1 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Kajian pustaka merupakan dasar dalam suatu penelitian ilmiah, karena kajian pustaka merupakan pijakan dalam membangun konstruk teoritis sebagai acuan dasar dalam membangun kerangka berpikir, dan menyusun hipotesis penelitian. Dalam bab ini akan diuraikan tentang kecemasan menghadapi pensiun dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut antara lain penyesuaian diri dan dukungan sosial keluarga.
2.1 Kecemasan Menjelang Pensiun
2.1.1 Pengertian Kecemasan
Pensiun merupakan hal yang tidak dapat dihindari oleh PNS, baik yang menduduki jabatan ataupun tidak menduduki jabatan. Pada saat pensiun berarti berakhirnya karier pada bidang pekerjaannya. Individu yang akan menghadapi pensiun dituntut untuk berperilaku dengan cara-cara baru sehingga banyak hal yang harus dipelajari kembali. Menjadi tidak mudah karena situasi baru sering terasa asing bagi individu (Santrock, 2002).
2
disertai perasaan ingin bergerak untuk lari menghindar hal yang dicemaskan (Sunden & Surette, 1998).
Anxiety (Kecemasan, kegelisahan), perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Rasa takut atau kekuatiran kronis pada tingkat yang ringan. Kekuatiran atau ketakutan yang kuat dan meluap-luap dan merupakan suatu dorongan sekunder mencakup suatu reaksi penghindaran yang dipelajari. Pada peristiwa adanya perangsang bersyarat (respon terkondisionir), biasanya pada peristiwa kejutan atau shock. (Chaplin, 2011).
Menurut Bucklew (2005), kecemasan pada orang yang menghadapi pensiun merupakan keprihatinan atau kekuatiran pada sesuatu yang tidak pasti dan tidak dapat diprediksi sebagai akibat datangnya masa pensiun. Respon kecemasan tersebut digambarkan sebagai suatu perasaan terancam disertai oleh keadaan emosi yang terganggu dan pada akhirnya akan mempengaruhi penyesuaian dirinya. Respon kecemasan pada individu yang akan pensiun berbeda-beda antara satu orang dengan orang lainnya, tetapi bisa dikatakan tidak jauh berbeda dengan reaksi kecemasan pada umumnya.
3
kondisi dimana seorang individu berhenti bekerja dari suatu pekerjaan yang biasa dilakukan.
Lebih lanjut berdasarkan pandangan psikologi perkembangan, pensiun dapat dijelaskan sebagai suatu masa transisi ke pola hidup baru, ataupun merupakan akhir pola hidup (Schawrz dalam Hurlock, 1996). Transisi ini meliputi perubahan peran dalam lingkungan sosial, perubahan minat, nilai dan perubahan dalam segenap aspek kehidupan seseorang. Kecemasan menghadapi pensiun dapat dilihat sebagai perasaan tidak enak, ketakutan atau khawatir yang mungkin berhubungan dengan gejala fisik seperti detak jantung yang cepat, perasaan ingin pingsan dan gemetar; itu
juga bisa menjadi reaksi normal terhadap stres atau khawatir, atau kadang-kadang bagian dari masalah yang lebih besar (Oluseyi dan Olufemi, 2015).
4 2.1.2 Teori Kecemasan
Munculnya gangguan kecemasan yang dialami oleh kebanyakan orang telah membuat beberapa ahli memunculkan beberapa teori yang akan menjelaskan tentang kecemasan.
Kecemasan sendiri mempunyai rentang yang luas dan normal sampai level yang moderat, misalnya pertandingan sepak bola, ujian, dan wawancara untuk masuk kerja mempunyai tingkat kecemasan yang berbeda. Kecemasan normal sebenarnya adalah sesuatu yang sehat karena merupakan tanda bahaya tentang keadaan jiwa dan tubuh manusia supaya dapat mempertahankan diri. Kecemasan juga dapat bersifat konstruktif,
misalnya seorang pelajar yang akan menghadapi ujian, merasa cemas maka ia akan belajar dengan giat supaya kecemasannya berkurang. Perbedaan intensitas kecemasan tergantung pada keseriusan ancaman dan efektivitas dari operasi-operasi keamanan yang dimiliki seseorang. Apabila seseorang tidak siap menghadapi ancaman, maka perasaan tertekan dan tidak berdaya akan muncul.
5
Menurut pendekatan psikoanalisis, kecemasan merupakan turunan (derivate) pertama dari konflik. Akan timbul bila motif-motif yang saling bertentangan tidak dimengerti dan tidak disadari oleh penderita. Kecemasan ini pada taraf faal terdiri dari proses-proses faal yang tidak terorganisasi, dimana ada dominasi susunan saraf otonom, misal jantung berdebar-debar, nafas sesak dan sebagainya. Respon kecemasan tersebut digambarkan sebagai suatu perasaan terancam yang disertai oleh keadaan emosi yang terganggu dan pada akhirnya akan mempengaruhi penyesuaian diri. Respon kecemasan pada individu yang akan pensiun berbeda-beda, tetapi bisa dikatakan tidak jauh berbeda dengan reaksi pada umumnya.
Kecemasan menghadapi pensiun dapat diartikan suatu keadaan atau perasaan tidak menyenangkan yang timbul pada individu karena khawatir, bingung, tidak pasti akan masa depannya, dan belum siap menerima kenyataan akan memasuki masa pensiun dengan segala akibatnya baik secara psikologis maupun secara fisiologis (Zung, 1971). Maramis (1995) menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu ketegangan, rasa tidak aman, kekhawatiran, yang timbul karena dirasakan akan mengalami kejadian yang tidak menyenangkan. Kecemasan menghadapi pensiun sebagai perasaan tidak enak, ketakutan atau khawatir yang mungkin berhubungan dengan gejala fisik seperti detak jantung yang cepat, perasaan ingin pingsan dan gemetar; itu juga bisa menjadi reaksi normal terhadap stres atau khawatir, atau kadang-kadang bagian dari masalah yang lebih besar (Oluseyi dan Olufemi, 2015).
6
Pengalaman bahaya dan timbulnya kecemasan mungkin dari sifat pembawaan, dalam arti kata bahwa seseorang mewarisi kecenderungan untuk menjadi takut kalau ia berada di dekat dengan benda- benda tertentu atau keadaan tertentu dari lingkungannya. contohnya : seorang anak yang takut akan kegelapan atau seseorang yang cemas akan serangga.
Kecemasan Neurotis (saraf), kecemasan ini timbul karena pengamatan tentang bahaya dari naluriah. Kecemasan ini kemudian dibagi menjadi 3 bagian : Pertama, kecemasan yang timbul karena penyesuaian diri dengan lingkungan. Kecemasan semacam ini menjadi sifat dari seseorang yang gelisah, yang selalu mengira bahwa sesuatu yang hebat akan terjadi.
Kedua, bentuk ketakutan yang tegang dan irasional (phobia). Sifat khusus dari phobia adalah intensitif ketakutan melebihi proporsi yang sebenarnya dari objek yang ditakutkannya. Ketiga, reaksi gugup atau setengah gugup, reaksi ini munculnya secara tiba-tiba tanpa adanya provokasi yang tegas.
Kecemasan Moral, disebabkan karena pribadi seseorang. Tiap pribadi memiliki bermacam-macam emosi antar lain: iri, benci, dendam, dengki, marah, gelisah, dan lain lain. Sifat-sifat seperti itu mengakibatkan manusia akan merasa khawatir, takut, cemas, gelisah dan putus asa.
2.1.3 Aspek-aspek Kecemasan
David J. Harris (1983) menjelaskan aspek-aspek kecemasan
menghadapi pensiun, antara lain :
1. Kemampuan untuk mengatasi peristiwa sebelumnya.
7 2. Kualitas dukungan keluarga.
Keberadaan anggota keluarga yang selalu mendukung setiap hal yang dilakukan dan komunikasi menjadi hal sangat penting dalam keluarga.
3. Penyakit utama.
Setiap individu akan mengalami kecemasan apabila ada penyakit yang dideritanya sebelum pensiun sebelum pada akhirnya setelah pensiun, penyakit yang dideritanya mengubah gaya hidup mereka. 4. Waktu dan model pensiun.
Kebanyakan orang akan menerima pensiun jika hal itu terjadi pada
usia yang diharapkan dan dengan cara yang dapat diterimanya, sehingga persiapan yang dilakukan akan mengurangi kecemasan mereka.
5. Keadaan Keuangan
Bagi banyak orang keamanan finansial akan membantu mereka pada hari tua mereka, sehingga sebelum pensiun mereka akan menyisihkan sebagaian penghasilan mereka untuk tabungan dihari tua dan hal ini menjadi sangat penting karena mereka akan menghadapi pensiun tanpa rasa cemas yang berlebihan.
2.1.4 Gejala-gejala Kecemasan
Daradjat (1985) menyatakan bahwa gejala kecemasan sering ditandai dengan munculnya gejala-gejala baik yang bersifat fisik maupun mental.
8
2. Bersifat psikologis: adanya rasa takut, perasaan akan ditimpa bahaya atau kecelakaan, tidak mampu memusatkan perhatian, tidak berdaya/ rasa rendah diri, tidak tentram, ingin lari dari kenyataan hidup dan sebagainya.
Kartono (2001) menjelaskan orang yang mengalami kecemasan mempunyai gejala fisik dan psikis antara lain : gemetar, keringat dingin, gangguan perut, dan rasa mual serta muntah-muntah, mulut menjadi kering, sesak nafas, percepatan nadi dan detak jantung. Selain itu juga lemas, apatis, depresif, semuanya “serba salah”; tidak pernah merasa puas dan berputus asa. Atau tanda-tanda sebaliknya, yaitu menjadi mudah rebut, tidak toleran, cepat tersinggung, gelisah, eksplosif meledak-ledak, agresif dan suka menyerang baik dengan kata-kata atau ucapan maupun dengan benda-benda, bahkan tidak jarang menjadi beringas.
Kaplan dan Sanddock (1997) menguraikan beberapa gejala yang menimbulkan kecemasan, diantaranya :
1. Gejala Fisik.
Meliputi gemetar, nyeri punggung dan kepala, ketegangan otot, nafas pendek, mudah lelah, sering kaget, hiperaktivitas autonom (wajah merah dan pucat, tangan terasa dingin, berpeluh, diare, mulut kering, sering kencing), susah menelan.
2. Gejala Psikologis.
9
Menurut PPDGJ III (2002) bahwa gejala-gejala secara primer dari
anxietas mencakup antara lain:
1. Rasa khawatir akan nasib buruk, merasa seperti diujung tanduk, sulit konsentrasi.
2. Ketegangan motorik (gelisah, gemetar, kepala sakit dan tidak dapat santai).
3. Overaktifitas motorik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-debar, sesak nafas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering dan sebagainya).
Oluseyi dan Olufemi (2015), menjelaskan gejala-gejala kecemasan menjelang pensiun, yaitu :
1. Rasa Gugup atau takut menghadapi kenyataan terhadap berbagai perubahan yang akan terjadi.
2. Ketidakpastian dengan hal-hal yang akan terjadi setelah pensiun. Seperti apa yang akan dilakukan setelah pensiun.
3. Kemudahan yang didapatkan ketika mempersiapkan pensiun. Seperti menjadi lebih tenang dan menikmati hari-hari menjelang pensiun.
4. Motivasi yang berasal dari dalam diri maupun luar individu. Seperti dukungan dari orang-orang terdekat (keluarga dan rekan kerja).
5. Keyakinan terhadap masa depan (masa setelah pensiun).
10
Dari berbagai gejala yang dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa gejala kecemasan adalah gejala fisik dan gejala psikis. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan gejala yang dikemukan oleh Oluseyi dan Olufemi (2015) yaitu : Rasa Gugup, Ketidakpastian, Kemudahan, Motivasi, Keyakinan, dan Semangat.
2.1.5 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kecemasan Menjelang
Pensiun
Menurut Priest (1992), yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah sebagai berikut :
1. Keadaan pribadi individu.
Situasi pada diri individu yang dirasakan belum siap untuk dihadapi seperti kehamilan, menuju usia tua, kenaikan pangkat dan masalah kesehatan yang pada akhirnya akan menjadi suatu konflik dalam diri individu sehingga dapat menimbulkan kecemasan. 2. Tingkat pendidikan.
Kondisi kecemasan yang dialami individu juga dipengaruhi oleh perbedaan tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikannya akan semakin baik pemecahan terhadap masalah yang dihadapi.
3. Pengalaman tidak menyenangkan.
Suatu pengalaman yang menyulitkan ditimbulkan oleh ketegangan-ketegangan dalam alat-alat intern dari tubuh dapat menyebabkan kecemasan. Ketegangan-ketegangan tersebut akibat dari dorongandorongan dalam dan luar tubuh.
11
Dukungan sosial dari orang-orang sekitar individu yaitu orang tua, kakak, adik, kekasih, teman dekat, saudara dan masyarakat. Dukungan yang baik akan mengurangi kecemasan seseorang.
Konsep utama Horney (dalam Hall & Lindzey, 1993) tentang kecemasan dasar yang dirumuskan sebagai perasaan yang timbul karena terisolasi dan tidak berdaya dalam dunia yang secara potensial bermusuhan. Sejumlah faktor yang merugikan dalam lingkungan dapat menyebabkan perasaan tidak aman. Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kecemasan menghadapi masa pensiun yaitu :
1. Faktor eksternal yang meliputi : lingkungan sekitar individu, persaingan antar individu, penyesuaian diri terhadap lingkungan, pengalaman dengan teman.
2. Faktor internal meliputi : faktor kepribadian, dukungan dari keluarga, dukungan dari teman- teman, faktor religi, emosi yang di tekan.
12 2.2 Penyesuaian Diri
2.2.1 Pengertian Penyesuaian Diri
Schneiders (1964) membahas pengertian penyesuaian diri dengan meninjau tiga sudut pandang, yaitu : penyesuaian diri sebagai adaptasi (adaptations) dimana definisi penyesuain diri ini pada umumnya lebih mengarah pada penyesuian diri dalam arti fisik, fisiologis atau biologis. Kedua, penyesuaian diri sebagai bentuk komformitas (comformity) dimana penyesuaian diri dipandang sebagai sebuah proses yang menuntut individu untuk dapat melakukan komformitas terhadap suatu norma, individu dituntut untuk menghindarkan diri dari penyimpangan perilaku
baik secara moral, sosial maupun emosional. Ketiga, penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery) dimana penyesuaian diri dimaknai sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan realitas berdasarkan cara-cara yang baik, akurat, sehat dan mampu bekerja sama dengan orang lain secara efektif dan efisien, serta mampu memanipulasi faktor-faktor lingkungan sehingga penyesuaian diri dapat berlangsung dengan baik.
Haber dan Runyon (1984) mengemukakan bahwa penyesuaian diri dapat dipandang sebagai keadaan (state) atau sebagai proses. Penyesuaian diri sebagai keadaan berarti bahwa penyesuaian diri merupakan suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu.
Calhoun (1990) menyatakan Penyesuaian Diri didefenisikan sebagai interaksi yang kontinyu antar individu dengan diri individu sendiri, dengan orang lain dan dengan dunia diluar diri kita. Ketiga faktor ini secara konstan memiliki pengaruh yang bersifat timbal balik.
13
kendala dalam penyesuaian diri, agar dapat diterima oleh lingkungan ada dua cara yang dapat dilakukan, yaitu dengan mengubah dirinya sesuai dengan keadaan (keinginan) diri (aloplastis). Jadi penyesuaian diri ada
yang bersifat “pasif” dimana kegiatan kita ditentukan oleh lingkungan
adan ada yang bersifat “aktif” dimana individu mempengaruhi lingkungan. Jadi individu dikatakan berhasil menyesuaikan diri pada lingkungannya jika individu mampu mengubah dirinya, mempengaruhi atau mengubah kelakuan individu yang lainnya atau sebaliknya. Sebagai contoh individu yang menyesuaikan diri secara autoplastis dengan lingkungan, misalnya : seorang PNS yang baru masuk ke dalam sebuah posisi pekerjaan yang
baru. Dalam lingkungan pekerjaannya yang baru, PNS tersebut dituntut untuk dapat menyesuaikan diri antara kondisi dirinya dengan kondisi lingkungan kerjanya.
Lazarus (1991) berpendapat bahwa penyesuaian diri termasuk reaksi seseorang karena adanya tuntutan yang dibebankan pada dirinya. Hal ini mengandung arti bahwa penyesuaian diri merupakan kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk bereaksi, karena adanya dorongan dan tuntutan dalam memenuhi kebutuhan, baik yang berasal dari dalam maupun luar dirinya untuk mencapai keseimbangan sehingga melalui pemenuhan kebutuhan tersebut dapat mencapai ketentraman secara batin maupun dalam hubungan dengan lingkungan sekitar.
Wells, dkk (2006) menjelaskan penyesuaian diri menjelang pensiun sebagai suatu proses yang terjadi pada seorang individu untuk mencapai keseimbangan antara pensiunan dan interaksinya dengan lingkungan.
14
untuk membangun hubungan yang baik antar individu dan juga lingkungannya. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pengertian penyesuaian diri yang dikemukan oleh Wells, dkk (2006). Penyesuaian diri menjelang pensiun adalah suatu proses yang terjadi pada seorang individu untuk mencapai keseimbangan antara pensiunan dan interaksinya dengan lingkungan.
2.2.2 Teori Penyesuaian Diri
Masa pensiun adalah salah satu masa terpenting dalam transisi hidup orang dewasa. Perubahan dari aktif bekerja secara formal dan
berhenti karena peraturan batasan usia tentu menimbulkan ketidak-nyamanan bagi individu karena hal ini berarti bahwa sebagian dari identitas dirinya telah hilang. Hal tersebut menjadi tantangan bagi pensiunan untuk terus memelihara kelangsungan hidupnya (Turner & Helms 1986; Crego, dkk. 2008). Saat menjalani perubahan tersebut individu harus memiliki keyakinan yang baik untuk mampu mengarahkannya pada perubahan yang positif. Haber dan Runyon (1984) menjelaskan bahwa penyesuaian diri merupakan proses yang terus berlangsung dalam kehidupan individu. Situasi dalam kehidupan selalu berubah. Individu mengubah tujuan dalam hidupnya seiring dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Berdasarkan konsep penyesuaian diri sebagai proses, penyesuaian diri yang efektif dapat diukur dengan mengetahui bagaimana kemampuan individu menghadapi lingkungan yang senantiasa berubah.
15
lingkungan terdekat (van Solinge dan Henkens 2005). Karakteristik individu yang lekat dengan diri adalah jenis kelamin, usia, lama pendidikan, pendapatan pensiun yang dihitung dalam rupiah per bulan, dan status perkawinan. Karakteristik keluarga pensiun yang diindikasi berpengaruh dalam proses ini yaitu usia pasangan jika masih ada atau masih bersama, lama pendidikan pasangan, jumlah anggota keluarga, pendapatan keluarga, jumlah orang yang tinggal di rumah bersama pensiunan, dan jumlah anggota keluarga yang masih ditanggung oleh pensiunan (Kim dan Moen 2002; van Solinge dan Henkens 2005).
2.2.3 Aspek-aspek Penyesuaian Diri
Menurut Schneiders (1964), penyesuaian diri yang baik adalah individu yang dapat memberikan respon yang matang, bermanfaat, efisien dan memuaskan. Penyesuaian diri yang normal dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu :
1. Mampu mengontrol emosionalitas yang berlebihan.
Penyesuaian diri yang normal dapat ditandai dengan tidak adanya emosi yang relatif berlebihan atau tidak terdapat gangguan emosi yang merusak. Individu yang mampu menanggapi situasi atau masalah yang dihadapainya dengan cara yang normal akan merasa tenang dan tidak panik sehingga dapat menentukan penyelesaian masalah yang dihadapinya.
2. Mampu mengatasi mekanisme psikologis.
16
kompensasi. Individu mampu menghadapi masalah dengan pertimbangan yang rasional dan mengarah langsung pada masalah. 3. Mampu mengatasi perasaan frustasi pribadi.
Adanya perasaan frustasi akan membuat individu sulit atau bahkan tidak mungkin bereaksi secara normal terhadap situasi atau masalah yang dihadapinya. Individu harus mampu menghadapi masalah secara wajar, tidak menjadi cemas dan frustasi.
4. Kemampuan untuk belajar.
Mampu untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang membantu untuk management emosi, sehingga pengetahuan dapat digunakan
untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. 5. Kemampuan memanfaatkan pengalaman.
Adanya kemampuan individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman merupakan hal yang penting bagi penyesuaian diri yang normal. Dalam menghadapi masalah, individu harus mampu membandingkan pengalaman diri sendiri dengan pengalaman orang lain sehingga pengalaman-pengalaman yang diperoleh dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapai.
6. Memiliki sikap yang realistis dan objektif.
Karakter ini berhubungan erat dengan orientasi seseorang terhadap realitas yang dihadapinya. Indivdu mampu mengatasi masalah dengan segera, apa adanya dan tidak ditunda-tunda.
Menurut Haber dan Runyon (1984), aspek-aspek penyesuaian diri yaitu : 1. Persepsi akurat terhadap realita.
17
lebih merupakan keinginan individu. Penyesuaian diri individu dianggap baik apabila mampu untuk mempersepsikan dirinya sesuai dengan realita. Selain itu, ia juga mempunyai tujuan yang realistis, mampu memodifikasi tujuan tersebut apabila situasi dan kondisi lingkungan menuntutnya untuk itu, serta menyadari konsekuensi dari tindakan yang diambil dan mengarahkan tingkah laku sesuai dengan konsekuensi tersebut.
2. Kemampuan mengatasi stres dan kecemasan.
Halangan yang dialami individu disetiap proses pemenuhan kebutuhan atau pencapaian tujuan, dapat menimbulkan kegelisahan
dan stres. Penyesuaian diri dikatakan baik apabila mampu mengatasi halangan, masalah, dan konflik yang timbul dengan baik.
3. Citra diri yang positif.
Individu harus mempunyai citra diri yang positif dengan tetap menyadari sisi negatif dari dirinya, dimana individu menyeimbangkan persepsinya dengan persepsi orang lain.
4. Kemampuan mengekpresikan perasaan.
Individu yang sehat secara emosional mampu untuk merasakan dan mengekspresikan seluruh emosinya. Pengekspresian emosi dilakukan secara realistis, terkendali dan konstruktif, serta tetap menjaga keseimbangan antara kontrol ekspresi yang berlebihan dengan kontrol ekspresi yang kurang.
5. Mempunyai hubungan interpersonal yang baik.
18
kadar keintiman yang layak dalam hubungan sosial, dan menyadari bahwa suatu hubungan tidaklah selalu mulus.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan aspek-aspek penyesuaian diri yang dikemukakan oleh Haber dan Runyon (1984) karena aspek-aspek tersebut digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Wells, dkk (2006), yaitu : Persepsi akurat terhadap realita, kemampuan mengatasi stres dan kecemasan, citra diri yang positif, kemampuan mengekpresikan perasaan dan mempunyai hubungan interpersonal yang baik.
2.3 Dukungan Sosial Keluarga
2.3.1 Pengertian Dukungan Sosial
Caplan (1974) menyatakan tentang sistem dukungan : membantu individu memobilisasi sumber daya psikologi serta mengatasi beban psikologi dan beban emosinal individu, berbagai cara-cara, memberi bantuan ekstra seperti uang, bahan-bahan, peralatan, ketrampilan dan petunjuk kognitif untuk meningkatkan cara penanggulangan keadaan kepada individu yang didukung. Dukungan sosial merupakan suatu ketentuan yang dapat diperoleh ketika kita membangun hubungan dengan orang lain, dalam hal ini anggota keluarga (Weiss, 1974).
Sarafino (1994) menggambarkan dukungan sosial sebagai suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain maupun kelompok. Malecki dan Demary (2000)
menggambarkan dukungan sosial sebagai “dukungan umum atau perilaku
19
pertolongan yang diterima individu lain dari kelompoknya. Informasi tersebut diperoleh dari orang tua (keluarga), guru, teman sebaya, kelompok atau organisasi.
Berdasarkan beberapa pendapat dalam uraian definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga adalah suatu bentuk dukungan atau bantuan yang didapatkan dari individu lain (keluarga, teman) maupun organisasi seperti perhatian dan penghargaan. Untuk penelitian ini penulis menggunakan definisi yang diungkapkan oleh Weiss (1974), dukungan sosial merupakan suatu ketentuan yang dapat diperoleh ketika kita membangun hubungan dengan orang lain, dalam hal ini
anggota keluarga.
2.3.2 Teori Dukungan Sosial Keluarga
Weiss (1974) mengembangkan sebuah teori tentang penyedian dukungan sosial. Weiss berpendapat bahwa individu memerlukan enam hal untuk mempertahankan kesejahteraan dan menghindarkan diri dari kesepian. Dukungan sosial dianggap memberi manfaat bagi orang yang merasa tidak diperdulikan, sehingga orang-orang tersebut tidak merasa diisolasi secara sosial.
Dukungan sosial diperoleh dari hasil interaksi individu dengan orang lain dalam lingkungan sosialnya, dan bisa berasal dari siapa saja, keluarga, pasangan (suami/istri), teman, maupun rekan kerja. Kenyamanan psikis maupun emosional yang diterima individu dari dukungan sosial akan melindungi individu dari konsekuensi stres yang menimpanya (Taylor, 2003).
20
lain. Individu yang menerima dukungan sosial akan merasa dirinya dicintai, dihargai, berharga, dan merupakan bagian dari lingkungan sosialnya.
Shi dan Wong (2014) menjelaskan dukungan sosial keluarga menjadi salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi proses persiapan pensiun. Ada 3 hal yang dijelaskan oleh Shi dan Wong, antara lain : pertama, anggota keluarga memiliki keterlibatan penting dalam persiapan pensiun. Sebagai contoh, pasangan akan mengkoordinasikan keputusan pensiun dan meminta untuk membantu mempersiapkan segalanya termasuk investasi apa yang akan digunakan. Kedua, keluarga
dapat berfungsi sebagai bagian penting untuk pengambilan keputusan pensiun, sebagai contoh, dampak dari status perkawinan pada proses pensiun. Pensiunan yang memiliki pasangan bekerja kurang mungkin untuk mengambil pensiun dini. Ketiga, kebutuhan anggota keluarga juga dapat mempengaruhi proses pensiun. Penelitian menunjukkan bahwa beberapa orang tua mungkin menunda pensiun sampai anak-anak mereka tidak lagi tergantung pada mereka, sedangkan yang lain mungkin akan pensiun dini untuk merawat anak-anak atau cucu mereka.
2.3.3 Aspek-aspek Dukungan Sosial Keluarga
Weiss (1974) mengemukakan adanya 6 aspek dukungan sosial antara lain:
1. Ketergantungan yang dapat diandalkan (Reliable Alliance)
21
karena individu menyadari ada individu lain yang dapat diandalkan untuk menolongnya bila individu mengalami masalah dan kesulitan.
2. Bimbingan (Guidance)
Dukungan sosial ini berupa nasehat, saran dan informasi yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan mengatasi permasalahan yang dihadapi. Dukungan ini juga dapat berupa feedback (umpan balik) atas sesuatu yang telah dilakukan individu.
3. Pengakuan Positif (Reassurance of Worth)
Dukungan sosial ini berbentuk pengakuan dan penghargaan
terhadap kemampuan dan kualitas individu. Dukungan ini akan membuat individu merasa dirinya diterima dan dihargai.
4. Kedekatan Emosional (Emotional Attachment)
Dukungan sosial ini merupakan pengekspresian dari kasih sayang, cinta, perhatian dan kepercayaan yang diterima individu, yang dapat memberikan rasa aman kepada individu yang menerimanya. 5. Integrasi Sosial (Social Intergration)
Dukungan sosial ini memungkinkan individu untuk memperoleh perasaan memiliki suatu kelompok yang memungkinkannya untuk membagi minat, perhatian serta melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama. Dukungan semacam ini memungkinkan individu mendapatkan rasa aman, nyaman serta merasa memiliki dan dimiliki kelompok yang memiliki minat yang sama.
22
memungkinkan individu untuk memperoleh perasaan bahwa orang lain tergantung padanya untuk memperoleh kesejahteraan.
Menurut Sarfino (1994) terdapat beberapa aspek yang terlibat didalam pemberian dukungan sosial, antara lain :
1. Aspek Emosional. Aspek ini melibatkan kelekatan, jaminan dan keinginan untuk percaya pada orang lain, sehingga seseorang menjadi yakin bahwa orang lain tersebut mampu memberikan cinta dan kasih sayang.
2. Aspek Instrumental. Aspek ini meliputi penyediaan sarana untuk
mempermudah menolong orang lain, meliputi peralatan, perlengkapan, dan sarana pendukung yang lain termasuk didalammnya memberikan peluang waktu.
3. Aspek Informatif. Meliputi pemberian informasi untuk mengatasi masalah pribadi. Terdiri dari pemberian nasehat, pengarahan dan keterangan lain yang dibutuhkan.
4. Aspek penilaian. Aspek ini terdiri atas dukungan peran sosial yang meliputi umpan balik, pertandingan sosial dan afirmasi (persetujuan).
House (dalam Glanz dkk,. 2008) menyatakan bahwa aspek dukungan sosial mencakup :
23
2. Dukungan penilaian, meliputi ketersediaan informasi yang berguna dalam rangka evaluasi diri. Dengan kata lain, memberikan umpan balik dan penguatan atau penegasan.
3. Dukungan informasi, meliputi ketersediaan pengetahuan yang berguna dalam menyelesaikan masalah, seperti menyediakan informasi mengenai sumber-sumber dan layanan komunitas atau menyediakan nasehat dan tuntutan mengenai suatu aksi atau hal-hal tertentu untuk menyelesaikan masalah.
4. Dukungan instrumental, melibatkan bantuan nyata atau praktis yang secara langsung dapat membantu seseorang yang
membutuhkan.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan aspek-aspek dukungan sosial yang dikemukakan oleh Weiss (1974) yaitu, ketergantungan yang dapat diandalkan (reliable alliance), bimbingan (Guidance), pengakuan positif (Reassurance of Worth), kedekatan emosional (Emotional Attachment), integrasi sosial (Social Intergration) dan kesempatan untuk mengasuh (Opportunity to Provide Nurturance).
2.4 Penelitian-penelitian Sebelumnya
24
perubahan yang terjadi. Menghadapi masa ini, banyak orang mengalami kecemasan.
Kepada 128 karyawan yang mengalami pemutusan kerja, Stanggier dan Rose (2000) menemukan bahwa dukungan sosial dan penyesuaian diri memberikan pengaruh yang kuat terhadap kecemasan, dengan nilai F hitung = 3,002 dan taraf signifikan sebesar 0,000<0,05. Churin’iyn (2016) dalam penelitiannya yang dilakukan kepada 35 orang pegawai Universitas Negeri Surabaya yang berusia 55-60 tahun menunjukan nilai F hitung sebesar 4,031 dengan signifikan sebesar 0,027<0,05, menunjukkan bahwa secara bersama-sama penyesuaian diri dan dukungan sosial mempunyai
pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap kecemasan menghadapi masa pensiun pegawai Universitas Negeri Surabaya. Nilai R Square sebesar 0,201 menunjukkan bahwa variabel penyesuaian diri dan dukungan sosial dapat menjelaskan sebesar 20,1% terhadap variabel kecemasan menghadapi masa pesiun dan sisanya sebesar 79,9% dijelaskan oleh variabel lain diluar model atau faktor lain yang dapat mempengaruhi kecemasan menghadapi masa pesiun pegawai Universitas Negeri Surabaya.
25
sedangkan sebanyak 58,7% dipengaruhi oleh faktor lain. Lydiani (2013) dalam penelitiannya terhadap 52 orang PNS Esselon IV Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dengan menggunakan korelasi product moment menunjukkan hasil analisis data rxy = -0,464 dengan taraf signifikan p = 0,001 (p<0.005) yang artinya ada hubungan yang negatif signifikan antara penyesuaian diri dengan kecemasan menghadapi pensiun.
Penelitian Summerfeldt, dkk (2006) terhadap 267 responden diperoleh koefisien korelasi 0,021 dengan p<α (0,05) menjelaskan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan yang negatif signifikan, dimana
dengan dukungan sosial yang tinggi maka tingkat kecemasan menjadi rendah. Sumbangan efektif dukungan sosial terhadap kecemasan sebesar 63,27% dan 36,73% dipengaruhi oleh faktor lain. Imama (2011) dalam penelitiannya yang dilakukan kepada 53 reponden laki-laki dan 32 responden perempuan, diperoleh koefisien korelasi -0,386 dengan demikian p<α (0,05) menyebutkan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan yang signifikan terhadap kecemasan ketika memasuki masa pensiun, yang berarti bahwa semakin besar dukungan sosial yang dimiliki individu maka kecemasan yang dialami ketika memasuki masa pensiun akan menurun.
26
merupakan dukungan paling utama yang dibutuhkan PNS menjelang masa pensiun yaitu dalam bentuk dukungan emosional dan dukungan informasi. Selain itu, persiapan-persiapan membutuhkan dukungan sosial pada PNS menjelang masa pensiun meliputi persiapan keuangan, kesehatan atau kebugaran, penyesuaian peran, kegiatan waktu luang, serta asuransi kesehatan.
2.5 Dinamika Kaitan Antar Variabel
Kecemasan merupakan sikap atau respon yang umum terjadi dari setiap individu apabila diperhadapkan pada situasi tertentu yang
mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup.
House (dalam Glanz, 2008) menjelaskan bahwa penyesuaian diri individu pada masa pensiun dapat dipengaruhi oleh faktor individu tersebut maupun sosial khususnya keluarga yang ikut mempengaruhi keberhasilan individu dalam menghadapi segala perubahan setelah tidak lagi bekerja. Maka individu sangat membutuhkan dukungan sosial yang dapat diartikan sebagai bentuk hubungan sosial yang bersifat menolong dengan melibatkan aspek perhatian, emosi, informasi, bantuan instrumen dan penilaian. Keberhasilan individu dalam menyesuaikan diri terhadap keadaan yang baru setelah pensiun adalah bagian dari dukungan sosial terdekat yaitu keluarga sehingga perubahan-perubahan yang terjadi akan dapat dilewati tanpa rasa cemas.
27
(pensiunan) dan interaksinya dengan lingkungan (Wells, dkk, 2006). Dengan demikian setiap perilaku yang dilakukan individu untuk mencapai keseimbangan dipengaruhi oleh penyesuaian dirinya terhadap suatu kondisi sehingga berdasarkan kajian dan hasil penelitian yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, penulis berasumsi bahwa penyesuaian diri memiliki hubungan yang negatif dan signifikan dengan kecemasan PNS menghadapi pensiun. Hal ini berarti semakin tinggi penyesuaian diri PNS, semakin rendah tingkat kecemasan mereka menghadapi pensiun. Dengan adanya kemampuan menyesuaikan diri yang baik maka individu tidak akan mengalami kecemasan dalam menghadapi
pensiun. Secara umum apabila individu dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan maka individu tersebut dikatakan memiliki penyesuaian diri yang baik (well adjusment). Penyesuaian diri yang baik antara lain ditandai apabila individu dapat menerima keterbatasan yang tidak dapat diubah, tetapi tetap berusaha memodifikasi keterbatasan itu seoptimal mungkin. Namun sebaliknya, apabila individu tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan perubahan yang terjadi maka individu dikatakan memiliki penyesuaian diri yang buruk (poor adjusment). Penyesuaian diri yang buruk antara lain ditandai apabila individu menerima kenyataan secara pasif dan tidak melakukan usaha apapun untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Haber dan Runyon, 1984).
28
setiap individu membutuhkan infomasi dari orang lain untuk proses penyesuaian diri. Dukungan sosial keluarga memberikan pengaruh yang cukup kuat kepada PNS yang akan menghadapi pensiun untuk mencegah kondisi cemas yang berlebihan. Melalui dukungan sosial tersebut, individu bisa merasakan adanya kelekatan, perasaan memilki, penghargaan serta adanya ikatan yang dapat dipercaya dapat memberikan bantuan dalam berbagai keadaan (Weiss, 1974). Sekarsari dan Susilawati (2014) dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa PNS yang akan memasuki masa pensiun membutuhkan dukungan baik dari keluarga, rekan kerja, serta instansi. Dukungan yang berasal dari keluarga merupakan dukungan
paling utama yang dibutuhkan PNS menjelang masa pensiun yaitu dalam bentuk dukungan emosional dan dukungan informasi. Selain itu, persiapan-persiapan membutuhkan dukungan sosial pada PNS menjelang masa pensiun meliputi persiapan keuangan, kesehatan atau kebugaran, penyesuaian peran, kegiatan waktu luang, serta asuransi kesehatan.
29 2.6 Model Penelitian
Gambar 2.1
Model Penelitian
2.7 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya dan model penelitian yang ada, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :
Terdapat pengaruh penyesuaian diri dan dukungan sosial keluarga secara simultan terhadap kecemasan menjelang pensiun PNS Pemerintah Kota Ambon dengan jabatan struktural esselon II, III dan IV.
Penyesuaian Diri (X1)
Dukungan Sosial Keluarga
(X2)
Kecemasan Menjelang