BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teoritis
2.1.1 Gambaran Umum Lahan Kering di Desa Kebondowo
Secara geografis Desa Kebondowo terletak dalam Kecamatan Banyubiru di ujung barat daya Kabupaten Semarang. Memiliki 10 Kecamatan antara lain Wirogomo, Kemambang, Sepakung, Kebumen, Gedong, Robowoni, Tegaron, Kebondowo, Banyubiru dan Ngrapah. Secara keseluruhan luas wilayah Kecamatan Banyubiru adalah 5.451,45 ha. Desa Sepakung memiliki wilayah terluas yakni 954,6 ha. Desa Kebondowo merupakan wilayah terluas kedua dengan luas wilayah 693,02 ha. Sedangkan wilayah wilayah tersempit terdapat di Desa Ngrapah dengan luas wilayah 303,41 ha. (BPS, 2015).
Dilihat dari nilai elevasi gambaran keadaan lahan kering Desa Kebondowo memiliki kelerengan yang beragam. Memiliki rentang elevasi mulai dari 470 mdpl hingga 940 mdpl. Rata-rata curah hujan pertahun yang tidak terlalu tinggi antara 1500 – 2000 mm/thn. Dengan rentang suhu antara 220C – 250C dan rata-rata kelembaban 83%. Memiliki tipe jenis tanah Regosol-Aluvial atau biasa disebut Entisol. Menurut Buckman dan Brady (1982) Entisol merupakan tanah baru yang masih mengalami berbagai perubahan dari segi kimia maupun fisik. Pemenuhan kebutuhan hara dan air secara teratur memiliki potensi jenis tanah yang produktif.
Tipe penggunaan lahan kering Desa Kebondowo masuk dalam kategori
kriteria wilayah berbukit dan bergelombang. Dan beberapa wilayah lainnya memiliki kelerengan yang sangat curam.
2.1.2 Evaluasi Kesesuaian Lahan Kering dan Sistem Informasi Geografi Lahan merupakan bagian dari bentang alam yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi, tanah, hidrologi, dan vegetasi alami dimana semuanya secara alternatif akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (Djainudin, 2003). Lahan kering di Indonesia sangat alternatif untuk pengembangan dalam sektor pertanian, sekitar 70,70 juta ha di dataran rendah dan 5,50 juta ha didataran tinggi (Kurnia, 2004). Menurut Suryoko (2008) lahan kering merupakan kawasan yang digunakan untuk usaha pertanian tanpa penggenangan air baik secara permanen ataupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau irigasi. Potensi lahan kering/ tegalan untuk budidaya tanaman pangan sangat tinggi tetapi terkendala oleh ketersediaan air yang rendah. Menurut Rintung (2007) definisi lahan kering merupakan hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian besar waktu dalam setahun atau sepanjang waktu.
Syarat utama untuk menggunakan lahan kering yakni karakteristik tanah masuk dalam kriteria sesuai atau dapat memenuhi syarat tumbuh suatu komoditas. Secara umum, tingkat kesesuaian lahan kering di Indonesia tergolong marginal karena terkendala kesuburan tanah, jenis dan tekstur tanah yang berbeda, pH yang rendah, topografi yang berlereng sehingga perlu dilakukan peninjauan kesesuaian komoditas tanaman spesifik lokasi (Kurnia, 2004). Lahan kering dapat digunakan dengan berbagai macam cara tergantung kondisi keadaan topografi pada wilayah tersebut. Pada wilayah yang memiliki kelerengan 0% - 15% digunakan sebagai lahan pertanian aktif (tanaman semusim) atau kandang ternak. Penggunaan lahan pada kelerengan 15% - 25% untuk wilayah perkebunan tanaman tahunan bauk buah atau pun kayu. Untuk wilayah dengan kelerengan >40% sebaiknya digunakan untuk lahan konservasi/ hutan lindung.
lahan. Menurut Sitorus (dalam Suryoko, 2008) evaluasi kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan sifat sumber daya yang ada pada lahan tersebut. Fungsi evaluasi kesesuaian lahan adalah memberikan pengertian tentang kondisi lahan dan penggunaannya serta memberikan perencanaan yang dapat memberikan hasil yang positif. Evaluasi kesesuaian lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan (Rintung, dkk., 2007). Menurut Hardjowigeno (2007 dalam Samuel, 2012) Bila semua persyaratan penggunaan lahan dapat dipenuhi oleh kualitas (karakteristik) lahan yang ada maka lahan tersebut masuk kelas sesuai untuk penggunaan lahan yang dimaksud. Sebaliknya bila ada satu kualitas atau karakteristik yang tidak sesuai maka lahan tersebut termasuk dalam kelas tidak sesuai.
2.1.3 Jahe (Zingiber officinale) 2.1.3.1 Syarat Tumbuh Tanaman
Menurut Djaenudin, dkk (2003) jahe dapat tumbuh pada ketinggian tempat 0 – 1.500 mdpl tetapi optimum pada ketinggian 300 - 900 mdpl, temperatur rata-rata 25 - 300C, jumlah bulan basah 7-9 bulan dengan curah hujan 2500 – 3500 mm/ tahun, membutuhkan intensitas cahaya antara 70 - 100% atau agak ternaungi hingga terbuka. Menurut BPTP (2008) jahe dapat tumbuh baik pada jenis tanah latosol, andosol, Asosiasi regosol – andosol dengan tekstur tanah lempung, lempung liat berpasir dan pH tanah antara 6,8 – 7,4. Berdasarkan deskripsi varietas jahe dapat dipanen pada usia 8 bulan hingga 9 bulan. Rata – rata produksi dapat dihasilkan dalam 1 kali tanam adalah 3,2 ton/ha hingga 12 ton/ha.
Jahe adalah tanaman berbatang semu dan berdiri tegak mencapai 0,75m. Jahe merupakan modifikasi bentuk dari batang dan pada bagian luarnya ditutupi dengan daun yang berbentuk sisik tipis, tersusun melingkar. Rimpang jahe merupakan bagian tanaman jahe yang memiliki nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan antara lain sebagai rempah, bumbu masak, bahan baku obat tradisional, dan lain sebagainya (Bermawie dkk., 2011).
2.1.3.1 Potensi Budidaya di Indonesia
Gambar 2.1. Luasan Areal Panen menurut Pribadi (2013) Menurut Pribadi (2013) Sumatera merupakan sentra produksi jahe terbesar di Indonesia. Akan tetapi seiring berjalannya waktu menurunnya ketersediaan bahan organik dan munculnya serangan penyakit layu bakteri menyebabkan menurunnya areal panen. Hal ini yang menyebabkan sentra produksi jahe mulai berpindah ke daerah jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Tabel 2.1. Rataan produksi jahe di beberapa wilayah Indonesia
Wilayah Periode
1989-1993 1994-1998 1999-2003 2004-2008 2009-2011 Sumatera 50.715 ton 37.857 ton 21.930 ton 21.415 ton 22.065 ton
Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara 23.680 ton 37.826 ton 92.590 ton 117.158 ton 74.030 ton
Kalimantan 643 ton 950 ton 1.046 ton 4.792 ton 7.580 ton
Sulawesi dan Maluku 192 ton 295 ton 706 ton 4.744 ton 3.746 ton
Papua 0 0 0 135 205
Indonesia 75.158 76.928 116.272 148.244 107.626
Sumber: Pribadi (2013)
terutama daerah jawa. Peluang untuk budidaya jahe cukup besar dikarenakan sentra pasar mulai berpindah ke area jawa dan sehingga petani tidak kesulitan dalam penjualan hasil panen.
Rostiana dkk, (2005) mengatakan bahwa terdapat 3 jenis jahe yang umum diperdagangkan yaitu: jahe gajah (Zingiber officinale Rosc. var. officinale), jahe emprit (Zingiber officinale Rosc. var. vubrum), jahe merah (Zingiber officinale Rosc. var. anarum). Pemilihan jenis varietas dilakukan berdasarkan keadaan wilayah setempat. Menurut deskripsi varietas Balittro (2011) jenis varietas jahe yang paling sesuai dibudidayakan di Desa Kebondowo adalah Jahe Merah (Jahira 2) hal ini didasari rekomendasi daerah pengembangan untuk varietas jahe tersebut.
2.2 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan kajian teoritis maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut:
1) Pada lahan kering di daerah Desa Kebondowo akan muncul kelas kesesuaian lahan S1 dan S2.
2) Faktor pembatas yang akan berpotensi muncul dalam kesesuaian Jahe (Zingiber officinale) di lahan kering Desa Kebondowo adalah curah hujan, dan kelerengan.
2.3 Definisi Variabel Pengamatan
1. Kelas kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kelas kesesuaian lahan dinyatakan dalam kelas S1, S2, S3, dan N.
2. Kelas S1 yaitu wilayah yang tidak memiliki faktor pembatas yang berpengaruh nyata pada produktifitas lahan.
3. Kelas S2 yaitu wilayah yang mempunyai faktor pembatas yang mempengaruhi produtikfitas lahan namun masih mudah untuk diatasi petani sendiri.
4. S3 yaitu wilayah yang memiliki faktor pembatas berat yang berpengaruh pada produktifitas lahan dimana faktor pembatas tersebut sulit diatasi petani sehingga diperlukan intervensi pemerintah untuk menangani.
5. Kelas N yaitu wilayah yang memiliki faktor pembatas yang tidak bisa atau sangat berat untuk diatasi.
6. Temperatur udara atau suhu udara merupakan temperatur udara tahunan dan dinyatakan dalam °C.
7. Curah hujan merupakan curah hujan rerata 5 tahun terakhir dan dinyatakan dalam millimeter (mm).
8. Kelembaban udara merupakan kelembaban udara rerata tahunan dan dinyatakan dalam %.
9. Drainase merupakan pengaruh laju perkolasi air ke dalam tanah terhadap aerasi udara dalam tanah.
10.Tekstur menyatakan istilah dalam distribusi partikel tanah halus dengan ukuran <2 mm.
11.Bahan kasar menyatakan volume dalam % dan adanya bahan kasar dengan ukuran >2 mm.
12.Kedalaman tanah menyatakan dalamnya lapisan tanah dalam cm yang dapat dipakai untuk perkembangan perakaran dari tanaman yang dievaluasi.
13.KTK liat menyatakan kapasitas tukar kation dari fraksi liat. 14.Reaksi tanah (pH) nilai pH tanah di lapangan.
16.Salinitas kandungan garam terlarut pada tanah yang dicerminkan oleh daya hantar listrik.
17.Lereng menyatakan kemiringan lahan diukur dalam %.