• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pater Donatus 2010 Filsafat India BAB 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pater Donatus 2010 Filsafat India BAB 1 "

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

BAGIAN PERTAMA

[gambar Shiva, Dewa Tari]

FILSAFAT INDIA

Kronologi

SM Peristiwa dan Pemikir

2500-1500 Peradaban Indus

1500-1000 Awal mula Veda, bahasa Sanskerta di India; Rig Veda, Atharva Veda 1200-800 Yajur Veda dan Sama Veda; perang Mahabharata

800-400 Upanishad awal (Brihadaranyaka, Chandogya, Taittiriya); Epos Mahabharata

600-400 Perkembangan Jainisme, (Mahavira); awal mula Buddhisme (Buddha); Ramayana (bentuk lisan)

500-300 India di bawah Chandra Gupta dan Ashoka; uraian-uraian tertulis tentang dharma, artha, kama; Yoga Sutra Patanjali, Vedanta Sutra; Samkhya awal

300 SM-300M Perkembangan sistem-sistem besar filsafat India: Samkhya, Yoga, Mimamsa, Vedanta, Nyaya, Vaisheshika, Jainisme, Buddhisme dan Carvaka

M

300-800 Periode komentar-komentar besar terhadap sistem-sistem filosofis yang bermacam-macam; Guadapada (500-an); Shankara (700-an); permulaan Islam (612)

1000-1500 India di bawah pengaruh kekuasaan Muslim; Ibn Sina (981-1037); Al Ghazali (1059-1111); Ibn Arabi (1165-1240); Perkembangan filsafat theistis dari Vaishnavisme dan Shaivisme; Ramanuja (1100-an); Madhva (1200-an); Kabir (1440-1518)

(2)

1700-1900 Kolonisasi di bawah kekuasaan Barat; Ram Mohun Roy (1772-1833), pendiri masyarakat Brahmo; Dayananda Saraswati (1824-1883), pendiri masyarakat Arya; Ramakrishna (1836-1886)

1850-2000 R. Tagore (1861-1941); Gandhi (1869-1948); Aurobindo Ghose (1872-1950); Mohammad Iqbal (1877-1938); Sarvepalli

(3)

BAB 1

PERSPEKTIF HISTORIS

Bila kita melihat perkembangan filsafat India dalam kurun waktu tiga ribu tahun yang lalu, kita dapat membedakan periode yang berbeda dari perkembangan itu, masing-masing dengan corak khas tertentu. Kita juga dapat melihat satu kesinambungan yang mendasari perkembangan itu, yang dalamnya ide-ide dasar dan sikap-sikap tertentu tampak dominan. Bab ini menyuguhkan satu pandangan sekilas tentang perkembangan filsafat India sebagai satu konteks historis untuk bab-bab yang lebih terperinci berikutnya.

SEKILAS PANDANGAN SEJARAH

Meskipun pemikiran filosofis kritis dan sistematis baru muncul dalam Upanishad dan sistem-sistem filosofis yang lebih awal pada abad ke-7 hingga abad ke-5 SM, namun pemikiran reflektif secara mendalam sudah ditemukan dalam tulisan Rig Veda, yang mungkin sudah disusun pada masa-masa lebih awal dari tahun 1500 SM. Sejak masa-masa awal itu, India sudah memiliki satu kekayaan yang luar biasa besar dalam hal visi, spekulasi dan argumen filosofis. Namun sulit untuk mendekati filsafat India secara kronologis, karena sejarah India pada masa-masa awalnya penuh dengan ketidakpastian sehubungan dengan nama-nama, tanggal dan tempat. Di India penekanan begitu banyak diletakkan pada isi pemikiran dan begitu sedikit pada pribadi, tempat dan waktu, sehingga dalam banyak hal tidak diketahui siapa yang bertanggung jawab terhadap filsafat tertentu. Dan bila pengarangnya tidak diketahui, maka waktu dan tempat hanya ditentukan secara tidak langsung. Karena hal itulah, maka waktu kerapkali ditentukan sebaliknya menurut abad alih-alih tahun atau dekade, dan kepengarangan kadang-kadang ditandai oleh mazhab alih-alih pribadi individual. Namun tetap mungkin untuk melihat perubahan-perubahan dalam pemikiran filosofis yang muncul dalam satu urutan historis tertentu. Maksudnya ialah bukan mustahil untuk melihat masa sebelum dan masa sesudah menyangkut problem-problem filosofis yang bermacam-macam itu beserta pemecahan-pemecahannya.

(4)

Masa Veda

Masa Veda dimulai ketika orang-orang yang berbicara bahasa Sanskerta mulai menguasai kehidupan dan pemikiran sekitar tahun 1500 SM di lembah Indus. Sejarawan biasanya berpikir bahwa orang-orang yang berbicara bahasa Sanskerta itu menyebut dirinya bangsa Arya, dan sebagai bangsa penakluk mereka memasuki lembah Indus di India barat daya sekitar 3.500 tahun lalu. Namun hasil temuan baru para ahli menantang tesis tentang bangsa Arya sebagai bangsa penakluk. Apa yang kita ketahui ialah bahwa kebudayaan Indus yang lebih awal, yang berkembang dari tahun 2500-1500 SM dan yang menurut bukti peninggalan arkeologis terbilang sangat rumit, justru merosot pada saat ini. Kita juga mengetahui bahwa pemikiran Veda dan kebudayaan yang direfleksikan dalam Rig Veda memiliki satu sejarah yang berkesinambungan tentang dominasi di India selama 3.500 tahun silam. Boleh jadi bahwa tradisi budaya bangsa pada masa Veda sudah membaur dengan tradisi dan budaya bangsa Indus, dan apa yang kita pikirkan sekarang sebagai kebudayaan India mulai membentuk sosoknya dari sekitar tahun 1500 SM dan seterusnya.

Tulisan Veda yang paling awal disusun antara tahun 1500 dan 700 SM. Meskipun tulisan itu pertama-tama berkaitan dengan praktik-praktik religius, tetapi sesewaktu muncul ikhtiar reflektif ketika para pemikir Veda mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang diri mereka, tentang dunia di sekitar mereka, dan tentang tempat mereka di dalamnya. Apa yang dipikirkan? Apa sumbernya? Mengapa angin bertiup? Siapa meletakkan matahari – pemberi terang dan kehangatan – di langit? Bagaimana terjadi bahwa bumi menghasilkan bentuk-bentuk kehidupan yang tak terbilang banyaknya? Bagaimana kita membarui eksistensi kita dan menjadi utuh? Pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana, apa dan mengapa merupakan awal mula pertanyaan filosofis. Mula-mula para pemikir mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dalam arti pelaku yang manusiawi dengan mengasalkan peristiwa-peristiwa alam pada para dewa yang digagas sebagai pribadi-pribadi adi-insani. Hal ini cenderung memberanikan orang untuk berpikir lebih religius daripada filosofis. Namun daya pikir yang bersifat meneliti segala sesuatu mendorong usaha lebih lanjut untuk menyelidiki siapa para dewa itu dan apa di balik keberadaan mereka. Karena semata-mata tidak puas dengan menerima tujuan hidup yang tradisional, para pemikir itu lalu berupaya untuk mengerti apa sebetulnya kebaikan tertinggi dan bagaimana hal ini dapat dicapai. Mereka meneliti kodrat pengetahuan dan alam pikiran manusia. Cara berpikir seperti ini dalam Veda justru menandai awal mula filsafat India.

Teks-teks utama pada masa Veda adalah Rig Veda, Sama Veda, Yajur Veda dan Atharva Veda. Masing-masing Veda memiliki empat bagian. Bagian pertama, yaitu kumpulan ayat-ayat yang disebut Samhita, memuat himne untuk para dewa, pertanyaan-pertanyaan dan refleksi-refleksi, nyanyian-nyanyian serta rumusan-rumusan untuk hidup sukses. Bagian kedua yang disebut Brahmana terdiri dari susunan-susunan ayat samhita untuk kepentingan ritual. Bagian ketiga yang disebut Aranyaka termuat refleksi dan tafsiran terhadap upacara-upacara ritual. Bagian terakhir yang disebut Upanishad berisikan refleksi tentang persoalan-persoalan utama yang mendasari pemikiran dan praktik religius.

(5)

ribu tahun silam. Visi pertama, diri (self) yang paling dalam, yaitu Atman, adalah satu dengan realitas tertinggi, yaitu Brahman. Kedua, karena hidup dipimpin oleh karma, maka kita dapat menjadi baik hanya dengan melakukan tindakan-tindakan yang baik. Ketiga, hanya pengetahuan meditatif yang membebaskan kita dari lingkaran kematian dan penderitaan.

Masa Cerita Epos

Kebijaksanaan tulisan Veda merupakan bagian dari satu tradisi suci yang dijaga secara cermat, tradisi yang kerapkali tidak tersedia untuk kebanyakan anggota masyarakat, atau kalau pun tersedia hal itu pun melampaui daya pengertian mereka. Untuk mengimbangi hal ini, muncul folklor yang dituang dalam cerita-cerita dan syair-syair untuk menyalurkan banyak hal dari cita-cita tradisi suci itu kepada kebanyakan anggota masyarakat. Dua kumpulan yang paling terkenal dari bahan-bahan itu yang membangun sastra tulisan ini adalah duet cerita epos besar India, yaitu Mahabharata dan Ramayana.

Mahabharata adalah satu cerita epos yang mengisahkan penaklukan negeri India, dan dengan cara ini cerita epos tersebut menyuguhkan satu tuntunan untuk hidup dalam segala dimensinya, dari dimensi filosofis dan religius hingga dimensi politik. Bagian tersendiri yang paling berpengaruh dari Mahabharata adalah Bhagavad Gita, yaitu “Nyanyian Dewa”. Gita dalam satu dialog antara Krishna (Dewa yang menjelma dalam rupa manusia) dan Arjuna menjelaskan kodrat kemanusiaan dan realitas dengan memperlihatkan cara hidup yang memampukan manusia untuk mencapai kebebasan spiritual melalui tindakan yang sesuai dengan kodrat self-nya yang paling dalam.

Ramayana, satu syair indah dalam empat jilid, mengungkapkan tata tertib ideal untuk masyarakat sebagai satu keseluruhan dan cara hidup ideal untuk individu. Syair ini menghadirkan gambaran ideal keperempuanan dalam pribadi dan hidup Sita dan gambaran ideal kelaki-lakian dalam pribadi dan hidup suaminya, yaitu Rama, si pahlawan ilahi dari cerita epos ini. Melalui tarian, drama, cerita rakyat dan film-film, Ramayana dikenal secara luas dan masih terus mengilhami rakyat India malah sampai abad ke-21 ini.

Dalam masa cerita epos ini, uraian-uraian penting tentang moral yang disebut Dharma Shastras ditulis dengan maksud untuk menjelaskan bagaimana kehidupan individual dan masyarakat diatur. Contohnya, Artha Shastra dari Kautilya menjelaskan kebutuhan dan kepentingan sarana hidup yang bermacam-macam, khususnya kekuatan politik, dan menjelaskan bagaimana sarana hidup itu bisa diperoleh. Manu Shastra menjelaskan bagaimana keadilan dan tata tertib bisa dijamin oleh raja dan lembaga pemerintah. Shastra dari Yajnavalkya menekankan pencapaian keberhasilan dan tata aturan dalam kehidupan keluarga.

Masa Sistem-Sistem Filsafat

(6)

Sistem-sistem ini memperlihatkan usaha awal yang semata-mata filosofis di India, karena sistem-sistem itu tidak hanya berusaha menjelaskan kodrat eksistensi, tetapi juga dengan secara sadar dan kritis berusaha memperlihatkan ketepatan jawaban-jawaban mereka dalam analisis yang cermat serta argumentasinya. Ringkasan-ringkasan dari analisis, argumentasi dan jawaban-jawaban itu disimpan sebagai sutras, yang secara harfiah berarti “untaian benang” yang padanya bergantung seluruh sistem filsafat. Komentar-komentar yang luas dikembangkan dengan tujuan untuk menyingkapkan dan menjelaskan ringkasan-ringkasan yang termuat dalam sutras itu. Buddhisme, Jainisme dan Carvaka tergolong dalam nastika atau sistem-sistem yang tidak ortodoks, karena para penulisnya tidak menerima pernyataan-pernyataan Veda sebagai yang benar dan final. Para pemikir dari sistem-sistem itu tidak juga berusaha untuk membenarkan analisis dan pemecahan soal mereka dengan jalan menunjukkan apakah analisis dan pemecahan soal mereka sesuai dengan kitab Veda. Namun sistem-sistem filsafat Nyaya, Vaisheshika, Samkhya, Yoga, Mimamsa dan Vedanta, khususnya dalam perkembangannya yang lebih kemudian menerima otoritas Veda, dan mereka semua sungguh-sungguh memperlihatkan bahwa analisis dan pernyataan-pernyataan mereka sejalan dengan ajaran-ajaran utama kitab Veda. Pembagian besar bisa juga dibuat antara Carvaka dan sistem-sistem filsafat yang lain. Carvaka merupakan satu sistem filsafat yang sungguh-sungguh bersifat materialistis; semua sistem filsafat yang lain menyuguhkan ajaran untuk kehidupan rohani. Jainisme misalnya berusaha memperlihatkan jalan keluar dari belenggu karma. Ia menekankan satu hidup dengan sikap “tidak melukai”, dan hidup dengan sikap itu memuncak pada pembebasan akhir dari belenggu melalui perwujudan diri dalam meditasi. Buddhisme menghadirkan analisis tentang kodrat dan sebab-sebab penderitaan manusia serta delapan jalan sebagai usaha untuk menghilangkan penderitaan.

Berpaling ke sistem-sistem ortodoks, Nyaya pertama-tama menaruh perhatian pada analisis logis tentang sarana pengetahuan. Vaisheshika menganalisis hal-hal yang diketahui sambil menyuguhkan satu metafisika yang pluralistis. Samkhya merupakan satu sistem dualistis yang berusaha menghubungkan realitas diri dengan dunia luar dan menjelaskan evolusi dunia. Yoga menganalisis kodrat realitas diri (self) dan menjelaskan bagaimana realitas Diri yang murni (Self dengan S besar – penterjemah) dapat terwujud. Mimamsa mengembangkan satu teori tafsiran dan pengetahuan, satu teori yang berpusat pada kriteria untuk mengbasahkan pengetahuan, dan dari sana mimamsa berusaha menegakkan kebenaran pernyataan-pernyataan Veda. Vedanta berawal dari kesimpulan-kesimpulan Upanishad lalu berusaha menunjukkan bahwa satu analisis rasional tentang pengetahuan dan realitas akan mendukung kesimpulan-kesimpulan itu.

Masa Komentar-Komentar Besar

(7)

Masa Modern

Sebagai akibat dari pengaruh luar, khususnya kontak dengan Barat, filsuf-filsuf India mulai menguji kembali tradisi filosofis mereka. Dengan berawal pada berbagai studi, terjemahan dan komentar Ram Mohun Roy pada abad ke-19, pembaruan atas tradisi kuno ini mulai berkembang pada abad lalu. Gandhi, Tagore, Ramakrishna, Vivekananda dan Radhakrishnan termasuk di antara pemikir-pemikir India modern yang berpengaruh. Kini ketika kita memasuki abad ke-21, India tengah bergembira atas satu renaisans filosofisnya. Penemuan kembali tradisi kuno, tafsiran baru terhadap pemikiran Barat, karya kreatif dalam filsafat perbandingan dan perkembangan visi-visi baru sedang berkembang pesat satu di samping yang lain, malah kerapkali berpengaruh satu sama lain.

CORAK YANG DOMINAN

Sedari mula dalam refleksi para resi Veda ribuan tahun lalu dan yang berlangsung terus hingga kini, pemikiran filosofis India menghadirkan satu kekayaan yang luar biasa, kerumitan dan keragaman pandangan. Kekayaan dan keragaman ini justru membuat sulit untuk meringkaskan filsafat India melalui satu generalisasi yang sederhana. Meskipun demikian, corak-corak tertentu yang dominan dapat dikenali berdasar pada ketahanan, pengaruhnya atas para pemikir atau kepentingannya yang tersebar luas bagi hidup banyak orang.

Karakter Praktis

(8)

maka penderitaan tak terelakkan karena kerinduan seorang tidak terpuaskan. Pemecahan untuk persoalan itu tampak jelas, yaitu apa dan apa yang diinginkan harus dibuat identik.

Disiplin Diri

Namun bagaimana identitas ini dapat dicapai? Satu cara pendekatan untuk memecahkannya adalah mencoba mencapai apa yang diinginkan. Pribadi yang menginginkan kekayaan mencoba menumpuk kekayaan. Pribadi yang ingin tidak mati akan mendukung riset medis dan teknologis yang menjanjikan perpanjangan hidup. Pendekatan kedua berupa usaha menyesuaikan keinginan seorang dengan apa yang ia miliki. Jika seorang miskin dan menginginkan kekayaan, maka penderitaan yang diakibatkannya dapat dilenyapkan dengan jalan menyingkirkan keinginannya akan kekayaan. Pribadi yang menderita takut akan kematian oleh karena kerinduannya akan hidup kekal dapat melenyapkan penderitaan itu dengan jalan menerima kematian sebagai bagian dari hidup.

Pada dasarnya pendekatan kedualah yang ditekankan filsafat India, yaitu menonjolkan pengontrolan akan keinginan. Akibatnya, filsafat-filsafat India cenderung berpegang pada disiplin diri dan kontrol diri sebagai jalan untuk melenyapkan penderitaan.

Pengetahuan Diri

Karena disiplin diri dan kontrol diri menuntut bahwa seorang perlu memiliki pengetahuan tentang diri, maka pengetahuan diri sudah merupakan satu keprihatinan yang mencolok dari filsafat India. Tentu mengetahui apa itu diri (self) dan bagaimana mewujudkan kesempurnaan diri melalui disiplin diri justru sudah sedari awal menjadi jantung kegiatan filosofis India.

Visi

Karakter praktis filsafat India diungkapkan dalam berbagai macam jalan. Kata darshana yang biasanya diterjemahkan sebagai “filsafat” menunjuk ke arah itu. Darshana secara harfiah berarti “visi”, yaitu apa yang “dilihat”. Dalam arti teknisnya, darshana berarti apa yang dilihat ketika realitas tertinggi diselidiki. Para pelihat India (resi) ketika mencari pemecahan atas penderitaan hidup menyelidiki kondisi penderitaan dan menguji kodrat hidup manusia dan dunia dengan maksud untuk menemukan sebab-sebab penderitaan dan sarana untuk menghilangkan penderitaan. Apa yang mereka temukan merupakan darshana, yaitu filsafat hidup mereka.

Kebenaran

(9)

konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan yang mengungkapkan visi tidak konsisten, maka visi itu bisa saja dikesampingkan sebagai yang bertentangan dengan dirinya sendiri.

Seraya mengakui ketidakcukupan logika sendiri, metode kedua bersifat pragmatis yakni dengan menemukan verifikasi pandangan-pandangan filosofis atau teori-teori dalam kualitasnya yang berdampak pada praksis. Para filsuf India sudah selalu berpegang teguh pada pendirian bahwa praksis adalah ujian tertinggi kebenaran. Visi-visi filosofis harus dipraktikkan, dan hidup harus dihayati menurut cita-cita visi. Kualitas hidup yang dihayati menurut cita-cita itu adalah ujian tertinggi satu visi. Semakin baik hidup dihayati, semakin dekat visi mencapai kebenaran yang lengkap.

Kriteria untuk menentukan kualitas hidup pada gilirannya berasal dari dorongan dasar untuk filsafat, yaitu dorongan untuk menghilangkan penderitaan. Visi yang memungkinkan hidup tanpa penderitaan secara tepat disebut satu filsafat yang benar. Tingkat kebenaran filosofis ditentukan menurut tingkat keringanan penderitaan. Secara positif pandangan-pandangan itu benar sejauh mereka memperbaiki kualitas hidup.

Menaruh penekanan positif pada pembenaran filsafat atas pengalaman alih-alih pada logika (meskipun logika tidak disingkirkan) berarti meletakkan filsafat pada praksis. Jalan praksis adalah bagian dari visi, dan jika jalan untuk mewujudkan cita-cita visi tidak dapat ditempuh, maka visi tersebut dipandang tidak memadai. Mengatakan “baik dalam teori, tetapi tidak dalam praksis” tidak berarti apa-apa apabila dikenakan pada filsafat India. Baik dalam teori harus berarti baik dalam praksis.

Agama dan Filsafat

Penyerupaan jalan menuju hidup yang baik dengan visi hidup yang baik itu sendiri merupakan faktor yang memadukan agama dan filsafat di India. Karena filsafat tidak dipandang sebagai yang menaruh keprihatinan semata-mata pada teori, maka keprihatinannya pada cara praktis untuk mencapai hidup yang baik justru memungkinkan filsafat India untuk mempertahankan hubungannya dengan agama. Di Barat, filsafat dan agama dipandang seluruhnya terpisah, karena filsafat semata-mata berurusan dengan hal yang rasional, sementara agama tidak berurusan dengan akal budi tetapi dengan iman. Menurut pemikiran India, wahyu merupakan satu jalan pengenalan yang sah bersama persepsi dan argumentasi rasional; wahyu membiarkan iman dan akal budi berinteraksi untuk menghasilkan pandangan yang kritis tentang hidup yang baik dan tentang sarana yang bermacam-macam untuk itu. Karena di India teori seorang filsuf tentang hidup yang baik harus diuji oleh praksis, maka ia harus berurusan dengan sarana untuk mencapai hidup yang baik agar bisa menjadi seorang filsuf.

Fokus Pada Self

(10)

tertinggi dilukiskan sebagai subjek murni yang tidak pernah dapat menjadi objek. Subjek selalu merupakan “satu subjek tanpa yang kedua”. Untuk semua sistem kecuali Carvaka, pengalaman kualitatif subjek inilah yang menjadi keprihatinan utama dalam pemikiran India.

Pembebasan

Di atas segala-galanya, filsafat India berurusan dengan usaha menemukan jalan untuk membebaskan self dari belenggu modus eksistensi yang tidak utuh dan terbatas, belenggu yang menyebabkan penderitaan. Menurut Upanishad, kekuatan besar (Brahman) yang memberi daya terhadap alam semesta dan energi rohaniah Self (Atman) pada pokoknya adalah sama. Visi tentang kesamaan antara Self (Atman) dan realitas tertinggi (Brahman) meletakkan dasar untuk metode pembebasan yang membentuk inti praktis filsafat India. Itulah satu visi yang melihat hal-hal tertentu yang berbeda-beda dan proses perkembangan dunia sebagai manifestasi dari satu realitas yang lebih dalam, satu realitas yang tak terbagi dan tanpa syarat. Dalam keseluruhan yang tak terbagi ini ada level-level yang berbeda dari realitas, yang dibedakan seturut derajat partisipasi mereka pada kebenaran dan keberadaan realitas tertinggi. Oleh karena kesatuan eksistensi ini, daya-daya yang dibutuhkan untuk mencapai pembebasan tersedia untuk setiap pribadi. Namun seorang harus sadar akan daya-daya itu dan sadar akan cara-cara untuk menghasilkan daya-daya itu dalam tugasnya untuk mencapai pembebasan. Justru di sinilah pengetahuan, khususnya pengetahuan diri, menjadi sangat penting.

Penekanan pada Self tertinggi dalam Upanishad, Vedanta dan Yoga berarti bahwa kriteria filosofis yang relevan tidak pertama-tama bersifat kuantitatif dan umum. Sebaliknya, kriteria itu ada pada self sebagai subjek. Karena itu, tidak mungkin bahwa seorang mengunggulkan satu filsafat yang “benar” dan menganggap yang lain sebagai yang salah sama sekali. Kebenaran dalam filsafat bergantung pada subjek manusia, dan pengalaman yang lain dapat diketahui hanya sebagai objek. Setidak-tidaknya menurut jalan pengenalan yang biasa, tidak ada pengenalan tentang yang lain sebagai subjek. Alhasil, tidak ada penolakan tentang pengalaman yang lain sebagai yang tidak memadai atau tidak memuaskan.

Toleransi

(11)

Penekanan Moral

Sebagai tambahan untuk corak filsafat India yang berasal dari orientasi praktisnya, ada satu tendensi yang menyebar luas dalam pemikiran India, apabila kita kembali kepada konsep Veda tentang rita (tata aturan), untuk menerima adanya keadilan moral universal. Dunia dilihat sebagai satu panggung moral akbar yang dituntun keadilan. Setiap hal yang baik, buruk dan acuh tak acuh mendapat balasan dan patut diganjari. Dampak dari sikap ini ialah menempatkan tanggung jawab pada manusia itu sendiri secara adil demi kepentingan kondisi manusiawi. Kita bertanggung jawab terhadap diri kita untuk siapa kita kini dan siapa kita kelak. Menurut pemikiran India, kita sendirilah yang menentukan masa lampau kita dan menetapkan masa depan kita. Oleh karena perbuatan baik kita maka kita menjadi baik, dan oleh karena perbuatan jahat kita maka kita menjadi jahat.

Karma

Prinsip penentuan diri melalui tindakan disebut karma. Karma secara harfiah berarti “tindakan”, tetapi ia merujuk pada tindakan dalam arti komprehensif yang melibatkan pikiran, perkataan dan perbuatan. Selanjutnya, ia melibatkan juga segala akibat dari berbagai macam perbuatan, baik akibat yang segera dan yang dapat dilihat maupun akibat jangka panjang dan yang tidak kelihatan. Karma adalah kekuatan yang menghubungkan semua momen hidup satu sama lain, dan menghubungkan semua hal satu sama lain. Oleh karena saling keterhubungan itu, masa hidup seorang merupakan satu saat dalam satu lingkaran yang berkesinambungan, satu lingkaran hidup yang di dalamnya seorang boleh lahir kembali kapan saja dan dalam banyak bentuk yang berbeda-beda. Namun setiap kelahiran diikuti oleh kematian, dan lingkaran hidup berputar terus sambil membawa banyak kematian dan penderitaan yang tak terperikan. Tujuan hidup tertinggi ialah memperoleh pembebasan (moksha) dari lingkaran penderitaan ini. Karena hanya disiplin dan pengetahuan dapat mengosongkan gudang karma dan membebaskan seorang dari lingkaran kematian kembali, maka disiplin dan pengetahuan itu justru sangat dihargai di India.

Dharma

(12)

Semangat Ketidaklekatan

Ada kesepakatan yang agak tersebar luas dalam pemikiran filosofis India sehubungan dengan semangat ketidaklekatan. Penderitaan disebabkan oleh kelekatan seorang pada apa yang tidak ia miliki atau malah pada apa yang tidak mampu ia miliki. Objek-objek yang menjadi sasaran kelekatan itu menyebabkan penderitaan sejauh mereka tidak dapat dijangkaui atau hilang. Karena itu, jika semangat ketidaklekatan pada objek-objek yang membawa penderitaan itu dapat diolah, maka penderitaan itu sendiri dapat dilenyapkan. Jadi, semangat ketidaklekatan diakui sebagai satu peranti yang hakiki untuk mewujudkan hidup yang baik.

Berkat semua corak ini dalam pemikiran India, maka rakyat India biasanya memberi penghargaan yang tinggi kepada para filsuf dan filsafat. Filsafat menunjukkan jalan untuk hidup, dan para filsuf adalah penuntun di sepanjang jalan itu.

PERTANYAAN PENUNTUN

1. Apa masa-masa utama dalam perkembangan filsafat India? Kemukakan secara ringkas ciri-ciri khas tulisan dari setiap masa itu dan lukiskan perbedaan pokok di antara masa-masa itu.

2. Apa dasar perbedaan antara sistem “ortodoks” dan “tidak ortodoks”? Dalam arti apa dikatakan bahwa perbedaan antara Carvaka dan semua sistem yang lain bersifat fundamental?

3. Bagaimana konfrontasi dengan penderitaan fisik, mental dan spiritual berujung pada pemikiran filosofis di India?

4. Mengapa pengetahuan, khususnya pengetahuan diri, dipandang sebagai pencapaian filosofis tertinggi?

5. Di mana tempat tanggung jawab untuk kondisi manusiawi dalam pemikiran India? 6. Apa kriteria yang mesti dipenuhi oleh satu teori filosofis yang berhasil?

BACAAN LANJUT

The Indian Way, oleh John M. Koller (New York: Macmillan, 1982) merupakan satu kajian atas corak-corak dasar pemikiran filosofis dan religius India. Ke-17 bab memuat perkembangan historis secara umum dari zaman Veda hingga sekarang dengan memperlihatkan keberlangsungan ide-ide dan nilai-nilai dasar. Tujuannya ialah menunjukkan bahwa ide-ide dan nilai-nilai itu bersifat filosofis dan religius.

Sourcebook in Asian Philosophy, oleh John M. dan Patricia Koller (New York: Macmillan, 1991) menyajikan sumber-sumber asli dalam terjemahan Inggris sebagai pelengkap buku Asian Philosophies. Buku ini terdiri dari 500 halaman lebih yang memuat bahan-bahan sumber yang diseleksi dari teks-teks dasar tradisi India, Cina dan Buddhisme.

(13)

Tradition and Reflection: Explorations in Indian Thought, oleh Wilhelm Halbfass (Albany: State University of New York Press, 1991), adalah satu kumpulan esei yang meneliti isu-isu kunci dalam pemikiran India. Isu-isu itu mencakup hubungan antara akal budi dan wahyu, dasar-dasar organisasi sosial, karma dan kelahiran kembali, dharma, hakikat pengetahuan dan hal yang membenarkan perbuatan manusia.

The Indian Mind: Essentials of Indian Philosophy and Culture, disunting oleh Charles A. Moore (Honolulu: University of Hawaii Press, 1967), adalah satu kumpulan esei yang ditulis pemikir-pemikir India terkemuka.

Guide to Indian Philosophy, oleh Karl H. Potter (Boston: G.K. Hall, 1988) memuat daftar pustaka terkini tentang berbagai buku dan artikel mengenai aneka ragama topik dalam filsafat India. Disusun menurut pengarang, lengkap dengan indeks nama dan referensi silang yang bagus, buku ini merupakan satu penuntun yang berguna kepada karya-karya sekunder maupun karya-karya asli.

A Concise Dictionary of Indian Philosophy, edisi revisi, oleh John Grimes (Albany: State University of New York Press, 1996) adalah satu kamus penting yang berisikan penjelasan tentang istilah-istilah filosofis dalam bahasa Sanskerta.

A History of Indian Philosophy, jilid 1-5, oleh Surendranath Dasgupta (Cambridge: Cambridge University Press, 1922-1955), adalah satu karya klasik dalam bidang filsafat India. Karya ini merupakan satu karya ilmu pengetahuan besar yang mencakup sebagian besar filsuf India seturut kedalaman alam pikiran mereka dengan tujuan untuk memberi kepada para pembaca satu pemahaman yang baik tentang kontinuitas dan diskontinuitas utama dalam sejarah pemikiran India.

Indian Philosophy, jilid 1 dan 2, oleh Sarvepalli Radhakrishnan (London: Allen and Unwin, 1923), merupakan karya sejarah filsafat India yang digunakan secara sangat luas. Bagian-bagian tentang Upanishad dan Vedanta pada khususnya baik, namun semua perkembangan utama sepanjang abad ke-11 juga diselisik.

The Encyclopedia of Indian Philosophies, disunting Karl Potter (Princeton, NJ dan Delhi: Princeton University Press and Motilal Banarsidass, 1961-2000), memuat laporan historis terbaik tentang mazhab-mazhab utama. Situ maya (http://faculty.washington.eda/Potter) untuk ensiklopedi Bibliography of Indian Philosophy merupakan kepustakaan yang paling lengkap dan secara teratur dibarui.

(14)

BAB 2

VEDA DAN UPANISHAD

Bab ini meneliti visi tentang self (diri) dan realitas hidup yang termuat dalam tulisan-tulisan yang paling awal di India, yakni Rig Veda dan Upanishad awal, teks-teks yang disusun antara tahun 1500-600 SM. Ide-ide yang diungkapkan dalam Veda dan Upanishad bersifat mendalam dan rumit, yang merupakan hasil pemikiran reflektif selama berabad-abad tentang aneka ragam misteri kehidupan. Ide-ide itu memberi pemahaman tentang proses hidup yang merupakan wasiat abadi tentang kearifan manusia, seraya menjadikan teks-teks itu mampu mengilhami dan mengasuh kebudayaan India sampai kini. Namun setidak-tidaknya 1.000 tahun sebelum Rig Veda, yaitu teks-teks paling awal dari suku bangsa Veda yang berbahasa Sanskerta, yang disusun barangkali sekitar tahun 1500 SM, suku bangsa Indus sudah mengembangkan satu peradaban kaya dan canggih yang berkembang subur di lembah Indus dari tahun 2500-1500 SM.

KEBUDAYAAN INDUS

Peradaban Indus mungkin bermula segera sesudah tahun 3000 SM di hulu lembah Sungai Indus, yang dewasa ini adalah Pakistan. Tahun 2000 SM peradaban ini menduduki wilayah yang mendekati sepertiga dari wilayah India sekarang, yang membentang ke utara hingga ke pegunungan Himalaya, ke selatan hampir mendekati Bombay, dan yang dari pantai barat hingga timur sampai sejauh Delhi. Studi-studi arkeologis tentang salah satu kotanya yang paling luas, yaitu Mohenjo Daro, menyingkapkan beberapa hal menyangkut kecanggihan peradaban itu. Mohenjo Daro berpenduduk sekitar 50.000 jiwa tahun 2000 SM. Tertata rapi seturut perencanaan pusat, ruas-ruas jalannya yang tersusun dari batu-batu bata dibangun dalam pola segi empat yang berkisi-kisi. Lumbung-lumbung yang sangat luas menyimpan persediaan makanan yang sangat banyak untuk rakyat dan ternak. Aliran air bawah tanah dengan saluran penutupnya dari keramik dan sistem drainasenya memperlihatkan keterampilan teknik yang menakjubkan. Tingkat standarisasi yang dicapai menunjukkan efisiensi kerja departemen perencanaan dan administrasi, sekaligus menyiratkan bahwa bangsa Indus memiliki satu organisasi sosial dan politik sentral yang sangat efisien.

Di antara artefak-artefak yang ditemukan, terdapat hiasan-hiasan permata indah yang menyingkapkan adanya para tukang terampil, dan berbagai macam boneka yang indah dan alat-alat permainan (termasuk catur) memperlihatkan satu kebudayaan yang menghargai permainan dan suka menyenangkan anak-anak. Satu sistem timbang dan ukuran yang teliti dengan menggunakan sistem binair dan desimal yang efisien seturut perhitungan matematis mencerminkan prestasi ilmu matematika maupun penekanannya pada perniagaan. Perdagangannya rupanya tersebar luas, seperti ditemukannya banyak meterai Indus yang biasanya menandakan kepemilikan hingga sejauh wilayah Mesopotamia.

(15)

hal ini tetap tinggal satu anggapan belaka, karena tidak tersedianya laporan-laporan tertulis yang menjadi bukti pencapaian literer, religius atau filosofis. Bukti-bukti materiil, yang ditemukan di ratusan situs yang sudah dikenali sejak Sir John Marshall pertama kali menemukan peradaban Indus 80 tahun silam, menunjukkan bahwa agama memainkan suatu peran utama dalam kebudayaan ini. Malah kota-kota kecil dan desa-desa memiliki bangunan-bangunan yang luas untuk upacara-upacara keagamaan, dan sejumlah topeng yang ditemukan menyiratkan peran para imam. Fasilitas-fasilitas pemandian yang serba lengkap menunjukkan adanya kepedulian tentang kemurnian religius. Sosok-sosok dalam postur yoga pada berbagai meterai menunjukkan bahwa yoga bisa jadi sudah berakar dalam peradaban awal ini, dan sosok-sosok itu mendukung hipotesis bahwa kebudayaan India yang lebih kemudian justru menampilkan perkawinan antara kebudayaan Indus dan kebudayaan Veda.

Dari tahun 1500 SM dan seterusnya, pengaruh suku bangsa Veda yang berbahasa Sanskerta menyebar luas dari lembah sungai Indus ke timur dan selatan, dan peradaban Indus akhirnya menghilang dengan tidak meninggalkan satu teks pun untuk menyingkapkan pemikirannya. Pada abad ke-4 SM, bersamaan dengan ditegakkannya Kemaharajaan Maurya, hampir seluruh anak benua itu berada di bawah kendali politik kaum Veda. Bahasa Sanskerta, yang digunakan dalam kitab-kitab Veda sebagai ungkapan tertua yang masih bertahan, menjadi wahana utama pemikiran India. Meskipun tradisi Sanskerta mencerminkan unsur pinjaman dan akomodasi dari sumber-sumber non-Veda, namun tradisi Sanskerta ini lebih banyak menyembunyikan sumbangan-sumbangan non-Veda itu daripada menyingkapkannya. Jadi, betapapun agungnya peradaban Indus kuno, kepada Veda kita mesti mengarahkan perhatian guna memahami pemikiran India yang paling awal.

PEMIKIRAN VEDA

Kitab Veda adalah ayat-ayat kebijaksanaan yang membentuk inti dari liturgi suci India. Tradisi memandang kebijaksanaan Veda sebagai yang nir-waktu dan nir-pengarang. Kebijaksanaan ini diwahyukan kepada tokoh-tokoh besar yang pengalaman mereka mencapai inti terdalam eksistensi hidup. Ia nir-waktu karena sudah diwahyukan kepada manusia pertama seperti juga diwahyukan dewasa ini kepada semua orang yang pengalaman mereka mampu menukik kedalaman hidup. Ia dipandang nir-pengarang karena ia tidak diwahyukan oleh pribadi-pribadi tertentu tetapi oleh realitas itu sendiri.

(16)

upacara-upacara itu. Kitab Veda sendiri menceritakan kepada kita bahwa ketika ayat-ayat itu didaraskan, dimadahkan dan dinyanyikan, mereka justru memampukan semua ciptaan untuk ambil bagian dalam kebijaksanaan dan energi realitas ilahi.

Dewa-Dewi Dalam Veda

Kebanyakan ayat Veda ditujukan kepada para dewa-dewi dan memiliki fungsi sentral dalam liturgi. Namun hal ini tidak berarti bahwa ayat-ayat itu semata-semata adalah himne untuk kebaktian atau mantera dalam upacara. Beberapa darinya menukik lebih mendalam dengan menghadirkan visi yang mendasar dan tajam tentang realitas. Bahkan para dewa-dewi yang kepadanya ayat-ayat itu ditujukan bukan cuma makhluk rekaan manusia, melainkan lambang kekuatan fundamental dari eksistensi. Ucapan kata-kata, kesadaran, hidup, air, angin, dan api – semuanya itu termasuk di antara kekuatan-kekuatan baik dan dilambangkan sebagai dewa-dewi dalam Veda. Mereka mewakili kekuatan-kekuatan yang menciptakan dan merusakkan hidup, yang mengendalikan pasang-surut serta arus eksistensi.

Agni. Agni misalnya, salah satu dewa utama Veda, adalah dewa api. Kata agni berarti “api”, dan Agni merupakan lambang kekuatan api yang dahsyat. Di luar kontrol, nyala api yang sedang membara justru menghanguskan rumah dan hutan sambil menewaskan manusia dan binatang. Namun dalam kontrol, api di dapur dapat mengubah daging mentah dan sayur-sayuran menjadi makanan yang memberi energi untuk hidup. Oleh karena kekuatan api yang bersifat transformatif itu, entah destruktif atau kreatif, Agni sang dewa api merupakan salah satu dewa yang paling penting dalam Rig Veda. Bangsa Veda berhubungan dengan Agni melalui persembahan ritual kepada api korban, dan olehnya mereka memperoleh kekuatan kreatifnya dan mencegah kekuatan destruktifnya. Maka, persembahan-persembahan kepada Agni dalam upacara-upacara yang menguasai kehidupan religius Veda pada hakikatnya merupakan usaha untuk mengontrol transformasi eksistensi yang mempengaruhi hidup manusia. Itulah sebabnya mengapa hampir sepertiga dari 1.008 himne ditujukan kepada Agni.

Indra. Indra, barangkali dewa utama pada zaman yang lebih awal, adalah dewa yang sangat menyerupai manusia di antara dewa-dewi Veda. Sebagai dewa petir, Indra menaklukkan musuh-musuhnya dan melindungi rakyatnya. Ia mengalahkan kekuatan kosmis berupa kebalauan dan kegelapan sambil membuka jalan bagi terciptanya bentuk-bentuk kreatif eksistensi. Namun di atas semuanya itu, Indra yang disebut lebih sering daripada dewa-dewi lain dalam Rig Veda melambangkan keberanian dan kekuatan yang dibutuhkan rakyat untuk melawan musuh-musuh mereka dan untuk melindungi keluarga dan komunitas mereka.

Vac. Vac yang namanya berarti “perkataan” adalah dewi komunikasi. Ia tidak hanya menghadirkan kata-kata, tetapi juga kesadaran utama yang memungkinkan terucapnya kata-kata. Ucapan kata-kata memberi sarana untuk mengendalikan benda-benda dengan cara memberi nama kepada mereka. Pengetahuan, satu sarana paling ampuh yang dimiliki manusia untuk mengendalikan eksistensi, pada dasarnya adalah Vac, yaitu kesadaran yang bekerja melalui ucapan kata-kata.

(17)

eksistensi, mereka biasanya tidak dipikirkan sebagai pencipta eksistensi. Malah ide tentang seorang pencipta yang terpisah dari alam semesta itu sendiri adalah sesuatu yang asing untuk Rig Veda. Inteligensi dan bahan-bahan materiil dari alam semesta dipandang termaktub dalam eksistensi itu sendiri dan tidak terpisah satu sama lain.

Rita

Karena eksistensi dilihat sebagai sesuatu yang secara inheren bersifat inteligen, maka alam semesta dipandang sebagai satu keseluruhan yang teratur baik. Tata tertib aturan yang hadir dalam keteraturan siklus peredaran musim dan bulan dan dalam jenjang-jenjang pertumbuhan dari janin ke anak sampai orang dewasa, berasal dari inti terdalam eksistensi itu sendiri. Tata tertib aturan itu, yakni rita, hadir pada awal mula segala sesuatu, menjadi landasan untuk segala norma dan aturan hidup. Dialah sumber hukum kodrat dan prinsip masyarakat, moralitas dan keadilan. Rita mengatur berfungsinya segala sesuatu sambil memberi struktur dan ritme bagi eksistensi. Alam, dewa-dewi dan pribadi-pribadi, semuanya tunduk pada tuntutan-tuntutan rita. Apa yang sejalan dengan rita berkembang, dan apa yang tidak sejalan dengannya akan binasa. Varuna, yang kadang-kadang disebut raja para dewa, adalah penjaga ilahi dari rita. Varuna menjamin bekerjanya tata tertib kosmis itu dalam semua dimensi dan fasenya, seraya menghukum semua yang melanggar tata-tertib suci alam semesta. Demikianlah, sebuah nyanyian pujian kepada Varuna berisikan permohonan berikut: “Oh Varuna, jika kami melanggar tata tertibmu melalui kesembronoan kami, janganlah menghukum kami, ya Dewata, oleh karena pelanggaran itu” (Rig Veda 7.89.5).

Asal Usul Eksistensi

Dalam himne kepada Pribadi Kosmis, si bijak merefleksikan munculnya tata tertib suci alam semesta; tata tertib itu berasal dari tata tertib yang inheren dalam pribadi kosmis. Orang beranggapan bahwa eksistensi alam semesta muncul dari transformasi eksistensi yang lebih dahulu, dan dalam hal ini eksistensi yang lebih dahulu itu adalah pribadi kosmis. Namun dari mana asal eksistensi yang lebih dahulu itu? Eksistensi macam apa yang mendahuluinya? Dari apa berasalnya esksistensi yang paling awal? Ketika para bijak merefleksikan pertanyaan-pertanyaan itu, mereka menemukan salah satu pemahaman yang paling penting Rig Veda: di balik eksistensi dan non-eksistensi ada satu keseluruhan, yaitu satu realitas yang tak terbagi, realitas yang lebih fundamental daripada realitas ada dan realitas tidak-ada.

Kita dapat melihat bagaimana para bijak Veda tiba pada pemahaman ini dan apa artinya untuk mereka ketika berpaling kepada Himne termasyhur tentang Asal Usul (Rig Veda 10.129), yang barangkali merupakan satu seri refleksi yang paling mendasar dalam seluruh Rig Veda. Ayat pertama mengungkapkan maksud untuk menelusuri apa yang berada lebih dahulu dari eksistensi:

1. Pada awal mula tidak ada eksistensi, juga tidak ada non-eksistensi; Tidak ada dunia, juga tidak ada langit di balik itu.

(18)

Apa sudah ada air, dalam dan tak terselami?

Di sini si bijak menjelaskan bahwa jika kita sedang mencari awal mula yang absolut dari segala sesuatu, sebelum ada sesuatu apa pun, maka kita dapat menemukan sumber itu bukan dalam eksistensi dan bukan juga dalam non-eksistensi. Jika sumber itu adalah sesuatu yang sudah ada, maka ia bukan sumber pertama, yaitu awal mula yang absolut. Karena itu, kita tidak dapat mengatakan bahwa eksistensi adalah sumber eksistensi.

Namun jika kita mengatakan bahwa eksistensi ini berasal dari non-eksistensi, maka kita bertentangan dengan pengalaman. Pengalaman menyingkapkan hanya hal-hal baru yang berasal dari eksistensi yang sudah ada lebih dahulu melalui satu proses transformasi, tidak pernah menyingkapkan sesuatu yang tercipta dari ketiadaan. Namun jika bukan eksistensi dan bukan juga non-eksistensi dapat menjadi sumber awal dari segala sesuatu, maka apa yang merupakan alternatifnya? Eksistensi dan non-eksistensi melibatkan semua kemungkinan dan merupakan kategori yang paling fundamental dari pemikiran.

Ketika tiba pada jalan buntu ini, si bijak lalu bertanya: “Bagaimana kita dapat menjelaskan dari mana asal segala sesuatu? Kita mengetahui bahwa benda-benda bergerak, dan bahwa gerakan atau perubahan itu merupakan kodrat eksistensi sesungguhnya. Maka harus ada sumber awal dari gerak ini, yaitu sesuatu yang menggerakkannya pada awal. Dan sama seperti setiap hal yang ada berada di salah satu tempat, demikian pula sumber awal yang menyebabkan segala hal bergerak mesti sudah terjadi di salah satu tempat. Lebih dari itu, sama seperti semua kegiatan yang membawa hasil dilindungi – oleh seorang bapa, seorang raja atau oleh seorang dewa – demikian pula kegiatan awal itu yang menggerakkan segala sesuatu mesti juga memiliki seorang pelindung.

Pada bait terakhir si bijak merujuk pada perlukisan kuno tentang alam semesta yang keluar dari dalam air yang tak terduga dalamnya. Tentu saja seturut pemikirannya, karena air yang dalam itu sudah ada, maka air itu tidak bisa merupakan sumber tanpa awal dari alam semesta. Si bijak barangkali berpendirian bahwa pikiran tidak dapat melampaui eksistensi dan non-eksistensi. Bila kita berpikir tentang sumber segala sesuatu, maka kita harus berpikir tentang eksistensi yang lebih dahulu, meskipun hal ini berarti bahwa eksistensi itu tidak dapat merupakan satu sumber yang absolut.

Ayat kedua menyatakan bahwa mendahului eksistensi dan non-eksistensi, sebelum ada malam atau siang, sebelum ada kematian atau kehidupan kekal, terdapat satu kesatuan primordial.

2. Selanjutnya tidak ada kematian dan juga tidak ada kehidupan kekal, Tidak ada tanda malam atau siang.

YANG ESA bernapas, tanpa napas, dari denyutnya sendiri; Lain dari itu, tak ada sesuatu pun.

(19)

non-eksistensi dengan mengaitkannya dengan non-eksistensi (dengan cara menegasikan non-eksistensi), dan kita memberi arti pada eksistensi dengan mempertentangkannya dengan non-eksistensi. Eksistensi dan non-eksistensi adalah seumpama dua paruh, yaitu paruh negatif dan paruh positif, dari satu keseluruhan yang dibagi dalam dua bagian. Jika tidak ada satu keseluruhan yang ada lebih dahulu untuk dibagi, maka dari mana asal dua paruh itu? Hal itu sama seperti membelah sebuah apel ke dalam dua bagian yang sama, belahan yang satu di kanan dan belahan yang lain di kiri. Kanan dan kiri merupakan pasangan yang berhubungan satu sama lain; arti keduanya saling bergantung. Kanan dan kiri memang berbeda, namun tanpa yang satu tidak mungkin ada yang lain. Paruh kiri dan paruh kanan tidak dapat ada jika tidak ada satu keseluruhan yang ada lebih dahulu yang dapat dibagi. Dengan cara yang sama, si bijak mungkin berpikir tentang eksistensi dan non-eksistensi sebagai hasil pembagian dari satu keseluruhan yang ada lebih dahulu. Namun bahasa tidak dapat menerobos ke balik eksistensi dan non-eksistensi; “ada” dan “tidak ada” merupakan unit dasar bahasa. Konsekuensinya, meskipun si bijak boleh berintuisi tentang satu keseluruhan primordial di balik eksistensi dan non-eksistensi, namun keseluruhan ini tidak dapat dijadikan rujukan atau tidak dapat dilukiskan secara langsung.

Sembari mengakui hal itu, si bijak lalu berpaling kepada bahasa paradoks untuk mendekati misteri besar tentang kesatuan asli yang merupakan sumber primordial dari setiap hal. Setiap orang yang berusaha untuk berbicara tentang sumber primordial itu mereduksikannya ke dalam lingkungan terbatas dari sesuatu yang ada dan sesuatu yang tidak ada. Namun dalam bahasa paradoks setiap pernyataan menegasikan dirinya sendiri sambil merujuk pada sesuatu di baliknya. Dalam bahasa paradoks si bijak menceritakan kepada kita bahwa sebagai sumber hidup sumber primordial ini bernapas, tetapi tidak bernapas (setidak-tidaknya bukan dengan napas dari hal-hal biasa yang ada); ia tidak bergerak, namun ia digerakkan (meskipun bukan karena sesuatu di luar dirinya). Ia adalah penggerak asli yang tidak digerakkan, yang ada lebih dahulu dari ciptaan.

Ayat 3 menekankan bahwa pada awal mula tak sesuatu pun dapat dilihat atau dibedakan; malah sumber yang menjadi awal segalanya tersembunyi – seperti kegelapan disembunyikan oleh kegelapan. Namun bait ketiga dan keempat menceritakan kepada kita bagaimana kegelapan itu disibakkan sehingga keseluruhan asli yang tak terbagi itu menampakkan dirinya sebagai ciptaan. Melalui tapas, yaitu energi upacara yang ampuh dan yang berkekuatan untuk mengubah, sumber yang tak tertampakkan itu ditampakkan sebagai alam semesta ini.

3. Kemudian ada kegelapan, yang tersembunyi dalam kegelapan, Semuanya in merupakan energi yang tak terbedakan,

YANG ESA, yang disembunyikan oleh kekosongan, Melalui kekuatan energi panas ditampakkan.

Dua ayat terakhir menyatakan bahwa sumber primordial dunia barangkali tidak dapat diketahui. Bagaimana mungkin pengetahuan dapat mencapai sesuatu di balik eksistensi dan non-eksistensi? Barangkali ia mesti tinggal selama-lamanya sebagai satu misteri.

7. Siapa sungguh tahu? Siapa dapat berkata-kata di sini? Kapan ia lahir dan dari mana asalnya – ciptaan ini?

(20)

Karena itu siapa yang tahu dari mana asal usulnya? 7. Dari sanalah ciptaan itu muncul,

Entah ciptaan itu bersatu dengannya atau tidak, Ia yang melihatnya di langit tertinggi,

Hanya Dialah yang tahu – atau barangkali Ia pun tidak tahu!

UPANISHAD

Upanishad lebih bersifat filosofis daripada kitab-kitab Veda. Upanishad tidak hanya mencoba menjelaskan prinsip-prinsip dasar eksistensi, tetapi juga mengakui perlunya memberi alasan-alasan bagi klaim-klaimnya. Namun Upanishad juga tidak menghadirkan satu analisis formal tentang kriteria kebenaran dan relasi antara kebenaran dan bukti. Untuk sebagian besar, pengalaman pribadi atas apa yang diklaim dianggap sebagai bukti yang memadai untuk kebenaran klaimnya. Dan selama ada pengakuan umum bahwa pandangan-pandangan yang swakontradiktif tidak mungkin benar, maka terlalu jauhlah untuk mengatakan bahwa akal budi menentukan kebenaran dan kepalsuan pandangan, karena prinsip-prinsip logika dan akal budi belum berfungsi secara formal.

Alhasil, Upanishad cenderung lebih menekankan isi visi dari si resi alih-alih sarana yang dapat membenarkan visi itu. Klaim-klaim dalam Upanishad dipandang sebagai laporan tentang pengalaman-pengalaman para resi, dan bukan teori-teori filosofis yang mesti diabsahkan. Pengalaman para resi itulah yang memberi bukti untuk kebenaran klaim-klaim yang telah dibuat. Dua pertanyaan kunci Upanishad adalah: Apa kodrat yang benar dari realitas tertinggi dan siapa aku pada lapisan yang paling dalam dari eksistensiku? Pertanyaan-pertanyaan itu memuat anggapan bahwa ada perbedaan antara manifestasi yang agak dangkal dan hakikat yang lebih fundamental dan antara apa yang tampak sebagai yang riil dan apa yang sungguh-sungguh riil; hal yang tampak dimengerti sebagai yang bergantung pada realitas yang lebih dalam.

Pencarian Terhadap Brahman

Dalam mencari realitas tertinggi, para resi itu tidak mempunyai konsep yang jelas tentang apa yang mereka cari; mereka cuma mengetahui bahwa mesti ada sesuatu yang darinya segala sesuatu yang lain dapat ada dan yang telah membuat segala sesuatu yang lain itu menjadi agung. Nama yang diberi kepada “sesuatu” ini adalah Brahman yang berarti “yang membuat menjadi agung”. Nama itu tidak deskriptif, karena ia tidak menamai sesuatu sebagai yang defenitif, entah abstrak atau konkret.

(21)

Brahman. Namun jika Brahman itu adalah yang tertinggi, maka tidak mungkin baginya untuk dibatasi, karena tak mungkin ada sesuatu yang melampauinya yang bisa membatasinya. Ketika para resi mulai menyadari dengan semakin jelas bahwa Brahman tidak dapat dilukiskan secara memadai dengan bersandar pada pengalaman mereka tentang dunia yang tampak, maka mereka berusaha untuk mendefisikan realitas ini dengan jalan negatif.

Jalan Negasi. Menurut Yajnavalkya dalam Brihadaranyaka Upanishad, Brahman itu tak terselami, tidak dapat diubah, tidak dapat dilukai, tidak dapat digenggam. Menurut Katha Upanishad, Brahman itu tidak dapat didengar, tidak dapat dilihat, tidak dapat dihancurkan, tidak dapat dirasa, tidak dapat dicium, tanpa awal dan tanpa akhir, dan “lebih agung dari yang agung”. Brahman dilukiskan secara negatif dalam Mundaka Upanishad sebagai berikut:

Tidak dapat dilihat, tidak dapat dimengerti, tanpa asal usul, tak berwarna, tanpa mata atau telinga, tanpa tangan atau kaki, tak berkesudahan, merangkum segala sesuatu dan ada di mana-mana, itulah ia yang tidak dapat berubah, yang dipandang si bijak sebagai sumber dari segala sesuatu yang ada (I.1.6).

Jika Brahman itulah yang memungkinkan waktu, ruang dan kausalitas, maka mustahil untuk memandangnya sebagai sesuatu yang dibatasi waktu, ruang dan kausalitas. Berada lebih dahulu daripada ruang, waktu dan kausalitas berarti berada melampaui corak-corak alam semesta yang empiris, dan karenanya berada melampaui perlukisan empiris. Karena Brahman melampaui pemikiran, maka ia tidak dapat ditangkap oleh pemikiran. Alhasil, hakikat Brahman tetap tinggal tak terperikan dan rahasia.

Pencarian Terhadap Self Tertinggi (Atman)

Sambil mencari Self (Diri) tertinggi, para resi bertanya: Siapa aku ini seturut eksistensiku yang paling dalam? Pertanyaan ini mengandaikan bahwa self itu adalah sesuatu yang lebih dari yang dilihat langsung oleh mata, karena organisme jasmani secara khusus tidak tak terperikan atau rahasia. Namun pertanyaan tentang apa itu self sebagai sesuatu yang berpikir adalah satu perkara lain. Bagaimana “aku” yang berpikir tentang self sebagai satu organisme jasmani dapat juga merupakan satu organisme jasmani? Dan bukankah “aku” yang merenungkan eksistensi jasmani lebih tepat tepat merupakan self alih-alih tubuh jasmani?

Tentu saja para pemikir Upanishad membedakan antara self yang tampak dan Self yang sebenarnya. Pencarian mereka akan hakikat yang paling dalam dari eksistensi manusia dituntun oleh injungsi berikut:

(22)

Pertanyaannya ialah: Apakah Self yang mengagumkan lagi serba rahasia itu, Self yang ada di balik penampakan lahiriah belaka? Untuk mencoba menjawab pertanyaan ini, para resi dari Taittiriya Upanishad memalingkan perhatian mereka pada berbagai macam aspek dan fungsi pribadi individual tatkala mereka mencari Self tertinggi. Jika Self itu dipikirkan sebagai tubuh, maka pada dasarnya ia adalah makanan, hemat mereka, karena tubuh itu sekadar makanan yang dicerna. Namun Self tentunya tidak boleh diserupakan dengan tubuh belaka karena Self lebih dari tubuh; Self itu hidup dan bergerak. Jika Self bukan semata-mata makanan, demikian para resi, maka barangkali Self itu adalah makanan yang hidup. Akan tetapi, mereka melihat bahwa biarpun hal ini membantu mereka untuk membedakan benda hidup dari benda mati, namun hal itu tidak merujuk pada Self tertinggi dari seorang, karena seorang lebih daripada sekadar makanan yang hidup. Pribadi itu bisa melihat, mendengar, merasa, dan sebagainya. Barangkali, demikian alasan mereka lebih lanjut, Self itu harus dipikirkan dalam bingkai kemampuan mental untuk mencerap. Namun hal ini pun tampaknya tidak memadai, karena ihwal berpikir dan mengerti malah sepantasnya lebih merupakan Self daripada persepsi. Bahkan self yang berpikir dan mengerti juga ditolak sebagai Self tertinggi, sebab mesti ada sesuatu di balik yang memberi eksistensi untuk berpikir dan mengerti. Seperti ditandaskan Taittiriya Upanishad, “Berbeda dari dan dalam sesuatu yang merupakan pengertian, itulah Self yang adalah kebahagiaan” (II.5.1). Pencarian terhadap Self tertinggi pada dasarnya merupakan perkara menukik lebih dan semakin dalam hingga ke lubuk dasar eksistensi manusia. Materi dianggap sebagai sesuatu yang menyelimuti kehidupan, yang pada gilirannya menyelimuti self indrawi. Dan lebih dalam dari self indrawi adalah kegiatan intelektual. Namun masih lebih dalam dari kegiatan intelektual adalah kebahagiaan dari kesadaran paripurna. Alhasil, Self tidak boleh disamakan secara ekslusif dengan salah satu bentuk yang lebih rendah dari pribadi, tetapi harus dipikirkan sebagai sesuatu yang berada dalam lapisan-lapisan yang bermacam-macam dari eksistensi. Self itulah yang memberi mereka hidup namun tetap terpisah dari mereka.

[Gambar: lapisan-lapisan Self]

Dalam Kena Upanishad, pencarian terhadap Self tertinggi berbentuk sebuah pencarian terhadap agen tertinggi atau pelaku tindakn manusia. Si bijak bertanya: “Atas kehendak dan arahan siapa, pikiran memancarkan cahaya terhadap objek-objeknya? Atas perintah siapa, hidup yang pertama bergerak? Atas kehendak siapa, orang mengucapkan perkataan ini? Dan dewa manakah yang mendorong mata dan telinga?” (I.1)

(23)

Pemilahan Antara Subjek dan Objek

Apakah agen batiniah itu yang mengarahkan semua kegiatan manusia? Si bijak mengatakan bahwa Self tertinggi ini tidak dapat diketahui oleh pengetahuan biasa: “Di sana mata tidak melihat, perkataan tidak terucap, juga pikiran tidak bekerja; kita tidak mengetahui, kita tidak mengerti bagaimana seorang dapat mengajarkan hal ini” (I.3). Alasan mengapa subjek tertinggi ini melampaui mata, melampaui telinga, melampaui pengertian ialah bahwa apa pun yang dilihat, didengar dan dimengerti selalu merupakan satu objek yang diketahui oleh subjek manusia, dan bukan subjek itu sendiri.

Seandainya kita harus mengatakan bahwa Self tertinggi itu diketahui, maka kita mesti bertanya: Siapa yang mengetahuinya? Karena Self yang sedang dicari adalah subjek tertinggi yang mengetahui, maka “Siapa” yang diketahui tidak dapat merupakan subjek tertinggi, karena ia sudah menjadi sebuah benda belaka, yaitu satu objek pengetahuan. Karena setiap self yang diketahui lebih merupakan objek daripada subjek yang mengetahui, maka niscaya bahwa Self yang merupakan subjek tertinggi tidak dapat diketahui sebagai objek.

Namun karena Self yang mengetahui adalah subjek tertinggi, maka Self itu dapat disadari secara langsung dalam kesadaran diri yang total, di mana ia disinari oleh cahaya dirinya sendiri. Jadi, meskipun dalam satu arti, yakni dalam arti pengetahuan tentang objek, Self tertinggi itu tidak dapat diketahui, namun dalam arti lain, yakni dalam arti pengalaman langsung, Self itu dapat diketahui secara intim dan lengkap dalam pengalaman kesadaran diri. Dalam kesadaran diri, Self itu diketahui secara jauh lebih pasti dan lebih lengkap daripada objek pengetahuan mana pun. Di sini seorang menemukan kepastian eksistensinya yang melampaui pertanyaan atau kebimbangan, sebab setiap upaya untuk mempertanyakan eksistensinya justru menyingkapkan eksistensi si penanya.

Prajapati Mengajar Indra

(24)

yang sesungguhnya itu. Dan kali ini ia diberi tahu bahwa self-di-balik-mimpi adalah Self yang sesungguhnya. Mula-mula jawaban ini memuaskan Indra, namun sebelum ia mencapai kediaman para dewa, ia menyadari bahwa meskipun self-yang-tidur-nyenyak tidak menderita sakit dan kehancuran, tetapi self semacam itu bukan Self yang sesungguhnya, karena dalam tidur yang nyenyak self yang demikian tidak sadar akan dirinya sendiri.

Sampai di sini Indra telah menghabiskan waktu 101 tahun untuk menertibkan dan menyiapkan dirinya demi pengetahuan tertinggi itu dan kini ia siap mendengarkan ajaran tertinggi itu. Sekarang Prajapati menceritakan kepadanya bahwa Self yang sedang dicari itu melampui semua self lain yang sudah dikaji hingga sejauh ini. Memang benar bahwa ada self fisik yang dipikirkan sementara orang sebagai self satu-satunya. Dan ada self yang adalah subjek yang mengalami mimpi, satu self yang diakui oleh sebagian orang lainnya. Dan ada self yang mengalami tidur nyenyak, sebab jika tidak demikian maka tidur nyenyak tentu sama saja dengan kematian. Namun Self tertinggi melampaui semuanya ini; itulah Self yang memungkinkan self yang berjaga, self yang bermimpi dan self tidur nyenyak. Semua self lain itu semata-mata merupakan alat dari Self tertinggi yang adalah sumber satu-satunya eksistensi mereka.

Keadaan di mana orang menyadari Self tertinggi yang memberi eksistensi pada self dari pribadi yang berjaga, self dari pribadi yang bermimpi dan self dari pribadi yang tidur nyenyak, kadang-kadang disebut turiya, atau keadaan keempat. Tidak seperti keadaan tidur nyenyak, keadaan keempat ini adalah kesadaran diri dan iluminasi total. Dalam Brihadaranyaka Upanishad dikatakan, “Ketika seorang pergi tidur, ia membawa serta bahan materiil dunia yang memuat semua unsur, ia sendiri mencerai-beraikannya, ia sendiri membangunnya dan bermimpi oleh kecerahannya sendiri, oleh cahayanya sendiri. Lalu pribadi ini menjadi diri yang tercerahkan” (IV.3.9).

Meskipun pengetahuan biasa, yang mengandaikan dualitas antara subjek dan objek, antara yang mengetahui dan yang diketahui, tidak mungkin ada dalam keadaan keempat ini, namun tidak ada keraguan apa pun tentang keaslian eksistensinya. Upanishad yang sama berkata lebih lanjut:

Malah biarpun di sana ia tidak tahu namun ia sungguh-sungguh tahu, meskipun ia tidak tahu (apa yang biasanya diketahui); karena tidak ada saat berhenti untuk tahu dari seorang yang tahu oleh karena sifat ketidakbinasaannya (sebagai seorang yang tahu). Namun itu bukan hal kedua yang ia boleh tahu, yang berbeda dan terpisah dari dirinya sendiri (IV.3.30).

Mandukya Upanishad yang mengenali tahap pertama self sebagai keadaan berjaga, tahap kedua sebagai keadaan bermimpi dan tahap ketiga sebagai keadaan tidur nyenyak melukiskan keadaan keempat sebagai keadaan yang melampaui dualitas, yakni hakikat pengetahuan tentang Self seorang yang adalah Brahman.

(25)

Atman Adalah Brahman

Penemuan Atman juga penting dalam arti lain. Para resi Upanishad yang mencari realitas eksternal tertinggi (Brahman) dan sekaligus realitas tertinggi Self (Atman) akhirnya meneliti relasi atau hubungan antara kedua realitas itu. Penemuan mereka yang menggairahkan hati ialah bahwa Atman itu tidak lain kecuali Brahman itu sendiri. Hanya ada satu realitas tertinggi, meskipun realitas itu tampak dua karena ia dapat didekati entah melalui pencarian terhadap dasar dari segala sesuatu atau melalui pencarian terhadap dasar dari self. Jadi, meskipun pencarian terhadap dasar dari realitas eksternal, yaitu Brahman, tampaknya berakhir sia-sia belaka karena Brahman melampaui semua deskripsi yang mungkin, namun para bijak kini menyadari bahwa Brahman dapat diketahui melalui pengalaman pengakuan diri, yakni pengalaman kesadaran diri yang lengkap, karena Brahman identik dengan subjek tertinggi, yaitu Atman. Tatkala berupaya untuk memahami kodrat tertinggi dunia dan self, ditemukan bahwa bahwa Self yang sama ada dalam segala sesuatu. Setiap pribadi berbagi keberadaannya yang terdalam (Atman) dengan semua keberadaan yang lain. Seorang hanya perlu mengetahui Self ini untuk mengetahui segalanya. Dan Self ini dapat diketahui secara sangat pasti karena ia adalah self yang menyingkapkan diri dalam kesadaran ketika objek-objek kesadaran yang merintangi pencerahan diri dilampaui.

Identitas Atman dan Brahman merupakan penemuan terbesar yang dibuat dalam Upanishad. Identitas ini adalah misteri dan ajaran suci (upanishat) yang dijaga dengan sangat saksama oleh para resi Upanishad, dan menjadi ajaran dasar kitab-kitab Upanishad.

Tat Tvam Asi

Ajaran dasar Upanishad ialah bahwa dengan mengetahui Self terdalam, yaitu Atman, segala sesuatu diketahui. Ajaran ini termaktub dalam pasal terkenal dari Chandogya Upanishad, di mana Uddalaka mengajar putranya, Shvetaketu, bahwa dalam keberadaannya yang paling dalam ia sesungguhnya adalah Atman yang baka dan tidak berubah.

Shvetaketu sudah menjadi seorang murid pada usia 12 tahun, dan selama 12 tahun ia mempelajari Veda. Pada usia 24 tahun karena menganggap dirinya terpelajar, ia lalu menjadi congkak dan sombong. Maka ayahnya berkata kepadanya, “Shvetaketu, karena engkau begitu sombong, menganggap dirimu terpelajar dan pongah, apakah engkau pernah meminta diajarkan tentang sesuatu yang olehnya yang tidak dapat didengar menjadi terdengar, yang tidak dapat ditangkap menjadi dipahami, yang tidak dapat diketahui menjadi diketahui?” Ketika Shvetaketu bertanya bagaimana mungkin ajaran seperti itu bisa ada, ayahnya menjawab, “putraku terkasih, sama seperti oleh segumpal tanah liat semua yang dibuat dari tanah liat menjadi diketahui, demikian pula modifikasi hanya sebuah nama yang keluar dari pembicaraan, sementara kebenarannya ialah bahwa tanah liat adalah tanah liat.” Maksudnya ialah bahwa keanekaragaman dan pluralitas objek dalam dunia ini hanya samaran atau topeng untuk satu realitas terpadu yang mendasari objek-objek itu. Dan realitas yang mendasari itu adalah realitas Self.

Ajaran itu lalu berujung pada sebuah ajaran termasyhur:

(26)

“Hakikat yang hampir tak kelihatan” yang dirujuk di sini adalah Brahman, yaitu sumber segala eksistensi. Jadi, ketika Shvetaketu tahu bahwa ia identik dengan self terdalamnya, yaitu Atman, dan bahwa Atman-nya identik dengan Brahman, maka ajaran mistik itu sudah diteruskan kepadanya.

Tentu saja Shvetaketu tidak mengetahui Self itu hanya melalui pengertian konseptual tentang ajaran ini. Pengetahuan konseptual selalu bersangkut paut dengan objek, sedangkan Self yang mesti diketahui adalah subjek murni. Yajnavalkya menandaskan hal ini ketika ia memenuhi permintaan Ushasta Cakrayana untuk menjelaskan “Brahman yang serta-merta hadir dan dicerap langsung, yakni Self dalam segala sesuatu”. Yajnavalkya menjelaskan: “Inilah Self-mu yang ada dalam segala sesuatu”. Ketika pertanyaan dilontarkan lagi, “Apa artinya ada dalam segala sesuatu?” Yajnavalkya menjawab, “Engkau tidak dapat melihat pelihat yang melihat, engkau tidak dapat mendengar pendengar yang mendengar, engkau tidak dapat berpikir pemikir yang berpikir, engkau tidak dapat memahami pemaham yang memahami. Ia adalah Self-mu yang ada dalam segala sesuatu” (Brihadaranyaka Upanishad III.4.2).

Dengan kata lain, Atman adalah subjek tertinggi yang tidak pernah dapat menjadi objek. Alhasil, ia tidak dapat diketahui seperti objek-objek biasa kesadaran diketahui, tetapi harus disadari secara langsung dalam pengalaman pencerahan diri.

Keuntungan menyelidiki realitas tertinggi melalui kodrat kesadaran-Atman sebagai pengalaman serta-merta dan langsung ialah dimapankannya eksistensi Atman secara tak tergugat. Namun pengetahuan semacam ini membawa serta kerugian tertentu. Pengetahuan tentang objek bersifat umum, sementara pengalaman langsung tidak demikian. Pengetahuan tentang objek terbuka bagi siapa saja untuk menguji bukti klaim-klaim pengetahuan tentang objek-objek yang diketahui. Namun pengalaman langsung seorang hanya terjangkau oleh orang bersangkutan. Jadi, sementara bagi seorang yang memiliki pengalaman langsung tak ada sesuatu pun yang lebih meyakinkan daripada pengalaman itu sendiri, namun bagi orang yang tidak memilikinya hanya ada sedikit atau sama sekali tak ada bukti untuk realitas yang diklaim itu.

Dalam hal ini, pengetahuan tentang Atman serupa dengan pengetahuan tentang cinta. Hanya mereka yang mengalami cinta tahu tentang apa itu cinta. Orang lain boleh saja membuat berbagai macam klaim tentang cinta, tetapi mereka jelas tidak memiliki pengalaman yang sepadan. Bagi pribadi yang memiliki pengalaman cinta tak ada sesuatu pun yang lebih meyakinkan daripada eksistensi cinta itu, meskipun seorang lain yang tidak memiliki pengalaman ini bisa saja sangat skeptis tentang adanya cinta itu. Dengan cara yang serupa, mereka yang tidak mempunyai iman atau pengalaman mungkin bersikap skeptis terhadap eksistensi Atman dan kemungkinan perwujudan-Atman. Namun menurut Upanishad, mereka yang sudah mengalami kebahagiaan Atman mengenal sukacita tertinggi.

PERTANYAAN PENUNTUN

1. Apa buktinya bahwa bangsa dari peradaban Indus sudah mencapai satu tingkat yang relatif tinggi dalam budaya dan pemikiran?

(27)

4. Bagaimana ajaran Taittiriya tentang tingkat atau lapisan eksistensi mengantar seorang untuk menemukan Atman?

5. Apa artinya ajaran Uddalaka “Itulah engkau (Tat tvam asi)?”

BACAAN LANJUT

Upanishads, yang diterjemahkan dari teks asli Sanskerta oleh Patrick Olivelle (Oxford: Oxford University Press, 1996), merupakan terjemahan teliti pertama atas semua karya utama Upanishad ke dalam bahasa Inggris modern yang tampil dalam 40 belakangan ini. Karya terjemahan itu memuat esei pengantar yang baik dan kepustakaan yang berguna.

The Roots of Ancient India: The Archeology of Early Indian Civilization, edisi kedua yang direvisi, oleh Walter A. Fairservis Jr. (Chicago: University of Chicago Press, 1975), merupakan satu laporan yang menyeluruh tentang awal mula peradaban India.

The Rigveda: An Anthology, diterjemahkan dan diberi keterangan oleh Wendy Doniger O’Flaherty (New York: Penguin Books, 1981), memuat 108 himne (10 persen dari keseluruhannya) dalam terjemahan modern.

The Vedic Experience: Mantramañjari, oleh Raimundo Panikkar (Los Angeles: University of California Press, 1977), merupakan satu kumpulan ajaran Veda, Brahmanas dan Upanishad. Tak ada antologi lain yang menandingi pemilihan bahan, mutu terjemahan serta komentar-komentar jitu yang ditemukan dalam khazanah pemikiran Veda ini.

The Principal Upanishads, yang disunting dan diterjemahkan Sarvepalli Radhakrishnan (Boston: Unwin Hyman, 1989), memuat teks-teks Sanskerta dan terjemahan yang sangat enak dibaca tentang semua Upanishad awal.

The Beginning of Indian Philosophy, oleh Franklin Edgerton (Cambridge, M.A: Harvard University Press, 1965) adalah ringkasan karya sang pemikir besar tentang pemikiran India awal.

(28)

BAB 3

VISI JAIN

TINJAUAN SINGKAT

Jainisme memiliki satu pengaruh besar terhadap semua pemikiran India. Penjelasan filosofisnya tentang bagaimana karma menempa hidup semua makhluk, penekanannya pada tingkah laku yang baik dan penekanannya pada pengalaman serta akal budi manusia telah membantu membentuk tradisi filosofis India. Tujuan dasar Jainisme adalah untuk membangkitkan kesadaran manusia mengenai keadaan penderitaan mereka dan untuk membantu mereka mencapai pembebasan dari penderitaan ini.

Alih-alih bersandar pada dewa-dewi untuk keselamatan, para penganut Jain berpaling pada teladan dan ajaran sosok-sosok insan yang telah mengalahkan penderitaan. Para pahlawan rohani ini itu disebut Penakluk (Jina). Mereka juga disebut pencipta penyeberangan (Tirthankara) karena mereka memperlihatkan kepada orang lain bagaimana cara menyeberangi arus penderitaan yang disebabkan oleh belenggu. Semangat percaya diri Jain ini, dan penekanannya yang konsekuen tentang perlunya memahami kondisi keterbelengguan dan cara untuk membebaskan diri dari keterbelengguan itu, mengantar para penganut Jain untuk mengembangkan penjelasan filosofis yang canggih tentang eksistensi dan suatu etika yang didasarkan secara rasional.

Menurut Jainisme, sebab pokok penderitaan manusia adalah keterbelengguan jiwa oleh hal ihwal karma. Jalan satu-satunya untuk membebaskan jiwa dari tubuhnya yang dibelenggu karma ialah dengan menghentikan akumulasi karma lebih lanjut dan dengan melenyapkan kekuatan karma yang telah terakumulasi itu. Untuk memenuhi hal ini seorang perlu mengikuti jalan penyucian yang memadukan pengetahuan, tingkah laku moral dan praktik askese.

KONTEKS HISTORIS

Awal mula Jainisme hilang dalam kegelapan zaman kuno, yang barangkali berakar dalam kebudayaan Indus yang ada lebih dari 1.000 tahun sebelum zaman Veda. Mahavira, Tirthankara ke-24 dan yang terkini pada zaman itu, lahir di Kundagram (dekat Patna) tahun 599 SM. Sesudah pencerahannya tahun 557 SM, ia mengajarkan jalan pembebasan melalui praktik tidak melukai makhluk lain, asketisme dan jalan memperoleh pengetahuan yang benar sampai pada pembebasannya yang terakhir tahun 527 SM. Pendahulunya, Parsva, Tirthankara ke-23, hidup pada pertengahan abad ke-9 SM. Namun 22 Tirthankara sebelumnya yang diklaim tradisi belum ditemukan sejauh ini oleh para pakar sejarah.

Referensi

Dokumen terkait

coli dilakukan secara intraperitoneal sebanyak 2 kali dengan jumlah bakteri 10 8 , injeksi yang pertama dilakukan dihari ke 15 masa perlakuan dan injeksi yang kedua dilakukan

Lanjutan Pengembangan Jaringan Distribusi Utama (JDU) dengan memanfaatkan air baku SPAM Petanu 150 lt/dt Pemasangan Pipa JDU 200 mm,

Penelitian ini difokuskan pada formulasi produk jus buah terolah minimal menggunakan buah jambu biji, sirsak, dan mangga, uji organoleptik terhadap beberapa

Sehingga dapat dipastikan kualitas tata kelola logistik yang terukur baik dalam manajemen perencanaan kebutuhan logistik; pengadaan berbagai sarana dan prasarana logistik;

Ini adalah antara ciri-ciri yang wujud dalam sesebuah masyarakat yang mempunyai

Subjek penelitian adalah 34 mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro berusia 17-22 tahun yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok kontrol yang

Pembiayaan Musyarakah adalah pembiayaan dalam bentuk mata uang rupiah pada Bank Aceh Syariah menggunakan prinsip syariah dengan akad musyarakah, yaitu kerja sama dari

Pelaksanaan Tindakan, Pertemuan 1, Melalui kunjungan office conference (percakapan di ruang kepala sekolah) ini setiap guru akan memperoleh pengalaman baru tentang