Oligarki, Ketimpangan Ekonomi dan Imajinasi Politik Kita Wijayanto1
Imagine no possessions, I wonder if you can
No need for greed or hunger, a brotherhood of man Imagine all the people sharing all the world, you… ~ Imagine, John Lennon, 1971
I
Satu pagi di Leiden. Seorang gadis mengendarai sepeda menyusuri tepian sungai. Ia memakai mantel warna hitam. Syal berwarna terang. Kemeja putih. Juga celana legging dan sepatu boot dengan hak tinggi. Rambutnya yang ikal diterpa angin. Aroma wangi semerbak di sekeliling nya. Di tingkahi udara pagi yang dingin, wajahnya yang putih berpijar di terpa mentari pagi. Pemandangan seperti ini biasa saya dapati sambil saya sendiri bersepeda ke kampus, selama lima tahun berada di Belanda.
Seorang pria separuh baya mengenakan jaket warna biru tua yang telah memudar. Memakai kemeja warna merah muda. Ia menambatkan sepeda nya di halaman depan De Vrieshof, salah satu bangunan paling tua, di universitas paling tua di Belanda: Universitas Leiden. Pria paruh baya ini bernama David Henley. Tinggi nya hampir 1,8 meter. Dia berdarah Inggris, namun telah tiga dekade tinggal dan menjadi warga negara Belanda. Saya mengenalnya karena dia adalah pembimbing akademik saya. Di halaman kampus universitas itu kadang kami berpapasan, sama‐sama memarkirkan sepeda kami.
Dalam sebuah kesempatan excursion, Margreet van Till, koordinator program kami mengajak saya jalan‐jalan ke Binnenhof. Ia merupakan sebuah kompleks bangunan pemerintahan yang berada di pusat kota Den Haag, yang terletak di tepi danau Hofvijver yang luas dan jernih. Di kompleks Beinnehof itu, terletak gedung Twedee Kamer alias gedung parlemen Belanda. Bangunan‐bangunan kementerian. Termasuk juga kantor Perdana Menteri, tempat kepala pemerintahan belanda bekerja setiap hari. Bangunan itu juga dilengkapi parkiran sepeda. Margreet menunjukkan kepada saya di mana tepatnya sang perdana menteri memarkirkan sepeda nya.
Apa yang muncul dalam benak kita ketika membaca ilustrasi di atas. Romantis, seperti hal nya si gadis? Hemat dan menyukai olah raga seperti hal nya profesor saya dan sang perdana menteri? Atau, mungkin kah ketiganya adalah
orang‐orang yang sekaligus memiliki semua sifat itu? Itulah yang saya pikirkan saat awal‐awal tiba di Belanda dulu.
Tapi bagaimana jika saya katakana bahwa keadaan itu adalah socially constructed atau politically designed? Dengan kata lain: ia lahir dari imajinasi politik masyarakatnya? Apakah anda akan percaya? Bagaimana ia bisa dijelaskan?
II
Sepeda menjadi alat transportasi Belanda usai perang dunia kedua, terutama pada tahun 70‐an di mana pertumbuhan ekonomi mencapai 222 persen. Dan itu membuat bangsa Belanda memiliki kemampuan untuk memenuhi jalan‐jalan mereka dengan mobil. Hasilnya adalah angka kecelakaan lalu lintas yang mencapai belasan ribu per tahun. Saat itulah muncul class action atau protes masal dari masyarakat menuntut pertumbuhan jumlah mobil dan mulai memprioritaskan sepeda. Lalu pada tahun 1973, Belanda mengalami krisis ekonomi yang cukup berat setelah beberapa dekade yang penuh kemakmuran. Ini membuat pemerintah makin mendengarkan protes masyarakat. Maka pada tahun 1975, mulailah di awali kebijakan sepeda sebagai raja jalanan dengan dibangunnaya jalur khusus sepeda. Bermula dari Den Haag dan Till Burg. Dan akhirnya meliputi seluruh wilayah Belanda. Jika kita mengikuti jalur sepeda itu tanpa henti, kita akan sampai di luar negeri: Jerman, Belgia, Perancis.
Dengan kata lain: saat saya menyaksikan sang gadis, profesor saya dan juga sang perdana menteri bersepeda, kenyataan yang saya lihat bukanlah sesuatu yang alamiah. Dia adalah produk dari keputusan politik. Yang lahir dari sebuah imajinasi bahwa mencipta masyarakat dengan sedikit kecelakaan adalah mungkin. Namun sepeda bukan hanya tentang menakan angka kecelakaan, namun juga tentang upaya menciptakan masyarakat yang setara secara seekonomi dan sesedikit mungkin memiliki ketimpangan sosial. Mengapa?
Untuk memastikan bahwa sepeda menjadi “raja” jalanan, pemerintah membuat kebijakan tambahan. Dia berupa “insentive” bagi mereka yang bersepeda dan “hukuman” bagi mereka yang naik mobil atau kendaraan pribadi. Insentive bagi pesepeda ini bisa berupa hal kecil dan sederhana: parkir yang bisa tepat di depan kantor. Dan gratis. Sedang parkir mobil akan jauh dari kantor dan bayar mahal. Hingga pajak mobil yang sangat tinggi dan usia mobil yang beredar di lapangan di kontrol ketat. Mobil dengan usia di atas 5 tahun akan kena pajak lebih besar dan tidak boleh dipakai keluar rumah pada musim dingin. Karena dianggap bisa mencelakakan orang lain. Insentive untuk pesepeda juga berupa tempat parkir sepeda yang banyak di stasiun‐stasiun. Namun parkir untuk mobil di sekitar stasiun hampir tidak ada. Dia harus berjarak cukup jauh dan sangat mahal. Lalu di dalam gerbong kereta, ada gerbong khusus sepeda.
landasan filosofis nya. Mereka yang punya uang untuk membeli mobil akan menderita karena harga mobil ynag mahal, dengan pajak tinggi, harga bahan bakar dan biaya parkir yang mahal. Kendaraan umum sebaliknya. Di buat nyaman, tepat waktu dan murah. Di Belanda, pelajar tak harus membayar untuk naik bis atau kereta. Termasuk mahasiwa. Seseorang baru harus membayar jika dia telah bekerja.
Lebih jauh, keadilan ekonomi sebagai filosofi diwujudkan dalam kebijakan politik yang paling konkret: pajak progresif. Semakin besar penghasilan per bulan seseorang, semakin besar pajak yang harus dia bayarkan. Semakin kecil, maka semakin sedikit pajak yang mesti ia bayarkan. Mereka yang bergaji di antara 3000 ‐ 50000 per bulan harus membayar pajak 40%. Mereka yang lebih dari itu maka mesti membayar pajak sampai 50% atau lebih. Bagaimana dengan yang miskin yang penghasilannya di bawah standar hidup yang layak? Merka tak mesti kena pajak. Bahkan akan diberi subsidi. mereka yang tak bekerja mendapatkan subsidi bulanan.
Satu kisah lain tentang seorang tentangga. Dia adalah seorang pria tua di usia 72 tahun. Seorang gay. Tanpa pasangan. Dan tanpa pekerjaan. Tapi tiap bulan dia mendapat subsidi 1400 euro. Yang adalah lebih besar dari beasiswa saya per bulan. Opa Mida, demikian saya menyapanya, memiliki penyakit jantung. Hingga hampir tiap tahun ia mesti membayar asuransi. Dengan uang subsidi nya itu Opa bisa membayar asuransi bulanan. Lalu dengan asuransi itu dia bisa melakukan operasi jantung yang biayanya jauh lebih mahal dari premi yang ia bayarkan. Dia bisa membayar sewa rumah. Dan memenuhi rumahnya dengan perabot yang layak. Termasuk TV besar yang berfungsi sebagai home studio. Setiap selasa ada serial TV favorit nya yang ia tonton sambil menangis dari sofa nya yang empuk. Dan setiap musim panas tiba, dia selalu liburan ke Roma.
Hal sebaliknya terjadi pada profesor saya David. Dia seorang profesor dengan penghasilan baik. Istri nya adalah seorang peneliti di salah satu lemabaga riset terbaik di dunia. Namun ia sering mengeluh karena gaji istri nya habis hanya untuk membayar jasa penitipan anak tiap bulan. Saya perkirakan gaji sang istri berkisar 3000‐4000 euro per bulan. Ya, biaya penitipan anak bisa semahal itu untuk mereka. Padahal untuk teman saya pasangan Indonesia yang hidup dengan beasiswa, biaya penitipan anak mereka jauh lebh murah. Hanya 300 euro per bulan. Mereka mendapat subsidi untuk penitipan anak. Profesor saya tidak mendapatkannya. Dia juga tak punya pembantu. Karena jelas bahwa jasa pembantu atau baby sitter di rumah akan jauh lebih mahal lagi. Bahkan pasangan profesor pun tak kan kuat membayar nya.
Lantaran harga apa saja akan lebih mahal buat mereka. Belum terhitung pajak yang bisa mencapi separuh gaji mereka.
Menariknya, penghasilan sang profesor ini ternyata tak jauh lebih tinggi dari orang‐orang yang di Indonesia menjadi pekerja kelas sangat rendah, sepert cleaning service, pelayan restoran, perawat manula, tukang sapu jalan. Gajinya mereka kurang lebih sama. Mereka di bayar 8‐9 euro per jam. 40 jam seminggu. Maka pengsailannya antara 1200‐1400 euro per bulan. Ya, gaji mereka memang tak boleh di bawah 1200 euro. Karena 1150 euro dinyatakan sebagai jumlah biaya minimal bagi setiap orang yang hidup di belanda. Maka mereka yang bekerja secara legal akan dibayar tidak kurang dari itu per bulan. Jika masih kurang juga, maka negara akan menggenapi nya dengan subsidi.
Pada satu perjalanan berkereta saya bertemu dengan seorang remaja 21 tahunan. Sunny namanya. Dia mengaku baru pulang liburan dari Indonesia. Dan untuk itulah dia suka bercakap‐cakap dengan saya yang kebetulan seorang Indonesia. Selain memuji keindahan Indonesia dia juga cerita hal menarik lainnya. Yaitu bahwa dia jalan‐jalan ke Indonesia karena dia baru saja keluar dari tempatnya bekerja selama 2 tahun. Sunny hanya lulusan SMA. Jadi dia pasti bukan pekerja kerah biru. Namun dia mampu liburan ke luar negeri dengan gajinya. Dan, oh ya, dia bilang jika setelah bekerja selama dua tahun itu, dia berhak untuk mendapat gaji penuh selama tiga bulan. Dan dengan gaji 3 bulan inilah dia jalan‐jalan ke Indonesia.
Ya, di Belanda setiap orang berhak untuk mendapatkan penghidupan yang layak, seperti bunyi pasal 27 undang‐undang dasar (UUD) kita. Di Belanda, fakir miskin, orang jompo, anak‐anak terlantar bahkan juga pengungsi dipelihara oleh negara. Seperti amanat pasal 34 UUD kita. Dan seperti sila kelima Pancasila kita, negara Belanda meujudkan keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyat nya. Di sana, menjadi terlalau kaya dibandingkan tetangga sekeliling seakan merupakan sebuah dosa. Negara memastikan hal itu tidak terjadi. Bahkan untuk hal‐hal yang sepele sekali. Tidak hanya dengan pajak progresif. Namun termasuk hal kecil lainnya: bentuk rumah. Iya, dari tetangga saya yang adalah seorang mantan anggota parlemen dari partai buruh, saya tahu bahwa ada hukum yang mengatur bentuk rumah. Saat seseroang ingin membangun rumah, desainnya harus mendapat ijin dari negara. Dia tidak boleh terlalu berbeda dari rumah tetangganya. Dari situ saya tahu, mengapa semua rumah di Belanda mirip satu sama lain. Perbedaan anatar mereka yang lebih kayak atau yang biasa saja hanyalah pada interior ruangan dan isi perabot nya.
III
merujuk pada keadaan di mana sejumlah kecil manusia menguasai sebagian besar kekayaan bangsa. Robison dan Hadiz (2013) mendefiniskan oligarki sebagai suatu sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan terjadinya pengumpulan kekayaan dan kewenangan di tangan segelintir elit, beserta seperangkat mekanisme untuk mempertahankannya. Sedangkan, Winters (2013) mendefinikasannya sebagai politik pertahanan kekayaan di antara para aktor yang menguasai nya. Untuk kasus Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh para sarjana itu, segelintir yang berkuasa dari sisi politik ini ternyata adalah orang‐orang yang sama dengan mereka yang berkuasa secara ekonomi.
Buah dari ketimpangan penguasaan ekonomi dan politik hari ini adalah dilahirkannya keputusan politik yang semakin memperkaya mereka yang kuat dan semakin memarginalkan mereka yang lemah. Maka tidak heran jika Robison dan Hadiz menggambarkan bahwa demokrasi di Indonesia hari ini mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran karena ia justru dibajak oleh para elit mereka sendiri, yang mereka namai juga sebagai elit predator. Maka tidak heran jika ISEAS, sebuah lembaga riset yang berada di Singapura pada penghujung 2017 mengungkpan partai politik (45.8) dan DPR (55.4) merupakan lembaga yang plaing tidak percaya oleh masyarakat Indonesia dari 10 institusi public yang disurvey.
Dari sisi ekonomi, oligarki menghasilkan masalah yang nyata. Sebagaimana dirilis oleh berbagai lembaga riset dunia, Indonesia mengalami problem ketimpangan ekonomi yang semakin meningkat. Pada tahun 2017, OXFAM mengungkapkan bahwa satu persen warga terkaya negeri ini menguasai hampir separuh (49 persen) kekayaan nasional. Berikutnya, empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan yang lebih besar dari 40 persen penduduk termiskin, atau sekitar 100 juta orang. Dalam satu hari, pendapatan dari bunga orang terkaya di Indonesia melampaui 1.000 kali belanja orang miskin untuk kebutuhan pokok selama satu tahun. Maka, tidak mengherankan jika kita dinobatkan sebagai negara dengan ketimpangan ekonomi keenam tertinggi di dunia.
Sementara itu survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, mengungkapkan temuan yang kurang lebih sama: ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia. 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Kondisi ini hanya lebih baik dibanding Rusia, India, dan Thailand (katadata.co.id, 15 Januari 2017). Data bank dunia pada tahun 2015 menunjukkan bahwa index gini Indonesia pada tahun 2000‐an semakin memburuk dibandingkan tahun 1990‐an di mana kini gini ratio kita ada di kisaran 39,0 sedangkan pada 90‐an ada di angka 30,0. Secara sederhana kita bisa juga menyebut index gini ini sebagai index ketimpangan ekonomi di mana semakin tinggi ketimpangan di sutau Negara maka semakin tinggi index gini nya.
adalah perumahan warga yang sederhana. Dengan gang‐gang sempit. Sungai yang keruh. Pemukiman yang tak layak huni. Kondisi serupa atau bahkan lebih mengenaskan saya dapati ketika saya setahun tinggal di daerah palmerah. Tak hanya sempit, kotor dan keruh sungai nya. Namun bajir bisa sewaktu‐wkatu datang saat hujan menderas dalam waktu lama.
Bagaimana dengan Semarang? Berbicara tentang Semarang benak saya segera melayang ke tahun 2000‐2004 masa‐masa kuliah saya dahulu. Antara tahun 2002 sampai dengan 2004, saya pernah tinggal di pemukiman orang miskin di genuk karanglo. Pemudanya tiap hari nongkrong di depan kosan saya. Pengangguran. Berwajah preman. Kadang mabuk. Rambut gondrong. Banyak tato. Tapi sebenarnya mereka baik hatinya. Biarpun preman, mereka sangat takut kepada ibunya. Dan kini saya tahu, anak‐anak muda itu hanya tidak punya pekerjaan saja. Pada saat itu, pikiran saya yang sempit, melihat mereka sebagai pemuda tak berguna yang malas dan enggan bekerja keras. Kini, jika saya melihat ke belakang, yang saya lihat adalah wajah‐wajah kaum marjinal yang tak tersentuh oleh tangan Negara yang sibuk memperkaya kaum elit nya.
Sebagai peneliti media, saya belajar bahwa kawan‐kawan saya di Genuk Kranglo itu juga tak bisa menggantungkan nasibnya kepada media. Seiring dengan adanya krisis representasi pada isntitusi Negara formal seperti partai politik dan DPR, kita juga tak bisa berharap banyak kepada media. Tak lain karena para oligarkh juga menguasai media. Seperti diungkap dala studi Lim (2011 & 2012), Nugroho (2012) dan Tapsell (2017), media masa kita dikuasai oleh segilintir konglomerat yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Hasilnya adalah tidak ada nya keberagaman isi (diversity of content). Media terjebak kedalam satu dari dua corak. Pada satu sisi kita menyaksikan media menjadi insitutusi yang hanya menjadi corong kekuasaan. Yang pandai memuji dan menjadikan halaman‐halaman utama nya, jam‐jam tayangnya, menjadi panggung bagi penguasa. Di sisi lain, kita melihat media menjadi penekan penguasa yang membuat kita mendapat kesan seakan dia telah menjadi oposisi bagi kekuasaan. Namun ternyata bukan. Karena fungsi kritis itu tidak hanya tanpa didaari investigasi berdasarkan kebenaran, namun juga segera musnah begitu pemiliknya mendapat bagian dari kue kekuasaan. Dengan kata lain, sebagaimana diungkap Andres (2016), media hanya menjadi sarana di antara elit politik untuk menjadi penekan kepada kekuasaan untuk keuntungan ekonomi politiknya sendiri. Media menjadi alat tukar dalam praktik politik dagang sapi. Keduanya tidak banyak berguna bagi terjuwujudnya demokrasi substantive. Itu adalah situasi di mana demokrasi telah mampu mengantarkan kita pada pemenuhan hak‐hak asasi warga yang meliputi tak hanya hak sipil dan politik, namun juga hak asasi social dan ekonomi.
sini: blaming the victims. Jika hanya 1‐2 orang saja di Indonesia yang msikin, maka kita boleh percaya bahwa dia mungkin malas. Namun jika ada puluhan juta, atau bahkan ratusan juta masyarakat yang miskin sebagaimana diungkap Bank Dunia, maka sudah jelas bahwa struktur politik dan ekonomi lah yang melahirkannya. Di media masa kita juga tak pernah membaca investigasi atas masalah perpajakan kita, apakah para oligarkh itu memang telah membayar pajak, dan apakah uang pajak telah sampai kembali kepada masyarakat? Atau bahkan apakah lembaga perpajakan kita telah berfunsi sebagai mestinya? Tak pernah kita baca liputan mendalam tentang ini. Mungkinkah ini ada kaitannya dengan kenyataan bahwa media adalah bagian dari oligark itu?
IV
Apa yang mengkhawatirkan dari sebuah bangsa yang dikuasai oligarki? Di atas jelas bahwa oligarki melahirkan ketimpangan ekonomi dan kemiskinan. Selanjutnya ketimpangan ekonomi tinggi di masyarakat merupakan ancaman karena tidak hanya membahayakan kohesi sosial tapi juga membahayakan stabilitas politik dan ekonomi. Penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa negara‐negara dengan distribusi kekayaan yang lebih setara cenderung tumbuh lebih cepat dan lebih stabil dibandingkan dengan negara‐negara yang menunjukkan tingkat ketidaksetaraan yang tinggi.
Sementara itu, sudah lama terdapat konsensus di kalangan ilmuwan bahwa korupsi dan ketidaksetaraan saling berkaitan erat. Kedua fenomena tersebut berinteraksi dalam lingkaran setan: korupsi menyebabkan distribusi kekuasaan yang tidak merata di masyarakat yang, pada gilirannya, diterjemahkan ke dalam distribusi kekayaan dan kesempatan yang tidak setara. (TI, 2017, https://www.transparency.org/news/feature/corruption_and_inequality_how_pop ulists_mislead_people). Uslaner (2008), misalnya, mengemukakan bahwa akar korupsi terletak pada ketidakadilan ekonomi dan hukum, rendahnya tingkat kepercayaan umum (yang tidak mudah berubah), dan pilihan kebijakan yang buruk (yang mungkin cenderung berubah). Ketimpangan ekonomi memberikan tempat berkembang biak yang subur untuk korupsi, yang, pada gilirannya, menyebabkan ketidaksetaraan lebih jauh. Sama seperti korupsi terus‐menerus, ketidaksetaraan dan kepercayaan tidak banyak berubah seiring berjalannya waktu, menurut analisis agregat lintas negara Uslaner. Dia berpendapat bahwa ketimpangan yang tinggi menyebabkan rendahnya kepercayaan masyarakat pada lembaga Negara dan juga pada tingkat korupsi yang tinggi. Selanjutnya, tingkat korupsi yang makin tinggi melahirkan ketimpangan yang semakin membesar pula, yang membuat masyarakat terjebak dalam apa yang ia sebuh dengan “perangkap ketimpangan.”
sungguh‐sungguh toh dia belum tentu akan memperjuangankan nasib ku, maka lebih baik aku ambil uang nya selagi bisa”. Studi terkini menunjukkan bahwa pemilih kita semakin pragmatis bahkan hingga level pemilihan kepala desa. Pragmatism dan musnahnya kepercayaan yang akut itu membuat mereka berprinsip: “ambil saja uang nya, namun jangan coblos orang nya”. Selanjutnya biaya politik yang tinggi ini melahirkan dampak lainnya: maraknya korupsi elit politik yang membuat mereka berakhir di hotel prodeo.
Mencermati semua uraian di atas, maka lebih dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, korupsi ataupun hancurnya kepercayaan di antara kita, bagi saya akibat oligraki yang paling mencemaskan adalah ini: musnahnya imajinasi politik dan daya kreativ kita. Ya, kita begitu terbiasa hidup dengan semunya itu, sehingga perlahan kita melihat semuanya sebagai normal. Kita melihat semua itu sebagai takdir yang terberi, seperti matahari yang selalu terbit dari timur dan tenggelam di barat. Kita kehilangan imajinasi tentang bagaimana ketimpangan itu bisa dihapuskan, juga korupsi dan oligraki. Dan barangkali, kita bahkan kehilangan kepercayaan, atau sama sekali tak kepikiran, bahwa ketimpangan itu adalah konstruksi sosial, demikian juga dengan korupsi dan oligraki. Dia bukan pemeberian alam seperti hal nya matahari dan udara.
Kita terlalu terbiasa dengan “vote buying” dalam pemilu sehingga kehilangan imajinasi dan kepercayaan tentang adanya kemungkinan cara lain dalam memen angkan hati pemilih dan pemilu. Kita terbiasa dengan berita korupsi, sehingga kita kehilangan imajinasi dan kepercayaan bahwa cara berpolitik yang berbeda adalah mungkin dan bisa kita lakukan. Kita membaca kisah bayi Debora yang meninggal karena dianggap tak mampu membayar sehingga di tolak rumah sakit tanpa rasa getir. Kita mendengar kabar 72 balita meninggal di Papua dan ratusan lainnya sakit parah karena gizi bruk sebagaimana kita baca di media belum lama ini tanpa rasa iba (Tempo, 12‐18 Februari 2018). Sama seperti hal nya di lampu‐lampu merah, atau di stasiun‐stasiun kereta: kita melihat seorang ibu yang mengemis dengan bayi di gendong nya dengan tiada lagi ada rasa bersalah. Tanpa sama sekali terbit kesadaran ataupun sekedar pertanyaan: bahwa jangan‐jangan kita semua turut andil dalam mereproduksi struktur social yang timpang ini sehingga fakir miskin dan anak terlantar kita biarkan berjuang di atas aspal di bawah terik kota.
Akhirnya, Sebagaimana dituturkan dengan indah oleh Ben Anderson (1983), sebuah bangsa lahir karena ada sekelompok manusia yang, meskipun tidak pernah bertemu satu sama lain, membayangkan diri meraka sebagai sama‐sama bagian dari sebuah bangsa. Dua ratus, atau bahkan seratus tahun tahun yang lalu, saat nusantara masih berupa kerjaan yang terpisah, ide akan sebuah bangsa bernama Indonesia adalah imaji yang tampak seperti utopia. Namun kini sebuah bangsa yang bernama Indonesia telah hampir berusia seperempat abad. Hari ini, imaji akan sebuah bangsa yang berkeadilan dan bebas dari oligarki, korupsi dan ketimpangan ekonomi itu mungkin tampak seperti utopia. Namun, jika setiap warga Negara telah memulai membayangkan hal itu secara bersama‐sama hari ini, maka perwujudan akan imajinasi itu hanyalah masalah waktu. Semoga anak cucu kita kelak bisa menikmati nya.
Referensi:
Anderson, Benedict R. O'G. (1983). Imagines Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso.
Andres, Nicole. (2016). “Media‐elite interactions in post‐authoritarian Indonesia”.
Disertasi. Doctor of Philosophy Murdoch University.
Hadiz, Vedi R. an d Richard Robison. (2013). The Political Economy of Oligarchy and the Reorganization of Power in Indonesia. In Indonesia. No. 96, Special Issue: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics ( October 2013), pp. 35‐ 57.
Merlina, Lym. (2011). @crossroads: Democratization & Corporatization of Media in Indonesia. Arizona State University: Participatory Media Lab.
Merlina, Lym. (2012). The League of Thirteen Media Concentration in Indonesia.
Arizona State University: Participatory Media Lab.
Nugroho, Yanuar et all. (2012). Mapping the landscape of the media industry in contemporary Indonesia. Indonesia: Centre for Innovation Policy and Governance.
Steele, J. (2011). ‘Indonesian Journalism Post‐Suharto: Changing Ideals and Professional Practices’ in Krishna Sen and David T. Hill (eds), Politics and the Media in Twenty‐First Century Indonesia: Decade of Democracy, pp. 85‐103. New York: Routledge.
Taspell, Ross. (2017). Media Power in Indonesia. London: Rowman & Littlefield. Uslaner, Eric M. (2008). Corruption, Inequality, and the Rule of Law: The Bulging
Pocket Makes the Easy Life. China: Southwest University of Political Science and Law.
Winters, Jeffrey A. (2013) Oligarchy and Democracy in Indonesia. In Indonesia, No. 96, Special Issue: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics (October 2013), pp. 11‐33.