• Tidak ada hasil yang ditemukan

REKONSTRUKSI KONSEP KEBEBASAN HAK BERSERIKAT BAGI SERIKAT PEKERJA PADA HUBUNGAN INDUSTRIAL BERBASIS NILAI KEADILAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "REKONSTRUKSI KONSEP KEBEBASAN HAK BERSERIKAT BAGI SERIKAT PEKERJA PADA HUBUNGAN INDUSTRIAL BERBASIS NILAI KEADILAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

REKONSTRUKSI KONSEP KEBEBASAN HAK BERSERIKAT BAGI SERIKAT

PEKERJA PADA HUBUNGAN INDUSTRIAL BERBASIS NILAI KEADILAN

Gunarto

Fakult as Hukum Universit as Islam Sult an Agung Semarang E-mail: gunart owr2@yahoo.com

Abst r act

The concept of f r eedom of associ at ion f or t r ade union r i ght s pr ovi ded f or i n Law No. 21 of 2000 on Tr ade Unions, ai med at pr ovi di ng pr ot ect ion of wor ker s, and i mpr ove t he wel f ar e of wor ker s. But soci al f act s t o st i l l many indust r i al di sput e, and t her e wer e so many l ayof f s. Legal r esear ch met hods t o use soci al r esear ch. So i n t hi s per spect i ve, f r eedom of associ at i on f or t r ade union r i ght s ar e not vi ewed f r om t he nor ms of t he count r y, but seen f r om t he val ues of l i vi ng i n soci et y, al t hough f r eedom of associ at i on r i ght s ar e i nf l uenced by st at e r egul at i ons. Const r uct i on of f r eedom of associ at ion f or t r ade union r ight s as set out i n Law No. 21 of 2000 on Tr ade Unions, st i l l r ef l ect s t he capi t al i st i c char act er . The impact caused t he number of i ndust r i al di sput es and l ayof f s f or wor ker s, because empl oyer s view wor ker s as a f act or of pr oduct i on r at her t han as busi ness par t ner s. So t he necessar y r econst r uct i on of f r eedom of associ at ion r i ght s f or wor ker s wit h soci al j ust i ce based val ues t o cr eat e a har moni ous i ndust r i al r el at i ons. A r econst r uct i on model using pr ismat i c l aw, whi ch t ook a good syst em of capi t al i st i c model and t he social i st model and t he model adapt ed Pancasi l a indust r i al r el at i ons wit h t he val ues of Indonesi an.

Keywor ds : Reconst r uct i on, Fr eedom Ri ght of Associ at i on, t r ade uni ons, j ust i ce

Abst rak

Konsep kebebasan hak berserikat bagi serikat pekerj a yang diat ur dalam UU No. 21 Tahun 2000 t ent ang Serikat Pekerj a, bert uj uan memberi perlindungan pekerj a, dan meningkat kan kesej aht eraan pekerj a. Tet api f akt a sosial menunuj ukan masih banyaknya perselisihan hubungan indust rial, dan masih banyaknya pemut usan hubungan kerj a. Met ode penelit ian menggunakan soci al legal r esear ch. Oleh karena it u, dalam perspekt if ini, kebebasan hak berserikat bagi serikat pekerj a t idak dilihat dari norma negara, t et api dilihat dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat , walaupun kebebasan hak berserikat dipengaruhi oleh regulasi negara. Konst ruksi kebebasan hak berserikat bagi serikat pekerj a sebagaimana di at ur dalam UU No. 21 Tahun 2000 t ent ang Serikat Pekerj a, masih mencerminkan wat ak kapit alist ik. Dampaknya menimbulkan banyaknya perselisihan indust rial dan PHK bagi pekerj a, karena pengusaha melihat pekerj a sebagai f akt or produksi bukan sebagai mit ra usahanya. Maka diperlukan rekonst ruksi kebebasan hak berserikat bagi pekerj a dengan berbasis nilai keadilan sosial unt uk mencipt akan hubungan indust rial yang harmonis. Sebuah model rekonst ruksi menggunakan hukum prismat ik, yait u mengambil sist em yang baik dari model kapit alist ik dan model sosialis sert a model hubungan indust rial Pancasila yang diadapt asikan dengan nilai-nilai keIndonesiaan.

Kat a Kunci: Rekonst ruksi, Kebebasan Hak Berserikat , serikat pekerj a, keadilan.

Pendahuluan

Pembahasan mengenai rekonst ruksi kon-sep kebebasan hak berserikat bagi serikat pekerj a pada hubungan indust rial berbasis nilai keadilan menj adi pent ing dalam kont eks Indonesia, mengingat kebebasan hak berserikat bagi serikat pekerj a di Indonesia t idak mampu mencipt akan hubungan indust rial yang harmo-nis. Beberapa indikat or yang menunj ukkan t

(2)

usahanya karena t idak baiknya hubungan in-dust rial ant ara pengusaha dengan pekerj anya. Sist em hubungan indust rial Pancasila yang pada zaman Orde Baru t elah mencipt akan

i ndust r i al peace yang semu, karena Peme-rint ah Orde Baru mampu melakukan pemaksaan pada pekerj a dan pengusaha unt uk melarang mogok kerj a maupun penut upan perusahaan oleh pengusaha, t et api harmonisasi hubungan indust rial ant ara pengusaha dan pekerj a yang ideal belum t erj adi. Idealnya hubungan

indus-t rial di Indonesia mampu mencipindus-t akan

indus-t r i al peace yang t idak semu, sert a bagi peme-rint ah Indonesia akan mengurangi t ingginya angka pengangguran, t ercipt anya lapangan kerj a yang semakin luas, meningkat nya produk-t iviproduk-t as perusahaan, meningkaproduk-t nya kesej ahproduk-t era-an pekerj a, bahkera-an mampu meningkat kera-an per-t umbuhan ekonomi negara Indonesia.

Beberapa f akt a f isik yang menunj ukan pelaksanaan kebebasan hak berserikat serikat pekerj a t idak mencipt akan hubungan indust rial di Indonesia berj alan harmonis, berupa besar-nya j umlah angka pemogokan kerj a mulai t ahun 2003 sampai dengan t ahun 2008, yait u sebagai berikut : t ahun 2003 sej umlah 248 pemogokan, t ahun 2004 sebanyak 356, t ahun 2005 sebanyak 27, t ahun 2006 sebanyak 127, t ahun 2007 se-banyak 275 dan t ahun 2008 sese-banyak 79 mogok kerj a.1

Fakt a hukum menunj ukaan bahwa pelak-sanaan kebebasan hak berserikat t idak mampu mencipt akan harmonisnya hubungan indust rial di Indonesia, dapat dilihat j uga dari semakin meningkat nya j umlah perselisihan hubungan indust rial yang diaj ukan Banding ke PTUN mulai t ahun 2002 sampai t ahun 2007, yait u unt uk t ahun 2002 sebanyak 29 perkara, t ahun 2003 sebanyak 42 perkara, t ahun 2004 sebanyak 97 perkara, t ahun 2005 sebanyak 157 perkara, t ahun 2006 sebanyak 201 perkara, dan t ahun 2007 sebanyak 262 perkara yang dimint akan upaya hukum ke Pengadilan Tinggi Tat a Usaha

Negara.2

1 Laporan Dirj end Pembinaan dan Pengaw asan Depnaker

2003-2008.

2 Laporan Tahunan Panit era P4 Pusat dar i t ahun 2002 –

2007.

Fakt a sosial j uga menunj ukan pelaksana-an kebebaspelaksana-an hak berserikat bagi serikat pekerj a t idak mampu mencipt akan hubungan indust rial yang harmonis, dapat dilihat j uga dari sangat t ingginya angka Pemut usan Hubu-ngan Kerj a (PHK) pada t ahun 2006 sebanyak 72. 264 pekerj a yang di PHK dan pada t ahun 2007 sebanayak 28. 317 pekerj a yang kena PHK.3

Pengat uran kebebasan hak berserikat ba-gi pekerj a yang di at ur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 t ent ang Serikat Pekerj a/ Serikat Buruh belum mampu mencipt akan hu-bungan indust rial yang harmonis ant ara peng-usaha dengan pekerj a, t erbukt i dari dat a di at as menimbulkan dampak pemogokan kerj a, munculnya perselisihan hubungan indust rial ant ara pengusaha dengan pekerj a, banyaknya perkara perselisihan hubungan indust rial yang masuk diperkarakan di PTUN, dan besarnya angka PHK di Indonesia. Hal it u karena Undang-undang Nomor. 21 Tahun 2000 Tent ang Serikat Pekerj a t ersebut mendasarkan pada kosmologi barat yang dij iwai oleh nilai-nilai kapit alisme barat yang bersif at individual dan kapit alist ik, yang sangat berbeda dengan kosmologi Bangsa Indonesia yang bersif at spirit ual, kebersamaan dan harmonis .

Sat j ipt o Rahardj o4 menyat akan bahwa

hukum suat u bangsa mempunyai dan bert olak dari premis dasar, yait u pandangan t ent ang manusia dan masyarakat nya, yang disebut dengan kosmologi hukum dari bangsa yang bersangkut an. Berdasarkan pendapat di at as dapat dikat akan bahwa hukum modern yang dipakai di dunia j uga memiliki kosmologinya sendiri, maka dari sudut pandang t ersebut hukum modern sebenarnya t idak net ral. Hukum modern yang selama berabad-abad dikembang-kan di Barat at au Eropa memiliki kosmologi yang diseleraskan dengan kondisi sosial polit ik masyarakat Barat at au Eropa yang bersif at individualist ik, dan kapit alis.

3 Sumber: Dit j en PHI dan Jamsost ek, Depnakert rans,

De-sember 2007.

4 Sat j i pt o Rahar dj o, Art ikel Kompas, Senin 8 November

(3)

Pada wakt u hukum modern menyebar ke berbagai penj uru dunia, maka hukum modern masuk j uga ke bangsa-bangsa di dunia yang memiliki basis kult ural yang berbeda dengan Barat . Bangsa Indonesia memiliki basis kult ural at au kosmologi sendiri yang berbeda dengan kosmologi negara-negara Barat , yait u bersif at kolekt if (t idak individual), keserasian-keseim-bangan (harmoni), musyawarah dan menj un-j ung t inggi nilai-nilai spirit ualit as. Kosmologi Bangsa Indonesia yang demikian t erumuskan ke dalam Pancasila yang merupakan moral posit if Bangsa Indonesia at au dapat dikat akan bahwa Pancasila merupakan basis kult ural at au kosmo-logi hukum Indonesia yang dapat dilihat dari nilai-nilai yang t erkadung dari kelima sila Pancasila.

Sila Pert ama merupakan landasan spiri-t ualispiri-t as dalam kebebasan hak berserikaspiri-t bagi serikat pekerj a, sila kedua merupakan landasan kemanusiaan dalam kebebasan hak berserikat bagi serikat pekerj a, sila ket iga merupakan

dasar kesat uan pengusaha, pekerj a dan

pemerint ah dalam kebebasan hak berserikat , sila keempat merupakan landasan demokrasi dalam kebebasan hak bersaerikat bagi serikat pekerj a, dan sila kelima merupakan landasan perwuj udan keadilan sosial dalam kebebasan hak berserikat bagi serikat pekerj a.

Hak berserikat bagi pekerj a merupakan hak dasar yang dilindungi dan dij amin secara konst it usional sebagaimana yang t ert uang di dalam UUD Pasal 28 E ayat 3. Menurut Undang-Undang Dasar t ersebut , pekerj a harus diberi kesempat an seluas-luasnya unt uk mendirikan dan menj adi anggot a serikat pekerj a. Pendirian serikat pekerj a mempunyai beberapa f ungsi, yait u : f ungsi penyampaian aspirasi pekerj a, f ungsi kemit raan dengan pengusaha, f ungsi kesej aht eraan bagi pekerj a, dan f ungsi per-lindungan bagi pekerj a sert a f ungsi pengem-bangan bagi pekerj a (Pasal 4 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 t ent ang Serikat Pekerj a/ Serikat Buruh). Dalam menggunakan f ungsi-f ungsi t ersebut , pekerj a dit unt ut bert anggung j awab unt uk menj aga kepent ingan yang lebih luas yait u kepent ingan umum at au kepent ingan bangsa dan negara. Oleh karena it u

pemben-t ukan serikapemben-t pekerj a dilaksanakan dalam ke-rangka hubungan indust rial yang harmonis dan dibat asi oleh kepent ingan umum. Anggot a seri-kat pekerj a harus memiliki rasa t anggung j awab at as keberlangsungan perusahaan. Sebaliknya, pengusaha harus memperlakukan pekerj a se-bagai mit ra sesuai dengan harkat dan mart abat kemanusiaannya secara adil. Tet api kenyat aan-nya kehadiran serikat pekerj a masih berbeda dengan apa yang dicit akan dalam pasal t uj uan dibuat nya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 t ent ang Serikat Pekerj a. Berdasarkan urai-an di at as maka art ikel ini berj udul “ Rekons-t ruksi Konsep Kebebasan Hak BerserikaRekons-t SerikaRekons-t Pekerj a Pada Hubungan Indust rial Berbasis Nilai Keadilan” . Problemat ika ut ama dalam art ikel ini yang akan diangkat adalah mengapa kebeba-san hak berserikat bagi serikat pekerj a berj alan t idak harmonis dalam hubungan indust rial ant a-ra pengusaha dengan pekerj a. Keadaan ini da-pat dilihat dari masih banyaknya mogok kerj a, masih banyaknya perselisihan hubungan in-dust rial, masih t erj adi perusahaan yang me-lakukan penut upan perusahaan, masih adanya perusahaan yang melakukan relokasi ke negara asing, masih rendahnya upah pekerj a, bahkan angka kemiskinan sert a pengangguran t et ap t inggi akibat dari hubungan indust rial yang bersif at kapit alis dan menimbulkan disharmoni-sasi hubungan indust rial di Indonesia.

Unt uk mencipt akan konsep kebebasan hak berserikat serikat pekerj a pada hubungan indust rial di Indonesia, yang mampu mencip-t akan indust r i al peace perlu digali nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang ada di dalam Pan-casila khususnya nilai keadilan. At as dasar pemikiran yang dikemukakan di at as, t uj uan di buat nya art ikel ini adalah unt uk menganalisa mengapa konsep kebebasan hak berserikat ba-gi serikat pekerj a belum mampu mencipt akan hubungan indust rial yang harmonis (i ndust r i al

peace). Adapun kegunaannya adalah secara

t eorit is memberikan sumbangan pemikiran t en-t ang konsep kebebasan hak berserikaen-t bagai serikat pekerj a yang dij iawai oleh kosmologi

bangsa Indonesia sendiri khususnya nilai

(4)

Nomor 21 Tahun 2000 t ent ang Serikat pekerj a/ Serikat buruh.

Pembahasan

Urgensi Rekonst ruksi Konsep Kebebasan Hak Berserikat Melalui Penggunaan Hukum Ber-prespekt if Keadilan

Kaum Const r uct ivi st berpendirian bahwa manusia pada dasarnya akt if mengkonst ruksi dan memodif ikasi konsep, model, realit as, t ermasuk penget ahuan dan kebenaran dari hukum. Dalam kont eks ini model penyelesaian masalah merupakan hasil dari perspekt if manusia it u sendiri. Dalam membuat kont ruksi harus didasarkan pada aspek f ilosof is dan met odologis yang meliput i dimensi sebagai berikut :5 Per t ama ont ologis, yait u realit as merupakan konst ruksi sosial. Kebenaran suat u realit as bersif at relat if berlaku sesuai kont eks spesif ik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.

Kedua epist emologis, yait u t ransaksional/ sub-j ekt if : pemahaman t ent ang suat u realit as at au t emuan suat u penelit ian merupakan produk int eraksi ant ara yang menelit i dan yang dit elit i.

Ket i ga met odologis, yait u r ef l ect if / di al ect i cal :

menekankan empat i dan int eraksi dialekt ik ant ara penelit i dan responden unt uk meng-konst ruksi realit as yang dit elit i melalui met ode kualit at if dengan par t i ci pant obser vat ion. Dan krit eria kualit as penelit ian: Aut hent i ci t y dan

r ef l ect ivit y, yait u sej auh mana t emuan

merupakan ref leksi ot ent ik dari realit as yang

dihayat i oleh para pelaku sosial. Keempat

axiologis, yait u nilai et ika dan pilihan moral merupakan bagian yang t idak t erpisahkan dari penelit ian. Penelit i, sebagai part isipan yang menj embat ani keragaman subyekt if it as pelaku sosial. Dan t uj uan penelit iannya adalah me-rekonst ruksi realit as sosial secara dialekt ik ant ara penelit i dengan akt or sosial yang di t elit i, meliput i: Per t ama, unt uk memperhat i-kan, merenungi-kan, memikirkan dan mamaknai sert a menaf sirkan konsep kebebasan hak ber-serikat bagi ber-serikat pekerj a menuj u t ercipt anya hubungan indust rial yang harmonis, yang

5 Agus Sal i m, 2001, Teor i dan Par adi gma Sosi al (dar i

Denzi n Gubadan Pener apannya), Yogyakart a : PT. Ti ara Wacana, hl m. 33.

basis nilai keadilan sosial; Kedua, melakukan dan memahami t ent ang realit as konsep ke-bebasan hak berserikat bagi serikat pekerj a dalam hubungan indust rial, yang merupakan t emuan dari produks int eraksi ant ara penelit i dengan responden yang dit elit i; Ket i ga, unt uk mendapat kan hasil t ersebut di at as, diperlukan dialog ant ara penelit i dengan yang dit elit i, dialog harus bersif at dialekt ik dan int eraksi unt uk merekonst ruksi konsep kebebasan hak berserikat bagi serikat pekerj a menuj u hubung-an indust rial harmonis, yhubung-ang merupakhubung-an t emu-an realit as out ent ik yemu-ang benar-benar

di-hayat inya; Keempat, unt uk melakukan pilihan

nilai, dan et ika merupakan bagian yang t idak t erpisahkan, dan penelit i sebagai f asilit at or menj embat ani keragaman subyekt if it as pelaku pelaksana kebebasan hak berserikat pekerj a menuj u hubungan indust rial harmonis, yang berbasis nilai keadilan.

Konst ruksi t eori yang akan dibangun meliput i 3 hal yait u subst ansi hukum, st rukt ur hukum dan budaya hukum, sebagaimana di-kemukakan oleh Lawrance W. Friedman. Di lihat dari Subst ansi hukumnya, pengat uran t

en-t ang kebebasan hak berserikat pekerj a

sebagaimana di at ur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 t ent ang Serikat Pekerj a/ Serikat Buruh, banyak sisi kelemahannya, se-hingga perlu dilakukan rekonst ruksi kembali.

Keadilan memiliki beraneka ragam makna dan keragaman makna t ersebut t elah me-nyebabkan keragaman dalam pendef inisiannya sebagaimana t elah disebut kan di muka. Se-benarnya, dalam t radisi ilmu hukum, sudah banyak ref leksi t ent ang makna keadilan sosial6, dan kiranya para f oundi ng f at her s republik ini pun mendasarkan gagasan dan cit a-cit a mereka pada gagasan yang dikat akan universal it u. Meski begit u masih banyak orang mengart ikan keadilan sosial sekedar keadilan dist ribut ive. Padahal, ada perbedaan cukup mendasar an-t ara keadilan sosial dengan keadilan disan-t ribuan-t if . Kalau keadilan dist ribut if lebih banyak diart i-kan sebagai keadilan dalam pembagian hart a masyarakat kepada individu at au kelompok,

6 Mubyar t o, 1988, Si st em dan Mor al Ekonomi Pancasi l a,

(5)

keadilan sosial dalam art i luas, adalah sebuah keadaan yang memungkinkan set iap individu dan kelompok dalam masyarakat bisa ber-kembang maksimal. Dalam keadilan dist ribut if t ekanan pada individu sangat dominan, sedang-kan dalam keadilan sosial t esedang-kanan individu dilet akkan dalam dimensi sosial at au komunal-nya. Masalah pokok keadilan sosial adalah pembagian (dist ribusi) nikmat dan beban dalam masyarakat yang oleh Brian Barry dirangkum dalam t iga kelompok yait u: ekonomi (uang); polit ik (kuasa); dan sosial (st at us).7 Marxisme memandang keadilan bukan dari aspek dist ri-businya t et api dari aspek produksi. Dist ribusi masih bisa diat ur dan diperbaiki (f iskal progresif , misalnya), t et api selama produksi masih dikuasai kaum berj uis maka akan t erj adi eksploit asi pekerj a. Perkembangan yang relat if baru dalam pemikiran t ent ang hukum dan keadilan adalah pemikiran John Rawls yang mengat akan bahwa sebuah masyarakat dikat a-kan baik bila didasara-kan pada dua prinsip, yait u

f ai r ness, yang menj amin bagi semua anggot a apapun kepercayaan dan nilai-nilainya,

ke-bebasan semaksimal mungkin. Fai r ness at au

kepat ut an dalam konsepsi Rawls lebih dimak-sudkan sebagai penekan asas resiporit as (saling mengunt ungkan), t et api t idak dalam art i si mpl e r eci pr ocit y di mana dist ribusi kekayaan dilaku-kan t anpa melihat perbedaan-perbedaan obj ek-t if di anek-t ara anggoek-t a masyarakaek-t . Keadilan

dalam art i f air ness t idak hanya memberikan

peluang yang lebih banyak kepada orang-orang yang memiliki t alent a at au kemampuan yang lebih baik unt uk menikmat i pelbagai manf aat sosial, melainkan keunt ungan t ersebut se-kaligus j uga harus membuka peluang bagi

mereka yang kurang berunt ung. Sedangkan vi el

i gnor ance, hanya membenarkan ket idaksamaan

sosial dan ekonomis apabila ket idaksamaan it u dilihat dalam j angka panj ang j ust ru

meng-unt ungkan mereka yang kurang bermeng-unt ung.8

Dalam pandangan ini seakan diset uj ui sebuah t at anan masyarakat yang net ral, yang t idak

7 Barry, Theor i es of Just i ce, London: Harver st

er-Wheat ssheaf , Vol . 1, Year 1989, hl m. 146.

8 John Rawl , 1971, A Theor y of Just i ce, Cambr idge:

Harvar d Univer si t y Press, hl m 11.

mendahulukan nilai-nilai dan harapan-harapan t ert ent u t erhadap nilai-nilai dan harapan-harapan lain yang barangkali ada di dalam

masyarakat .9 Pemkiran John Rawls mengenai

keadilan t elah menj adi pembicaraan yang sangat menarik dalam t iga dekade t erakhir10. Karya yang membuat nya dikenal sebagai salah sat u pemikir t erkemuka dalam bidang f ilsaf at adalah A Theor y of Just i ce (1971), disusul de-ngan Pol it i cal Li ber al i sm (1993) dan Just i ce as

Fai r ness (2001). Dalam pengant ar buku A

Theor y of Just i ce dikemukakan bahwa secara

khusus t eorinya merupakan krit ik t erhadap t eori-t eori keadilan sebelumnya yang secara subst ansial sangat dipengaruhi ent ah oleh

ut i l i t i ar i sme at au oleh i nt ui sioni sme. Ut i l i -t i ar i sme t elah menj adi pandangan moral yang sangat dominan pada seluruh periode f ilsaf at

moral modern.11

Secara umum ut i l i t i ar i si me mengaj arkan bahwa benar salahnya perat uran at au t indakan manusia t ergant ung pada konsekuensi langsung dari perat uran at au t indakan t ert ent u yang dilakukan. Oleh karena it u, baik buruknya t indakan manusia secara moral sangat t er-gant ung pada baik buruknya konsekuensi t indakan t ersebut bagi manusia. Tegasnya, apabila akibat nya baik, maka sebuah perat uran at au t indakan dengan sendirinya akan menj adi baik. Demikian sebaliknya, apabila akibat yang dit imbulkan buruk, maka sebuah perat uran

at au t indakan menj adi buruk pula.12 Rawls j uga

mengkrit ik int uisionisme, karena t idak memberi t empat memadai pada rasio at au akal. Akan t et api lebih mengandalkan kemampuan int uisi manusia, sehingga t idak memadai apabila di j adikan pegangan dalam mengambil keput usan

9

Frans J Rengka, 2003, Di al og Hukum dan Keadi l an dal am Pr oses Per adi l an Pi dana” (St udi t ent ang Put usan Per adi -l an Pi dana da-l am Kasus Ti ndak Pi dana Po-l i t i k Masa Or de Bar u), Disert asi Il mu Hukum Uni versit as Diponegoro, Se-mar ang: UNDIP, hl m 17.

10

Frans Magni s Suseno, Moral it as dan Nil al -Nil ai Komunit as, Debat ant ara Komut ar isme dan Uni versal i sme Et i es, Maj al ah Fi l saf at Dr i yar kar a, Tahun XXI No. 2: 65/ 1995.

11 John Rawl s, op-ci t . , hl m 11-12.

12 Andr e At e Uj an, 2001, Keadi l an dan Demokr asi , Tel aah

(6)

t erut ama pada wakt u t erj adi konf lik di ant ara

norma-norma moral.13

Bert olak dari it u, Rawls ingin membangun sebuah t eori keadilan yang mampu menegakkan keadilan sosial dan sekaligus dapat dipert ang-gungj awabkan secara obj ekt if khususnya dalam perspekt if demokrasi. Teori keadilan dianggap memadai apabila dibent uk dengan pendekat an kont rak, di mana prinsip-prinsip keadilan yang dipilih sebagai pegangan bersama merupakan hasil kesepakat an bersama dari semua pihak yang bebas, rasional dan sederaj at yang disebut Rawls sebagai Just i ce as Fai r ness. Dengan de-mikian, Rawls menekankan pent ingnya melihat keadilan sebagai "kebaj ikan ut ama" yang harus dipegang t eguh sekaligus menj adi semangat dasar dari berbagai lembaga sosial dasar suat u masyarakat .14 Dalam art i t ert ent u Rawls j uga dapat dipandang sebagai salah sat u pendukung keadilan f ormal. Konsist ensinya dalam menem-pat kan konst it usi dan hukum sebagai basis pelaksanaan hak dan kewaj iban individu dalam int eraksi sosial dapat menj adi sinyal unt uk it u, keadilan yang berbasis perat uran. Bahkan yang sif at nya administ rat isi f ormal sekalipun, t et ap-lah pent ing karena pada dasarnya ia memberi-kan suat u j aminan minimum bahwa set iap orang dalam kasus yang sama harus

diber-lakukan secara sama.15

Keadilan f ormal menempat i posisi yang pent ing di samping konsist ensi dari aparat penegak hukum dalam pelaksanaannya. Meski-pun perat uran hukumnya dianggap t idak ada, penerapan yang konsist en paling t idak dapat membant u anggot a masyarakat unt uk belaj ar melindungi diri dari berbagai kemungkinan buruk yang diakibat kan oleh hukum yang t idak adil t ersebut . Dengan demikian, sekalipun di-perlukan keadilan f ormal t idak dapat sepenuh-nya mendukung t ercipt asepenuh-nya suat u masyarakat yang t ert at a baik. Menurut Rawls, suat u konsep

keadilan hanya secara ef ekt if mengat ur

masyarakat apabila konsep keadilan t ersebut dapat dit erima secara umum, sedangkan keadilan f ormal cenderung dipaksakan secara

13 Loc. ci t .

14 Andre At a Ul an, op-ci t , hl m. 23. 15 Ibi d, hl m. 27, John Rawl op. ci t , hl m. 58.

sepihak oleh penguasa. Oleh karena it ulah, t eori keadilan yang baik adalah t eori keadilan

yang bersif at kont rak yang menj amin

kepent ingan semua pihak secara f air.16

Hukum sebagai sarana unt uk mewuj ud-kan keadilan dapat saj a t idak adil j ika ber-t enber-t angan dengan kesej ahber-t eraan manusia, demikian menurut Thomas Aquinas. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal. Per t ama,

penguasa memaksakan hukum yang t idak

mem-bawa kesej aht eraan umum, t et api semat a-mat a karena keinginan penguasa it u sendiri.

Kedua, karena pembuat hukum melampui

ke-wenangan yang dimiliki. Ket i ga, karena hukum

dipaksakan kepada masyarakat secara t idak sama, meskipun alasannya demi kesej aht eraan umum. Oleh karena it u, dalam upaya mencipt a-kan hukum yang berkeadilan hendaknya men-cari hukum yang bersumber dari rasa keadilan masyarakat . Unt uk mencapai keadilan sosial dalam kebebasan hak berserikat bagi serikat pekerj a t idak bisa t erbangun dari perilaku in dividu yang adil, t et api membut uhkan st rukt ur hukum, budaya hukum dan subst ansi kukum yang berisi nilai-nilai keadilan.

Hukum Prismat ik Sebagai Kerangka Berfikir Rekonst ruksi Dalam Konsep Kebebasan Hak Berserikat Bagi Serikat Pekerj a Yang Berbasis Nilai Keadilan.

Penent uan keput usan unt uk mengambil

t indakan, pemegang peran (r ol e accupan)

mempert imbangkan hal-hal sebagaimana di-kemukakan oleh Talcot t Parson.

“ In hi s commit ment t o t he devel opment of concept s t hat r ef l ect ed t he pr oper t i es of al l act ion syst ems, Tal cot Par sons17 was l es t o a set of consept s denot ing some of t he var i abl e pr oper t ies of t hese syst em, t he val ue pat t er ns of cul t ur e, and t he nor mat ive r equir ement s i n sosi al syst em. The var i abl es wer e phr ased i n

16

Ibi d, hl m. 59. Pendekat an kont rak t erhadap konsep keadil an yang dikembangkan ol eh Rawl s bukanl ah yang perama, karena sudah l ama dikembangkan ol eh penda-hul unya sepert i John Locke, Rousseau mapun Immanuel Kant , dan hal t ersebut j uga di akui ol eh Rawl s sebagai-mana diungkapkan dal am pengant ar bukunya yang pert ama, pada hl m. VIII.

17 Lihat Tal cot t Par son dal am Jhonat an H. Turner , op. ci t,

(7)

t er ms of pol ar di chot omies, whi ch

de-seorang pemegang peran (r ol e accupant)

meng-hadapi suat u rangkaian pikiran-pikiran yang t erdiri dari lima pasang kemungkinan-kemung-kinan dikhot omi t ersebut diat as. Seorang pe-megang peran harus memilih salah sat u dari dikhot omi t ersebut , sehingga variable t ersebut sebenarnya merupakan suat u skala priorit as. Proses perubahan yang menyert ai indust rialisasi dit andai dengan t erj adinya pergeseran-per-geseran dalam soal pemilihan pola variable t ersebut sehingga dalam proses indust rialisasi t ersebut t erj adi pergeseran dari af f ect ivit y t uk mengembangkan t eorinya t ent ang masyara-kat prismat ik. Riggs membedakan ant ara

kekerabat an (paguyuban), dimana masyarakat memenuhi hampir semua peranan dan f ungsi. Pada masyarakat yang dif f ract ed maka segenap unsur-unsurnya mempunyai st rukt ur yang spe-sif ik (pat embayan). Di dalam masyarakat demi-kian ini ada sub sist em polit ik, sub sist em pendidikan, sub sist em hukum dan set erusnya, yang masing-masing mempunyai organisasi sendiri-sendiri dan menj alankan f ungsinya dari t iap-t iap sub sist em t ersebut . Sub sist em-sub sist em t ersebut masing-masing memiliki deraj at ot onomi t ert ent u akan t et api j uga bersif at t ergant ung. Berdasar kerangka ini Fred W. Riggs mengint roduksikan konsepsi masyarakat prismat ik at au “pr i smat i k t ype of soci et y

(8)

akibat kan meningkat nya ket egangan-ket egang-an dilemat is di dalam masyarakat .

Konsep prismat ik merupakan hasil inden-t if ikasi Riggs inden-t erhadap pilihan ainden-t au j alan inden-t engah at as nilai sosial paguyuban dan nilai sosial pat embayan sepert i yang dikemukakan oleh

Hoogvelt .20 Hoogvelt menyat akan bahwa ada

dua nilai sosial yang hidup dan mempengaruhi warga masyarakat , yakni nilai sosial yang paguyuban yang menekankan pada kepent ingan bersama dan nilai sosial pat embayan yang menekankan pada kepent ingan dan kebebasan individu. Fred W, Riggs kemudian mengaj ukan nilai sosial prismat ik yang melet akan dua kelompok nilai sosial t ersebut sebagai landasan unt uk membangun hukum yang penj abarannya dapat disesuaikan dengan t ahap-t ahap

perkem-bangan sosial yang bersangkut an.21 mengat akan bahwa individual i sme mer uapakan pandanga hidup (“wel t anschauung” ), yang mendewa-dewakan, da-l am konsepsi t ent ang hakikat manusia, ant ar a da-l ain ot onomi kehendak peseorangan dan ot onomi budi manu-si a. Wel t anschaung ini merupakan dasar nuk merumuskan pol t ik (akt if ) hi dup kemasyarakat an beberapa abad yang kesusil aan sebaik-baiknya unt uk kemanf aat an masyara-kat . Hak mil ikpun bukan hak, l ebih-l ebih bukan hak

an yakni apakan mement ingkan kemakmuran at as perseorangan at aukah akan mement ingkan kemakmuran pada banyak orang. Pembedaan at as banyak at au sedikit nya pemenuhan kepen-kolekt ivisme at au sosialisme (yang menekankan kepet ingan bersama).

Sunaryat i Hart ono menyebut adanya sat u ekst rem paham yang lain yakni paham f anat ik religius24. Indonesia menolak mengikut i secara

ekst rem kedua pilihan kepent ingan dan

(9)

dipunyai oleh sekt or privat sepanj ang dapat memberikan insent if ekonomi yang lebih baik bagi pelakunya dan kedua hak kepemilikan harus diserahkan kepada negara j ika pasar t idak reponsif t erhadap t uj uan sosial misalnya

pemerat aan pendapat an dan ekst ernalisasi.26

Inkonsit ensi UU No. 21 Tahun 2000 Tent ang Serikat Pekerj a dengan nilai Keadilan sosial

Kosmologi negara barat yang kapit alist ik sangat mendominasi Undang-undang No. 21 Tahun 2000 t ent ang Serikat Pekerj a, sebaliknya kosmologi Bangsa Indonesia yang dij iwai nilai kolekt ivit as dan harmonisasi yang merupakan subst ansi dari nilai keadilan sosial, t idak t er-cermin dalam Undang-undang serikat pekerj a t ersebut . Hal ini dapat t erbaca dari regulasi proses pembent ukan/ pendirian serikat pekerj a, dan pengelolaan serikat pekerj a sebagaimana di at ur dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2000 t ent ang Serikat pekerj a, dengan paparan sebagai berikut .

Pembent ukan serikat pekerj a

Pada awal pembent ukan serikat pekerj a di perusahaan ini lebih banyak dipicu oleh adanya perselisihan yang sulit diselesaikan ant ara pekerj a dengan perusahaan. Maraknya kasus unj uk rasa at au pemogokan yang t erj adi

pada sat it u menyebabkan t rauma dan

ket akut an pada para pekerj a di perusahaan, apabila di perusahaannya t erbent uk serikat pekerj a t ingkat perusahaan (SP-TP). Pihak perusahaan t idak menghalangi secara t erbuka karena khawat ir t erkena sanksi melanggar perat uran perundangan yang berlaku t ent ang Serikat Pekerj a/ Serikat Buruh yait u Undang-undang No. 21 Tahun 2000 t ent ang Serikat Bu-ruh/ Serikat pekerj a. Karena it u mereka meng-gunakan cara lain, ant ara lain menj anj ikan pe-ningkat an kesej aht eraan pekerj a; menj anj ikan perbaikan pelaksanaan hak-hak normat if dan

non-normat if pekerj a; menawarkan uang

pesangon bagi mereka yang ingin membent uk SP-TP agar t idak membent uk serikat pekerj a di

26 Ahmad Erani Yust ika, 2006, Ekonomi Kel embagaan

Def i ni si , Teor i , St r at egi, Cet akan Pert ama, Banyumedia Publ ishing, hl m. 171-172.

perusahaan t ersebut , at au memut us hubungan kerj a t okoh pekerj a secara sepihak yang t erlibat dalam proses pembent ukan Serikat Pekerj a.

Guna menghindari penolakan perusahaan t erhadap rencana pekerj a mendirikan SP-TP, biasanya SP gabungan/ f ederasi t urut membant u pendirian serikat pekerj a perusahaan t ersebut . Meskipun pada awalnya perusahaan yang bersangkut an t idak merasa nyaman dengan rencana pembent ukan dan keberadaan SP-TP di perusahaannya, pada akhirnya mereka meng-ij inkan at au t erpaksa mengmeng-ij inkan berdirinya SP-TP karena hal ini t elah diat ur dalam UU No. 21 Tahun 2000 t ent ang Serikat Buruh/ Serikat Pekerj a.

Pilihan unt uk membent uk serikat pekerj a biasanya diawali hanya oleh beberapa pekerj a, baik at as inisiat if sendiri, berdasarkan inf or-masi dari berbagai media (misalnya, Koran, t elevisi, radio), t eman, at au melalui t awaran dari SP/ SB Gabungan/ f ederasi. Kemudian ke-inginan berserikat diikut i oleh para pekerj a lainnya karena mereka merasa perlu mem-perj uangkan kepent ingannya melalui organisasi serikat pekerj a.

Pembent ukan SP-TP cenderung dipicu oleh adanya perselisihan hubungan indust rial yang menonj ol dan sulit diselesaikan. Bahwa SP-TP j arang dibent uk di perusahaan yang sedikit mengalami perselisihan at au dapat menyelesaikan perselisihannya secara bipart it e. Misalnya, ada perusahaan memilih unt uk t idak memiliki SP-TP dengan alasan ant ara lain:

Per t ama, hingga saat ini perusahaan t elah

memenuhi semua hak-hak normat if dan

kepent ingan pekerj a; Kedua, hubungan ant ara perusahaan dan pekerj a sangat baik, t erbukt i dari pekerj a dapat menyampaikan keluh-kesah mereka secara langsung dan dit anggapi dengan baik oleh perusahaan; Ket iga, t erdapat wadah unt uk berkomunikasi ant ara pengusaha dan pekerj a melalui pert emuan rut in at au koperasi, Keempat , perusahaan menganggap pekerj a sebagai keluarga at au mit ra.

(10)

pe-kerj a, namun demikian, pada umumnya per-usahaan berskala sedang berpendapat bahwa pekerj anya belum memerlukan SP-TP. Sekali-pun, Undang-undang Nomor. 21 Tahun 2000 t ent ang Serikat Pekerj a memperbolehkan lebih dari sat u SP-TP dibent uk di suat u perusahaan, hampir semua perusahaan t idak menyet uj ui adanya lebih dari sat u SP-TP di perusahaan. Keberadaan lebih dari sat u SPTP akan menyulit -kan pengurus serikat pekerj a, perusahaan dan pekerj a it u sendiri. Sebagai cont oh adanya kasus di sebuah perusahaan di Kabupat en Pur-wakart a menghadapi kesulit an karena mem-punyai dua SP-TP dengan af iliasi yang berbeda yait u PUK SPSI dan PUK PPMI. Unt uk menyele-saikan kasus ini, PT. Sout h Pacif ic memerlukan wakt u lebih dari 11 minggu unt uk berunding mengenai kesepakat an PKB/ KKB.

Apabila dilihat dari proses pembent ukan serikat pekerj a, disimpulkan t idak t ercipt a harmonisasi ant ara pengusaha dan serikat pekerj a karena pembent ukan serikat pekerj a yang t idak melibat kan pengusaha sej ak awal akan menimbulkan persepsi negat if pengusaha t erhadaap serikat pekerj a yang akan berdiri di perusahaannya, sebaliknya serikat pekerj a yang akan berdiri j uga merasa pihak pengusaha t idak boleh campur t angan dalam proses pembent uk-an serikat pekerj a. Selain it u, perusahauk-an (pengusaha) menganggap bahwa keberadaan serikat pekerj a, lebih merupakan kekuat an polit is pekerj a unt uk menunt ut hak-hak yang lebih kepada perusahaan, ket imbang sebagai wahana unt uk meningkat kan produkt if it as yang

berkait an dengan t uj uan perusahaan it u

sendiri. Art inya ada pemahaman yang berbeda ant ara pekerj a dan perusahaan di dalam melihat eksist ensi serikat pekerj a. Akibat nya harmonisasi hubungan indust riaal dalam pem-bent ukan serikat pekerj a akan sulit t erwuj ud, unt uk it u pembent ukan serikat pekerj a yang dibangun bersama ant ara pengusaha dan pekerj a at as dasar kemit raan menj adi pent ing.

Kepengurusan dan Pengelolaan Serikat Pe-kerj a

Keberadaan SP-TP mampu bekerj a se-cara ef ekt if dan prof esional sangat t ergant ung

pada kemampuan dan ket ersediaan wakt u pengurus. Pemilihan pengurus SP-TP di masa lalu dilakukan melalui f ormat ur yang sering dicampuri oleh pihak perusahaan yang t urut

menent ukan pengurus demi kepent ingan

perusahaan. Pengurus yang bukan pilihan perusahaan t erut ama mereka yang “ vokal” at au keras dalam menyuarakan hak pekerj a sering dit ekan at au diint imidasi perusahaan. Karena adanya kasus-kasus sepert i it u di masa lalu maka Pasal 28 UU No. 21 Tahun 2000 mengat ur larangan menghalang-halangi at au memaksa pekerj a unt uk menj adi pengurus at au t idak menj adi pengurus, perlu dilakukan harmonisasi supaya t idak t erj adi kriminalisasi dalam hu-bungan indust riaal ant ara pengusaha dengan pekerj a.

Set elah berhasilnya ref ormasi Pemerin-t ahan Indonesia pada Mei 1998, hampir semua pengurus SP-TP dipilih oleh pekerj a. Dalam j umlah kecil, memang masih dit emui pengurus yang dit unj uk perusahaan, t et api pada pemi-lihan kepengurusan periode berikut nya pekerj a sendiri yang akan memilih langsung calon pengurus SP-TP.

Jumlah pengurus SP-TP berkisar 12 orang, dibant u beberapa perwakilan pekerj a di set iap depart emen yang disebut komisariat . Pengurus t erdiri dari Ket ua Umum, beberapa Ket ua Bidang, Sekret aris, dan Bendahara. Bi-dang-bidang yang dit angani ant ara lain pen-didikan, pembelaan t enaga kerj a, kesej ah-t eraan pekerj a dan bidang pemberdayaan perempuan. Komisariat berf ungsi menampung aspirasi pekerj a dan menyampaikan kebij akan baru kepada pekerj a, baik dari pemerint ah

maupun dari perusahaan. Biasanya, sat u

komisariat mewakili 20-50 pekerj a.

(11)

mempunyai pemahaman yang baik t ent ang perundangan dan perat uran ket enagakerj aan.

Pemahaman pengurus t erhadap perun-dangan di bidang ket enagakerj aan, t urut mem-pengaruhi berf ungsinya SP-TP di PT Sout h Fici-f ic. Penilaian perusahaan t ent ang kemampuan pengurusserikat pekerj a masih negat if , t er-ut ama dikait kan dengan kemampuan mereka dalam memahami perundangan dan perat uran perusahaan, kemampuan berunding, kemam-puan berorganisasi, dan kemamkemam-puan memimpin dan mengelola anggot a (misalnya mengat asi t unt ut an anggot a dan unj uk rasa). Penilaian pekerj a mengenai kemampuan pengurus lebih dit ekankan pada kemampuan pengurus serikat pekerj a dalam memperj uangkan kepent ingan pekerj a/ buruh. Khususnya, dalam menyelesai-kan kasus PHK, pemberlakumenyelesai-kan UMR, memper-j uangkan cut i haid, dan kenaikan uang makan sert a uang t ransport dinilai pekerj a masih kurang memuaskan. Beberapa pekerj a menilai kemampuan pengurus serikat pekerj a dalam meredam unj uk rasa, at au sebaliknya, meng-galang unj uk rasa, masih kurang memuaskan. Bahkan t idak selalu seorang Ket ua Pengurus SP-TP mampu menguasai perundangan dan per-at uran ket enagakerj aan. Umumnya di ant ara pengurus-pengurus suat u SP-TP, ada sat u at au dua pengurus yang menguasai perundangan dan perat uran yang berlaku walaupun t idak secara rinci.

Tingkat pemahaman mereka bervariasi, t et api seragam pada beberapa isu yang menonj ol. Sebagai cont oh, ket ika dit anyakan t ent ang hal-hal yang t idak mereka set uj ui dalam Kepmenaker, UU, mereka t idak dapat

menunj ukkan secara rinci pasal-pasalnya.

Mereka umumnya menyorot i t ent ang uang pe-sangon pada UU No. 13 Tahun 2003 t ent ang

Ket anagakerj aan at au t ent ang sulit dan

lamanya proses pengadilan pada UU PPHI. Pengurus kebanyakan dipilih set iap t iga t ahun sekali. Namun ada sat u dua pengurus yang t idak menyelesaikan masa kerj anya karena diberhent ikan sebagai pekerj a at au dihent ikan pekerj a sebagai pengurus karena t idak dapat memperj uangkan nasib pekerj a, at au karena t erlalu memihak pada perusahaan.

Salah sat u f akt or yang j uga mempe-ngaruhi ef ekt ivit as kerj a SP-TP adalah wakt u yang diberikan perusahaan kepada pengurus. Pasal 29 UU No. 21/ 2000 mengat ur bahwa pengusaha harus memberikan kesempat an ke-pada pengurus dan/ at au anggot a SP/ SB unt uk menj alankan kegiat an SP/ SB dalam j am kerj a yang disepakat i oleh kedua belah pihak dan/ at au yang diat ur dalam perj anj ian kerj a

bersama. Hampir semua pengurus SP-TP

memperoleh dispensasi wakt u dari pihak per-usahaan unt uk melakukan akt if it as organisasi-nya, baik di dalam maupun di luar perusahaan. Kalau dilihat dari aspek pengelolaan serikat pekerj a, disimpukan t idak adanya har-monisasi hubungan ant ara pengusaha dengan

serikat pekerj a, dapat dilihat kecilnya

ket erlibat an pengusaha dalam membesarkan eksist ensi serikat pekerj a, bahkan pengurus serikat pekerj a mengalami ket akut an kalau melakukan hak mogok unt uk memperj uangkan kepent ingan pekerj a, karena seringkali dampak mogok serikat pekerj a akan kena PHK, scorsing at au mut asi di t empat yang t idak nyaman be-kerj a. Dalam menyusun pengurus serikat pe-kerj a sama sekali t idak melibat kan pengusaha hal ini berakaibat pengusaha t idak mendukung penuh program pengurus serikat pekerj a, unt uk it u melibat kan pengusaha dalam penyusunan dan pengelolaan serikat pekerj a di perusahaan kedepan menj adi pent ing at as dasar asas kemit raan.

Penut up Simpulan

Berdasarkan apa yang diuraikan di at as

maka disimpulkan beberapa hal sebagai

(12)

dari prinsip dasar ekonomi kapit alis ala Adam Smit h, yait u bagaimana dengan modal yang sekecil-kecilnya, dapat memperoleh keunt ung-an yung-ang sebesar-besarnya. Pada saat yung-ang sama, upaya pekerj a unt uk mendapat kan hak-haknya yang dij amin secara yuridis, dipandang sebagai penghalang unt uk t uj uan mendapat kan keunt ungan yang berlipat ganda it u. Karena it u,

dalam desain konst ruksi modern-kapit alis,

posisi pekerj a dan pengusaha berada pada posisi yang sangat berj arak secara diamet ral. Keduanya t idak menyat u dalam kesat uan sist em produksi yang saling bergant ung ant ara sat u dengan yang lain.

Kedua, kenyat aan kebebasan hak

ber-serikat pekerj a belum mencerminkan hukum yang berperspekt if keadilan maka perlu diaj u-kan sebuah model baru t ent ang kebebasan hak berserikat pekerj a, yang mencipt akan harmo-nisasi hubungan indust rial sert a memberikan perlindungan bagi pengusaha yang mencermin-kan penggunaan hukum berperspekt if keadilan dengan cara merekonst ruksi kebebasan hak berserikat serikat pekerj a dengan kerangka berf ikir hukum prismat ik, yait u mengambil sist em yang baik dari model kapit alist ik dengan model sosialis dan model hubungan indust rial Pancasila yang diadapt asikan dengan nilai-nilai keIndonesiaan, dalam hal ini khususnya nilai keadilan sosial.

Ket i ga, inkonsist ensi Undang-undang No-mor 21 Tahun 2000 t ent ang Serikat Pekerj a dengan nilai keadilan sosial, dapat dilihat dari proses pembent ukan serikat pekerj a maupun pada saat pengelolaan kepengurusan serikat pekerj a. Tidak adanya kebersamaan ant ara pengusaha dengan pekerj a dalam pembent ukan

serikat pekerj a menimbulkan harmonisasi

hubungan indust riaal menj adi sulit t erlaksana.

DAFTAR PUSTAKA

Barry. “ Theories of Just ice” . Har ver st er -Wheat ssheaf. Vol. 1. Tahun 1989;

Edwards, Paul. The Encycl opedi a of Phi losophy,

Vol 8. Tahun 1967;

Greenwalt , Kent . 1996. The Aut onmy of Law, Essay on Legal Posi t ivi sm, Edit or Robert P. George, Oxf ord: Clarendon;

Hart , H L A. 1972. The Concept of Law, Oxf ord: Oxf ord Universit y Press;

Hoogvelt , Ankie M. 1985. Sosiol ogi Masyar akat

Sedang Ber kembang. Jakart a: Raj awali

Press;

Laporan Dirj end Pembinaan dan Pengawasan Depnaker 2003-2008;

Laporan Tahunan Panit era P4 Pusat dari t ahun 2002 – 2007;

Mubyart o. 1988. Si st em dan Mor al Ekonomi

Pancasi l a. Jakart a : LP3ES;

Rahardj o, Sat j ipt o. Art ikel Kompas, Senin 8 No-vember 1993;

Rawl, John. 1971. A Theor y of Just i ce. Cam-bridge: Harvard Universit y Press;

Rengka, Frans J. 2003. Di al og Hukum dan

Keadi l an dal am Pr oses Per adi l an Pi dana” (St udi t ent ang Put usan Per adi l an Pi dana dal am Kasus Ti ndak Pi dana Pol i t i k Masa

Or de Bar u). Disert asi Ilmu Hukum

Universit as Diponegoro. Semarang: UNDIP

Salim, Agus. 2001. Teor i dan Par adi gma Sosi al (dar i Denzin Gubadan Pener apannya).

Yogyakart a : PT. Tiara Wacana;

Soemit ro, Ronny Hanit ij o. 1989. Pr espekt i f So-si al Dal am Pemahaman Masal ah-Masal ah

Hukum. Semarang: Agung Press;

Soehardi. 1962. Luas dan Isi Hukum Sosi al. Yog-yakart a: Kanisius;

Suseno, Frans Magnis. “ Moralit as dan Nilal-Nilai Komunit as, Debat ant ara Komut arisme dan Universalisme Et ies” , Maj al ah Fi l sa-f at Dr iyar kar a, Tahun XXI No. 2: 65/ 1995;

Uj an, Andre At e. 2001. Keadi l an dan Demo-kr asi , Tel aah Fi l saf at Pol if i k John Rawl s,

Yogyakart a: Kanisius;

Yust ika, Ahmad Erani. 2006. Ekonomi Kel

em-bagaan Def i ni si , Teor i , St r at egi. Cet akan

Pert ama. Malang: Banyumedia

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian tentang produk KPR Muamalat iB Pembelian yang dilakukan di Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Pembantu Salatiga diantaranya: 1) Syarat pembiayaan di BMI yaitu

Lupiyoadi (2001:134) mendefinisikan Pelanggan adalah seorang individu yang secara continue dan berulang kali datang ke tempat yang sama untuk

Statistik Deskritif Variabel Berdasarkan hasil analisis statistik deskritif, maka berikut dalam tabeltabel hasil analisis deskritif masing-masing variabel yang terdiri dari

Para pembelajar yang menjadi subjek penelitian ini dapat memeroleh kesempatan untuk mengikut kegiatan pembelajaran berbicara BIPA jarak jauh menggunakan media internet, baik

Salah satu tanda radang akut yaitu terjadinya emigrasi sel radang dari darah, paling banyak yaitu sel netrofil atau leukosit polimorfonuklear (pmn) kemudian terjadi reaksi

langsung. Misalnya, suara rekaman denyut jantung. 5) Mengamati dengan teliti binatang-binatang yang sukar diamati secara langsung karena sukar ditangkap. Dengan bantuan gambar,

Penyusunan skripsi dengan judul “Hubungan antara Kualitas Hidup dengan Harga Diri Lansia yang Tinggal di Rumah di RW.8 Bratang Binangun Kelurahan Barata Jaya

a) Elektroda kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah semikonduktor nanopartikel TiO2 fase anatase, zat-zat yang digunakan pada proses pembuatan pengaruhnya tidak