KATA PENGANTAR
Segenap jiwa raga mengucapkan puja dan puji syukur kehadirat Illahi Rabbi dalam setiap hembusan nafas, atas limpahan begitu banyak nikmat dan rahmat, sesungguhnya Allah selalu bersama orang-orang yang mengharap pertolonganNYA. Kepada DIA yang senantiasa menemani penulis dalam menyeleseikan penyusunan makalah yang berjudul ”Evaluasi kemampuan lahan”.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah aplikasi SIG dan perencanana pengembangan wilayah di bidang studi geografi, untuk itu patutlah kiranya dengan segala kerendahan hati yang tulus dan ikhlas dalam kesempatan ini tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Dr. Nasiah M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah dan senegap pihak yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materi .
Akhirnya penulis berharap semoga apa yang menjadi kebaikan dan bantuan yang diberikan dalam penyeleseian makalah ini, mendapat imbalan dari Allah SWT dan semoga Allah SWT selalu meridhoi usaha kita. Amien .
Makassar , ... januari 2014
Penulis
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi, di mana faktor- faktor tersebut mempengaruhi potensinya terhadap penggunaan lahan. Termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang yang mengakibatkan banjir, erosi, sedimentasi, akumulasi garam, dan lain-lain.
Mendesaknya kebutuhan hidup masyarakat, menyebabkan masyarakat pada umumnya mengelolah dan membuka lahan baru menjadikannya lahan pertanian walaupun tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. Akibatnya hutan menjadi sasaran perluasan pemenuhan kebutuhan penduduk sehingga terjadilah alih fungsi lahan (Hakim, 2002). Alih fungsi lahan pertanian yang terjadi saat ini lebih tepat disebut betonisasi atau aspalisasi. Terminologi betonisasi dan aspalisasi ini di introduksi guna mempersempit dan mempertegas pengertian alih fungsi lahan yang bermakna amat luas, mulai dari alih fungsi lahan hutan ke lahan perkebunan sampai lahan sawah yang meloloskan air (permeable) menjadi permukiman dan industri yang cenderung tidak meloloskan air (impermeable).
Membahas kemampuan lahan pada dasarnya akan membantu kepentingan upaya pemanfaatan lahan secara optimal dan penataan lahan secara tepat bagi pengembangan tanaman tertentu disertai tindakan pengelolaan/pemeliharaan dan pengawetan (konservasi) agar tidak terjadi kerusakan pada lahan yang akhirnya diperoleh hasil yang optimal dan lestari. Tingkat kemampuan lahan yang tinggi diharapkan berpotensi besar dalam berbagai penggunaan, yang memungkinkan penggunaan yang intensif untuk berbagai macam kegiatan. Pada kabupaten Gowa, khususnya kecamatan Tompobulu adalah salah satu kecamatan yang terdiri dari 14 (empat belas) desa yaitu ; Berutallasa, Pencong, Parangloe, Taring, Garing, Bonto buddung, Tanete, Cikoro, Rappolemba, Rappoala, Malakaji, Datara, Tonrorita, dan Lauwa (Kecamatan Tompobulu dalam angka 2000). Diantara empat belas desa tersebut, Kelurahan Cikoro merupakan daerah yang menjadi kajian dari hasil penelitian.
Sebagian besar lahan yang ada di lokasi tersebut oleh masyarakat setempat dijadikan sebagai lahan perkebunan, persawahan, dan dijadikan sebagai areal hutan. Mengingat bahwa lahan sebagai sumber daya alam yang terbatas. Oleh karena itu karakteristik lahan perlu dipahami dengan baik untuk dijadikan sebagai dasar perencanaan penggunaan lahan sehingga dalam pemanfaatan dan pengolahan lahan tidak mengalami kesalahan-kesalahan sehingga kelestariannya dapat terkendali.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang ada pada latar belakang tersebut di atas, maka dikemukakan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kelas kemampuan lahan di Kelurahan Cikoro, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Gowa ?
2. Apakah bentuk pemanfaatan / penggunaan lahan di Kelurahan Cikoro, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Gowa sudah sesuai dengan kelas kemampuan lahannya ?
C. Tujuan
Dari hasil penelitian maka dapat dikaji tujuan penelitian yang dapat dirumuskan berdasarkan permasalahan tersebut di atas adalah :
1. Untuk mengetahui kelas kemampuan lahan di Kelurahan Cikoro, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Gowa.
2. Untuk mengetahui tingkat kesesuaian bentuk pemanfaatan / penggunaan lahan dengan kelas kemampuan lahan yang ada di Kelurahan Cikoro, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Gowa.
BAB II PEMBAHASAN A. Evaluasi Lahan
Evaluasi lahan adalah proses penilaian penampilan atau keragaan (perfomance) lahan jika dipergunakan untuk tujuan tertentu, meliputi pelaksanaan dan interpretasi survei dan studi bentuklahan, tanah, vegetasi, iklim, dan aspek lahan lainnya, agar dapat mengidentifikasi, dan membuat perbandingan berbagai penggunaan lahan yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976 dalam Arsyad, 1989).
Evaluasi sumber daya lahan merupakan proses untuk menduga potensi sumber daya lahan untuk berbagai penggunaannya. Pada dasarnya evaluasi sumber daya lahan membutuhkan keterangan-keterangan yang menyangkut tiga aspek utama yaitu : lahan, penggunaan lahan, dan aspek ekonomi. Evaluasi sumber daya lahan berfungsi untuk memberikan pengertian tentang hubungan- hubungan antara kondisi lahan dan penggunaannya serta memberikan kepada perencana berbagai perbandingan dan alternatif pilihan penggunaan yang dapat diharapkan berhasil (Sitorus, 1995).
Ada dua pendekatan yang digunakan dalam evaluasi lahan yaitu : (1)Evaluasi kualitatif yaitu evaluasi yang dilaksanakan dengan cara mengelompokkan lahan ke dalam beberapa kategori berdasarkan perbandingan relatif kualitas lahan tanpa melakukan secara terperinci dan tepat biaya dan pendapatan bagi penggunaan lahan
tersebut, dan (2) evaluasi kuantitatif yaitu evaluasi lahan dinyatakan dalam term ekonomi berupa masukan (input) dan keluaran (output). Pendekatan evaluasi lahan di dalam penelitian ini adalah evaluasi secara kualitatif (Arsyad, 1989).
B. Kemampuan Lahan
Kemampuan lahan adalah potensi lahan bagi penggunaan berbagai sistem pertanian secara luas dan tidak membicarakan peruntukan jenis tanaman tertentu ataupun tindakan pengelolaannya. Oleh karena itu, kemampuan lahan bersifat lebih umum jika dibandingkan dengan kesesuaian lahan (Sitorus,1995).
kemampuan lahan suatu wilayah perlu diketahui dengan baik agar pemanfaatan lahan tersebut tidak mengalami kesalahan, sehingga kelestariannya dapat terkendali. Kesalahan yang sering terjadi dalam pemanfaatan lahan tersebut karena teknik dan pengelolaan lahan tersebut tidak sesuai dengan kemampuan lahan. Untuk mengetahuinya perlu areal lahan yang dibudidayakan maupun tidak digarap dan diklasifikasikan sesuai dengan karakteristik yang
dimilikinya. Karakteristik lahan tersebut perlu diketahui agar dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kehidupan manusia (Hakim, 2002).
a. Klasifikasi Kemampuan Lahan
Klasifikasi kemampuan lahan (Land Capability Clasification) adalah penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistematik dan pengelompokkannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari (Arsyad, 1989).
Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem faktor pembatas, artinya mulai dari pembatas terkecil hingga pembatas terbesar, pembatas terkecil untuk kelas terbaik dan semakin besar pembatasnya maka semakin rendah tingkatannya. Sitorus (1995) menyebut ini sebagai sistem kategori. Kelas merupakan tingkat tertinggi dan bersifat luas dalam struktur klasifikasi.
Berdasarkan system klasifikasi yang dikemukakan oleh Hockensmith dan Steele (1943) dan Klingebiel dan Montgomery (1973) tanah dikelompokkan kedalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf Romawi dari I sampai VIII. Tanah pada kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan untuk penanaman tanaman ternak, padang rumput dan hutan. Pada tanah kelas V, VI dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohon atau vegetasi alami. Tanah dalam kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami. Berikut ini uraian dari masing-masing kelas kemampuan lahan dalam Arsyad,1989.
1) Kelas Kemampuan I
Lahan kelas kemampuan I mempunyai sedikit penghambat yang membatasi penggunaannya. Lahan kelas I sesuai untuk berbagai penggunaan pertanian, mulai dari tanaman semusim (dan tanaman pertanian pada umumnya), tanaman rumput, padang rumputm hutan produksi, dan cagar alam. Tanah-tanah dalam kelas kemampuan I mempunyai salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas sebagai berikut:
(1) terletak pada topografi datar (kemiringan lereng < 3%), (2) kepekaan erosi sangat rendah sampai rendah,
(3) tidak mengalami erosi,
(4) mempunyai kedalaman efektif yang dalam, (5) umumnya berdrainase baik
(6) mudah diolah,
(7) kapasitas menahan air baik,
(8) subur atau responsif terhadap pemupukan
(9) tidak terancam banjir, di bawah iklim setempat yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman umumnya.
2) Kelas Kemampuan II
Tanah-tanah dalam lahan kelas kemampuan II memiliki beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau mengakibatkannya memerlukan tindakan konservasi yang sedang. Lahan kelas II memerlukan pengelolaan yang hati-hati, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan konservasi untuk mencegah kerusakan atau memperbaiki hubungan air dan udara jika tanah diusahakan untuk pertanian tanaman semusim. Hambatan pada lahan kelas II sedikit, dan tindakan yang diperlukan mudah diterapkan. Tanah-tanah ini sesuai untuk penggunaan tanaman semusim, tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi dan cagar alam. Hambatan atau ancaman kerusakan pada lahan kelas II adalah salah satu atau kombinasi dari faktor berikut:
(1) lereng yang landai atau berombak (>3 % – 8 %), (2) kepekaan erosi atau tingkat erosi sedang,
(3) kedalaman efetif sedang
(4) struktur tanah dan daya olah kurang baik,
(5) salinitas sedikit sampai sedang atau terdapat garam Natrium yang mudah dihilangkan akan tetapi besar kemungkinabn timbul kembali,
(6) kadang-kadang terkena banjir yang merusak,
(7) kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, akan tetapi tetap ada sebagai pembatas yang sedang tingkatannya, atau
(8) keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman atau pengelolannya.
3) Kelas Kemampuan III
Tanah-tanah dalam kelas III mempunyai hambatan yang berat yang mengurangi pilihan pengunaan atau memerlukan tindakan konservasi khusus atau keduanya. Tanah-tanah dalam lahan kelas III mempunyai pembatas yang lebih berat dari tanah-tanah kelas II dan jika digunakan bagi tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tindakan konservasi yang diperlukan biasanya lebih sulit diterapkan dan dipelihara. Lahan kelas III dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman rumput, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan suaka marga satwa. Hambatan yang terdapat pada tanah dalam lahan kelas III membatasi lama penggunaannya bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi pembatas-pembatas tersebut. Hambatan atau ancaman kerusakan mungkin disebabkan oleh salah satu atau beberapa hal berikut:
(1) lereng yang agak miring atau bergelombang (>8 – 15%),
(2) kepekaan erosi agak tinggi sampai tinggi atau telah mengalami erosi sedang, (3) selama satu bulan setiap tahun dilanda banjir selama waktu lebih dari 24 jam, (4) lapisan bawah tanah yang permeabilitasnya agak cepat,
(5) kedalamannya dangkal terhadap batuan, lapisan padas keras (hardpan), lapisan padas rapuh (fragipan) atau lapisan liat padat (claypan) yang membatasi perakaran dan kapasitas simpanan air,
(6) terlalu basah atau masih terus jenuh air setelah didrainase, (7) kapasitas menahan air rendah,
(8) salinitas atau kandungan natrium sedang,
(9) kerikil dan batuan di permukaan sedang, atau (1) hambatan iklim yang agak besar.
4) Kelas kemampuan IV
Hambatan dan ancaman kerusakan pada tanah-tanah di dalam lahan kelas IV lebih besar dari pada tanah-tanah di dalam kelas III, dan pilihan tanaman juga lebih terbatas. Jika digunakan untuk tanaman semusim diperlukan pengelolaan yang lebih hati-hati dan tindakan
konservasi yang lebih sulit diterapkan dan dipelihara, seperti teras bangku, saluran bervegatasi dan dam penghambat, disamping tindakan yang dilakukan untuk memelihara kesuburan dan kondisi fisik tanah. Tanah di dalam kelas IV dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian dan pada umumnya, tanaman rumput, hutan produksi, padang penggembalaan, hutan lindung dan cagar alam. Hambatan atau ancaman kerusakan tanah-tanah di dalam kelas IV disebabkan oleh salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut:
(1) lereng yang miring atau berbukit (> 15% – 30%), (2) kepekaan erosi yang sangat tinggi,
(3) pengaruh bekas erosi yang agak berat yang telah terjadi, (4) tanahnya dangkal,
(5) kapasitas menahan air yang rendah,
(6) selama 2 sampai 5 bulan dalam setahun dilanda banjir yang lamanya lebih dari 24 jam,
(7) kelebihan air bebas dan ancaman penjenuhan atau penggenangan terus terjadi setelah didrainase (drainase buruk),
(8) terdapat banyak kerikil atau batuan di permukaan tanah,
(9) salinitas atau kandungan Natrium yang tinggi (pengaruhnya hebat), dan/atau (1) keadaan iklim yang kurang menguntungkan.
5) Kelas Kemampuan V
Tanah-tanah di dalam lahan kelas V tidak terancam erosi akan tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak praktis untuk dihilanghkan yang membatasi pilihan pengunaannya sehingga hanya sesuai untuk tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi atau hutan lindung dan cagar alam. Tanah-tanah di dalam kelas V mempunyai hambatan yang membatasi pilihan macam penggunaan dan tanaman, dan menghambat pengolahan tanah bagi tanaman semusim. Tanah-tanah ini terletak pada topografi datar tetapi tergenang air, selalu terlanda banjir, atau berbatu-batu (lebih dari 90 % permukaan tanah tertutup kerikil atau batuan) atau iklim yang kurang sesuai, atau mempunyai kombinasi hambatan tersebut. Contoh tanah kelas V adalah:
(1) tanah-tanah yang sering dilanda banjir sehingga sulit digunakan untuk penanaman tanaman semusim secara normal,
(2) tanah-tanah datar yang berada di bawah iklim yang tidak memungknlah produksi tanaman secara normal,
(3) tanah datar atau hampir datar yang > 90% permukaannya tertutup batuan atau kerikil, dan atau
(4) tanah-tanah yang tergenang yang tidak layak didrainase untuk tanaman semusim, tetapi dapat ditumbuhi rumput atau pohon-pohonan.
6) Kelas Kemampuan VI
Tanah-tanah dalam lahan kelas VI mempunyai hambatan yang berat yang menyebabkan tanah-tanah ini tidak sesuai untuk pengunaan pertanian. Penggunaannya terbatas untuk tanaman rumput atau padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, atau cagar alam. Tanah-tanah dalam lahan kelas VI mempunyai pembatas atau ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut:
(1) terletak pada lereng agak curam (>30% – 45%), (2) telah tererosi berat,
(3) kedalaman tanah sangat dangkal,
(4) mengandung garam laut atau Natrium (berpengaruh hebat), (5) daerah perakaran sangat dangkal, atau
(6) iklim yang tidak sesuai.
Tanah-tanah kelas VI yang terletak pada lereng agak curam jika digunakan untuk penggembalaan dan hutan produksi harus dikelola dengan baik untuk menghindari erosi. Beberapa tanah di dalam lahan kelas VI yang daerah perakarannya dalam, tetapi terletak pada lereng agak curam dapat digunakan untuk tanaman semusim dengan tindakan konservasi yang berat seperti, pembuatan teras bangku yang baik.
7) Kelas Kemampuan VII
Lahan kelas VII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, Jika digunakan untuk padanag rumput atau hutan produksi harus dilakukan dengan usaha pencegahan erosi yang berat. Tanah-tanah dalam lahan kelas VII yang dalam dan tidak peka erosi jika digunakan unuk tanaman pertaniah harus dibuat teras bangku yang ditunjang dengan cara-ceara vegetatif untuk konserbvasi tanah , disamping yindkan pemupukan. Tanah-tanah kelas VII mempunuaio bebetapa hambatan atyai ancaman kerusakan yang berat da tidak dapatdihiangkan seperti
(1) terletak pada lereng yang curam (>45 % – 65%), dan / atau (2) telah tererosi sangat berat berupa erosi parit yang sulit diperbaiki.
8) Kelas kemampuan VIII
Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami. Lahan kelas VIII bermanfaat sebagai hutan lindung, tempat rekreasi atau cagar alam. Pembatas atau ancaman kerusakan pada lahan kelas VIII dapat berupa:
(1) terletak pada lereng yuang sangat curam (>65%), atau
(2) berbatu atau kerikil (lebih dari 90% volume tanah terdiri dari batu atau kerikil atau lebih dari 90% permukaan lahan tertutup batuan), dan
(3) kapasitas menahan air sangat rendah. Contoh lahan kelas VIII adalah puncak gunung, tanah mati, batu terungkap, dan pantai pasir.
Dalam pembahasan kali ini akan mengkaji hasil penelitian yang pernah dilakukan. Tempat hasil kajian penelitian yang telah dilaksanakan mengenai evaluasi kemampuan lahan adalah Kelurahan Cikoro yang terletak di Kecamatan Tompobulu Kabupaten Gowa. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan lahan adalah;
Kemiringan lereng, Kepekaan erosi, Tingkat erosi, Kedalaman efektif tanah, Tekstur lapisan atas, Tekstur lapisan bawah, Permeabilitas, Drainase, Singkapan batuan dan Ancaman banjir
C. Penggunaan Lahan
Lahan merupakan lingkungan yang komplek dimana terdiri dari iklim, relief, tanah, hidrologi, vegetasi, dan semua mahluk hidup yang berperan dalam penggunaannya (FAO, 1976 dalam Hakim, 2002). Lahan sebagai suatu kesatuan merupakan sumberdaya alam yang tetap dan terbatas, mengharuskan para perencana pembangunan dapat mengatur lahan secara proporsional agar dapat diciptakan kualitas lingkungan hidup yang dinamis. Penggunaan lahan (Landuse) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spritual (Arsyad, 1989).
Lahan sebagai sumberdaya alam yang tetap dan terbatas, di dalam penggunannya perlu dipertimbangkan keseimbangan antara kesesuaian bentuk penggunaan lahan dengan kelas kemampuan lahannya. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya akan menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan sehingga tingkat produktivitas tanah akan semakin berkurang dan akan berakibat pada perekonomian/pendapatan dan kesejahteran masyarakat itu sendiri. Adapun skema hubungan antara bentuk penggunaan lahan dengan kelas kemampuan lahan untuk pertanian dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
C
Intensitas dan Macam Penggunaan Meningkat
Gambar 2. 1. Skema Hubungan antara Kesesuaian Bentuk Penggunaan Lahan dengan KelasKemampuan Lahan (Arsyad, 1989)
Wilayah yang menjadi objek kajian dari hasil penelitian merupakan Kelurahan Cikoro yang terletak di Kecamatan Tompobulu Kabupaten Gowa. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan lahan adalah :
1. Kemiringan lereng 6. Tekstur lapisan bawah 2. Kepekaan erosi 7. Permeabilitas
3. Tingkat erosi 8. Drainase
4. Kedalaman efektif tanah 9. Singkapan batuan 5. Tekstur lapisan atas 10. Ancaman banjir
Adapun kriteria pengklasifikasian dari masing-masing parameter penentu kelas kemampuan lahan dengan tenknik analisis tabularis dengan metode perbandingan (matching) berdasarkan kriteria Arsyad (1989) sebagai berikut :
1. Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng diperoleh dengan pengukuran lapang dengan menggunakan abney level, dapat pula diperoleh dari peta rupabumi. Klasifikasi kelas lereng dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :
Tabel 1. Klasifikasi Lereng
Kode Lereng (%) Klasifikasi
A B C D
0 – 3 >3 - 8 >8 - 15 >15 - 30
Datar
Landai atau berombak
Agak miring atau bergelombang Miring agak berbukit
VI
VII VIII
E Sumber : Sitanala Arsyad (1989)
2. Kepekaan Erosi (KE)
Nilai erodibilitas tanah ditentukan dengan menggunakan nomograf Weiscmeier dan Smith (1951).. Klasifikasi tekstur, struktur dan permeabilitas berdasarkan kriteria klasifikasi oleh Arsyad (1989), sedangkan kandungan bahan organik diklasifikasikan dengan menggunakan sistem pengklasifikasian yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan RI (1992). Kelas struktur tanah diklasifikasikan berdasarkan ukuran diameter tanah dan setiap kelas diberi kode sesuai dengan tingkatnya. Klasifikasi sturuktur tanah menurut Arsyad (1989) dapat dilihat pada Tabel 2. Adapun permeabilitas diklasifikasikan sesuai dengan klasifikasi yang dikemukakan Arsyad (1989) yang dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
Tabel 2. Kelas Struktur Tanah
Kode Kelas Struktur Tanah (Ukuran diameter) 1
2 3 4
Granuler sangat halus (< 1mm) Granuler sangat halus (1 sampai 2 cm) Granuler sedang sampai kasar (2 sampai 10 mm)
Berbentuk blok,plat dan massif Sumber : Arsyad, 1989
Tabel 3. Kelas Permabilitas
Kandungan bahan organik diklasifikasikan sesuai dengan klasifikasi yang ditetapkan Departemen Kehutanan RI (1992) dalam 5 tingkatan. Klasifikasi kandungan bahan organik dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Kelas Kandungan Bahan Organik
Kode Kriteria (%) Kelas Permeabilitas
0
Sistem pengklasifikasian untuk tingkat erodibilitas tanah (K) dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Klasifikasi Kepekaan Erosi Tanah
Kode Kepekaan Erosi Tanah Klasifikasi
KE1
Penentuan tingkat erosi berdasarkan hasil perhitungan besar erosi diklasifikasikan berdasarkan sistem klasifikasi Arsyad pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6. Klasifikasi Tingkat erosi
Kode Kriteria Klasifikasi
e0
Kurang dari 25% lapisan atas hilang 25-75% lapisan atas hilang
Lebih dari 75% lapisan atas atau sampai kurang dari 25% lapisan bawah hilang Lebih dari 25% lapisan bawah hilang
Tidak ada Sangat ringan Ringan Sedang
e5 Erosi parit Sangat berat Sumber : Arsyad ,1989
4. Kedalaman Efektif Tanah (K)
Kedalam efektif tanah diukur dari permukaan tanah hingga lapisan keras pada tanah yang mengganggu atau membatasi perakaran. Kriteria dan diklasifikasi kedalaman efektif tanah oleh Arsyad dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.
Tabel 7. Klasifikas Kedalaman Efektif Tanah
Kode Solum Tanah (cm) Klasifikasi
K0
Tekstur tanah merupakan perbandingan antara fraksi lempung, debu dan pasir dalam suatu massa tanah. Tekstur tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas lahan. Klasifikasi tekstur tanah dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Klasifikasi Tekstur Tanah
Kode Kriteria Klasifikasi
t1 t2 t3 t4 t5
Tabel 9. Klasifikasi Permeabilitas Klasifikasi drainase oleh Arsyad dapat dilihat pada Tabel 10 berikut.
Tabel 10. Klasifikasi Drainase
Air lebih cepat keluar, sangat sedikit air yang ditahan oleh tanah, tanaman akan kekurangan air.
Tanah mempunyai peredaran udara yang baik, seluruh profil tanah (150 cm) berwarna terang tidak terdapat bercak-bercak kuning, coklat dan kelabu.
Tidak terdapat bercak berwarna kuning, cokelat atau kelabu pada lap. atas dan bagian atas lap. bawah.
Terdapat bercak-bercak pada seluruh lap.bawah (40 cm dari permukaan tanah).
Bagian bawah lap.atas terdapat warna atau bercak-bercak berwarna coklat, kelabu dan kuning.
Seluruh lapisan tanah berwarna kelabu atau terdapat bercak warna kebiruan, atau terdapat air yang menggenang di permukaan tanah.
Ancaman banjir pada suatu wilayah diperoleh dengan wawancara pada masyarakat setempat dan dipandu dengan pengamatan lapangan. Adapun klasifikasi ancaman banjir oleh Arsyad dapat dilihat pada Tabel 12 berikut :
Kode Kriteria Klasifikasi 1 x dalam 6-10 tahun 1 x dalam 3-5 tahun
Hubungan antara kelas kemampuan lahan dan kriteria klasifikasi disusun dalam suatu matriks yang dijadikan sebagai acuan dalam penentuan kelas kemampuan lahan seperti; Tabel 13. Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan
Faktor Penghambat/ 4. Kedalaman efektif 5. Tekstur lap. Atas tertentu sebagai satuan analisis atau satuan pemetaan.
karakteristik lahannya dapat dilihat pada tabel 6 dan persebarannya dapat dilihat pada gambar 11 Peta Satuan Lahan Kelurahan Cikoro Tahun 2007.
a. Geologi
Jenis batuan yang tedapat pada lokasi penelitian terdiri dari dua jenis yaitu Batuan Gunungapi Lompobattang (Breksi, Endapan Lahar dan Tufa) dan Batuan Gunungapi Baturape-Cindako.
Tabel 5.1 Luas Lahan di Kelurahan Cikoro Berdasarkan Peta Geologi
N o
Jenis Geologi Luas
(Ha) (%)
1 Batuan Gunungapi Lompobattang (Breksi, Endapan Lahar,Tufa) (Qlv)
2.047,33 82,56
2. Batuan Gunungapi Baturape-Cindako (Qlvp1) 431,95 17,41
Jumlah 2.479,28 100,00
Sumber Rizki Amalia: Hasil Analisis Peta Geologi Kelurahan Cikoro Tahun 2007
Berdasarkan tabel 5.1 diatas menunjukkan bahwa jenis batuan yang menempati wilayah yang terluas adalah Batuan Gunungapi Lompobattang (Qlv) dengan luas 2.047,33 Ha atau 82,56 persen dan batuan yang menempati wilayah yang tersempit adalah Batuan Gunungapi Baturape-Cindako (Qlvp1) dengan luas 431,95 atau 17,41 persen.
b. Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng di Kelurahan Cikoro berdasarkan klasifikasi Arsyad (1989) dapat di bedakan atas dua kelas kemiringan yaitu kelas III dan kelas IV. Kelas III dan kelas IV yang berkisar 15 – > 40 persen (%). Berdasarkan Peta Rupa Bumi Lembar 2010- dan 2010-62 dengan menggunakan metode Wentworth diperoleh kelas kemiringan lereng di daerah tersebut. Setelah dilakukan maka luas masing – masing dari kelas kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Pengukuran kemiringan lereng (slope) yang dilakukan dengan menggunakan metode Wentworth, dengan persamaan 1 yaitu:
α=(N−1)ci d x sk x100 Keterangan :
N = jumlah kontur yang terpotong oleh diagonal Ci =Kontur Interval (m)
d = panjang garis diagonal (cm) sk= skala peta(cm)
Tabel 5.2 Luas Lahan Kelurahan Cikoro Berdasarkan Kemiringan Lereng
Kelas Lereng (%) Klasifikasi Luas
(Ha) (%)
III 15-30 Miring/Berbukit 1.778,2 71,7
IV 30-45 Agak curam 701,08 28,27
Jumlah 2.479,28 100,00
Sumber skripsi Rizki Amalia : Hasil Analisis Peta Kemiringan Lereng Kelurahan Cikoro Tahun 2007.
Berdasarkan tabel 5.2 di atas menunjukkan bahwa wilayah Kelurahan Cikoro mempunyai kelas kemiringan lereng yaitu kelas III dan IV. Kelas III menempati wilayah terluas dengan luas 1.778,2 ha atau 71,7 persen dan kelas IV menempati wilayah tersempit dengan luas 701,08 ha atau 28,27 persen. Kelas kemiringan lereng III terdapat pada satuan lahan 1, 2, 3, 11, 13, 14, 16, 17. Kelas kemiringan lereng IV terdapat pada 9 satuan lahan yaitu satuan lahan 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 15.
Gambar 5.1 Peta Kemiringan Lereng kelurahan Cikoro (sumber: Rizki Amalia, 2007) b. Tanah
Parameter ketiga dari penyusunan peta satun lahan yaitu jenis tanah. Jenis tanah yang terdapat di lokasi penelitian terdiri dari andosol cokelat, litosol cokelat kekuningan,mediteran cokelat kemerahan. Luas jenis tanah yang terdapat di Kelurahan Cikoro Kecamatan Tompobulu Kabupaten Gowa dapat dilihat pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3 Luas Kelurahan Cikoro Berdasarkan Jenis Tanah N
o Jenis Tanah Simbol
Luas
(Ha) (%)
1 Andosol Coklat Ac 936,04 37,75
2 Litosol Coklat Kekuningan Lck 1232,98 49,71 3 Mediteran Coklat Kemerahan Mck 310,26 12,51
Jumlah 2.479,28 100,00
Gambar 5.2 Peta Jenis Tanah (sumber: Rizki amalia, 2007)
Berdasarkan tabel 5.3 dan peta pada gambar 5.2 di atas menunjukkan bahwa jenis tanah litosol coklat kekuningan menempati wilayah yang terluas yaitu 1232,98 ha atau 49,71 persen, kemudian jenis tanah andosol coklat dengan luas 936,04 ha atau 37,75 persen dan jenis tanah yang menempati wilayah tersempit adalah tanah mediteran coklat kemerahan dengan luas 310,26 atau 12,51 persen.
c. Penggunaan Lahan
Bentuk penggunaan lahan merupakan parameter keempat penyusun satuan lahan. Jenis penggunaan lahan yang terdapat di lokasi penelitian terdiri dari hutan, sawah dan tegalan. Adapun luas dan agihan masing- masing bentuk penggunaan lahan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.4 Luas Lahan Di Kelurahan Cikoro Berdasarkan Peta Penggunaan Lahan
No Bentuk Penggunaan
Lahan Simbol
Luas
(Ha) (%)
1 Hutan Ht 845,81 34,1
2 Sawah Sw 117,79 4,74
3 Tegalan Tg 1.515,68 61,13
Jumlah 2.479,28 100,00
Berdasarkan tabel 5.4 di atas menunjukkan bahwa jenis penggunaan lahan yang menempati wilayah yang terluas adalah tegalan dengan luas 1.515,68 ha atau 61,13 persen, kemudian hutan dengan luas 845,81 ha atau 34,1 persen dan penggunaan lahan yang menempati wilayah yang tersempit adalah sawah dengan luas 117,79 atau 4,74 persen. Berikut peta penggunaan lahan di kelurahan cikoro
Gambar 5.2 Peta Penggunaan Lahan (sumber; Rizki amalia, 2007)
Gambar 5.3 Peta Penggunaan Lahan (sumber gambar:Rizky Amalia, 2007)
Tabel 5.5 Karakteristik dan Luas Satuan Lahan Pada Wilayah Kelurahan Cikoro
No Satuan Lahan Lereng
(%) Tanah Geologi
Penggunaan Lahan
Luas (ha)
Persen (%) 1 D1 Qlv III Ac Tg 15-30 Ac Qlv Tegalan 241,8 9,75 2 D1 Qlv III Mck Sw 15-30 Mck Qlv Sawah 83,86 3,38 3 D1 Qlv IV Lck Tg 15-30 Lck Qlv Tegalan 14,14 0,57 4 D1 Qlv IV Ac Tg 30-45 Ac Qlv Tegalan 22,34 0,90 5 D1 Qlv III Mck Tg 15-30 Mck Qlv Tegalan 218,9 8,83 6 D1 Qlvp1 III Mck Tg 15-30 Mck Qlvp1 Tegalan 7,5 0,30 7 D1 Qlv III Lck Ht 15-30 Lck Qlv Hutan 35,02 1,41 8 D1 Qlvp1 III Lck Ht 15-30 Lck Qlvp1 Hutan 16,69 0,67
9 D1 Qlv III Ac Ht 30-45 Ac Qlv Hutan 129,5 5,22
10 D1 Qlv III Lck Sw 15-30 Lck Qlv Sawah 5,08 0,20 11 D1 Qlvp1 III Lck Sw 15-30 Lck Qlvp1 Sawah 28,85 1,16 12 D1 Qlv IV Ac Ht 30-45 Ac Qlv Hutan 511,67 20,64 13 D1 Qlvp1 IV Ac Ht 30-45 Ac Qlvp1 Hutan 30,73 1,24 14 D1 Qlv IV Lck Ht 30-45 Lck Qlv Hutan 78,22 3,15 15 D1 Qlvp1 IV Lck Ht 30-45 Lck Qlvp1 Hutan 43,98 1,77 16 D1 QLv III Lck Tg 15-30 Lck Qlv Tegalan 706,8 28,51 17 D1 Qlvp1 III Lck Tg 15-30 Lck Qlvp1 Tegalan 304,2 12,27
Jumlah 2.479,2
Sumber skripsi Rizki Amalia : Hasil Pengukuran dan Pengamatan Lapangan Tahun 2007 Keterangan :
Mck : Mediteran Coklat Kemerahan Lck : Litosol Coklat Kekuningan Ac : Andosol Coklat
Qlvp : Batuan Gunung Api Lompobattang ( Breksi, Tufa, Endapan Lahar) Qlvp1 : Batuan Gunung Api Baturape-Cindako
Evaluasi kemampuan lahan dilakukan dengan menggunakan pendekatan satuan lahan sebagai satuan analisis atau satuan pemetaan. Penetapan kelas kemampuan lahan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mencocokkan (matching) antara parameter penentu kelas kemampuan lahan dengan sistem klasifikasi kemampuan lahan yang dikemukakan oleh Arsyad (1989). Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem klasifikasi berdasarkan acuan kemampuan lahan aktual yang didapatkan berdasarkan data yang ada, tanpa mempertimbangkan asumsi atau upaya perbaikan dan tingkat pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi faktor penghambat yang ada. Hasil- hasil yang dibahas dalam penelitian ini, tidak lepas dari rumusan masalah sebagai berikut :
Kelas Kemampuan Lahan
Berdasarkan metode mencocokkan (matching), kesepuluh karakteristik lahan tersebut diklasifikasikan berdasarkan kriteria Arsyad (1989) . kemudian di matching-kan dengan sistem klasifikasi kelas kemampuan lahan yang terdapat pada. Adapun karakteristik parameter penentu kelas kemampuan lahan dan hasil klasifikasi kemampuan lahan di Kelurahan Cikoro dapat dilihat pada Tabel 5.5.
Variasi kemampuan lahan pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan faktor penghambat pada masing- masing satuan lahan. Kelurahan Cikoro terdiri atas 17 satuan lahan. Di lokasi penelitian terdapat 3 kelas kemampuan lahan yaitu kelas IV, VI, dan VII sedangkan kelas I, II, III, V, VIII tidak terdapat pada lokasi penelitian. Faktor pembatas yang paling dominan dari masing- masing satuan lahan yaitu kemiringan lereng, tingkat erosi, kepekaan erosi, dan kedalaman efektif tanah.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
Hasil dari evaluasi kemampuan lahan Kelurahan Cikoro dapat dijadikan sebagai alternatif atau bahan informasi tentang perlakuan yang sesuai atau penggunaan lahan yang sesuai agar dapat meningkatkan produksi lahan secara lestari
.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………... i
BAB I. PENDAHULUAN ……… 1
A. Latar Belakang ………. 1
B. Rumusan Masalah ……… 4
B. Kemampuan Lahan... 4 BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN ………..
A. Kesimpulan ……….. 25
B. Saran ……… 25
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2004. Data dan Informasi Kehutaan Propinsi Sulawesi Selatan. Departemen Kehutanan dan Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan. Online-(http//www.google.com)
Anonim, 2004. Gowa dalam Angka 2004. BPS Sulawesi Selatan.
Alfandi, Widoyo. 2001. Epistemology Geografi. Yogyakarta: Gajah Mada University. Press. Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Bogor
Endarwaty, Dewi. 2006. Evaluasi Kemampuan Lahan Desa Komba Kecamatan Larompong Kabupaten Luwu. Skripsi. Makassar: Jurusan Geografi UNM
Nasiah, 2000. Modul Evaluasi Kemampuan Lahan untuk Pembangunan Wilayah. Makassar: Program Pasca Sarjana UNM.
Tugas Kelompok
EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN
OLEH: KELOMPOK 1
Jumiati
Windayani Ika Yunita Sari S
PROGRAM STUDI PKLH KEHUSUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI PROGRAM PASCASARJANA