Agenda Setting, Framing dan Kosntruksi Berita
1. Berita Sebagai Hasil Dari Konstruksi
Berita sering didefinisikan sebagai laporan dari sebuah kejadian oleh para ahli.
Definisi tersebut membuat khalayak lupa bahwa sebuah berita sebenarnya dibuat untuk
memenuhi tujuan tertentu. Seperti yang diungkapkan oleh Palgunov bahwa,
“…… News should not be merely concerned with reporting such and such for a fact or event, it must pursue a definite purpose…. It should not simply report all fact and just any events …” (Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2012, h. 32).
Dengan adanya tujuan dari pembuatan berita maka berita tersebut tidak lagi murni
pelaporan apa yang ada di lapangan. Tujuan dari pembuatan berita tersebut secara
umum dapat dilihat dari siapa pemilik media massa dan apa visi-misi pada media massa
yang memuat berita tersebut (Tamburaka, 2012).
Tidak semua berita dapat menarik perhatian khalayak. Zaman dahulu berita
dianggap sebagai sesuatu yang baru. Dengan demikian, semua berita akan menarik
perhatian bila informasi yang dijadikan berita tersebut merupakan sesuatu yang baru
(Mondry, 2008, h. 134). Tetapi kini kemenarikan berita dinilai dari beberapa hal yang
disebut dengan nilai berita (news value). Secara umum berita dianggap bernilai jika
berita tersebut memiliki nilai prominence, human interest, conflict/controversy,
unusual, proximity. Nilai berita tersebut bagi pandangan konstruksionis bukanlah
sesuatu yang berdiri sendiri. Ada agen-agen yang membentuk nilai berita. Nilai berita
disebut sebagai prosedur standar peristiwa apa yang layak disebarkan kepada khalayak
(Eriyanto, 2011, h. 123). Dengan kata lain, nilai berita merupakan konstruksi dari
wartawan dan media massa.
Pendefinisian berita sebagai sebuah laporan dari suatu peristiwa membuat
berita-berita yang muncul di media massa manapun biasa dianggap oleh khalayak sebagai
justru melihat bahwa “The importance of this early work on routines, in sum, rests
largely on its contribution to a view of news as a construction of reality, rather than a
mirror of that reality” (Becker & Vlad, 2009, h. 59). Pendapat tersebut dikarinakan
menurut pandangan konstruksionis, berita adalah hasil konstruksi sosial yang selalu
melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media (Eriyanto,
2011, h. 29). Dengan demikian tidak mungkin suatu berita mencerminkan keadaan yang
ada secara utuh. Seperti pada pemberitaan tentang Korea Utara yang pada penelitian
kali ini, wartawan tidak hanya akan memberitakan tentang apa yang dilakukan oleh
Korea Utara secara utuh saja, tetapi akan meminta pendapat beberapa pakar dan juga
memberitakan reaksi dari beberapa negara lain terhadap tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh Korea Utara.
Sebuah berita dalam pandangan konstruksionis merupakan lapangan untuk
beradu “kekuatan” pihak-pihak yang terkait pada suatu peristiwa. Berita bukan
menggambarkan realitas, melainkan potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak
yang berkaitan dengan peristiwa tersebut (Eriyanto, 2011, h. 28). Hal serupa juga terjadi
pada berita-berita yang diteliti pada penelitian kali ini. Perang argumen dan pendapat
antara pihak-pihak terkait baik yang mendukung maupun menolak tindakan-tindakan
yang dilakukan Korea Utara, baik dalam hal uji coba nuklir hingga pernyataan perang
dengan Korea Selatan.
Berita yang dianggap ideal adalah berita yang bebas dari opini wartawan yang
pembuat berita. Pandangan konstruksionis menilai bahwa berita tidak lepas dari opini
karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif
(Eriyanto, 2011, h. 31). Wartawan dalam melihat sebuah fakta akan menafsirkan fakta
sebuah fakta dapat dipengaruhi oleh field of experience yang dipengaruhi oleh ideologi
yang dianut wartawan. Teun A. van Dijk menyatakan bahwa
“ideologies control more specific group attitudes and how personal mental models of journalists about news events control a ctivities of news making, such as assignments, news gathering, interviews, news writing, editing and final make up” (Dijk, 2009, h. 195).
Sehingga Hal ini memungkinkan terjadinya perbedaan berita suatu peristiwa yang sama.
Fenomena ini merupakan hal yang wajar karena adanya perbedaan nilai-nilai yang
dianut oleh wartawan.
2. Hal yang Mempengaruhi Isi Berita
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa berita dikonstruksi oleh media
massa. Pembuatan konstruksi berita tidak hanya dipengaruhi oleh faktor psikologi
wartawan tetapi juga organisasi, dan politik media massa (Entman, Matthes, &
Pellicano, 2009, h. 175). Shoemaker dan Reese (1996) menjelaskan tentang hal-hal
yang mempengaruhi isi dari media massa. Faktor-faktor tersebut antara lain, faktor
individu pekerja media, faktor rutinitas media, faktor organisasi media, faktor eksternal
media, dan faktor ideologi yang ada pada masyarakat.
Gambar 1: Hirarki faktor yang mempengaruhi pemberitaan model Shoemaker dan Resse
Gambar diatas menjelaskan mengenai berbagai pihak yang memiliki kepentingan
yang membentuk isi dari media massa. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi isi
media massa baik secara langsung maupun tidak langsung.
Konstruksi pemberitaan tentang konflik internasional sangat erat kaitannya dengan
propaganda. Hal ini dikarenakan dalam sebuah pemberitaan konflik pemerintah akan
mengatur arus informasi yang beredar ke media massa (Tumber, 2004). Hallin (1986)
menyebutkan bahwa apa yang dikatakan oleh media massa Amerika mengenai perang
Vietnam mengacu kepada kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh para elit politik
saat itu. Pembatasan informasi ini membuat media massa lokal harus mengambil berita
dari agensi-agensi berita ataupun kantor berita milik pemerintah dari negara yang
berkonflik.
Adanya pembatasan informasi serta kebijakan pemerintah lokal yang harus
dipatuhi, maka berita-berita konflik internasional tidak langsung disajikan apa adanya
kepada khalayak. Proses pembuatan sebuah pemberitaan internasional dengan
perspektif nasional atau yang biasa disebut dengan domestication of news diperlukan
karena target pasar setiap media massa berbeda karakteristik di setiap negara
(Dimitrova, Kaid, Williams, Trammell, 2005, h. 24). Domestication of news bisa
dilakukan dengan tiga cara yaitu ; menggunakan sudut pandang aktor yang berbeda,
menggunakan sudut pandang tema yang berbeda, dan juga menggunakan strategi
komunikasi yang berbeda. Oleh karena itu pemberitaan tentang sebuah kejadian
internasional di negara yang berbeda memungkinkan terjadinya perbedaan.
Robertson (dalam Clausen, 2003) menyebutkan bahwa, teradapat dua konsep
pada domestication of news yaitu standardisasi dan diferensiasi. Standardisasi mengacu
pada format standar berita yang diakui dunia internasional seperti kelengkapan unsur
pemberitaan dapat dikatakan layak untuk dibaca oleh khalayak internasional.
Sedangkan konsep diferensiasi mengacu pada sudut pandang (point of view) berita.
Setelah terjadinya domestication of news berita akan mengalami pergeseran sudut
pandang menjadi sudut pandang lokal, sehingga membuat bingkai berita menjadi
berbeda meskipun memiliki isu dan sumber yang sama.
Pendapat diatas dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh Dimitrova, Kaid,
Williams, dan Trammell (2005), yang menemukan adanya perbedaan ekstrim antara
berita media nasional Amerika dengan media massa Internasional lainnya terkait
dengan perang Iraq. Media massa Amerika lebih banyak memberitakan tentang
kepedulian Amerika terhadap Iraq, sedangkan media Internasional lainnya lebih
menekankan pada isu perang dan tanggung jawab yang harus Amerika berikan akibat
perang tersebut.
Penulis sebelumnya telah menjelaskan sekilas tentang Ideologi secara umum
dalam mempengaruhi pemberitaan. Kaitannya dengan media massa ideologi tidaklah
harus merupakan ide-ide besar, cara pandang mengenai suatu fakta juga termasuk
dalam ideologi. Peran pemberitaan media massa dalam ideologi adalah sebagai
mekanisme integrasi sosial untuk menjaga nilai-nilai kelompok (Eriyanto, 2011, h. 145).
Dengan demikian ideologi yang dianut oleh media massa akan sejalan dengan ideologi
yang dianut oleh khalayak sasaran media massa.
Fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini justru media massa sering
mengabaikan mekanisme tersebut. Freddy H. Tulung1 dalam sambutannya pada buku
panduan pelaksanaan PSO (Public Service Obligation) bidang Pers LKBN Antara 2013,
mengatakan bahwa kapitalisasi media menyebabkan fakta yang disajikan lebih
1 Freddy H. Tulung adalah Direktur Jendral Informasi dan Komunikasi Publik Kementrian Komunikasi dan
berdasarkan kepentingannya. Kepentingan media massa dapat dilihar dari tujuan media
massa tersebut didirikan. Shoemaker & Resse (1996, h. 139) mengatakan bahwa ketika
media massa dimiliki oleh swasta, maka pemilik akan berorientasi kepada keuntungan
secara ekonomi. Sehingga, idologi kapitalis akan menjadi cara pandang kebanyakan
media massa yang memegang prinsip bad news is a good news.
Ideologi pemilik media massa akan mempengaruhi garis pencitraan berita
media massa (Wazis, 2012, h. 5). Fenomena kapitalisasi media massa di Indonesia
terlihat dari adanya beberapa media massa yang dimiliki oleh kelompok-kelompok
tertentu. Sebagai contoh, MNC Grup yang membawahi RCTI, Global TV, Koran Sindo,
dan portal berita koran-sindo.com. Contoh lain adalah Media Indonesia Grup yang
memiliki Harian Media Indonesia, Metro-TV, metrotvnews.com dan portal berita
mediaindonesia.com. Praktik kapitalisasi media massa di Indonesia tidak hanya
menyebabkan bias dalam pemberitaan dikarenakan pengaruh ideologi media tersebut,
tetapi juga keseragaman isi konten media massa termasuk berita.
Setelah mengetahui ideologi media massa selanjutnya adalah bagaimana ideologi
tersebut mempengaruhi pemberitaan. Hallin (1986, h. 116), menjelaskan bagaimana
pemberitaan dibagi kedalam tiga peta ideologi yakni sphare of consensus, Sphere of
Legitimate Controversy, dan Sphere of Deviance. Peta ideologi ini akan membantu
Gambar 2 : Sphare of consensus, Legitimate Controversy, & Deviance
Sphare of Consensus
Sphare of Legitimate Controversy
Sphare of Deviance
Sumber : Daniel C. Hallin. (1986, h. 117). The Uncensored War.
Menurut Jhon Hartley (Eriyanto, 2011, h. 154), berita hampir mirip seperti novel
atau fiksi yang menampilkan tokoh dua sisi untuk dipertentangkan. Disinilah pengaruh
ideologi akan tampak dalam pemberitaan. Seperti yang telah diketahui secara umum
bahwa dalam sebuah peliputan berita yang baik akan dicari dua pendapat yang bertolak
belakang dari sebuah fenomena agar berimbang. Narasi sebuah berita yang dibuat oleh
wartawan dan media massa akan menampilkan kedua sisi tersebut bukan untuk
menunjukan kedua pendapat tersebut sama benarnya, namun untuk menekankan liputan
pada dua sisi tersebut (Eriyanto, 2011, h. 155). Sisi mana yang akan lebih ditekankan
pada sebuah berita tergantung ideologi yang ada pada media massa tersebut.
Untuk lingkup yang lebih mikro, konstruksi pemberitaan dapat dilakukan pada
ranah struktur dan kelengkapan berita. Sebuah berita memiliki struktur dan
kelengkapan berita yang harus dipenuhi sehingga berita tersebut layak disebar luaskan
ke khalayak. Eriyanto (2011, h. 299) menjelaksan bahwa kelengkapan informasi pada
berita dapat dilihat dari kelengkapan 5W + 1H atau what, where, when, who, why, dan
how. Abdul Chaer (2010) menyebudkan bahwa struktur berita terutama pada staight
news terdiri dari headline, lead, isi, dan penutup. Namun yang perlu diingat adalah
199). Sehingga kelengkapan informasi dan struktur berita menjadi alat dalam
melakukan konstruksi pemberitaan (Entman, Matthes, & Pellicano, 2009, h. 179).
Konstruksi pada berita tidak hanya terjadi pada tulisan, tetapi juga pada foto. Foto
merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari sebuah berita. Foto dalam sebuah
berita biasa dikenal dengan istilah fotojurnalistik. Fotojurnalistik bukanlah realitas
melainkan hasil konstruksi realitas. Hal ini menurut Goldstain (2007, h. 65)
dikarenakan lensa kamera tidak akan pernah menyamai mata manusia. Sehingga,
walaupun foto yang dihasilkan adalah potret realitas tetaplah representasi berbentuk
dua dimensi.
Foto dalam dunia jurnalistik hadir untuk memenuhi unsur objektifitas sebuah
berita. Namun sampai saat ini, objektivitas sebuah foto masih belum mampu
mengungkapkan peristiwa secara utuh. Hal ini terjadi ketika sebuah peristiwa diambil
dengan angle dan pengeditan yang berbeda oleh wartawan. Perbedaan dalam
pengambilan angle akan menyebabkan perbedaan makna dari sebuah foto bahkan dapat
menimbulkan sekan yang bertolak belakang (Wijaya, 2011, h. 34).
Pengeditan merupakan suatu proses konstruksi yang dibagun oleh fotografer
untuk membentuk persepsi masyarakat mengenai suatu foto. Goldstein (2011, h. 72),
menyebutkan bahwa ada dua jenis pengeditan foto jurnalistik yaitu pengeditan temporal
dan pengeditan spasial. Pengeditan dalam fotojurnalistik merupakan hal yang wajar dan
diperbolehkan selama tidak berlibihan dan membelokan makna dari foto tersebut
(Wijaya, 2011). Selama pengeditan hanya ditujukan untuk menonjolkan sisi tertentu,
maka fotojurnalistik tersebut akan bisa ditampilkan kepada publik. Tetapi,
bagaimanapun tujuan pengeditan tetaplah untuk membentuk persepsi kepada
Hubungan foto jurnalistik dengan penelitian ini adalah karena foto dan berita
merupakan satu kesatuan teks. Sehingga, jika ingin meneliti mengenai konstruksi
pemberitaan, maka foto pada berita merupakan bagian yang juga harus diteliti. Selain
itu, foto dalam berita bukan hanya sebagai penghias atau tambahan dari sebuah berita,
tetapi juga sebagai alat untuk menekankan arti tertentu kepada pembaca (Eriyanto,
2011).
3. Agenda Setting
Media massa dalam membuat pemberitaan akan membingkai berita tersebut
dalam suatu narasi. Namun pembikaian berita sebenarnya sudah dimulai pada tahap
sebelum terjadinya liputan atau bisa disebut dengan agenda setting. McQuail (2000, h.
426) menjelaskan bahwa
“Agenda setting is a proces by wich the relative attention given to items or issues in news converage influences in the rank order of public awa reness of issues and atribution of significance”
Teori agenda setting menyatakan bahwa media massa sebagai pusat penentuan
kebenaran (Tamburaka, 2012, h.22). Hal ini karena media massa memiliki kemampuan
dalam mengatur arus informasi kepada khalayak, sehingga apa yang menjadi agenda
media akan menjadi agenda publik.
McCombs (dikutip dari Griffin, 2004, h. 396-397) menjelaskan bahwa terdapat
dua level dalam agenda setting. Level pertama menjelaskan tentang penyampaian
tentang objek yang dianggap penting kepada khalayak. Sedangkan level kedua
menjelaskan tentang menonjolkan (salience) hal yang dianggap penting dari
atribut-atribut yang ada dalam objek tersebut. Level kedua ini menurut Griffin selaras dengan
konsep framing. Dengan kata lain, Coleman, McCombs, Shaw, dan Weaver (2009, h.
disajikan media menjadi sentral atensi publik. Sedangkan pada level kedua mengkaji
bagaimana khalayak memahami apa yang menjadi atensi tersebut.
Keterkaitan agenda setting dengan framing dibuktikan penelitian yang
dilakukan oleh Sung-Yeon Park, Kyle J. Holody and Xiaoqun Zhang pada tahun 2012
yang meneliti tentang pemberitaan penembakan di kampus Virginia Tech (VT) yang
terjadi pada tahun 2007. Penelitian tersebut memakai teori framing dan atribut agenda
setting untuk membahas pemberitaan pada tiga media massa yang berbeda.. Selain pada
penelitian tersebut, keterkaitan antara agenda setting dengan framing digambarkan oleh
Griffin (2004, h. 398) menyatakan bahwa “ the media may not only tell us what to think
about, they also may tell us how and what to think about it”.
Pemahaman tentang Agenda setting menjadi penting dalam penelitian ini karena
media massa dalam pemberitaan dilakukan proses agenda setting terlebih dahulu
sebelum membentuk frame pada pemberitaan. Namun, penelitian kali ini tidak akan
berfokus kepada teori dan analisis agenda setting.
4. Konsep Framing
Sebelum masuk pada pembahasan mengenai konsep framing peneliti akan
menjelaskan perbedaan antara fame dan framing. Frame dipahami sebagai pengulangan
dengan menggunakan kata-kata dan simbol-simbol yang serupa dan identik mengenai
suatu objek (Entman, Matthes, & Pelicano, 2009, h. 177). Frame dilakukan dengan
tujuan untuk membentuk interpretasi khalayak mengenai suatu objek, sehingga
menimbulkan pertimbangan moral dan emosional. Sedangkan secara garis besar
Framing merupakan proses yang melibatkan “frame-building” (frame yang
dimunculkan oleh media massa) dan “frame-setting” (frame yang cenderung muncul di
Frame-Building adalah bagaimana cara media massa melihat dan membentuk
sebuah realitas. Pada tahap frame building, pembentukan realitas akan dipengaruhi oleh
faktor-faktor pekerja media, rutinitas media, organisasi media, eksternal media, dan
ideologi (Shoemaker & Resse, 1996). Frame-Building akan sampai pada menghasilkan
produk media massa. Dalam hal penelitian ini, produk media massa yang dimaksud
adalah teks berita.
Saat cara pandang media massa mengenai suatu realitas telah dituangkan dalam
bentuk produk media massa, maka produk tersebut akan terbagi menjadi dua frame
yaitu, issues specific frame dan generic frame (de Veerse, 2004, h. 54). Issues specific
frame hanya dilakukan dengan mengerucutkan berita hanya pada topik atau isu tertentu
(Entman, Matthes, & Pelicano, 2009, h. 176). Dengan kata lain, isu yang berbeda akan
memiliki frame yang berbeda pula. Penelitian mengenai frame jenis ini pernah
dilakukan oleh Kostadinova & Dimitrova (2012) yang menjelaskan framing pada berita
ekonomi pada negara pos-komunis Bulgaria. Serta penelitan yang dilakukan oleh
Elmasry, M.H., Shamy A.El., Manning, P., Mills, A., & Auter, P.J. (2013) yang
meneliti pemberitaan konflik antara Israel-Palestina pada Al-Jazeera dan Al-Arabiya
pada periode tidak terjadinya ketegangan.
Generic frame merupakan cara pemberitaan media yang tidak terbatas pada topik
atau isu yang spesifik. Generic frame dibagi menjadi episodik dan tematik (Entman,
Matthes, & Pelicano, 2009, h. 176). Episodik digunakan ketika isu-isu terkait pada satu
objek. Penelitian mengenai jenis ini pernah dilakukan oleh Marland (2012) yang
menjelaskan tentang framing pada foto politik dan visual management yang dilakukan
oleh Perdana Mentri Kanada. Sedangkan tematik digunakan ketika penelitian memiliki
tema yang terdiri dari beberapa isu dan tidak terbatas pada pembatas-pembatas tertentu.
Williams, A.P., & Trammell, K.D. (2005) yang meneliti tentang pemberitaan konflik
di Iraq oleh 246 portal berita internasional di internet. Untuk melijelaskan lebih lanjut
tentang proses framing, dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 3 : Proses Framing
Sumber: de Verse (2005, h. 51), News framing: Theory and typology dalam Information Design
Journal + Design 13(1).
Menurut Eriyanto (2011, h. 167), framing biasa dilakukan dengan mendefinisikan
realitas tertentu, penonjolan aspek tertentu, penyajian sisi tertentu, dan pemilihan fakta
tertentu. Dengan melakukan framing seperti ini, maka hasil konstruksi realitas yang
dilakukan oleh media massa akan menimbulkan efek. Efek dari framing adalah
menciptakan opini dalam diri khalayak. James Druckman (Entman, Matthes, &
Pellicano, 2009, h. 181) menjelaskan bahwa efek dari framing adalah gabungan atas
frames in comunication dengan frames in thought. Walaupun demikian, frames in
communication yang disampaikan oleh media massa melalui konstruksi realitasnya
akan menjadi hal yang lebih dominan. Hal ini karena konstruksi dari media massa yang
dominan dalam membentuk frames in thought.
Setelah mengetahui tentang frame dan framing, selanjutnya adalah analisis
framing. Hal ini karena analisis framing berangkat dari paradigma kualitatif yang
dideskripsikan secara mendalam dengan sedikit atau tanpa kuantifikasi (Entman,
Matthes, & Pellicano, 2009, h. 180). Oleh karena itu, yang dianalisis pada analisis
framing adalah murni teks dari suatu produk media massa, dalam hal penelitian ini
adalah berita. Sehingga menurut Entman (1993), setiap peneliti yang menggunakan
penelitian dengan analisis framing harus membuat matriks untuk setiap teks berita, dan
di dalam matriks tersebut akan dianalisis setiap preposisinya.
Untuk menganalisis sebuah teks dengan analisis framing bisa digunakan dengan
banyak pendekatan seperti visual framing, valence framing, generic framing,
issue-specific framing, dan sebagainya. Namun pada penelitian-penelitian analisis framing di
Indonesia biasa dipakai empat model framing. Eriyanto (2011) menyebutkan keempat
model tersebut adalah model dari Murray Edleman yang menekankan tentang
kategosrisasi. Model Robert M. Entman yang menekankan kepada seleksi isu dan
penonjolan aspek. Model William A Gamson yang menekankan kepada kemasan berita.
Serta model Pan dan Kosicki yang menekankan kepada konsepsi psikologis dan
Daftar Pustaka
Barker, C. (2005). Cultural StudiesTeori & Praktik. (Nurhadi, Terjemahan). Bantul: LPKM
Bastian, G.C., Leland, D.C., & Baskette, F.Y. (1956). Editing the day’s news : An introduction
to newspaper copyediting, headline writing, ilustration, makeup and small magazine production (4th ed.). New York : the Macmillian Company
Becker, L. & Vlad, T. (2009). Journalism and Globalization. Dalam K. Wahl-Jorgensen, T. Hanitzsch (Ed.). The handbook of journalism studies (h, 341-357). New York : Routledge
Berkowitz, D.A. (2009). Journalism and Globalization. Dalam K. Wahl-Jorgensen, T. Hanitzsch (Ed.). The handbook of journalism studies (h, 341-357). New York : Routledge
Brewer, P.R., & Macafee, T. (2007). Anchors Away: Media Framing of Broadcast Televisio n Network Evening News Anchors. The Harvard International Journal of Press/Politics 12(4), 3-19. DOI: 10.1177/1081180X07307526
Clausen, L. (2003). Global News Communication Strategies: 9.11.2002 around the world.
Nordicom Review (1), 105-115
Clausen, L. (2004). Localizing the Global: 'Domestication' Processes in International News Production. Media, Culture, & Society 26(25), 25-44. DOI: DOI: 10.1177/0163443704038203
Coleman, R., McCombs, M., Shaw, D., & Weaver, D. (2009). Journalism and Globalization. Dalam K. Wahl-Jorgensen, T. Hanitzsch (Ed.). The handbook of journalism studies
(h, 341-357). New York : Routledge
Cottle, S. (2009). Journalism and Globalization. Dalam K. Wahl-Jorgensen, T. Hanitzsch (Ed.).
The handbook of journalism studies (h, 341-357). New York : Routledge
De Vreese, C.H. (2005). News Framing: Theory and typology. Information Design Journal + Document Design 13(1).
DiMaggio, A.R. (2008). Mass media, mass propaganda: examining American news in the "War on terror". Plymouth : Lexington Books
Dimitrova, D.V., Kaid, L.L., Williams, A.P., & Trammell, K.D. (2005). War on the Web The Immediate News Framing of Gulf War II. The Harvard International Journal of Press/Politics 10(1), 22-44. DOI: 10.1177/1081180X05275595
Dimmick, J., Feaster, J.C. & Hoplamazian, G.J. (2011). News in the interstices: The niches of mobile media in space and time. new media & society 13(1). 23–39. DOI: 10.1177/1461444810363452
Djuraid, H. N. (2012). Panduan Menulis Berita. Malang : UMM Press
Entman, R.M., Matthes, J., & Pellicano, L. (2009). Nature, Sources, and Effects of News Framing. Dalam K. Wahl-Jorgensen, T. Hanitzsch (Ed.). The handbook of journalism studies (h, 175-190). New York : Routledge
Entmant, R.M. (2010). Media framing biases and political power: Explaining slant in news of Campaign 2008. Journalism 11(4), 389–408. DOI: 10.1177/1464884910367587
Eriyanto. (2011). Analisis Framing : Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta : LkiS
Fowler, E.F., Gollust, S.E., Dempsey, A.F., Lantz4, P.M., & Ubel P.A. (2102). Issue Emergence, Evolution of Controversy, and Implications for Competitive Framing: The Case of the HPV Vaccine. The International Journal of Press/Politics 17(2), 169–189. DOI: 10.1177/1940161211425687
Gagnon, V.B. (2011). International News Production. Global Media Journal4(1), 187-194
Garyantes, D.M., & Murphy, P.J. (2010). Success or Chaos? Framing and Ideology in News Coverage of the Iraqi National Elections. The International Communication Gazette 72(2) 151–170. DOI: 10.1177/1748048509353866
Ghannam, J. (2011). Social Media in the Arab World: Leading up to the Uprisings of 2011. Washington : Center for International Media Assistance
Goldstain, B. M. (2007). All Photos Lie: Images as Data. Dalam Gregory C. Stanczak (Ed.).
Visual Reaserch Methods (h. 61–81). California : Sage Publication
Goron, C. Hrinbernik, M. (2013). North Korea : Hungry for Change. EIAS Briefing Paper 04. 1-25
Griffin, Em.A. (2004) A First look At Communication Theory (5th Ed.). Singapore : McGraw-Hill
Hallin, D.C. (1986). The uncensored War : The Media and Vietnam. Oxford : Oxford University Press
Im, Yung-Ho., Kim, Eun-mee., Kim, K., & Kim, Y. (2011). The emerging mediascape, same old theories? A case study of online news diffusion in Korea. New Media & Society. 13 (4). 605-625. DOI: 10.1177/1461444810377916
Kostadinova, P., Dimitrova, D. V. (2012). Communicating policy change: Media framing of economic news in post-communist Bulgaria. European Journal of Communication 27(2), 171– 186. DOI: 10.1177/0267323112449097
Kriyantono, R. (2006). Teknik praktis riset komunikasi. Jakarta : Kencana
Kusumaningrat, H., & Kusumaningrat, P. (2012). Jurnalistik: Teori dan Praktik. Bandung : Remaja Rosdakarya
Kominfo, & LKBN Antara. (2013). Panduan Pelaksanaan PSO Bidang Pers LKBN Antara 2013. Jakarta : Antara Publishing
Lewis S.C., & Reese, S.D. (2009). What is the War on Terror? Framing through the Eyes of Journalists. Journalism & Mass Communication Quarterly 86(1), 85-102. DOI: 10.1177/107769900908600106
LKBN Antara. (2012). Stylebook : Panduan Penulisan Berita Antara 2012. Jakarta : Antara Publishing
Lim, J. (2013). Power relations among popular news websites for posting headlines through monitoring and imitation. New Media & Society. 15 (7). 1112-1131 DOI : 10.1177/1461444812466716
Marland, A. (2012). Political Photography, Journalism, and Framing in the Digital Age: The Management of Visual Media by the Prime Minister of Canada. The International Journal of Press/Politics 17(2), 214–233. DOI: 10.1177/1940161211433838
McCombs, M. (2005). A Look at Agenda-setting: past, present and future. Journalism studies, 6 (4), 543-557
McMenamin, I., Flynn, R., O’Malley, E., & Rafter, K. (2012). Commercialism and Election Framing: A Content Analysis of Twelve Newspapers in the 2011 Irish General Election. The International Journal of Press/Politics 18(2), 167-187. DOI: 10.1177/1940161212468031
McNair, B. (2009). Journalism and Democracy. Dalam K. Wahl-Jorgensen, T. Hanitzsch (Ed.).
The handbook of journalism studies (h, 237-249). New York : Routledge
McQuail, D. (2000). Mass communication theory : An introduction (4th ed.). London : Sage Publication
Mencher, M. (2003). News reporting and writing (9th ed.). New York. McGraw-Hill
Meraz, S., & Papacharissi, P. (2013). Networked Gatekeeping and Networked Framing on #Egypt. The International Journal of Press/Politics 18(2), 138-166. DOI: 10.1177/1940161212474472
Moleong, L.J. (2013). Metonologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya
Mondry. (2008). Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik. Bogor : Gahlia Indonesia
Nabila, D. (2014). Analisis Framing Pemberitaan Banjir Jakarta Januari 2013 Di Harian Kompas dan Ja wa Pos. Malang : Universitas Brawijaya
Papacharissi, Z., & Oliveira, M. F. (2008). News Frames Terrorism: A Comparative Analysis of Frames Employed in Terrorism Coverage in U.S. and U.K. Newspapers. The International Journal of Press/Politics 13(1), 52-74. DOI: 10.1177/1940161207312676
Park, S.Y., Holody, K.J., & Zhang, X. (2012). Race in Media Coverage of School Shootings: A Parallel Application of Framing Theory and Attribute Agenda Setting. Journalism & Ma ss Communication Quarterly 89(3) 475– 494. DOI: 10.1177/1077699012448873
Potter, W.J. (2005). Media literacy (3rd Ed.). California : Sage Publication, Inc.
Reese, S. (2009). Finding frames in a web of culture: The case of the War on Terror. Dalam P. D’Angelo, & J. Kuypers (ed.). Doing News Fra ming Analysis: Empirical, Theoretical, and Normative Perspectives. New York: Routledge
Richardson, J.D., & Lancendorfer, K. M. (2004). Framing Affirmative Action The Influence of Race on Newspaper Editorial Responses to the University of Michigan Cases. The Harvard International Journal of Press/Politics 9(4), 74-94. DOI: 10.1177/1081180X04271863
Schechter, D. (2003). Media wa rs : news at a time of terror. Oxford : Rowman & Littlefield Publishers
Seib, B. (2004). Beyond The Front Lines: how the news media cover a world shaped by war. New York : Palgrave Macmillan
Shoemaker, P.J., Resse, S.D. (1996). Mediating the Message: Theories of Influences on Mass Media Content. New York : Longman
Sobur, A. (2009). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung : Remaja Rosdakarya
Srivastava, M. P. (1982). The Corean Conflict Search For Unification. New Delhi : Prince-Hall Of India Private Limited
Tamburaka, A. (2012). Agenda Setting Media Massa. Jakarta : RajaGrafindo Persada
Tumber, H. (2009). Convering War and Peace. Dalam K. Wahl-Jorgensen, T. Hanitzsch (Ed.)
The handbook of journalism studies (h, 386-397). New York : Routledge
Tumber, H., & Palmer, J. (2004). Media At War : The Iraq Crisis. London : SAGE Publications
Tumber, H., & Wbster, F. (2004). Journalists Under Fire Information War and Journalistic PracticesCrisis. London : SAGE Publications
Van Dijk, T.A. (2009). News, Discourse, and Ideology. Dalam K. Wahl-Jorgensen, T. Hanitzsch (Ed.) The handbook of journalism studies (h, 191-204). New York : Routledge
Waziz, K. (2012). Media massa dan konstruksi rea litas. Malang : Aditya Media Publishing
Wimmer, R.D., & Dominick, J.R. (2011). Mass Media Research: An Introduction (9th ed). Boston : Wadsworth
Wijaya, T. (2011). Fotojurnalistik. Klaten : Sahabat
Artikel Online :
Burhandi, R. (2013). Korea Utara konfirmasi lakukan uji coba nuklir. Antaranews.com. dikases dari http://www.antaranews.com/berita/358009/korea-utara-konfirmasi-lakukan-uji-coba-nuklir
http://mmc.twitbookclub.org/MMC910/Readings/Week%2007/News%20framing.p df
Saputra, D. (2012). Korea Utara luncurkan roket jarak jauh. Antaranews.com. Diakses dari
http://www.antaranews.com/berita/348147/korea-utara-luncurkan-roket-jarak-jauh
Sujoko, A. (2013). Diversity of Media= Diversity of Content?. Diakses pada April 2014, dari