Gender dalam Hubungan Internasional :
Analisa Gender dalam Kebijakan Pengiriman Tenaga Kerja Wanita
Indonesia ke Arab Saudi
Queentries Regar
105120400111041
Program Studi S1 Hubungan Internasional
Universitas Brawijaya
Abstrak
Indonesia dalah negara yang cukup aktif mengirimkan tenaga kerja ke luar negeri dan remitansi tenga kerja Indonesia (TKI) yang masuk ke Indonesia menjadi salah satu sumber pemasukan yang besar bagi Indonesia. Tingginya jumlah remitansi yang masuk diiringi pula dengan tingginya angka kasus TKI yang mengalami penyiksaan, kekerasan seksual hingga dihukum mati di Arab Saudi. Tingginya jumlah kasus TKI bermasalah sayangnya tidak diiringi dengan tingginye penyediaan perlindungan bagi TKI dari pemerintah Indonesia. Akhrinya, perempuan yang mendominasi total jumlah TKI yang dikirim menjadi korban dalam kasus-kasus tersebut. Argumen utama dalam jurnal ini ialah pemerintah belum memberikan perlindungan maksimal dan spesifik bagi tenaga kerja wanita (TKW) sebagai bentuk pemberian hak perlindungan dan kesamaan serta penghargaan (appreciation) terhadap para TKW.
Pendahuluan
Pada bulan Agustus tahun 2013, kantor Migrant CARE1 didatangi oleh
seorang pria bernama Tri Apriyanto. Pria ini melaporkan kasus adiknya, seorang
tenaga kerja Indonesia (TKI) bernama Encih Pratiwi, yang bekerja sebagai Penata
Laksana Rumah Tangga (PLRT) di Riyadh, Arab Saudi yang mendapatkan kekerasan
dan ditahan oleh majikan karena Encih menolak diajak menikah oleh majikan. Encih
menjadi korban penganiayan dimana ia sering dipukul oleh majikan, tidak diijinkan
berkomunikasi dengan siapapun termasuk keluarga di Indonesia, tidak diijinkan
keluar rumah dan gaji tidak dibayar sejak tahun 2009.
Keluarga Encih telah melaporkan kasus ini ke Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
Brebes, agen pengirim Encih dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungann
Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) memohon bantuan dan perlindungan agar Encih
segera dipulangkan ke Indonesia. Baru pada dua tahun kemudian, Kementrian Luar
Negeri (Kemenlu) Indonesia mengirimkan surat kepada keluarga di Brebes dan
melampirkan nota jawaban dari Kementrian Luar Negeri Arab Saudi, dimana nota
tersebut berisi pernyataan bahwa Encih tidak berkeinginan untuk pulang. Surat
tersebut juga sebagai pernyataan dari pemerintah bahwa kasus Encih telah selesai,
tanpa menindaklanjuti apakah benar Encih menulis tersebut dengan kemauan sendiri
tanpa paksaan. Padahal pada bulan yang sama, dengan bantuan tenaga kerja asal
Filipina, Encih menghubungi keluarga melalui Facebook dan memohon pertolongan
secepatnya agar dapat pulang ke Indonesia.
Laporan kasus di atas hanyalah satu dari berjuta-juta kasus TKI bermasalah,
dimana mayoritas berjenis kelamin perempuan, yang hak-haknya tidak dipenuhi oleh
pemerintah, Bahkan hanya minim perlindungan yang disediakan pemerintah terhadap
9 TKI yang telah mendapatkan hukuman mati dan 33 kasus TKW yang dalam
ancaman hukuman mati saat ini di Arab Saudi2. Jurnal ini akan menganalisa
kebijakan pemerintah Indonesia mulai dari proses perekrutan, pengiriman dan
pemulangan TKI informal serta dasar hukum perlindungan TKI di Arab Saudi
menggunakan perspektif feminis liberal sebagai instrumen untuk menganalisis data
dan informasi secara sistematis mengenai laki-laki dan perempuan melalui
identifikasi kedudukan, fungsi, peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan
serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Komposisi Perempuan dalam Peta Tenaga Kerja Indonesia
Menurut data Kemenlu3, jumlah TKI di luar negeri hingga tahun 2012 ialah
2.536.429. TKI yang menyebar di seluruh dunia tersebut terbagi dalam dua jenis yaitu
TKI formal dan informal. TKI formal adalah warga negara Indonesia yang bekerja di
luar negeri pada entitas hukum sedangkan TKI informal (buruh migran) bekerja pada
2 Migrant Workers Are Facing Double Jeoprady Abroad. Diakses dari www.thejakartaglobe.com pada 10 Januari 2014
pengguna perseorangan seperti PLRT, supir dan tukang kebun. Hingga tahun 2012,
jumlah TKI formal sebanyak 920.621 dan TKI informal sebanyak 1.615.808. Dalam
data BNPT2KI pada Juli 2013, disebutkan bahwa jenis pekerjaan informal per Juli
tahun 2013 yaitu domestic worker atau PLRT (menempati urutan pertama pekerjaan yang paling diminati, sebanyak 81.863 orang diikuti dengan pekerjaan care taker
sebanyak 25.333 orang4. Untuk Arab Saudi, hingga akhir Juli 2013, jumlah TKI yang
dikirim ke Arab Saudi adalah sebanyak 21.3765 dengan mayoritas dari total angka
tersebut adalah perempuan. Dari total 494.609 TKI yang dikirim pada tahun 2012,
57% (279.784 jiwa) adalah perempuan. Secara rata-rata, jumlah tenaga kerja informal
Indonesia yang bermigrasi ke luar negeri selalu didominasi oleh perempuan.
Gambar 1.1 Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Berdasarkan Jenis
Kelamin
4 Presentasi : Gambaran Umum Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri , Kepala Bnp2tki (Moh. Jumhur Hidayat), Rakornas Perlindungan WNI 20 Agustus 2013
Pada Tahun 2006 – akhir Juni 201
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 s.d Juli
25,000 125,000 225,000 325,000 425,000 525,000 625,000
542,000 543,859
496,131 528,984 451,120
376,686
279,784
139,826
PEREMPUAN
PEREMPUAN Linear (PEREMPUAN )
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 s.d Juli
20,000 70,000 120,000 170,000 220,000 270,000
138,000 152,887 148,600
103,188 124,684
210,116 214,825
112,053
LAKI-LAKI
LAKI-LAKI Linear (LAKI-LAKI)
Sumber data: PUSAT PENELITIAN PENGEMBANGAN DAN
INFORMASI (PUSLITFO BNP2TKI) 2012
Faktor penarik dari negara penerima ialah terjadinya perubahan demografis
(usia lanjut yang tinggi), pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, kelangkaan
tenaga kerja karena tingkat kelahiran yang rendah. Pertumubuhan ekonomi yang
tinggi berimbas pada banyaknya tenaga kerja lokal Arab Saudi yang memilih bekerja
di sektor professional sehingga akhirnya jumlah pekerja lokal yang tersedia untuk
tingginya jumlah penduduk lanjut usia di negara-negara tersebut sehingga muncullah
kemudian permintaan akan pekerja informal yang mampu mengemban tugas sebagai
PLRT atau care taker.
Kaum perempuan menjadi pekerja yang paling diminati untuk mengisi
pekerjaan ini sebab perempuan dianggap lebih memiliki kemampuan dan ketekunan
dalam melakukan tugas-tugas rumah tangga seperti memasak, membersihkan rumah,
mengurus anak dan orang tua. Di Arab Saudi, penduduk negara-negara tersebut lebih
menyukai tenaga kerja asing asal Indonesia sebab adanya sifat-sifat khas yang
melekat pada orang Indonesia yaitu rajin, setia, ramah dan pekerja keras. Selain itu,
kebanyakan penduduk Indonesia juga menganut agama Islam sehingga warga Timur
Tengah merasa memiliki kesamaan pandangan dalam hidup.
Adanya pengganguran dan kemiskinan yang terjadi di daerah asal menjadi
faktor pendorong migrasi TKW Indonesia. Tersedianya lowongan pekerjaan yang
sangat membutuhkan perempuan ditambah dengan perbedaan upah antar negara yang
mencolok akhirnya membuat TKW ini memilih bekerja di luar negeri.
Mayoritas TKW tersebut rutin mengirimkan gaji mereka kepada keluarga di
Indonesia. Jumlah remitansi yang mereka kirimkan ke tanah air juga tergolong tinggi,
pada tahun 2012 jumlah remitansi TKI mencapai sebesar 7.018.280.144,50 dollar
Amerika atau setara dengan Rp 67.866.768.997.274,10.6
Perempuan Dalam Kebijakan Pemerintah Indonesia Mengenai
Pengiriman dan Perlindungan TKI
Banyaknya keuntungan yang didapat dari pengiriman TKI membuat Indonesia
menjadi negara yang cukup aktif mengirimkan tenaga kerja ke luar negeri terutama
TKW informal ke wilayah Arab Saudi. Jumlah TKW dan remitansi yang besar ini
sayangnya tidak diiringi dengan tingkat proteksi yang tinggi bagi para pahlawan
devisa tersebut, khususnya bagi TKW informal yang tidak memiliki ikatan legal-platform dengan atasan atau majikannya. Dari 177 kasus yang diterima oleh Migrant CARE pada tahun 2012, 39 diantaranya merupakan kasus TKW bermasalah di Arab
Saudi yang mengalami pelecehan seksual, hilang kontak, gaji tidak dibayar, dan
lain-lain.
Terdapat instrumen hukum nasional yang menjadi dasar kewajiban negara
untuk melindungi warga negara Indonesia yang berada di luar negeri yaitu
Undang No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri, Penetapan
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI, Penetapan Instruksi
Presiden No. 6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Penempatan dan
Perlindungan TKI, Penetapan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Penetapan Peraturan
Presiden No. 29 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan
TPPO, Pembuatan Permenlu No 4 Tahun 2008 tentang Sistem Pelayanan Warga pada
Keimigrasian, Revisi Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan TKI di Luar Negeri.
Instrumen hukum nasional tersebut juga dilengkapi dengan instrument hukum
internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia yaitu UN Protocol to Prevent,
Suppress & Punish Trafficking in Persons, ILO Convention 182 Concerning
Elimination of Worst Forms of Child Labor, ILO Convention 29 Concerning Forced
Labor, ILO Convention 105 Concerning Abolition of Forced Labor, ILO Convention
185 (Revised) Concerning Revising Seafarers’s Identity Documents Biometric
Testing Campaign Report, Convention No. 69/1946 Concerning the Certification of
Ships Cooks, The 1990 International Convention on the Protection of the Rights of
All Migrant Workers and Members of Their Families .
Sayangnya pelbagai dasar hukum tersebut belum mampu diaplikasikan secara
keseluruhan dan belum pro-perempuan sehingga sulit untuk memberikan
perlindungan maksimal bagi TKW bermasalah. Berdasarkan perspektif feminisme
liberal, perempuan harus masuk sebagai subjek dalam system atau kebijakan yang
diambil pemerintah terutama apabila kebijakan tersebut berkenaan langsung dengan
perempuan. Namun yang terjadi ialah perempuan tidak menjadi subjek dalam
kebijakan tersebut padahal perempuan merupakan aktor utama dalam pengiriman TKI
ke luar negeri.
Ketidakadilan dan eksploitasi pada perempuan telah dimulai dari dalam negeri
sejak proses perekrutan. Proses perekrutan diawali dengan kedatangan sponsor ke
dengan iming-iming gaji yang cukup besar. Penduduk desa umumnya berlatar
belakang kondisi ekonomi rendah sehingga sangatlah mudah bagi mereka menjadi
tergoda dengan iming-iming gaji besar namun tidak memiliki pengetahuan dan
informasi yang memadai mengenai bagaimana kondisi kerja di luar negeri.
Berhubung mayoritas lowongan pekerjaan yang tersedia adalah pekerjaan informal
maka akhirnya banyak perempuan yang dipaksa keluarga untuk menjadi TKW.
Sistem patriarki yang masih kuat di desa membuat perempuan ini tidak mampu
menolak dorongan dari keluarga untuk menjadi TKW.
Penulis melihat bahwa terdapat pula perempuan yang menjadi TKW
berdasarkan kemauan diri sendiri. Penulis menganalisa bahwa perempuan yang
bersedia menjadi TKW tersebut, sekalipun tidak ada paksaan keluarga, sebenarnya
terdorong oleh keadaan yang secara tidak langsung memaksa sang perempuan untuk
menjadi TKW. Perempuan yang dari keluarga ekonomi ini merasa memiliki
kewajiban untuk membantu ekonomi keluarga dan hanya dengan cara ini sang
perempuan dapat berkontribusi terhadap keluarga sebab di desa tidak ada pekerjaan
yang dapat menghasilkan uang banyak untuk perempuan. Kondisi ini lah membuat
wanita terjebak dalam kondisi yang tidak ada pilihan (left with no option) sehingga mau tidak mau mereka akhirnya memilih menjadi TKW. Buruknya lagi, keterpaksaan
inilah yang seringkali membuat calon TKW tidak maksimal dalam melengkapi diri
sendiri dengan pengetahuan dan informasi mumpuni mengenai dokumen dan
Kondisi ini sangat berbeda dengan kaum laki-laki di desa yang masih
memiliki pilihan untuk pergi menjadi TKI atau tetap tinggal di desa. Pertama,
laki-laki masih memiliki pilihan pekerjaan lain di desa yaitu bekerja di ladang atau di
sawah atau menjadi buruh kasar, yang mana untuk perempuan pekerjaan-pekerjaan
semacam itu tidak akan maksimal bila dikerjakan oleh perempuan dan kedua, sstem
patriarki di desa membuat suara pilihan laki-laki dianggap lebih valid dibanding pilihan perempuan.
Berikutnya adalah proses pengiriman. Sebelum ditempatkan di negara tujuan,
calon TKW yang lulus syarat akan mengkuti pelatihan kerja di Balai Latihan Kerja
(BLK). Marjinalisasi perempuan juga terjadi dalam proses pelatihan ini. Semua calon
TKI, baik laki-laki dan perempuan, ditempatkan pada suatu penampungan dan dilatih
bekerja. Dalam proses ini, ilmu dan pelatihan yang diberikan sangatlah general tanpa
memberikan pembekalan spesifik terhadap perempuan.
Apabila dianalisa lebih lanjut, sebenarnya medan dan beban kerja yang
dihadapi calon TKW yang akan berangkat ke Arab Saudi ini lebih berat dibanding
beban kerja TKI laki-laki. Kultur Arab Saudi yang tertutup dan adanya anggapan
bahwa perempuan adalah second-class citizen membuat calon TKW sangat rentan menjadi korban pelechan seksual, penganiyaan dan sebagainya. Seharusnya calon
TKW tidak hanya diberi pelatihan mengenai cara bekerja namun juga softskill
mengenai cara perempuan bertahan hidup disana, cara pencegahan dari kemungkinan
menjadi korban kejahatan dan cara menyelamatkan diri apabila kejahatan telah terjadi
Swasta (PPTKIS) sangat pasif dan tindakan yang dikeluarkan hanyalah aksi kuratif,
yaitu tindakan baru dilakukan setelah ada perempuan yang menjadi korban bukan
tindakan preventif yaitu tindakan pencegahan yang dilakukan sebelum adanya
korban.
Ketika TKW sudah berada di luar negeri, UU dan hukum yang ada juga belum
bisa melindungi perempuan. Revisi Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri sangat belum memadai dalam
melindungi TKW sebab sebagian besar konten dari UU tersebut lebih
menitikberatkan pada pengaturan PPTKIS bukan pada pengaturan standar
perlindungan dan legalitas TKI. RUU tersebut juga sangat general, dimana tidak ada
aturan perlindungan spesifik terhadap perempuan. Padahal medan pekerjaan wanita,
terutama di negara-negara Timur Tengah, lebih berat dibandingkan laki-laki.
Ironisnya lagi, ketentuan menyangkut pendidikan dan pelatihan itu tak diatur khusus
dalam revisi RUU PPTKLN7.
Pada 12 April 2012 Indonesia telah meratifikasi The 1990 International
Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of
Their Families namun dalam RUU versi pemerintah hal itu tak dimasukan dalam
konsideran, baik dalam konsideran menimbang maupun mengingat. Tidak adanya
harmonisasi UU dengan konvensi tersebut, membuat perlindungan pemerintah
terhadap TKW terasa stagnan.
7 RUU PPTKLN Masih Abaikan Perlindungan TKI. Diakses dari
Isu berikutnya ialah moratorium dengan Arab Saudi. Penulis melihat
kebijakan tersebut sangat kontra-produktif dan mengabaikan perspektif hak atas
pekerjaan dan hak untuk bermigrasi terutama bagi perempuan yang menjadi dominan
dalam pengiriman TKI. Kebijakan ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah
dalam melindungi TKI. Kalaupun opsi moratorium dipilih, kebijakan tersebut harus
tetap dalam konteks penjaminan hak asasi manusia dan bukannya menutup akses
warga negara untuk bekerja dan bermigrasi.
Dalam konteks moratorium penempatan TKI ke Saudi Arabia,
moratorium semestinya dapat menjadi momentum untuk mengobservasi dan
memperbaiki segala kebobrokan yang selama ini terjadi dalam tata kelola
penempatan buruh migran, baik yang dilakukan oleh birokrasi maupun korporasi
pelaksana penempatan.8 Selama masa jeda harus dilakukan audit menyeluruh terhdap
praktek-praktek bisnis PPTKIS dan kinerja lembaga pemerintah. Pada saat yang
bersamaan, diplomasi politik untuk mendesak bilateral agreement perlindungan buruh migran dengan Arab Saudi harus diijalankan dengan sungguh-sungguh dan
juga harus dilakukan peningkatan kualitas pelatihan bagi perempuan yang seringkali
menjadi aktor rentan dalam pengiriman TKW ke Arab Saudi.
Adanya isu pelarangan penempatan TKI informal terutama Road Map Zero
Domestic Worker 20179 yang dicanangkan oleh Kementrian Tenaga Kerja dan
8 Presentasi “Arah Diplomasi Perlindungan Buruh Migran Indonesia” Oleh Wahyu Susilo :Policy Analyst Migrant CARE. Disampaikan Dalam: Rapat Koordinasi Nasional Perlindungan Warga Negara Indonesia 2013 Jakarta, 18 Agustus 2013
9 Road Map Zero Domestic Worker 2017 adalah rancangan untuk menghentikan semua pengiriman tenaga kerja informal khususnya PLRT ke luar negeri. Diakses dari www. Thejakartaglobe.com dan
Transmigrasi juga tidak suportif terhadap tenaga kerja. Usulan kebijakan ini
mengabaikan peluang yang dimiliki TKW untuk memperbaiki ekonomi sebab dalam
pasar tenaga kerja internasional, posisi potensial yang bisa dimasuki Indonesia adalah
sektor pekerja rumah tangga. Seperti yang penulis telah jabarkan sebelumnya,
perempuan bahkan menjadi figur dominan pengirim remitansi ke Indonesia dan
sumber ekonomi bagi keluarga di desa. Pelarangan penempatan TKW di sektor PLRT
adalah tindakan melawan arus komunitas internasional yang pada bulan Juni 2011
berhasil mendorong adanya pengakuan PLRT sebagai pekerja (dalam cakupan hukum
perburuhan) setara dengan pekerja di sektor lainnya dan bahkan melahirkan Konvensi
ILO No. 189 tentang Pekerjaan Layak untuk PRT10.
Yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah
mengintegrasikan sistem pendidikan dan pelatihan yang berkualitas, terukur bagi
calon TKW di sektor PLRT sehingga TKW tersebut paham akan hak dan memiliki
kapabilitas dan akses untuk memperjuangkan haknya.
Kesimpulan
Feminis liberal melihat bahwa perempuan adah aktor rasional yang memiliki
hak dan kemampuan untuk personal autonomy serta berhak dihargai dan dihormati layaknya laki-laki. Dalam kenyataannya, penghargaan terhadap perempuan belum
terimplementasi dalam kebijakan pengiriman TKW ke luar negeri.
Perempuan-perempuan yang berjasa memberikan sumbangan devisa yang besar bagi Indonesia
melalui remitansi yang rutin mereka kirimkan ke Indonesia ini masih menjadi figur
yang termajinalkan dalam kebijakan perekrutan, pengiriman dan perlindungan yang
dikeluarkan pemerintah Indonesia. Usaha dan perjuangan para TKW seringkali tidak
mendapat feedback perlindungan yang maksimal dari pemerintah.
Tingginya jumlah kasus TKW bermasalah di Arab Saudi bukanlah isu yang
baru setahun atau dua tahun dihadapi pemerintah Indonesia. Kasus TKW yang
bemunculan ini merupakan akumulasi dari kasus yang belum terselesaikan dari
tahun-tahun sebelumnya disertai dengan pembenahan hukum yang kurang dari
pemerintah. Kebijakan pemerintah mulai dari proses perekrutan, pengiriman dan
perlindungan juga belum pro-perempuan. Perempuan masih belum dianggap sebagai
figur penting yang perlu dilindungi secara spesifik dalam UU.
Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang lebih pro-perempuan,
melihat bahwa data menunjukkan perempuan menjadi figur dominan sekaligus figur
paling rentan dalam pengiriman TKI ke luar negeri. Pemerintah seharusnya tidak
hanya berpegang pada tindakan kuratif yang hanya bersifat membantu mengurangi
masalah yang telah terjadi bukan menyelesaikan masalah dari akarnya, melainkan
juga harus menciptakan tindakan-tindakan preventif sebagai bentuk proteksi terhadap
DAFTAR PUSTAKA
Data Presentasi Rapat Koordinasi Nasional Perlindungan Warga Negara Indonesia 2013, Jakarta 18 Agustus 2013
Indonesia Plans to Stop Sending Domestic Workers Abroad by 2017, diakses dari
www.thejakartaglobe.com pada 22 Desember 2013
Menuju Zero Penempatan TKI 'Domestic Worker' 2017, diakses dari
www.republika.co.id pada 22 Desember 2013
Migrant Workers Are Facing Double Jeoprady Abroad. Diakses dari
www.thejakartaglobe.com pada 10 Januari 2014
Remitansi TKI, Diakses dari www.bnp2tki.go.id pada tanggal 4 Oktober 2013