• Tidak ada hasil yang ditemukan

284127668 Abdulafaiqunair Analisis Terhadap Kepemimpinan Perempuan Dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "284127668 Abdulafaiqunair Analisis Terhadap Kepemimpinan Perempuan Dalam"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TERHADAP KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM

BIROKRASI PEMERINTAHAN

(Studi Terhadap Kepemimpinan Perempuan di Kabupaten Tuban Jawa Timur)

Oleh:

Abdullah Faiq

NIM: 090210503L

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS AIRLANGGA

(2)

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2004

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan baik. Dalam proses penulisan tesis ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepeda:

Prof. H. Kuntoro, dr., MPH, DrPH selaku pembimbing ketua dan Drs. Jusuf Irianto, M. Com yang dengan tulus dan ikhlas bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta perhatian yang tinggi telah memberikan dorongan, bimbingan dan arahan mulai dari penyusunan proposal sampai dengan penyusunan tesis ini.

Prof. Dr. Med. Puruhito, dr. selaku Rektor Universitas Airlangga atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan pendidikan program Magister di Universitas Airlangga.

Prof. Dr. H. Muhammad Amin, dr., spP (K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Airlangga yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Magister.

Prof. Dr. Haryono Suyono, MA., Ph.D., selaku Ketua Program Studi Ilmu PSDM yang selalu memberikan dorongan penuh dengan wawasan dan ide yang cemerlang dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Dr. H. Haryadi Soeparto, dr., DOR., APU, selaku Keua Peminatan Pemerintahan Program Studi Ilmu PSDM yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, dan dorongan selama penulis mengikuti studi dan penulisan tesis.

(3)

memberikan arahan, dorongan yang tinggi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Seluruh Dosen Ilmu PSDM yang telah memberikan bekal bagi penulis melalui materi-materi kuliah yang serius dan sangat bermanfaaat serta bernilai guna tinggi dalam penyempurnaan penulisan tesis ini. Juga kepada seluruh Tenaga Administrasi yang dengan tulus ikhlas melayani keperluan penulis selama menjalani studi dan penulisan tesis ini.

Ketua Tim dan Anggota Tim Penguji tesis yang telah memberikan pemecahan, saran, dan masukan yang bermanfaat guna penyempurnaan tesis ini.

Bupati Dra. Haeny Relawati Rini Widyastuti, M. Si kabuaten Tuban Jawa Timur yang telah menyediakan fasilitas untuk memudahkan penelitian dan penulisan tesis ini, dan kepada bapak Theo dan seluruh jajaran pegawai kabupaten, yang juga membantu kelancaran penulisannya.

Ayahanda Muhriy Syarkaniy (Alm.), Ibunda Hj. Noor Jannah yang telah memberikan do’a, bekal, panutan, petuah, nasehat tentang kesabaran, keuletan dan ketekunan yang tiada henti-hentinya. Juga kepada saudaraku Achmad Jayyid beserta Istri, H. Achmad Tahris beserta Istri, Achmad Chufaf beserta Istri, dan saudara-saudaraku yang tidak sempat penulis sebutkan yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan pendidiksn, dan tidak lupa kepada keponakanku Maimunah Syarifah yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Teristimewa untuk sahabat karibku Drs. Wahyu Dwi Prasetyodjati, dan Mukarramah, S. Hi yang selalu memberikan semangat dan dukungan penuh, teriring do`a yang dalam, dengan kesabaran menemani penelitian penulis di kabupaten Tuban, dan menanti kesabaran penulis selama mengikuti pendidikan ini.

Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu PSDM angkatan tahun 2002 yang selalu tulus dan saling membantu dalam menempuh pendidikan di Program Magister Universitas Airlangga ini.

(4)

Semoga tesis ini bermanfaat bagi penulis dan bagi semua pihak yang berkepentingan.

Surabaya, 17 September 2004

(5)

RINGKASAN

Kepemimpinan perempuan menjadi isu publik yang selalu

diperbincangkan, dan telah memancing polemik dan debat antara yang pro dan

kontra terhadap pemimpin perempuan dalam sebuah negara, kendatipun

pengakuan atas hak dasar kemanusiaan tampak mengalami peningkatan yang

signifikan diberbagai belahan dunia. Pengakuan ini juga berlaku atas hak

perempuan sebagaimana yang sejajar dengan laki-laki.

Doktrin Agama seringkali dijadikan untuk membenarkan tindakan tidak

adil dan bahkan tindakan kekerasan terhadap kaum perempuan. Doktrin Agama

dianggap sebagai sesuatu yang baku dan tidak bisa ditafsirkan, sehingga posisi

marginal perempuan dalam Agama dianggap takdir yang tidak dapat diubah.

Selain Agama, budaya juga mempengaruhi terbentuknya struktur dan sosial

politik yang timpang di masyarakat, sehingga perempuan yang pada posisi lemah

hanya bisa bertahan dalam budaya patriarkhi.

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas, maka

dalam penelitian ini menggunakan penelitian observasional dengan pendekatan

survai dan bertujuan untuk menganalisis kepemimpinan perempuan dalam

birokrasi pemerintahan. Perspektif yang diambil untuk menganalisis

kepemimpinan perempuan adalah perspektif sosial politik, Agama, dan budaya.

Ketiga faktor tersebut, mempunyai pengaruh besar dalam penentuan kontruksi

masyarakat yang meneguhkan idiologi jender yang bias.

Dari hasil pengujian statistik dengan menggunakan uji F menunjukkan ada

pengaruh gaya kepemimpinan, faktor sosial, agama, budaya secara bersama –

sama terhadap prestasi kerja Bupati di Kabupaten Tuban, namun hanya 29,1 %

perubahan variabel Y disebabkan oleh perubahan variabel X1 sampai X4. Sedangkan sisanya yaitu 79,9 % disebabkan oleh variabel lain yang tidak masuk

(6)

Maka hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara

variabel gaya kepemimpinan (X1) terhadap prestasi kerja bupati Kabupaten Tuban. Sedangkan untuk variabel faktor sosial (X2), budaya (X3) agama (X4) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi kerja bupati Kabupaten Tuban.

Dengan demikian faktor eksternal seperti sosial politik, budaya dan agama bukan

merupakan faktor yang menghalangi prestasi dan kemampuan kerja dari Bupati

(7)

SUMMARY

ANALYSIS ON WOMAN LEADERSHIP IN GOVERNMENTAL BUREAUCRACY

Abdullah Faiq

Woman leadership becomes an interesting public issue, resulting in polemics and debates between those who support and those who refuse the leadership of woman in a country, although the recognition of human fundamental rights has become increasingly significant worldwide. This recognition is also in effect for the rights of woman, which are equal to those of man. The recognition of human rights is manifested in the various efforts attempted by thousands of activists in humanity movements, particularly the feminists or those who strive for the rights of woman.

Unfortunately, religious doctrines are often used to justify injustice actions, even violence, against woman. Those doctrines are regarded as strict and uninterpretable, so that marginal position of woman in religion is seen as unchangeable fate. In addition to religion, culture also affects the formation of unfair social and political structure in the society, so that woman in her disadvantageous position can only survive within a depressing patriarchal culture. Based on those considerations, this study was aimed to analyze woman leadership in governmental bureaucracy. Perspectives taken to analyze woman leadership were from social, political, religious, and cultural perspectives. These three factors have major influence in determining social construction in establishing biased gender ideology.

(8)

ABSTRACT

ANALYSIS ON WOMAN LEADERSHIP IN GOVERNMENTAL BUREAUCRACY

Abdullah Faiq

This study was aimed to analyze woman leadership in governmental bureaucracy. Perspectives taken to analyze woman leadership were from social, political, religious, and cultural perspectives. These three factors have major influence in determining social construction in establishing biased gender ideology.

Results of statistical analysis using F test revealed simultaneous influence of leadership style, social factor, religious factor, and cultural factor on the achievement of Bupati at the District of Tuban. However, it was only 29.1% of the change in variable Y affected by the change in variable X1 to X4. The rest 79.9% were caused by other variables not included in the model. Additionally, there was significant influence of the variable of leadership style (X1) on the achievement of the Bupati of the District of Tuban, while social (X2), cultural (X3), and religious (X4) variables had no significant influence on the achievement of the Bupati of Tuban. Conclusively, external factors, such as social, political, cultural, and religious factors, are not obstacles for working capability and achievement of the Bupati of Tuban.

(9)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Realitas menunjukkan bahwa peristiwa sejarah banyak dipengaruhi oleh persoalan kepemimpinan. Keberhasilan manajemen pemerintahan akan ditentukan oleh efektivitas kepemimpinannya, sehingga kepemimpinan atau leadership dapat dikatakan inti dari manajemen pemerintahan. Kepemimpinan merupakan sebuah proses yang saling mendorong melalui keberhasilan interaksi dari perbedaan individu, mengontrol daya manusia dalam mengejar tujuan bersama (Inu Kencana, 2003). Jadi kepemimpinan merupakan kehendak mengendalikan apa yang terjadi, pemahaman merencanakan tindakan, dan kekuasaan untuk meminta penyelesaian tugas, dengan menggunakan kepandaian dan kemampuan orang lain secara kooperatif (Donald, 1998).

(10)

Semakin disadari bahwa terlepas dari meningkatnya pengetahuan dan keterampilan berkat pendidikan yang semakin tinggi, cara terbaik untuk memuaskan berbagai kebutuhan tersebut adalah dengan menggunakan berbagai jalur organisasi (pemerintahan). Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa semakin kompleks kebutuhan seseorang, semakin banyak organisasi yang diikutinya, baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan, agama, dan sosial.

Berbarengan dengan menikngkatnya kebutuhan untuk bergabung dalam berbagai organisasi, semakin berkembang pula persepsi yang berkisar pada pandangan bahwa dalam kehidupan organisasional perlu dijamin keseimbangan antara hak dan kewajiban seseorang. Dalam hubungan organisasi dengan para anggotanya, sering dirumuskan bahwa hak organisasi diperolehnya melalui penunaian kewajiban oleh para anggotanya dan sebaliknya hak para anggota organisasi merupakan kewajiban organisasi untuk memenuhinya. Pandangan demikian mengejawantah pada tuntuatan adanya kepemimpinan yang adil dan demokratis dalam organisasi yang bersangkutan (Sondang, 1999).

Dalam kepemimpinan pemerintahan ada tiga hal yang boleh diputuskan, yaitu boleh mendirikan rumah tahanan bagi masyarakatnya (penjara), boleh menghukum masyarakatnya (sanksi), dan boleh memungut harta masyarakatnya (pajak). Akan tetapi pemerintah juga perlu melayani masyarakatnya dengan baik dari hasil pajak dan retribusi masyarakat (Inu Kencana, 2003).

(11)

yang bersangkutan. Bahkan kiranya dapat diterima sebagai suatu trueisme, apabila dikatakan bahwa mutu kepemimpinan yang terdapat dalam suatu pemerintahan memainkan peranan yang sangat dominan dalam keberhasilannya menyelenggarakan berbagai kegiatannya. Seorang pemimpin harus memahami ciri khas kontrak sosial dan moral antara pemimipin dan pendukungnya. Dalam hal kekuasaan, pemimpin bergantung pada pengikutnya, dan sampai batas tertentu, kemampuannya akan membuktikan hasil. Oleh karena itu, ia harus bisa bekerja sama dengan mereka untuk mencapai sasaran yang telah disepakati (Donald, 1998).

Pemerintahan mempunyai kewenangan untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara, ke dalam maupun ke luar. Oleh karenanya pertama harus mempunyai kekuatan militer atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan perang, kedua harus mempunyai kekuatan legislatif yang berfungsi membuat undang-undang, yang ketiga harus mempunyai kekuatan finansial atau kemampuan untuk mencukupi keuangan rakyatnya dalam rangka membiayai kebutuhan negara dalam rangka penyelenggaraan peraturan. Hal tersebut dalam rangka penyelenggaraan kepentingan negara.

(12)

pada agamanya dan ada yang sebaliknya mereka lebih mengedepankan agama dari pada adat, dan budayanya. Perdebatan mengenai status hukum kaum perempuan yang terdapat dalam sunnatullah maupun ketentuan fitrah yang lain mulai dari instink, kasih sayang model berfikir serta ketentuan yang tidak bisa dirubah lagi kecuali adanya kemampuan di dalam kerangka berfikir itu sendiri (tholchah, dalam Paradigma Gender 2003).

Di penghujung tahun 1998 yang lalu, di Indonesia wacana pemimipin perempuan telah mencuat ke permukaan. Dalam catatan kami diskursus wacana pemimipin perempuan telah memancing polemik dan debat antara yang pro maupun kontra terhadap pemimpin perempuan dalam sebuah negara. Apalagi dalam masyarakat yang secara umum bersifat patrilinial, yakni memuliakan kaum laki-laki dalam semua aspek kehidupan. Sekali pun sejarah menunjukkan bahwa banyak sekali pemimpin perempuan yang sukses dalam memimpin sebuah bangsa. Ini merupakan sebuah fenomena yang tidak dapat disangkal lagi, bahwa perempuan sekarang ini telah tampil menduduki berbagai jabatan penting dalam masyarakat (Awuy, 1999).

Dalam Tap MPR No. II/1973 dinyatakan, bahwa calon presiden dan wakil presiden ialah orang Indonesia asli dan memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

a. Warga Negara Indonesia. b. Telah berusia 40 tahun.

(13)

d. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

e. Setia kepada cita-cita proklamasi 17 Agustus 45, Pancasila, dan UUD 45. f. Bersedia menjalankan haluan negara menurut garis besar yang telah

ditetapkan. g. Berwibawa. h. Jujur. i. Cakap. j. Adil.

k. Dukungan dari rakyat yang tercermin dalam Majelis (AM. Fatwa,1997). Dari dasar ketetapan MPR di atas, jelas tidak peduli apakah dia laki-laki atau perempuan asal memenuhi syarat-syarat di atas, jadilah ia seorang presiden atau wakil presiden (pemimpin publik).

Indonesia sebagai negara yang demokratis dan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) secara universal tidak mengenal paham diskriminasi jender. Terlebih lagi, jika di tinjau dari segi hukum positif (UUD 45), yang berlaku di negara Indonesia tidak ada satu pun undang-undang yang melarang seorang perempuan menjadi pemimpin publik. Oleh karena itu rekomendasi yang menolak kehadiran pemimipin perempuan sangat bertolak belakang dengan iklim di tingkat internasional yang begitu gencar memperjuangkan harkat martabat kaum perempuan untuk meraih kesempatan yang sama dalam aspek kehidupan sosial berbangsa dan bernegara.

(14)

perempuan menjadi pemimpin publik. Kendati pun demikian, Al-Qur`an tidak pernah menganut suatu faham yang memberikan keutamaan pada jenis kelamin (gender) tertentu, atau pun mengistimewakan suku tertentu. Laki-laki dan perempuan, dan suku bangsa mana pun mempunyai potensi yang sama untuk menjadi seorang pemimpin publik (khalifah) dan hamba Allah (`abid). Hanya saja yang dapat membedakan di sisi Allah adalah ketaqwaan manusia itu sendiri (Said Aqil, 1999).

(15)

Sedangkan hadits shahih yang diceritakan Imam Bukhari (seorang perawi hadits) “Lan yafliha qaumun wallau amrahum imra`atan”, yakni Tidak akan bahagia suatu kaum apabila urusannya diserahkan kapada seorang perempuan. Jika ditelusuri sebab-sebab munculnya, menurut Ahmad ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H), hadits tersebut bermula dari kisah Abdullah ibn Hudzafah, kurir Rasulullah saw. yang menyampaikan surat ajakan masuk Islam terhadap Kisra Anusyirwan, penguasa Persia yang beragama Majusi. Ternyata ajakan tersebut ditanggapi sinis dengan merobek-robek surat yang telah dikirimkan Nabi saw. Dari laporan tersebut Nabi saw memiliki firasat bahwa Imperium Persia kelak akan terpecah belah sebagaimana Anusyirwan merobek-robek surat tersebut. Tidak berapa lama, firasat itu terjadi, hingga akhirnya kerajaan tersebut dipimpin putri Kisra yang bernama Buran. Mendengar realita negeri Persia yang dipimpin wanita, Nabi saw berkomentar: “lan yufliha qaumun wallau amrahum imra`atan”. Komentar Nabi saw. ini sangat argumentatif, karena kapasitas Buran yang lemah di bidang kepemimpinan.

(16)

perempuan sebenarnya hanya merupakan pandangan kultural pada masa lampau, yakni memposisikan perempuan semata-mata sebagai sub ordinatif. Penilaian itu bukanlah suatu yang mutlak, melainkan terus berubah sejalan dengan perkembangan zaman yang dinamis. Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan dan teknologi serta kondisi tatanan masyarakat pada suatu masa sangat mempengaruhi pola berpikir setiap manusianya.

Pada hakekatnya, esensi dari kepemimpinan nasional terletak pada moral, kualitas dan kapabilitasnya. Apalagi situasi dan kondisi politik Indonesia saat ini sangat rawan dengan terjadinya disintegrasi, dimana tingkat kemajemukan sangat tinggi. Karenanya, sangat diperlukan seorang negarawan yang menegakkan kepemimpinan lintas rasial, etnis agama, berwawasan kemanusiaan yang modern dan tidak mengeksploitasi perbedaan itu.

Perempuan mempunyai hak untuk menikmati hak-hak politik, memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam menggapai hak untuk dipilih sebagai pemimpin publik dan hak untuk menduduki jabatan politik. Pemahaman yang melarang tampilnya kaum perempuan sebagai pemimpin publik, hanya didasarkan pada pemahaman nash secara tekstual interpretatif. Jika nash yang dianggap sebagai landasan larangan itu dipahami dengan memberikan interpretasi secara kontekstual, akan diperoleh hukum yang memperbolehkan seorang perempuan tampil sebagai pemimipin publik.

(17)

Jawa Timur yang dimungkinkan adanya aplikasi yang tidak pada tempatnya seperti penyusupan perempuan dalam politik itu selalu dikalim dengan negatif, pada hal semua itu tidak terlepas dari peran kaum lak-laki. Di sini Saya sebagai penulis hanya berusaha mencari kebenaran dan kebaikan bagi Bangsa dan Negara.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan atas fenomena yang mengedepankan pada latar belakang pemikiran di atas, maka dalam tulisan ini dapat dirumuskan permasalahnnya sebagai berikut:

1. Apakah ada pengaruh gaya kepemimpinan, faktor sosial politik, budaya, dan agama terhadap prestasi kerja Bupati kabupaten Tuban dalam pemerintahannya ?

2. Apa yang paling berpengaruh terhadap prestasi kerja Bupati kabupaten Tuban dalam pemerintahannya ?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Umum

1. Menganalisis kepemimpian perempuan di pemerintah kabupaten Tuban.

1.3.2. Khusus

(18)

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan untuk penelitian lebih lanjut.

2. Sebagai bahan masukan yang dapat memberikan penjelasan tentang kepemimpinan perempuan dalam birokrasi pemerintah Indonesia, khususnya dalam kasus penolakannya partai-partai pilitik yang berasaskan Islam pada kepemimipinan perempuan.

(19)

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai konsep-konsep kepemimpinan dan hubungannya dengan teori kepemimpinan yang dijadikan rujukan atau referensi kaum perempuan, yaitu beberapa tulisan para ilmuan dan beberapa pemaknaan teks al-Qur`an maupun hadits Nabi SAW. dan fakta sejarah pada masa awal Islam berkembang. Disamping itu, akan diuraikan pula proses pemaknaan mereka terhadap kepemimpinan politik dan apa implikasi terhadap langkah mereka dalam pemimpin publik. Berkaitan dengan hal di atas, maka akan dijelaskan wujud-wujud tindakan riil yang mereka hasilkan, dalam rangka memimpin masyarakat.

2.1. Konsep Kepemimpinan

Secara etimologi kepemimpinan berasal dari kata dasar “pimpin” (lead)

(20)

awalan “ke” menjadi “kepemimpinan” (leadership) berarti kemampuan dan kepribadian seseorang dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakuakan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok (Inu Kencana, 2003).

Jadi kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Miftah, 1997). Kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan menggerakkan atau memotivasi sejumlah orang agar secara serentak melakukan kegiatan yang sama dan terarah pada pencapaian tujuannya (Nawawi dan M. Martin, 1995). Oleh sebab itu, hal yang penting dari kepemimpinan adalah adanya pengaruh dan efektifnya kekuasaan dari seorang pemimpin. Jika seseorang berkeinginan mempengaruhi perilaku orang lain, maka aktivitas kepemimpinan telah mulai tampak relevansinya.

Seiring dengan pengertian di atas, pemimpin adalah orang yang mempunyai wewenang dan hak untuk memepengaruhi orang lain, sehingga mereka berprilaku sebagaimana yang dikehendaki oleh pemimpin tersebut melalui kepemimpinannya.

(21)

membedakan antara kekuasaan dan otoritas (authority) yang sering dianggap sama pengertiannya. Authority dapat dirumuskan sebagai suatu tipe khusus dari kekuasaan yang secara asli melekat pada jabatan yang diduduki seseorang pemimpin. Dengan demikian otoritas adalah kekuasaan yang disahkan

(legitimazed) oleh suatu peranan formal seorang pemimpindalam sebuah organisasi (Miftah, 1997).

Dari uraian di atas, kepemimpinan perempuan adalah termasuk tipe kepemimpinan demokratik, karena jabatan yang disandangnya dari hasil pilian masyarakat, kendati pun banyak kalangan politikus dari partai-partai yang berasaskan Islam atau sebagian Ulama` menolaknya.

Pemimipin demokratik biasanya memandang peranannya selaku koordinator dari berbagai unsur dan komponen organisasi sehingga bergerak sebagai suatu totalitas, karena tipe pemimpin demokratik adalah tipe pemimipin yang paling ideal dan paling didambakan. Memang, harus diakui bahwa pemimpin yang demokratik tidak selalu merupakan pemimpin yang paling efektif dalam kehidupan organisasi sosial karena ada kalanya, dalam hal bertindak dan memgambil keputusan, bisa terjadi keterlambaatan sebagai konsekuensi keterlibatan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Sekalipun demikian, pemimpin yang demokratik tetap dipandang sebagai pemimpin terbaik karena kelemahannya mengalahakan kekurangannya (Sondang 1999).

(22)

Dan dengan cara yang dapat diterima, para pemimpin dapat merumuskan masalah dan mengusahakan pemecahannya. Jadi, seseorang menjadi pemimpin karena memang ada kebutuhan masyarakat akan seorang yang dipilih, yang dianggap mampu mengadakan aktualisasi dan merealisasi dari kebutuhan yang dianggap sebagai keinginan masyarakat (Susanto, 1983).

Para pemimpin itu dalam struktur masyarakat disebut sebagai kelompok elit, sebagaimana dikemukakan oleh Schoorl, sebagai berikut: Dalam arti yang paling umum, elit itu menunjuk sekelompok orang, yang di dalam masyarakat menempati kedudukan yang lebih tinggi. Dalam arti yang lebih khusus, elit adalah sekelompok orang terkemuka di beberapa bidang tertentu, dan khususnya golongan kecil yang memegang pemerintahan serta lingkungan dari mana pemegang kekuasaan itu diambil (Schoorl, 1991). Tampaknya, sudah menjadi anggapan umum bahwa kekuatan pengerak masyarakat terdapat pada pemimpin. Dalam setiap masyarakat secara wajar timbullah dua kelompok yang berbeda peranan sosialnya, yaitu yang memimpin sebagai golongan kecil yang terpilih dan kelompok yang dipimpin, yaitu kelompok mayoritas kebanyakan. Dan untuk menerangkan setiap perubahan dan perkembangan masyarakat perlu diperhitungkan faktor kepemimpinan dari komunitas elit tersebut.

(23)

teori ”Sosial Learning” (Miftah, 1997). Menurut Sartono Kartodirdjo, kedua teori tersebut bisa disatukan menjadi teori kepribadian dalam situasi, artinya seorang pemimpin lahir akibat interaksi antara faktor kepribadian dan faktor situasional. Secara terperinci ia menyebutkan adanya interaksi dari tiga faktor, yaitu sifat golongan, kepribadian dan situasi atau kejadian. Dari ketiga faktor itu menunjukkan sifat multidimensional gejala kepemimpinan, yaitu aspek sosial psikologis, sosiologis antropologis, dan sosial historis (Kartodirdjo, 1986).

Dari cara seorang pemimpin dalam melakukan kepemimpinannya itu dapat digolongkan atas beberapa tipologi;

2.1.1. Tipe Otokratis

Kepemimpinan secara otokratis adalah kepemimpinan yang cara memimpinnya menganggap organisasi sebagai miliknya sendiri. Sehingga seorang pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap para anggota organisasinya dan menganggap mereka itu sebagai bawahannya dan merupakan alat atau mesin, tidak diperlakukan sebagaimana manusia. Bawahan hanya menurut dan menjalankan perintah atasannya serta tidak boleh membantah, karena pimpinan tidak mau menerima kritik, saran dan masukan.

(24)

Dengan egoisme yang sangat tinggi, seorang pemimpin yang otokratik melihat peranannya sebagai sumber segala sesuatu dalam kehidupan organisasional seperti kekuasaan yang tidak perlu dibagi dengan orang lain dalam organisasi, ketergantungan total para anggota organisasi mengenai nasib masing-masing dan sebagainya.

2.1.2. Tipe Paternalistik

Cara ini dapat dikatakan untuk seorang pemimpin yang bersifat kebapaan, ia menganggap bawahannya bagaikan anak yang belum dewasa. Tipe pemimpin yang paternalistik banyak terdapat di lingkungan masyarakat yang masih bersifat tradisional, umumnya di masyarakat agraris.Dengan demikian pemimpin semacam ini jarang sekali atau tidak pernah memberikan kepada bawahannya untuk bertindak sendiri, untuk mengambil inisiatif dan mengambil keputusan. Para bawahannya tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan daya kreasi dan inovasinya.

Konsekuensi dari perilaku demikian ialah bahwa para bawahannya tidak dimanfaatkan sebagai sumber informasi, ide, dan saran. Seorang pemimpin yang paternalistik ini dalam hal-hal yang tertentu sangat dibutuhkan, akan tetapi sebagai pemimpin pada umumnya kurang efektif.

2.1.3. Tipe Kharismatik

(25)

seorang pemimpin yang kharismatik tidak pernah mempersoalkan nilai yang diikuti, sikap, gaya dan perilaku yang digunakan pemimpin diikutinya.

Keputusan dan kesetiaan para bawahannya timbul dari kepercayaan yang penuh keoada pemimpin yang dicintai, dihormati, dan dikagumi, bukan karena benar tidaknya alasan-alasan dan tindakan seorang pemimpin. Kemampuan untuk menguasai bawahannya yang terdapat pada diri seorang pemimpin yang demikratis disebabkan kepercayaannya yang luar biasa kepada kemampuannya itu. Seorang pemimpin yang demokratis adala pemimpin yang dianggap mempunyai kekuatan ghaib atau kesaktian yang tidak dapat diindra secara ilmiah, sehingga dikagumi para bawahannya meskipun para bawahannya tidak selalu dapat menjelaskan secara konkrit mengapa orang tersebut dikagumi.

2.1.4. Tipe Laissez Faire

Dapat dikatakan bahwa persepsi seorang pemimpin yang laissez faire tentang peranannya sebagai seorang pemimpin berkisar pada pandangannya bahwa pada umumnya organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya karena para bawahannya terdiri dari orang-orang yang sudah dewasa yang mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran apa yang ingin dicapai, tugas apa yang harus ditunaikan oleh masing-masing anggota dan seorang pemimpin tidak perlu terlalu sering melakukan intervensi dalam kehidupan organisasional.

(26)

cukup dewasa untuk taat kepada peraturan permainan yang berlaku, dan cenderung memiliki peranan yang pasif dan membiarkan bawahannya berjalan menurut tempatnya sendiri tanpa banyak mencampuri bagaimana bawahannya harus berjalan dan bergerak. Kepemimpinan semacam ini biasanya tidak kelihatan adan sebuah organisasi dan segalanya dilakukan tanpa ada rencana dari pemimpin.

Nilai-nilai yang dianut oleh seorang pemimpin yang laissez faire dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi kepemimpinannya biasanya bertolak dari falsafah hidup bahwa manusia pada dasarnya memiliki rasa solidaritas dalam kehidupan bersama, mempunyai kesetiaan kepada sesama dan kepada organisasi, taat kepada norma-norma dan peraturan yang telah disepakati bersama, mempunyai tangguing jawab yang besar terhadap tugas yang harus diembannya. Dengan sikap demikian, maka tidak ada alasan kuat untuk memperlakukan para bawahannya sebagai orang-orang yang tidak dewasa, tidak bertanggung jawab, tidak setia dan tidak loyal. Nilai yang didasarkan dalam kepemimpinan tersebut adalah nilai saling mempercayai yang besar.

2.2.5. Tipe Demokratik

(27)

kepada bawahannya, karena menaruh kepercayaan yang besar bahwa mereka itu akan berusaha sendiri menyelesaikan tugasnya dengan baik.

Untuk dapat mencapai hasil yang baik, seoarang pemimpin yang demokratik senantiasa berusaha memupuk kekeluargaan dan persatuan, membangun semangat bekerja pada bawahannya. Satu lagi karakteristik penting yang dimiliki seorang pemimpin demokratik yang sangat positif adalah dengan cepat ia menunjukkan penghargaan kepada para bawahannya yang berprestasi baik. Penghargaan itu dapat berbentuk kata pujian, tepukan pada bahunya, memberikan piagam penghargaan, kenaikan pangkat atau bahkan mempromosikan jika keadaan memungkinkan. Seorang pemimpin yang demokratis akan bangga apabila para bawahannya menunjukkan kemampuan kerja yang bahkan lebih tinggi dari kemampuan dirinya sendiri (Sondang, 1999).

Pada zaman sekarang pemimpin semacam inilah yang diharapkan dan dituntut masyarakat banyak, oleh karena kepemimpinan yang demokratik segala aktivitas dapat dikerjakan dengan baik sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.

(28)

disebutkan “Sesungguhnya Aku tidak mensia-siakan amal perbuatan orang-orang yang beramal, baik laki-laki maupun perempuan”, surat al-Taubah ayat 71, juga dikatakan “Dan orang-orang yang beriman, baik laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah kekasih bagi sebagian yang lain: mereka menyuruh

untuk mengerjakan yang ma`ruf, menentang yang munkar, mendirikan shalat,

menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya, mereka itu akan

diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha

Bijaksana”.

Ayat di atas secara jelas berusaha untuk mengkikis habis berbedaan jenis kelamin (gender), khususnya dalam arti kemanusiaan. Secara umum kaum laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam setiap aspek kehidupan. Di sisi lain, pada masa Nabi Sulaiman, di negeri yang diabadikan sebagai salah satu nama surat dalam al-qur`an yang dikenal ”baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” (negeri yang adil, makmur, aman, dan sentosa), yaitu negeri Saba`. Negeri ini ternyata dipimpin oleh penguasa perempuan, Ratu Bilqis. Sedangkan pada awal perkembangan Islam pun, Ummul Mu`minin siti `Aisyah juga pernah menjadi seorang panglima perang dalam perang jamal. Realita semacam ini akan menjadi tendensi dan semakin melunturkan larangan prempuan untuk tampil sebagai serang pemimipin publik (Said Aqil, 1999).

(29)

2.2. Politik Perempuan

2.2.1. Pengertian Jender dan Jenis Kelamin

Kata gender (dibaca jender) berasal dari bahasa Inggris, berarti jenis kelamin baik perempuan maupun laki-laki (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983). Jender adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women’s Studies Encylopedia

dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalah hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat. Hilary M. Lips dalam bukunya Sex and Gender: an introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Misalnya perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa.

(30)

Sekelompok sifat di atas, karena telah menjadi ciri yang telah berlangsung lama, dianggap melekat pada diri laki-laki dan perempuan dan bersifat biologis. Di sisi lain, perempuan menganggap bahwa dirinya memang demikian dan di sisi lain, kaum laki-laki mengaganggap lebih unggul dari lawan jenisnya. Lanjut Fakih, perbedaan jender yang telah lama ada berlangsung terus menerus, turun menurun dari generasi ke generasi seolah telah menjadi sifat dan ketentuan Allah SWT. Karena perempuan cenderung menganggap bahwa perbedaan tersebut adalah hal yang kodrati, maka mereka sering merasa kalah dari laki-laki. Di dunia kepemimipinan, meskipun perempuan yang memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan laki-laki, akan tetapi mereka enggan tampil di depan, belum bisa menerima kelompoknya sendiri menjadi pemimipinnya, lebih suka rutinitas dan cenderung menghindari tantangan dan tanggung jawab yang lebih besar. Di mata kaum laki-laki, mereka masih sering dipertanyakan dan diragukan kepemimpinannya (Susanto, 1998).

(31)

dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.

Pada bagian lain yang hampir serupa Shadily dalam Ihromi (2000) membedakan antara antara gender dan jenis kelamin. Menurutnya istilah jender

serimg diartikan sebagai jenis kelamin (seks). Kedua istilah memang mengacu pada perbedaan jenis kelamin, tetapi istilah seks terkait pada komponen biologis.artinya : masing-masing jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) secara biologis berbeda dan sebagai perempuan dan laki-laki mempunyai keterbatasan dan kelebihan tertentu berdasarkan fakta biologis masing-masing. Misalnya : seorang yang berjenis kelamin perempuan bisa mengandung, melahirkan dan mempunyai air susu ibu (ASI). Seorang yang secara biologis dilahirkan sebagai laki-laki mempunyai sperma. Perbedaan biologis masing-masing merupakan pemberian Tuhan, dan tidak mudah untuk diubah.

(32)

2.2.2. Perempuan di Kancah Politik

Perempuan merupakan substansi yang selalu enak dan elok untuk diperbincangkan oleh semua kalangan, baik kalangan laki-laki maupun kalangan perempuan itu sendiri. Itu bisa dimaklumi, mengingat perempuan adalah sosok yang cukup penting dalam kehidupan. Perempuan merupakan penerus, pengabdi, dan pendidik bagi generasi yang akan datang, yaitu generasi yang akan menentukan perjalanan bangsa tercinta ini.

Kalau kita berbicara perempuan haruslah pertama-tama kita mulai dengan menempatkan mereka sebagai manusia. Dengan bertumpu pada titik pandang kemanusiaan, kita akan menilai bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya sama, mereka mempunyai kecerdasan otak yang sama, sama mulia budi pekertinya, sama luhur cita-citanya, dan sama-sama memiliki impian dan harapan. Dan tentu mereka mempunyai potensi kepemimpinan yang sama, baik potensi kepemimpinan sebagai individu maupun makhluk sosial (Marwah Daud, 1996).

Kaum laki-laki telah melahirkan karya seni yang besar; kaum perempuan telah melahirkan kaum laki-laki; dan ibu yang besar akan melahirkan bangsa yang besar pula, sebagaimana yang dikutip oleh pemikir proklamator kita dalam Colin Brown, Soekarno on the of women. Kutipan tersebut mengisyaratkan gambaran kenyataan peran dan fungsi perempuan sangat penting dan menentukan dalam kehidupan, karena perempuan menjadi pusat atau sentralnya sebuah bangsa akan berkembang.

(33)

pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya pada semua tingkat internasional, regional.

Pada masa pra Islam dunia diwarnai oleh imperialisme dan kolonialisme antar sesama manusia maupun antar kelompok, suku, dan bangsa. Kaum perempuan diibaratkan tidak lebih dari barang yang bisa dijual belikan, menjadi bagian dari kaum laki-laki (subordinatif), makhluk yang tidak berharga, tidak memiliki independensi diri, hak-haknya boleh dirampas dan ditindas, keberadaannya sering menimbulkan masalah, dan diletakkan dalam posisi marginal. Setelah Islam datang membawa pesan moral kemanusiaan dan mengajak manusia untuk melepaskan diri dari tirani kemanusiaan, dan manusia dipandang setara di hadapan Allah SWT. Tidak ada yang lebih istimewa dan tidak ada yang lebih nesta. Hanya satu yang manjadi pembeda di hadapan Allah SWT. yaitu kadar ketaqwaannya (Syafiq, 2001).

(34)

Oleh sebab itu, dalam pelbagai kesempatan pembelaan Rasulullah SAW. dilakukan di depan siapa pun dan dalm kesempatan apa pun. Rasulullah SAW. sadar bahwa membela perempuan adalah wujud dari komitmen kemanusiaan. Dalam sesempatan yang lain, Rasulullah SAW. menampilkan perempuan sebagai sosok yang sangat penting dalam kehidupan, dalam fungsinya sebagai pembawa cahaya terang bagi kehidupan keluarga. Dikatakan oleh beliau, bahwa perempuan adalah pelita bagi kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, Islam sebenarnya menjadi sarana yang tepat untuk mempersatukan misi dan visi kesetaraan kaum laki-laki dan perempuan (Syafiq, 2001).

Walaupun sekarang sudah banyak perempuan yang memegang jabatan politik (pemimpin publik) didalam kehidupan politik kenegaraan, namun jumlahnya masih sedikit dibandingkan laki-laki, apalagi jika dibandingkan jumlah perempuan yang prosentasenya lebih banyak dari lak-laki secara umum (Majid, 2003). Dan ketika Filipina memiliki presiden perempuan Qorazon Aquino, betapa pers menyorotinya sedemikian rupa, tidak hanya karena ia seorang presiden, namun juga karena ia perempuan, sampai-sampai pakaian yang dikenakan saja diliput, sekalipun secara historis tidak sedikit perempuan yang berperan dalam pentas politik (penguasa negara) (AM. Fatwa,1997).

(35)

negara tersebut. Sedangkan di Britania Raya dan India, peran perempuan dalam parlemen lumayan cukup besar, yang mencapai 8-10% dari keseluruhan perempuannya. Itu sebagian contoh kecil dari gambaaran perempuan yang menjabat jabatan politik dalam kehidupan politik kenegaraan (Teguh, 1999).

Sebagai bukti keberhasilan kaum perempuan yang menjabat dalam bidang politik kenegaraan, cukuplah penulis sebutkan beberapa perempuan yang menduduki jabatan pemimipin tertinggi di sejumlah negara, pada zaaman dahulu hingga sekarang. Mereka termasuk para pemimpin yang sukses dan melebihi kaum laki-laki:

1. Hatsybisut yang memimpin Mesir lebih dari dua puluh tahun pada masa al-Usrah 18 (1555-1350 SM).

2. Cleopatra yang diasingkan saudaranya agar jauh dari kekuasaan. Akan tetapi, ia tidak menyukai hidup terasing yang menyengsarakan. Kemudia ia berusaha kembali ke tanah kelahirannya dan berhasil mengambil kembali haknya untuk menjadi penguasa Mesir.

3. Shafiyyah Hatun, putri Raja Thahir yang berkuasa di Aleppo (Halab), pada masa Al-Mamalik. Ia mengatur pemerintahan seperti raja-raja sebelumnya, dan kejayaannya berlangsung sampai enam tahun.

4. Ghaziyyah Khayun, putri Raja Al-Kamil, istri Raja Al-Muzhaffar Mahmud, yang menguasai Hamah.

(36)

mengumpulkan para panglomanya dan berkata, “Raja menyuruh kalian untuk bersumpah kepadanya”. Kemudian ia menyerahkan kepemimpinannya kepada putranya, Raja Turan Syah. Dan ketika kemenangan suadah diraihnya, Syajarah al-Durr mengumumkan kematian suaminya dan pembaiatan kepada putranya. Kemudia semua bersepakat untuk memberikan penghargaan kepada ratu ini dengan mengabadikan namanya pada uang logam yang bertuliskan Musta`shimiyyah al-Shalihiyyah Malikah al-Muslimin.

6. Al- Bisysyi yang memimpin Persia. 7. Bandranika Pemimpin Srilangka. 8. Indira Ghandi pemimpin India.

9. Fathimah `Ali jinan sebagai pemimpin Pakistan. 10. Margareth Teacher pemimpin Inggris.

11. Growharlem Bernette pemimpin Norwegia. 12. Corazon Aquino pemimpin Filipina. 13. Golda Meir pemimpin Mesir.

Dan masih banyak lagi sejumlah perempuan yang memegang tampuk kepemimpinan, seperti negara kita sendiri yang dipimpin oleh ibu Megawati Soekarno Putri, Ratu Denmark, Ratu Inggris, dan lain-lain di beberapa kerajaan di Eropa (Qasim, 92).

(37)

maupun politik. Mereka memiliki peranan besar dalam Islam. Barang kali prosentase jumlah perempuan yang duduk dalam politik pada tahun-tahun sekarang ini mengalami peningkatan, itulah harapan kita semua.

2.3. Kepemimpinan dalam Birokrasi Pemerintah

Pada dasarnya manusia ingin memiliki kekuasaan dan pengaruh, sehingga manusia dikategorikan makhluk politik. Karena manusia merupakan makhluk politik, tentunya mempunyai kepentingan dibidang politik. Kepentingan tersebut pada umumnya tercermin dari keinginan untuk turut serta dilibatkan dalam menentukan nasibnya dalam kehidupan bernegara, baik sebagai seorang pemimpin maupun yang dipimpin. Sekalipun ada kalangan seseorang yang tidak serta merta mampu mengekspresikan visi politiknya. Akan tetapi kemampuan demikian dapat ditumbuhkan dan dikembangkan.

(38)

sebagai pedoman untuk bertindak. Lain halnya dengan keputusan yang diambil oleh pemerintah dan aparatnya, selain menjadi pedoman bagi pemerintah dan aparatnya sendiri, juga dapat merupakan pedoman untuk bertindak bagi pihak-pihak lain di luar pemerintah dan aparaturnya (Sunindhia dan Widiyanti, 1993).

Negara dan pemerintah dituntut untuk memenuhi keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhan masyarakat, karena pemerintah pada hakekatnya adalah pelayan masyarakat. Pemerintah diadakan tidak untuk melayani diri sendiri, akan tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat, mengembangkan kemampuan, dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu birokrasi publik (pemerintah) berkewajiaban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan publik yang baik dan profesional. Jadi pelayanan berokrasi publik yang tujuannya mensejahterakan masyarakat merupakan perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat.

Untuk dapat menilai sejauh mana mutu dan kualitas pelayanan publik yang telah diberikan oleh aparatur pemerintah, ada sepuluh kreteria yang menunjukkan suatu pelayanan publik dikatakan baik.

1. Tangible, terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personol, dan komunikasi.

2. Reliable, terdiri dari kemapuan unit pelayanan dalam menciptakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat.

(39)

4. Competence, tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan pelayanan.

5. Courtesy, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan konsumen serta mau melakukan kontak hubungan pribadi. 6. Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik

kepercayaan masyarakat.

7. Security, jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari berbagai bahaya dan resiko.

8. Acces, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan 9. Communication, kemauan memberi layanan untuk mendengarkan

suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepeda masyarakat.

10. Understanding the customer, melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan (Joko, 2001).

(40)

2. Rule of Law, kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia.

3. Transparancy, transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses, lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat difahami dan dapat dimonitor.

4. Responsiveness, para lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders.

5. Consensus orientation, Good Gavernance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan-pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal beberapa kebijakan maupun prosedur.

6. Equity, semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.

7. Effectiveness and afficiency, proses-proses dan lembaga-lembaga sebaik mungkin menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia.

(41)

9. Strategic vition, para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good gavernance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan (Joko, 2001, 25).

Kepemimpinan dalam mewujudkan good gavernance hendaknya kepemimpinan yang visioner, bersih, berwawasan, demokratis, responsif dan responsible. Visi mencakup upaya yang mampu melihat jangkauan ke depan yang bersekala nasional maupun regionanl. Demokratis dan responsif, merupakan persyaratan untuk mengangkat pemimpin dalam birokrasi pemerintah. Pemimipin yang demokratis dalam setiap proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, senantiasa melibatkan publik, dan keputusan yang dihasilkan substansinya harus berpihak pada kepentingan publik. Sementara pemimpin yang responsif adalah pemimpin yang cepat tanggap (respon) dan cepat menanggapi (menindak lanjuti) keluhan, kepentingan, dan aspirasi yang dipimpinnya. Sedangkan pemimpin yang responsibel adalah pemimpin yang memiliki sense of responsibility and profesionally. Pemimipn yang responsif memiliki rasa tanggung jawab dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya (Joko, 2001, 34).

(42)

sayogyanya berubah menjadi suka melayani dan yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju arah yang fleksibel kolaburatis dan dialogis.

2.4. Perempuan dan Budaya

Sifat anti perempuan (misoginis) adalah suatu bukti kegusaran seorang laki-laki atas derajat keberadaannya yang disamakan dengan perempuan (Mernissi, 1991). Secara umum Perempuan selalu dimunculkan sebagai sosok yang bermasalah ketika dikaitkan dengan organ tubuhnya. Puluhan abad lamanya pandangan ini mewarnai hampir seluruh budaya manusia dan kemudian mendapatkan legitimasi dari beberapa agama besar di dunia seperti Islam, Yahudi dan Kristen. Ketiga agama tersebut mempunyai pandangan yang sama karena persamaan latar belakang budaya. Dalam budaya patriarkhi, agama berfungsi untuk melegitimasi kenormalan seksualitas dan status laki-laki. Konsekuensinya, seksualitas dan status perempuan tidak akan pernah menempati satus laki-laki. Selama budaya patriarkhi tetap dipertahankan, sejauh itu pula pandangan misoginis dalam kadar yang berbeda tetap mewarnai kehidupan masyarakat.

(43)

tersebut. Konsep kekuasaan bagi budaya patriarkhi adalah ekspresi dari seorang laki-laki untuk menunjukkan kekuatannya sebagai penentu. Oleh karenanya, setiap laki-laki merefleksikan kekuasaan tersebut kepada bagian masyarakat yang lain, sebagaimana seorang suami kepada istrinya, kakak laki-laki terhadap adiknya, dan pada tingkat yang tertinggi adalah seorang raja terhadap rakyatnya.

Ketidakadilan hubungan laki-laki dan perempuan seperti di atas dapat dijadikan sebagai kontruksi sosial. Dalam masyarakat terdapat ideologi jender yang membedakan laki-laki dan perempuan bukan hanya berdasarkan jenis kelamin, akan tetapi juga berdasarkan peran masing-masing. Hampir dalam segala hal, perempuan ditempatkan sebagai subordinat, sedangkan laki-laki adalah superior. Struktur sosial masyarakat yang membagi-bagi tugas antara laki-laki dan perempuan seringkali merugikan perempuan. Perempuan diharapkan bisa mengurus dan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga, walaupun mereka bekerja di luar rumah tangga, sebaliknya tanggungjawab laki-laki dalam menatur rumah tangga sangat kecil.

(44)

menerima berbagai larangan. Perempuan di batasi dengan norma yang tidak sama dengan laki-laki sehingga tidak bisa berbuat sebebas laki-laki. Ada yang pendapat yang menyatakan bahwa perempuan sebaiknya tidak bepergian sendiri di malam hari. Bila itu dilakukan akan menimbulkan penilaian yang negatif dari masyarakat (Sudjoko, 1975).

Pada umumnya, kebudayaan merupakan ketentuan arti mengenai kategori laki-laki dan perempuan oleh masyarakat. Sehingga istilah laki-laki dan perempuan merupakan berbagai kreteria yang dihubungkan dengan masyarakat berdasarkan budaya. Penyebaran sikap yang dihubungkan dengan jender telah dibuktikan di lintas devisi. Artinya alokasi pertanggungjawaban dan hampir seluruh keputusan mengenai peningkatan karir karyawan, gaji, dan kekuasaan dalam sebuah organisasi dipengaruhi perbedaan jender antara laki-laki dan perempuan (Peter G, 2000).

(45)

lebih tragis lagi sebuah anggapan yang menyatakan; perempuan itu swarga nunut neraka katut. Mereka menganggap bahwa perempuan tidak perlu berpretasi terlalu tinggi sebab nantinya mereka hanya akan menumpang pada suami (Abdullah, 2003).

Dari budaya patriakhi tersebut, sehingga perempuan yang menjadi pemimin publik sangat sedikit. Meski banyak studi yang mengindikasikan bahwa perempuan mempunyai keahlian dalam berprilaku dan kualitas yang memenuhi syarat dalam kepemimpinan yang efektif, akan tetapi mereka masih belum dapat mewakili dalam kapasitas yang signifikan. Hal ini disebabkan berbagai rintangan yang menghambat kemajuan kepemimpinan perempuan, antara lain; rintangan secara kelompok, rintangan secara perorangan dan rintangan secara pribadi, sehingga harus ada sebuah pola atau bentuk dalam memupuk perkembangan dan kemajuan pemimpin perempuan (Peter G, 2000).

(46)

Berkaitan dengan perempuan di masa sekarang, Armahedi Mashar menawarkan suatu gerakan pasca feminisme Islami yang integrative guna membendung gerakan anti feminisme tradisional yang konservatif dan desakan pro feminisme radikal yang agresif (progresif sekuler). Gerakan ini diharapkan dapat mencairkan eksklusifitas gerakan feminisme radikal yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai lawan yang saling mengalahkan. Dan gerakan ini akan mampu mendobrak persepsi tradisional konservatif yang selalu mengagungkan supermasi kaum laki-laki. Pada akhirnya gerakan ini diharapkan mampu menempatkan perempuan dan laki-laki dalam posisi setara dan berperan sebagai kawan seiring dalam memajukan bangsa (Armahedi, 1995). Senada dengan pendapat tersebut adalah gagasan transformasi yang dilontarkan oleh Abdul Ahmed al Na`im. Transformasi terhadap ketentuan Islam adalah suatu keharusan demi untuk memperoleh formulasi hukum yang memadai bagi kehidupan kontemporer (Na`im, 1994).

(47)

budaya patriarkhi yang sudah berkembang. Perempuan seringkali masih dibingungkan oleh berbagai masalah yang muncul sebagai akibat dari peran gandanya. Kemingkinan yang dapat dicapai oleh perempuan sangat luas. Hanya keterbatasan kebiasaan, norma dan nilai yang tumbuh dalam masyarakat itulah yang menghambat berbagai kemungkinan untuk merealisasikan potensinya, sebagaimana yang dikatakan Leila Budiman (Leila, 1988).

Sejalan dengan itu, Mariane Weber berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki sebetulnya mempunyai kemampuan dan kapabelitas yang sama besar. Perempuan juga bisa melakukan berbagai hal yang bisa dilakukan oleh kaum laki-laki, namun perempuan tidak punya waktu yang cukup untuk itu semua. Mereka harus membagi waktu untuk berbagai hal. Meskipun mereka bekerja, namun mereka tetap harus mengurus rumah tangga dan memelihara anak mereka. Berbeda halnya dengan laki-laki, mereka leluasa mengembangkan karir tanpa harus memikirkan rumah tangga (Weber, 1991).

2.5. Stereotipe Negatif

(48)

perempuan yang menilai kaum perempuan adalah kaum yang lemah, tidak mampu dan tidak bisa disejajarkan dengan laki-laki.

Stereotipe gender lahir dari adanya satu pembedaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal jenis kelamin (biologic), pemahaman ini pun akhirnya berkembang dan terbangun adanya pencitraan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Megawangi (1999) memberikan gambaran bahwa kalau pun ada perbedaan laki-laki dan perempuan hanya pada apa yang sering disebut 3 M ( menstruasi, melahirkan, dan menyusui). Aspek 3 M ini oleh para feminis diangap bukan alasan seorang perempuan harus menjadi ibu, karena konsep ibu adalah bukan karena alam (nature), melainkan karena adanya sosialisasi, atau konstruksi sosial (nurture).

(49)

sebaliknya. Oleh karena itu perbedaan tersebut perlu dikritisi kembali sehingga diperoleh kebenaran yang akurat (Dharma, 2002).

Tabel 2.5.1 Perbedaan Emosional dan Intelektual laki-laki dan perempuan

Laki-laki Perempuan

- Sangat agresif - Independen - Tidak emosional

- Dapat menyembunyikan emosi - Tidak mudah berpengaruh

- Tidak mudah goyah menghadapi krisis - Lebih aktif

- Berperasaan tidak mudah tersinggung - Lebih suka bertualang

- Mudah mengatasi persoalan - Jarang menangis

- Penuh percaya diri

- Lebih banyak mendukung sikap agresif - Lebih ambisi

- Tidak terlalu agresif - Tidak terlalu independen - Lebih emosional

- Sulit menyembunyikan emosi - Mudah berpengaruh

(50)

- Mudah membedakan rasio dan rasa - Memahami seluk beluk perkembangan

dunia

- Umumnnya tampil sebagai pemimpin - Lebih merdeka

- Pemikiran lebih unggul - Lebih bebas berbicara - Lebih obyektif

- Sulit membedakan rasio dan rasa - Kurang memahami seluk-beluk

perkembangan dunia

- Jarang tampil sebagai pemimpin - Kurang merdeka

- Pemikiran kurang unggul - Kurang bebas berbicara - Lebih subyektif

(51)

Hampir senada dengan pendapat Fakih diatas, Shadily (2000) memberikan pandangan tentang stereotipe gender yang berlaku “ bahwa tugas perempuan terutama adalah mendidik dan mengasuh anak” juga menyebabkan anak perempuan kurang diberi pengalaman atau kurang dipersiapkan untuk berkompetisi di wilayah publik, sehingga perempuan hingga kini lebih terkonsentrasi dalam pekerjaan-pekerjaan di sektor informal yang disesuaikan dengan keterampilan terbatas yang mereka miliki. Akibatnya : secara ekonomis dan sosial apa yang mereka kerjakan mempunyai status yang lebih rendah bila dibandingkan dengan apa yang dikerjakan laki-laki.

Sebenarnya banyak hal yang bisa kita lihat dalam keseharian bahwa stereotipe gender pada perempuan ini memang terbentuk dan terbangun di masyarakat. Berikut ini pendapat lain dari Behm & Kassin (1996) yang mengutip dari penelitian William & Best pada tahun 1982 tentang stereotipe gender yaitu meski bagaimanapun ketika seseorang ditanyai untuk mendeskripsikan sesosok laki-laki dan perempuan, maka seseorang laki-laki akan dideskripsikan lebih memiliki jiwa petualang, tegas, agresif, mandiri dan berorietasikan pada pekerjaan; sebaliknya seseorang perempuan akan dideskripsikan lebih sensitif, lemah lembut, kurang mandiri, emosional dan berorientasikan pada hal-hal kemasyarakatan. Gambaran ini sangatlah universal dan diambil dari penelitian dari sekitar 2.800 orang mahasiswa dari 30 negara yang berbeda mulai dari Amerika Utara dan Selatan, Eropa, Asia dan Australia.

(52)

oleh Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik (Indonesian Center for Women in Politics) pada tahun 1999 dalam modulnya yang membagi ketidaksamaan gender atas stereotipe, yaitu

Tabel 2.5.2 Ketidaksamaan gender atas stereotipe

Stereotipe Feminim Maskulin

Stereotipe Kerja

Pembagian Kerja

Ruang Lingkup Fungsi

Fungsi

Kerja Feminim (Perawat; guru TK; Penata rambut; Operator telepon dan sebagainya)

Reproduktif (Melahirkan anak)

Kerja Domestik

Pencari nafkah tambahan

Kerja Maskulin (Insinyur; Pilot; Politikus; Manajer dan sebagainya)

Produktif (Menghasilkan uang)

Publik

(53)

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HEPOTESIS

3.1. Kerangka Konseptual

(54)

Garis adalah yang diteliti

Garis adalah tidak diteliti, hanya sebagai penunjang

Prestasi Kerja - Kualitas Kerja - Kuantitas Kerja - Efektifitas Kerja

Pendidikan dan Pelatihan Pengalaman Kerja Pengetahuan

Gaya Kepemimpinan - Pandangan Sunber Daya

dan Dana

- Cara Pendelegasian Wewenang

- Pelibatan Bawahan - Cara Memperlakukan

Bawahan

- Pengakuan Bawahan

Sosial Politik

Budaya

(55)

B. Hipotesis

Berangkat dari rumusan masalah, tujuan serta teori yang sudah dipaparkan, maka hipotesis yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah :

1. Ada pengaruh persepsi gaya kepemimpinan, faktor sosial politik, budaya dan agama terhadap prestasi kerja.

(56)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Untuk mengetahui terhadap kepemimpinan perempuan dalam berokrasi

pemerintahan, maka terlebih dahulu akan dijelaskan tentang berbagai hal yang

berkaitan dengan latar belakang dipergunakannya metode kuantitatif dalam

penelitian. Dalam metode kuantitatif, penelitian ini mengunakan penelitian

observasional dengan pendekatan survai.

4.2. Metode Kuantitatif 4.2.1. Populasi dan Sampel

Sugiyono (2001) mengartikan populasi adalah wilayah generalisasi yang

terdiri atas objek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu

yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah para pegawai eslon dua dan

tiga pada kabupaten Tuban Jawa Timur yang berjumlah 7 Dinas

Sedangkan pengertian sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik

yang dimiliki oleh populasi tersebut. Penelitian sampel sebagai prosedur untuk

menentukan sebagian dari populasi, diambil dan dipergunakan untuk menentukan

(57)

4.2.2. Metode Pengambilan Sampel

Agar sampel ini benar-benar representatif, maka dalam penelitian ini

metode pengambilan sampel menggunakan metode total sampling yaitu

pengambilan sampel dari eselon dua dan tiga, yaitu 7 Dinas dari 12 Dinas sebagai

sampel penelitian.

Berdasarkan data yang ada, populasi dalam penelitian ini adalah para

pegawai eselon dua dan tiga pada 7 Dinas. Dengan demikian jumlah sampel yang

diambil adalah86 orang.

4.2.3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Adapun lokasi penelitian berada di kabupaten Tuban Jawa Timur. Dalam

hal ini dikarenakan ibu Haeny Relawati Rini Widyastuti sebagai salah satu

pemimpin (Bupati) perempuan di wilayah kabupaten Tuban Jawa Timur.

Sedangkan waktu penelitian dimulai dari bulan Juni sampai bulan Agustus.

4.2.4. Variabel Penelitian A. Klasifikasi Variabel

Dalam penelitian ini variabel yang digunakan diklasifikasi atas variabel

Dependen dan Independen

1. Variabel Dependen atau variabel tergantung, yaitu prestasi kerja Bupati.

2. Variabel Independen atau variabel bebas, yaitu gaya kepemimpinan (X1),

(58)

B. Definisi Oprasional

1. Kepemimpinan adalah suatu upaya dalam mempengaruhi perilaku orang

lain baik itu individu atau kelompok untuk melakukan apa yang diinginkan

malalui cara-cara yang terencana untuk mencapai tujuan bersama baik

individu, kelompok maupun organisasi (Yukl, 1998). Kepemimpinan pada

penelitian ditekankan pada persepsi, nilai, sikap, dan perilaku, dalam hal:

a. Pandangan terhadap sumber daya dan dana yang tersedia bagi

organisasi, hanya dapat digunakan oleh manusia dalam

organisasi untuk mencapai tujuan dan sasarannya.

b. Cara pendelegasian wewenang yang praktis dan realistis.

c. Pelibatan bawahan dalam proses pengambilan keputusan.

d. Cara memperlakukan bawahannya sebagai makhluk sosial,

politik, ekonomi dan individu dengan karakteristik dan jati diri

yang khas.

e. Pengakuan bawahan atas kepemimpinannya didasarkan pada

pembuktian kemempuan memimipin oraganisasi dengan

efektif.

2. Prestasi Kerja adalah hasil karya yang timbul dari suatu kombinasi usaha,

kemampuan dan pengalaman seseorang untuk mencapai tujuan organisasi.

Dalam prestasi kerja dapat diukur berdasarkan; kualitas kerja, kuantitas

(59)

3. Faktor sosial politik, adalah pandangan atau stereotype negatif masyarakat,

lembaga eksekutif atau pemerintahan akan kepemimpinan perempuan

yang sudah mengakar dan terpatri.

4. Faktor Budaya, adalah adanya sifat anti pada kaum perempuan

(misoginis), dan adanya (subordinat) yakni pandangan bahwa kaum

perempuan merupakan kaum nomor dua setelah laki-laki.

5. Faktor Agama, adalah adanya legitimasi agama yang dihasilkan dari

sebagian interpretasi yang melarang tampilnya kaum perempuan menjadi

pemimpin, sekalipun Allah memposisikan manusia sebagai pemimpin,

tanpa memandang jenis kelaminnya. Perempuan dan laki-laki mempunyai

hak yang ama dalam setiap kehidupan.

4.2.5. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan

data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung para bawahan

Bupati yaitu eselon dua dan tiga sesuai dengan item pertanyaan dalam kuesioner.

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pemerintah kabupaten Tuban atau

melalui data yang telah diteliti dan dikumpulkan oleh pihak lain yang berkaitan

dengan permasalahan penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan metode:

1. Observasi, yaitu metode pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan

langsung terhadap objek yang diteliti.

2. Kuesioner, yaitu metode pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan

(60)

3. Wawancara, yaitu metode pengumpulan data dengan tanya jawab kepada

responden sesuai dengan acuan yang ada dalam kuesioner.

4.2.6. Pengolahan Skor

Pengukuran sekor terhadap varibel-variabel dalam penelitian ini

dijabarkan dalam item-item pernyataan yang merujuk pada skala, dengan

kisaran skor antara 1 sampai 4 dengan asumsi, bahwa skor ini bersifat

rasional. Skor 4 tertinggi untuk jawaban sangat setuju, sedangkan skor 1

terendah diberikan untuk jawaban tidak setuju.

4.2.7. Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Validitas dan reliabilitas suatu alat ukur merupakan hal yang sangat

penting dalam suatu penelitian ilmiah, sehingga sebelum alat ukur (kuesioner)

dipergunakan untuk mendapatkan data perlu diuji terlebih dahulu validitas dan

reliabilitasnya (Azwar, 2000). Hal ini dilakukan dengan maksud bahwa suatu alat

ukur yang valid dan reliabel akan menghasilkan informasi yang akurat dan dapat

dipertanggungjawabkan.

4.2.7.1. Uji Validitas

Validitas berkaitan dengan kemampuan alat ukur untuk mengukur secara

tepat apa yang harus diukur (Nurgiyantoro dkk, 2000). Validitas dalam penelitian

kuantitatif ditunjukkan oleh koefisien validitas. Semakin tinggi koefisien validitas

(61)

ukur dinyatakan valid apabila alat tersebut mampu memberikan data atau hasil

ukur dengan tepat serta gambaran yang cermat sesuai dengan maksud dilakukan

pengukuran.

Pengujian alat ukur pelayanan secara empirik dimaksudkan untuk

mengetahui konsistensi internal dengan cara mengkorelasikan tiap skor butir

dengan skor total. Hal ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa skor butir

merupakan jabaran atau bagian dari faktor. Proses uji korelasi ini dilakukan

dengan menggunakan korelasi product moment dari Pearson, perhitungan

dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Azwar, 2000).

ΣΣΣΣxy ΣΣΣΣ

(x)

ΣΣΣΣ

(y)

n

rxy =

ΣΣΣΣx2 - ΣΣΣΣ

(x)

2

ΣΣΣΣy2- ΣΣΣΣ

(y)

2

√√√√ n n

dengan, rxy = korelasi skor item dengan skor total

x = skor item

y = skor total n = jumlah sampel

Pengujian sekor ini dilakukan sebelum penelitian pada sample yang sebenarnya,

yaitu pada 30 orang responden staf pemerintah kabupaten Tuban.

(62)

4.2.7.2. Uji Reliabilitas

Azwar (2000) menyatakan bahwa reliabilitas menunjukkan sejauh mana

pengukuran tetap memberikan hasil yang relatif tidak berbeda bila dilakukan

terhadap kelompok subyek yang sama. Tinggi rendahnya reliabilitas alat ukur ini

ditunjukkan oleh koefisien reliabilitas. Semakin tinggi koefisien reliabilitas maka

semakin baik alat ukur tersebut.

Reabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauhmana suatu alat ukur

dapat dipercaya atau diandalkan. Pengujian reabilitas intrumen dilakukan dengan

menggunakan uji alpha cronbach, dengan 5 %.

Rtt = M ( 1 – Vx ) M-1 Vt

Keterangan :

Vx = Variasi butir Vt = Variasi total M = Jumlah butir Rtt = Nilai korelasi alpha

4.2.8. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data kuantitatif yang diperoleh dari hasil wawancara

kuesioner dengan menggunakan

1. Analisis Regresi Linier Berganda

Analisis linier berganda dilakukan untuk melihat pengaruh variabel

(63)

dan pengaruh sosial politik, budaya dan agama terhadap variabel

dependen (Y) yang ditunjukkan oleh prestasi kerja pemerintahan.

Sebelum melakukan pengujian regresi linier berganda syarat uji regresi

yang harus dipenuhi adalah:

Bentuk umum dari model yang akan digunakan adalah:

Y = B0 + B1X1 + B2X2 + B3X 3 +B4X 4 + e

dimana:

Y = Prestasi Kerja

B0 = Nilai Konstanta X1 = Gaya Kepemimpinan

X2 = Faktor Sosial Politik X3 = Faktor Budaya

X4 = Faktor Agama

B1, B2, B3,B4 = slope; e = Kesalahan Prediksi

Dalam model regresi linier berganda terdapat 3 persyaratan yang harus

dipenuhi yaitu :

1. Tidak ada multikolinearitas antar variabel bebas.

2. Varians dari semua kesalahan pengganggu adalah sama (homokedastis).

3. Tidak terjadi otokorelasi antar kesalahan-kesalahan pengganggu (hanya

digunakan untuk data yang bersifat time series).

Uji gejala multikolinearitas digunakan untuk mengetahui ada tidaknya

hubungan yang signifikan antar masing-masing variabel bebas yang diteliti. Untuk

Gambar

Tabel 2.5.1 Perbedaan Emosional dan Intelektual laki-laki dan perempuan
Tabel 2.5.2 Ketidaksamaan gender atas stereotipe
Tabel 5.2.  Distribusi usia responden di pemerintah kabupaten Tuban Jawa Timur,      tahun 2004
Tabel 5.3  Distribusi pendidikan responden di pemerintah kabupaten Tuban Jawa Timur,   tahun 2004
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebutkan jenis bahan baku dan bahan penolong yang digunakan selama tahun 2019 dirinci menurut "banyaknya" dan "nilai" serta asal bahan tersebut Tidak

Kinerja kelompok tani berdasarkan fungsi dan tugas kelompok tani di Kecamatan Suranenggala tergolong kategori tinggi, yang dinyatakan oleh 61,25% responden.Kinerja kelompok

Proses ini berjalan sesuai dengan pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Adapun orang-orang yang menduduki lapisan tertentu dibentuk bukan berdasarkan atas kesengajan yang disusun

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan status gizi anak antara lain : status sosial-ekonomi yang baik, pendidikan ibu sedang-tinggi, tempat tinggal di perkotaan, episode

Adalah Seorang Member Axogy yang bisa menunjukkan integritasnya sebagai Leader dan memiliki minimal 1000 member dibawahnya, berperilaku (attitude) yang baik,

diperoleh nilai p value (0,034) < α (0,05) dan nilai odds ratio = 2,62, maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara status spiritual dengan kualitas

Selain hal tersebut, Surat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) diupayakan oleh pemerintah melalui kekuasaan yang dimiliki untuk membuat SVLK berbiaya rendah... Hal

Proses pengembangan instrumen penelitian terdiri dari dua bagian yaitu uji validitas dan uji reliabilitas yang digunakan untuk menguji tiap item pernyataan yang terdapat