Selasa, 24 Februari 2015 | 10:51
Kesalahan Obat Anestesi, Kalbe Tarik
Produk Bermasalah dari Peredaran
Ilustrasi Kalbe Farma (Istimewa)
Jakarta – Merespons instruksi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), PT Kalbe Farma Tbk menarik produk anestesi atau obat bius bermasalah, Buvanest Spinal, dan obat penghentian perdarahan, Asam traneksamat, dari peredaran untuk mencegah korban yang lebih besar.
Sementara pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta BPOM dan Kementerian Kesehatan mempercepat investigasi guna memberikan ketenangan kepada masyarakat.
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, investigasi tersebut harus secepatnya dirampungkan dan hasilnya segera diumumkan kepada masyarakat. “Investigasi itu harus secepatnya dilakukan dan hasilnya diumumkan kepada masyarakat,” kata Ketua Harian YLKI Tulus Abadi kepada Investor Daily, Senin (23/2).
Klarifikasi ini, lanjutnya, melibatkan instansi dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, BPOM, dan juga Kepolisian.
“Menurut informasi yang saya terima, sudah cukup kuat bahwa produsen yang bermasalah. Produsen bisa dijerat dengan UU Perindustrian, peraturan tentang peredaran obat, distribusi obat dan makanan, dan peraturan lainnya di bidang kesehatan,” ucapnya.
Rizki juga menyebutkan Komisi IX DPR--yang ruang lingkup kerjanya mencakup bidang kesehatan-- membentuk panitia kerja (panja) untuk menyelidiki kasus ini. “Hasil kerja panja berupa rekomendasi yang harus dijalankan pemerintah mengingat masalah ini sudah seperti gunung es, di mana hak-hak konsumen sudah dilangkahi oleh produsen. Apalagi menyangkut kesehatan manusia, tidak boleh ada hak-hak konsumen yang dilangkahi. Karena itu, harus ada langkah tegas dari pemerintah terhadap produsen obat,” katanya.
Terkait sanksi kepada produsen, Tulus Abadi menyatakan proses hukum pidana dan ganti rugi juga harus dijatuhkan kepada produsen karena melanggar UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. “Acaman pidana kurungan lima tahun dan ganti rugi senilai Rp 2 miliar,” katanya.
Penarikan Produk
Sepeti diberitakan, pada Sabtu (21/2), Kementerian Kesehatan (Kemkes) melalui Komite Keselamatan Pasien dan Direktorat Bina Upaya Kesehatan (BUK) serta BPOM telah
menurunkan tim investigasi dan audit dalam kasus meninggalnya dua pasien di Rumah Sakit (RS) Siloam Lippo Village, Karawaci, Tangerang. Kedua lembaga tersebut menilai masalah terjadi pada obat Buvanest Spinal produksi PT Kalbe Farma Tbk. Dengan demikian, investigasi difokuskan pada produk dan proses produksi obat itu. Sedangkan tindakan operasi yang
dilakukan Siloam benar-benar sudah sesuai prosedur.
Dalam surat keterbukaan informasi PT Kalbe Farma Tbk kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) tertanggal 20 Februari 2015, Corporate Secretary PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) Vidjongtius mengatakan perseroan menyampaikan perkembangan terkini terkait inisiatif penarikan dua produk secara sukarela oleh perseroan yang dimulai pada 12 Februari 2015.
Menurut dia, perseroan telah senantiasa berkoordinasi dengan BPOM dalam melakukan penelaahan lebih lanjut yang hingga saat ini masih terus berlangsung. “Berdasarkan Surat Keputusan Kepala BPOM RI No PN.01.04.313.3.02.15.840 tahun 2015 tentang Pembekuan Izin Edar Injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy produksi industri farmasi PT Kalbe Farma Tbk tertanggal 17 Februari 2015, BPOM memutuskan untuk membekukan izin edar injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy produksi PT Kalbe Farma Tbk,” katanya dalam surat keterbukaan informasi yang salinannya diterima, pekan lalu.
Kegiatan Produksi pada Fasilitas Produksi Larutan Injeksi Volume Kecil Nonbetalaktam (lini 6) terhitung sejak dilaksanakan penghentian sementara kegiatan oleh Balai Besar POM di Bandung. “Perseroan telah secara langsung melaksanakan seluruh keputusan BPOM tersebut di atas yang merupakan tindakan preventif untuk melindungi keselamatan konsumen. Kami terus
berkoordinasi dengan BPOM dan Kementerian Kesehatan untuk melakukan pemeriksaan sampai selesai dan berkomitmen untuk memastikan keamanan seluruh produk Kalbe Farma,” kata Vidjongtius.
Sedangkan Dirjen BUK Kemkes, Akmal Taher pekan lalu mengatakan hasil investigasi
menunjukkan penanganan dua pasien oleh RS Siloam Karawaci sudah sesuai standard operating procedure (SOP), baik dari sisi tindakan, dokter, maupun rumah sakitnya.
“Sampai sekarang kita tidak temukan kelalaian. Dari segi perizinan rumah sakit dan dokter anestesi maupun urologi yang melakukan tindakan masih memilikii izin operasional. Jadi secara regulasi tidak ada masalah. Kemudian juga sudah dilihat mereka (Siloam Karawaci, Red) memiliki semua SOP tindakan,” kata Akmal.
Dia memastikan tidak ada korban lain terkait kasus dugaan tertukarnya isi obat anestesi Buvanest Spinal dengan Asam traneksamat. Sejauh ini, kasus tersebut hanya terjadi pada meninggalnya dua pasien di Rumah Sakit Siloam Karawaci. Dokter maupun pihak rumah sakit pasti akan langsung melaporkan jika menemui kasus yang sama.
Akmal mengatakan, dari hasil investigasi tersebut diketahui gejala yang terjadi pada kedua pasien sama setelah diberikan obat Buvanest Spinal, produksi PT Kalbe Farma. Biasanya setelah disuntik obat bius ini, pasien mati rasa. Tetapi yang terjadi pada kasus ini, kedua pasien justru mengalami kejang hebat dan gatal-gatal. Pasien pertama meninggal pada 12 Februari dan pasien kedua meninggal pada 13 Februari.
Hal senada disampaikan Kepala BPOM Roy Sparringa. Menurutnya, setelah menerima laporan meninggalnya dua pasien yang diduga karena obat Buvanest Spinal, BPOM langsung
menurunkan tim investigasi, dan ditemukan pemberian obat ini sudah sesuai prosedur. “Misalnya, pada prosedur penyimpanan obat sudah pada temperatur yang sesuai. Semua memenuhi kaidah yang kita standarkan,” kata Roy, pekan lalu.
BPOM juga melakukan audit dan investigasi ke sarana produksi obat Buvanest Spinal, yaitu PT Kalbe Farma Tbk, dan menemukan adanya potensi mix up. Dari sampel yang mereka teliti, kemasan Buvanest Spinal memang berisi Asam traneksamat, yaitu obat antipendarahan. Juga ditemukan penerapan prosedur cara pembuatan obat yang baik (CPOB) tidak seperti yang diharapkan.
Roy mengatakan, Buvanest Spinal yang menyebabkan dua pasien meninggal dunia diproduksi Kalbe Farma di line enam pada tanggal 3 November 2014. Pada tanggal tersebut Kalbe Farma juga memproduksi setidaknya 26.000 botol Buvanest Spinal.
Lain Label, Lain Isi
Berita-berita utama pers dan media sosial Indonesia pada Kamis (12/2) dan Jumat (13/2) pekan silam mengangkat kabar kematian dua perempuan di Siloam Hospital Lippo Village, yang diikuti investigasi oleh BPOM, Kemkes, dan DPR.
Pada saat kejadian, kedua pasien itu sedang menjalani prosedur normal bedah caesar dan prosedur-prosedur sistoskopi atau endoskopi kandung kemih melalui saluran pembuangan (uretra). Pada saat yang sama, kedua perempuan itu menerima injeksi Buvanest Spinal buatan PT Kalbe Farma Tbk di bawah pengawasan para dokter dan ahli anestesi senior di Siloam Lippo Village.
Obat itu bereaksi negatif, sehingga kedua pasien menjadi kritis dan meninggal dunia dalam waktu 48 jam kemudian. Siloam langsung melakukan audit segera setelah kedua pasien mulai bereaksi negatif dan secara bersamaan berusaha menyelamatkan
nyawa kedua pasien.
Hasil audit menunjukkan Siloam sudah bertindak benar dan mengikuti semua prosedur yang benar. Hasil audit juga menunjukkan reaksi negatif itu disebabkan oleh Buvanest Spinal produksi Kalbe Farma. Itu adalah obat yang benar tapi kandungannya sama sekali berbeda sehingga menyebabkan reaksi negatif dan akhirnya menimbulkan kematian. Ampul Buvanest yang seharusnya mengandung obat bius Bupivacaine ternyata mengandung Asam traneksamat.
Investigasi lebih lanjut atas ampul-ampul Buvanest yang tak terpakai juga menunjukkan obatnya benar, tapi kandungannya salah. Saat itu Kalbe Farma diberi tahu, diingatkan, dan diundang untuk selekasnya menangani masalah ini. Alhasil, Kalbe Farma mengambil inisiatif untuk langsung menarik seluruh stok Buvanest dari Siloam dan semua rumah sakit lainnya. Kalbe Farma sudah bertindak kooperatif dan profesional.
BPOM dan Kemkes juga langsung melakukan pemeriksaan dan audit menyeluruh atas kejadian di Siloam dan pabrik Kalbe Farma tempat Buvanest diproduksi. Saat investigasi berlangsung, BPOM mengumumkan bahwa Kalbe Farma menarik seluruh produk Buvanest dari semua rumah sakit di seluruh Indonesia. BPOM juga melakukan suspensi lisensi Kalbe Farma untuk obat bius Buvanest.
DPR juga telah membentuk gugus tugas yang mengunjungi langsung dan melakukan investigasi di Siloam Lippo Village, serta pabrik Kalbe Farma tempat Buvanest diproduksi. DPR juga mengeluarkan resolusi yang meminta BPOM serta Kemkes melakukan penyelidikan menyeluruh serta meminta Kalbe Farma menarik seluruh produk Buvanest.
tidak berdampak apa pun terhadap operasional
dan kemampuannya menyediakan layanan medis terbaik di Indonesia.
Faktanya, justru karena sistem pengecekan yang cepat terhadap reaksi negatif obat dan
merupakan bagian dari sistem tata kelola klinis ketat, Siloam bisa cepat mendeteksi hal negatif itu, menentukan kemungkinan penyebabnya, dan dengan cepat melaporkannya kepada pihak berwenang. Dengan begitu, kemungkinan terjadinya hal negatif ini di seluruh negeri bisa terhindarkan.
Siloam sudah menunjukkan keunggulan sistem keselamatan pasien dan staf. Dengan menjadi yang pertama mengungkapkan masalah ini, menunjukkan mandat kepemimpinan Siloam untuk menjunjung keunggulan klinis dan menyediakan layanan kesehatan berstandar internasional di negeri ini.
Tercatat di Bursa Efek Indonesia dengan kode perdagangan "SILO", Siloam Hospital saat ini merupakan perusahaan penyedia jasa pelayanan kesehatan terbesar di Indonesia. Pada 30 Januari 2015, nilai kapitalisasi Siloam di atas Rp 15 triliun atau US$ 1,2 miliar.
Dengan 20 rumah sakit berskala nasional dan sembilan pusat pelayanan kesehatan, Siloam menerima sekitar 6 juta tamu dan melayani 2 juta pasien setiap tahun. Pada tahun 2014, Siloam menambah empat rumah sakit dan tahun ini 10 rumah sakit baru akan dibangun.