• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN DOKTER DAN PERUSAHAAN FARMASI D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN DOKTER DAN PERUSAHAAN FARMASI D"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN DOKTER DAN PERUSAHAAN FARMASI DITINJAU DARI ASPEK ETIKA DAN HUKUM

LATAR BELAKANG

Permasalahan pelayanan kesehatan masyarakat sepertinya menjadi masalah klasik yg tak kunjung terselesaikan di Indonesia.Salah satu faktor yangsangat dirasakan masyarakat adalah tingginya biaya obat. Menurut Thabrani (FKM UI) dalam biaya kesehatan masyarakat, biaya obat merupakan komponen terbesar dalam pembiayaan kesehatan di Indonesia. Beliau juga mengutip dari Depkes drug and health sector bahwa komponen belanja obat di Indonesia mencapai 39% dari total biaya keseluruhan.1

Dalam Konas 2006 juga disebutkan bahwa, dari sudut keterjangkauan secara ekonomis, harga obat di Indonesia umumnya dinilai mahal dan struktur harga obat tidak transparan.2 Survei dampak krisis ekonomi terhadap biaya obat dan ketersediaan obat esensial antara 1997 – 2002 menunjukkan bahwa biaya resep rata-rata di sarana pelayanan kesehatan sektor swasta jauh lebih tinggi dari pada di sektor publik yang menerapkan pengaturan harga dalam sistem suplainya. Salah saru faktor yang berkontribusi terhadap harga obat di Indonesia menurut penelitian adalah biaya promosi.3

Terkait hal ini, sudah menjadi rahasia umum di belahan mana saja di dunia adanya hubungan mesra dokter dengan perusahaan farmasi.Hubungan dokter dan perusahaan farmasi adalah simbiosis mutualisme, saling menguntungkan kedua belah pihak. Perusahaan obat butuh goresan pena para dokter untuk melariskan ‘obatnya’, Di sisi lain, dokter juga membutuhkan berbagai support dari perusahaan obat baik dalam hal informasi obat-obatan baru maupun support dalam bentuk yang ‘lain’. Sayangnya hubungan mutualisme dokter-perusahaan farmasi ini terkait dengan pihak ke tiga yaitu pasien. Dikarenakan support yang diberikan oleh perusahaan farmasi kepada para dokter, mereka membebankan biaya promosi obat kepada komponen harga obat yang nantinya akan dibayar oleh pasien. Artikel ini akan membahas:

(2)

Pembahasan

Kerjasama Dokter dan Perusahaan Farmasi Ditinjau Dari Kode Etik Kedokteran.

Di dalam kode etik kedokteran Indonesia (KodekI) yang dikeluarkan oleh Majelis Kode Etik Kedokteran tahun 2001, pada poin Kewajiban umum pasal 3 dinyatakan bahwa dalam melakukan pekerjaannya seorang Dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang memengaruhi kebebasan dan kemandirian profesi.4

Selanjutnya dalam penjelasan pasal 3 dirincikan bahwa perbuatan berikut dipandang bertentangan dengan etik:

1. Secara sendiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuan dan keterampilan kedokteran dalam segala bentuk.

2. Menerima imbalan selain dari pada yang layak, sesuai dengan jasanya, kecuali dengan keikhlasan dan pengetahuan dan atau kehendak pasien.

3. Membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi/obat, perusahaan alat kesehatan/kedokteran atau badan lain yang dapat memengaruhi pekerjaan dokter.

4. Melibatkan diri secara langsung atau tidak langsung untuk mempromosikan obat, alat atau bahan lain guna kepentingan dan keuntungan pribadi dokter.

Berdasarkan butir-butir di atas, sangat jelas bahwa kerjasama dokter dengan perusahaan farmasi jelas-jelas melanggar kode etik kedokteran.

Ditinjau dari kode etik perusahaan Farmasi

International Pharmaceutical Mananufacturer Grup (IPMG), asosiasi 24 perusahaan farmasi yang berbasis penelitian internasional yang beroperasi di Indonesia dalam kode etiknya menyatakan pasal 4: perusahaan dilarang menawarkan segala induksi, apresiasi, doorprize, insentif dan imbalan uang kepada profesi medis.5

(3)

Menurut saya, terdapat celah dalam kode etik IPMG ini terutama tentang dibolehkannya perusahaan farmasi untuk memberikan sponsor bagi profesi medis dalam bentuk keikutsertaan dalam acara-acara ilmiah.Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini tuntutan terhadap profesi kedokteran sangat tinggi.Walaupun seorang dokter sudah menjadi dokter umum, dokter spesialis atau dokter konsultan sekalipun, para Bapak dan Ibu dokter masih dibebani kewajiban untuk mengikuti simposium-simposium dan pelatihan dalam rangka pendidikan kedokteran berkelanjutan.Dikatakan hal ini adalah demi meningkatkan kualitas layanan kepada pasien.

Di sisi lain, acara seperti simposium, seminar, workshop tentunya membutuhkan biaya. Kenyataannya biaya yang musti dikeluarkan oleh seorang dokter untuk dapat mengikuti acara-acara ilmiah sebagaimana disebutkan di atas tidaklah murah. Apalagi jika dibandingkan dengan gaji dokter yang bahkan jika sudah menjadi dokter spesialispun hanya satu “digit”. Celah inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh perusahaan farmasi. Dengan alasan untuk membantu para dokter dalam rangka meningkatkan kapabilitas ilmunya dan merujuk kepada kode etik IPMG yang membolehkan perusahaan farmasi memberikan sponsor dalam bentuk acara-acara ilmiah, para medical representative perusahaan farmasi dapat memberikan penawaran tertentu kepada dokter. Berpikir rasional, jika ada seseorang datang kepada kita, dan menyatakan kesediannya membantu kita dan seseorang tersebut secara kasat mata dan jelas memiliki kepentingan terhadap kita, apakah mungkin bantuan yang ditawarkan bersifat cuma-cuma? Sementara itu sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam kode etik kedokteran Indonesia bahwa para dokter DILARANG membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi/obat, perusahaan alat kesehatan/kedokteran atau badan lain yang dapat memengaruhi pekerjaan dokter. Apakah sponsorship dalam bentuk acara ilmiah tidak akan memengaruhi keputusan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien?

Sebuah tulisan dari seorang jurnalis Ray Minihan dan dimuat di British Medical Journal edisi Mei 2003, bahwa pengeluaaran yang dibayarkan perusahaan farmasi untuk untuk membiayai para dokter mengikuti acara-acara ilmiah berkaitan dengan meningkatnya peresepan obat-obat milik perusahaan sponsor.6

(4)

Accepting meals and expenses for travel or accommodation for sponsored educational meetings is common despite evidence that this is associated with an increase in formulary requests for and prescribing of the sponsor's drug.2,3 Most doctors attend company sponsored events providing continuing medical education, 2 yet evidence shows that these preferentially high-light the sponsor's drug.3 Many professional societies rely heavily on industry sponsorship,5 just as their medical journals rely on drug company funded trials, company advertisements, company purchased reprints, and company sponsored supplements— despite the consequent conflicts of interest6 and evidence that sponsored supplements are more promotional than other articles.7

Demikian juga dengan kesimpulan Ashley Wazana MD dari studi kepustakaan yang dilakukannya terhadap tulisan ilmiah di Medline mengenai topic ini, hubungan industri antara dokter dengan perusahaan farmasi memengaruhi pola peresepan dokter yang bersangkutan dan juga memengaruhi prilaku profesionalnya.7

Hubungan dokter dan perusahaan farmasi ditinjau dari etika promosi obat

Pada tahun 2007, Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menyikapi derasnya kritikan ketika itu tentang kerjasama dokter dengan PBF ini melakukan perundingan dengan farmasi yang menghasilkan sebuah kesepakatan bersama etika promosi obat.8

Berikut saya salinan isi dari kesepakatan tersebut:

Kesepakatan Bersama Etika Promosi Obat:

1. Antara GP Farmasi Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia

Bahwa untuk mewujudkan upaya promosi obat yang beretika dengan tujuan mengingatkan kembali pelaksanaan etika profesi kedokteran dan etika para pengusaha farmasi dalam rangka ketersediaan dan keterjangkauan sediaan obat yang merupakan salah satu komponen penting untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pengurus Pusat GP Farmasi Indonesia bersama-sama dengan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia dan disaksikan oleh Pemerintah dengan ini meneguhkan kembali tentan 2. GP Farmasi Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia mewajibkan seluruh elemen Pelaku

(5)

profesi kedokteran yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (termasuk organisasi seminat/spesialis dan organisasi lain di lingkungan IDI) untuk menerapkan secara konsekuen pelaksanaan Etika Promosi Obat dengan penuh tanggung jawab. Poin-poin etika promosi obat dan kesepahaman yang dimaksud adalah:

3. Seorang dokter dalam melakukan pekerjaan kedokterannya tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.Kaitannya dengan promosi obat adalah dokter dilarang menjuruskan pasien untuk membeli obat tertentu karena dokter yang bersangkutan telah menerima komisi dari perusahaan farmasi tertentu.Dukungan apapun yang diberikan perusahaan farmasi kepada seorang dokter untuk menghadiri pertemuan ilmiah tidak boleh diisyaratkan /dikaitkan dengan kewajiban untuk mempromosikan atau meresepkan suatu produk.

4. Perusahaan farmasi boleh memberikan sponsor kepada seorang dokter secara individual dalam rangka pendidikan kedokteran berkelanjutan, yaitu hanya untuk biaya registrasi, akomodasi dan transportasi dari dan ke tempat acara pendidikan kedokteran berkelanjutan.Perusahaan farmasi dilarang memberikan honorarium dan atau uang saku kepada seorang dokter untuk menghadiri pendidikan kedokteran berkelanjutan, kecuali dokter tersebut berkedudukan sebagai pembicara atau menjadi moderator.

5. Dalam hal pemberian donasi kepada profesi kedokteran, perusahaan farmasi tidak boleh menawarkan hadiah/penghargaan, insentif, donasi, finansial dalam bentuk lain sejenis, yang dikaitkan dengan penulisan resep atau anjuran penggunaan obat/produk perusahaan tertentu.Pemberian donasi dan atau hadiah dari perusahaan farmasi hanya diperbolehkan untuk organisasi profesi kedokteran dan tidak diberikan kepada dokter secara individual. 6. Ikatan Dokter Indonesia (termasuk organisasi seminat/spesialis dan organisasi lain di

(6)

7. GP Farmasi Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia meminta kepada Departemen Kesehatan RI dan Konsil Kedokteran Indonesia untuk mengambil bagian dalam pembinaan dan pengawasan kepada para pelaku usaha farmasi maupun anggota Ikatan Dokter Indonesia yang mengabaikan kesepakatan ini.

8. Untuk menghindari konsekuensi hukum yang dapat terjadi terkait dengan promosi obat yang tidak etis, GP Farmasi Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia mewajibkan seluruh anggotanya masing-masing mempelajari, menghayati dan melaksanakan secara konsisten Kode Etik Pemasaran Usaha Farmasi Indonesia, Kode Etik Kedokteran, Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia tentang Pedoman Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran.

Demikianlah Kesepakatan Bersama Etika Promosi Obat ini agar dilaksanakan sebaik-baiknya.

Ditandatangani oleh Ketua Umum PB IDI pada saat itu DR. Dr. Fachmi Idris,M.kes denganPengurus Pusat GP Farmasi Indonesia Anthony CH. Sunarjo, MBA

Dari butir-butir kesepakatan yang tersebut di atas saya melihat adanya kelonggaran yang diberikan dalam hal etika promosi obat ini. Perusahaan farmasi diperkenankan untuk memberikan sponsor namun tidak diperkenankan untuk memaksa dokter untuk menuliskan resep dari perusahaan obat tersebut.

Kerjasama Dokter dan Perusahaan Farmasi ditinjau dari aspek hukum Indonesia

(7)

Pelanggaran terhadap Pasal 9 diatas diatur didalam Pasal 10, yaitu : ‘Selain dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terhadap Industri Farmasi dan/atau Pedagang Farmasi yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat dikenakan sanksi admisnistratif berupa : (a) Peringatan tertulis, (b) Penghentian sementara kegiatan, (c) Pembekuan dari/atau pencabutan izin edar obat yang bersangkutan, (d) dan sanksi administrative lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku’.

Mengacu pada sanksi pidana sebagaimana dimaksud SK BPOM, Pasal 62 Ayat (1) UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 menyebutkan : ‘Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 Ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 Ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, Ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)’.etentuan

Tulisan Harmono ini menyiratkan bahwa praktik kerjasama dokter dengan perusahaan farmasi dapat dikategorikan pada tindak pidana karena dianggap melanggar ketentuan pemerintah.

Senada dengan harmono,terkait dengan hubungan dokter dan perusahaan farmasi Sugiri mengkategorikan perbuatan tersebut sebagai gratifikasi. Menurut Sugiri istilah gratifikasi masih belum populer di Indonesia. Bahkan masyarakat cenderung bisa menerima perilaku gratifikasi yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan.Ada kebiasaan-kebiasaan dikalangan teman sejawat yang termasuk dalam kategori gratifikasi. Menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20/2001 gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut bisa diberikan di dalam negeri maupun di luar negeri, baik yang memakai sarana elektronik maupun yang tidak memakai sarana elektronik.”12

(8)

seumur hidup, atau pidana paling singkat 4 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (Rp1 Milyar). Kecuali, apabila penerima gratifikasi melaporkannya ke KPK dalam waktu 30 hari setelah diterimanya gratifikasi.10

Senada dengan Sugiri, penelitian Sri dkk menyimpulkan bahwa dalam hubungan “kerjasama” pemasaran obat antara dokter dengan PBF tidak terdapat hubungan hukum karena tidak memiliki akibat hukum. Namun, Sri dkk jugamenyimpulkan bahwa kerjasama pemasaran obat antara dokter dengan perusahaan farmasi dikaji dari aspek hukum perdata memenuhi asas konsensual namun tidak sesuai dengan asas itikad baik, asas kekuatan mengikat, asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian nasional.

PENUTUP

Berdasarkan penjelasan pada pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kerjasama pemasaran obat antara dokter dengan perusahaan farmasi adalah tidak diperbolehkan. Ditinjau dari kode etik kedokteran jelas-jelas melanggar. Dari segi kode etik perusahaan farmasi walaupun masih menunjukkan keragu-raguan namun secara tersirat dapat disimpulkan kerjasama antara dokter dan perusahaan farmasi adalah tidak diperkenankan kecuali pemberian sponsor dalam bentuk acara-acara ilmiah dalam rangka peningkatan keilmuan para dokter. Namun dalam kode etiknya terdapat larangan untuk mewajibkan secara tegas kepada para dokter yang disponsori untuk menuliskan resep obat produk perusahaan mereka. Kemudian ditinjau dari aspek hukum, sebagaimana kesimpulan dari penelitian Sri dkk di Bandung ,walaupun hubungan dokter denga perusahaan farmasi tidak dinyatakan dalam bentuk tertulis namun secara hukum perdata hubungan ini memenuhi asas konsensual namun tidak memenuhi asas itikad baik, asas kekuatan mengikat, asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian nasional.11

Yang menarik dari asas itikad baik ini adalah bahwa perjanjian yang dibuat antara dua pihak seyogyanya tidak merugikan pihak lain. Terkait ini perjanjian antara dokter dengan PBF sangat jelas merugikan pasien karena biaya promosi yang melambung dibebankan kepada harga obat yang ditagihkan kepada pasien.

(9)

sering melihat para medical representative perusahaan obat antri di tempat-tempat praktek dokter untuk melakukan semacam visitasi, yang tentu saja ada tujuan yang diharapkan dengan kunjungan tersebut. Terkait hal ini, beberapa langkah yang dapat dilakukan :

1. Sosialisasi kepada Dokter-dokter praktek bahwa hubungan kerjasama dokter dan perusahaan farmasi adalah sebuah pelanggaran terhadap hukum dan oleh karenanya dapat dikenakan sangsi secara hukum

2. Memperbaiki system pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia, ini yang paling penting.

3. Peran pemerintah dalam mengatur regulasi harga obat

4. Terus mendidik dan mencerdaskan masyarakat mengenai penggunaan obat

(10)

DAFTAR PUSTAKA

1. Hasbullahthabrany.BiayaObatBagiPesertaAskes di BerbagaiKlinik RSCM

diaksesdarihttp://staff.ui.ac.id/system/files/users/hasbulah/material/biayaobatpesertaaskesdirsc m.pdf

2. [RI] MenteriKesehatanRepublik Indonesia. 2006. KeputusanMenteriKesehatanRepublik Indonesia nomor189/MENKES/SK/III/2006 tentangKebijakanObatNasional. Jakarta (ID): RI.

3. Sriana Aziz et al.2000. AnalisisKomponenHargaObat. BuletinPenelitianKesehatan [internet] 28 (1):402.

tersediapadahttp://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/viewFile/2051/1232 4. [IDI] MajelisKehormatanEtikKedokteran Indonesia. 2004. KodeEtikKedokteranIndonesia

Dan PedomanPelaksanaanKodeEtikKedokteranIndonesia. Jakarta; USU.

5. International Pharmaceutical Manufactures Group. 2013. KodeEtik IPMG

TentangPraktikPemasaranProdukFARMASI RevisiJuli 2013 [Internet]. Jakarta; IPMG [diunduhtanggal18 Desember 2013]. Tersediapada: www.ipmg-online.com

6. Ray Moynihan. 2003. Who pays for the pizza? Redefining the relationships between doctors and drug companies [Internet].Inggris; BMJ [diunduhtanggal 18 Desember 2013]. Tersediapada: 10.1136/bmj.326.7400.1189

7. Ashley Wazana. 2000. Physicians and the Pharmaceutical IndustryIs a Gift Ever Just a Gift?FREE [Internet].Amerika; JAMA [diunduhtanggal18 Desember 2013]. Tersediapada: http://jama.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=192314

8. [RI] Menteri kesehatan republic Indonesia. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 189/MENKES/SK/III/2006 tentang kebijakan obat nasional. Jakarta [ID]: RI 9. Harmono SH. 2013. KerjasamaDokterdenganPerusahaanFarmasiMelanggarKodeEtikkah?

[Internet]. Jawa Tengah; SuaraJateng [diunduhtanggal 18 Desember 2013]. TersediaPada: http://www.suarajateng.com/2013/02/kerjasama-dokter-dengan-perusahaan.html

10. SugiriSyarief. 2006. PatofisiologiKorupsi Di BidangKesehatan: KajianBeberapaKasus Di Indonesia [Internet]. Jurnalmanajemenpelayanankesehatan 09;1. [diunduh 18 Desember 2013].

TersediaPada: www.jmpk-online.net/images/jurnal/2006/Vol_09_No_1_2006/02_MK_Sugiri Syarief_09_1.pdf

11. Sri Pujiastuti et al. 2004. Kerjasamapemasaranobatantaradokterdanpedagangbesarfarmasi di kotabandung, dihubungkandengankodeetikkedokterandankepmenkes no 3987/a/k/1973 MIMBAR [Internet] VOL XII NO 1.Tersediapada:

http://mimbar.lppm.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/File545

(11)

Referensi

Dokumen terkait

Unit pengolahan air payau menjadi air minum terdiri dari proses koagulasi, sedimentasi, oksidasi (reaktor) dan filtrasi bertingkat yang terdiri dari filter pasir,

Sebelum mengajar, mahasiswa praktikan terlebih dahulu membuat Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Pembelajaran yang akan dilakukan oleh praktikan harus sesuai

Organisasi yang baik adalah organisasi yang mempunyai struktur yang jelas sehingga dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diberikan, setiap orang pemangku jabatan memiliki

[r]

Subseksi Operasional Pelabuhan dan Kesyahbandaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a mempunyai tugas melakukan pelaksanaan pengumpulan data, informasi, dan

Penelitian ini dilakukan dengan metode analisis isi untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik dan penerapan kode etik jurnalistik dalam pemberitaan mengenai

Karena kini pengguna hijab banyak juga menggunakan pakaian-pakaian yang digunakan oleh mereka yang tak berhijab dengan sedikit modifikasi agar bisa disebut sebagai busana

Pada perencanaan pondasi, pemilihan jenis pondasi tiang pancang untuk berbagai jenis keadaan tergantung pada banyak variabel. Faktor - faktor yang perlu dipertimbangkan di