• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEDUDUKAN UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REP"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara hukum yang terdiri dari kesatuan berbagai budaya yang majemuk. Perjalanan Indonesia untuk mencapai bentuk negara hukum berawal dari keberadaan budaya majemuk yang kemudian menciptakan sistem hukum berupa hukum adat yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan baik yang terlembaga dalam sebuah masyarakat. Hukum tersebut kemudian menjadi tatanan norma yang digunakan sebagai sistem peraturan yang terpelihara dan dipatuhi oleh manusia yang hidup dalam sebuah masyarakat adat. Sistem hukum adat, karena berasal dari kebiasaan, kebanyakan hadir dalam bentuk tidak tertulis. Hukum adat masing-masing masyarakat adat membutuhkan kemauan masyarakat yang hidup di dalamnya untuk terikat pada hukum tersebut. Karena bersifat sempit, dalam artian hanya dipatuhi oleh manusia yang tinggal dalam sebuah masyarakat tertentu, hukum adat masih bersifat teritorial atau terbatas pada kedaerahan saja.

Selanjutnya, dalam perkembangan sejarah, Indonesia kemudian menjadi bagian dari kolonialisasi Belanda. Kolonialisai memperkenalkan sistem hukum baru yang diperkenalkan penjajah kepada negara jajahan. Dalam kalimat yang lebih spesisfik, Belanda membawa sistem hukum ke Indonesia dan menciptakan sistem-sistem hukum baru yang harus dipatuhi oleh masyarakat Indonesia sebagai masyarakat terjajah yang membuat Indonesia menjadi negara jajahan dan harus menerapkan hukum yang dibawa oleh Belanda. Hukum tersebut disebut sebagai hukum kolonial.

Konsekuensi dari pemberlakuan hukum kolonialisme adalah berlakunya hukum yang dipaksakan untuk menciptakan keterikatan sehingga mengelimir unsur kesepakatan dan bukan merupakan konsensus masyarakat yang hidup di dalamnya. Hal tersebut menjadi wajar karena tujuan utama kolonialisme adalah kepatuhan masyarakat negara terjajah demi maksud yang dibawa oleh negara penjajah.

(2)

dorongan-dorongan untuk berpikir mengenai bentuk negara seperti apa yang hendak dilaksanakan setelah kemerdekaan diraih.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Gagasan kebangsaan yang disepakati bersama dalam penyelenggaraan negara adalah negara bangsa (nation state). Negara bangsa adalah konsep bernegara yang melampaui konsep negara kuno di mana negara hanya bisa terbentuk dalam lingkup kesamaan ras, bahasa, dan agama. Negara bangsa adalah gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh bangsa yang mendiami sebuah negara yang berdasarkan pada kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kespakatan untuk kepentingan seluruh rakyat negara tersebut.1 Gagasan tersebut disepakati karena kenyataan bahwa Indonesia terdiri dari

berbagai macam ras, suku, dan agama selain karena bahwa hukum adat, agama, dan kolonial yang masih hidup di awal kemerdekaan Indonesia.

Pengertian kepentingan seluruh rakyat inilah yang kemudian disebut sebagai kedaulatan rakyat. Kedaulatan ini memegang kekuasaan penuh dalam pelaksanaan negara bangsa. Di Indonesia kedaulatan tersebut dituangkan dalam Pancasila. Kelima sila dalam Pancasila adalah pemikiran fundamental pendiri bangsa mengenai hal-hal apa saja yang perlu dijadikan dasar dalam kehidupan bernegara. Pancasila juga memuat keragaman yang menjadi nilai utama yang harus dijaga dalam pelaksanaan negara Indonesia.2

Pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara diyakini hanya akan terealisasi ketika sebuah negara menganut sistem demokrasi. Demokrasi merupakan pilihan yang tepat dan paling masuk akal karena mengandaikan dan menjamin keragaman dalam dinamika rakyat di suatu negara. Namun, demokrasi tidak bisa begitu saja menjadi 1 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Bernegara, Setara Pers, Malang, 2015, hlm. 19.

(3)

unsur penopang pelaksanaan negara bangsa tanpa adanya sikap saling percaya dan saling menghargai dari rakyat yang hidup dalam negara bangsa. Demokrasi juga tidak dapat diartikan sebagai demokrasi langsung seperti pada era polis di Yunani kuno karena semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh suatu negara bangsa beserta masyarakat yang berada di dalamnya. Demokrasi dengan kesediaan kompromi atas pertimbangan prisipal, sikap saling menghargai, dan saling percaya adalah demokrasi yang bisa dilaksanakan di era modern.3

Setelah kedaulatan ditemukan dan sistem yang digunakan untuk menopang konsep negara bangsa disepakati, proses selanjutnya yang dibutuhkan adalah membentuk sebuah peraturan tertulis yang kemudian menjadi dasar untuk pelaksanakan praktik organisasi dan pelaksanaan praktik kenegaraan.4 Peraturan tertulis tersebut

dinamakan sebagai konstitusi. Awalnya konstitusi berasal dari kontrak sosial yang mengikat seluruh masyarakat dalam kehidupan bernegara. Pelaksanaan tertinggi konstitusi adalah dengan menjadikannya sebagai dokumen hukum dan politik yang otoritasnya berasal dari kekuasaan rakyat. Dalam sejarah perkembangan hukum tata negara, seorang ahli bernama Hans Kelsen mengajukan sebuah teori yang disebut sebagai Stufenbau Theory untuk memperjelas perlunya konstitusi dalam penyelenggaraan negara.

Mula-mula dalam penjelasan yang abstrak, Kelsen mengemukakan bahwa: “Hukum berada dalam satu tatanan yang disebut dengan nomodinamik. Hukum merupakan sebuah kesatuan karena memiliki dasar validitas yang sama, sebagai norma dasar yaitu suatu norma yang validitasnya tidak dapat diperoleh dari norma lain. Bahwa suatu norma termasuk ke dalam suatu sistem norma tertentu, dapat diuji hanya dengan penegasan bahwa norma tersebut memperoleh validitasnya dari norma dasar yang membentuk tata normatif tersebut”.5

3 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 98-99.

4Tidak semua konstitusi negara berbentuk peraturan tertulis. Sebagai contoh, penulis mencontohkan negara seperti Inggris, Arab Saudi, dan Israel sebagai negara-negara yang tidak memiliki konstitusi yang tertulis.

(4)

Konstitusi secara sederhana dapat diartikan sebagai dokumen yang berisi aturan-aturan untuk menjalankan sebuah organisasi.6 Organisasi yang dimaksudkan oleh

Thompson dalam bukunya adalah segala sesuatu yang memiliki beragam bentuk dan kompleksitas struktur. Negara dengan segala kompleksitasnya memerlukan konstitusi. Dalam bahasa Indonesia, konstitusi biasa diterjemahkan menjadi undang-undang dasar.

Konstitusi mencakup pengertian peraturan tertulis, kebiasaan, dan konvensi ketatanegaraan yang mementukan susunan dan kedudukan organ-oragan negara, mengatur hubungan antar organ negara, dan mengatur hubungan organ negara dengan warga negara.7 Seiring dengan berkembangnya zaman, konstitusi dianggap sebagai

kebutuhan utama bagi setiap negara demokrasi modern. Dasar pembentukan konstitusi yang berasal dari kesepakatan bersama digunakan sebagai jalan untuk menuju kondisi ideal yang hendak dicapai bersama dalam negara. Beberapa kesepakatan bersama yang hendak dicapai dan diwujudkan meliputi:

1. The general goals of society or general acceptance of the same philosophy; 2. The Basis of government;

3. The Form of Institutions and procedures.8

Norma dasar dalam Stufenbau theory kemudian dibahasakan dalam grundnorm. Dalam ranah yang lebih sempit, di Indonesia, tata normatif seperti apa yang dikemukakan oleh Kelsen juga diterapkan dengan grundnorm adalah Pancasila yang masih memuat hal yang terlalu luas, abstrak, dan membutuhkan penjelasan lebih konkret melalui peraturan perundangan di bawahnya. Pelaksana Pancasila sebagai grundnorm adalah UUD1945. Konstitusi tersebut adalah peraturan pelaksana dalam usaha mencapai nilai-nilai luhur pembentukan negara Republik Indonesia.9 Selain itu,

masih menurut Kelsen, penurunan norma-norma suatu tata hukum dari norma dasarnya

6Brian Thompson, Textbook On Constitutional and Administrative Law, Third Edition, Blackstone Press ltd, 1997, hlm. 3.

7 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 19. 8 William G. Andrews dalam Jimly Asshiddiqie, Op.cit., hlm. 21

(5)

dilakukan untuk membuktikan bahwa norma-norma khusus yang telah dibuat menurut norma dasar.

Konstitusi sebagai pelaksana grundnorm harus memiliki nilai-nilai luhur yang dicitakan olehnya. Maka, UUD 1945 wajib memuat nilai-nilai luhur Pancasila. Apabila Pancasila mengakomodasi keragaman, maka UUD 1945 harus mengakomodasinya. Begitu juga peraturan perundangan yang berada di bawahnya.10

Di Indonesia, pelaksanaan negara terbagi dalam tiga masa, Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Masing-masing masa selalu mengedepankan bahwa mereka adalah perbaikan dari masa sebelumnya. Orde Baru merupakan perbaikan dari Orde Lama yang dianggap mendekati tirani, Reformasi merupakan perbaikan dari Orde Baru yang tidak kalah tiran dari Orde Lama.

Reformasi membawa semangat perbaikan. Orde Baru dianggap melakukan penyalahgunaan Pancasila dan UUD 1945 dalam pemerintahan yang totaliter dan tiran. Masalah tersebut dianggap merupakan masalah yang utama dan harus diselesaikan dengan cara penyelesaian yang radikal.

Hal pertama yang dilakukan oleh pemerintahan reformasi adalah mengusahakan amandemen terhadap UUD 1945 yang dianggap masih belum mengakomodasi banyak hal dasar dalam bernegara.11 Permasalahan pertama yang kemudian timbul adalah suara

dari fraksi islam yang mengusulkan selain amandemen UUD 1945, perlu juga diadakan perubahan radikal yang mengembalikan Pancasila pada bentuk aslinya yaitu Piagam Jakarta yang memuat:

1. Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya

10 Hans Kelsen, Op.cit.,, hlm. 144

11 Banyak pendapat yang mengemukakan usaha amandemen terhadap UUD 1945 mengutamakan pada cara bagaimana mengurangi istilah presidential heavy untuk diarahkan pada sebaliknya, legislative heavy.

(6)

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyarawaratan/perwakilan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.12

Keinginan tersebut dapat dikatakan seusatu yang wajar ketika melihat kembali sejarah ketatanegaraan Indonesia terutama di Orde Baru. International IDEA mencatat bahwa dengan berakhirnya Orde Baru, organisasi keagamaan meletup, menjadi apa yang digambarkan sebagai “euforia”Aktivitas Politik. Hal ini terutama terjadi pada organisasi-organisasi Islam yang merasa bahwa mereka telah diganjal secara opresif di bawah rezim Soeharto atau Orde Baru.13

Meskipun akhirnya gagal dalam level norma dasar, euforia ini tidak berhenti begitu saja. Selepas Undang-Undang-Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh diundangkan, usaha tersebut dialihkan pada level yang lebih rendah yaitu perda. Banyak yang tidak memahami bahwa Undang-Undang tersebut adalah awal dari rangkaian upaya panjang penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Aceh akibat penetapannya sebagai Daerah Operasi Militer sejak tahun 1989 sampai 1999.

Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa penyelenggaraan keistimewaan Aceh meliputi: (a) Penyelenggaraan kehidupan beragama; (b) penyelenggaraan kehidupan adat; (c) penyelenggaraan pendidikan; dan (d) peran ulama dalam pembentukan peraturan daerah.14 Keistimewaan Aceh dilanjutkan dalam

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi daerah Istimewa Aceh dan kemudian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.15

Dalam undang-undang tersebutlah akhirnya tercetus istilah Qanun yang menjadi 12 Alwi Wahyudi, Hukum Tata Negara Indonesia: Dalam Perspektif Pancasila Pasca Reformasi,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012, hlm.6-10

13 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Cetakan Ketiga, 2011, hlm. 278.

14 Lihat Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 44 Tahun1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh

(7)

pendorong dilanjutkannya usaha untuk menjadikan syari’at islam sebagai peraturan perundangan di tingkat daerah.

Pengundangan peraturan daerah yang didasarkan pada keinginan untuk mengadopsi apa yang terjadi di Aceh mendorong timbulnya istilah peda bernuansa syari’at. Beberapa contoh yang terjadi ditemukan di Garut dan Tasikmalaya melalui Peraturan Daerah Kabupaten Garut Nomor 6 Tahun 2000 tentang Kesusilaan dan Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pembangunan Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Yang Berlandaskan Pada Ajaran Agama Islam dan Norma-Norma Sosial Masyarakat Kota Tasikmalaya.

Perda-perda bernuansa syari’at tidak seperti Qanun di Aceh yang memiliki dasar hukum pembentukannya berupa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.16 Secara umum, perda bernuansa syari’at adalah perda seperti

umumnya yang merupakan kewenangan yang diberikan pada pemerintah pusat yang tidak dapat bertentangan dengan bunyi peraturan yang berada di atasnya yaitu Pasal 237 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi: “Asas pembentukan dan materi muatan Perda berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia” tapi dengan ditempeli sesuatu yang bernuansa syari’at.

(8)

tercapai kesesuaian dalam pelaksanaan nilai-nilai luhur yang dicitakan oleh Pancasila sebagai norma dasar atau grundnorm dalam kehidupan bernegara di Indonesia.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, permasalahan yang akan diteliti yaitu:

1. Apakah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat konsep Constitutional Patriotism?

2. Bagaimanakah kedudukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Constitutional Patriotism terhadap pembentukan Peraturan Daerah di Indonesia?

C. Metode Penelitian

Penelitian bersifat normatif melalui pendekatan undang-undang atau statute approach dilengkapi dengan pendekatan konseptual atau conseptual approach yang didapat dari penggunaan teori-teori dalam telaah pustaka.17 Kolaborasi dari

pendekatan-pendekatan tersebut akan digunakan untuk mengungkap constitutional patriotism yang terdapat dalam UUD 1945 yang akan menunjukan pada kedudukan UUD 1945 dalam pembentukan perda di Indonesia.

D. Pembahasan

Artikel ini memuat tiga variable: kedudukan, Constitutional Patriotism, dan peraturan daerah. Ketiganya berawal dari pendapat Hans Kelsen dalam teorinya, Stufenbau theory.

(9)

1. Kedudukan Menurut Stufenbau theory

Kedudukan akan dijelaskan dalam dua ranah yaitu ranah das sollen dan das sein. Secara das sollen, kedudukan merujuk pada apa yang dinyatakan Kelsen bahwa hukum berada dalam satu kesatuan atau berada dalam satu sistem. Sistem tersebut ditopang oleh satu hal yang sama, validitas. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah, darimana validitas itu hadir?

Kelsen dalam General Theory of Law an State menerangkan secara jelas mengenai norma dasar dalam sistem hukum. Norma dasar tidak dibuktikan validitasnya berdasarkan realitas, melainkan didasarkan pada postulasi yang telah diakui kebenarannya tanpa harus dibuktikan. Norma dasar, karena memiliki makna yang sangat luas, dapat memberikan validitas pada norma-norma di bawahnya. Norma dasar akan mengarahkan pencarian yang dilakukan untuk menemukan validitas suatu norma bukan pada realitas, melainkan pada norma dasar itu sendiri. Karena dari sanalah semua berawal.18

Kekuasaan norma dasar mendistribusikan validitas terhadap norma-norma di bawahnya membentuk suatu tata norma atau sistem norma. Norma dasar yang menjadi sumber utama validitas mengikat norma yang berbeda-beda dalam satu tata norma. Pernyataan tersebut menjawab pertanyaan darimana validitas dalam norma hadir? Landasan validitas suatu norma adalah postulat, yaitu norma yang dipostulasikan sebagai norma dasar.

Karena bersifat ilmiah, norma dasar tidak mungkin dibiarkan saja dipahami dan dicari asal usulnya tanpa alasan yang jelas dan akan mengarahkan pencarian yang bersandar pada kekuasaan Tuhan. Kelsen sebagai seorang positivistik membuang jauh-jauh setiap pembenaran keagamaan dari sistem tata hukum. Kelsen berpendapat bahwa positivisme hukum berasal dari wewenang historis yang memberikan kekuasan pada para perumus norma dasar. 19

(10)

Keseluruhan fungsi norma dasar adalah untuk memberi kekuasaan membentuk hukum kepada pembentuk undang-undang yang pertama, atau konstitusi, yang merupakan pelaksana norma dasar. Norma dasar tidak dibentuk memlalui prosedur hukum oleh suatu organ pembuat hukum. Tidak seperti validitas norma hukum positif, yang berada di bawah norma dasar, norma dasar tidak valid karena dibuat menurut satu cara tertentu oleh suatu tindakan hukum, melainkan valid karena norma dasar dipostulasikan demikian; pre-supposed, dan dipostulasikan valid karena tanpa postulasi ini tidak akan ada tindakan manusia yang dapat ditafsirkan sebagai tindakan hukum, khususnya sebagai tindakan pembentukan norma. Norma dasar adalah jawaban atas pertanyaan: bagaimana semua pernyataan hukum mengenai norma-norma hukum, kewjiban-kewajiban hukum, hak-hak hukum, dan sebagainya, dimungkinkan.20

Perlu dipahami lebih lanjut bahwa norma dasar tidak hanya memberikan tata urutan dalam bentuk formil belaka, namun juga mensyaratkan adanya kesesuaian antara norma-norma turunan yang berada di bawah norma dasar. Sehingga norma dasar mensyaratkan pula keterjagaan substansi yang dimuatnya pada peraturan yang berada di bawahnya. Hal yang sering ditemukan adalah bahwa tata urutan tersebut hanya memberikan bentuk formal saja dengan mengabaikan nilai-nilai atau substansi yang diturunkan oleh norma dasar. Kenyataan tersebut akan membuat sebuah sistem norma, terutama yang berada di bawah konstitusi, akan mengalami ketidak sesuaian karena tidak mampu mengakomodasi esensi konstitusi (constitutional essentials).

Sedangkan das sein dalam artikel ini merujuk pada tata urutan peraturan perundangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang meletakan UUD 1945 sebagai peraturan tertinggi dan Peraturan Daerah sebagai peraturan terendah.21

2. Constitutional Patriotism

20 Ibid., hlm. 146.

(11)

Penemuan pengertian Constitutional patriotism dilakukan melalui tiga metodologi, secara epistemologis, ontologis, dan aksiologis.

a. Pengertian Secara Epistemologis

Secara epistimologis constitutional patriotism akan melibatkan pendapat-pendapat yang berkaitan dengan sejarah dan tempat pertama kali konsep tersebut dicetuskan lalu dikembangkan. Ahli yang pertama kali mencetuskan constitutional patriotism secara epistemologis adalah Karl Jaspers. Ia berangkat dari The Question of German Guilt, sebuah karya seminal yang menggambarkan perbedaan antara kesalahan moralitas, kriminal, dan kesalahan metapisis.22 Usaha Jaspers menjelaskan epistimologi

constitutional patriotism tidak dapat dilepaskan dari metode historis karena dijelaskan bahwa masa lalu Jerman adalah asal konsep epistemologi konsep tersebut. Jaspers menyatakan:

“Constitutional patriotism linked with the idea of working through the past, explicitly with a new kind of cosmopolitanism: the project of continously contested memory and the idea of universal membership were to become inseparable – even if it remained unclear what precisely universal membership was supposed to be entail”23

Jaspers secara pribadi dan sadar menolak nasionalisme yang sebelumnya diadopsi dari pemahaman Max Weber, di mana Weber menyatakan bahwa identitas politik liberal dan bingkai negara bangsa dapat bekerja di Jerman. Kemudian ditambahkan bahwa pertanyaan menganai kesalahan moral berlaku bagi setiap kesadaran individu. Cara satu-satunya untuk menjawab pertanyaan 22 Jan-Werner Muller, Another Country: German Intellectuals, Unification and National Identity, London And New Haven: Yale University Press, London, 2000, hlm. 13

(12)

tersebut adalah dengan menciptakan komunikasi publik yang bebas dan apa yang disebut sebagai perjuangan sukarela untuk solidaritas dibandingkan mengajukan konsep penyesalan moral.24

Ahli selanjutnya yang menjelaskan constitutional patriotism secara epistemologis adalah Dolf Sternberger, kolega dari Karl Jaspers. Sternberger adalah salah satu pencetus West Germany. Mula-mula diciptakan istilah Staatsfreundschaft (persahabatan dengan, atau lebih menuju pada, negara) dan kemudian didorong menjadi Verfassungspatriotismus (hasrat rasional patriotisme). Kedua istilah tersebut kemudian menjadi pijakan Sternberger untuk merumuskan dasar constitutional patriotism yang lebih kuat, menurutnya, dari milik Jaspers “passionate rationality is a kind of civic reason that would make citizens identity with democratic state and, not least defend it against its enemies”.25

Dalam metodologinya, Sternberger masih mengadopsi metode yang sama dengan Jaspers, metode historis, yang juga berasal dari The Republic milik Plato dan pemikiran-pemikiran Hannah Arrendt. Bedanya, tidak seperti Jaspers yang masih belum berani menyatakan bahwa pemikiran milik Plato dan Arrendt mengandung constitutional patriotism, di mana keduanya justru masih dianggap seagai pemikiran cosmopolitanism, Sternberger secara tegas membagi waktu di mana constitutional patriotism akhirnya lahir. Disebutkan dalam pendapatnya bahwa patriotisme menurut Plato tidak ada hubungannya sama sekali dengan negara. Sebuah pendapat yang bisa dipahami karena pada masa tersebut negara, terutama negara bangsa, belum lahir konsepnya. Tapi setelah abad kedelapan belas, Sternberger berpendapat bahwa semua jenis

24 Ibid., hlm. 17. Dalam terjemahannya, Muller masih menganggap konsep Jaspers sebagai sebuah konsep yang apolitis, dalam arti politik sebagai sebuah praksis. Pernyataannya mengacu pada kenyataan masih terdapat keraguan dari Jaspers mengenai bentuk pemerintahan yang tepat untuk melaksanakan komunikasi publik yang bebas. Di sisi lain konsep tersebut membutuhkan pemerintahan yang kuat yang didukung konstitusi yang kuat pula, merujuk pada Rule of Law, namun di sisi lain ia masih mengalami trauma terhadap pemerintahan kuat yang dekat dengan konotasi tirani.

(13)

patriotisme adalah constitutional patriotism yang dipahami dalam kerangka kecintaan terhadap the laws and common liberties.

Pendapat Sternberger tentang constitutional patriotism yang kemudian mengemuka adalah pada “defending against its enemies” yang akhirnya memberi corak pada pendapatnya. Dengan mencuatnya istilah tersebut, di tangannya constitutional patriotism menjadi dekat dengan militant democracy yang akhirnya menjadikan demokrasi di Jerman Barat menjadi demokrasi yang paranoid terhadap resureksi Partai Nazi dan musuh-musuh demokrasi Jerman.

Masalah yang dihadapi oleh constitutional patriotism Sterneberger adalah kemudian menjadi bertentangan dengan tujuan demokrasi berupa pemberian jaminan terhadap kebebasan berpendapat dan berbicara. Padahal elaborasi antara constitutional patriotism dan sistem demokrasi mestinya menitikberatkan pada jawaban politis dan legislatif untuk menghadapi serangan-serangan anti demokrasi. Bukan malah dengan menciptakan constitutional patriotism yang melakukan dengan “fight fire with fire” seperti pendapat Sternberger.26

Ahli terakhir yang secara epistemologis menjelaskan constitutional patriotism adalah Jurgen Habermas. Habermas adalah orang terakhir yang mengembangkan dua konsep milik Jaspers dan Sternberger dengan sebisa mungkin membuang seluruh entitas buruk yang terdapat dalam konsep masing-masing.

Untuk mengawali formulasi constitutional patriotismnya, Habermas berangkat dari kenyataan bahwa constitutional patriotism milik Jaspers dinilai terlalu “lesu darah” karena bersifat apolitis dan Sternberger terlalu “berdarah panas” karena menjadikan constitutional patriotism sebagai awal

26 Dikutip dan diartikan dari Karl Loewenstein, Militant Democracy and Fundamental Rights I,

(14)

mula militant democracy. Untuk mengatasi kedua sifat tersebut dalam constitutional patriotism, Habermas mengawali usahanya dengan pernyataan “What matters is a kind of critical, highly self-conscious back-and-forth between actually existing traditions and institutions, on the one hand, and the best universal norms and ideas that can be worked out, on the others”.27

Selanjutnya yang dilakukan adalah menjadikan constitutional patriotism sebagai cara untuk membuka komunikasi pada level yang terendah, individu, melalui interaksi sosial yang membutuhkan jaringan yang bebas dalam proses komunikasi di level kolektif. Jaringan tersebut kemudian dinamakan sebagai ruang publik atau public sphere yang menjadi poros yang memungkinkan untuk diadakan untuk merenegosiasi identitas kolektif dan kemudian membentuk identitas yang terrasionalisasi.

Habermas kemudian mulai memformulasikan constitutional patriotism dalam dua tahap penyempurnaan, dan kesemuanya ditujukan untuk merevisi pendapat Sternberger yang dianggapnya meletakan constitutional patriotism pada titik terburuk. Tahap pertama adalah menempatkan ruang publik sebagai counter untuk merevisi ketakutan atas potential anti-democrats or those prone to neglecting the public good:

“The privileged site for the information of this kind of “rationalized identity” – and the emergence of proper constitutional patriotism – is thus he public sphere. And the purpose of such patriotism , you might say, is the normative purifucatuion of public argument, as opposed to the protection of polity, which as we have seen, had been the main purpose of Sternberger’s version of constitutional patriotism – a vigilat, highly defensive, and, you might say, somewhat nervous form of patriotism. The primary question here is about the democratic quality of political culture, not the defense of a democracy perpetually under therat from potential anti-democrats or those prone to neglecting the public good”.28

27 Jan-Werner Muller, Constitutional Patriotism, Loc.cit, hlm. 29

(15)

Yang kedua adalah mengenai sifat statis dan terlalu positifistik Sternberger yang meletakan negara, dalam hal ini Jerman, sebagai sebuah entitas belaka yang statis dalam melaksanakan konstitusi.

“The traditionally German ide of the state as a substansial, or even metaphysical, entity above and beyond society was to be replaced by the rechtsstaat, the constitutional, rule-of-law-based state, on the one hand, and the Sozialstaat, or welfare state, on the other. Sternberger’s patriotism stood and centered on democratic instituton worth defending neglected the idea of the public sphere as a providing space for public reasoning among citizens. In the public sphere, citizens could recognize each others as free and equal, engage in democratic learning proceses and subject each other’s claims to the very universal principles which they endorsed patriotically”.29

Dari pendapat ketiga ahli di atas, dapat disimpulkan pengertian constitutional patriotism secara epistemologis adalah cara warga negara mengikatkan diri pada sebuah konstitusi dengan perasaan patriotisme yang dimilikinya. Pengertian tersebut masih sangat abstrak mengingat ketiga ahli tersebut belum menyatakan bagaimana kemudian constitutional patriotism harus bekerja melalui norma dalam pelaksanaan negara. Mereka hanya menyatakan asal, sumber, dan proses konsep tersebut, tanpa menyebut keterikatan pada konstitusi harus muncul dari mana dan melalui usaha apa saja.

b. Pengertian Secara Ontologis

Metodologi ini akan membagi dalam hal apa saja constitutional patriotism bekerja dan akhirnya berwujud dalam tindakan-tindakan konkret. Hal tersebut muncul dari kesadaran Muller yang mendapati kenyataan bahwa constitutional patriotism akan menjadi konsep belaka tanpa bisa diaplikasikan ketika tidak bisa memenuhi sifat dasarnya: normativelly dependant. Untuk

(16)

memenuhi sifat konret constitutional patriotism harus memenuhi tiga keterikatan atau attachment, terhadap:

a) Object of attachment, objek keterikatan constitutional patriotism adalah manusia dan konstitusi. Muller menyatakan bahwa:

“the deepest impulse animating a normatively substansive account of constitutional patriotism is the idea of individuals recognizing each others s free and equal and finding fair terms of living together; in other words, to find enough common, mutually accpetance grounds to answer the question, “how do we want to live together?” in a sense, you might say, it’s nothing less than the political question as such”30

Frasa living together mendorong constitutional patriotism untuk dikaji secara ontologis yang membuatnya harus melangkah dari pengertian-pengertian epistemologis yang hanya akan membuatnya tetap statis dalam ranah konsep belaka. Pada pembahasan objek keterikatan dijelaskan mengenai pemahaman bahwa constitutional patriotism merujuk pada keterikatan asosiasi politis yang akan mengarahkan pemahaman tersebut pada sesuatu yang lebih konkret; bahwa keterikatan manusia terletak pada struktur politis sebuah bangsa, bukan humanisme secara luas yang diletakan oleh Jaspers dalam cosmopolitanism.

b) Mode of attachment, adalah cara mengikat constitutional patriotism tehadap manusia di suatu negara. Muller secara tegas menyatakan cara tersebut tidak dapat dilepaskan dari keterikatan dalam objects of attachment

“To spell out further what i have just called the deepest normative impulse: political rule – that is, the ground rules for the collective exercise of force over the members of the political community – ought to be justified to those subject to collective decisions. Otherwise, some citizens will simply dominate others. However, the need for justification doesn’t apply to every single law or measure; rather, the system of lawmaking in general – or the “law of

(17)

making” – and the principles animating it have to be justifiable to all citizens”.31

Pendapat Muller di atas memberikan cara yang paling tepat dalam mengaplikasikan constitutional patriotism yaitu melalui peraturan politik, terhadap orang yang terikat dengannya, untuk menentukan kepentingan bersama, dalam satu peraturan yang tegas: hukum pembentukan peraturan perundangan, dan prinsip-prinsip yang menjelaskan bahwa hukum tersebut harus bersifat adil terhadap semua warga negara, atau apabila hal tersebut tidak tercapai, maka satu pihak mayoritas akan menekan pihak minoritas. Artinya harus ada peraturan politik yang jelas dalam mengatur pembentukan hukum dan peraturan perundangan yaitu konstitusi yang berasal dari kesepakatan bersama.

c) Reasons for attachment, alasan keterikatan terhadap constitutional patriotism terletak pada esensi konstitusi yang disebut John Rawls sebagai prosedur umum yang dianggap sebagai prosedur pembuatan hukum yang memiliki legitimasi.32

c. Pengertian Secara Aksiologis

Untuk menjelaskan pengertian constitutional patriotism secara aksiologis akan digunakan beberapa pendapat dari Frank Michelman, James Tully, dan George Fletcher. Pada akhirnya pengertian secara aksiologis akan memunculkan esesnsi atau hakikat dari constitutional patriotism melalui keberhasilannya melacak hubungan mutual antara warga negara dan konstitusi, mulai dari ruang yang disediakan oleh kosntitusi untuk mengadakan komunikasi publik, perlindungan pada minoritas, dan akhirnya membentuk identitas konstitusi yang lebih mengarah pada kultur konstitusi yang membuat setiap warga negara dengan kesadaran mereka akan menjadikan konstitusi sebagai produk hukum yang wajib ditaati.

(18)

Tahapan pertama akan menggambarkan bagaimana warga negara dapat turut serta tidak hanya menaati konstitusi, melainkan juga menginterupsinya, menciptakan dispute pada pasal-pasalnya. Pendapat yang akan digunakan pada tahapan ini adalah milik Frank Michaelman. Dalam pendapatnya, mula-mula digambarkan ketika warga negara diperintah untuk kemudian mengikatkan dirinya pada sistem rule of law dan turut membangun pembuatan rule of law, yang dapat mempertunjukan ketertarikan dan sebaliknya tidak akan mempertunjukan satu alasanpun yang dapat mereka gunakan untuk menolak sebuah konstitusi. Hal tersebut digunakan sebagai titik berangkat Michleman, karena hukum, konstitusi, dan sistem politik harus dapat diterima oleh siapapun bahkan golongan minoritas dalam sebuah negara.

Hukum secara umum kemudian, paling tidak, akan memiliki sebuah asumsi: dibentuk oleh proses legal langsung yang dituangkan dalam konstitusi, maka dianggap memiliki legitimasi. Michelman memberikan argumentasi bahwa warga negara harus terikat pada konsep konstitusi, atau apabila salah satu dari mereka ingin merekonsepsi argumentasi tersebut agar tidak terus terikat dan terbebani oleh makna konstitusi, ide untuk terikat pada konstitusi harus disertai dengan justifikasi mutual dalam sebuah masyarakat yang sama-sama memahami arti sesungguhnya kerjasama-sama dan arti yang adil dalam pembatasan kekuasaan.33

Michelman kemudian mencoba mengeleminir sifat positivistik dalam konstitusi dengan menganggap bahwa warga negara tidak harus menaati seluruh aturan dalam konstitusi. Alasan esensial yang dikemukakannya adalah karena konstitusi memuat aturan dan pelaksanaan (general justification dan application) yang kadang menjadi bertentangan ketika berada di ranah yang konkret.34

33 Frank I. Michelman, Morality, Identity and “Constitutional Patriotism” Ratio Juris Vol.14 Issue 3 (September 2001), hlm. 71, diakses melalui www.onlinelibrary.wiley.com tanggal 17 November 2015. Diterjemahkan oleh penulis.

34 Di sini Michaelman mulai juga membantah istilah constitutional identity dan mulai memperkenalkan

(19)

Meskipun keduanya tidak mungkin dan tidak seharusnya dipisahkan, pada praktiknya sering terjadi kegagalan menerjemahkan esensi konstitusi (constitutional essentials) menuju tindakan hukum yang sesungguhnya (actual legal) dan institusi politik (political institutions) yang melaksanakannya. Konstitusi akan bekerja sebagai sebuah situs yang intens dari kontestasi politik dan tindakan moral yang beralasan, bahkan dalam menerjemahkan inti pemikiran dari keadilan dalam parameter yang paling relatif sekalipun.35

Kedua, ide mengenai keadilan yang menjamin keterlibatan minoritas. Michelman kemudian mengelaborasi idenya dengan ide James Tully bahwa seharusnya juga konstitusi mengatur ketidaksetujuan atau pembatasan keragaman sekaligus menentukan parameter keadilan yang ajeg.

Apa yang diatur dan dibatasi dalam konstitusi terikat pada ide warga negara untuk meletakan diri mereka masing-masing sebagai individu yang bebas dan setara guna menemukan istilah yang adil dari kerjasama politik yang dapat dijadikan sebagai parameter saling menjustifikasi atau menilai.36

Kerjasama politik, lanjut Tully, akan menjadi sebuah keadaan yang sangat berbeda ketika kehilangan cara yang demikian, saling memandang sebagai individu yang bebas dan setara, di mana kerjasama yang adil atau bahkan usaha-usaha yang mencoba membagi ruang-ruang politis berhenti menjadi tujuan umum yang hendak dicapai bersama.

Dengan keadaan dan ruang-ruang yang diciptakan oleh pemikiran Michaelman dan Tully, gambaran tentang constitutional patriotism semakin menuju arah yang konkret. Sebagai contoh, apabila terjadi ketidaksetujuan yang beralasan terhadap konstitusi, constitutional patriotism akan menyediakan gambaran yang terlalu statis yang akhirnya mendorong fokus yang terlalu sempit untuk sebuah dokumen tertulis. Sedangkan kultur merujuk pada fakta bahwa kita dapat melibatkan simbil-simbol bersama, ritus dan ritual dari keanggotaan, dan lembaga terhormat seperti mahkamah kosntitusi yang merupakan lembaga yang mengekspresikan esensi-esensi konstitusi.

35 Ibid.,

36 James Tully, The Unfreedom Of The Moderns In Relation The Ideals Of Cosntitutional Democracy,

Modern Law RewievsVol.65 Issue 2(Maret 2002), hlm. 28 diakses melalui www.icon.oxfordjournals.org

(20)

motivasi moral untuk memperbaiki konstitusi tersebut karena terdapat ruang yang disediakan olehnya. Constitutional patriotism juga akan menyediakan alasan para minoritas untuk memperbaiki konstitusi yang seharusnya memanifestasikan justifikasi mutual yang ideal, apabila konstitusi tidak memuatnya.

Ketiga, dari dua hal di atas akhirnya akan terjadi kultur konstitusi yang dijamin oleh lembaga negara yang bernama mahkamah konstitusi yang merupakan lembaga yang menjaga esensi-esensi konstitusi. Meskipun konstitusi lahir dari sebuah sistem dan tindakan politik, keduanya tidak dapat dikatakan berdekatan. Karena sistem politik menjelaskan sesuatu yang lebih luas sedang tindakan politik adalah sesuatu yang lebih khusus ketika keduanya bernegosiasi dengan norma-norma universal.

Constitutional patriotism yang akhirnya menimbulkan kultur konstitusi akan memberikan ruang bagi ketidaksetujuan dan konflik-konflik antar warga negara dalam hal yang positif karena kedua hal tersebut dapat mendorong menuju dua efek: penstabilan dan penyatuan (integrating dan stabilizing effect). Pada akhirnya dengan pemahaman terhadap konstitusi yang lahir melalui constitutional culture, baik warga negara maupun konstitusi, konflik dapat dilihat sebagai masukan terhadap pelaksanaan konstitusi yang kedudukannya sama pentingnya dengan konsensus untuk menaati konstitusi.37

Dari alur penjelasan di atas, mulai dari epistemologis, ontologis, sampai aksioligis, akan disimpulkan pengertian constitutional patriotism, sehingga didapatkan satu pengertian yang ajeg. Constitutional patriotism adalah bentuk kesetiaan warga negara terhadap konstitusi, sebagai konsensus bersama, yang didasarkan pada kultur dan kesadaran pribadi. Hal tersebut timbul karena konstitusi memiliki tiga sifat mengikat pada objek, cara, dan moral untuk tunduk pada konstitusi. Constitutional patriotism timbul karena warga negara

(21)

sadar bahwa konstitusi menyediakan ruang bagi warga negara untuk berkomunikasi, mengenai ketidaksetujuan terhadap konstitusi dan pemberian alasan yang wajar bagi golongan minoritas untuk tetap setia pada konstitusi dengan penjaminan hak-hak minoritas melalui mekanisme law of law-making process yang jelas dan melalui sebuah lembaga negara berupa mahkamah konstitusi. Jadi, constitutional patriotism memiliki tiga unsur utama, yaitu keterikatan (attachment), ruang berkomunikasi (public sphere), dan sistematika yang jelas (law of law-making process).

Selain itu, dengan menjelaskan pengertian constitutional patriotism secara epistemologis, ontologis, dan aksiologis, akan ditemukan bahwa constitutional patriotism adalah konsep yang universal dan harus ditemukan keberadaannya dalam konstitusi. Selama ini konstitusi hanya dikenal dalam lingkup sebagai konsensus yang merupakan kesapakatan bersama yang merupakan pelaksanaan dari norma dasar. Pengertian konsensus selalu gagal dalam mengakomodasi bentuk partisipasi warga negara, sehingga dengan dijelaskannya pengertian constituional patriotism akan hadir cara pandang baru bahwa konstitusi juga harus memperhitungkan partisipasi yang kemudian diakomodasi oleh lembaga-lembaga politik yang lahir dari sistem ketatanegaraan.

3. Perda Syari’at dan Perda Bernuansa Syari’at: Kontekstualisasi dan Penetapan Parameter Terhadap Konstitusi

a. Kontekstualisasi

(22)

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Nomor 21 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Perda syari’at atau qanun diatur dalam Pasal 1 Nomor 21 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memilik pengertian peraturan perundangan sejenis peraturan daerah daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyrakat Aceh. Hal ini apabila dikaitkan dengan konsideran menimbang huruf c yang berbunyi “bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dapat disimpulkan bahwa “penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarkat Aceh” didasarkan pada syari’at Islam. Sehingga pengertian Perda Syari’at hanya bisa diterapkan di Aceh karena secara tata urutan mereka memiliki dasar untuk mengundangkan perda tersebut.

(23)

Pemberlakuan perda syari’at di Aceh merupakan sejarah yang sangat panjang. Namun, ketika mengaitkannya dengan kontekstulisasi hukum syari’at dengan produk hukum nasional yang terjadi secara global, pendapat Kristen Stilt dapat sangat membantu menjelaskan hal tersebut:

“When the articles dealing with Islam are treated independently of other constitutional language or country specific issue, it is easy to conclude that constitutional drafters aimed to achieve some particular substansive doctrinal result. These cluases, however, are part of larger debates and power struggles, and decisions about their inclusion are often interwined with legal, political, economic, social, and cultural issues such as federalism, the location of the power to decide religious questions, nationalism, notions of the rule of law, anti-colonial sentiment, monarchical privilege, national security, ethnic previleging, and other context-specific concerns. Constitutional Islams functions as available language that can be hanessed in favor of the particular goals and needs of drafters or society at large. It can stand in for, or reinforce, other language and ideas. A contextual approach brings these linkages to the surface, showing that constitutional islam does not operate as single issue independent of other constitutional considerations. And an understanding of thesehistorical linkages will do more than explain the dynamics at the time of the constitution’s or article’s drafting, it can also suggest new approaches to studying contemporary constitutional practice since theses founding debates do not neatly dissolve with addoption of the clause”.38

Pendapat Stilt membuktikan bahwa konstitusi islam, atau hukum islam, dapat berlaku pada suatu wilayah tertentu yang memiliki sejarah yang berkaitan dengan hukum Islam. Keberlakuan hukum Islam juga dapat dipandang sebagai bahasa konstitusi alternatif atau bahkan lingua franca yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat di suatu wilayah karena kedekatan sejarah dan kulturnya dengan islam. Tapi, tentu saja hal tersebut tidak dapat berlaku pada semua wilayah di suatu negara dan menggantikan konstitusi yang merupakan bahasa yang lebih universal. Maka, Stilt menambahkan, peran perancang peraturan di sini sangat vital.

(24)

Pendapat Stilt juga membuktikan bahwa dalam sebuah negara berbentuk Republik, hukum islam tidak mungkin dilakukan sepenuhnya atau kaffah. Hal tersebut dikarenakan hukum islam harus berkontekstualisasi dengan hukum nasional yang digunakan di suatu negara. Sehingga harus ada kompromi dalam pelaksanaan hukum islam dengan hukum nasional.

b. Penetapan Parameter Terhadap Konstitusi

Meskipun sifat penelitiannya yuridis normatif, artikel ini idak hanya akan menetapkan parameter sebatas pada kesesuaian pemberlakuan peraturan perundangan dengan peraturan yang lebih tinggi di atasnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan mengabaikan faktor-faktor sosiologis yang terjadi dalam pemberlakuan sebuah peraturan perundangan.

1. Pemberlakuan perda syari’at atau qanun di Aceh sebagai parameter positif secara tata urutan peraturan perundangan dan negatif dalam pelaksanaannya

Pemberlakuan perda syari’at di Aceh memiliki dasar hukum Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.39 Dalam konsideran menimbang dua undang-undang

(25)

adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi, yang bersumber dari kehidupan yang religius, adat yang kukuh, dan budaya Islam yang kuat dalam menghadapi kaum penjajah; (c) bahwa kehidupan masyarakat Aceh yang religius, menjunjung tinggi adat, dan telah menempatkan ulama pada peran yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara perlu dilestarikan dan dikembangkan bersamaan dengan pengembangan pendidikan.

Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 disebutkan bahwa: (a) bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang; (b) bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi; (c) bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.40

Kedua konsideran Undang-Undang tersebut merupakan dasar yang menyatakan bahwa kekhususan berupa syari’at Islam dalam pemerintahan Aceh adalah sesuatu yang mengemuka dan harus. Apabila dikaitkan dengan pendapat Kristen Stilt dalam Contextualizing Constitutional Islam: The Malayan Experience, fenomena perlunya pemberlakuan hukum Islam di Aceh adalah

(26)

salah satu bentuk elaborasi antara sejarah, budaya, dan kultur yang membuat Aceh memerlukan bahasa lain dalam sistem hukumnya.41

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 mengatur dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan Undang-Undang ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional. Dengan demikian, otonomi seluas-luasnya pada dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh. Oleh karena itu, pengaturan dalam qanun yang banyak diamanatkan dalam Undang-Undang ini merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional tersebut dalam pelaksanaan pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota, dan merupakan acuan yang bermartabat untuk mengelola urusan pemerintahan secara mandiri sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.42

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan qanun di Aceh adalah contoh parameter positif kedudukan UUD NRI 1945 sebagai constitutional patriotism pembentukan peraturan daerah. Qanun di Aceh memenuhi 3 unsur constitutional patriotism. Qanun memiliki kekuatan mengikat yang ditujukan untuk masyarakat Aceh, memiliki ruang untuk berkomunikasi dan menjadi ruang publik, dan memiliki dasar pemberlakuan atau validitas dari peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang 41 Lihat penjelasan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 yang menyebutkan awal pemberian keistimewan Aceh berasal dari: “Latar belakang sejarah yang cukup panjang inilah masyarakat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Islam telah menjadi bagian dari mereka, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Masyarakat Aceh amat tunduk kepada ajaran Islam dan mereka taat serta memperhatikan fatwa ulama karena ulamalah yang menjadi ahli waris Nabi. PenghAyatan terhadap ajaran agama Islam dalam jangka yang panjang itu melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat itu lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktekkan, dikembangkan, dan dilestarikan, lalu disimpulkan menjadi "adat bak Poteumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana" yang artinya "hukum adat di tangan pemerintah dan hukum syariat ada di tangan ulama". Kata-kata ini merupakan pencerminan dari perwujudan syariat Islam dalam praktek hidup sehari-hari bagi masyarakat Aceh”.

(27)

Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Namun, Qanun di Aceh dalam peberlakuannya masih bertentangan dengan pasal Pasal 28E angka (1) tentang kebebasan memeluk agama dan melaksanakan ibadat sesusai agamanya. Hal tersebut diakibatkan karena kegagalan terciptanya rangkaian esensi konstitusi (constitutional essentials) menuju tindakan hukum yang sesungguhnya (actual legal) dan institusi politik (political institutions) yang melaksanakannya.

2. Pemberlakuan perda bernuansa syari’at di Tasikmalaya dan Garut sebagai parameter negatif terhadap tata urutan peraturan perundangan dan pelaksanaannya

Pembahasan selanjutnya adalah pemberian parameter negatif terhadap perda di luar Aceh namun menggandung nilai syari’at Islam. Sebelum masuk pada pembahasan yang akan merujuk pada kesesuaian tata urutan peraturan perundangan yang membuat perda-perda bernuansa syari’at menjadi parameter negatif, akan disampaikan latar belakang pemberlakuan perda bernuasa syari’at yang mendorong pro dan kontra dalam masyarakat mengenai pemberlakuan perda tersebut.

(28)

bagaiamana cara berpakaian di ruang publik – terutama pemakaian kerudung/jilbab bagi perempuan.43

Pendapat pro berasal dari kelompok yang menyatakan bahwa perda bernuansa syari’at adalah peraturan yang memiliki legitimasi untuk dapat memberikan keamanan perorangan atau kolektif yang tidak dapat disediakan oleh negara dan berdasarkan fakta bahwa Islam adalah agama dan sistem kultur mayoritas di Indonesia, sehingga sangat logis untuk menjadikannya sebagai payung moral secara umum. Sedangkan pihak yang kontra menentang bahwa walaupun islam merupakan agama dan sistem kultur mayoritas di Indonesia terdapat pula warga negara non-muslim di daerah yang memberlakukan perda bernuansa syar’iat. Dan menurut mereka Indonesia tidak pernah menyatakan diri sebagai negara islam, sehingga pemberlakuan perda bernuansa syari’at dianggap mengkhianati konsensus nasional yang ditetapkan oleh para pendiri bangsa.44

Tahapan selanjutnya setelah menetapkan pro dan kontra dalam masyarakat mengenai perda bernuansa syari’at adalah memahami seberapa penting dan mendesaknya formalisasi dalam bentuk perda. Jan Michiel Otto mengungkapkan bahwa, senada dengan pendapat Dewi Candraningrum, perda bernuansa syari’at memiliki tipologi yang mengatur tiga hal yang utama yaitu penyakit masyarakat. Padahal pengaturan tersebut menurutnya sudah diatur dalam peraturan yang lebih tinggi yaitu KUHP. Sehingga perda bernuansa syari’at tidak menghadirkan sesuatu yang baru sama sekali yang mengakomodasi kekhususan suatu wilayah di Indonesia. Perda tersebut hanya sekadar menjadi simplifikasi atau penyederhanaan saja dari peraturan yang lebih tinggi.45

43 Dewi Candraningrum, Perda Sharia and the Indonesian Women’s Critical Perspective, Working paper presented at the conference on “New Arbitary against Women in Indonesia: Perda Sharia and Women’s Rights”, 11 November 2006, held by Suendostasien Informationsstelle, Asienhaus and MATA Asien in Blick, Bremen, hlm. 1. Diterjemahkan oleh penulis.

44 Ibid., hlm. 2. Diterjemahkan oleh penulis.

(29)

Penjelasan-penjelasan di atas membuat penting dan mendesaknya pemberlakuan perda bernuasa syari’at di Indonesia menjadi hal yang patut kembali dipertanyakan. Terlebih apabila dikaitkan dengan Indonesia sebagai negara hukum dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945, Pasal 28 mengenai Hak Asasi Manusia dan batasan pelaksanaannya serta kebebasan menganut agama dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD NRI 1945 dan konsep-konsep nomodinamik dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 39 sampai 41 menyebutkan ketentuan mengenai hal-hal yang diatur dalam perda kabupaten/kota secara mutatis mutandis dari Pasal 32 sampai 41.46 Untuk memperkuat materi apa saja yang

diatur dalam tiap tingkatan perundang-undangan, Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah membagi urusan pemerintahan dalam Pasal 9 sampai 25.

Urusan pemerintah dibagi menjadi dua yaitu urusan pemerintah absolut dan urusan pemerintahan konkuren dalam Pasal 9 Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

a) Urusan Pemerintah Absolut meliputi: (1) politik luar negeri; (2) pertahanan; (3) keamanan; (4) yustisi; (5) moneter dan fiskal nasional; dan (6) Agama.47

Dalam pelaksanaannya, urusan tersebut dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat atau melalui pelimpahan wewenang kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi.48

46 Mutatis mutandis dalam Black's Law Dictionary Seventh Edition diartikan sebagai “All necessary changes having been made; with the necessary changes” atau yang diartikan sebagai segala perubahan yang diperlukan yang telah dilakukan.

(30)

b) Urusan Pemerintah Kongruen yaitu urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah yang terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan.49

Urusan Kongruen dalam Pasal 25 kemudian dibagi menjadi Urusan Pemerintahan Umum dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang semuanya dikerjakan oleh pemerintah daerah dengan memperhatikan asas Desentralisasi dan Pembantuan. Urusan tersebut adalah (1) pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional dalam rangka memantapkan pengamalan Pancasila, pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika serta pemertahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa; (3) pembinaan kerukunan antarsuku dan intrasukur, umat beragama, ras, dan golongan lainnya guna mewujudkan stabilitas kemanan lokal, regional, dan nasional; (4) penanganan konflik sosial sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; (5) koordinasi pelaksanaan tugas antarinstansi pemerintahan yang ada di wilayah Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dengan memperhatikan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan, potensi serta keanekaragaman Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (6) pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila; dan (7) pelaksanaan semua Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan kewenangan Daerah dan tidak dilaksanakan oleh Instansi Vertikal.

Pasal mengenai urusan pemerintahan menjelaskan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi milik pemerintah pusat tidak bisa dilakukan oleh pemerintah daerah. Sehingga urusan agama, yang termuat dalam perda bernuansa syari’at, bukan menjadi urusan pemerintah daerah. Di sisi lain dalam Pasal 250 disebutkan bahwa perda atau perkada dapat dibatalkan apabila

(31)

bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Kepentingan umum yang dimaksud dalam pasal tersebut meliputi:

a. terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat; b. terganggunya akses terhadap pelayanan publik; c. terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;

d. terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atau;

e. diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender.

Contoh perda bernuansa syariah yang digunakan sebagai contoh parameter negatif adalah Peraturan Daerah Kabupaten Garut Nomor 6 Tahun 2000 tentang Kesusilaan dan Peraturan Daerah Tasikmalaya Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pembangunan Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Yang Berlandaskan Pada Ajaran Agama Islam dan Norma-Norma Sosial Masyarakat Kota Tasikmalaya. Perda-perda tersebut apabila materinya dikaji dengan parameter klasifikasi yang dikemukakan oleh Dewi Candraningrum memenuhi ketiganya: bermaksud menekan penyakit masyarakat, menekankan kewajiban beribadah, dan masalah mengatur perempuan. Dasar pengundangan perda-perda bernuasa syari’at tersebut juga seragam, berupa kesepakatan mayoritas yang berhak mengatur tanpa memandang materi muatan yang diatur di dalam perda.

(32)

bernuansa syar’at justru akan memperketat norma kesusilaan yang sudah hidup dalam masyarakat.

Dari penjelasan di atas, disimpulkan bahwa perda-perda benrnuasa syari’at di Garut dan Tasikmalaya merupakan parameter negatif terhadap UUD NRI 1945 sebagai constitutional patriotism terhadap pembentukan perda di Indonesia karena tidak mampu mengakomodasi tiga unsur constitutional patriotism dan lebih lagi keberadaan perda-perda tersebut tidak sesuai dengan Pasal 18 dan Pasal 18B Ayat (2) tentang kesatuan masyarakat adat beserta hak dan tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan secara substansial sesuai dengan Pasal 28E angka (1) tentang kebebasan memeluk agama dan melaksanakan ibadat sesusai agamanya dan 28I angka (3) tentang penghormatan identitas budaya serta membuat tidak jelasnya tata hukum atau konsep nomodinamik di Indonesia yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Nilai-nilai dalam islam tentu saja memuat kebaikan, oleh sebab itu mendapat sematan rahmatan lil alamin. Namun dengan kenyataan yang terkesan dipaksakan dan tanpa tujuan yang jelas justru membuat nilai-nilai yang baik dalam islam menjadi abu-abu ketika diaplikasikan dalam bentuk perda. Di sisi lain islam bernegosisasi dengan pluralitas yang menjadi nilai yang hidup di sekitarnya, sedang di sisi lainnya ketika menjadi perda, islam justru membatasi pluralitas. Hal tersebut membuat islam, ketika menjadi hukum dalam bentuk perda, menjadi kaku, tersekat-sekat masyarakat, dan tidak mampu menyediakan ruang anti diskriminasi yang dicitakan dalam penjaminan Hak Asasi Manusia.

(33)

Arinanto, Satya. 2011. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia: Jakarta

Asshiddiqie, Jimly. 2015. Konstitusi Bernegara, Setara Pers: Malang

Asshiddiqie, Jimly. 2005. Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Konstitusi Press: Jakarta

Kelsen, Hans. 2007. General Theory of Law and State, Penerjemah Drs. Somadi, Bee Media Press: Jakarta

Madjid, Nurcholish. 2003. Indonesia Kita, PT. Gramedia Pustaka Utama; Jakarta Mahmud Marzuki, Peter. 2009. Penelitian Hukum, Kencana Predana Media Group:

Jakarta

Muller, Jan-Werner. 2007. Constitutional Patriotism, Princetown University Press: New Jersey

Muller, Jan-Werner. 2000. Another Country: German Intellectuals, Unification and National Identity, London And New Haven: Yale University Press: London

Thompson, Brian. 1997. Textbook On Constitutional and Administrative Law, Third Edition, Blackstone Press ltd: Vancouver

Wahyudi, Alwi. 2012. Hukum Tata Negara Indonesia: Dalam Perspektif Pancasila Pasca Reformasi, Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Peraturan Perundangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

(34)

Peraturan Daerah Kabupaten Garut Nomor 6 Tahun 2000 tentang Kesusilaan

Peraturan Daerah Tasikmalaya Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pembangunan Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Yang Berlandaskan Pada Ajaran Agama Islam dan Norma-Norma Sosial Masyarakat Kota Tasikmalaya

Jurnal

Anderson, Benedict. 1983. Old State, New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective, Journal Of Asian Studies Vol.XLII, No.3 (Maret 1983)

Anderson, Benedict. 2008. Exit Soeharto: Obituary for A Mediocre Tyrant, New Left Review Vol. 50 (Maret-April 2008)

Candraningrum, Dewi. 2006. Perda Sharia and the Indonesian Women’s Critical Perspective, Working paper presented at the conference on “New Arbitary against Women in Indonesia: Perda Sharia and Women’s Rights”, 11 November 2006, held by Suendostasien Informationsstelle, Asienhaus and MATA Asien in Blick Cronin, Ciaran. 2003. Democracy and Collective Identity: In Defence of Constitutional Patriotism, European Journal of Philosophy Vol.11 Issue.1 (April 2003)

Fletcher, George P. 1993. Constitutional Identity, Cardozo Law Review Vol.14:747 (Winter-Spring 1993)

Jati, Wasisto Raharjo. 2013. Permasalahan Implementasi Perda Syariah Dalam Otonomi Daerah, Al-Manahij Vol.VII No.2 (Juli 2013)

Kamil, Sukron. 2008. Perda Syariah di Indonesia: Dampaknya Terhadap Kebebasan Sipil dan Minoritas Non Muslim, Makalah Diskusi Serial Terbatas Islam, HAM, dan Gerakan Sosial di Indonesia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia

Lacroix, Justine. 2002. For a European Constitutional Patriotism, Political Studies, Vol.50 Issue 5 (December 2002)

Michelman, Frank I. 2001. Morality, Identity and “Constitutional Patriotism”, Ratio Juris Vol.14 Issue 3 (September 2001)

Muller, Jan-Werner. 2006. On The Origin Of Constitutional Patriotism, Contemporary Political Theory Vol.5 Issue 3 (November 2006)

(35)

Referensi

Dokumen terkait

Dapat disimpulkan bahwa dari pengolahan data penulis tentang “Pengaruh Channel Youtube Yulia Baltschun Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Informasi Diet Sehat Viewers”

Freeport Indonesia menyalurkan dana kemitraan mereka yang kemudian di kelola oleh Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK), maka dari itu dalam

Pengadaan bahan baku, jika melihat kinerja penjamin mutu, merupakan tanggung jawab dari quality control, yaitu pada bagian produksi. Baik atau buruknya bahan baku

This research is conducted to investigate the impact of institutional ownership, managerial ownership, audit quality, and firm size towards earnings management through

Dengan demikian, angsuran per bulan yang harus dibayar Atekan kepada KJKS BMT NUSYA yang terdiri dari angsuran pokok hutang dan biaya sewa adalah:. Angsuran Pokok :

Meskipun cara yang digunakan beragam, namun keenam narasumber secara umum sudah dapat dikatakan telah merefleksikan nilai-nilai pengajaran Konfusius dalam bidang “qǐ fǎ

Kerangka Dasar dan Struktur KTSP Sub komponen : 1.1 Pengembangan KTSP Indikator : 1.1.1 Sekolah melaksanakan pengembangan KTSP dengan melibatkan unsur guru, konselor,