• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Perubahan Identitas terhadap Ar (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaruh Perubahan Identitas terhadap Ar (2)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH AKHIR

Mata Kuliah : Teori Hubungan Internasional 2

NPM : 1206247530

PENGARUH PERUBAHAN IDENTITAS TERHADAP ARAH KEBIJAKAN LUAR NEGERI DI TURKI

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Turki merupakan negara sekuler yang dalam satu dekade terakhir dipimpin oleh partai berhaluan islam. Arus sekularisasi di Turki telah berlangsung sejak zaman kekhalifahan akan tetapi mencuat ke permukaan ketika Republik Turki berdiri menggantikan kekhalifahan Turki Ustmani. Adapun, sekularisasi yang terjadi tidak hanya di dalam bidang politik, melainkan hampir di semua bidang, di mana negara memainkan peran aktif dalam mengupayaka hal ini. Pada waktu itu, bagi Turki, sekularisasi merupakan bagian dari upaya modernisasi yang diterjemahkan sempit sebagai westernisasi.

Seiring berjalanannya waktu, identitas politik di Turki tidak hanya diwarnai oleh identitas politik sekuler. Sejak tahun 1970an, kelompok politik berhaluan islam mulai muncul ke permukaan, walaupun masih tidak begitu dihiraukan. Kemudian, baru di tahun 1990an, kelompok politik berhaluan islam ini sampai dipuncak kekuasaan, walaupun tidak menjadi satu-satunya. Kemudian, baru di tahun 2002, partai politik berhaluan Islam menjadi yang paling dominan, dan memimpin Turki di tampuk kekuasaan.

(2)

1.2 Pertanyaan Penelitian

Dengan latar belakang yang seperti itu, dan untuk membuktikan asumsi bahwa ada keterkaitan antara identitas kelompok dominan dan arah kebijakan luar negeri, pada makalah ini, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: bagaimana perubahan identitas mempengaruhi perubahan arah kebijakan luar negeri di Turki?

1.3 Kerangka Teori

Pendekatan Konstruktivisme

Konstruktivisme merupakan pendekatan yang tertarik untuk membahas faktor ideasional seperti norm, rules, dan identities, dalam mempengaruhi konsepsi aktor mengenai dirinya dan bagaimana berhubungan dengan pihak lain.1 Pendekaatan ini memiliki beberapa asumsi dasar. Pertama, konstruktivisme berasumsi bahwa identitas dan interest merupakan sesuatu yang dikonstruksi, bukan given, akibat adanya proses intersubjektivitas antaraktor.2 Lebih lanjut, ada pendapat yang menyatakan bahwa identitas menentukan interest dan kemudian action.3 Kedua, konstruktivisme berasumsi bahwa struktur internasional merupakan struktur sosial.4 Dalam struktur sosial, faktor ideasional, seperti norm, rules, dan language, juga merupakan hal yang penting untuk dilihat dan memiliki pengaruh untuk menentukan dinamika struktur tersebut.5 Di satu lain, struktur internasional mempengaruhi identitas dan interest aktor. Sedangkan di sisi lain, struktur internasional tidak akan ada jika tidak adanya aktor-aktor dengan identitas dan interest tertentu yang mendinamisasi.6 Ketiga, konstruktivisme berasumsi bahwa karena struktur internasional merupakan struktur sosial, struktur internasional merupakan struktur yang dinamis, tidak fixed, dan terus menerus dikonstruksi.7 Konstruktivisme percaya akan adanya change dalam struktur internasional, juga dalam diri aktor atau agent dalam struktur itu sendiri.8 Dan keempat, konstruktivisme berasumsi bahwa tidak ada realitas yang benar-benar dapat dilihat secara objektif, karena setiap individu memiliki interpretasi tersendiri terhadap realita, dan yang terjadi

1 Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory 4th ed. (New York: Pearson, 2010): hlm. 276

2 Viotti dan Kauppi, 277

3 Christian Reus-Smit, “Constructivism”, dalam Scott Burchill, et. al. (eds.), Theories of International Relations 3rd Edition, (New York: Palgrave Macmillan, 2005): hlm. 197

4 Viotti dan Kauppi, 277

5 K. M. Fierke, “Constructivism” dalam Dunne et. al. (eds.), International Relations Theories. (Oxford: Oxford University Press, 2010): hlm. 179

(3)

adalah intersubjektivitas atau shared understanding antara dua atau lebih aktor yang saling berinteraksi.9

Identitas, interets, dan action

Dari penjabaran di bagian sebelumnya, kita memahami bahwa identitas akan mempengaruhi interest dan action suatu negara. Di bagian ini, hal tersebut akan dijelaskan lebih lanjut. Adapun penulis menggunakan konsepsi yang disusun oleh Kuniko Ashizawa yang menggunakan Value Action Framework (VAF) yang berdasar kepada Foreign Policy Analysis (FPA) dalam menjelaskan mengenai hubungan antara identitas, interest, dan action. VAF yang berdasar kepada FPA ini akan menjelaskan proses bagaimana identitas membentuk interest dan action.

Menurut Ashizawa ada tiga tahapan yang perlu dilalui oleh identitas untuk dapat membentuk interest dan action.10 Pertama, tahapan di mana identitas memunculkan beberapa values tertentu. Hal ini biasanya dioprasionalisasikan oleh kelompok-kelompok elit politik yang berperan untuk menentukan kebijakan. Kedua, dari beberapa values yang ada akan muncul kemudian value yang dominan, sifatnya bisa universal atau Partikular, yang akan membentuk preferensi. Adapun, value yang dominan adalah value yang mengakomodasi beberapa value yang sebelumnya ada atau value yang dianggap lebih baik dari yang lain atau value yang dipaksakan oleh kelompok yang dominan. Ketiga, dibuatnya kebijakan yang bertujuan untuk mewujudkan preferensi yang ada.

Secara visual, hal ini dapat dijabarkan melalui bagan sebagai berikut:

.... (1)11

Ket:

9 Viotti dan Kauppi, 277

10 Kuniko Ashizawa, “When Identity Matters: State Identity, Regional Institution-Building, and Japanese Foreig Policy”, International Studies Review, Vol. 10, No, 3 (2008): hlm. 578/571-598

11 Diadopsi dari Kuniko Ashizawa, 580

Identity Value

Identity Value

Identity Value

Value Proccesing Dominant Value/s

(4)

.... (2)12

BAB II PEMBAHASAN

Dengan menggunakan teori yang dikemukakan oleh Kuniko Ashizawa, pada bagian ini akan coba dijelaskan mengenai hubungan antara perubahan identitas dan perubahan arah kebijakan luar negeri. Adapun untuk menjelaskan hal tersebut, di bagian ini akan terdiri dari tiga bahasa, yaitu perubahan identitas, perubahan arah kebijakan, dan analisa keduanya menggunakan teori yang digunakan.

2.1 Perubahan Identitas: Dari Sekularis menjadi Islamis-Revisionis

Di bagian ini akan dijelaskan mengenai identitas politik Turki. Menurut Ersin Kalaycioglu, masyarakat Turki, dalam hal ini, terbagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu, sekularis dan islamis-revisionis.13 Islamis-revisionis yang dimaksud di sini ialah mereka yang berpendapat bahwa politik islam dapat dijalankan di dalam sistem sekuler. Menurut Sandhiyudha, hal ini dapat ditunjukan dengan kemunculan beberapa partai berhaluan islam yang mencoba mewarnai perpolitikan Turki dengan nilai-nilai islam yang tidak diekspresikan secara eksplisit.14

Adapun, identitas politik sekuler di Turki secara eksplisit muncul ketika Republik Turki didirikan, walaupun demikian, pengaruhnya sudah ada sejak masa Kekhalifaan Turki Ustmani.15 Identitas politik sekuler dimunculkan oleh Kemal Attaturk yang mempercayai bahwa modernisasi sama dengan westernisasi yang salah satu

value-12 Diadopsi dari Kuniko Ahizawa, 579

13 Arya Sandhiyudha, Inspirasi Turki untuk Indonesia: Renovasi Negeri Madani, (Bekasi:Duta Media Tama, 2013): hlm. 38

14 Arya Sandhiyudha, 39

15 Yucel Bozdaglioglu, Turkish Foreign Policy and Turkish Identity, (New York: Routledge, 2003): hlm. 36

Dominant Value/s Preference Action

(5)

nya adalah sekularisme.16 Selain dalam ranah politik, identitas ini juga dipaksakan untuk diekspresikan di ranah sosial-budaya, sedangkan identitas keagamaan hanya dapat diekspresikan di ranah privat dan sengaja dieksklusikan.17 Terkait dengan hal tersebut, Ahmet T. Kuru menyatakan bahwa sekulerisme yang dianut Turki adalah sekulersime Asertif.18

Identitas politik islam-revisionis muncul ke permukaan ketika Rafah Party terjun ke politik, memenangkan pemilu, dan memimpin pemerintahan di tahun 1995. Kepemimpinanya kemudian diteruskan oleh Fazilet Party dan disempurnakan oleh AK Party yang memenangkan pemilu pada tahun 2002 dan memimpin pemerintahan sejak tahun 2003 hingga saat ini.19 Walaupun demikian, islamis-revisionis sebenarnya telah muncul sejak 1970an yang ditandai dengan munculnya Milli Selamet Partisi dan Milli Nizam Partisi yang pada waktu itu masih belum diperhitungkan.20

Adapun, menurut Sandhiyudha, kebangkitan identitas politik islam-revisionis di Turki tidak dapat dilepaskan dari pandangan Fethullah Gulen, seorang ulama paling berpengaruh di Turki, yang memandang bahwa Islam merupakan aturan sistematis yang terkait dengan individu, sosial, politik, ekonomi, dan aspek kehidupan lainnya.21 Berpolitik pula menjadi seolah keharusan, karena menurut Gullen, banyak permasalahan dan tantangan yang dihadapi seorang muslim di dunia saat ini berkaitan dengan politik. Walaupun demikian, menurutnya, visi memaksakan Islam menjadi identitas totaliter seperti memaksakan peraturan atau larangan pada segmen masyarakat tertentu, sepenuhnya menentang semangat islam.22

Dari paparan di atas dapat kita lihat bahwa kemunculan identitas politik sekuler dan islam-revisionis memiliki segmentasi waktu yang berbeda. Identitas politik sekuler menguat sejak masa pemerintahan Mustafa Kemal, yaitu pada awal berdirinya republik. Sedangkan, identitas islam-revisionis mewarnai perpolitikan Turki ketika Refah Party memenangkan pemilu dan memimpin pemerintahan di tahun 1995 dan menguat ketika AK Party memenangkan pemilu dan memimpin Turki sejak 2003. Lebih lanjut, menurut

16 Yucel Bozdaglioglu. 35 17 Yucel Bozdaglioglu. 47 18 Arya Sandhiyudha, 96

19 Galip Dalay dan Dov Friedman, “The AK Party and The Evolution of Turkish Political Islam’s Foreign Policy”, Insight Turkey, Vol. 15, No. 2, (2013): hlm. 124/123-120

20 Ali Carkoglu, “The Rise of New Generation Por-Islamist in Turkey”, 127/123-156 21 Arya Sandhiyudha, 113

(6)

Ersin Kalaycioglu, dalam perjalanan politik turki terdapat beberapa fase yang satu sama lain mempengaruhi identitas politik turki. Fase pertama, fase keruntuhan Turki Ustmani hingga kemerdekaan Republik Turki. Fase kedua, fase berdirinya Republik Turki dan revolusi budaya. Fase ketiga, fase demokrasi versi Ataturk (Mustafa Kemal Pasha). Fase keempat, fase era kedua republik (1961-1990). Terakhir, fase kelima, fase perubahan era pemerintahan baru, saat warna relijius menonjol dan mengalahkan warna kemalis di akar rumput.23

2.2 Dinamika Perubahan Kebijakan Luar Negeri Turki

Seiring dengan perjalanan waktu, telah terjadi perubahan arah kebijakan luar negeri Turki, yang utamanya mengenai orientasi kedekatan dan keberpihakan. Di suatu saat, Turki pernah begitu dekat dengan Barat, pernah begitu dekat dengan Negara Arab, dan berusaha dekat dengan keduanya, juga memainkan peran di kancah global.

Di masa kepemimpinan sekularis, dengan identitas politik sekuler, Turki memiliki kedekatan dengan Barat dan seolah menjaga jarak dengan Timur Tengah. Hal ini dipengaruhi oleh pandangan Ataturk bahwa modernisasi berarti westernisasi. Pandangan ini kemudian menguatkan keinginan Turki untuk diidentifikasikan sebagai Barat, yang salah satu upayanya adalah dengan menjalin kedekatan dengan Barat.24 Adapun, dalam hal Turki memiliki kecenderungan menjaga jarak dengan dunia Islam dan Timur Tengah, halini terjadi karena Turki menganggap bahwa Islam, sebagai agama dan ideologi, merupakan ancaman bagi modernisasi Turki.25

Ketika Rafah Party memimpin Turki mulai tahun 1996, menurut Dalay dan Friedman, Turki memandang bahwa dunia Barat dan dunia Islam merupakan dunia yang saling bertentangan.26 Lanjutnya, bagi Turki di masa itu, sistem internasional didominasi dan hanya melayani kepentingan dunia Barat. Oleh sebab itu, kebijakan luar negeri Turki seolah memiliki tujuan untuk menjadikan dunia Islam struktur tandingan dan independen terhadap dunia Barat. Hal ini ditunjukan dengan upaya Turki untuk menjalin kedekatan dengan negara-negara Arab, menginisiasi adanya sebuah islamic common market hingga mata uang yang sama, dan membentuk Developing-8, kelompok tandingan dari G-8. Adapun menurut Dalay dan Friedman, inisiasi-inisiasi ini didasari

23 Arya Sandhiyudha, 37 24 Yucel Bozdaglioglu, 58 25 Yucel Bozdaglioglu, 54

(7)

oleh semangat historis bahwa Turki pernah menjadi pemimpin dunia Islam di masa lampau.27

Ketika AK Party memimpin Turki mulai tahun 2003, Turki menunjukan kebijakan yang cukup inklusif. Pada waktu itu, Turki memandang bahwa penting untuk bergabung dengan Eropa, bahkan, Perdana Mentri Erdogan dan Presiden Gul bersama-sama berusaha keras untuk dapat mengakselerasi proses keanggotaan di EU.28 Di sisi lain, Turki juga mencoba menerapkan kebijakan yang mereka sebut sebagai “z ero-problem policy with neighbors” dengan menyelesaikan permasalah dengan negara di sekitarnya, seperti dengan Yunani, Cyprus, dan negara-negara di Timur Tengah.29 Selain itu, Turki juga seolah berusaha menjadi pemain global yang lebih aktif, Turki melebarkan sayap kerja sama ekonominya, menjadi mediator atau fasilitator dalam penyelesaian beberapa konflik dan menggapai posisi penting dalam beberapa organisasi tingkat regional maupun global.30

Adapun, hubungan Turki dengan Timur Tengah dapat dinilai terus membaik. Hal ini menurut Kilic Bugra Kanat, ditunjukan oleh tiga hal.31 Pertama, Turki memainkan peran yang lebih aktif di institusi regional atau multilateral lain yang berhubungan dengan Timur Tengah, seperti OKI dan Liga Arab. Kedua, Turki berusaha maksimal melakukan penyelesaian sengketa dan menjalin hubungan baik dengan negara-negara di Timur Tengah, seperti Suriah. Ketiga, Turki menjalin hubungan kerja sama ekonomi dan politik dengan beberapa negara Timur Tengah yang lain, seperti Yordania, Arab Saudi, dan Qatar.

2.3 Analisa: Identitas dan Kebijakan Luar Negeri Turki

27 Galip Dalay dan Dov Friedman, 125

28 Kilic Bugra Kanat, “AK Party’s Foreign Policy: Is Turkey Turning Away from the West”, Insight Turkey,

Vol. 12, No. 1 (2010): hlm. 207/205-225 29 Kilic Bugra Kanat, 206

(8)

Di bagian pertama pembahasan telah dijelaskan mengenai perubahan identitas politik Turki dari waktu ke waktu. Di bagian berikutnya telah dijelaskan bahwa arah kebijakan luar negeri Turki juga berubah dari waktu ke waktu. Dan di bagian ini akan dijelaskan mengenai keterkaitan antara bagian pertama dan kedua, antara perubahan identitas dan perubahan arah kebijakan luar negeri turki. Di mana, untuk menguji hal tersebut, akan digunakan teori yang telah dikemukakan sebelumnya di dalam kerangka teori.

Menurut Teori, identitas dan value, yang memiliki hubungan yang constitutive, akan mempengaruhi prefensi aktor, dan preferensi aktor akan mempengaruhi action. Dalam hal ini, aktornya adalah Turki, identitas dan value-nya adalah apa yang dimunculkan oleh kelompok dominan yang menguasai panggung perpolitikan, dan preferensi atau action-nya adalah kecenderungan arah atau kebijakan luar negeri itu sendiri. Sehingga, dinamika perebutan kekuasaan akan berarti dinamika perubahan identitas, yang nantinya akan berimplikasi pada perubahan arah kebijakan luar negeri.

(9)

Kedua, dalam makalah dijelaskan bahwa identitas politik Turki mengalami perubahan dari sekuler ke islam-revisionis. Di mana, hal ini diiringi dengan adanya perubahan arah kebijakan luar negeri. Dengan kata lain, keduanya memiliki keterkaitan, yaitu, ketika identitas politik yang ditonjolkan oleh kelompok dominan adalah sekuler, kebijakan luar negeri Turki cenderung pro-Barat. Oleh sebab sekulerisme di Turki merupakan salah satu nilai yang diambil dari Barat, sebagai upaya Turki melakukan modernisasi yang berarti westernisasi pada waktu itu. Sedangkan, di sisi lain, ketika identitas yang ditonjolkan oleh kelompok dominan adalah islam-revisionis, kebijakan luar negeri Turki cenderung pro-Dunia Islam. Para pendukung identitas ini beranggapan bahwa kedekatan dengan Barat membawa kegagalan dan bahwa struktur islam harus menyaingi struktur Barat yang dianggap mendominasi. Hal lain yang mendorong ini terjadi adalah catatan historis bahwa Turki merupakan pemimpin dunia Islam di masa kekhalifahan Turki Ustmani.

(10)

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

(11)

Daftar Pustaka

Ali Carkoglu, “The Rise of New Generation Por-Islamist in Turkey”, Insight Turkey, Vol. 13, No. 5, (2012): halaman123-156

Ashizawa, Kuniko. “When Identity Matters: State Identity, Regional Institution-Building, and Japanese Foreig Policy”, International Studies Review, Vol. 10, No, 3 (2008). halaman 571-598

Bozdaglioglu, Yucel. (2003). Turkish Foreign Policy and Turkish Identity. New York: Routledge

Fierke, K. M. (2010). “Constructivism” dalam Dunne et. al. (eds.), International Relations Theories. Oxford: Oxford University Press

Galip Dalay dan Dov Friedman, “The AK Party and The Evolution of Turkish Political Islam’s Foreign Policy”, Insight Turkey, Vol. 15, No. 2, (2013): halaman 123-120 Kilic Bugra Kanat, “AK Party’s Foreign Policy: Is Turkey Turning Away from the

West”, Insight Turkey, Vol. 12, No. 1 (2010): halaman 205-225

Reus-Smit, Christian. (2005). “Constructivism”, dalam Scott Burchill, et. al. (eds.), Theories of International Relations 3rd Edition. New York: Palgrave Macmillan Sandhiyudha, Arya. (2013). Renovasi Negeri Madani: Inspirasi Turki untuk Indonesia.

Bekasi: Duta Media Tama

Referensi

Dokumen terkait

1. Pengadilan Militer Pertempuran.. Tempat kedudukan Pengadilan Militer Utama berada di Ibukota Negara RI, sementara Pengadilan Militer yang lainnya tempat kedudukannya

1) Analisis Overpressure dari suatu peralatan bertekanan serta perhitungan yang akurat terhadap luas area orifice dari suatu relief valve yang akan dipasang pada peralatan

Dengan demikian penggunaan pendekatan whole language dapat meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri Bendungan Hilir 01 Pagi Jakarta Pusat..

Membuat lembar pengesahan selesai KKP pada instansi KKP dengan meminta pembubuhan tanda tangan pembimbing praktek dan cap (stempel) instansi tempat KKP. Mahasiswa secara

Instrumen keuangan yang diterbitkan atau komponen dari instrumen keuangan tersebut, yang tidak diklasifikasikan sebagai liabilitas keuangan yang diukur pada nilai

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

menceritakan tentang seorang wanita muda yang lugu bernama Andrea yang menjadi asisten dari Miranda Priestly, yang merupakan editor model sebuah majalah. Wanita

Diharapkan dengan dijalankannya cara green di setiap proses konstruksi khususnya di proyek Kedutaan Austria dapat mempengaruhi perusahaan lain untuk dapat menjalankan program