• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori Keagenan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori Keagenan"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

Sebuah perusahaan dalam menjalankan kegiatannya umumnya melibatkan sebuah perjanjian ataupun dalam bahasa bisnisnya adalah kontrak dan juga kerjasama. Kerja sama dan kontrak ini dilakukan dengan melibatkan pihak lain seperti investor, manajer, pegawai, supplier, penyedia modal, regulator atau pemerintah dimana dipastikan kerjasama akan

saling memberikan keuntungan untuk masing–masing pihak yang terlibat.

Dengan adanya sebuah kerjasama dan kontrak yang melibatkan dua pihak atau lebih menempatkan salah satu pihak sebagai pemilik sumber daya (principal) dan pihak lainnya sebagai pengelola sumber daya (agent). Dalam melakukan kerjasama pihak agent ditugaskan oleh pihak principal untuk mengelola sumber daya dengan seefisien mungkin. Dalam agency theory tujuan principal menunjuk agent sebagai pelaksana adalah agar perusahaan dapat memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin dengan biaya yang seefisien mungkin (Jensen dan Meckling, 1976). Hal ini diharapkan bisa terwujud karena agent yang ditunjuk umumnya merupakan tenaga-tenaga yang profesional sehingga memahami apa yang menjadi tugasnya sebagai wakil dari principal.

Scott (2003) menyatakan terdapat dua jenis kontrak yang cukup penting berkaitan dengan hubungan pihak principal – agent tersebut yaitu Lending Contract dan Employment Contract. Lending Contract merupakan hubungan principal-agent dengan

kreditur sebagai pihak principal dan manajer sebagai pihak agent dimana dalam Lending Contract pihak manajer harus mengelola dana dari pihak kreditur dengan baik agar tidak

(2)

dengan manajer perusahaan sebagai pihak agent yang disewa pemegang saham untuk mengoperasikan perusahaan.

Dalam hubungan principal–agent ini tidak lepas dari timbulnya suatu konflik yang disebabkan oleh situasi tertentu. Situasi yang dapat menyulut terjadinya konflik tersebut dapat berupa perbedaan kepentingan antara pihak principal dengan pihak agent dan juga karena asimetris informasi. Asimetris informasi dapat terjadi akibat adanya pemisahan fungsi pengelola dengan fungsi kepemilikan dimana menyebabkan principal mengalami kesulitan untuk memastikan bahwa manajer benar-benar telah berusaha dan bekerja untuk dan atas nama principal (moral hazard), dan juga disebabkan oleh adanya adverse selection yaitu manajemen sebagai pengelola perusahaan memiliki informasi yang lebih banyak daripada pihak lain. Dengan adanya situasi tersebut maka manajer yang memiliki kepentingan yang berbeda dengan principal akan menggunakan kesempatan ini untuk melakukan hal-hal yang bisa memaksimumkan kepentingannya, bukan kepentingan principal.

Pada akhirnya hal tersebut menimbulkan suatu masalah yang biasa disebut dengan Agency problem. Agency problem tidak hanya terjadi pada pihak principal dan agent tapi

juga dapat terjadi antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas pada perusahaan publik. Hal ini disebabkan karena kepemilikan perusahaan-perusahaan tersebut sebagian besar dikendalikan oleh kepemilikan keluarga.

(3)

Agency problem menimbulkan agency cost dimana menurut Jensen dan Meckling

(2003), agency cost adalah jumlah seluruh biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan monitoring cost, bonding cost serta residual loss. Monitoring cost adalah biaya yang

ditanggung oleh principal untuk memonitor perilaku agent. Bonding cost merupakan biaya yang ditanggung oleh agent, dengan beban principal (yaitu laba menurun), untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agent akan bertindak untuk kepentingan principal. Residual loss timbul dari kenyataan bahwa tindakan agent kadangkala berbeda dari tindakan yang memaksimumkan kepentingan principal (Fitriasari, 2004).

Dengan menyadari bahwa Agency problem dapat menimbulkan agency cost maka setiap kontrak dan kerjasama yang dilakukan antara pihak principal dengan pihak Agent harus dapat dipastikan memiliki agency cost yang paling minim.

2.2 Corporate Governance

Konsep CG berdasarkan pada agency theory. Dengan adanya agency theory dan Agency problem tersebut timbulah suatu konsep CG Mayer (1997) menyatakan bahwa CG

memiliki asosiasi dengan masalah mengenai hubungan pihak principal–agent dimana keinginan dan tujuan dari investor (principal) dengan manajer (agent) berbeda, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu agency problem. eperti yang dinyatakan oleh Starks dan Gillan (2006) “ The need for Corporate Governance arises from the potential conflict of interest among participant in the corporate structure “. Sehingga Agency

Theory dan Agency problem merupakan inspirasi konsep CG.

(4)

menjelaskan hubungan antara berbagai partisipan dalam perusahaan yang menentukan arah dan kinerja perusahaan. The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD, ) mendefinisikan CG sebagai berikut:

“Corporate Governance is the system by which business corporation are

directed and controlled. The CG structure specifies the distribution of

rightstand responsibilities among different participants in the corporation,

such as the board, the managers, shareholders and other stakeholders, and

spells out the rules and procedures for making decisions on corporate

affairs. By doing this, it also provides the structure through which the

company objectives are set, and the means of attaining those objectives and

monitoring performance”.

Selain definisi diatas Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) memiliki definisi CG adalah seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak–hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Tujuan Corporate Governance ialah untuk menciptakan pertambahan nilai bagi para stakeholders.

(5)

pengelolaan sumber daya dan risiko secara lebih efektif dan efisien serta pertanggungjawaban perusahaan kepada pemegang saham dan stakeholders lainnya.

Dari berbagai definisi yang telah disebutkan diatas maka dapat disimpulkan bahwa CG adalah sistem yang mengatur, mengelola dan mengawasi kegiatan perusahaan untuk meningkatkan nilai perusahaan sekaligus sebagai bentuk perhatian terhadap stakeholders, karyawan, kreditor, dan masyarakat. Penerapan CG yang baik (GCG) akan menjaga keseimbangan antara pencapaian tujuan ekonomi dan tujuan masyarakat serta menjauhkan perusahaan dari pengelolaan yang buruk yang mengakibatkan perusahaan terkena masalah.

Berbagai penelitian yaitu antara lain Alijoyo (2002) mengatakan bahwa dengan penerapan GCG maka masalah agency problem yang dapat menimbulkan agency cost sehingga menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Khanchel (2007) dimana ketidak-efisienan dari CG akan menimbulkan tambahan agency cost dan jika pasar mengestimasi adanya penambahan agency cost tersebut maka harga saham perusahaan akan turun dan pastinya akan memberikan kerugian bagi perusahaan tersebut. Oleh karena itu dengan pelaksanaan CG yang buruk juga akan memberikan masalah kepada perusahaan secara finansial.

Perhatian dunia terhadap CG meningkat sejak perusahaan–perusahaan raksasa terkemuka di dunia mengalami kejatuhan seperti Enron Corporation, dan WorldCom di Amerika Serikat, HIH Insurance Company Ltd dan One-Tell Pty Ltd di Australia serta Parmalat di Itali pada awal dekade 2000-an. Untuk Indonesia sendiri perhatian terhadap CG meningkat akibat krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997-1998 yang berkembang menjadi krisis multidimensi yang berkepanjangan. Kejatuhan perusahaan terkemuka dunia dan juga krisis multidimensi yang terjadi di Indonesia dapat dikatakan terjadi akibat lemahnya dan inkonsistensi penerapan CG.

(6)

Melihat kenyataan tersebut maka CG merupakan suatu hal yang penting untuk dipahami dan diterapkan dengan baik pada dunia bisnis di setiap negara. Menanggapi hal tersebut para regulator baik di Indonesia maupun di luar Indonesia berbondong-bondong mencipatakan peraturan demi meningkatkan penerapan GCG di setiap perusahaan. Pada tahun 1999 OECD mengeluarkan OECD principle of Corporate Governance untuk negara–negara baik yang merupakan anggota OECD maupun yang bukan sebagai usaha mereka untuk mengevaluasi dan memperbaiki hukum, institusi dan kerangka peraturan demi menciptakan CG yang lebih baik (Khanchel, 2007). Pada tahun yang sama di Indonesia pun dibentuk Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) yang pada tahun 2004 diganti menjadi Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) dengan Sub Komite Publik dan Sub-Komite Korporasi berdasarkan keputusan Menko Perekonomian No.KEP/49/M.EKON/11/2004. KNKG mengeluarkan pedoman GCG sebagai acuan bagi setiap perusahaan di Indonesia untuk melaksanakan GCG.

2.2.1 Prinsip CG

Corporate Governance memiliki prinsip – prinsip yang diciptakan oleh OECD

yang diharapkan dapat digunakan sebagai acuan internasional oleh penguasa negara, investor, perusahaan dan para stakeholders perusahaan, baik di negara-negara anggota OECD maupun negara non anggota (Sutojo, dan Aldridge ,2005).

Prinsip–prinsip CG yang diterbitkan OECD itu mencakup hal berikut :

1) Hak pemegang saham dan fungsi pokok kepemilikan perusahaan / (The rights of shareholders and key ownership functions).

Pemegang saham mempunyai hak–hak tertentu. OECD menyarankan hak–hak tersebut dilindungi baik secara hukum maupun oleh manajemen perusahaan.

(7)

2) Perlakuan yang sama terhadap seluruh pemegang saham / (The equitable treatment of shareholders).

Perusahaan wajib menjamin perlakuan yang adil terhadap semua pemegang saham perusahaan, termasuk pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing. Dalam kaitannya dengan perlakuan yang adil itu sebelum membeli saham yang akan diperdagangakan di bursa efek, setiap investor berhak mendapatkan informasi tentang hak dan perlindungan terhadap saham yang mereka beli.

3) Peranan stakeholders yang terkait dengan perusahaan / ( The role of stakeholders) OECD juga menyarankan adanya perlindungan hak dan kepentingan para anggota stakeholders non pemegang saham. Hal itu disebabkan karena kerjasama para anggota

stakeholders dapat membantu keberhasilan operasi bisnis perusahaan.

4) Prinsip pengungkapan informasi perusahaan secara transaparan / (Disclosure and transparency).

Mewajibkan adanya suatu pengungkapan informasi yang terbuka, akurat, tepat waktu, jelas dan dapat diperbandingkan yang menyangkut semua hal yang penting bagi kinerja perusahaan seperti keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan, eksposur risiko dan mengenai kepemilikan dalam perusahaan.

5) Tanggung Jawab Dewan Pengurus / ( The responsbilities of the Board)

Memastikan bahwa manajemen mengelola perusahaan secara berhati-hati sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku, termasuk menetapkan manajemen risiko, pengendalian internal yang sesuai dan pertanggungjawaban kepada para stakeholders.

(8)

negara di dunia dalam mereformasi CG di negaranya dan prinsip–prinsip CG OECD juga dijadikan international benchmark para investor, perusahaan dan stakeholders perusahaan di berbagai negara di dunia ( Sutojo, dan Aldrige ,2005).

Namun dalam perkembangannya prinsip–prinsip CG OECD tidak diterima secara utuh oleh seluruh dunia. Hal ini disebabkan dalam penerapan prinsip–prinsip CG disetiap negara dipengaruhi banyak faktor internal dan eksternal perusahaan. Faktor-faktor internal dan eksternal tersebut menyebabkan pemerintah dan masyarakat bisnis di negara tertentu tidak dapat begitu saja menerapkan prinsip–prinsip CG yang diterapkan di negara lain yang sudah berhasil. Perusahaan di negara berkembang di Asia tidak dapat begitu saja mengadopsi prinsip–prinsip CG yang dapat diterapkan secara berhasil di Amerika Utara, Australia, dan Eropa.

Di Indonesia sendiri terdapat prinsip – prinsip CG yang ditetapkan oleh KNKG dimana prinsip–prinsip CG tersebut telah disesuaikan dengan faktor internal dan ekternal perusahaan di Indonesia dengan prinsip CG OECD sebagai international benchmark. Setiap perusahaan di Indonesia harus memastikan bahwa prinsip CG yang di tetapkan oleh KNKG diterapkan pada setiap aspek bisnis di semua jajaran perusahaan. Prinsip–Prinsip CG berdasarkan Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia 2006 adalah sebagai berikut :

1. Transparansi

Untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh stakeholders. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang diisyaratkan oleh peraturan/UU, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham , kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya.

(9)

2. Akuntabilitas

Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus di kelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan stakeholders lainnya. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

3. Tanggung Jawab

Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan good corporate citizen.

4. Independensi

Untuk melancarkan pelaksanaan prinsip Good Corprate Governance ( GCG ), perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing–masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. 5. Kewajaran dan Kesetaraan

Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan stakeholderss lainnya berdasarkan prinsip kewajaran dan kesetaraan.

2.2.2 Unsur CG

Unsur – unsur ( person in charge ) dalam CG yang baik terdiri dari: 1) Pemegang Saham

(10)

pemegang saham, antara lain adalah mengamankan registrasi dari kepemilikan, menyerahkan atau memindahkan saham, mendapatkan informasi yang relevan dan memiliki hak suara dalam RUPS (Tunggal dan Tunggal ,2002).

2) Komisaris dan Direksi

UU No 1/1995 mengenai perseroan terbatas menganut two board system yaitu direksi dan komisaris dimana direksi sebagai pengurus dan komisaris sebagai pengawas. Sedangkan di Amerika menganut single Board system yang disebut Board of directors atau selanjutnya disingkat menjadi BOD. BOD merupakan faktor sentral dalam CG karena hukum perseroan menempatkan tanggungjawab legal perusahaan kepada BOD. Di Indonesia, faktor sentral merupakan tanggung jawab dewan komisaris (Tunggal dan Tunggal ,2002).

3) Komite Audit

Komite Audit didesain untuk membantu board dan individual director untuk melaksanakan kewajiban mereka, terutama yang berhubungan dengan kontrol internal perusahaan, pelaporan informasi keuangan, dan standar perilaku perusahaan. Tujuan dari komite ini umumnya mencakup hal-hal berikut :

• Meningkatkan kualitas pelaporan keuangan.

• Memastikan bahwa board membuat keputusan tentang kebijakan, praktek, dan pengungkapan akuntansi.

• Meninjau kembali cakupan dan hasil dari audit internal dan eksternal.

• Mengawai proses pelaporan akuntansi 4) Sekretaris Perusahaan

(11)

menyatakan bahwa fungsi Sekretaris Perusahaan harus dilaksanakan oleh seorang direktur perusahaan listing atau pejabat perusahaan listing yang ditunjuk khusus. Tugas utama Sekretaris Perusahaan adalah menjaga perusahaan agar selalu mematuhi ketentuan hukum yang berkaitan dengan pengungkapan informasi perusahaan secara transparan. Sekretaris perusahaan juga bertugas secara periodik menyajikan data dan informasi yang bersangkutan dengan pelaksanaan tugas para anggota Dewan Komisaris dan Direksi. Dan dalam melakukan tugasnya sehari–hari sekretaris perusahan bertanggungjawab kepada direksi perusahaan.

5) Manajer dan Karyawan

Manajer menempati posisi yang stratejik karena pengetahuan mereka dan pengambilan keputusan dari hari ke hari. Manajer bertanggungjawab kepada perusahaan dan pemegang saham. Manajer bertanggungjawab untuk kelangsungan hidup ekonomis perusahaan, memperpanjang umur perusahaan ke masa depan melalui inovasi, pengembangan manajemen, ekspansi pasar serta menyeimbangkan permintaan dari seluruh kelompok dengan cara sedemikian rupa sehingga perusahaan dapat mencapai tujuannya. Karyawan khususnya yang diwakili Serikat Pekerja atau mereka yang memiliki saham dalam perusahaan dapat mempengaruhi kebijakan tata kelola perusahaan tertentu (Tunggal dan Tunggal ,2002).

6) Auditor Eksternal

(12)

7) Auditor Internal

Pada Juli 1999 The Institute of International Auditors mendefinisikan internal auditing sebagai berikut :

“Internal auditing is an Independent, objective assurance and consulting activity

designed to add value and improve an organization’s operations. It helps an

organization accomplish its objectives by bringing a systematic, disciplined

approach to evaluate and improve the effectiveness of risk management, control,

and governance process”

8) Stakeholders lainnya ( pemerintah , Kreditor, dan lain – lain )

Pemerintah juga terkait dengan penerapan CG dimana pemerintah adalah sebagai regulator yang menetapkan peraturan perundangan-undangan dan hukum si suatu negara, sehingga dalam menerapkan CG di suatu negara harus disesuaikan dengan hukum dan peraturan perundangn-undangan yang berlaku. Kreditor sebagai stakeholders juga merupakan unsur CG sebab kreditor sebagai pemberi pinjaman

juga mempengaruhi kebijakan perusahaan (Tunggal dan Tunggal ,2005)

Dalam penerapan CG pada perusahaan akan melibatkan unsur – unsur di atas dimana merupakan hal – hal yang membantu dalam penerapan CG yang baik Oleh karena itu dalam implikasi penerapan sangat dibutuhkan peranan dari berbagai pihak di atas untuk mewujudkan suatu GCG dalam sebuah perusahaan .

(13)

2.2.3 Tujuan dan Manfaat CG 2.2.3.1 Tujuan CG

Good Corporate Governance mempunyai lima macam tujuan utama (Sutojo dan

Aldridge, 2005). Tujuan pertama dan yang paling utama adalah Good Corporate Governance memiliki peranan yang penting dalam membangun dan mempertahankan

integritas perusahaan dan mengontrol risiko timbulnya kecurangan (fraud) dalam sebuah perusahaan, dan juga memberantas adanya manajemen yang buruk dan salah dalam sebuah perusahaan sehingga perusahaan terhindar dari masalah baik finansial (financial distressed) maupun non finansial yang merugikan perusahaan dan para stakeholders nya.

Tujuan Kedua adalah melindungi hak dan kepentingan pemegang saham. Tujuan ketiga, melindungi hak dan kepentingan stakeholders lainnya non pemegang saham. tujuan kedua dan ketiga ini dapat tercapai jika penerapan CG dilakukan dengan baik (Good Corporate Governance). Berkaitan dengan tujuan pertama dimana dengan GCG berperan

dalam perusahaan akan menghindarkan perusahaan dari terkena masalah baik finansial maupun non finansial, sehingga apabila perusahaan menerapkan GCG maka secara otomatis segala hak dan kepentingan stakeholders pun terlindungi.

(14)

kenyataan bahwa 75% dari para investor bersedia membayar premium terhadap harga saham perusahaan yang telah menerapkan GCG.

Tujuan kelima adalah meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja BOD dan manajemen perusahaan serta meningkatkan mutu hubungan BOD dengan manajemen senior perusahaan. Dalam perusahaan yang menerapkan GCG, komisaris utama maupun dewan komisaris secara kolektif maupun individual mempunyai pengetahuan yang dalam tentang bidang usaha perusahaannya. Dengan demikian mereka dapat membimbing anggota manajemen perusahaan secara lebih efektif. Selain itu dengan GCG para anggota dewan komisaris mempunyai motivasi tinggi untuk mempertimbangkan faktor risiko dan manfaat terbaik bagi perusahaannya atas setiap keputusan penting yang akan mereka ambil. Mereka juga bersedia meluangkan waktu secukupnya untuk mempersiapkan diri menghadiri rapat – rapat Dewan Pengurus.GCG mendorong para anggota dewan komisaris dan manajemen perusahaan selalu mengetengahkan etika bisnis dan moral, ketentuan hukum yang berlaku dan kepentingan masyarakat dalam setiap tindakan dan keputusan penting mereka. Sehingga dengan GCG mutu dewan komisaris dan manajemen perusahaan serta hubungan yang terjalin diantaranya menjadi lebih baik.

2.2.3.2 Manfaat CG

Corporate Governance yang baik diakui mambantu mengebalkan perusahaan dari

kondisi – kondisi yang tidak menguntungkan, dalam banyak hal CG yang baik telah terbukti juga meningkatkan kinerja korporat sampai 30% di atas tingkat imbal hasil (rate of return) yang normal. Penerapan CG memberikan banyak manfaat untuk negara, stakeholderss perusahaan dan perusahaan itu sendiri.

(15)

negara tersebut akan cenderung lebih diminati oleh investor global. Investor global kini semakin selektif dalam memilih pilihan investasi, sehingga apabila mereka melihat suatu negara belum baik penerapan GCG oleh perusahaan-perusahaan di dalamnya, akan cenderung menghindar atau mengenakan risk premium yang cukup besar apabila mereka bersedia berinvestasi di negara tersebut. Hal ini tentu akan sangat mempengaruhi kelangsungan perekonomian suatu negara secara keseluruhan. Suatu negara hampir selalu membutuhkan tambahan suntikan modal dari luar negeri untuk bisa bertumbuh sesuai tingkat pertumbuhan yang diharapkannya. Oleh karena itulah, penerapan GCG oleh perusahan-perusahaan di suatu negara akan membantu masuknya investor global ke dalam negara tersebut. Selain itu, required rate of return yang diharapkan oleh investor juga akan lebih rendah apabila

dibandingkan dengan required rate of return yang dituntut dari perusahaan di negara yang belum menerapkan GCG.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, stakeholders perusahaan juga akan menikmati dampak dari penerapan GCG oleh suatu perusahaan. Apabila suatu perusahaan memang telah dengan sungguh-sungguh menerapkan GCG pada semua tingkat di perusahaannya, maka kondisi ideal yang kita harapkan dapat diwujudkan yakni, antara lain konsumen akan terjamin haknya untuk membeli barang dengan nilai dan kualitas sesuai yang telah dijanjikan. Karyawan akan dilindungi haknya oleh perusahaan, demikian pula rekan bisnis seperti pemasok dan distributor, yang juga akan memperoleh kontrak kerja yang memang sesuai dan tidak dirugikan oleh perusahaan. Selain itu, pihak regulator juga tidak akan dipusingkan dengan upaya-upaya ilegal yang mungkin dilakukan perusahaan seperti membuat laporan pajak yang menipu, uang suap, dan sebagainya.

(16)

Selain memberikan manfaat kepada negara dan stakeholders perusahaan, penerapan GCG juga memberikan manfaat khususnya kepada perusahaan yang menerapkan GCG tersebut. GCG seperti yang telah disebutkan sebelumnya dapat menghindarkan perusahaan dari masalah baik keuangan maupun non keuangan dengan menjamin pengelolaan perusahaan yang baik. Maka dengan pengelolaan yang baik suatu perusahaan akan memiliki proses pengambilan keputusan yang lebih baik, peningkatan efisiensi operasional perusahaan, peningkatan efektifitas

bimbingan Dewan Komisaris terhadap manajemen perusahaan, transparansi pengungkapan laporan keuangan dan peningkatan pelayanan pada stakeholders dimana kesemuanya itu akan berdampak pada peningkatan kinerja suatu

perusahaan. Hubungan GCG dengan kinerja ini telah diteliti oleh Klapper dan Love (2002) dimana hasilnya menyatakan CG yang lebih baik mempunyai korelasi yang tinggi dengan kinerja operasi (dilihat dari ROA, Gross Margin, dan ROE) serta penilaian pasar yang lebih baik.

Selain memberkan manfaat terhadap peningkatan kinerja perusahaan, penerapan GCG oleh sebuah perusahaan juga meningkatkan kepercayaan stakeholdersnya terutama investor sehingga akan mudah dalam memperoleh dana pembiayaan dan dengan tingkat bunga yang lebih murah dan tidak kaku karena faktor kepercayaan . Kepercayaan tidak hanya didapatkan dari investor namun dengan pengelolaan yang baik kepercayaan juga akan di dapatkan dari karyawan, pemerintah dan masyarakat. Dengan didapatkannya kepercayaan dari berbagai pihak dimana membawa banyak keuntungan bagi perusahaan pada akhirnya akan meningkatkan corporate value.

(17)

paragraf laporannya tentang hasil analisis kejhatuhan HIH Insurance Company Ltd (salah satu perusahaan dunia yang jatuh disinyalir akibat CG yang buruk) bahwa manfaat optimal CG tidak sama dari satu perusahaan ke perusahaan yang lain bahkan pada perusahaan publik sekalipun, hal ini disebabkan perbedaan faktor intern perusahaan, termasuk riwayat hidup perusahaan, jenis usaha bsinis, resiko bisnis, struktur permodalan, dan manajemennya. Namun demikian suatu hal yang dapat dijamin adalah bahwa GCG memiliki peranan dalam pengelolaan perusahaan menjadi lebih baik sehingga perusahaan akan terhindar dari masalah – masalah keuangan dan non keuangan yang dapat merugikan perusahaan dan stakeholdersnya.

2.2.4Penerapan CG di Indonesia

Untuk di Indonesia sendiri penerapan GCG pun terus digalakkan walaupun didalam usaha tersebut tidak selalu berjalan lancar. Pada tahun 1999 penerapan konsep CG di dunia usaha Indonesia masih sangat minim, hal ini dikaitkan dengan hasil survei yang dilakukan oleh PricewaterhouseCoopers dimana Indonesia dinilai sebagai salah satu negara terburuk dalam bidang standar-standar akuntansi, penaatan dan pertanggungjawaban terhadap para pemegang saham, standar-standar pengungkapan dan transparansi serta proses-proses kepengurusan perusahaan (Fitriasari, 2006).

Melihat kenyataan tersebut para regulator pun bertindak membentuk Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) yang mengeluarkan Pedoman Good Corporate Governance yang pertama.

(18)

Korporasi. Dengan dibentuknya KNKG maka KNKCG dinyatakan tidak berlaku lagi. Pedoman GCG juga mengalami beberapa kali penyempurnaan yakni pada awal tahun 2004 dikeluarkan pedoman GCG Perbankan Indonesia dan pada awal tahun Pedoman GCG Perasuransian Indonesia dikeluarkan. Hal ini dilakukan agar penerapan GCG dapat dilakukan secara merata pada semua jenis bisnis di Indonesia dengan harapan semua perusahaan di Indonesia dapat dikelola dengan baik agar terhindar dari masalah finansial maupun non finansial yang merugikan perusahaan dan stakeholdersnya.

Selain adanya berbagai regulasi yang mengatur penerapan CG dalam perusahaan, dibutuhkan pula monitoring dari pihak eksternal terhadap manajemen perusahaan. Namun proses monitoring penerapan CG tersebut bukanlah suatu yang mudah sebab memerlukan biaya yang besar untuk mendapatkan informasi tentang penerapan CG pada perusahaan. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah tersebut kini telah digunakan pemeringkatan penerapan CG yang umunya dalam bentuk Indeks. Indeks CG dapat memberikan gambaran mengenai penerapan CG secara komprehensif pada perusahaan-erusahaan di Indonesia. Penelitian tentang pemeringkatan CG pada perusahaan yang terdaftar lakukan leh IICG tiap tahun sejak tahun 2001. Kemudian hal yang sama juga dilakukan oleh CLSA (Credit Lyonnais Security Asia) pada tahun 2001. Pemeringkatan CG pada perusahaan terbuka merupakan suatu usaha yang sulit karena masih kurangnya keterbukaan dari pihak perusahaan.

Walaupun begitu adanya Indeks CG merupakan suatu hal yang penting, karena jika dipublikasikan maka akan membantu pihak eksternal untuk memonitor manajemen perusahaan. Arsjah (2005) menyatakan bahwa Indeks CG akan menurunkan biaya keagenan sebab sangat tidak cost-effective jika pihak luar ingin mengetahui kondisi CG pada perusahaan dalam waktu singkat dengan mencari sendiri informasi tersebut.

(19)

Pada tahun 2005 Arsjah membentuk suatu Indeks CG melalui kuesioner self-assesment yang di isi oleh Sekretari Perusahaan dengan jumlah pertanyaan sebanyak 160

pertanyaan, kuesioner tersebut dibagi menjadi empat bagian, yaitu pertanyaan yang menyangkut kepentingan dan keterlibatan Pemegang Saham (48 butir), Dewan Komisaris (67 butir), Direksi (35 butir) dan Stakeholderss lainnya (10 butir). Semakin tinggi nilai indeks CG suatu perusahaan maka semakin baik penerapan prinsip-prinsip GCG pada perusahaan tersebut. Dengan jumlah emiten yang mengembalikan kuesioner sebanyak 146 perusahaan dari total 339 emiten BEJ (43%), maka survei ini merupakan survei dengan tingkat respons tertinggi dibanding survei-survei sejenis di BEJ. Sehingga Indeks CG Arsjah pada tahun 2005 ini dapat memberikan gambaran yang komprehensif mengenai penerapan CG di Indonesia.

Kemudian Arsjah juga melakukan survei kedua terhadap para analis keuangan untuk menggali opini mereka mengenai penerapan CG para emiten BEJ dan kedua indeks CG yang dihasilkan terbukti memiliki korelasi yang positif dan signifikan.

Selain dapat memberikan informasi bagi pihak luar untuk memonitor manajemen perusahaan, Indeks CG juga sering digunakan untuk penelitian mengenai penerapan CG dan pengaruhnya. Penelitian yang dilakukan oleh Klapper dan Love (2002) mengaitkan Indeks CG yang dihasilkan oleh CLSA 2001 dengan firm valuation. Black, Jang, Kim (2003) juga menggunakan Indeks CG untuk melihat pengaruh CG terhadap kinerja perusahaan di Korea. Untuk Indonesia penelitian yang menggunakan Indeks CG dilakukan oleh Deni, Khomsiyah dan Rika (2005), dimana penelitiannya menggunakan Indeks CG yang dihasilkan dari survei IICG tahun 2001 dan 2002 yang dikaitkan dengan kinerja.

(20)

Arsjah 2005 dalam melihat penerapan CG terhadap kemungkinan perusahaan mengalami financial distress.

2.3 Kesulitan Keuangan (Finansial Distress)

Perusahaan dalam menjalankan operasinya tidak lepas dari kemungkinan mengalami masalah keuangan yang disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal lingkungannya dimana akan mengarahkan perusahaan kepada suatu situasi yang disebut dengan financial distress atau kesulitan keuangan. Wruck (1990) mendefinisikan kesulitan keuangan atau financial distress sebagai situasi dimana arus kas operasi perusahaan tidak cukup untuk memenuhi kewajiban jangka pendek perusahaan (seperti trade credit atau interest expense), dan perusahaan terpaksa melakukan suatu tidakan koreksi. Selain

definisi diatas, terdapat beberapa definisi mengenai kesulitan keuangan. Ross et al (1996) mengaitkan insolvency (ketidakmampuan memenuhi kontrak) dengan kesulitan keuangan dan mendefinisikannya sebagai ketidakmampuan dalam melunasi kewajiban-kewajiban.

Emery, Finnerty dan Stowe (2004), mendefinisikan kesulitan keuangan sebagai situasi dimana perusahaan memiliki masalah yang signifikan dalam membayar kewajiban– kewajibannya ketika jatuh tempo. Terdapat berbagai istilah untuk mendefinisikan kesulitan keuangan, sebagai berikut (Brigham dan Gapenski, 1996) :

o Economic Failure

Kegagalan Ekonomi sebuah perusahaan menandakan bahwa perusahaan tersebut tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk menutupi total biaya perusahaan, termasuk biaya modal. Namun perusahaan yang gagal secara ekonomi dapat melanjutkan operasi asalkan kreditor bersedia untuk menyediakan modal dan pemegang saham (pemilik) bersedia menerima tingkat pengembalian dibawah nilai pasar.

(21)

o Technical Insolvency

Perusahaan yang tidak dapat memenuhi kewajiban lancarnya saat jatuh tempo bermakna perusahaan tersebut mengalami technical insolvency. Technical Insolvency dapat hanya berlangsung secara sementara, yang mungkin hanya disebabkan oleh masalah likuiditas perusahaan dimana dengan berjalannya waktu perusahaan dapat menghasilkan kas untuk melunasi kewajibannya sehingga dapat bertahan dalam dunia bisnis.

o Business Failure

Business Failure dinyatakan ketika perusahaan telah menghentikan operasinya dan

setelahnya terdapat kerugian resultan bagi kreditor. o Insolvency in Bankruptcy

Jika nilai buku kewajiban totalnya lebih besar daripada nilai pasar aktiva totalnya, maka perusahaan tersebut dikatakan Insolvency in bankruptcy. Pada umumnya insolvency in bankruptcy merupakan tanda dari economic failure, dan berakhir pada

likuidasi perusahaan. o Legal in Bankruptcy

Legal in bankruptcy berarti bangkrut secara hukum .Sebuah perusahaan menjadi bangkrut secara hukum jika perusahaan telah mengajukan petisi bangkrut sesuai hukum.

Sedangkan financial distress menurut wikipedia adalah sebagai berikut:

“Financial distress is a term in Corporate Finance used to indicate a condition when promises to creditors of a company are broken or honored with difficulty. Sometimes financial distress can lead to bankruptcy.”

(22)

perusahaan mulai menyerap lebih banyak kas daripada menghasilkan kas dan net working capital mungkin menjadi negatif dan pada akhirnya mengakibatkan penurunan kinerja

perusahaan dan kerugian tidak hanya bagi perusahaan tapi juga bagi para stakeholders perusahaan.

Kesulitan keuangan merupakan suatu peringatan awal bahwa perusahaan memiliki masalah. Pada umumnya perusahaan dengan hutang yang lebih banyak akan mengalami kesulitan keuangan lebih awal daripada perusahaan dengan hutang yang sedikit. Namun, perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan lebih awal akan memiliki lebih banyak waktu untuk reorganisasi dan pengaturan internal. Perusahaan dengan hutang yang sedikit (low leverage) akan mengalami kesulitan keuangan pada waktu yang lebih lama, dan dalam banyak kasus akan dipaksa untuk melikuidasi.

Terdapat berbagai faktor baik ekonomi maupun non ekonomi yang menyebabkan terjadinya suatu kondisi kesulitan keuangan bagi perusahaan. Untuk faktor ekonomi , kesulitan keuangan dapat disebabkan oleh lemahnya industri dan lokasi yang buruk, dan faktor keuangan termasuk terlalu banyak hutang dan kurangnya modal (Brigham dan Gapenski, 1996). Dan untuk faktor non ekonomi dapat disebabkan oleh manajemen yang lemah, ekspansi yang berlebihan, kompetisi yang ketat, terlalu banyak hutang, dan kontrak yang kurang memihak (Emery et al, 2004). Pengelolaan perusahaan yang buruk mengakibatkan keputusan yang diambil manajemen perusahaan seperti keputusan yang berkaitan dengan ekonomi maupun keputusan ekspansi, kontrak,dan pembiayaan perusahaan, menjadi buruk bagi perusahaan dan membawa perusahaan kepada masalah. Pengelolaan perusahaan yang buruk dapat disebabkan oleh penerapan CG yang buruk.

Terdapat beberapa cara untuk menghadapi kesulitan keuangan (financial distress), antara lain :

(23)

1. Menjual aktiva utama.

2. Merger dengan perusahaan lain.

3. Mengurangi pengeluaran modal untuk riset dan pengembangan. 4. Menerbitkan sekuritas baru.

5. Bernegosiasi dengan bank dan kreditor lain. 6. Menukar hutang dengan ekuitas.

7. Mengajukan bangkrut.

8. Reorganisasi (termasuk pembaharuan manajemen).

Cara (1), (2), dan (3) melibatkan aktiva perusahaan. Cara (4), (5), (6), dan (7) melibatkan bagian kanan dari neraca dan merupakan contoh restrukturisasi keuangan sedangkan cara (8) merupakan contoh restrukturisasi non keuangan (manajemen).

2.4 Regresi Logistik

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari penerapan CG pada perusahaan terbuka terhadap kemungkinan suatu perusahaan mengalami kesulitan keuangan atau tidak. Oleh karena itu teknik statistik yang akan digunakan pada penelitian ini adalah Regresi Logistik.

Regresi Logistik atau yang juga disebut dengan model logit adalah salah satu dari qualitative response regression models yang tujuan utamanya adalah untuk menemukan

probabilitas terjadinya suatu peristiwa (Gujarati ,2002). Secara matematis, bentuk awal dari model logit adalah sebagai berikut:

(

i

)

( Xi)

Persamaan diatas disederhanakan menjadi fungsi distribusi logistik dengan persamaan seperti dibawah ini:

(24)

Z

Jika Pi, merupakan probabilita terjadinya suatu peristiwa, dinyatakan melalui persamaan (3.2), maka probabilita

(

1−Pi

)

atau tidak terjadinya suatu peristiwa adalah :

i

Sehingga, persamaan dapat ditulis sebagai berikut :

i

Jika natural log dari persamaan (3.4) digunakan maka didapatkan

i

Persamaan (3.5) merupakan persamaan regresi logistik, dimana L disebut logit dan juga merupakan bentuk model logit. Sedangkan, persamaan (3.4) merupakan odds ratio terjadinya suatu peristiwa. Odds ratio adalah

Gujarati juga menyebutkan bahwa model ligit atau regresi logistik memiliki beberapa karakteristik seperti dibawah ini:

1. Nilai P (probabilita terjadinya suatu peristiwa) bergerak pada level antara 0 dan 1, maka nilai Logit akan bergerak pada level −∞ sampai ∞.

2. Nilai L – yaitu rasio antara probabilita terjadinya peristiwa terhadap probabilita tidak terjadinya peristiwa, linier dengan parameter, namun P tidak.

3. Variabel dalam persamaan regresi logistik dapat ditambah sebanyak mungkin selama didukung dengan teori-teori yang ada.

4. Jika L positif, artinya ketika persamaan regresi logistik meningkat, maka meningkat pula kemungkinan P sama dengan 1 (artinya terjadinya suatu peristiwa), begitu pula sebaliknya.

(25)

5. Interpretasi dari model logit adalah sebagai berikut :β2, slope, adalah besarnya perubahan L untuk setiap 1 unit perubahan X. β1, intercept, adalah besarnya nilai L jika seluruh variabel bebas bernilai 0.

6. Model logit mengasumsikan bahwa log dari odds ratio linier terhadap X.

Observasi umum yang dapat dilakukan pada model logit atau regresi logistik adalah:

1. Terdapat Z statistik untuk menguji signifikansi suatu koefisien secara statistik.

2. Dalam binary regressand model, digunakan pseudo R2, yang mirip dengan R2, untuk mengukur goodness of fit dari suatu model. Namun penting harus diperhatikan bahwa dalam binary regressand model, goodness of fit merupakan prioritas kedua. Yang harus diperhatikan pertama kali adalah tanda dan signifikansi koefisien regresi secara statistik.

3. Kemudian terdapat likelihood ratio (LR) statistik yang mirip dengan f test pada model regresi linier. LR statistik mengikuti ditribusi χ2 dengan derajat kebebasan (degree of freedom) sama dengan jumlah variabel bebas.

Regresi Logistik merupakan suatu bentuk regresi spesial yang dirumuskan untuk memprediksi dan menjelaskan variabel kategorikal binary (dua kelompok). Regresi Logistik secara langsung memprediksi probabilitas terjadinya suatu peristiwa. Regresi Logistik memiliki keunggulan karena tidak terlalu terpengaruh ketika asumsi dasar, khususnya normalitas variabel, tidak terpenuhi. Selain itu Regresi Logistik hanya dapat memprediksi ukuran dua klasifikasi variabel depeden.

2.5 Penelitian – penelitian CG-Financial Distress Terdahulu

(26)

financial distress atau kesulitan keuangan. Agar mendapatkan gambaran yang lebih jelas

mengenai pengaruh penerapan CG pada kemungkinan perusahaan mengalami kesulitan keuangan maka disajikan beberapa penelitian penting berikut ini, dimana semua penelitian menggunakan teknik statistik Regresi Logitik.

2.5.1 Catherine M. Daily dan R. Dalton (1994)

Penelitian yang dilakukan oleh Daily dan Dalton menitikberatkan pada adanya pengaruh penerapan CG yang dilihat dari dua aspek struktur governansi, yaitu komposisi direksi dan struktur kepemimpinan dari direksi, sebagai faktor penjelas dari kebangkrutan suatu perusahaan.

Dalam melakukan penelitiannya Daily dan Dalton menggunakan sampel 50 perusahaan yang mengalami kesulitan kebangkrutan dan 50 perusahaan sehat yang berada pada industri yang sama. Proses pengambilan sampel ini dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama dilakukan untuk mengidentifikasi 50 perusahaan publik yang mengajukan bangkrut dilihat dari Predicast's F & S Index of Companies yang menyediakan informasi tersebut. Kemudian tahap selanjutnya adalah menentukan 50 perusahaan publik yang sehat dengan kode klasifikasi standar, dan total volume penjualan, dan industri yang sama pada tahun yang sama yaitu 1990 pada Ward's Business Directory of U.S. Private & Public Companies yang menyediakan informasi tersebut.

Dua aspek struktur governansi yang dilihat pengaruhnya pada kebangkrutan dalam penelitian ini adalah komposisi direksi dan struktur kepemimpinan dari direksi yaitu jumlah direksi independen dan proporsinya pada board serta independensi dari CEO. Data yang berkaitan dengan hal diatas didapatkan dari Standard and Poor's Register of Corporations, Directors, and Executives. Kemudian selain variabel governansi sebagai

(27)

digunakan untuk meprediksi kebangkrutan dan ukuran perusahaan sebagai variable kontrol. Indikator finansial yang digunakan adalah rasio profitabilitas, likuiditas, dan leverage serta ukuran perusahaan dilihat dari total aset perusahaan dimana semua data

didapatkan melalui laporan tahunan setiap perusahaan.

Penelitian mereka menyimpulkan bahwa memang terdapat hubungan yang signifikan antara komposisi direksi dan struktur kepemimpinan direksi tersebut dengan kemungkinan perusahaan mengalami kebangkrutan. Perusahaan yang bangkrut cenderung memiliki struktur kepemimpinan direksi yang dualitas tidak tersentralisasi dan komposisi direksi independen yang sedikit. Penelitian ini dilakukan dengan periode 5 tahun dan 3 tahun sebelum kebangkrutan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan CG dalam penelitian ini yaitu komposisi direksi dan struktur kepemimpinan direksi memiliki hubungan yang signifikan dengan kemungkinan perusahaan mengalami kebangkrutan dilihat pada periode 5 tahun dan 3 tahun sebelum kebangkrutan terjadi.

2.5.2 Fathi Elloumi , Jean-Pierre Gueyie ( 2001)

Penelitian yang dilakukan oleh Elloumi dan Gueyie berusaha melihat hubungan antara karakteristik CG dengan status sebuah perusahaan sebagai financially distressed firms (perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan). Sampel yang digunakan pada

penelitian ini adalah 46 perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan dengan 46 perusahaan yang sehat secara keuangan.

Karakteristik CG yang diteliti disini adalah komposisi dari Board Of Directors, kepemilikan directors baik diluar maupun di dalam perusahaan serta perputaran Chief Executives Officer (CEO). Penelitian ini juga menyertakan indikator keuangan sebagai

variabel pengendali untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengani pengaruh karakteristik CG terhadap kemungkinan perusahaan mengalami kesulitan keuangan.

(28)

Dengan alat uji statistik logit regression analysis maka didapatkan kesimpulan bahwa komposisi dari Board of Directors dalam kasus ini karena merupakan negara yang menganut sistem One Single Board maka yang dimaksud adalah komisaris, memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemungkinan perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Penelitian ini juga menambahkan bahwa kepemilikan dewan baik dalam perusahaan maupun diluar perusahaan mempengaruhi kemungkinan sebuah perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Selain itu dinyatakan pula bahwa menentukan perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan dilihat dari perubahan CEO sebagai salah satu strategi perputaran (turnaround strategies) memberikan gambaran yang sangat berguna dalam melihat karakteristik CG pada perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan.

2.5.3 Ratna Wardhani (2006)

Searah dengan penelitian yang dilakukan oleh Daily dan Dalton, penelitian yang dilakukan oleh Wardhani juga mengenai pengaruh penerapan CG terhadap perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan (financially distressed firms). Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan praktek CG dalam perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan tersebut dengan perusahaan yang sehat secara keuangan. Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan dan perusahaan yang sehat secara keuangan pada periode 1999 sampai dengan 2004. Semua sampel tersebut berada dalam satu industri yang sama yaitu manufaktur dan tercatat pada BEJ.

(29)

perusahaan yang diukur dengan persentase kepemilikan bank dan atau lembaga keuangan dan persentase kepemilikan oleh direksi. Selain itu penelitian juga menggunakan nilai total aset sebagai variabel ukuran perusahaan yang ditransformasi melalui proses logaritma dan variabel dummy untuk tahun terjadinya tekanan keuangan dimana keduanya digunakan sebagai variabel pengendali dalam melakukan pengujian terhadap pengaruh mekanisme CG terhadap kemungkinan perusahaan mengalami kesulitan keuangan.

Penelitian ini menguji pengaruh penerapan CG dengan struktur CG dengan kemungkinan perusahaan mengalami kesulitan keuaungan di tahun yang sama. Namun analisis sensitivitas juga dilakukan dengan lag 1 tahun atas pertimbangan kondisi kesulitan keuangan yang dialami oleh perusahaan biasanya merupakan dampak dari kebijakan strategis pada periode sebelumnya. Alat uji statistik yang digunakan disini adalah model logit dengan variabel dependen yang digunakan merupakan variabel binary, yaitu apakah perusahaan tersebut mengalami kesulitan keuangan atau tidak .

Dari hasil pengujian model logit dan analisis sensitivitas maka didapatkan beberapa hasil yaitu, ukuran dewan direksi berhubungan positif dengan kemungkinan suatu perusahaan akan mengalami tekanan keuangan dimana semakin besar jumlah direksi yang dimiliki oleh suatu perusahaan maka kemungkinan perusahaan akan mengalami tekanan keuangan akan semakin besar. Kemudian untuk ukuran komisaris hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang mengalami tekanan keuangan cenderung memiliki jumlah komisaris yang lebih kecil. Untuk proporsi komisaris independen dan struktur kepemilikan menunjukkan hasil yang tidak signifikan dimana berarti bahwa berapapun proporsi komisaris independen dan struktur kepemilikan perusahaan kemungkinan perusahaan mengalami kesulitan keuangan adalah sama. Namun penelitian menyatakan bahwa turnover dari direksi memiliki pengaruh terhadap kemungkinan perusahaan mengalami kesulitan keuangan.

(30)

2.6 Pengelompokkan Jenis Industri

Penelitian ini akan menyertakan beberapa variabel kontrol yang memiliki hubungan dengan kesulitan keuangan seperti ukuran perusahaan, indicator keuangan dan jenis industri. Seperti yang telah diketahui bersama bahwa perusahaan-perusahaan bergerak pada industri yang beragam. Untuk menyertakan variabel industri dalam penelitian ini maka dilakukanlah pengelompokan industri berdasarkan Roberts (1992), Preston (1977) dan Patten (1991) dalam Hackston & Milne (1996) dimana pengelompokkan industri terbagi menjadi 2 kelompok yaitu industry High-Profile dan Low-Profile .

Roberts (1992) mendefinisikan industri yang high-profile adalah industri yang memiliki visibilitas konsumen, risiko politis yang tinggi, atau menghadapi persaingan yang tinggi. Dalam penentuan pengelompokan industri, Roberts (1992) mengelompokkan perusahaan otomotif, penerbangan dan minyak sebagai industri yang high-profile. Sedangkan Diekers & Perston (1977) mengatakan bahwa industri ekstraktif merupakan industri yang high-profile. Patten (1991) dalam Hackston & Milne (1996) mengelompokkan industri pertambangan, kimia dan kehutanan sebagai industri yang high-profile. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Retno Anggraini mengelompokkan

industri konstruksi, pertambangan, pertanian, kehutanan, perikanan, kimia, otomotif, barang konsumsi, makanan dan minuman, kertas, farmasi dan plastik sabagai industri yang high-profile.

(31)

Oleh karena itu pada penelitian ini industri konstruksi, pertambangan, pertanian, kehutanan, perikanan, kimia, otomotif, barang konsumsi, makanan dan minuman, kertas, farmasi , plastik, telekomunikasi serta transportasi sebagai industri yang high-profile dan industri keuangan seperti bank, asuransi, agen kredit, dan industri jasa, perdagangan sebagai industry yang low-profile.

Referensi

Dokumen terkait

Grafik 1 menunjukkan bahwa mahasiswa pendidikan kimia FKIP Untan pada indikator tahap persiapan peralatan gelas dan tahap menimbang sampel memperoleh kategori keterampilan

9 Uforia masyarakat menyambut BPJS dapat saja terjadi karena sejauh ini akses pelayanan kesehatan masih dirasa sulit, dengan adanya angina segar yang dihembuskan kebijakan BPJS

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya kesenjangan antara implementasi kurikulum 2013 di SD Negeri 1 Busungbiu dengan Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 ditinjau

Hal ini terbukti melalui melalui penelitian dengan hasil penelitian nilai F hitung sebesar 16,520 yang lebih besar dari F tabel sebesar 2,698 yang menunjukkan bahwa

1) Tanya jawab, pemeriksaan fisik dan T.H.T. rutin pada para pekerja sebagai sampel. 2) Pemeriksaan intensitas kebisingan di lingkungan kerja (pabrik) pada beberapa tempat.

selain itu setiap transaksi yang terjadi di puskesmas mampu mengelola data inventory puskesmas.. sistem ini juga mampu berperan untuk menjembatani antara puskesmas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis burung milik beberapa penggemar burung dan di sebuah penangkaran burung di Jakarta telah terinfeksi virus avian influenza..

Model kematangan PT Dian Megah Indo Perkasa pada DS11 Manage Data berada pada Level 1 Initial / Ad Hoc, maka berikut ini adalah beberapa saran yang dapat dijadikan