• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemathla’ul Anwaran Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas KeMathla’ul Anawaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kemathla’ul Anwaran Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas KeMathla’ul Anawaran"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

Kemathla’ul Anwaran

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas KeMathla’ul Anawaran

Disusun oleh:

1.

Muhamad Faisal

2.

Masnur

3.

M. S. Apip

4.

Kodratullah

5.

Nuryadi

6.

Susan

7.

Yuliyana

8.

Saeful Anwar

9.

Fajar Maulana Yusuf

10.

Rizkan Erfandie

11.Sihabudin

12Bakti Sudrajat

UNIVERSITAS MATHLA’UL ANWAR BANTEN

FAKULTAS INFOTMATIKA DAN KOMPUTER

Tahun Ajaran 2011 / 2012

(2)

KATA PENGANTAR

Tidak ada sebuah prestasi yang dapat kita raih melainkan hal itu merupakan nikmat

dari Allah, begitu pula kehadiran makalah Dirozah Islamiyah ini. Untuk itu segala rasa

syukur kita panjatkan kehadapan-Nya, tentu sebagai perwujudan rasan syukur itu kita harus

meningkatkan kualitas karya agar semakin baik.

Makalah ini dibuat agar dapat menambah pengetahuan dan ilmu bagi penyusun dan

mahasiswa lainnya.

Penyusun berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun sendiri dan bagi

mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Kemathla’ul anwaran.

Karena do’a yang tidak disertai usaha adalah buta dan usaha yang tidak disertai do’a

adalah kesombongan, maka belajar kita sebagai wujud kesempatan kepada kita menjadi

generasi yang lebih baik.

Akhirnya penyusun berharap kehadiran makalah ini benar – benar dapat menjadi

teman aktif menuju prestasi bagi para mahasiswa.

Pandeglang, 10 Oktober 2011

Penyusun

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN

BAB I.LATAR BELAKANG BERDIRINYA MATHLA’UL ANWAR

A. Kondisi Umum Masyarakat Banten ... 1

B. Kondisi Pendidikan ... 4

C. Berdirinya Mathla’ul Anwar ... 5

BAB II. MATHLA’UL ANWAR DARI MASA KE MASA Muktamar I ... 6

Muktamar II ... 7

Muktamar III ... 8

Muktamar IV dan V ... 8

Muktamar VI ... 9

Muktamar VII ... 10

Muktamar VIII ... 10

Muktamar IX ... 12

Muktamar X ... 13

Muktamar XI ... 14

Muktamar XII ... 14

Muktamar XIII ... 16

Muktamar XIV ... 16

Muktamar XV ... 18

Muktamar XVI ... 18

Muktamar XVII ... 19

(4)

PENDAHULUAN

Makalah Ke Mathlaul anwaran disusun guna menunjang perkualiahan di UNMA.

Adapun misi dan tujuan utama mata kuliah tersebut adalah untuk memberkan pengetahuan

yang mendasari kemampuan menyajikan makalah Kemathla’ul anwaran ini sehingga kita

dapat mengerti dan paham akan pengertian tentang makalah Ke Mathlaul anwaran.

Pendidikan Kemathla’ul anwaran ini merupakan mata kuliah dasar, makalah ini

terdiri dari sikap Mathla’ul Anwar dalam menghadapi khilfah, pengertian dan warga

mathla’ul anwar yang terdiri dari orang alim, orang awam dan orang belajar.

Penggunaan makalah ini khususnya para mahasiswa UNMA, akan dapat memperoleh

manfaat yang sebesar- besarnya dari makalah ini, apabila kita melakukan hal – hal sebagai

berikut. Pertama kita memahami konsep – konsep dalam mkalah ini secara tepat dengan

cara membaca secara keritis dan memahami makalah tersebut ke dua anda melakukan tugas

(5)

BAB I

LATAR BELAKANG BERDIRINYA MATHLA’UL ANWAR

A. Kondisi Umum Masyarakat Banten

Sejak dihancurkannya kesultanan Banten pada tahun 1813 oleh Gubernur Jenderal

Deandeles, praktis Banten dinyatakan daerah jajahan Belanda. Kekuatan Belanda di Banten

memaksa perubahan, dan sejak itu seluruh daeah di Banten mengalami guncangan. Sebab

ketika penetrasi kolonial secara intensif menyentuh kehidupan sehari-hari rakyat melalui

pajak yang berat, pengerahan tenaga buruh yang berlebihan, dan peraturan yang menindas,

serta tekanan militer yang represif, jelas realitas sosial-politik di Banten dirasakan sebagai

kenyataan yang jauh dari apa yang mereka harapkan.

Kolonialisme sebagai bentuk penguasaan wilyah memiliki system administrasi yang

sistematis dengan mengatur segala kewenangan organisasi sosial-politik di kawasan

kolonial sesuai dengan keperluan negara jajahan. Sistem itu bertentangan dengan apa yang

diharapkan dalam bentuk harmoni sosial.

Lebih dari itu kehadiran kolonialisme Belanda bukan hanya menghancurkan

tata-niaga masyarakat pribumi, system ekonomi dan politik tradisional, tetapi juga

menghancurkan system idiologi negara sebagai pemersatu bangsa, sehingga kesatuan

rakyat di negara jajahan bercerai berai, yang juga mengakibatkan terjadinya koflik dan

peperangan antar golongan dalam kebangkrutan politik tersebut. Demikianlah politik adu

domba yang dilancarkan Belanda menyebabkan terjadinya perselisihan dan sengketa politik

antar elite dan pewaris kesultanan yang tak jarang melahirkan peperangan local.

Perpecahan politik ini melengkapi kemunduran structural sosial masyarakat Banten.

Kekacauan politik yang juga diikuti oleh kemerosotan ekonomi, sekaligus disertai dengan

marginalisasi masyarakat. Sebagian penduduk kembali ke daerah-daerah pelosok pedesaan

dan di sinilah pendidikan agama Islam dikembangkan dengan fasilitas yang seadanya dan

(6)

Ketika tata kehidupan tradisional yang membentuk harmoni sosial masyarakat

mengalami penghancuran, sebagian mereka membentuk pandangan-pandangan baru dan

tumbuhnya mitologi keagamaan yang kian mengental dalam kehidupan masyarakat.

Demikian ini sebagian besar yang mayoritas petani kembali ke alam pikiran masa lalunya,

semacam restorasi tradisi, dengan mencari tulang punggung ketenangan dan ketenteraman

teologis yang pernah dirasakan sebelumnya.

Idiolegi keagamaan semacam itu menimbulkan rasa kebencian yang dalam terhadap

kolonialisme. Sehingga sebagian dari elte agama membentuk fron perlawanan terhadap

penjajahan Belanda tanpa henti. Guru agama/kyai tidak hanya mengambil jarak dengan

pemerintah kolonial, tapi juga menjadikan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan itu

dinyatakan sebagai jalan jihad melawan kolonialisme Belanda. Mereka memilih menjadi

buronan yang selalu diawasi dan dikejar-kejar oleh pemerintah. Karena itu sering terjadi

pemberontakan dan perlawanan walau banyak di antara para tokoh dan pimpinan agama

Islam di Banten yang tertangkap dan kemudian dibuang ke negeri orang.

Juga tak sedikit para kyai/Guru Agama yang ‘uzlah meninggalkan keramaian kota

dan masuk ke pedalaman. Kelompok ini membuka lembaran baru dengan cara bertani

sambil mengajarkan ilmu agama Islam secara mandiri. Dengan demikian bahkan mereka

tetap mempunyai akar yang kuat dan mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat.

Pada zaman ini muncul kembali kepercayaan-kepercayaan tradisional sebagai bentuk

simbolisme harmoni hubungan manusia dengan lingkungan alamnya. Masyarakat petani

yang walaupun sudah memluk agama Islam, jika memulai menuai padi, terlebih dahulu

akan mengadakan upacara “mipit”. Upacara ini adalah membuat sesajian untuk menyuguh

Dewi Sri atau Sri Pohaci yang dipercaya sebagai dewi padi yang berwenang untuk

memberkahi padi. Suatu jangjawokan (mantera dalam bahasa Sunda) yang sudah menjadi

aksioma adalah “mipit” amit ngala menta”. Artinya, mengambil apa pun dari suatu tempat,

berupa apa saja, harus izin terlebih dahulu kepada roh halus yang menguasai tempat

tersebut. Kalau setelah melakukan sesuatu kemudian mendapat musibah, seperti sakit

kepala atau demam, atau tersandung apa saja, kemudian akan dihubung-hubungkan dengan

(7)

membahurekso (bahasa Jawa) atau nu ngageugeuh (bahasa Sunda). Untuk itu kemu-dian

masyarakat akan menanya kepada orang yang dianggap tua dan mengerti tentang yang

gaib, yang biasanya berupa seorang dukun. Sang dukun kemudian akan memberikan

petunjuk tentang apa yang harus dilakukan sebagai langkah penebusanatas kesalahannya.

Pada upacara walimah (pernikahan/khitanan), sang pengantin pria/wanita sebelum

melaksaakan akad nikah atau pada saat si anak dikhitan, mereka harus terlebih dahulu

mengunjungi leluhurnya untuk memohon do’a restunya, agar tidak terjadi sesuatu bencana

aral melintang yang mungkin mengganggu jalannya upacara tersebut.

Setiap orang yang melewati tempat yang dianggap angker harus mengucapkan

mantera minta izin kanu ngageugeuh (yang membahurekso), yaitu roh halus yang

menmpati tempat itu. Misalnya saja dengan kalimat “ampun paralun kanu luhung”, “sang

karuhun anu ngageugeuh, danginang anu nga-wisesa, ulah ganggu gunasita, kami incu

buyut ki………..” (biasanya dengan menyebutkan nama leluhurnya). Misalnya ki buyut

Ance, ki buyut Sawi, ki Jaminun dan sebagainya.

Pengalaman-pengalaman budaya seperti itu merupakan bentuk sumbolisme atas

harapan adanya ketenangan dan ketentraman kehidupan, yang pada saat itu tak pernah

dirasakan karena kuatnya tekanan koloni Belanda. Idiologi tradisionalisme itu juga

merupakan respon atas hancurnya idiologi politik dan agama yang mereka anut, setalah

kedudukan dan struktur sosial terganggu dan hancur.

Dalam pada itu tingkat kejahatan merajalela Perampokan, pembunuhan, perkelahian

terjadi hampir setiap saat. Sedangkan usaha penanggulangan oleh pemerintah Belanda

hanya cukup dengan mendirikan rumah-rumah penjara mulai dari kota besar sampai kota

kecil. Rumah tahanan atau penjara di bangun di kota-kota kewadanaan seperti Menes,

Labuan, Malingping, Balaraja, Mauk dan tempat-tempat lain yang sederajat. Akibatnya,

para bekas narapidana semakin mematangkan diri dalam melakukan aksi kejahatannya,

karena selama di dalam penjara, bukannya semakin baik dan jera, tetapi semakin matang

(8)

Walaupun demikian, sebenarnya, kejahatan-kejahatan itu dilakukan hanya dengan

menggunakan senjata tajam tradisional seperti golok, pisau, dan lain-lain. Hal itu ada

kepercayaan atas benda-benda tajam itu yang dianggapnya mengandung kekuatan gaib.

B. Kondisi Pendidikan

Di bawah kekuasaan Belanda rakyat Banten bukan bertambah baik, malah semakin

melarat dan terbelakang. Kondisi ini hampir dialmai oleh seluruh rakyat di seluruh

nusantara. Guna mengatasi permasalahan tersebut pemerintah Belanda memberlakukan

politik etis. Program politik etis yang dijalankan oleh pemerintah Belanda, di antaranya

membuat irigasi buat mendudung pertanian rakyat dan menyelenggarakan sekolah bagi

bumiputra. Ternyata program tersebut gagal memberikan manfaat bagi penduduk desa. Hal

ini terjadi, karena yang bisa menikmati sekolah itu hanya sebagian kecil rakyat saja

terutama orang-orang yang berada di kota dan siap jadi calon ambtenar (pegawai Belanda).

Sedangkan di kalangan rakyat kebanyakan, tidak terjangkau oleh sistem pendidikan

ini. Disamping jumlah yang sangat sedikit (hanya di kota-kota kewadanaan saja yang

disediakan sekolah), juga syarat untuk dapat belajar sangat berat, dan cen-derung sengaja

dipersulit, dengan alasan bermacam-macam.

Tujuan Belanda menyelenggarakan sekolah, seperti di-katakan di atas, adalah untuk

menyiapkan calon pekerja ambtenar yang jumlahnya tidak perlu banyak. Sebagian besar

rakyat bumi putra hanya dibutuhkan sebagai pekerja kasar yang tidak memerlukan

pengetahuan yang tinggi, yang penting asal bertenaga kuat.

Pendidikan Islam yang masih ada ialah pondok pesantren yang diselenggarakan oleh

para Kyai secara individual dan tradisional. Pendidikan ini penuh dengan segala

keterbatasannya, baik dalam hal sarana, dana, maupun manajemennya. Ditambah pula

dengan kondisi yang tidak aman dari berbagai pengawasan oleh pemerintah Belanda.

Pihak penjajah beranggapan bahwa kharisma keagamaan yang tersimpan dalam jiwa para

Kyai itu masih mengundang semangat anti kafir/ penjajah, yang bila ada peluang pasti

(9)

C. Berdirinya Mathla’ul Anwar

Guna mencari pemecahan masalah tersebut, para kyai mengadakan musyawarah di

bawah pimpinan KH. Entol Mohamad Yasin dan KH. Tb. Mohamad Sholeh serta para

ulama yang ada di sekitar Menes, bertempat di kampung Kananga. Akhirnya, setelah

mendapatkan masukan dari para peserta, musyawarah mengambil keputusan untuk

memanggil pulang seorang pemuda yang sedang belajar di Makkah al Mukarramah. Ia

tengah menimba ilmu Islam di tempat asal kelahiran agama Islam kepada seorang guru

besar yang juga berasal dari Banten, yaitu Syekh Mohammad Nawawi al Bantani.

Ulama besar ini diakui oleh seluruh dunia Islam tentang kebesarannya sebagai

seorang fakih, dengan karya-karya tulisnya dalam berbagai cabang ilmu Islam. Siapakah

pemuda itu ? Dialah KH. Mas Abdurrahman bin Mas Jamal, yang lahir pada tahun

1868, di kampung Janaka, Kecamatan Jiput, Kawedanaan Caringin, Kabupaten

Pandeglang, Karesidenan Banten.

KH. Mas Abdurrahman bin KH. Mas Jamal kembali dari tanah suci sekitar tahun

1910 M. Dengan kehadiran seorang muda yang penuh semangat untuk berjuang

mengadakan pembaharuan semangat Islam, bersama kyai-kyai sepuh, dapatlah diharapkan

untuk membawa umat Islam keluar dari alam gelap gulita ke jalan hidup yang terang

benderang, sesuai ayat al-Qur’an “Yukhriju hum min al dzulumati ila al nur”.

Pada tanggal 10 bulan ramadhan 1334 H, bersamaan dengan tanggal 10 Juli 1916 M,

para Kyai mengadakan suatu musyawarah untuk membuka sebuah perguruan Islam dalam

bentuk madrasah yang akan dimulai kegiatan belajar mengajarnya pada tanggal 10

Syawwal 1334 H/9 Agustus 1916 M. Sebagai Mudir atau direktur adalah KH. Mas

Abdurrahman bin KH. Mas Jamal dan Presiden Bistirnya KH.E. Moh Yasin dari kampung

Kaduhawuk, Menes, serta dibantu oleh sejumlah kyai dan tokoh masyarakat di Menes.

(10)

BAB II

MATHLA’UL ANWAR DARI MASA KE MASA

Muktamar I

Seiring naiknya gelombang dan semangat nasionalisme di hati para kiyai dan

pendukung Mathla’ul Anwar, yang antara lain dimanipestasikan melalui perjuangan

pendidikan dan da’wah, maka Mathla’ul Anwar perlu merespon perkembangan dan

kebutuhan bangsa. Dalam rangka itu, pada tahun 1936 diadakan Kongres (Muktamar)

Mathla’ul Anwar pertama yang bertempat di Menes. Kongres dihadiri oleh perutusan dari

semua madrasah yang ada dan para tokoh yang terdiri dari para kyai dan ulama serta kaum

terpelajar setempat.

Keputusan-keputusan penting yang ditetapkan oleh Kongres Mathla’ul Anwar I itu

antara lain :

a. Berdirinya satu Perhimpunan yang bernama “MATH-LA’UL ANWAR”.

b. Mengesahkan Anggaran dasar dan Anggaran Rumah Tangga (statuten) Mathla’ul Anwar

yang antara lain memuat :

1. Nama : Mathla’ul Anwar, disingkat M.A., didirikan pada tahun 1334 H/1916 M di

Menes Banten.

2. Dasar : Islam sepanjang ajaran Ahli Sunnah wal Jama’ah

3. Tujuan : Terwujudnya pendidikan dan ajaran Islam di kalangan umat dan

masyarakat Islam.

4. Usaha : antara lain mendirikan madrasah-madrasah, pondok pesantren dan

(11)

c. Menetapkan susunan Pengurus Besar (Hoofd Bestuur) yang antara lain terdiri :

Ketua Umum (Presiden) : K.H. E. Moh. Yasin,

Wakil Ketua (Vice Presiden) : K.H. Abdulmukti,

Sekretaris : E.E. Ismail.

d. Struktur organisasi diatur :

1. Untuk tingkat Kabupaten dibentuk Perwakilan (Kon-sultan) yang dipimpin oleh

seorang Konsul,

2. Untuk tingkat Kecamatan (Onderdistrik) dibentuk sub Perwakilan (Sub Konsultan)

yang dipimpin oleh Sub Konsultan,

3. Untuk di tiap madrasah dibentuk Pengurus Cabang.

e. Menetapkan rencana pelajaran atau leerplan (kurikulum). Dan untuk terlaksananya

rencana pelajaran (leerplan) dengan baik sesuai ketentuan, maka diangkat beberapa

orang penilik (opzieneer) dan seorang pengawas (inspekteur) yang berkedudukan di

pusat. Jabatan ini diamanatkan kepada K.H.M. Abdurrahman samapi beliau wafat pada

tahun 1943.

Muktamar II

Pada tahun 1937 dilangsungkan Kongres (Muktamar) II, sesuai dengan bunyi

Anggaran Dasar yang menetapkan bahwa kongres diadakan setiap tahun. Dalam kongres II

ini tidak banyak hal yang dikemukakan. Susunan Pengurus Besarpun tidak mengalami

perubahan. Kongres II semestinya diadakan pada tahun 1938, tetapi karena pada tahun itu

Ketua Umum (Presiden) Pengurus Besar Mathla’ul Anwar K.H.E. Moh. Yasin meninggal

(12)

Muktamar III

Muktamar III Mathla’ul Anwar dilangsungkan pada tahun 1939 dan selama itu

kedudukan Ketua Umum (Presiden) kosong. Jabatan tersebut dipangku Wakil Ketua (Vise

Presiden) yaitu K.H. Abdulmukti sampai terpilihnya Ketua Umum baru.

Pantas dicatat, bahwa pemilihan Ketua Umum pada Kongres III tahun 1939 cukup

serius dan mengalami ketegangan di kalngan masyarakat. Dua orang calon Ketua Umum

tampil. K.H.E. Djunaedi, putra K.H.E. Moh Yasin, ketua umum yang baru meninggal

dunia, yang juga salah seorang pendiri bahkan arsiteknya pendirian Mathla’ul Anwar.

Lawannya adalah E. Uwes Abubakar yang dicalonkan oleh K.H. M. Abdurrahman yang

juga sebagai salah seorang pendiri Mathla’ul Anwar. Calon pertama berpendidikan

Al-Azhar Mesir, sedangkan calon kedua merupakan hasil gemblengan K.H.M. Abdurrahman

sendiri. Di sini masyarakat Mathla’ul Anwar dihadapkan dua pilihan yang cukup berat dan

untuk ysng pertama kalinya dialami. Karena itu dua kubu pendukung sama-sama kokoh.

Pihak pendukung K.H.E. Djunaedi cukup beralasan, karena selain berpendidikan tinggi,

juga keturunan seorang tokoh kharismatik yang berpengaruh. Di lain pihak mendukung E.

Uwes Abubakar, yang meskipun masih muda dan belum mempunyai namadi kalangan

masyarakat, tetapi ia seorang kader, sekaligus produk kharisma tinggi.

Dalam menghadapi pemilihan ini masyarakat Mathla’ul Anwar benar-benar bagai

menghadapi buah simalakama. Persatuan dan kesatuan yanhg telah bertahun-tahun dipupuk

nyaris pecah. Namun kepemimpinan dan wibawa K.H.M. Abdurrahman yang berjiwa besar

dapat mempertahankan keadaan yang sudah agak retak waktu itu. Akhirnya, E. Uwes

Abubakar yang oleh pihak kubu saingannya dijuluki “pireu” (bisu), terpilih dengan

mendapatkan suara terbanyak.

Muktamar IV dan V

Muktamar IV Mathla’ul Anwar berlangsung pada tahun 1940. Sementara itu Majlis

Islam Ala Indonesia (MIAI) berdiri yang merupakan satu wadah komunikasi antar

organisasi-organisasi Islam dimana waktu itu antara lain : Muhammadiyah, Nahdatul

(13)

Majalengka, Persatuan Islam yang berpusat di Bandung, maka Mathla’ul Anwar pun ikut

pula menjadi anggotanya. Pada tahun 1941 di langsungkan Kongres Mathla’ul Anwar V,

dimana seperti halnya Kongres IV dan V, K.H. Uwes Abubakar terpilih lagi menjadi Ketua

Umum untuk periode berikutnya.

Muktamar VI

Tahun 1942, dengan meletusnya perang Asia Timur Raya dan masuknya Jepang

menjajah Indonesia, Muktamar VI tidak dapat dilaksanakan pada waktunya. Baru pada

tahun 1943, di bawah kekuasaan Jepang, Mathla’ul Anwar dapat melangsungkan

Kongresnya yang VI.

Pada masa ini, bangsa Indonesia dalam keadaan sengsara. Selain dunia dalam

keadaan perang, rakyat hidup miskin di bawah pemerintahan Penjajah Jepang, yang fasis

dan otoriter. Mathla’ul Anwar merupakan satu-satunya organisasi yang dapat mengadakan

kongres pada zaman itu. Tentunya, hal ini merupakan suatu perjuangan yang sangat berat,

di samping harus ulet dan berhati-hati sekali. Salah sedikit saja bisa ber-akibat fatal.

Pantas menjadi suatu catatan penting bagi umat Islam pada zaman penjajahan Jepang

ini, Bangsa Indonesia, setiap pagi diwajibkan menghormat kepada Tenno Heiko (Kaisar

Jepang) dengan jalan membungkukkan badan (ruku) meng-hadap ke arah di mana tempat

sang Kaisar bersinggasana. Banyak ulama yang terang-terangan menolak tau menentang

terpaksa mengalami penyiksaan berat. Ada yang dipenjarakan dan tidak sedikit pula yang

mati terbunuh. K.H.M. Abdurrahman termasuk salah seorang yang juga menolak, tetapi

tidak terang-terangan. Karena itu beliau terpaksa selalu meng-urus diri, kebetulan waktu itu

beliau sering sakit-sakitan. Sehingga dapat dijadikan alasan untuk tidak menampakkan diri

kepada pihak pemerintah maupun masyarakat.

Pada zaman ini pula M.I.A.I (Majlis Islam A’la Indenesia) diubah namanya menjadi

Majlis Syura Muslim Indonesia disingkat Masyumi. Satu badan yang non politik, Masyumi

waktu itu merupakan wadah untuk menciptakan ukhuwah Islamiyah, mempererat persatuan

dan kesatuan sesama Muslim. Hal-hal yang akan mengakibatkan perpecahan dan

(14)

Muktamar VII

Karena berkecamuknya peperangan mempertahankan kemerdekaan dari agresi

Kolonial Belanda pada tahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaan sampai dipulihkan

kedaulatan RI pada tahun 1949, maka selama itu pula Mathla’ul Anwar tidak dapat

melaksanakan kongres. Tetapi pada tahun 1951 meskipun rakyat umumnya masih dalam

keadaan menderita dan miskin, pada tahun itu juga dilaksanakan Kongres Mathla’ul Anwar

VII di Menes. Kesulitan transportasi dan komunikasi, serta susahnya kebutuhan-kebutuhan

pokok kehidupan pada waktu itu, tidak menjadi penghalang untuk berlangsungnya kongres.

Kesadaran dan kerinduan, disamping kuatnya semangat percaya diri, kongres VII berjalan

lancar dan aman. Pada tahun itu, kembali K. Uwes Abubakar terpilih sebagai Ketua Umum

untuk periode 1951-1952.

Muktamar VIII

Dilaksanakn di Ciampea Bogor, pada tahun 1952. Keputusan-keputusan penting

kongres VIII antara lain adalah :

a. Terpilihnya kembali K. Uwes Abubakar sebagi Ketua Umum Pengurus Besar

Mathla’ul Anwar periode 1952-1953.

b. Pernyataan dan penegasan bahwa Mathla’ul Anwar adalah organisasi independen,

tidk bersfiliasi dan tidak menjadi onderbouw dari organisasi atau partai politik

apapun.

c. Bahwa Mathla’ul Anwar akan mendirikan Kepanduan (Pramuka) sendiri.

Pernyataan dan penegasan tersebut pada putusan ke-2 dirasa sangat perlu, karena

pada umumnya orang belum tahu, bahwa sejak Masyumi menjadi partai politik, Mathla’ul

Anwar tidak lagi menjadi anggota istimewanya.

Dan karena itu tidak ada seorang pun pengurus Mathla’ul Anwar yang duduk sebagai

anggota DPP Masyumi sebagai wakil dari organisasi ini. Disamping itu, sikap itu juga

untuk menegaskan bahwa Mathla’ul Anwar memang tidak berafiliasi kepada salah satu dari

(15)

Mengenai gerakan kepanduan (pramuka), pada awal Indonesia merdeka, tahun 1945,

hanya ada satu yang diakui oleh pemerintah RI yaitu Pandu Rakyat Indenesia. Tetapi

dengan adanya negara Republik Indinesia Serikat tahun 1950 tak terbendung kagi

berdirinya macam-macam organisasi kepanduan, antara lain : Pandu Rakyat Indonesia,

Pandu Islam Indonesia, Hizbul Wathon, Suya Wirawan, Pandu Kristen, /pandu Katholik,

Serikat Islam Afdeling Pandu, Ansor, Al Wasliyah, Pandu Al Irsyad, dan KBI.

Satu lagi tonggak sejarah perkembangan organisasi Mathla’ul Anwar pada saat ini.

Pada kongres VIII telah diterima penggabungan dari Anwariyah dari Bandung untuk

berfusi menjadi Mathla’ul Anwar di bawah pimpinan Ajengan Sya’roni. Kehadiran

Anwariyah dalam kongres Mathla’ul Anwar VIII tersebut diwakili Ajengan Sya’roni selaku

ketua M.B. AceUyeh Baluqia Syakir sebagain unsur pemuda, dan memang utusan termuda

dikala itu. selaku bendahara dan

Dalam rangka merealisir salah satu keputusan kongres Mathla’ul Anwar VIII, maka

pada awal Maret 1953, Pengurus Besar Mathla’ul Anwar mengirim tiga pemuda untuk

mengikuti Kursus Dasar Calon Pemimpin Pandu yang diadkan oleh Kwartir Besar Pandu

Islam Indonesia di Rangkasbitung-Lebak. Kebetulan komisaris Cabang Pandu Islam

Indonesia Lebak yang menjadi panitia penyelenggara kursus tersebut adalah putra salah

seorang kyai, tokoh Mathla’ul Anwar. Panitia penye-lenggara kursus memberi kesempatan

dan mengirim undangan kepada PB Mathla’ul Anwar. Kesempatan itu diterima dengan

baik dan dikirimlah tiga orang pemuda tersebut untuk mengikuti kursus, yang kelak

sekembalinya dari kursus dapat mendirikan dan memimpin kepanduan sendiri.

Proses pembentukan Kepanduan Mathla’ul Anwar berjalan lancar, terutama setelah

dibicarakan dalam sidang pleno Pengurus Besar Mathla’ul Anwar dan mendapatkan

perse-tujuan rapat. Satu team yang terdiri dari M. Muslim, Komari Saleh HG, E.A Burhani, M.

Nahid Abdurrahman, K. Ghozali, Moh. Rifa’I, E. Udan Hudari, Ma’mun. Chabri dan

lain-lain diberi tugas untuk menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta

ketentuan-ketentuan lain yang berhu-bungan dengan teknik kepanduan. Akhirnya pada

awal Mei tahun 1953 terbentuklah Kepanduan Mathla’ul Anwar dengan nama Pandu

(16)

Pada bulan Mei 1953 berdasarkan keputusan sidang pleno Pengurus Besar Mathla’ul

Anwar, Pandu Tjahya Islam disahkan berdirinya. Dengan demikian secara resmi sudh dapat

dimulai mengadakan kegiatan. Untuk itu dan sebagai langkah pertama diadakan

kursus-kursus kepemimpinan tingkat dasar yang pesertanya terdiri dari guru-guru madrasah dan

pemuda Mathla’ul Anwar.

Dalam waktu relatif singkat terbentuklah pasukan-pasu-kan, kelompok-kelompok dan

cabang-cabang Pandu Cahaya Islam, tetapi di tempat-tempat lain pun seperti kota

Pandeglang, Jakarta, Cisauk – berdiri pula Pandu Cahaya Islam.

Pada bulan November 1953 itu pula Pandu Cahaya Islam mengirim M. Nahid

Abdurrahman untuk mengikuti Kursus Kepanduan tingkat yang lebih tinggi di luar negeri,

yakni Kualalumpur, Malaysia. Waktu itu masih bernama Malaya se-bagai negara jajahan

Inggris. Pengiriman itu adalah atas ajakan dan kerjasama denga kwartir Besar Pandu Islam

Indonesia di bawah pimpinan Ibrahim Muhammad.

Pada tahun1953 itu pula, Mathla’ul Anwar untuk pertama kalinya, mendirikan

sekolah umum SMI (Sekolah Menengah Islam) atau SMP, di Menes. Ternyata SMI

mendapat sambutan baik di kalangan masyarakat, sehingga pada tahun ajaran pertama kelas

I nya sudah dua kelas paralel. Selanjutnya, SMPI ini dikembangkan menjadi PGA

(Pendidikan Guru Agama). Karena satu dan lain hal, pada tahun 1979, peme-rintah, dalam

hal ini Departemen Agama, menghapus PGA.

Muktamar IX

dilangsungkan pada bulan Desember 1953 di Pamoyanan, Bandung, Jawa Barat.

Kong-res kali ini merupakan kongres yang luar biasa dibanding kongres-kongres

sebelumnya. Mathla’ul Anwar, yang waktu itu merupakan organisasi kecil yang pusatnya

terletak di satu kecamatan, bahkan seluruh cabang-cabangnya berada di kampung-kampung

dan pinggiran kota, mengadakan kongres di kota besar yang merupakan ibu kota provinsi.

Resepsi pembu-kaan kongres diselenggarakan di gedung Concordia, yang dua tahun

kemudian, digunakan sebgai tempat konferensi Asia Afrika. Dan ternyata kongres ini

(17)

Muktamar X

Sesuai keputusan Kongres sebelumnya bahwa sedianya Kongres X akan diadakan di

Lampung, namun berbagai kendala pada waktunya, Lampung belum siap. Maka Pengurus

Besar memutuskan Kongres X diadakan di Menes pada tahun 1956 bulan Januari yang

sekaligus dalam rangka Hari Ulang Tahunnya yang ke-40 berdirinya Mathla’ul Anwar.

Malam resepsi Kongres ini dihadiri pula oleh Menteri Agama R.I., Moh. Ilyas. Tidak

hanya ribuan, tetapi puluhan ribu umat warga Mathla’ul Anwar berduyun-duyun datang ke

arena Kongres di Cimanying, Menes. Lalu-lintas Pandeglang Labuan praktis terhenti,

bahkan berjalan kaki pun tidak mudah. Warga Mathla’ul Anwar dari seluruh pelosok

Menes dan sekitarnya ikut menyambut gembira ulang tahun Mathla’ul Anwar ke-40. Para

peserta tidak ditempatkan di suatu asrama khusus, tetapi ditipkan di rumah-rumah

penduduk, atas biaya masing-masing.

Mereka yang tidak kebagian mengeluh dan mengadu kepanitia seakan tak dihargai.

Terpaksa panitia menjadi repot memindah-mindahkan para peserta agar setiap warga yang

menyediakan tempat mendapat tamu peserta. Segenap anggota Pandu Cahaya Islam tampil

denga cekatan membantu kerja panitia. Mereka bergembira dalam bekerja keras, yang

kadang-kadang terpaksa lupa makan dan minum.

Salah satu keputusan Kongres X di Menes ini adalah rencana menerbitkan sebuah

buku Yubelium, kenang-kenangan kongres dan HUT, yang berisi pula ikhtisar sejarah

perjuangan Mathla’ul Anwar dari awal. Sayang buku itu tidak sempat terbit. Disamping itu,

Kongres X telah mengesahkan berdirinya Pemuda Mathla’ul Anwar, sebagai badan otonom

sebagaimana Pandu Cahaya Islam dan Muslimat Mathla’ul Anwar. Semula, satu-satunya

wadah bagi para pemuda muslim adalah Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Namun

setelah Syarikat Islam (SI) keluar dariMasyumi pada tahun 1948, yang kemudian berdiri

menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII); disusul oleh Nahdatul Ulama (NU) yang

menjadi partai Nahdatul Ulama, maka timbulah kembali berbagai organisasi pemuda Islam.

(18)

Untuk menjaga keutuhan dan persatuan di kalangan warga Mathla’ul Anwar sendiri,

maka didirikanlah Pemuda Mathla’ul Anwar (PMA), yang untuk pertama kalinya dipimpin

oleh M. Muslim.

Muktamar XI

Sesuai rencana, pada bulan September 1966, Muktamar XI dan peringatan HUT

Mathla’ul Anwar ke 50 dilangsungkan di Menes. Dengan demikian Mathla’ul Anwar

merupakan organisasi kemasyarakatan yang pertama kali mengadakan muktamar pada

masa Orde Baru. Organisasi lain belum pernah mengadakan. Namun karena situasi

ekonomi ditambah kondisi komunikasi waktu itu, maka jumlah daerah yang hadir sebagai

peserta muktamar tidak mencapai quorum sebagai mana diatur dalam Anggaran Dasar dan

Anggaran Rumah Tangga Mathla’ul Anwar. Karena itu, akhirnya disepakati dan

diputuskan sebagai Muktamar Luar Biasa.

Pada peringatan ulang tahunnya yang ke 50 (setengah abad), selain dihadiri dua

orang menteri yaitu Adam Malik (Menteri Lur Negeri) dan BM Diah (Menteri

Penerangan), juga dihadiri beberapa orang wakil kedutaan negara-negara sahabat. Ribuan

pelajar, pemuda dan warga Mathla’ul Anwar yang berdatangan dari beberapa daerah di

Jawa Barat dan Sumatra Selatan berbaris pawai melintas dihadapan para tanu kehormatan

dan berjalan keliling melingkari kota Menes. Bendera merah putih dan lambang Mathla’ul

Anwar yang sangat banyak jumlahnya menambah semarak dan gegap gempitanya suasana

waktu itu. Sedang puncak acara berupa rapat umum beretempat di alun-alun Menes yang

dihadiri puluhan ribu umat warga Mathla’ul Anwar dan para simpatisannya.

Muktamar Mathla’ul Anwar XI itu antara lain telah menghasilkan kompisisi dan

susunan pengurus baru Pengurus Besar periode 1966-1969, dimana KH. Uwes Abubakar

untuk ketujuh kalinya terpilih menjadi Ketua Umum.

Muktamar XII

Menjelang diadakan Muktamar XII, Pengurus Besar Mathla’ul Anwar

(19)

akan dihadiri utusan dari Pengurus Besar. Untuk daerah Jawa Tengah diadakan di Salatiga,

daerah Lampung dan Tanjung Karang di Telukbetung. Begitu juga diadakan di Bogor,

Kerawang, Bandung dan Pandeglang. Loka karya itu diadakan di samping untuk kosultasi,

dimaksudkan pula sebagai pesiapan agar suksesnya Muktamar XII berikutnya.

Kelengkapan susunan Pengurus Besar dipercayakan kepada para Ketua terpilih

yang akan mengadakan sidang beberapa waktu setelah Muktamar selesai. Dan Myktamar

XII selesai tanpa mengadakan resepsi penutupan. Disamping itu, Muktamar juga

menghilangkan badan-badan otonom dan bagian-bagian sebagaimana susunan

Pengurushasil Muktamar XI. Yang ada tinggal Majelis Fatwa.

Sidang para ketua terpilih yang diadakan di Bandung berhasil menetapkan Drs. M.

Irsyad Djuwaeli sebagai Sekretaris Umum, Moh. Rifa’i Sekretaris I, Moh. Idjen Sekretaris

II, dan E. Lukman Hakim Sekretaris III. Bendahara ditetapkan BM Diah yang waktu itu

menyatakan dirinya sebagai pembantu penyandang dana untuk kegiatan Sekretariat.

Damanhuri, M. Nahid Abdurrahman dan Hasan Muslihat ditetapkan sebagai pembantu.

Belum sempat Pengurus Besar Mathla’ul Anwar hasil Muktamar XII mengadakan

aktivitas yang berarti, timbullah suatu ketegangan antara KetuaUmum dan sekreatris

Umum. Akibatnya, Ketua Umum menskor Sekretaris Umum. Keadaan ini mengakibatkan

tidak berjalannya organisasi. Sementara itu, Ketua Umum mengangkat Damanhuri untuk

menjabat Sekretaris Umum, namun tidak lama antaranya Damanhuri meninggal dunia.

Kepengurusan hasil keputusan Muktamar Cempaka Putih ini belum sempat

mengadakan kegiatan yang berarti wadah sekretariat PBMA pun tidak pernah tetap yang

ada hanya penggantian Sekjen sampai 3 kali setelah Drs. Irsyad Djuwaeli yaitu Damanhuri,

Komari Saleh dan Abdulwahid.

Keadaan organisasi tidak jalan sama sekali oleh karena itu melihat keadaan

demikian timbul pemikiran dari beberapa kader Mathla’ul Anwar untuk menghidupkan

(20)

Mereka mengadakan gerakan-gerakan untuk menghidupkan Mathla’ul Anwar

antara lain mendesak ketua Umum H. Nafsirin Hadi, SH untuk Pengurus Besar dengan

mengajukan nama-nama yang baru duduk dalam susunan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar

namun tidak mendapat tanggapan dari kita semua.

Untun mengisi lowongan Sekretaris maka ditunjuk Sdr. H. Nur Sanusi dari

Lampung, yang tidak lama meninggal dalam perjalanan dari Menes menuju Jakarta diganti

oleh saudara Abdulwahid Sahari. Kepungurusan hasil Muktamar Cempaka Putih tersebut

keadaannya tidak stabil malah keadaan organisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Sekretariat Pengurus Besar tidak jelas di mana adanya, muktamar pun tidak bisa

dilaksanakan pada waktunya.

Pada awal tahun 1985 timbul gagasan dari kader-kader Mathla’ul Anwar untuk turut

menyumbangkan tenaga dan pikirannya agar Mathla’ul Anwar bisa berjalan, beberapa kali

mengajukan usul kepada Ketua Umum pada waktu H. Nafsirin Hadi, namun

gagasan-gagasan itu ditolaknya. Maka tampillah beberapa orang untuk mendesak Ketua umum agar

segera mengadakan Multamar tapi tidak bisa dilaksanakan.

Muktamar XIII

Dan untuk melaksanakan muktamar ke-13 dibentuklah Panitia yang terdiri dari

kader-kader Mathla’ul Anwar antara lain Ketua H. Moh. Amin, M. Nahid Abdurrahman

dan muktamar diadakan di Menes pada 12 Juli 1985.

Namun pada Muktamar kelak M. Irsyad Djuwaeli menuntut haknya untuk membela diri

atas skorsing atas dirinya yang dianggap tidak benar itu, setelah adanya pengangkatan.

Muktamar Mathla’ul Anwar XIII yang diselenggarakan di Menes pada tahun 1985 telah

melahirkan komposisi kepengurusan

Muktamar XIV

merupakan tonggak sejarah bangkitnya kembali Mathla’ul Anwar, tepat pada masa

(21)

keputusan-keputusan organisasi yang sangat berani dalam kondisi iklim Mathla’ul Anwar pada waktu

itu. Diantara keputusan tersebut adalah menerima Pancasila sebagai satu-satunya azas

organisasi yang dicantumkan dalam Anggaran Dasar, yang kemudian menjadi suatu

keharusan bagi setiap organisasi kemasyarakatan di Indonesia. Setahun kemudian

menyusul pula kesepakatan yang menjadi kebijakan organisasi yaitu menyalurkan aspirasi

politik anggota Mathla’ul Anwar dalam pemilihan umum untuk kemenangan Golongan

Karya.

Keputusan bersejarah tersebut mempunyai dampak yang sangat luas dalam berbagai

kegiatan organisasi di segala bidang di kemudian hari. Berbagai terobosan dilakukan untuk

mengembangkan Mathla’ul Anwar pada masa kejayaannya yang pernah dirasakan pada

waktu-waktu sebelumnya.

Wilayah-wilayah dan daerah-daerah kepengurusan Mathla’ul Anwar semakin

meluas menyebar di tanah air Indonesia. Lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya

menurunkan papan nama dan aktivitasnya dapat bangkit kembali mesli secara

perlahan-lahan. Anggota dan simpatisan organisasi yang sebelum tercerai beraimulai terhimpun

kembali, jatingan komunikasi organisasi antara wilayah dan daerah dengan pusat menjadi

lebih lancar. Lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi penunjang mulai bangkit dengan

melakukan berbagai aktivitasnya, seperti bangkitnya kembali organisasi pemuda melalui

Generasi Muda Mathla’ul Anwar. Begitu juga dengan organisasi Muslimat dan kegiatan

Majelis Fatwa yang semakin aktif, hubungan dengan pemerintah semakin harmonis yang

berdampak pada diperolehnya banyak kemudahan dari pemerintah dalam melakukan

kegiatan organisasi. Peningkatan kegiatan di atas, tercermin dalam penyelenggaraan

muktamar XIV yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1991. Dimana jumlah pengurus

wilayah yang sebelumnya tinggal 3 wilayah yang dianggap aktif sudah meningkat menjadi

14 wilayah yang aktif, telah banyak wakil-wakil perguruan pendidikan yang mengikuti

Muktamar. Generasi Muda Mathla’ul Anwar dan Muslimat Mathla’ul Anwar dipercaya

(22)

Muktamar XV

Dilaksanakan di Jakarta bertempat di Asrama Haji Pondok Gede dan dibuka oleh

Wakil Presiden RI H. Tri Sutrisno. Salah satu keberhasilan HM. Irsjad Djuwaeli dalam

membangun jaringan Mathla’ul Anwar ke berbagai daerah di hampir seluruh propinsi di

Indonesia, serta mendirikan Universitas Mathla’ul Anwar, maka pada muktamar XV

menetapkan kembali HM. Irsjad Djuwaeli sebagai Ketua Umum PB Mathlaul Anwar dan

Sekretaris Jenderalnya adalah Drs. HM. Syatibi Mukhtar. Pada masa ini Mathla’ul Anwar

telah kehilangan putra terbaiknya, yaitu meninggalnya Ketua Dewan pembina Mathla’ul

Anwar H. Alamsyah Ratu Perwiranegara yang selama itu sangat berjasa dalam

membesarkan organisasi ini. Sepeninggalan beliau, PB. Mathla’ul Anwar mengangkat HR.

Hartono selaku Ketua Dewan Pembina Mathla’ul Anwar.

Muktamar XVI

Dalam siatuasi krisis ekonomi nasional yang berkepanjangan, serta peralihan

kepemimpinan nasional yang ditandai dengan gemuruhnya semangat demokratisasi dan

partisipasi rakyat, Mathla’ul Anwar melaksanakan Muktamar XVI pada 26-30 Oktober

2001 di Bojolali, Jawa Tengah. Isu sentral yang diangkat dalam pokok-pokok pikiran

muktamar antara lain adalah mendukung pemerintah dalam memberantas KKN, penegakan

supremasi hokum, demokratisasi dan pengembangan partisipasi masyarakat dalam

pembangunan.

Dalam era reformasi ini Mathla’ul Anwar menegaskan kembali perjuangannya

dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial sebagai sebuah gerakan ke arah peningkatan

mutu dan kualitas kehidupan bangsa. Dalam hal ini Mathla’ul Anwar mendesak pemerintah

untuk mengubah UU Pendidikan nasioanl agar tidak diskriminatif dalam pembiayaan

pendidikan antara sekolah-sekolah swasta dan negeri, mendesak pemerintah untuk

mengubah kurikulum pendidikan yang memungkinkan madrasaf agar tetap berfungsi

sebagai lembaga pendidikan nasional, serta menambah jam pelajaran materi pendidikan

agama di sekolah-sekolah umum menjadi 6 jam pelajaran di tingkat SD dan 4 pelajaran di

(23)

Muktamar XVII

Muktamar XVII di Pondok Gede Jakarta 2005, bersamaan dengan peringatan Hari

Ulang Tahun Mathla’ul Anwar ke 89, dibuka resmi oleh Wakil Presiden RI. Drs. H.

Muhamad Jusuf Kalla, dan ditutup oleh Ketua DPR RI H. R. Agung Laksono dengan

diperkaya masukan dari beberapa nara sumber yaitu : Menteri Perindustrian, Menteri

Referensi

Dokumen terkait

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah. PERANCANGAN

Sabun batang yg teah digenggam diukir dengan alat pisau ukir. Setelah diukir, lalu keroklah sabun tersebut dengan

Demikian pula kondisi yang tidak menguntungkan yang terdapat dalam lingkungan setelah seseorang dilahirkan juga memiliki dampak yang kuat dan membahayakan

Berdasarkan hasil pengujian dari ketiga algoritma tersebut, Huffman Modifikasi jauh lebih baik untuk waktu yang diperlukan dalam sekali melakukan kompresi. Selain itu

Dalam memecahkan masalah multi kriteria metode Analytical Hierarchy Process bukan satu-satunya metode pengambilan keputusan yang dapt digunakan, alagkah baiknya jika coba

Judul Penelitian : Pengaruh Pemanasan Membran, Perbedaan Tekanan dan Waktu Permeasi Pada Pemisahan CO 2 /CH 4 Untuk Pemurnian Biogas Menggunakan Membran Polyimide Dan

Adapun kekurangan tipe firewall ini antara lain sulit dalam membuat aturan dan kebijakan pada packet filtering firewall ini secara tepat guna dan aturan tersebut

Nitrogen merupakan komponen penting pada protein dan asam nukleat yang biasanya diserap dari tanah dalam bentuk sangat teroksidasi dan harus reduksi oleh