• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of MENINJAU KEMBALI PELAKSANAAN EVALUASI PENDIDIKAN DI SEKOLAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "View of MENINJAU KEMBALI PELAKSANAAN EVALUASI PENDIDIKAN DI SEKOLAH"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

29 Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

MENINJAU KEMBALI PELAKSANAAN EVALUASI

PENDIDIKAN DI SEKOLAH

Oleh: Muhammad Masyhuri

Dosen Tetap STAI Syarifuddin Lumajang

Abstrak

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada pada hari Senin hingga Rabu tanggal 15-17 April 2014, Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Kemendiknas RI) akan melaksanakan ritual tahunan, dimana dalam pelaksanaanya selalu menjadi pembicaraan diberbagai media masa, baik lokal maupun nasional, yakni Ujian Nasional (UN) bagi SMA/MA diseluruh Indonesia. Hal ini bisa dipahami, mengapa berbagai media tersebut begitu antusias untuk meliput pemberitaan UN tersebut, karena berdasarkan berbagai pengalaman ditahun sebelumnya, pelaksanaan UN tersebut banyak menimbulkan polemik, kritik, intrik, dan serangkain kesibukan yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, mulai dari siswa, orang tua siswa, aparat kepolisian, guru, pihak perguruan tinggi, dan seterusnya. Berangkat dari momen ini, tulisan ini bukan ingin mengajak berdiskusi perlu atau tidak perlu ujian nasional, namun mengajak untuk melihat kembali, dengan mengkaji apa sebenarnya yang terjadi dalam pelaksanaan ujian tersebut dalam perspektif studi kebudayaan. Tulisan ini akan menjelaskan; 1. Apa yang dimaksud dengan studi kebudayaan, 2, juga apa hubungannya dengan permasalahan pendidikan, 3, Bagaimana studi kebudayaan memandang pelaksanan Ujian disekolah., 4, Mencari format Ujian di Sekolah di masa datang.

(2)

30 Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

Apa itu studi kebudayaan?

Para ahli studi kebudayaan menegasan bahwa studi kebudayaan (cultural

studies) tidak memiliki subyek yang didefiniskan secara jelas dan terang. Ia hanya berpijak pada pada sebuah gagasan tentang budaya yang sangat luas yang

mencakup segala hal yang digunakan untuk menggaambarkan dan mempelajari

berbagai praktik keseharian manusia (daily life).1 Karena demikian, tidak

mengherankan bila ia berbeda dengan disiplin ilmu-ilmu yang konvensional,

seperti sosiologi filsafat, dan fisika yang masing-masing memiliki suatu wilayah

subyek atau obyek kajian garis-garis batasan cuku jelas. Cultural studies tidak

memiliki subyek studi atau afiliasi disiplin ilmu yang tunggal. Diantara ahli studi

kebudayaan tersebut adalah Stuart Hall yang menyebutkan studi kebudayaan (cultural studies) adalah “the explanation of the conditions of possibility for the production and

reproduction of subyectivities” atau suatu studi yang yang menjelaskan kondisi yang

memiliki kemungkinan untuk meproduksi dan mereproduksi subyektifitas.

Pemaknaan ini secara sederhana dipahami sebagai suatu pendekatan yang secara

sederhana menjelaskan tentang pengalaman (the discription of experience). 2

Dalam bukunya yang berjudul Cultural Studies and its theoretical Legacies,

Stuart Hall menyatakan bahwa harus ada yang dipertaruhkan dalam cultural studies

dengan persoalan kekuasaan dan politik, dengan kebutuhan akan perubahan dan

representsi kelompok-kelompok social yang terpinggirkan, terutama representasi

yang menyangkut kelaas, gender dan ras. Dengan menggunakan perspektif ini,

dapat disimpulkan bahwa kajian budaya bukanlah bangunan pengetahuan yang

netral, malah menganggap bahwa produksi bangunan pengetahuan adalah tindakaj

politik. Oleh karena itulah, kajian ini merambah seluruh wilayah pengetahuan ia

hanya berfungsi secara bebas meminjam disiplin ilmu social, humaniora, seni. Ia

mengambil teori-teori dari politik, filsafat, linguistic, kritik sastra, psikologi, dan

lain-lain.3

1 Barkerlihat, Chris. The Sage Dictionary of Cultural Studies. London: Sage Publications Ltd., 2004, hal 79 2 Stuart Hall, The hard Road to Renewel, (London:verso, 1998), hal.18-25

(3)

31 Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

Tujuan cultural Studies dapat dikatakan bersifat politis dan pendirinya tidak keberatan disebut sebagai “gerakan politis”. Diawal kemunculannya, pendekatan filsafat sangat berakar pada kajian ini, yakni berakaitan erat dengan

teori-teori kritis yang berakar pada pemikiran marxis. Cultural studies dapat

dikatakan sebagai kajian yang secara holistik menggabungkan teori feminis,

sejarah, filsafat, teori sastra, teori media, ekonomi politik yang merupakan

fenomena dalam kajian budaya dari berbagai bentuk masyarakat. Diantara

beberapa karakteristik Cultural studies sebagaimana yang dikemukan oleh Ziaudin

Sardar adalah ia bertujuan untuk mengkaji pokok persoalan sdari segi praktik

kebudayaan berhubungan dengan kekuasaan. Dengan bertujuan untuk

mengungkap hubungan kekuasaan dan mengkaji bangaimana hubungan tersebut

mempengaruhi dan membentuk praktik kebudayaan. Selain itu ia juga berupaya

membongkar dan mendamaikan pengotakan pengetahuan, mengatasi perpecahan

antara bentuki pengetahuan yang tersiran dan yang obyektif. Disamping itu, kajian

ini juga berupaya untuk melibatkan dirinya dengan melakukan evaluasi moral

masyarakat moderndan garis radikal tindakan politik. Tradisi yang dipegang

bukanlah tradisi bebas nilai, melainkan secara tegas berkomitmen untuk

melakukan merekonstruksi sosial dengan melibatkan diri pada kritik politik. Jadi ia

berusaha tidak saja untuk memahami , namun juga bermaksud untuk mengubah

struktur dominasi yang ada dimana-mana, terutama dalam masyarakat kapitalis.4

Kajian kebudayaan dalam pendidikan

Secara teoretik, studi kebudayaan bermula dari munculnya teori kritis

dalam ilmu social yang keberadaanya mengalalami perkembangan mengikuti

dinamika perkembangan masyarakat. Dalam sejarahnya, ketika masyarakat

berkembang menjadi masyarakat industrial sebagaimana terjadi di Eropa Barat,

maka ilmu social pun berkembang, dan perkembangan itu pada awalnya

dipengaruhi oleh positivism, karena demikian, dalam sosiologi pada mulanya

(4)

32 Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

dikenal sebagai fisika social karena ingin menerapkan prinsip-prinsip keilmuan

dalam tradisi fisika sebagaimana diobsesikan oleh August Comte. 5

Pada awal perkembangannya, perkembangan teoretik tradisional

cenderung bersifat deduktif, dengan mengutamakan ilmu pengetahuan alam dan

matematika. Menurut Horkheimer tujuannya adalah kesatuan dan harmoni dengan

matematika sebagai modelnya. Menurut Horkheimer, teori tradisional merupakan

proyeksi standar kesempurnaan kelompok borjuis bagi pasar kapitalis,

berdampingan dengan hukum penawaran dan permintaan yang dapat

diperhitungkan. Teori tradisional menjadi bagian dari praktik social yang

membentuk kapitalisme dan masyarakat borjuis. Akan tetapi, ketika masyarakat

industrial menciptakan struktur yang menindas, muncul reaksi oposisional dan

ilmu social yang berusaha merespon realitas social yang tidak adil itu. Maka

lahirlah perspektif kritis dalam ilmu social, yang diilhami pemikiran Marx dan

Engel.6

Istilah ini dikenal pertama kali pada tahun 1937, setelah kaum akademisi

terkemuka di Eropa pindah ke AS sebagai dampak kemenangan Hitler. Dengan

demikian, teori kritis pada prinsipnya ingin mendobrak kemapanan sebagai akibat

penciptaan struktur social yang tidak adil. Kemudian teori kritis dikenal sebagai

Mazhab Frankfurt yang menawarkan pendekatan multidisipliner untuk teori social

yang menggabungkan perspektif yang bersumber dari ekonomi politik, sosiologi,

teori kebudayaan, filsafat, antropologi, dan sejarah.

Kemudian muncul teori kritis yang diusung oleh pengmbang teori

ketergantungan (dependency theory) yang dipelopori oleh Andre Gunder Frank dan

Fernando Enrique Cardoso. Teori ini menawarkan proposisi teoretis hubungan

pusat metropolis dunia dan pinggiran-satelitnya, pada tingkat global maupun

regional. Bukti sejarah menunjukkan bahwa bagian-bagian yang kurang kaitannya

dengan pusat-pusat metropolis akan dapat mengalami perkembangan ekonomi

5 Ritzer, George dan Barry Smart. Handbook Teori Sosial. Bandung: Nusa Media, 2002, hal. 275

6 Kupasan lebih lanjut, lihat Douglas Kellner dalam Teori Sosial Radikal, Yogyakarta: Syarikat, 2003. Kellner

(5)

33 Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

yang lebih sehat, dan sebaliknya akan terjadi kondisi yang tidak sehat pada

kawasan-kawasan pinggiran yang mempunyai kaitan dengan pusat. Dalam struktur

hubungan metropolis-satelit itu, maka pusat-pusat metropolis akan berkembang

pesat dengan merugikan bagian-bagian yang makin terbelakang. Jadi singkatnya,

keterbelakangan yang terjadi di negara-negara Amerika Latin dan dunia ketiga

pada umumnya, ada hubungannya dengan kemajuan yang dicapai oleh

negara-negara Barat

Meski Marx dan Engles tidak banyak menulis mengenai evalusi pendidikan

secara khusus, tetapi mereka punya kepedulian terhadap masalah pendidikan,

dimana hal ini dimaksudkan untuk mengkaji dan mengevaluasi apakah lulusan

dunia pendidikan masih diperlukan. Pada masa mudanya ia mengatakan bahwa

tanpa pendidikan, kelas buruh dipaksa menjalani kerja yang membosankan serta

kematian, namun dengan pendidikan mereka punya kesempatan menjalani

kehidupan yang lebih baik. Lebih dari itu, padanagan Marx dan Engles terutama

teori materialisme-historisnya telah digunakan untuk merumuskan teori dan

analisis kritis terhadap institusi pendidikan di dalam masyarakat borjuis, dan

kemudian dipakai untuk mengembangkan konsepsi pendidikan alternative yang

sesuai dengan prinsip sosialisme Marxian.7 Sebagai contoh misalnya, Thesis

Feuerbach mengatakan, kondisi social yang berubah menciptakan bentuk

pendidikan baru, sehingga kebangkitan masyarakat kapitalis akan menciptakan

institusi pendidikan yang menghasilkan hubungan, nilai-nilai dan praktek social

yang dominan. Demikian juga, transformasi masyarakat kapitalis dan penciptaan

masyarakat sosialis membutuhkan bentuk pendidikan dan sosialisasi baru.8

Paradigma klasik Marxisme memandang pendidikan memiliki fungsi di

dalam system social hegemonic yang diorganisir untuk melayani kepentingan

pemilik modal. Dengan menggunakan perspektif Marxian pada perkembangan

lebih lanjut muncul generasi penerus yang mencoba memfokuskan pada

pendidikan, dan dikenal sebagai Pedagogi Kritis. Mereka ini meliputi pula yang

7 Douglas Kellner, Teori Sosial Radikal, Yogyakarta: Syarikat, 2003, hal. 89

(6)

34 Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

masuk dalam Mazhab Frankfurt, para pengembang Cultural Studies, dan yang

paling berpengaruh adalah Paulo Fraeire yang karyanya dilatarbelakangi kondisi

social, ekonomi, dan politik Amerika Lati.Para perumus Mazhab Frankfurt meski

jarang membahas masalah pendidikan, namun perspektifnya mempunyai

kontribusi penting pada filsafat pendidikan. Adorno, Horkheimer, Marcuse, dan

From terkadang menulis analisis kritis terhadap universitas dan melakukan

intervensi dalam perdebatan pendidikan.9

Melalui apa yang mereka sebut sebagai “industri kebudayaan”, yaitu proses industrialisasi kebudayaan yang diproduksi secara masal dalam urgensi komersial.

Produk kebudayaan mengalami komodifikasi, standarisasi, dan masifikasi. Dalam

pada itu, institusi pendidikan juga menjadi salah satu pihak yang menciptakan

masyarakat massa yang mengarah pada homogenitas sosial, karena pendidikan

publik mengalami standarisasi, sehingga menjadi ruang yang membosankan.10

Periode berikutnya adalah munculnya cultural studies terutama dipengaruhi oleh

pandangan Gramci tentang hegemoni. Kelompok ini melakukan analisis secara

kritis efek pendidikan dari media massa, musik, dan budaya pop lain terhadap

audiennya, dan juga mengembangkan kritik persekolahan di Inggris. Cultural

Studies juga melakukan kajian terhadap bagaimana sekolah mengintegrasikan kaum muda ke dalam masyarakat kapitalis, dan bagaimana kaum muda kelas pekerja

melakukan perlawanan terhadap kemapanan. Jadi seperti halnya Mazhab

Frankfurt, Cultural Studies sama-sama dipdirikan dalam semangat transdisipliner

yang melawan pembagian akademik yang sudah mapan dan secara implisit

merevolusionerkan pendidikan universitas.11

Kemudian muncul Paulo Freire,12 salah seorang pengembang Pedagogi

Kritis dan memang sosok Marxian yang memfokuskan diri pada masalah

pendidikan. Ia secara terang-terangan mengkritik lembaga pendidikan dalam

masyarakat kapitalis yang dianggapnya sebagai belenggu. Ia menganjurkan apa

9 Lihat Ritzer, George dan Barry Smart. Handbook Teori Sosial. Bandung: Nusa Media, 2012

10 Pembahasan lebih lanjut lihat Ben Agger, Teori-teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya,

Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006, hal. 64-76

11 Lihat misalnya Barker Chris, 2001, Cultural Studies, Theory and Practices. London: Sage Publication.

(7)

35 Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

yang ia sebut sebagai pendidikan yang membebaskan. Melalui karyanya, The

Pedagogy of the Oppressed, ia menunjukan bahwa pendidikan di bawah bendera kapitalis tidak ubahnya seperti bank, dimana murid dianggap seperti tempat

penyimpanan ibarat deposito, sebuah praktek penddikan yang mematikan

daya-daya imajinasi dan kreasi. Pendidikan seperti itu hanya menghasilkan penurut,

karena murid hanya dianggap sebagai bejana-bejana kosong yang harus diisi

menurut kehendak sistem pendidikan yang sudah menjadi pesanan kepentingan

kapitalis. Pendidikan bukan merupakan ruang yang merdeka, tetap penuh rekayasa

sistematis yang menjadi murid sebagai obyek pasar. Freire menyerukan pendidikan

yang membebaskan dengan relasi yang setara, dialogis, dan partisipatoris. Dengan

semangat revolusioner Marxis, ia mengembangkan pedagogi kaum tertindas yang

akan melahirkan subyek revolusioner, yang diberdayakan untuk menghilangkan

berbagai bentuk penindasan dan menciptakan tatanan sosial yang lebih demokratis

dan adil.

Pelaksanaan ujian disekolah dalam realitas obyektif

Berdasarkan rumusan pemaknaan yang dikemukakan oleh Stuart Hall

sebelumnya, yang mengaskan bahwa pendekatan studi kebudayaan mencoba

menjelaskan tentang pengalaman (the discription of experience) terhadap suatu

peristiwa tertentu, maka pembahasan tentang pelaksanaan ujian di sekolah saat ini

juga akan dideskripsikan berdasarkan pemaknaan tersebut.

Berhubungan dengan perkembangan dunia pendidikan saat ini, Kari Facer,

salah seorang Profesor pendidikan di Institute Kajian ilmu social di Universitas

Manchester Metropolitan New York megaskan bahwa pelaksanaan pendidikan

saat ini sudah tidak tidak mampu menjawab kebutuhan masa depan anak didiknya,

hal ini didasarkan pada ketidakmampuan lembaga pendidikan dalam merespon

perubahan sosial yang ditandai dengan pesatnya kemunculan teknologi informasi

yang sudah maju, sementara lembaga pendidikan yang ada tidak mampu

mengimbangi perubahan tersebut. Ketidakmampuan lembaga pendidikan dalam

(8)

36 Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

digunakan sehingga out-put dari lembaga pendidikan tesebut tidak sesuai dengan

apa yang diharapkan.

Realitas ketidakmampun dalam merespon perubahan ini bisa kita tinjau

dalam system ujian yang ada dalam dunia pendidikan kita, misalnya pada tahun

1980-an bahkan, ketika seseroang bersekolah dan bahkan juga kuliah di perguruan

tinggi, bahan pelajaran jumlahnya masih terbatas. Keterbatasan itu tidak saja

dialami oleh para siswa, tetapi juga oleh guru atau dosen. Para guru hanya

memiliki satu atau dua buah buku. Tugas guru adalah menjelaskan isi buku

tersebut dari awal hingga akhir. Kadangkala penjelasan itu diulang-ulang untuk

menyesuaikan waktu yang tersedia. Tidak mungkin guru harus menghentikan

pelajaran dengan alasan bahannya habis. Sementara mencari bahan lain tidak

mungkin, oleh karena ketika itu memang tidak ada yang lain.

Dalam keadaan seperti digambarkan itu, maka pelaksanaan ujian untuk

mengetahui seberapa jauh para siswa menguasai bahan pelajaran yang telah

diajarkan, guru membuatkan pertanyaan yang jawabnya dapat diperoleh dari

buku-buku yang dimaksudkan itu. Agar tidak nyontek dalam ujian, maka para murid

dilarang membawa buku atau catatan-catatan ke dalam kelas. Murid harus hafal

atau setidaknya mengenali seluruh isi buku pelajaran itu.

Selain itu, pada waktu ujian, para siswa dilarang bekerjasama atau saling

menyontek. Maka setiap ujian para guru bertindak sebagai pengawas ujian. Para

siswa harus mengerjakan soal-soal ujian sendiri-sendiri. Bagi mereka yang

menguasai buku yang diajarkan akan lulus dan demikian pula sebaliknya. Oleh

karena itu, sebelum ujian dilaksanakan, sudah menjadi terbiasa, guru menunjukkan

bahan-bahan ujian atau buku yang akan diujikan.

Sekarang ini keadaannya sudah berubah. Buku-buku pelajaran sudah

membanjir dan sangat mudah didapatkan. Bahkan tidak sedikit sekolah yang

menyediakan buku-buku pelajaran dimaksud. Selain itu, ukuran buku-buku juga

semakin tebal, dimana kita sering menjumpai anak-anak yang semakin tinggi

(9)

37 Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

dipelajari dan dihafal isinya semakin banyak jumlahnya. Hal lainnya lagi yang perlu

diperhatikan bahwa, dengan kemajuan teknologi informasi, maka menjadikan

bahan pelajaran bisa diperoleh dari berbagai media, seperti internet, website,

google dan lain-lain. Sekarang ini, anak-anak atau para siswa sudah terbiasa

mendapatkan makalah, tulisan ilmiah, dan lain-lain melalui internet. Informasis

menjadi membanjir dan bisa diperoleh di mana-mana. Oleh karena itu, kalau para

guru masih mengharuskan siswanya untuk menghafal bahan pelajaran

sebagaiomana dilakukan oleh para guru zaman dahulu, maka kiranya sudah tidak

relevan lagi dengan zamannya.13

Demikian pula, kalau cara mengukur kemampuan siswa masih sama

dengan cara yang dilakukan oleh guru ketika belum mengenal internet, website,

google, facebook, twitter dan lain-lain, maka sudah tidak relevan lagi. Munculnya

kritik tajam dari masyarakat tentang pelaksanaan ujian nasional, bisa jadi juga

disebabkan oleh pandangan seperti itu. Dalam keadaan seperti sekarang ini,

membebani murid agar menghafalkan bahan pelajaran yang sedemikian banyak,

sementara guru dan bahkan kepala sekolahnya sendiri sudah tidak mampu

menghafalkannya, maka cara itu perlu dikaji ulang. Dengan mengkaji lebih lanjut

tentang cara baru dalam mengajar dan termasuk menguji para murid pada setiap

jenjang pendidikan. Terjadinya kasus-kasus penyimpangan ujian dengan berbagai

bentuknya, bisa jadi disebabkan oleh cara ujian itu sudah tidak sesuai lagi dengan

keadaan zamannya. Jika pandangan ini benar, maka sebenarnya ketika terjadi

saling menyontek, bahkan terjadi nyontek massal, bukan karena murid-muridnya

yang salah, melainkan karena para guru juga para ahli evaluasi pendidikan, tidak

bisa mengikuti tuntutan zaman ini. Atau setidak-tidaknya, hiruk pikuk perubahan

zaman yang ditandai dengan membanjirnya informasi selama ini tidak dikenali

secara baik oleh para guru dan juga para ahli pendidikan.

Persoalan tersebut bukan sederhana, oleh karena menyangkut masa depan

anak-anak. Jika pendidikan dilakukan dengan cara salah atau kurang tepat, maka

13 Kenyataan ini sama dengan apa yang ditulis oleh Keri Facer, Learning Future, Education technology and Social

(10)

38 Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

kita telah gagal dalam mengantarkan generasi muda menyiapkan masa depannya.

Pendidikan bukan untuk para orang dewasa, melainkan untuk anak-anak atau

generasi mendatang yang akan menjalaninya. Kita tidak boleh membebani atau

melakukan hal yang salah dalam pendidikan. Jangan sampai mereka menanggung

beban sebagai akibat kesalahan guru atau para penangung jawab pendidikan saat

ini.

Menugasi para siswa menghafal semua buku yang dikarang oleh

pengarangnya, yang belum tentu mereka masih menghafalnya, adalah

merupakan tindakan yang berlebih-lebihan. Hal penting lagi yang perlu

dipertimbangkan adalah, apakah hafalan itu memang diperlukan oleh para siswa di

masa depannya. Keadaan sekarang sudah jauh berubah dari zaman dulu, sehingga

semestinya juga menuntut cara-cara berbeda dalam mengajar, dan tidak terkecuali

adalah cara mengevaluasinya. Persoalan tersebut kiranya bukan perupakan hal

mudah dan ringan.

Mencari format baru Ujian di Sekolah

Beberapa waktu yang lalu, muncul berbagai perdebatan diberbagai media

masa tentang persoalan ujian Nasional yang sudah tidak lagi relevan untuk saat

ini, meski demikian, hal ini direspon oleh Menteri pendidikan yang mengatakan

bahwa untuk memenuhi ketentuan undang-undang, maka ujian nasional masih

perlu dan tetap akan dilaksanakan, akan tetapi format ujian yang sudah ada itu

akan ditinjau kembali.14 Format baru yang dimaksudkan itu seperti apa bentuknya,

juga masih belum dijelaskan. Intinya dalam statemen itu, bahwa ujian nasional

masih dianggap perlu untuk mengevaluasi secara nasional prestasi yang dihasilkan

dari penyelenggaraan pendidikan bangsa ini.

Lulusan dunia pendidikan indentik dengan profesi atau pekerjaan tertentu

yang biasa ia lakukan. Berkaitan dengan ini, seminggu yang lalu, berbagai media

(11)

39 Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

masa diberitakan terdapat salah satu TKW Indonesia, Sutinah, yang akan dihukum

gantung karena telah membunuh majikannya. Atas peristiwa ini, muncul berbagai

protes dan demo serta dukungan moral untuk TKW asal Jawa barat tersebut.

Meski media masa telah memberitakan banyaknya pendeitaan para TKW kita,

namun tetap saja TKW Indonesia masih tidak bisa terbendung membanjiri

berbagai Negara timur tengah. Melihat banyaknya calon TKW yang terus

diberitakan dalam media masa tersebut, menegaskan bahwa rendahnya mutu hasil

pendidikan itu sebenarnya dengan mudah dapat diketahui.

Saya pernah mendapatkan pengalaman disaat saya melakukan perjalanan

untuk menunaikan Umroh ke Makkah di Saudi Arabia pada tahun 2011. Ketika

itu, saya bersama beberapa teman mengunjugi salah satu teman yang sakit di

rumah sakit. Rumah sakit tersebut, menurut penglihatan saya, ukurannya sangat

besar, sehingga menampung ratusan perawat dan dokter. Umumnya para pegawai

tersebut berasal dari India dan Phiilipina. Anehnya, tidak ada satupun di antara

mereka itu yang berasal dari Indonesia.

Melihat kenyataan itu, dalam kesempatan berdialog dengan salah satu

pegawa dirumah sakit tersebut, saya mencoba menanyakan, mengapa tidak ada di

antara pegawainya, yang berasal dari Indonesia. Saya berargumentasi, bahwa

tenaga kerja dari Indonesia lebih sesuai dengan masyarakat Saudi, karena memiliki

kesamaan agama. Pertanyaan saya tersebut dijawab dengan pertanyaan yang

menyakitkan, yaitu apakah tenaga kerja dari Indonesia mampu berbahasa Arab.

Atas jawaban itu saya bertanya balik lagi, apakah tenaga kerja dari Pilipina juga

bisa berbahasa Arab. Pertanyaan itu dijawab, bahwa orang philipina, sekalipun

tidak berbahasa Arab, mereka bisa berbahasa Inggris. Selain itu, biasanya mereka

mau belajar bahasa Arab.

Dialog sederhana di muka, lagi-lagi kiranya sudah bisa dijadikan bahan evaluasi

terhadap hasil pendidikan di tanah air ini. Jika yang dimaui oleh pemerintah adalah

gambaran umum tentang hasil pendidikan, maka tanpa ujian nasional pun

(12)

40 Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

misalnya, sebenarnya sudah ditahui, bahwa kemampuan Bahasa Inngris siswa

lulusan sekolah menengah, bahkan juga perguruan tinggi selama ini masih lemah.

Mungkin di Indonesia baru beberapa sekolah saja yang berhasil membisakan

bahasa asing bagi para siswanya. Pada umumnya masih gagal.

Apabila demikian itu halnya, maka sebenarnya yang diperlukan terhadap

pendidikan bangsa ini adalah peningkatan kualitas. Sementara ini yang dilakukan

hanyalah sebatas memperbaiki aspek yang kurang substantive dan hanya bersifat

formal. Pemerintah membuat standar pendidikan, menyelenggarakan ujian

nasional, peningkatan kualitas guru dengan meningkatkan ijazah, tanpa diikuti

oleh kualitas yang memadai dan sejenisnya. Memang, ijazah para guru berhasil

ditingkatkan, tetapi belum tentu ilmunya bertambah, karena peningkatan ijazah

tersebut juga hanya dilakukan secara formal, misalnya dengan dual mode, yang

pelaksanaan program itu hanya menargetkan selesai, bukan peningkatan kualitas

hasil pendidikan yang sebenarnya dibutuhkan.

Mengetahui hasil pendidikan yang masih rendah kualitasnya seperti itu,

mestinya pemerintah perlu segera mengambil keputusan yang bersifat mendasar,

radikal dan bahkan kalau perlu revolusioner. Misalnya untuk menyesuaikan

dengan tuntutan global, maka harus ada gerakan bersama memperbaiki

kemampuan berbahasa asing, Inggris dan Arab. Gerakan itu dijadikan tema dan

atau jargon yang menjadi gerakan besar yang diikuti oleh seluruh lembaga

pendidikan di negeri ini.

Melalui kebijakan tersebut maka ditargetkan bahwa lulusan jenjang

pendidikan sekolah menengah misalnya, harus menguasai salah satu Bahasa

Asing. Ujiannya tidak boleh dilakukan secara formal, tetapi harus dilakukan secara

sungguh-sungguh. Kalau perlu, misalnya kepala sekolah dan para gurunya pun

ikut diuji. Jika kepala sekolah dan guru tidak lulus, maka muridnya juga dianggap

tidak lulus. Kebijakan ini menjadikan lahirnya gerakan belajar bersama untuk

(13)

41 Tarbiyatuna Vol. 8 No. I Pebruari 2014

Gambaran sederhana ini kiranya bisa diperdalam, dan dijadikan sebagai format

baru ujian nasional. Bahwa dalam evaluasi itu yang diuji bukan saja muridnya,

tetapi juga kepala sekolah dan para guru-gurunya. Tingkat kualitas kepala sekolah

dan guru sebenarnya lebih tepat dijadikan tolok ukur kemajuan institusi

pendidikan yang dipimpinnya. Sebab pada hakekatnya mereka itulah yang

diharapkan akan melahirkan kualitas itu. Dengan demikian, maka akan tampak

mana institusi pendidikan yang dikelola secara serius dan atau yang hanya

berorientasi untuk memenuhi ketentuan formal, tetapi tidak menyentuh hakekat

pendidikan yang sebenarnya.

Referensi

Barker, Chris. The Sage Dictionary of Cultural Studies. London: Sage Publications Ltd.,

2004.

Barker Chris, 2001, Cultural Studies, Theory and Practices. London: Sage Publication.

Ben Agger, Teori-teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, Yogyakarta:

Kreasi Wacana, 2006

Freire P, Pedagogy of the Oppressed. New York: Praeger, 1986

Ritzer, George dan Barry Smart. Handbook Teori Sosial. Bandung: Nusa Media,

2012.

Ben Agger, 2006, Teori-teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya,

Yogyakarta: Kreasi Wacana,.

Keri Facer, Learning Future, Education technology and Social Change; Canada:

Routledge, 2011

Sindoonline.com, diakses tanggal 13 maret 2014

Stuart Hall, The hard Road to Renewel, (London:verso, 1998), hal.18-25

Ziauddin Sad dan Borin van Loon, Mengenal Cultural Studies for Biginer. Jakarta: Mizan,

Referensi

Dokumen terkait

Kolitis ulseratif adalah kondisi kronis yang tidak diketahui penyebabnya biasanya mulai pada rektum dan bagian distal kolon dan mungkin menyebar keatas dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan panjang tungkai, kekuatan otot tungkai dan lingkar paha dengan hasil ketepatan tendangan penalty dalam permainan sepakbola pada

Para wanita ini pada umumnya memiliki pendidikan tinggi sehingga mereka berpendapat bahwa pendidikan memperbesar kemampuan seseorang untuk bekerja, hal ini tentu

perbandingan dengan metode ELM dan data yang digunakan jumlah penumpang kereta api PT KAI Daop IV Semarang 3 Tias Safitri, Nurkaromah Dwidayati, dan Sugiman (2017)

40 Novia Risti VIII D Perbuatan 10 Siswa kurang dalam menjelaskan kegiatan yang dilakukan oleh tokoh Penokohan 10 Siswa hanya menyebutkan tokoh, namun tidak

Dari hasil data yang dilakukan dalam pengkajian pasien, tetapi tidak sesuai dalam teori adalah pergerakan mata, dimana dalam teori Hamid dalam Damaiyanti(2012)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan yang signifikan pada hasil belajar IPA antara siswa yang mengikuti model pembelajaran Course Review Horay

Selama melaksanakan kegiatan Kerja Praktik pada PT. Takaful Keluarga Asuransi Jiwa Syariah Cabang Banda Aceh, penulis ditempatkan pada bagian administrasi. Selama