ard, St aying in Bounds, “ Preparing Law St udent t o Recognize t he Unaut hor ized Pract i ce of Law” , Mi chi gan Bar Jour nal, June 2002, hl m. 48.

17 Daniel Lipt on, “ Corporat e Capacit y f or Cri me and

Pol it ics : Def i ning Corpor at e Personhood at t he Turn of t he Twent iet h Cent ury” , Vi r gi ni a Law Revi ew Vol . 96 : 1911, Tahun 2010, hl m. 1919.

18 K. D. Ewing, “ Company Pol i t i cal Donat ions and t he Ul t r a

Vires Rul e, Moder n Law Revi ew, Vol . 47, Jan. 1984, hl m. 71.

mi t ed: Shar ehol der s can sue an i nj unc-t i on unc-t o pr evenunc-t unc-t he cor por aunc-t ion f r om engaging in t he act ; The cor por at ion (or shar ehol der on behal f of t he cor por a-t i on) can sue a-t he of f i cer s or di r eca-t or s who caused t he act f or damaged; and The at t or ney gener al of t he st at e of i n-cor por at ion can br ing an act ion t o enj oin t he act or t o di ssol ve t he cor por at ion”19.

Prakarsa unt uk menghadapi ef ek t elah dilakukannya perbuat an ul t r a vi r es dalam perusahaan adalah para pemegang saham dan dalam kasus t ert ent u yang bersif at pidana oleh Jaksa Penunt ut , maka dapat dikat akan bahwa penerapan dokt rin ul t r a vir es pada dasarnya t elah mengalami pergeseran yang f undamen-t al. Pada awalnya orienundamen-t asi penerapannya pe-nekanan pada pihak luar perusahaan (out si der ),

sekarang beralih penekanannya pada int ernal perusahaan. Hal ini nampaknya lebih f air dan adil karena pihak direksi perusahaan yang se-harusnya lebih t ahu t ent ang seluk beluk sert a t uj uan perusahaan, ket imbang pihak luar pe-rusahaan yang dat ang unt uk melakukan hubu-ngan bisnis dehubu-ngan dasar sebuah it ikad baik (i n good f ait h).

Badan hukum dan penerapan dokt rin ult ra

vires

Badan hukum adalah merupakan t erj e-mahan dari suat u ist ilah hukum Belanda

r echt sper soon, at au per sona mor al i s (Lat in), at au l egal per sons (Inggris). Per sona adalah t erj emahan dari bahasa Yunani pr osopon. Ist ilah pr osopon digunakan oleh Epict et us dan kaum St oa yang mengacu pada manusia indivi-dual dalam kapasit asnya menj alankan peran khusus dalam memaknai kehidupan sebagai-mana dit ent ukan oleh akal universal. Dari peng-gunaan kaum St oa t ersebut , ist ilah per sona

at au pribadi masuk dalam hukum Romawi sebagai per sona f i ct a unt uk menun-j ukan pela-ku kewaj iban dan pemegang hak secara hupela-kum. Berdasarkan lat ar belakang t ersebut , munculah ist ilah-ist ilah sepert i ar t if i ci al per son, j ur i di cal per son, j ur ist i c per son dan body cor por at e

19 Henry R. Cheeseman, 2001, Busi ness Law, New Yer sey,

(8)

yang diakui memiliki nama dan hak-hak dan kewaj iban, perlindungan dan penghargaan la-yaknya manusia.

Manusia memperoleh kapasit as hukum

(l egal capaci t y) sej ak ia dilahirkan, maka di Jerman badan hukum yang oleh hukum diang-gap sebagai ar t i f i ci al per son memperoleh hak hidup sej ak ia diakui oleh hukum sebagai se-buah ent it as yang berbadan hukum (l egal per -sonal it y), sedangkan di Belanda, yang dimaksud dengan r echt sper soon memiliki banyak kesama-an dengkesama-an apa ykesama-ang dimaksudkkesama-an para pakar di Indonesia sepert i yang akan dibahas kemudian.

Recht sper soon sering disandingkan de-ngan nat uur l i j kper son yang adalah j uga meru-pakan subyek hukum dan merumeru-pakan pendu-kung hak dan kewaj iban. Dalam usaha memu-dahkan pemahaman t erhadap badan hukum, para akhli hukum memberikan beberapa def ini-si t ent ang badan hukum sebagai berikut .20 Me-nurut R. Subekt i: “ Badan Hukum pada pokoknya adalah suat u badan at au perkumpulan yang da-pat memiliki hak-hak dan melakukan perbuat an sepert i seorang manusia, sert a memiliki keka-yaan sendiri, dapat di gugat at au menggugat di depan hakim” . Sedang Rochmat Soemit ro men-def inisikannya sebagai: “ Badan hukum (r echt s-per soon) i al ah suat u badan yang dapat mempu-nyai har t a, hak ser t a kewaj i ban seper t i or ang pr i badi ” . Sedangkan menurut Sri Soedewi Mas-chun Sof wan: “ Manusia adalah badan pribadi (manusia t unggal). Selain manusia, dapat j uga oleh hukum diberikan kedudukan sebagai badan pribadi kepada wuj ud lain, disebut badan hu-kum yait u perhu-kumpulan dari orang-orang ver-sama-sama mendirikan suat u badan (perhim-punan) dan kumpulan hart a kekayaan, yang disisihkan unt uk t uj uan t ert ent u (Yayasan) ke-dua-duanya merupakan badan hukum” . Pakar hukum dari Belanda, H. Th. Ch. van Kal dan V. F. M. Den Hart og: “ Manusia ialah subyek hu-kum. Selain manusia, menurut hukum ada j uga subyek hukum yang lain, yang t idak bersif at waj ar at au mahluk, melainkan merupakan sua-t u organisasi. Organisasi yang memperoleh sif asua-t subyek hukum, adalah badan hukum. Sebagai

20 Chidir Al i, 1999, Badan Hukum, Bandung : Al umni , hl m.

19-20.

badan hukum ia dapat bert indak, ia boleh me-miliki hart a, boleh berunding, boleh mengikat perj anj ian, boleh bert indak dalam persengket a-an hukum da-an sebagainya da-an memikul t a- ang-gung j awab dalam art i hukum t ent ang segala perbuat annya” . Pengat uran badan hukum di In-donesia t ersebar dalam beberapa perat uran yang t erpisah, baik dalam KUH Perdat a (B. W. ), KUH Dagang (Commer ci al Code) maupun dalam penet apan pemerint ah sebagaimana yang di-uraikan berikut ini.

Perkumpulan (Pasal 1654-1665 KUH Perdat a)

Pasal 1654 KUH Perdat a (B. W. ) yang me-negaskan eksist ensi perkumpulan sebagai badan hukum : ” Semua perkumpulan yang sah adalah, sepert i halnya dengan orang-orang preman, berkuasa melakukan t indakan-t indakan perda-t a, dengan perda-t idak mengurangi peraperda-t uran-per-at uran umum, dalam mana kekuasaan it u t elah diubah, dibat asi at au dit undukan pada acara-acara t ert ent u” . Dalam pasal 1655 KUH Perdat a (B. W. ) diat ur bahwa para pengurus dapat ber-t indak aber-t as nama perkumpulan, mengikaber-t per-kumpulan kepada orang-orang pihak ket iga dan sebaliknya, begit u pula bert indak dimuka ha-kim, baik sebagai penggugat maupun sebagai t ergugat . Pengat uran dalam KUH Perdat a (BW) t ersebut diperkuat j uga dalam St b. No. 64 – 1870 yang menegaskan t ent ang eksist ensi

r echt sper soonl i j khei d van ver eni ngi ngen kepri-badian hukum dari perkumpulan yang mempu-nyai kedudukan sebagai subyek hukum.

(9)

Ang-garan Dasar Perkumpulan (i nt r a vir es), akan membuka peluang pihak lain unt uk menggugat pengurus perkumpulan baik secara perdat a maupun pidana.

Perseroan Terbat as (UU No. 40 Tahun 2007 t ent ang Perseroan Terbat as)

Pasal 1 ayat (1) dit egaskan “ Perseroan Terbat as, yang selanj ut nya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan perse-kut uan modal, didirikan berdasarkan perj anj i-an, melakukan kegiat an usaha dengan modal dasar yang seluruhnya t erbagi dalam saham dan memenuhi persyarat an yang dit et apkan dalam undang-undang ini sert a perat uran pelaksana-annya” . Pasal 7 ayat (4) UU No. 40/ 2007 dit e-gaskan bahwa: “ Perseroan memperoleh st at us badan hukum pada t anggal dit erbit kannya Ke-put usan Ment eri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan” .

Dit erapkannya dokt rin ul t r a vir es dalam Perseroan Terbat as dapat dit emukan dalam norma pengat uran dalam UU No. 40 Tahun 2007 t ent ang Perseroan Terbat as. Misalnya dalam Pasal 2 dit egaskan sebagai berikut : “ Perseroan harus mempunyai maksud dan t uj uan sert a ke-giat an usaha yang t idak bert ent angan dengan ket ent uan perat uran perundang-undangan, ke-t erke-t iban umum dan/ ake-t au kesusilaan” . Menuruke-t Fred B. G. Tumbuan, pencant uman maksud dan t uj uan Perseroan mempunyai dua segi, disat u pihak merupakan sumber kewenangan bert in-dak bagi perseroan, dan dilain pihak menj adi pembat asan dari ruang lingkup kewenangan bert indak Perseroan yang bersangkut an (de doel omschr i j vi ng van de r echt sper soon gel t d al s begr enzi ng van haar bevoeghei d)21.

Selanj ut nya dalam Pasal 15 ayat (1) di-at ur ant ara lain:

Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:

(a) nama dan t empat kedudukan perseroan;

21 Fred B. G. Tumbuan, “ Tugas dan Wewenang Organ

Perseroan Ter bat as Menurut Undang-Undang Tent ang Perseroan Ter bat as” , PPH New s Let t er , No. 70, Sept ember 2007, hl m. 17.

(b) maksud dan t uj uan sert a kegiat an usaha perseroan;

(c) j angka wakt u berdirinya perse-roan; (d) besarnya j umlah modal dasar, modal

dit empat kan dan modal dicet or; (e) j umlah saham, klasif ikasi saham

apabila ada berikut j umlah saham unt uk t iap klasif ikasi, hak-hak yang melekat pada set iap saham, dan nilai nominal t iap saham;

(f ) nama j abat an dan j umlah anggot a direksi dan dewan komisaris;

(g) penet apan t empat dan t at a cara penyelenggaran RUPS;

(h) t at a cara pengangkat an, penggan-t ian, pemberhenpenggan-t ian anggopenggan-t a di-reksi dan dewan komisaris

(i) t at a cara penggunaan laba dan pembagian dividen.

Norma pengat uran dalam Pasal 15 ayat 1(b) yang menegaskan bahwa Anggaran Dasar Per-seroan harus mencant umkan maksud dan t uj u-an sert a kegiat u-an usaha Perserou-an, menunj uk-kan bahwa dokt rin ul t r a vir es dit erapkan secara ket at dalam hukum posit if nasional khu-susnya t erhadap badan hukum yang berbent uk Perseroan Terbat as (P. T. ). Pengat uran secara ket at penerapan dokt rin ul t r a vir es lebih di-t egaskan lagi dalam Pasal 19 dan Pasal 21 UU No. 40 Tahun 2007 yang mengat ur bahwa peru-bahan Anggaran Dasar harus dit et apkan oleh RUPS dan diset uj ui oleh Ment eri dalam hal pe-rubahan Anggaran Dasar ant ara lain menyang-kut maksud dan t uj uan sert a kegiat an usaha perseroan.

Pengat uran selanj ut nya dalam Pasal 155 menegaskan: “ Ket ent uan dan t anggung j awab direksi dan/ dewan komisaris at as kesalahan dan kelalaiannya yang diat ur dalam undang-undang ini t idak mengurangi ket ent uan yang diat ur dalam undang-undang Hukum Pidana” . Dalam hubungan ini Erman Raj agukguk mene-gaskan bahwa t indakan-t indakan yang digo-longkan sebagai ul t r a vir es at au yang dianggap t idak berguna, t idak akan mendapat perlin-dungan hukum.22 Sedangkan Eddie Supriyadi menegaskan bahwa bila direksi melakukan t

22 Erman Raj agukguk, “ Tanggung Jaw ab Dir eksi dan

(10)

dakan-t indakan diluar t ugas dan kewenangan-nya (ul t r a vi r es), maka t anggung j awab direksi adalah pribadi (penuh)23.

Pembahasan penerapan dokt rin ul t r a vi -r es secara ket at dalam hukum perseroan, me-nunj ukan bahwa Indonesia mengambil sikap yang berbeda dalam pengat uran hukum per-seroan, misalnya dibandingkan dengan Belanda, Aust ralia, Inggris dan Amerika Serikat . Hal ini dapat dipahami karena pert imbangan bahwa pembangunan perekonomian nasional harus memiliki landasan yang kokoh yang perlu di-dukung oleh suat u undang-undang yang meng-at ur t ent ang perseroan t erbmeng-at as guna menj a-min t erselenggaranya iklim usaha yang kon-dusif .

Dokt rin ul t r a vir es j uga t ernyat a di-t erapkan secara kedi-t adi-t dalam UU No. 25 di-t ahun 2003 t ent ang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Pasal 4 ayat (3) undang-undang t ersebut diat ur sebagai berikut :

“ Korporasi t idak dapat dimint a per-t ang-gung j awaban pidana t erhadap suat u t in-dak pidana pencucian uang yang dilaku-kan oleh pengurus yang mengat asnama-kan korporasi, apabila perbuat an t er-sebut dilakukan melalui kegiat an yang t idak t ermasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana dit en-t ukan dalam anggaran dasar at au ket ent uan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkut an” .

Berdasarkan ket ent uan diat as maka dapat di-t arik kesimpulan bahwa hanya perbuadi-t an-per-buat an yang i nt r a vi r es yang dilakukan oleh pengurus saj a yang dapat dimint akan pert ang-gungj awaban pidana kepada korporasi yang bersangkut an, selain kepada pengurus yang me-lakukan perbuat an it u. Perbuat an ul t r a vi r es

menj adi t anggung j awab pribadi pengurus dan t idak dapat dimint akan pert anggungj awaban pidana kepada korporasi. Pengat uran yang ke-t ake-t ke-t erhadap perbuake-t an ul t r a vir es t erhadap badan hukum perseroan, maka dapat dipast ikan bahwa pengaruh penerapan at uran t ersebut t erhadap badan hukum selain perseroan akan sangat kuat , mengingat at uran-at uran yang

23 Eddi e Supr iyadi, “ Tanggung Jawab Dir eksi ” , Jur nal

Hukum Themi s, Vol . 1 Nomor 1, Okt ober 2006, hl m. 45.

ru t ersebut dapat dij adikan dasar dalam pene-gakan hukum j ika muncul masalah-masalah berkait an dengan pelanggaran dokt rin ul t r a vi r es yang dilakukan oleh direksi at aupun pe-ngurus badan hukum yang bersangkut an.

Kerkgenoot schappen/ Persekut uan Gerej a (S. 1927 No. 156 Regeling van de Recht sposit ie der Kerk)

St aat sblad 27–156 yang dikeluarkan me-lalui Keput usan Rat u Belanda t anggal 29 Juni 1925 No. 80, Pemerint ah Belanda mengat ur kedudukan Persekut uan at au Perkumpulan Ge-rej a sebagai berikut :

(1) Ker ken of ker genooschappen, al sme-de hunne zel f st andi ge onsme-der sme-deelen, bezi t t en van r echt swege r echt sper -soonl i j khei d.

(2) Om al s ker k of ker kgenoot schap, dan wel al s zel f st andi g onder deel daar -van, t e wor den aangemer kt , i s eene daar t oe st r ekkende ver kl ar i ng ver e-i scht van den Gouver neur – Gener al .

At uran t ersebut diperkuat dengan dike-luarkannya St b. 27 – 157 dan St b. 27 – 532, yang pada pokoknya memberikan kedudukan Perse-kut uan Gerej a at au Perkumpulan Gerej a seba-gai badan hukum dimana st at us badan hukum t ersebut diperoleh set elah permohonan penga-j uan sebagai badan hukum diset upenga-j ui oleh Gu-bernur Jenderal Hindia Belanda. At uran t erse-but masih berlaku dalam hukum posit if di Indonesia karena belum ada gant inya, namun pengesahan sebagai sebuah Perkumpulan at au Persekut uan Gerej a sebagai badan hukum di-lakukan oleh Depart emen Agama RI, dalam hal ini Direkt ur Jenderal Bimas Krist en Prot est an/ Khat olik.

(11)

seba-gaimana yang diat ur dalam AD/ ART Perseku-t uan Gerej a (i nt r a vi r es) yang dimakusud.

Koperasi (UU No. 25 Tahun 1992 t ent ang Perkoperasian)

Pasal 1 ayat (1) UU No. 25 Tahun 1992 t ent ang Perkoperasian mengat ur bahwa bahwa: “ Koperasi adalah badan usaha yang berang-got akan orang-seorang at au badan hukum Ko-perasi dengan melandaskan kegiat annya ber-dasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan at as asas kekeluargaan” . Sement ara dalam Pasal 9 UU No. 25 Tahun 1992 diat ur bahwa: “ Koperasi memperoleh st at us badan hukum set elah akt a pendiriannya disahkan oleh pemerint ah” .

Pasal 7 UU No. 25 Tahun 1992 mengat ur: “ Pembent ukan koperasi sebagaimana dimak-sud dalam Pasal 6 dilakukan dengan akt a pendi-rian yang memuat Anggaran Dasar” , sedangkan dalam Pasal 8 diat ur sebagai berikut :

Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) memuat :

(a) daf t ar nama pendiri;

(b) nama dan t empat kedudukan;

(c) maksud dan t uj uan sert a bidang usaha;

(d) ket ent uan mengenai keanggot aan; (e) ket ent uan mengenai rapat anggo-t a; (f ) ket ent uan mengenai pengelolaan; (g) Ket ent uan mengenai permodalan; (h) ket ent uan mengenai j angka wakt u

berdirinya;

(i) ket ent uan mengenai pembagian si-sa hasil usaha;

(j ) ket ent uan mengenai sanksi.

Ket ent uan Pasal 7 (1) huruf b, t et ap mensyarat -kan pencant uman maksud dan t uj uan sert a bi-dang usaha. Deskripsi t ent ang apa yang harus dimuat dalam suat u Anggaran Dasar Koperasi mencerminkan penerapan dokt rin ul t r a vi r es

dalam pengelolaan koperasi. Kewenangan pe-ngurus koperasi dit egaskan kembali dalam Pasal 24: “ Pengur us ber wenang mel akukan t i ndakan-t i ndakan dan upaya-upaya bagi kepenndakan-t ingan dan kemanf aat an koper asi sesuai dengan t ang-gung j awabnya dan keput usan-keput usan r apat anggot a”. Kelalaian pengurus memenuhi t ang-gung j awabnya t elah diat ur dalam Pasal 25 UU

No. 25 Tahun 1992. Berdasarkan paparan t er-sebut , maka pengat uran Badan Hukum Koperasi dalam UU No. 25 Tahun 1992 t ent ang Perko-perasian, menerapkan dokt rin ul t r a vir es, dimana pengurus koperasi t idak boleh meng-ambil t indakan diluar kewenangan yang diama-nat kan undang-undang ini.

Yayasan (UU No. 16 Tahun 2001 t ent ang Yayasan j o. UU No. 28 Tahun 2004 t ent ang Perubahan At as UU No. 16 Tahun 2001 t ent ang Yayasan)

Pasal 1 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2001 j o UU No. 28 Tahun 2004 t ent ang Perubahan UU No. 16 Tahun 2001 t ent ang Yayasan diat ur sebagai berikut : “ Yayasan adalah badan hukum yang t erdiri at as kekayaan yang dipisahkan dan diperunt ukan unt uk mencapai t uj uan t ert ent u dibidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang t idak mempunyai anggot a”. Dalam Pasal 11 ayat (1) UU No 16 Tahun 2001 j o UU No. 28 Tahun 2004 t ent ang Perubahan UU No. 16 Ta-hun 2001, diat ur sebagai berikut “ Yayasan memperoleh st at us badan hukum set elah akt e pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud da-lam Pasal 9 ayat (2) memperoleh pengesahan dari Ment eri” .

Konst ruksi yuridis Yayasan sebagai badan hukum, disert ai dengan pembat asan bahwa Ya-yasan hanya dapat bergerak dalam t iga bidang: sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Sedangkan Akt a pendirian yang memuat Anggaran Dasar sebagaimana diat ur dalam Pasal 14 sekurang-kurangnya memuat :

(1) nama dan t empat kedudukan;

(2) maksud dan t uj uan sert a kegiat an un-t uk mencapai maksud dan un-t uj uan un-t er-sebut ;

(3) j angka wakt u pendirian;

(4) j umlah kekayaan awal yang dipisah-kan dari kekayaan pribadi pendiri dalam bent uk uang at au benda; (5) cara memperoleh dan penggunaan

kekayaan;

(6) t at a cara pengangkat an, pemberhen-t ian, dan pengganpemberhen-t ian anggopemberhen-t a Pem-bina, Pengurus, dan Pengawas; (7) hak dan kewaj iban anggot a Pembina,

Pe-ngurus dan Pengawas;

(12)

(9) ket ent uan mengenai perubahan Ang-garan Dasar;

(10)penggabungan dan pembubaran Yaya-san;

(11)penggunaan kekayaan sisa likuidasi at au penyaluran kekayaan Yayasan set elah pembubaran.

Berdasarkan norma-norma pengat uran yang dimuat dalam Anggaran Dasar Yayasan maka j ika organ Yayasan melakukan t indakan diluar apa yang diat ur dalam Anggaran Dasar t ersebut , maka perbuat an t ersebut t ergolong

ul t r a vi r es dan organ Yayasan yang melakukan perbuat an t ersebut diancam pidana penj ara lima t ahun sebagaimana diat ur dalam Pasal 5, Pasal 53 dan Pasal 70 UU No. 16 j o. UU No. 28 Tahun 2004 t ent ang Perubahan at as UU No. 16 Tahun 2001 t ent ang Yayasan. Menurut peneli-t ian Margarepeneli-t h Joyce Karnadi banyak penaf siran berbeda berkait an dengan yayasan yang t elah didirikan baik sebelum maupun sesudah diber-lakukannya UU No. 16 Tahun 2001 j o. UU No. 28 Tahun 2004. Namun yang past i semua yaya-san yang ada di Indonesia, waj ib menyesuaikan anggaran dasarnya sesuai at uran perundangan yang berlaku24.

Perusahaan Asuransi (Pasal 286 KUH Dagang)

Pasal 286 KUH Dagang mengat ur: “ Per-seroan-perseroan pert anggungan bert imbal ba-lik diat ur menurut perj anj ian-perj anj ian dan reglemen-reglemen yang bersangkut an, dan apabila it u t idak lengakap, menurut asas hukum pada umumnya” . Masalah apakah perseroan-perseroan pert anggungan bert imbal balik (we-der ker i ge ver seker i ng–of waar bor gmaat schap-pi j en) at au perusahaan asuransi adalah badan hukum at au bukan, t elah berakhir dengan me-lalui ar r est H. R. 20 Okt ober 1865 W. 2736, yang menet apkan bahwa asuransi adalah “ zadel i j k Li chaam” . Dalam Pasal 1654 KUH Perdat a per-usahaan asuransi t ersebut berwenang melaku-kan perbuat an hukum (bur ger l i j ke handel i ng)

yang berart i bahwa perusahaan asuransi adalah badan hukum.

24 Margaret h Joyce Karnadi, 2006, “ Penat aan Yayasan

Menurut UU No. 16 Tahun 2001 j o. UU no. 28 Tahun 2004 t ent ang Yayasan” , Jur nal Hukum Gl or i a Yur i s,

Vol . 6, No. 1 Januari – April 2006.

Dinamika yang pesat dalam perkembang-an usaha aurperkembang-ansi saat ini, t elah mengakibat kperkembang-an dikeluarkannya at uran-at uran ket at t erhadap usaha perasuransian, ant ara lain dalam UU No. 2 Tahun 1992 t ent ang Usaha Perasuransian, PP. No. 73 Tahun 1992 t ent ang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, PP No. 63 Tahun 1999 t ent ang Perubahan At as PP No. 73 Tahun 1992, Keput usan Ment eri Keuangan No. 426/ KMK/ 2003 t ent ang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuran-si. Dalam at uran-at uran t ersebut , bent uk badan hukum usaha perasuransian t elah diat ur: Per-usahaan Perseroan (BUMN Persero yang ber-bent uk Perseroan Terbat as yang modal saham-nya t erbagi dalam saham yang seluruh at au paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh ne-gara yang bert uj uan mengej ar keunt ungan vide Pasal 1 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 t ent ang BUMN), Koperasi, Perseroan Terbat as, dan Usa-ha Bersama. Dewasa ini perusaUsa-haan-perusaUsa-haan asuransi swast a (kecuali Persero) lebih suka memilih wadah badan hukum Perseroan Ter-bat as. Dengan memilih bent uk Perusahaan Asuransi sebagai Perseroan Terbat as, maka ket ent uan-ket ent uan dalam UU No. 40 Tahun 2007 t en-t ang Perseroan Terbat as berlaku bagi Perusahaan Asuransi.

Part ai Polit ik (UU No. 2 Tahun 2008 t ent ang Part ai Polit ik)

Pasal 3 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2008, di-at ur bahwa: “ Part ai polit ik harus didaf t arkan ke Depart emen unt uk menj adi badan hukum” . Syarat -syarat unt uk diakui sebagai badan hu-kum, diat ur dalam Pasal 3 ayat (2). Sedangkan Pasal 4 ayat (3) mengat ur: “ Pengesahan part ai polit ik sebagai badan hukum dilakukan dengan Keput usan Ment eri paling lama 15 (lima belas) hari sej ak berakhirnya proses penelit ian dan/ at au verif ikasi” .

(13)

dari anggot a Part ai Polit ik t ersebut yang t idak puas melihat kinerj a pengurus, maupun laporan pihak ket iga kepada yang berwaj ib karena pe-nyimpangan yang dilakukan pengurus t erhadap AD / ART Part ai Polit ik t ersebut j ika ada dasar yang kuat bahwa perbuat an t ersebut melam-paui kewenangannya. Dokt rin ul t r a vi r es de-ngan demikian berlaku bagi Part ai Polit ik yang t erdaf t ar dan berbadan hukum.

Organisasi Not aris (Ikat an Not aris Indonesia – INI)

Ikat an Not aris Indonesia (INI) secara res-mi didirikan sej ak t anggal 1 Juli 1908 berkedu-dukan di Jakart a diakui sebagai badan hukum berdasarkan Gouver ment s Besl ui t t anggal 5 Sept ember 1908 No. 9. Kedudukan sebagai ba-dan hukum INI dipert egas lagi dalam Keput usan Ment eri Hukum dan HAM RI No. AHU-03. AH. 01. 07 Tahun 2009 t anggal 12 Januari 2009 t en-t ang Perseen-t uj uan Perubahan Anggaran Dasar Perkumpulan Ikat an Not aris Indonesia hasil Konggres XIX Ikat an Not aris Indonesia di Jakar-t a, Jakar-t anggal 27 – 28 Januari 2006. Dalam kedu-dudukannya sebagai Badan Hukum yang memi-liki Anggaran Dasar, maka segala sesuat u yang dilakukan pengurus INI haruslah berpedoman pada at uran dalam Anggaran Dasar INI. Pelang-garan t erhadap at uran t ersebut adalah ul t r a vi r es dan dapat dimint akan pert anggung j awa-ban pidana maupun perdat a t ergant ung dimensi dan akibat perbuat an t ersebut .

Badan hukum pendidikan yang diat ur da-lam UU No. 9 Tahun 2009 t ent ang Badan Hukum Pendidikan t idak dibahas sebab UU No. 9 Tahun 2009 t elah dinyat akan oleh Mahkamah Konst i-t usi dalam amar Pui-t usan Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PPU-VII/ 209 bahwa UU No. 9 Tahun 2009 t idak memiliki keberlakuan karena subs-t ansinya bersubs-t ensubs-t angan dengan konssubs-t isubs-t usi (in-konst it usional). Dikemudian hari oleh at uran perundang-undangan dan melalui penet apan pemerint ah mungkin saj a dikeluarkan at uran baru yang menyangkut pendirian badan hukum baru sesuai kebut uhan masyarakat . Suat u hal yang t idak dapat dihindari adalah kenyat aan bahwa penerapan dokt rin ul t r a vi r es secara

ket at berlaku bagi set iap badan hukum yang ada di Indonesia.

Prosedur Pendirian Badan Hukum

Pendirian suat u badan hukum diawali de-ngan pembuat an Anggaran Dasar dan j ika diper-lukan, j uga dilengkapi dengan Anggaran Rumah Tangga. Jika Anggaran Dasar mengat ur eksis-t ensi badan hukum dari perspekeksis-t if ekseksis-t ernal, maka Anggaran Rumah Tangga melihat dari perspekt if int ernal. Bahwa pendirian suat u ba-dan hukum haruslah memenuhi syarat -syarat t ert ent u menurut ket ent uan pendirian badan hukum t erkait , sebagaimana yang diuraikan pa-da pembahasan sebelumnya. Anggaran Dasar t ersebut harus dibuat dalam suat u akt a ot ent ik. Sedangkan pengert ian suat u akt e ot ent ik diat ur dalam Pasal 1868 KUH Perdat a (B. W. ): “ Suat u akt a ot ent ik ialah suat u akt a yang didalam ben-t uk yang diben-t enben-t ukan oleh undang-undang, di-buat oleh at au dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa unt uk it u dit empat di mana akt a dibuat nya” . Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 30 Tahun 2004 t ent ang Jabat an Not aris diat ur sebagai berikut : “ Not aris adalah pej abat umum yang berwenang unt uk membuat akt a ot ent ik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini” . Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (7) UU No. 30 t ahun 2004 dit egaskan bahwa: “ Akt a not aris adalah akt a ot ent ik yang dibuat oleh at au di hadapan not aris menurut bent uk dan t at a cara yang dit et ap-kan undang-undang ini” .

(14)

Penut up Simpulan

Penerapan dokt rin ul t r a vi r es pada nega-ra-negara common l aw mulai sangat dibat asi hanya pada int ernal perusahaan saj a, dan di-ut amakan penerapannya unt uk melindungi para pemegang saham dan invest or. Pembat asan ket at penerapan dokt rin ul t r a vi r es dalam pro-ses peradilan t idak dilakukan begit u saj a, t et a-pi dengan menggunakan dokt rin lain sebagai penggant i sepert i dokt rin est oppel s, unj ust en-r i chment, quasi cont r act dan wai ver yang lebih mencerminkan keadilan.

Penerapan dokt rin ul t r a vi r es dalam hu-kum perseroan, di Indonesia, dilakukan secara ket at , yait u dalam rangka membangun suat u st rukt ur perseroan yang sehat guna menj amin t erselenggaranya iklim usaha yang kondusif . Penerapan dokt rin ul t r a vir es di Indonesia lebih cenderung dikait kan dengan suat u t indak pida-na yang dilakukan oleh direksi at au pengurus, yang dibuat melampaui at au diluar kewenangan yang dit et apkan dalam Anggaran Dasar persero-an. Bahwa perbuat an-perbuat an dalam lingkup

i nt r a vir es yang dilakukan oleh pengurus saj a yang dapat dimint akan pert anggungj awaban pidana kepada korporasi yang bersangkut an, selain j uga kepada pengurus yang melakukan perbuat an it u. Sedangkan perbuat an ul t r a vi r es

hanya dapat dipert anggung j awabkan kepada pribadi pengurus dan t idak dapat dipert ang-gungj awab-kan kepada korporasi.

Anggaran Dasar yang mengat ur dan me-net apkan t uj uan dan maksud perseroan harus memuat cakupan bidang usaha yang seluas-luasnya yang secara predikt if merupakan bi-dang-bidang yang ada saling ket erkait an ant ara sesamanya, sehingga dalam hal perseroan me-lakukan ekspansi usaha, t idak perlu meme-lakukan perubahan Anggaran Dasar, minimal pada mak-sud dan t uj uan pendirian perseroan, sehingga gugat an at as dasar penerapan dokt rin ul t r a vi -r es ruangnya dapat dipersempit . Hal t ersebut perlu diperhat ikan dalam pendirian perseroan unt uk mencegah perseroan digugat at as dasar dokt rin ul t r a vi r es

Saran

Berkait an dengan penerapan dokt rin

ul t r a vir es dalam hukum posit if nasional, maka t erhadap badan hukum lain selain Perseroan Terbat as, pengurus harus menyikapinya dengan mengevaluasi kembali Anggaran Dasar pendiri-an badpendiri-an hukum t ersebut (Yayaspendiri-an, Koperasi, Perasuransian, Persekut uan Gerej a dan lain-lain), apakah t elah memadai at au memerlukan perubahan yang membut uhkan perset uj uan Ment eri Hukum dan HAM. Perubahan t ersebut dalam rangka unt uk mencegah munculnya gu-gat an yang didasarkan pada dokt rin ul t r a vi r es

baik t erhadap badan hukum, maupun t erhadap pengurus-pengurusnya.

Daft ar Pust aka

Ali, Chidir. 1999. Badan Hukum. Bandung: Alumni;

Ard, Josh. “ Preparing Law St udent t o Recognize t he Unaut horized Pract ice of Law” . Mi -chi gan Bar Jour nal, June 2002;

Black, Henry Campbell. 1990. Bl ack’ s Law Di c-t i onar y. St . Paul, Minn. , Sixt h Edit ion, West Publishing Co. ;

Carpent er, Charles E. “Shoul d t he Doct r i ne of Ul t r a Vir es Be Di scar ded?” . The Yale Law Journal, Vol. 33, No. 1 (Nov. , 1923), t ersedia di websit e ht t p: / / www. j st or. org/ pss/ 788458 diakses t aggal 22 Mei 2011;

Cheeseman, Henry R. 2001. Busi ness Law. New Yersey: Prent ice Hall, Upper Saddle River;

Craig, Paul. “ The EJC and Ult ra Vires Act ion : A Concept ual Analysis” . Common Mar ket Law Revi ew, No. 48, Tahun 2011;

Endicot t , Timot hy. “ Const it ut ional Logic” . Uni -ver sit y of Tor ont o Law Jour nal, No. 53, Tahun 2003;

Ewing, K. D. “ Company Polit ical Donat ions and t he Ult ra Vires Rule; Moder n Law Re-vi ew, Vol. 47, Jan. 1984;

Grif f in, St ephen. 1998. “ The Rise and Fall of t he Ult ra Vires Rule in Corporat e Law” .

Mount bat t en Jour nal of Legal St udies,

(15)

Hamilt on, Robert W. 2005. Cases and Mat er i al s on Cor por at ions. St . Paul. Minn. , Ame-rican Case Book Series, West Group; Jenkins, David. “ From Unwrit t en t o Writ t en:

Transf or-mat ion in t he Brit ish Common – Law Const it ut ion” . Vander bi lt Jour nal of Tr ansnat ional Law, Vol. 36, Tahun 2003; Joseph, Philip A. “ The Demise of ult ra vires – a

reply t o Christ oper Forsyt h and Linda Whit t le” . Cant er bur y Law Revi ew 10, t ersedia di websit e ht t p: / / NZLII/ Dat a-bases/ cant erbury law review/ 2002/ Cant er-Law Rw 10, diakses t anggal 22 Mei 2011;

Karnadi, Margaret h Joyce. 2006. “ Penat aan Ya-yasan Menurut UU No. 16 Tahun 2001 j o. UU no. 28 Tahun 2004 t ent ang Yayasan” .

Jur nal Hukum Gl or i a Yur i s, Vol. 6, No. 1 Januari – April 2006;

Lipt on, Daniel. “ Corporat e Capacit y f or Crime and Polit ics: Def ining Corporat e Person-hood at t he Turn of t he Twent iet h Cen-t ury” . Vir gi ni a Law Review Vol. 96, Ta-hun 2010;

Mack, Frank A. “ The Law on Ult ra Vires Act s and Cont ract s of Privat e Corporat ions” .

Mar quet t e Law Review, t ersedia di websit e ht t p: / / epublicat ions. marquet -t e. edu/ cgi/ viewcon-t en-t . cgiar-t icle=4163 diak ses t anggal 23 Mei 2011;

Mahlmann, Mat t hias. “ The Polit ics of Const i-t ui-t ional Ideni-t ii-t y and ii-t s Legal Frame –

t he Ult ra Vires Decision of t he German Federal Const it ut ion” . Ger man Law Jour nal , Vol. 11 No. 12, Tahun 2010; Mit chell, Gregory and Richard Brent . “ English

Law Cont ract s, Foreign Count erpart ies and Ult ra Vires” . But t er wor t hs Jour nal of Int er nat ional Banki ng and Fi nanci al Law, Sept ember 2010;

Omar, Paul J. “Pur poses and Obj ect s: The Pr o-t r aco-t ed Demi se of o-t he Ul o-t r a Vir es Rul e”.

Bond Law Revi ew Vol. 16, Issue 1, Ta-hun 2004, t ersedia di websit e ht t p: / / epublicat ions. bond. edu. au/ blr/ vol16/ iss1/ 4, diakses t anggal 22 Mei 2011;

Raghuvanshi, Raghvendra Singh. 2009. Doct r i n of Ult r a Vir es i n Company Law. Nat ional Law Inst it ut e Universit y, Bhopal, India. Diakses pada websit e ht t p: / / apj lsg. com/ art icle-aspx?c6b62 diakses t anggal 20 Februari 2011;

Raj agukguk, Erman. “ Tanggung Jawab Direksi dan Business Judgement Rule” . Jur nal Hukum, Vol. 3. No. 1 Okt ober 2008; Supriyadi, Eddie. “ Tanggung Jawab Direksi” .

Jur nal Hukum Themi s, Vol. 1 Nomor 1, Okt ober 2006;

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui bagamana guru agama dalam melaksanakan kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsinya, peneliti melakukan wawancara dengan salah seorang guru tentang tugas dan fungsi

Nilai F-statistik yang terdapat pada tabel 4.5 adalah 61.40565 dan untuk nilai probabilitasnya sebesar 0.000000 < α 5% yang artinya secara bersama-sama

Masa remaja ini juga sangat peting bagi mereka karena ini adalah masa dimana mereka (anak-anak) dapat mempersiapkan diri untuk memasuki usia dewasa. Praktek perkawinan

Hasil observasi minat belajar peserta didik mulai dari pertemuan ke 1,2,3 siklus I sampai pertemuan k e1 dan 2 siklus II menunjukkan peningkatan yang

Berdasarkan hasil dan perhitungan eksisting diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan model terminal design concept yang optimum sebagai alternatif dalam perencanaan pengembangan

Jika anda tertarik untuk membudidayakan tanaman buah berwarna merah ini, anda tidak perlu khawatir karena pada kesempatan kali ini JualBenihMurah.com akan memberikan ulasan

Dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan

Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwa penerapan reward dan punishment itu sangat penting untuk membentuk karakter siswa, karena dengan adanya reward dan