Dua TV , DUA CERMIN POLITIK INDONESIA”
(TINJAUAN EKONOMI POLITIK KRITIS DIBALIK PRAKTEK
PRODUKSI WACANA BERITA POLITIK TV ONE
VS METRO TV)
Abstrak
Dua TV, Dua Cermin politik indonesia adalah sebuah tinjauan ekonomi politik kritis dalam melihat konstruksi dibalik wacana berita dari dua
televisi news indonesia yakni metro TV dan TV One. Fokus studi ini, menggunakan pendekatan ekonomi politik kritis yang diperkenalkan oleh Graham Murdock yang menekankan proses ekonomi dan struktur produksi
media sangat dipengaruhi oleh kepentingan kepemilikan media dalam upaya menjaga relasi dan dominasi ekonomi, sosial dan politik pemilik.
Kajian ini membuktikan bahwa media bukanlah cermin yang jujur dan saluran yang netral bagi kepentingan publik secara luas namun media adalah sarana untuk mempertahankan dominasi politik dan ekonomi kedua
pemilik televisi yakni Surya Paloh dan Abu Rizal Bakrie.
I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
‘
Golkar panas, Jelang Munas’! Itulah kalimat pembuka dari pembaca berita
metro TV pada hari minggu 30 november 20141. Berita tersebut juga
dilengkapi dengan gambar saat petugas keamanan internal munas terlihat
bersitengang dengan sejumlah orang, lalu dengan efek gambaran yang dibuat
dramatis berita dilanjutkan dengan menyajikan peristiwa perkelahian di
kantor DPP Golkar beberapa hari sebelumnya.
Berbeda dengan TV one, pada hari yang sama dalam seluruh berita
menyangkut munas golkar , justru menampilkan eagle pristiwa yang sangat
berbeda ‘Munas Golkar berlangsung kondusif2’. Gambaran kesan kemewahan
jelang pelaksanaan munas, wawancara dengan kapolda bali yang menjamin
munas berlangsung aman, dan tawa bahagia beberapa peserta munas yang
berdatangan ke nusa dua bali justru menjadi fokus gambaran berita.
Satu peristiwa, dua cermin realitas yang berbeda! Itulah kesan yang dapat kita
tangkap dari kedua TV nasional tersebut dalam melakukan konstruksi
pemberitaan. Semenjak beberapa tahun terakhir persaingan kedua tv news
tersebut memang terlihat secara nyata.
Jika sebelum tensi politik masa pemilu meningkat, kedua TV bersaing dari
segi kecepatan dalam memperoleh berita, maka setelah memasuki masa
jelang pemilihan legislatif sampai pilpres kedua televisi saling bersaing dalam
merekonstruksi peristiwa.
Metro TV adalah televisi yang paling sering memberitakan berbagai hal postif
menyangkut Jokowidodo beserta partai-partai mitra koalisi indonesia hebat
(KIH), maka TV one adalah televisi yang getol dalam memberitakan segala
kebaikan dari Prabowo Subianto beserta partai-partai penyokong koalisi
merah putih (KMP).
2
Bukan hanya berlomba dalam melakukan konstruksi pemberitaan postif,
kedua TV juga saling berlomba untuk bersaing untuk menyerang pihak lawan
melalui serangkaian bad news. Puncaknya bisa disaksikan ketika pada saat
hari pemilihan presiden ketika dua televisi sama-sama mengklaim
kemenangan masing-masing calon presiden serta menyerang pihak lawan!
Dalam pandangan kritis, media berfungsi sebagai ‘alat produksi’ ilusi
kesadaran palsu bagi kelas yang berkuasa3. Ibarat sebuah pabrik, media
bertugas untuk mengolah dan menyampaikan ide-ide milik kelas yang
berkuasa untuk membangun kesadaran palsu bagi khalayak.
Menjadi sangat menarik melihat konstruksi pemberitaan dua Televisi
nasional tersebut dengan menggunakan sudut pandang paradigma kritis,
utamanya dalam melihat bagaimana relasi praktek produksi dan wacana
kedua televisi news tersebut, dalam membentuk reproduksi wacana
pemberitaan menyangkut berbagai berita politik aktor, partai, dari dua kubu
Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) .
II. Masalah yang dikaji
Tulisan ini berfokus memberikan tinjauan kritis, dibalik relasi ekonomi
politik kepemilikan media dan pengaruhnya terhadap produksi wacana berita
politik dari dua televisi berita yakni Metro TV dan TV.One, dalam melakukan
konstruksi wacana pemberitaan politik menyangkut aktor, partai, dan dua
koalisi politik yakni koalisi indonesia hebat dan koalisi merah putih .
III. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini memberikan tinjauan akademik menyangkut relasi
dibalik kepentingan ekonomi politik dua kepemilikan industri televisi dan
pengaruhnya terhadap konstruksi wacana berita politik nasional.
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Media dalam sudut pandang dan kaca mata Ekonomi Politik
Kritis
Sebuah peristiwa, sangat tergantung dari sudut mana dan kacamata apa yang
dipakai untuk melihatnya. Dengan menggunakan model pendekatan ekonomi
politik kritis, maka sudut pandang dan kacamata yang dipakai yakni
menekankan pada aspek ekonomi (seperti kepemilikan dan pengendalian
media), keterkaitan kepemimpinan dan faktor-faktor lain yang menyatukan
industri media dengan industri lainnya, hubungan kepemilikan media dan elit
politik, kepentingan ekonomi, dan upaya menjaga relasi sosial.
Pandangan teori kritis yang berlandaskan pada gagasan marxisme yang
cenderung menekankan peranan media massa dalam mereproduksi status
quo, sebagai kebalikan dari kelompok pluralis media yang menekankan pada
peranan media dalam meningkatkan kebebasan berbicara. Gurevitch 4
memberikan panduan 3 paradigma dalam pendekatan kajian media kritis,
4
Golding and Murdock. (1991). “Culture Communication, and Political Economy” dalam Curran dan Gurevitch (pp 15 –32)
Tokoh Fokus sudut Pandang
Althuserian strukturalis fokus pada artikulasi internal dari sistem penandaan media.
Graham Murdock Menempatkan kekuatan media dalam proses ekonomi dan struktur produksi media. Pemilikan dan pengendalian media dilihat sebagai faktor kunci dalam mengendalikan pesan media.
berdasarkan tokoh dan sudut pandang mereka melihat bentuk konstruksi
media yakni:
Sementara itu, dalam pandangan kaum positivis, media dan apa yang
ditampilkannya adalah refleksi dan pencerminan dari realitas. Berita adalah
mirror of reality5. Studi ekonomi politik media melihat bahwa isi dan
maksud-maksud yang terkandung dalam pesan-pesan media ditentukan oleh
dasar ekonomi dari organisasi media yang menghasilkannya.
Dalam pandangan Golding dan Murdock6, pendekatan ekonomi politik
mempunyai tiga karakteristik penting. Pertama, holistik, dalam arti
pendekatan ekonomi politik melihat hubungan yang saling berkaitan antara
berbagai faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di sekitar media dan
berusaha melihat berbagai pengaruh dari beragam faktor.
Kedua historis, analisis ekonomi politik mengaitkan posisi media dengan
lingkungan global dan kapitalistik, dimana proses perubahan dan
perkembangan konstelasi ekonomi merupakan hal yang terpenting untuk
diamati. Ketiga, studi ekonomi politik juga berpegang pada falsafah
materialisme, dalam arti mengacu pada hal-hal yang nyata dalam realitas
kehidupan media.
Pendekatan ekonomi politik media dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu
pendekatan ekonomi politik liberal (sebagar mainstream) dan pendekatan
ekonomi politik kritis. Perbedaan prinsip antara pendekatan liberal dan kritis
terletak pada bagaimana aspek ekonomi politik media itu dilihat.
Dalam pendekatan liberal, aspek ekonomi dilihat sebagai bagian dari kerja
dan praktek profesional. Iklan, pemodal dilihat sebagai instrumen profesional
dalam menerbitkan media. Sebaliknya, dalam pendekatan kritis, aspek
ekonomi politik selalu dilihat dan dimaknai sebagai kontrol.
5 Pandangan postivisme yang melihat media sebagai cermin kebenaran dalam Anri van der Spuy ;
Mirror, mirror upon the wall is a student at the University of Stellenbosch
Bagian Iklan dan pemodal bukan semata-mata dilihat sebagai bentuk kerja
dan praktek profesional, tetapi iklan dan pemodal itu adalah instrumen
pengontrol, melalui mana kelompok dominan memaksakan dominasi kepada
kelompok lain yang tidak dominan.
Sebaliknya dalam pendekatan kritis, beragamnya posisi dan ketidaksamaan
posisi dalam sebuah organisasi media menyebabkan dominasi satu kelompok
kepada kelompok lain. Bagian iklan atau pemilik media dapat menjadikan
kekuasaannya mendominasi pihak lain, misalnya untuk memaksa bagian
redaksi agar memberitakan kasus-kasus yang menguntungkan pemilik media
saja.
Murdock telah membantu alat analisis ini dengan menggemukakan
pendekatan ekonomi- politik media ini dari aspek epistemology, historis, isue,
dan fokus yang menjadi concern dari ekonomi politik media kritis. Klasifikisi
tersebut digambarkan sebagai berikut Murdock dalam Agas Sudibyo,
Absennya Pendekatan Ekonomi Politik 7:
2.2. Media sebagai agen Konstruksi Kebenaran
Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa
terlepaskan dari bangunan teoretik yang telah dikemukakan oleh Peter L.
Berger dan Thomas Luckmann. Peter L. Berger merupakan sosiolog dari New
School for Social Reserach, New York, Sementara Thomas Luckman adalah
sosiolog dari University of Frankfurt.
Kedua, tokoh tersebut memberikan kontribusi besar bagi berkembangnya
analisis menyangkut konstruksi sosial dan relasinya dalam kerja –kerja media
dalam melakukan konstruksi realitas. Susbtansi teori dan pendekatan
konstruksi sosial atas realitas dari Berger dan Luckmann adalah pada yang
terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari8. Peter L.
Berger dan Thomas Luckmann, menjadikan variabel atau fenomena media
massa menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi, subyektivasi,
dan internalisasi yang kemudian dikenal sebagai “konstruksi sosial media
massa”.
Media adalah agen konstruksi. Pandangan konstruksionis mempunyai posisi
yang berbeda dibandingkan positivis dalam menilai media. Dalam pandangan
positivis, media dilihat sebagai saluran. Media adalah sarana bagaimana
pesan disebarkan dari komunikator ke penerima (khalayak).
Media dilihat murni sebagai saluran, tempat bagaimana transaksi pesan dari
semua pihak yang terlibat dalam berita. Pandangan semacam ini, tentu saja
melihat media bukan sebagai agen melainkan hanya saluran. Media dilihat
sebagai sarana yang netral dan bebas dari berbagai kepentingan.
Kalau ada berita yang menyebutkan kelompok tertentu atau menggambarkan
realitas dengan citra tertentu, gambaran semacam itu merupakan hasil dari
sumber berita (komunikator) yang menggunakan media untuk
mengemukakan pendapatnya. Pendeknya, media disini tidak berperan dalam
membentuk realitas. Apa yang tampil dalam pemberitaan itulah yang
sebenarnya terjadi. Ia hanya saluran untuk menggambarkan realitas,
menggambarkan peristiwa.
Dalam pandangan konstruksionis, media dilihat sebaliknya. Media bukanlah
sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas,
lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Disini media dipandang
sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas.
Pandangan semacam ini menolak argumen yang menyatakan media
seolah-olah sebagai tempat saluran bebas. Berita yang kita baca bukan hanya
menggambarkan realitas, bukan hanya menujukkan pendapat sumber berita,
tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri.
Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas
yang tersaji dalam pemberitaan. Media memilih realitas mana yang diambil
dan mana yang tidak diambil. Media bukan hanya memilih peristiwa dan
menentukan sumber berita, melainkan juga berperan dalam mendefinisikan
aktor dan peristiwa.
Berita bukan refleksi dari realitas. Ia hanyalah konstruksi dari realitas. Dalam
pandangan positivis, berita adalah informasi. Ia dihadirkan kepada khalayak
sebagai representasi dari kenyataan. Kenyataan itu ditulis kembali dan
ditransformasikan lewat berita. Tetapi dalam pandangan konstruksionis,
berita itu ibaratnya sebuah drama. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi
potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan
peristiwa.
Seperti sebuah drama, tentu saja ada pihak yang didefinisikan sebagai
pahlawan (hero), tetapi ada juga pihak yang didefinisikan sebagai musuh dan
pecundang. Semua itu dibentuk layaknya sebuah drama yang dipertontonkan
kepada publik. Dalam pandangan kaum positivis, berita adalah refleksi dan
Pandangan ini ditolak oleh kaum konstruksionis9, berita adalah hasil dari
konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan
nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat
tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses
pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita
merupakan pencerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi
menghasilkan berita yang berbeda. Perbedaan antara realitas yang
sesungguhnya dengan berita tidak dianggap salah, tetapi sebagai suatu
kewajaran.
Berita bukanlah representasi dari realitas. Berita yang kita baca pada
dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah baku
jurnalistik. Semua proses konstruksi (memulai dari memilih fakta, sumber,
pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana
realitas tersebut hadir dihadapan khalayak. Berita bersifat
subjektif/konstruksi atas realitas.
Substansi dari konstruksi sosial media massa ini adalah pada sirkulasi
informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan
sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga
membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa
cenderung sinis.
9
BAB III
METODOLOGI KAJIAN
3.1. FOKUS STUDI LITERATUR
Fokus studi ini, menggunakan pendekatan ekonomi politik kritis dengan
memakai metode yang digunakan oleh Graham Murdock yang menempatkan
kekuatan media dalam proses ekonomi dan struktur produksi media, dimana
faktor ke pemilikan dan pengendalian media dilihat sebagai faktor kunci
dalam mengendalikan pesan dan konstruksi pemberitaan sebuah media.
Pandangan ekonomi politik media kritis, yang dikemukakan oleh Graham
Murdock kemudian dijadikan sebagai alat bedah untuk menganalisis pola
konstruksi wacana pemberitaan politik oleh kedua televisi news nasional
yakni metro tv dan tv one.
3.2. SUMBER INFORMASI KAJIAN
1. Sumber informasi primer :
a. Rekaman berita politik dua televisi nasional metro tv dan tv one
b. Ulasan sejumlah jurnal internasional dan nasional menyangkut model studi
ekonomi politik media kritis
2. Sumber informasi sekunder :
Situs website resmi masing-masing televisi, youtube kedua televisi serta
bahan bacaan pendukung lainya.
3. Metode Analisis
Analisis yang digunakan adalah analisis kritis dengan melakukan kajian atas
sejumlah potongan berita, model konstruksi angel pemberitaan menyangkut
berita politik, serta kemudian di analisis dengan model pendekatan ekonomi
politik media kritis Graham Murdock dan studi konstruksi sosial media Peter
L. Berger dan Thomas Luckmann.
BAB IV
HASIL ANALISIS
4.1. DUA TELEVISI, DUA PENGUSAHA, DUA CORONG KOALISI
POLITIK
Semenjak jelang masa pemilihan presiden, sampai saat ini politik
indonesia terus terpolarisasi dalam dua kekuatan politik yang saling
berhadap-hadapan. Antara koalisi merah putih (KMP) dan Koalisi
Indonesia Hebat (KIH).
Polarisasi politik tersebut, berlangsung bukan hanya pada arena
konsolidasi kepentingan elit pada saat pilpres, namun lebih jauh
merasuk dalam struktur kekuasaan resmi negara antara koalisi
pemerintahan yang dikuasi oleh KIH dan KMP yang mendominasi
pimpinan parlemen.
Dalam perkembanganya, pertarungan politik tersebut menjadi lestari
oleh dua televisi berita nasional yakni metro TV dan TV One. Kedua
televisi tersebut sama-sama melakukan pengukuhan kebenaran atas
kepentingan politik dua poros koalisi besar tersebut.
Dalam jejaring sosial, publik kemudian mengekspresikan kritik mereka
dengan berbagai ungkapan misalnya; TV one televisi DPR, Metro TV
televisi pemerintah10, Metro TV, televisi KIH dan TV One, Televisi
KMP11 serta berbagai ungkapan lainya yang disampaikan dalam
dinding status akun jejaring sosial ataupun melalui sejumlah ekspresi
gambar yang dikenal sebagai mame12
Ungkapan kritik publik tersebut, bukan tanpa basis argumentasi secara
struktural kerja-kerja konstruksi pembenaran tersebut dapat terlihat
10 Ungkapan di jejaring sosial 11
ungkapan di jejaring sosial
dari bagaimana kedua televisi melakukan kemasan produksi berita
mereka kepada halayak.
Kedua televisi sama-sama secara telanjang, menampilkan opini mereka
untuk mendukung segala hal yang berhubungan dengan kepentingan
relasi politik dua pemilik media tersebut yakni Surya Paloh dan Abu
Rizal bakrie.
Jika dilihat secara holistik, sebagaimana pendekatan ekonomi politik
kritis Golding dan Murdock yang menekankan hubungan antara
berbagai relasi kepentingan, maka melihat pertarungan antara kedua
televisi berita tersebut bisa ditelusuri dengan melihat relasi konflik
kepentingan dari kedua pemilik televisi yang dimulai sejak tahun
200913.
4.1.1 Konflik Lestari dua Politisi, Konflik dua Televisi
Polarisasi dari konflik dua pemilik media tersebut sebenarnya dapat
dipelajari secara historis, ketika keduanya yakni Surya Paloh dan Abu
Rizal bakrie saling terlibat perebutan posisi ketua umum golkar pada
tahun 2009.
Kedua media, baik metro TV maupun TV one sama-sama melakukan klaim
akan keunggulan pemilik mereka. Dalam berbagai berita, metro TV
menegaskan bahwa surya paloh yang ketika itu menjabat sebagai ketua dewan
penasehat golkar, adalah kandidat ketua umum yang mendapatkan dukungan
penuh dari sejumlah DPD I maupun II golkar .
Tak jauh berbeda dengan Metro TV pada tahun 2009 yang lalu, ketika maju
untuk pertama kalinya dalam bursa pemilihan ketua umum Golkar Abu Rizal
bakrie juga menjadikan TV One sebagai corong untuk mendapatkan
dukungan luas dari masa golkar hal ini bisa terlihat dari berbagai konstruksi
berita yang disajikan oleh TV one.
Melalui pendekatan historis untuk melihat latar konflik kedua aktor pemilik
media ini, maka dapat dipelajari latar awal perang ketua Televisi News
nasional tersebut. Secara historis antara Abu Rizal Bakrie dan Surya Paloh
pernah terlibat konflik besar yang kemudian berlanjut sampai hari ini dalam
panggung dan arena politik yang lebih luas antara KMP dan KIP.
4.1.2. DUA CORONG KOALISI POLITIK
Pasca konflik pemilihan ketua umum Golkar tahun 2009, perseteruan kedua
pemilik media dalam panggung politik nasional kembali berlanjut. Jelang
pemilihan presiden 2014, ketika kedua tokoh sama-sama terlibat secara aktif
Surya paloh bersama partai Nasional Demokrat (Nasdem), menjadi motor
bagi koalisi indonesia hebat, sementara Abu Rizal Bakrie menjadi pemimpin
koalisi merah putih. Lewat dua televisi yang mereka miliki metro TV dan TV
one, keduanya menggiring konflik mereka ke arena publik yang lebih luas.
Pada pemilihan presiden yang lalu, secara telanjang teori media dalam sudut
pandang postivisme dimana media dilihat murni sebagai saluran, tempat
bagaimana transaksi pesan dari semua pihak yang terlibat dalam berita yang
netral dan bebas nilai dari berbagai kepentingan benar-benar tidak terbukti.
Media, sebagaimana dalam pandangan kritis bukanlah sekedar saluran yang
bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan
pandangan, bias dan pemihakannya. Pada pemilu 2014, media berjalan
sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas sesuai dengan
arah dan kehendak politik pemilik mereka.
Hal ini, bisa terlihat dari konstruksi berita yang digunakan oleh kedua televisi
dalam memberitakan kepentingan pemilik masing-masing. Dimana secara
nyata setiap agenda politik pemilik dan dukungan mereka menjadi liputan
utama masing-masing media.
Dari sekedar liputan pertemuan masing-masing tokoh sampai aktivitas
kampanye yang dilakukan. Semuanya mendapatkan porsi dan durasi
pemberitaan yang berlebih dari masing-masing calon yang diusung oleh
pemilik media, bahkan dijadikan sebagai bentuk kampanye politik secara
Pasca pemilihan presiden, kedua koalisi politik benar-benar memanfaatkan
kedua media baik metro TV dan TV one sebagai sarana mengukuhkan koalisi,
maupun sikap politik atas berbagai peristiwa hal ini bisa nampak dari
bagaimana konstruksi berita dari masing-masing TV atas dua koalisi tersebut.
Padahal, Undang-Undang Pers Nomer 40 Tahun 1999. Dinyatakan bahwa
pers merupakan lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
melakasanakan kegiatan jurnalistik. Sebagai pelaku media informasi, selain
memiliki fungsi pendidikan dan fungsi hiburan, pers juga memiliki fungsi
kontrol sosial.
Dari realitas yang nampak, dari berbagai konstruksi berita kedua televisi
tersebut dapat terlihat bahwa kepentingan media sebagai sarana komunikasi
masa untuk menyalurkan informasi dan fungsi pendidikan tidak lagi nampak,
namun kedua televisi lebih menampakan diri sebagai corong kebenaran dua
poros koalisi yang ditopang oleh kebenaran dari pemilik media tersebut.
4.2. DUA MODEL KONSTRUKSI BERITA, DUA TELEVISI BERITA
Media dalam paradigma konstruksi sosial yang disampaikan oleh Peter L.
Berger dan Luckman, menyajikan variabel atau fenomena media massa massa
dengan mengajukan unit analisis pembentukan konstruksi citra.Bangunan
konstruksi citra yang dibangun oleh media massa ini terbentuk dalam dua
model : 1) model good news dan 2) model bad news.
Model good news, adalah sebuah konstruksi yang cenderung mengkonstruksi
suatu pemberitaan sebagai pemberitaan yang baik. Pada model ini objek
pemberitaan dikonstruksi sebagai sesuatu yang memiliki citra baik sehingga
terkesan lebih baik dari sesungguhnya kebaikan yang ada pada objek itu
sendiri. Sementara, pada model bad news adalah sebuah konstruksi yang
cenderung mengkonstruksi kejelekan atau cenderung memberi citra buruk
pada objek pemberitaan sehingga terkesan lebih jelek, lebih buruk, lebih jahat
dari sesungguhnya sifat jelek, buruk, dan jahat yang ada pada objek
4.2.1 Serangan Bad News dari dua Televisi
Howard Becker mengembangkan teori pelabelan14 (juga dikenal sebagai teori
reaksi sosial), dalam teorinya becker menjelaskan bahwa lebel atau pelabelah
adalah cara untuk membentuk sebuah presepsi. Dalam konteks konstruksi
sosial, label banyak digunakan untuk membentuk kesan positif maupun
negatif atas sesuatu, diri, atau sebuah kejadian.
Hal yang sama berlaku pada media melalui berita, baik melalui bad news
maupun melalui good news. Pelabelan berlangsung dalam konstruksi
pesan-pesan dibalik berita yang bisa nampak dari bagaimana cara media tersebut
memberikan justifikasi kepada seseorang atau tokoh.
Pada kasus metro TV maupun TV one, kedua televisi sama-sama melakukan
pelabelan dalam konstruksi beritanya. Dengan cara secara terus menerus
menggiring wacana kesan berita positif pada relasi koalisi yang disokong oleh
pemilik mereka, dan memberikan lebel negatif pada lawan politiknya.
Hal ini nampak jelas dari cara konstruksi berita masing-masing televisi.
Misalnya saja, ketika munas Golkar berlangsung di bali, berita menyangkut
lumpur lapindo mendapatkan porsi yang sering dimunculkan oleh metro TV.
14
Sebagai bentuk balasan, TV one dan jaringan viva news membalas dengan
menampilkan kisruh dibalik impor minyak angola yang diidentifikasi
berhubungan dengan kepentingan perusahaan bisnis surya paloh. Kedua
media secara terbuka sedang mengkonstruksi untuk memberi lebel kepada
masing-masing pemilik, bahwa ingat Abu Rizal Bakrie inggat Lumpur
Lapindo, sedangkan dibalik kenaikan BBM dan perubahan impor minyak
ada kepentingan surya paloh!
Media sebagai representasi dari kepentingan pemilik tak bisa disangkal jika
melihat bagaimana konstruksi wacana pemberitaan kedua media, selain
menjadi corong kepentingan politik kedua media juga menjadi corong dari
pembela kepentingan dari relasi bisnis dan ekonomi dari masing-masing
pemilik.
Selain dalam relasi kepentingan bisnis, serangan bad news juga berlangsung
pada berbagai berita menyangkut intervensi pengaruh masing-masing tokoh
dalam koalisi politiknya. TV one secara terbuka menyerang surya paloh dan
partai nasdem sebagai partai dan tokoh yang panen jatah metri dan secara
sengaja memasang anggota partainya untuk melakukan intervensi hukum
dalam kasus pemilihan jaksa agung.
Sementara itu, metro TV kembali melakukan serangan balasan dengan
karena ingin tetap menguasai kekuatan politik beringin dan menjadi aktor
utama perpecahan dalam tubuh partai golkar.
4.2.3 Good News Hanya untuk Sang pemilik
Tak hanya sibuk saling menyerang pihak lawan, kedua TV juga menjadi sarana untuk mengkonstruksi segala hal positif bagi kedua pemiliknya. Dalam banyak momentum, metro TV senantiasa meliput segala kegiatan positif dari Surya Paloh diluar berbagai pemberitaan politik yang dilakukan oleh surya paloh dan partai Nasdem.
Misalnya saja ketika surya paloh mendapatkan gelar Honorary Profesorship (Profesor Kehormatan) dari Beijing Foreign Studies University, Beijing, Cina pada 10 september 2014 yang lalu. Metro TV melakukan tayangan live peristiwa tersebut bahkan mewawancari langsung surya paloh dari cina.
Rekonstruksi berita postif tentang diri Surya paloh yang dibentuk oleh metro TV semakin menegaskan kendali kepemilikan atas sebuah media, menjadi sangat dominan. Gambaran teori kritis yang melihat media sebagai instrumen pengontrol wacana menjadi sebuah hal yang tidak bisa ditolak lewat praktek
Tak jauh berbeda, dengan metro TV dalam sejumlah program acaranya TV
one juga melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh metro TV.
Misalnya saja, TV one begitu sering menampilkan sisi kehidupan pribadi dari
ARB dan keluarga.
Usaha menampakan diri ARB sebagai sebuah keluarga yang intelektual,
berlatar belakang pengusaha yang sukses, humanis menjadi kesan yang terus
dibungkus oleh TV one. Dari gambaran pola konstruksi berita akan aktor dan
tokoh politik ini rasanya menjadi benar bahwa good news hanya untuk sang
BAB V Kesimpulan
A. KESIMPULAN
1. Dari hasil kajian ini, dapat disimpulkan bahwa dominasi
kepemilikan media dan pengaruhnya terhadap pola penggiringan
kepentingan wacana politik dan ekonomi para pemilik stasiun
televisi adalah hal yang benar. Gambaran paradigma ekonomi
politik kritis yang melihat media adalah agen konstruksi wacana
bagi kepentingan para pemiliknya dalam upaya mengukuhkan
dominasi bisnis dan politik, nampak tercermin dari kedua stasiun
televisi baik TV one maupun metro TV dalam wujud konstruksi
berita maupun sejumlah acara mereka.
2. Wujud dan model konstruksi media yang dilakukan oleh kedua
Televisi ditampilkan dalam wujud labeling maupun startegi
pencitraan yang menampilkan sejumlah bad news bagi pihak lawan
dan mengkonstruksi berita good news bagi para pemiliknya.
3. Media secara nyata menjadi corong bagi kepentingan relasi politik
dan ekonomi oleh kedua pemiliknya, bahkan kedua televisi tidak
lagi menjadi saluran yang menampilkan realitas justru sebagai
sarana mengkonstruksi realitas sesuai dengan kepentingan
BAHAN BACAAN :
Berger dan Luckmann dalam Suparno dalam Bungin, 2008:13.
Curran, lames, Gurevitch, Michael, dan Woollacott, Janet (7987), 'The Study of the Media: Theoretical Approaches,' dalam Oliver Boyd Barret dan Peter Braham ("d), Media, Knowledg", and Power, London, Croom Helm, hal.63-70.
Golding and Murdock. (1991). “Culture Communication, and Political Economy” dalam Currandan Gurevitch (pp 15 –32)
Herman, Edward S. dan Chomsky, Noam (1988), Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media, New York, Pantheon Books, 1988.
Rogers, Everett M. (1982), 'The Empirical and the Critical School of Communication Research,' dalam Michael Burgoon ("d), Communication Yearbook, Vol. 5, London, Transaction Books, hal. 725-1.43.
Rogers, Everett M. (7994), A History of Communication Study: A Biographical Approacrl, New York, The Free Press.
Schulman, Mark, (7990), 'Control Mechanism Inside the Media,' dalam Sudibyo, Agus jurnal ilmu sosial dan ilmu politik volume 4 hal (123);2000
Sumber Internet :
www. You tobe. Com /link partai Golkar dan Nasdem