PENERAPAN WAJIB MILITER DI INDONESIA
Oleh: Patty Regina Rafli Fadilah Achmad
Valeryan Natasha
Universitas Indonesia Depok
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Kami yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Patty Regina Nama : Rafli Fadilah
NPM : 1106056075 NPM : 1206246313
Program Studi : Ilmu Hukum Program Studi: Ilmu Hukum
Nama : Valeryan Natasha
NPM : 1206251471
Program Studi: Ilmu Hukum Menyatakan bahwa artikel imiah yang berjudul :
PENERAPAN WAJIB MILITER DI INDONESIA
Benar-benar merupakan hasil karya pribadi dan seluruh sumber yang dikutip maupun dirujuk telah kami nyatakan dengan benar. Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat pelanggaran di dalamnya, kami siap untuk didiskualifikasi dari kompetisi ini sebagai bentuk tanggung jawab kami.
Depok, 12 Mei 2015
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN...4 II.PEMBAHASAN...5 II.1. Argumen Pro Wajib Militer di Indonesia...5
II.1.1. Wajib Militer Merupakan Suatu Wujud Nyata Bela Negara yang Merupakan Kewajiban Seluruh Warga Negara Indonesia...6 II.1.2. Wajib Militer Memperkuat Pertahanan Negara dan Kemampuan Komponen Cadangan Sebagai Potensi Pertahanan...7 II.1.3. Komponen Cadangan Adalah Komponen yang Tidak Kalah
Pentingnya dari Komponen Utama Dalam Sistem HANKAMRATA...8
II.2. Argumentasi Kontra Wajib Militer di Indonesia...9
II.2.1. Pemaknaan Bela Negara Tidak Terbatas Hanya Melalui Wajib Militer9 II.2.2. Ketiadaan Urgensi Wajib Militer dan Pemborosan APBN...10 II.2.3. Wajib Militer Tidak Disarankan dalam Dunia Internasional...11 II.2.4. Wajib Militer Menistakan Distinction Principle dalam Hukum
Humaniter Internasional (HHI)...12
III.PENUTUP...13
I.
PENDAHULUAN
Pentingnya pertahanan negara pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945).1 Sistem
pertahanan negara yang diterapkan di Indonesia dikenal sebagai HANKAMRATA (pertahanan dan keamanan rakyat semesta).2 Kata semesta dalam konteks ini
berarti sistem pertahanan yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.3
Sistem pertahanan negara Indonesia diatur secara spesifik di dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Dimana, di dalam undang-undang tersebut, diamanatkan bahwa pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer akan dilaksanakan oleh 3 (tiga) komponen, yaitu: komponen utama, komponen cadangan dan komponen pendukung. Komponen utama sendiri telah jelas terdiri atas Tentara Nasional Indonesia (TNI),4 sedangkan komponen
cadangan dan pendukung terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama.5 Komponen utama telah diatur lebih lanjut di dalam Undang-Undang No.
34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Namun demikian, komponen cadangan maupun pendukung belum diatur di dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
Salah satu isu nasional yang sempat menjadi isu hangat beberapa tahun terakhir adalah wajib militer. Isu ini awalnya naik ke permukaan karena disusunnya Rancangan Undang-Undang Komponen Cadangan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, yang kemudian akan menjadi dasar hukum wajib militer bagi warga sipil di Indonesia.6 Wajib militer yang hendak dicanangkan ini merupakan
terlebih dahulu.7 Ada beberapa warga yang mendapatkan pengecualian dalam
wajib militer, yaitu warga yang memiliki kecacatan fisik atau penyakit mental. Sejatinya, wajib militer telah menjadi landasan konsep bela negara sebagai sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.8 Hanya saja,
hingga saat ini, subyek wajib militer hanya merupakan komponen utama pertahanan negara saja, yaitu TNI. Pertanyaannya saat ini adalah, perlukah wajib militer juga diberlakukan bagi warga sipil dalam rangka meralisasikan perannya sebagai komponen cadangan pertahanan negara? Artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai pandangan pro maupun kontra terhadap pencanangan wajib militer bagi warga sipil di Indonesia.
II.
PEMBAHASAN
Berdasarkan Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang No. 3 Tahun 2002, komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama. Seperti yang sebelumnya telah dijabarkan, Pasal 8 Ayat (1) undang-undang yang sama juga menyatakan bahwa warga negara merupakan salah satu bagian dari komponen cadangan. Warga negara sebagai sumber daya manusia dalam komponen cadangan mencakup seluruh warga negara yang secara psikis dan fisik dapat dibina dan disiapkan kemampuannya untuk mendukung komponen kekuatan pertahanan negara.9
Calon anggota komponen cadangan wajib mengikuti pelatihan untuk penyegaran dan penyesuaian dengan penugasan pada masing-masing matra secara periodik, yang akan digolongkan berdasarkan pendidikan, pengalaman dan/atau peranannya dalam susunan tingkatan atau kepangkatan yang setara dengan kepangkatan prajurit TNI.10 Masa bakti komponen cadangan dalam wajib militer
adalah 5 (lima) tahun, yang dapat diperpanjang paling lama 5 (lima) tahun berikutnya.
II.1. Argumen Pro Wajib Militer di Indonesia
Menurut Anthony D. Smith, bahwa nasionalisme itu sendiri adalah suatu ideologi yang meletakan bangsa di pusat masalahnya dan berupaya mempertinggi keberadaannya atau mempertinggi derajat bangsa. Definisi praktis nasionalisme adalah suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan identitas, kesatuan dan otonomi bagi suatu populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu bangsa yang aktual atau bangsa yang potensial.11 Oleh
sebab itulah, bela negara merupakan suatu konkritisasi nyata nasionalisme, kecintaan warga negara pada negaranya. Di sisi lain, bela negara juga dapat memperkuat nasionalisme yang telah ada, atau bahkan belum ada.
Bela negara juga merupakan suatu kewajiban bagi seluruh warga negara Indonesia, yang diamanatkan dalam Pasal 27 UUD NRI 1945, yang berbunyi : “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.” Hal serupa juga diamantkan dalam Pasal 30 Ayat (2) UUD NRI 1945, bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Hubungan antara ‘usaha pertahanan dan keamanan negara’ sebagai perwujudan ‘bela negara’ sendiri diperjelas oleh Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2002, yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Menurut Ayat (2) Pasal yang sama, dijelaskan bahwa keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara, sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), diselenggarakan melalui:
a. pendidikan kewarganegaraan;
b. pelatihan dasar kemiliteran secara wajib;
c. pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib; dan
d. pengabdian sesuai dengan profesi.
Dalam Pasal ini nampak jelas bahwa pelatihan dasar kemiliteran secara wajib atau wajib militer sebagai bentuk upaya bela negara bukanlah hal yang baru, dan telah diwajibkan oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang telah ada dengan bermuara pada amanat konstitusi negara kita.
militer tentunya lebih mengena di hati warga negara dibandingkan hanya sekedar pengabdian lain yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari maupun sekedar teori pendidikan kewarganegaraannya saja tanpa praktik nyata.
II.1.2. Wajib Militer Memperkuat Pertahanan Negara dan Kemampuan Komponen Cadangan Sebagai Potensi Pertahanan
Tujuan utama dari dibentuknya komponen cadangan adalah untuk memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan Tentara Nasional Indonesia sebagai Komponen Utama dalam upaya penyelenggaraan pertahanan negara.12 Dalam konteks ini, penguatan pertahanan negara tidak hanya penting di
saat menghadapi perang, tetapi juga di masa damai meskipun tanpa konflik. Oleh sebab itu, sangat penting untuk mempersiapkan komponen cadangan, yaitu warga negara Indonesia, melalui wajib militer.
Kesiapan di saat akan menghadapi ancaman negara atau ancaman perang sudah jelas kepentingannya. Penjelasan Pasal 15 Ayat (9)(b)-(d) dari Undang-Undang No. 34 Tahun 2005 tentang TNI juga telah menyatakan dengan jelas bahwa komponen cadangan akan menjadi kekuatan pengganda dalam organisasi kekuatan pertahanan negara dan kegunaannya dalam membantu keseluruhan sistem pertahanan dalam menghadapi ancaman. Oleh sebab itu, direalisasikannya wajib militer melalui RUU Komponen Cadangan merupakan kewajiban negara sebagai bentuk tindak lanjut dari amanat dalam Undang-Undang TNI pula.
Di luar kebutuhan dalam menghadapi perang, ancaman bagi keamanan dan pertahanan negara tidak sebatas itu saja, tetapi juga dalam bentuk kekacauan yang mungkin terjadi di masyarakat.13 Oleh sebab itu, Pasal 5 di dalam RUU
Komponen Cadangan menyebutkan bahwa dalam keadaan damaipun komponen cadangan akan dibina dan disiapkan sebagai ‘potensi’ pertahanan. Artinya, para legislator juga sudah menyadari bahwa pentingnya menyiapkan pertahanan tidak hanya di kala negara hendak berperang saja. Wajib militer akan membekali warga sipil dengan kemampuan militer atau membela diri yang sewajarnya, sehingga warga negara yang telah menjadi subyek militerpun juga dapat menggunakan kemampuan ini di dalam kehidupan sehari-harinya, misalnya dalam menghadapi ancaman terhadap hidupnya dari penjahat atau kriminal, dan sebagainya.
Konsep sistem pertahanan dan keamanan HANKAMRATA (SISHANKAMRATA) pertama kali dituangkan dalam peraturan pada Undang-Undang No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia, dimana komponen SISHANKAMRATA terdiri atas :
a. rakyat terlatih sebagai komponen dasar;
b. angkatan bersenjata beserta cadangan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama;
c. perlindungan masyarakat sebagai komponen khusus;
Semakin jelas bahwa kebutuhan melatih rakyat sebagai salah satu komponen SISHANKAMRATA telah muncul sejak bertahun-tahun yang lalu.14
Pada intinya, warga negara sebagai komponen cadangan butuh disiapkan melalui pendidikan militer yang diwajibkan. Mengapa penting bagi warga negara untuk dipersiapkan? Karena pada SISHANKAMRATA, pada hakekatnya segala upaya pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri. Makna kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri ini memerlukan 2 (dua) bentuk dorongan dari negara, yaitu melalui persiapan secara kekuatan militer, serta memperkuat ‘kesadaran’ atas hak dan kewajiban warga negara dan bagi mereka untuk memiliki keyakinan pada kekuatan mereka sendiri.
Kesimpulannya, wajib militer memiliki manfaat secara praktis (peningkatan kekuatan militer itu sendiri) dan ideologis (memperkuat kesadaran hak dan kewajiban warga negara serta membuat mereka memiliki keyakinan) dan hal ini penting karena komponen cadangan yang siap dan mampu adalah tidak kalah penting dibandingkan komponen utama itu sendiri dalam
SISHANKAMRATA.15
II.2. Argumentasi Kontra Wajib Militer di Indonesia
II.2.1. Pemaknaan Bela Negara Tidak Terbatas Hanya Melalui Wajib Militer
Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tepatnya pada poin (d) menuliskan bahwa bela negara juga dapat dilakukan oleh warga negara sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Kontribusi sesuai dengan bakat dan kemampuan artinya tiap-tiap warga negara bebas memilih bentuk bela negara yang ingin ia lakukan. Di antaranya, bisa melalui pekerjaan atau profesi yang ia tempuh dalam kehidupan sehari-harinya. Misalnya saja pengabdian sebagai guru, dokter, pengusaha, pekerja kantor, atau bahkan petugas kebersihan sekalipun. Penafsiran ini didasari pada fakta bahwa bakat dan kemampuan setiap warga negara berbeda-beda, dan bahwa hal yang perlu dibela dari negara bukan hanya dari segi militer saja, tetapi juga aspek-aspek lain dalam bernegara.16 Contohnya saja, guru melakukan bela negara
dengan cara memajukan tingkat pendidikan di Indonesia, dokter memperbaiki tingkat kesehatan warga negara di Indonesia, pengusaha memperkuat kekuatan ekonomi negara Indonesia, dan petugas kebersihan menjaga kelayakan hidup di Indonesia.
Pada kenyataannya, jika kontribusi seluruh warga negara itu disamaratakan melalui wajib militer, yang belum tentu sesuai bakat dan kemampuan masing-masing, justru membuat praktik bela negara warga negara Indonesia menjadi tidak efektif. Nyatanya, bahkan tanpa adanya wajib militerpun tetap saja ada warga yang minat dan bakatnya memang di bidang militer dan tetap mendaftar sebagai anggota TNI.17
Di sisi lain, justru wajib militer bagi seluruh warga negara berpotensi menimbulkan pelanggaran hak bagi warga terkait sebagai subyek wajib militer. Hak-hak yang dilanggar di antaranya adalah hak atas kebebasan pribadi sebagaimana yang dijabarkan di dalam Bagian Kelima Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Setiap orang seharusnya dapat bebas memilih jalan hidupnya, mendapatkan hak dan memilih cara menjalankan kewajibannya sebagai seorang warga negara. Penerapan wajib militer akan membatasi kebebasan ini dan menyempitkan arti pemenuhan kewajiban seorang warga negara.
II.2.2. Ketiadaan Urgensi Wajib Militer dan Pemborosan APBN
nantinya ditujukan menambah kekuatan pertahanan militer Indonesia sebetulnya tidak diperlukan. Terlebih lagi, tanpa wajib militerpun kekuatan militer Indonesia saat ini sudah lebih dari cukup. Contohnya saja, Komandan Pasukan Khusus (KOPASSUS) yang berada di bawah TNI Angkatan Darat, telah mendunia reputasinya sebagai salah satu dari sepuluh angkatan bersenjata terbaik di dunia.18
Ini artinya, di luar kuantitas sendiri, kualitas komponen utama pertahanan negara Indonesia sudah sangat kuat.
Wajib militer yang sebetulnya tidak diperlukan ini, bahkan jika dipaksakan pelaksanaannya hanya akan menimbulkan pemborosan anggaran negara. Bisa kita bayangkan, ada seberapa banyak warga negara Indonesia yang termasuk dalam kriteria subyek wajib militer berdasarkan RUU Komponen Cadangan. Negara kemudian harus mengeluarkan uang untuk membentuk fasilitas pelatihan bagi jutaan warga ini, tidak hanya dalam bentuk fasilitas latihan militer saja, tetapi juga tempat tinggal selama masa bakti dan uang saku bagi setiap orangnya. Seberapa besar anggaran yang harus dialokasikan untuk kebutuhan yang tidak urgen ini, padahal justru anggaran yang besar tersebut dapat dialokasikan untuk kegunaan yang lebih baik, seperti sektor pendidikan dan kesejahteraan sosial lainnya.
Kesulitan dari segi logistik yang membutuhkan dana yang besar ini merupakan hal yang nyata, buktinya negara-negara yang sampai saat ini menerapkan wajib militer merupakan negara yang ukurannya relatif kecil dan jumlah warga negara yang sedikit,19 misalnya saja Korea Selatan, Singapura, dan
Swiss. Negara yang kecil dan warga negara yang sedikit mengakibatkan kekuatan militerpun terbatas, sehingga dibutuhkan wajib militer untuk merekrut kekuatan tambahan. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan situasi di Indonesia yang jumlah penduduknya sangat banyak dan bentuk negara yang kepulauan, serta kekuatan militer yang dari awalnya sudah lebih dari cukup.
II.2.3. Wajib Militer Tidak Disarankan dalam Dunia Internasional
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di dalam resolusi Komisi Hak Asasi Manusia (HAM)-nya No. 83 Tahun 1995 menyatakan bahwa tidak ada suatu hal serupa wajib militer, karena setiap orang memiliki hak untuk menolak partisipasi di dalam suatu wajib militer. Hal ini diafirmasi kembali melalui Resolusi Komisi HAM PBB No. 77 Tahun 1998, yang mendasari hak untuk menolak ini, yang kemudian dikenal dengan istilah conscientious objection.21
Beberapa negara yang sebelumnya mencanangkan wajib militerpun akhirnya telah meniadakan konsep ini akibat adanya hak conscientious objection, salah satunya yang paling eksplisit adalah Jerman. Di Jerman, conscientious objection bahkan sudah diakui sebagai suatu hak konstitusional setiap warga negara. Conscientious objection secara harafiah dapat diartikan sebagai penolakan yang bersungguh-sungguh sebenarnya merupakan penolakan seseorang terhadap wajib militer berdasarkan kepercayaannya (belief).22 Negara-negara lain di Benua
Eropa juga sudah melakukan hal yang sama, misalnya Belgia, Finlandia, Italia, dan berbagai negara lainnya.23 Penolakan ini dipandang sebagai bagian dari hak
asasi manusia berdasarkan Pasal 18 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, mengenai kebebasan berpikir, hati nurani dan agama.24 Meski terkesan
bahwa conscientious objection didasarkan oleh kepercayaan dan agama, namun hak ini juga melindungi individu-individu non-believers dalam memiliki kebebasan nuraninya.25
II.2.4. Wajib Militer Menistakan Distinction Principle dalam Hukum Humaniter Internasional (HHI)
Salah satu dari tiga pilar utama dalam HHI adalah prinsip distinction, atau prinsip pembedaan. Prinsip ini pada dasarnya mewajibkan para pihak yang terlibat dalam suatu konflik bersenjata untuk membedakan antara combatant / kombatan (pihak yang terlibat langsung dalam konflik bersenjata) sebagai pihak yang dapat dijadikan target serangan dan civilians (warga sipil) yang tidak boleh dijadikan target serangan.26 Hal tentang pembedaan perlakuan antara sipil dan militer juga
Status kombatan secara inheren melekat pada angkatan bersenjata termasuk kelompok sipil bersenjata (militan) yang secara tegas telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Terhadap sipil bersenjata secara khusus hukum humaniter mewajibkan negara untuk secara jelas mengumumkan mana saja kelompok sipil bersenjata yang dikategorikan sebagai kombatan.27
Dengan dicanangkannya wajib militer, prinsip pembedaan dalam HHI tidak akan lagi berlaku bagi para warga sipil yang menjadi subyek wajib militer. Hal ini dikarenakan, para warga sipil yang mengikuti wajib militer akan kemudian dalam konflik bersenjata statusnya akan berubah dari civilians menjadi kombatan yang akan bersenjata dan kehilangan proteksi yang diberikan oleh HHI kepada warga sipil. Hal ini tentunya sesuatu yang sangat tidak diinginkan oleh pihak manapun, karena sebetulnya warga sipil memang tidak ditakdirkan untuk
2. Persyaratan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah : a. warga negara Indonesia yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun; b. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
d. sehat jasmani dan rohani.
3. Persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan faktor keahlian dan keterampilan sesuai kebutuhan. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai latihan dasar kemiliteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dan persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
III.PENUTUP
Pandangan yang pro terhadap penerapan wajib militer di Indonesia beranggapan bahwa wajib militer merupakan suatu wujud nyata bela negara yang merupakan kewajiban seluruh warga negara Indonesia. Selain itu, wajib militer juga dianggap mampu memperkuat SISHANKAMRATA, dimana komponen cadangan kedudukannya dianggap tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan komponen utama sendiri.
1 Indonesia, Undang-Undang tentang Pertahanan Negara, UU No, 3 Tahun 2002, LN No. 3 Tahun 2002, TLN
No. 4169, Konsiderans Poin (a)
2 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, UUD NRI 1945, Pasal 30 Ayat (2)
3 Indonesia, Undang-Undang tentang Pertahanan Negara, UU No, 3 Tahun 2002, LN No. 3 Tahun 2002, TLN
No. 4169, Pasal 1 Ayat (2)
4 Indonesia, Undang-Undang tentang Pertahanan Negara, UU No, 3 Tahun 2002, LN No. 3 Tahun 2002, TLN
No. 4169, Pasal 7 Ayat (2)
5 Indonesia, Undang-Undang tentang Pertahanan Negara, UU No, 3 Tahun 2002, LN No. 3 Tahun 2002, TLN
No. 4169, Pasal 8
6 Indra Akuntono, DPR: RUU Komponen Cadangan Beda dengan Wajib Militer,
http://nasional.kompas.com/read/2013/05/31/15261992/DPR.RUU.Komponen.Cadangan.Beda.dengan.Wajib.Militer, diakses pada 2 Juni 2015
7 Tegar Arief Fadly, Bakal Ada Wajib Militer di Indonesia,
http://news.okezone.com/read/2013/05/22/339/810970/bakal-ada-wajib-militer-di-indonesia, diakses pada 2 Juni 2015
8 Indonesia, Undang-Undang tentang Pertahanan Negara, UU No, 3 Tahun 2002, LN No. 3 Tahun 2002, TLN
No. 4169, Pasal 9 Ayat (1)
9 Indonesia, Rancangan Undang-Undang tentang Komponen Cadangan Pertahanan Negara, per tanggal 20
Juni 2013, Pasal 1 Ayat (3)
10 Peter Rowe, The Impact of Human Riights Law on Armed Forces, Cambridge University Press, 2006, h. 9 11 A. Kardiyat Wiharyanto, Perkembangan Nasionalisme di Asia Tenggara, Penerbit Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta, 1996, h. 2
12 Kusnanto Anggoro, Pengelolaan Sumber Daya Pertahanan (dan Keamanan) Negara, Propatria Institute,
Jakarta, 2006, h. 12
13 Amos Perlmutter, Militer dan Politik. CV Rajawali, Jakarta, 1986, h. 94
14 Hari T. Prihatono, Mencari Format Komprehensif Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara, Propatria
Institute, Jakarta, 2006, h. 19
15 Komaruddin Hidayat, Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa, Mizan Republika,
Jakarta, 2008, h. 329
16 Alex Suseno, Strategi Pembudayaan Kesadaran Hak Bela Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, h.
35
17 Peter Rowe, loc.cit.
18 Survey, Top 10 Deadliest Forces of The World,
http://thewondrous.com/top-10-deadliest-forces-of-the-world/, diakses pada 2 Juni 2015
19
Icha Rastika, Anies: Wajib Militer Tak Mungkin di Indonesia, http://nasional.kompas.com/read/2013/06/02/21592276/Anies.Wajid.Militer.Tak.Mungkin.di.Indonesia, diakses pada 29 Mei 2015
20 Ibid
21 United Nations High Comission for Human Rights, Conscientious Objection to Military Service, Comission
on Human Rights Resolution 1998/77
22 Tim Imparsial, Reformasi di Persimpangan: Rancangan Komponen Cadangan Pertahanan Negara,
Imparsial, Jakarta, 2008, h. xiii
23 Ibid
24 Arlina Permanasari, et al., Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, h. 10
25 Comission on Human Rights. Civil and Political Rights, Including the Question of Conscientious Objection
to Military Service, Report of the High Comissioner submitted pursuant to Comission Resolution 2000/34, E/CN. 4/2002/WP.2 of March 14, 2002, h. 3
26 Jean-Marie Henckaerts, Customary International Humanitarian Law, Volume I Rules, ICRC, Jenewa, 2005,
h. 3-24
27 KGPH Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005, h. 73 28 Ibid.
Akuntono, Indra. DPR: RUU Komponen Cadangan Beda dengan Wajib Militer. http://nasional.kompas.com/read/2013/05/31/15261992/DPR.RUU.Komponen.Cadangan.Beda.dengan.Wajib. Militer diakses pada 2 Juni 2015.
Anggoro, Kusnanto. 2006. Pengelolaan Sumber Daya Pertahanan (dan Keamanan) Negara, Jakarta: Propatria Institute.
Comission on Human Rights. Civil and Political Rights. Including the Question of Conscientious Objection to Military Service. Report of the High Comissioner submitted pursuant to Comission Resolution 2000/34, E/CN. 4/2002/WP.2 of March 14, 2002.
Fadly, Tegar Arief. Bakal Ada Wajib Militer di Indonesia. http://news.okezone.com/read/2013/05/22/339/810970/bakal-ada-wajib-militer-di-indonesia diakses pada 2 Juni 2015
Haryomataram, KGPH. 2005. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Henckaerts, Jean-Marie. 2005. Customary International Humanitarian Law (Volume I Rules). Geneva: ICRC.
Hidayat, Komaruddin. 2008. Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa. Jakarta: Mizan Republika.
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. UUD NRI 1945.
________, Undang-Undang tentang Pertahanan Negara UU No, 3 Tahun 2002. LN No. 3 Tahun 2002. TLN No. 4169.
Parlemen.go.id. Rancangan Undang-Undang tentang Komponen Cadangan Pertahanan Negara. http://parlemen.net/sites/default/files/dokumen/130609-090613-Naskah%20RUU%20Komcad%20Jun13.pdf per tanggal 20 Juni 2013, diakses pada 2 Juni 2015.
Perlmutter, Amos. 1986. Militer dan Politik. Jakarta: CV Rajawali.
Permanasari, Arlina, et al. 1999. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: ICRC.
Prihatono, Hari T. 2006. Mencari Format Komprehensif Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara. Jakarta: Propatria Institute.
Rastika, Icha. Anies: Wajib Militer Tak Mungkin di Indonesia.
http://nasional.kompas.com/read/2013/06/02/21592276/Anies.Wajid.Militer.Tak.Mungkin.di.Indonesia diakses pada 29 Mei 2015.
Rowe, Peter. 2006. The Impact of Human Rights Law on Armed Forces. Cambridge: Cambridge University Press.
Survey. Top 10 Deadliest Forces of The World. http://thewondrous.com/top-10-deadliest-forces-of-the-world/ diakses pada 2 Juni 2015.
Suseno, Alex. 2000. Strategi Pembudayaan Kesadaran Hak Bela Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tim Imparsial. 2008. Reformasi di Persimpangan: Rancangan Komponen Cadangan Pertahanan Negara. Jakarta: Imparsial.
United Nations High Comission for Human Rights. Conscientious Objection to Military Service. Comission on Human Rights Resolution 1998/77.