• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2002). Pengobatan yang sering dilakukan untuk penyembuhan luka adalah dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2002). Pengobatan yang sering dilakukan untuk penyembuhan luka adalah dengan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kulit merupakan organ terluar dari tubuh manusia sehingga sangat rentan terluka. Luka dapat menyebabkan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi organ, pembekuan darah, invansi bakteri maupun kematian sel (Smeltzer dan Bare, 2002). Pengobatan yang sering dilakukan untuk penyembuhan luka adalah dengan obat-obatan sintetik seperti sodium klorida 0,9% atau larutan povidine iodine. Seiring berkembangnya slogan “back to nature” kini masyarakat lebih memilih obat-obatan yang berasal dari bahan alam. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terhadap tanaman yang mempunyai khasiat sebagai penyembuh luka.

Pisang ambon (Musa paradisiaca L.) dilaporkan dapat digunakan sebagai penyembuh luka. Bagian yang biasa digunakan untuk pengobatan luka antara lain getah pisang, daun pisang, daging buah pisang dan kulit pisang. Pada penelitian ini, bagian yang digunakan adalah kulit pisang. Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan kulit pisang adalah mudah diperoleh karena tanaman pisang tersebar luas dan sangat mudah tumbuh di kawasan tropis, seperti Indonesia. Selain itu, kulit pisang merupakan bahan yang diambil dari alam, sehingga memiliki efek samping yang minimal.

Kandungan senyawa dari ekstrak etanolik kulit pisang adalah flavonoid, tanin dan saponin (Akpuaka dan Ezem, 2011). Flavonoid memiliki kemampuan untuk menginhibisi pertumbuhan fibroblas (Khan dkk., 2012). Selain itu, flavonoid juga berfungsi sebagai antioksidan yang mampu menghambat zat yang

(2)

bersifat racun. Tanin berfungsi sebagai adstringen yang dapat mengecilkan pori-pori kulit, menghentikan eksudat dan pendarahan ringan. Flavonoid dan tanin berperan dalam proses remodelling (James dan Friday, 2010). Tanin juga memiliki daya antibakteri. Saponin memiliki kemampuan sebagai pembersih dan antiseptik yang berfungsi membunuh kuman dan mencegah perkembangan mikroorganisme yang biasa timbul pada luka sehingga luka tidak mengalami infeksi yang berat (Robinson, 1995).

Ekstrak diformulasikan dalam bentuk krim untuk mempermudah penggunaan.

Cold cream (w/o) memiliki daya sebar yang lebih baik daripada tipe o/w, walaupun

sedikit berminyak tetapi penguapan air yang terkandung dalam krim lebih lambat dan dapat mengurangi rasa panas di kulit. Sediaan krim lebih banyak disukai daripada salep karena lebih mudah menyebar rata.

Cera alba dan mineral oil merupakan basis krim yang dapat berpengaruh terhadap sifat fisik krim. Cera alba berfungsi untuk meningkatkan konsistensi krim serta dapat menstabilkan emulsi w/o, sedangkan mineral oil berfungsi sebagai emolien (Rowe dkk., 2009). Berdasarkan penelitian sebelumnya, kombinasi cera alba dan mineral oil dalam sediaan krim tidak menyebabkan eritema dan edema setelah dilakukan uji iritasi primer pada kelinci (Toding, 2012). Selain itu, krim juga stabil selama 4 minggu pada suhu kamar dilihat dari viskositas, daya sebar dan daya lekat (Shovyana, 2011). Kombinasi keduanya diharapkan dapat menghasilkan krim dengan sifat fisik yang baik dan mudah digunakan oleh pasien.

(3)

Metode Simplex Lattice Design (SLD) digunakan untuk mendapatkan formula krim yang memberikan sifat fisik yang baik. Dalam metode Simplex Lattice Design, jumlah total bagian komponen campuran dibuat tetap yaitu sama dengan satu bagian (Bolton dan Bon, 2004). Kelebihan dari metode Simplex Lattice Design adalah dapat menghindari trial and error.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaruh kombinasi cera alba dan mineral oil terhadap sifat fisik krim ekstrak etanolik kulit pisang ambon (Musa paradisiaca L.)?

2. Berapakah perbandingan komposisi cera alba dan mineral oil dalam sediaan krim ekstrak etanolik kulit pisang ambon (Musa paradisiaca L.) yang menghasilkan formula optimum menggunakan metode Simplex Lattice Design (SLD)?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh kombinasi cera alba dan mineral oil terhadap sifat fisik krim ekstrak etanolik kulit pisang ambon (Musa paradisiaca L.).

2. Mengetahui perbandingan komposisi cera alba dan mineral oil menggunakan metode Simplex Lattice Design (SLD) dalam sediaan krim ekstrak etanolik kulit pisang ambon (Musa paradisiaca L.) yang menghasilkan formula optimum.

(4)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan mengenai penggunaan cera alba dan mineral oil sebagai basis dalam sediaan krim serta menambah pengetahuan bahan alam yang dapat dimanfaatkan sebagai penyembuh luka. Keberhasilan penelitian ini diharapkan mampu menambah altenatif obat penyembuh luka yang lebih aman dan praktis.

E. Tinjauan Pustaka 1. Pisang Ambon (Musa paradisiaca L.)

Gambar 1. Pisang ambon

a. Pisang

Pisang merupakan tanaman asli dari daerah Asia Tenggara. Pisang dapat tumbuh pada daerah tropis maupun subtropis (Huang dkk., 2014). Tanaman pisang menyukai daerah alam terbuka yang cukup sinar matahari. Pisang tumbuh subur di daerah tropis (30° LU-30° LS) dengan suhu 27°-30° C. Curah hujan antara 1400-2450 mm per tahun dengan penyebaran yang

(5)

merata. Sedangkan pada daerah dengan musim kering yang panjang tanaman pisang membutuhkan pengairan.

Tanaman pisang merupakan tumbuhan yang tidak memiliki batang sejati. Batang yang berada di atas tanah merupakan batang semu yang tersusun dari kumpulan seludang daun yang saling membungkus rapat. Batang pisang yang sebenarnya terdapat pada bonggol yang tersembunyi di dalam tanah. Tunas-tunas yang tumbuh membentuk batang semu berasal dari akar dan tunas-tunas samping yang keluar dari bonggol.

b. Klasifikasi

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Bangsa : Scitamineae Suku : Musaceae Marga : Musa

Jenis : Musa paradisiaca L.

(Tjitrosoepomo, 1997) c. Kulit Pisang

Kulit pisang mengandung zat pati (3%), protein (6-9%), lemak (3,8-11%), serat (43,2-47,9%), polyunsaturated fatty acids, asam linoleat, asam α-linolenat, pektin, dan asam amino esensial seperti leucine, valine,

(6)

phenylalanine, dan threonine serta mikronutrien (K, P, Ca, Mg). Seiring

dengan kematangan pisang, terjadi peningkatan kadar gula, penurunan kadar zat pati dan hemiselulosa, serta peningkatan kadar protein dan lemak. Degradasi zat pati dan hemiselulosa oleh enzim endogen dapat menjelaskan peningkatan kadar gula dalam kulit pisang yang sudah matang. Karbohidrat yang terkandung dalam kulit pisang antara lain glukosa, galaktosa, arabinosa, rhamnosa, dan xylosa. Selain itu, kulit pisang mengandung lignin (6-12%), pektin (10-21%), selulosa (7,6-9,6%), hemiselulosa (6,4-9,4%) dan

galactouronic acid (Mahoptara dkk., 2010).

Kulit pisang yang belum matang mengandung flavonoid, tanin saponin, dan steroid. Namun, pada kulit pisang yang sudah matang, flavonoid dan tanin sudah tidak terkandung di dalamnya (Akpuaka dan Ezem, 2011). Ekstrak kulit pisang ambon dapat digunakan sebagai penyembuh luka karena kandungan zat aktifnya dapat menstimulasi fibroblast sebagai respon untuk persembuhan luka dan juga dapat meningkatkan aliran darah ke daerah luka.

Saponin merupakan glikosida yang mempunyai sifat khas, yaitu dapat membentuk busa. Bila saponin dicampur dengan air maka akan terbentuk busa stabil. Saponin dapat meningkatkan kandungan kolagen, mempercepat proses epitelisasi, bersifat sebagai antimikroba dan antioksidan sehingga saponin dapat digunakan untuk proses penyembuhan luka (Sachin dkk., 2009).

(7)

Senyawa lain yang terkandung dalam ekstrak kulit pisang ambon adalah tanin. Sebagian besar tumbuhan yang banyak mengandung tanin dihindari oleh hewan karena rasanya sepat (Harborne, 1987). Tanin memiliki efek utama sebagai adstringen. Selain itu, tanin juga mempunyai daya antibakteri dengan cara mempresipitasi protein, karena tanin diduga memiliki efek yang sama dengan senyawa fenolik. Efek antibakteri tanin antara lain melalui destruksi atau inaktivasi fungsi materi genetik, reaksi dengan membran sel dan inaktivasi enzim.

Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang merupakan satu golongan fenol alam yang terbesar dan bersifat polar sehingga mudah larut dalam pelarut polar. Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida (Harborne, 1987). Senyawa flavonoid memiliki efek yang kuat sebagai antioksidan, merangsang produksi oksidasi nitrit yang dapat melebarkan pembuluh darah. Flavonoid juga dapat menginhibisi pertumbuhan fibroblast sehingga memberikan keuntungan pada proses penyembuhan luka (Khan dkk., 2012). Aktivitas fibroblast yang berlebihan dapat menghambat proses penyembuhan luka. Leucocyanidine merupakan flavonoid yang terkandung dalam kulit pisang yang belum matang, yang dapat menginduksi proliferasi sel sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan luka (Atzingen dkk., 2013).

(8)

Gambar 2. Struktur leucocyanidine

2. Luka

Luka merupakan keadaan hilang atau rusaknya jaringan tubuh yang dapat disebabkan trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan serangga. Luka dapat menyebabkan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi organ, pembekuan darah, invansi bakteri maupun kematian sel (Smeltzer dan Bare, 2002).

Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan dirinya. Proses penyembuhan luka dibagi dalam tiga fase, yaitu: a. Fase Inflamatori

Fase ini terjadi sejak timbulnya luka dan berakhir 3-4 hari setelah timbulnya luka. Ada proses utama dalam fase ini yaitu hemostasis dan pagositosis. Hemostasis (penghentian pendarahan) terjadi akibat adanya fase kontriksi pembuluh darah besar di daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan jaringan) dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Sel mast pada jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin

(9)

yang dapat meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, pembentukan sel radang disertai vasodilatasi yang menyebabkan pembengkakan. Pada fase ini terjadi netralisasi dan pembuangan agen penyerang serta penghancuran jaringan nekrosis untuk perbaikan dan pemulihan.

b. Fase Proliferatif

Fase ini berlangsung dari hari ke-3 sampai hari ke-21. Pada fase ini terbentuk barrier permeabilitas (reepitalisasi), pembuluh darah (angiogenesis) dan penguatan jaringan dermis yang mengalami kerusakan (fibroplasia). Reepitalisasi merupakan proses untuk mengembalikan epidermis agar menjadi utuh kembali. Angiogenesis merupakan proses pembentukan pembuluh darah baru dari pembuluh darah yang dekat dengan daerah yang mengalami kerusakan. Sedangkan fibroplasia merupakan proses pembentukan jaringan granulasi yang meliputi proliferasi fibroblast, migrasi fibroblast ke daerah luka serta pembentukan kolagen baru dan matriks protein lainnya.

c. Fase Maturasi

Fase maturasi berlangsung dari hari ke-21 sampai 1-2 tahun setelah terjadinya luka. Pada fase ini fibroblast terus mensintesis kolagen. Kolagen menjalin dirinya dan menyatukan dalam struktur yang lebih kuat. Bekas luka menjadi lebih kecil, kehilangan elastisitas dan meninggalkan garis putih. 3. Ekstraksi

(10)

Ekstraksi atau penyarian merupakan suatu proses penarikan massa zat aktif ke dalam cairan penyari yang bertujuan supaya massa zat aktif yang semula berada dalam sampel dapat ditarik oleh cairan penyari dan terlarut oleh cairan penyari. Pertimbangan pemilihan metode ekstraksi didasarkan pada wujud dan bahan uji yang disari. Adapun metode ekstraksi dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

a. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut, ada dua cara yaitu: 1) Cara panas

i. Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada temperatur ruangan/kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C (Anonim, 2000).

ii. Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih (temperatur terukur 96-98°C) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Anonim, 2000). iii. Dekokta adalah infusa pada waktu yang lebih lama (±30 menit) dan

temperatur sampai titk didih air (Anonim, 2000).

iv. Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Anonim,2000).

(11)

v. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, lama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingan balik (Anonim, 2000).

2) Cara dingin

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan/kamar (Anonim, 2000). Maserasi merupakan cara yang paling sederhana karena simplisia yang diserbukkan derajat halus tertentu hanya perlu direndam dalam cairan penyari selama waktu yang telah ditentukan dalam suatu wadah terlindung dari sinar matahari untuk menghindari terjadinya reaksi yang dikatalis oleh cahaya dan juga untuk menghindari terjadinya perubahan warna (Voigt, 1984). Hasil penyarian harus didiamkan dalam waktu tertentu untuk mengendapkan zat-zat yang tidak diperlukan tapi ikut terlarut kedalam cairan penyari seperti malam (wax) dan lain-lain (Anonim, 1986).

b. Perkolasi adalah ekstraksi yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Cairan penyari akan melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh (Anonim, 2000). c. Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa kandungan menguap (minyak atsiri) dari

bahan (segar atau simplisia) dengan uap air berdasarkan peristiwa tekanan parsial senyawa kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel secara kontinyu sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran

(12)

(senyawa kandungan menguap ikut terdestilasi) menjadi destilat air bersama senyawa kandungan yang memisah sempurna atau memisah sebagian (Anonim, 2000).

4. Krim

a. Definisi krim

Krim adalah sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai (Anonim, 1995). Krim memiliki sifat yang mudah merata ada permukaan kulit, tidak lengket dan mudah dibersihkan sehingga nyaman digunakan konsumen (Swastika dkk., 2013). Krim dapat memberikan rasa sejuk di kulit, mudah dioleskan dan daya penetrasinya tinggi.

Ada dua tipe krim, yaitu krim tipe air dalam minyak (w/o) dan tipe minyak dalam air (o/w) (Sinko, 2006). Krim tipe w/o (cold cream) merupakan tipe krim dengan perbandingan fase minyak lebih tinggi. Krim tipe w/o memberikan efek dingin ketika diaplikasikan pada kulit karena penguapan air yang terkandung dalam krim berjalan lambat. Krim tipe o/w (vanishing cream) merupakan tipe krim dengan perbandingan fase air lebih tinggi daripada fase minyak. Kelebihan dari krim tipe o/w adalah lebih mudah dicuci dengan air.

Secara umum ada dua metode pembuatan krim yaitu metode pencampuran dan metode peleburan (Allen dkk., 2011).

(13)

Dalam metode pencampuran, semua komponen krim dicampur bersama-sama sampai sediaan tercampur homogen. Komponen krim digerus sampai halus dan merata secara terus menerus sampai didapatkan krim yang homogen. Pencampuran bisa menggunakan bantuan mortir dan stamper. 2) Metode peleburan

Semua atau beberapa komponen krim dicampurkan dengan melebur bersama dan didinginkan dengan pengadukan yang konstan sampai mengental. Komponen yang mudah menguap ditambahkan terakhir saat suhu campuran cukup rendah untuk menghindari penguraian atau penguapan dari komponen.

Komponen yang tidak bercampur dengan air seperti minyak dan lilin dicairkan bersama pada penangas air pada suhu 70-75°C. Semua komponen yang larut dalam air juga dipanaskan pada suhu yang sama. Kemudian komponen larut air ditambahakan ke dalam campuran berlemak dengan pengadukan konstan secara terus menerus sampai campuran mengental. b. Kontrol kualitas krim

1) Organoleptis

Karakteristik krim yang meliputi warna, bau dan konsistensi akan mempengaruhi estetika dari sediaan krim dan kenyamanan penggunaan. 2) Homogenitas

Pemeriksaan homogenitas dilakukan secara visual (Paye dkk., 2001). Sediaan krim yang homogen akan memberikan efek terapi yang

(14)

lebih optimal karena akan memberikan kadar bahan aktif yang sama pada setiap pengambilan.

3) pH

pH sediaan krim seharusnya memiliki pH yang sama dengan kulit manusia. Kulit manusia normal mempunyai pH 4-7 (Lambers dkk., 2006). Jika pH krim terlalu basa akan menyebabkan kulit bersisik dan jika terlalu asam akan menyebabkan iritasi kulit.

4) Viskositas

Viskositas merupakan gambaran suatu benda cair untuk mengalir. Viskositas mempengaruhi stabilitas fisik dan ketersediaan hayatinya (Paye dkk., 2001). Semakin tinggi viskositas, waktu retensi pada tempat aksi akan naik, sedangkan daya sebarnya akan menurun.

5) Daya Sebar

Daya sebar berkaitan dengan kenyamanan pada saat pemakaian. Sediaan yang memiliki daya sebar yang baik sangat diharapkan pada sediaan topikal (Garg dkk., 2002).

6) Daya Lekat

Daya lekat berkaitan dengan kemampuan sediaan untuk menempel pada lapisan epidermis. Semakin besar daya lekat gel, maka semakin baik penghantaran obatnya.

(15)

Tipe krim dapat menjadi parameter kestabilan krim pada jangka waktu tertentu. Inversi dapat dianggap sebagai sumber ketidakstabilan krim. Suatu krim dikatakan mengalami inversi apabila krim o/w (minyak dalam air) berubah menjadi krim w/o (air dalam minyak) begitu pula sebaliknya (Swarbrick dkk., 2000).

5. Emulsi

Emulsi adalah suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamik, dari dua cairan yang pada dasarnya tidak saling campur, dimana satu diantaranya didispersikan sebagai bola-bola dalam fase cair yang lain (Sinko, 2006).

Untuk membuat emulsi yang sesuai dan mendapatkan kestabilan dalam jangka waktu panjang yang diinginkan maka perlu ditambahkan suatu agen pengemulsi. Pemilihan jenis emulgator sangat mempengaruhi stabilitas emulsi yang terbentuk. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan emulgator adalah sifat emulgator yang diinginkan, jenis dan sifat fisik emulsi, serta mekanisme emulgator dalam menstabilkan emulsi (Swarbrick dkk., 2000).

Menurut Allen dkk. (2011), ada 3 teori emulsifikasi, yaitu a. Teori tegangan permukaan

b. Oriented wedge theory

c. Teori plastik atau teori lapisan antarmuka

Emulgator data dibagi menjadi 3 kelompok (Mahato, 2007), yaitu: a. Koloid hidrofilik

(16)

Agen pengemulsi alami berasal dari sumber tanaman seperti gelatin, kasein, akasia, turunan selulosa dan alginat. Aktivitas antarmuka dari emulgator ini rendah, sehingga aktivitas sebagai pengemulsi dilakukan dengan meningkatkan viskositas dari fase air.

b. Partikel padat yang terdispersi

Komponen ini merupakan emulgator yang baik dan cenderung untuk diabsorpsi di permukaan, efek pada peningkatan viskositas, secara umum berada dalam fase air, dan biasanya digunakan bersama dengan suatu surfaktan untuk membuat emulsi o/w, tetapi baik pembuatan o/w ataupun w/o dapat dibuat dengan penambahan tanah liat pada fase eksternal. Emulgator ini sering digunakan untuk tujuan eksternal seperti lotion atau krim. Contohnya adalah bentonit, magnesium hidroksida dan alumunium hidroksida.

c. Surfaktan

Kelompok emulgator paling efektif untuk menurunkan tegangan antar muka antara fase minyak dan air karena memiliki komponen hidrofilik dan lipofilik dalam molekulnya. Berdasarkan muatan yang dimiliki, surfaktan dapat dikelompokkan menjadi anionik, kationik, ampifilik, dan nonionik. 1) Surfaktan ionik

Surfaktan ionik merupakan surfaktan yang dapat terdisosiasi dalam larutan air. Surfaktan ionik dibagi dalam 3 jenis, yaitu:

(17)

Ion surfaktan dalam kelompok ini memiliki muatan negatif. Garam K, Na, dan ammonium dari asam laurat dan asam oleat larut dalam air dan merupakan suatu agen pengemulsi o/w yang baik. Contoh dari surfaktan anionik adalah kalium laurat, trietanolamin stearat, natrium lauril sulfat, dan lain-lain.

b) Kationik

Aktivitas permukaan dari kelompok ini dihasilkan oleh kation yang bermuatan positif. Contohnya adalah komponen ammonium kuartener dan cetyltrimethylammonium bromide.

c) Ampifilik

Surfaktan ampifilik mempunyai kation dan anion dalam satu molekul yang sama dan tergantung pada pH medium. Contohnya adalah turunan asam amino rantai panjang.

2) Surfaktan non inonik

Merupakan emulgator yang tidak dapat mengalami disosiasi dalam larutan air. Keuntungan dari surfaktan ini adalah sedikit atau tidak dipengaruhi oleh perubahan pH dan adanya elektrolit. Contoh surfaktan non ionik adalah Tween 80 dan Span 80.

6. Simplex Lattice Design (SLD)

Optimasi adalah suatu desain eksperimental yang digunakan untuk mempermudah penyusunan dan interpretasi data secara matematis. Simplex Lattice

(18)

campuran bahan yang dinyatakan dalam beberapa bagian. Walaupun kosentrasi bahan-bahan yang digunakan berbeda, namun jumlahnya harus sama untuk setiap formula. Profil tersebut digunakan untuk memprediksi komposisi campuran bahan yang menghasilkan respon optimum.

Penerapan dari metode SLD dengan menyiapkan berbagai formula yang mengandung konsentrasi berbeda dari beberapa variasi bahan. Hasil dari percobaan digunakan untuk membuat persamaan polynomial (simplex) yang dapat digunakan untuk memprediksi profil respon.

Metode SLD hanya bisa diaplikasikan untuk campuran yang bisa dikuantifikasi. Percobaan dengan data yang dihasilkan digunakan untuk memastikan validitas dari rumus Simplex Lattice Design (Bolton dan Bon, 2004). Keuntungan dari metode SLD adalah efisien dan mudah digunakan karena memungkinkan untuk memperoleh prediksi dari respon dengan variasi minimal. Sedangkan kekurangannya adalah membutuhkan test point yang banyak jika banyak komponen variasinya.

7. Monografi a. Cera alba

Cera alba atau malam putih adalah hasil pemurnian dan pengelantangan malam kuning yang diperoleh dari sarang lebah madu Apis mellifera Linne (Familia Apidae) dan uji kekeruhan penyabunan. Pemerian cera alba berupa padatan putih kekuningan, sedikit tembus cahaya dalam keadaan lapisan tipis, bau khas lemah dan bebas bau tengik. Bobot jenis lebih kurang 0,95. Kelarutan

(19)

cera alba tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol dingin. Etanol mendidih melarutkan asam serotat dan bagian dari miristin, yang merupakan kandungan malam putih. Larut sempurna dalam kloroform, dalam eter, dalam minyak lemak dan minyak atsiri. Sebagian larut dalam benzena dingin dan dalam karbon disulfida dingin. Pada suhu lebih kurang 30º larut sempurna dalam benzena dan dalam karbon disulfida (Anonim, 1995).

b. Mineral oil

Mineral oil disebut juga paraffin cair, petrolatum cair, minyak mineral

putih atau petrolatum cair berat. Mineral oil merupakan suatu campuran hidrokarbon alifatik yang diperoleh dari petrolatum, tidak dapat dicerna dan sangat sedikit diabsorpsi. Mineral oil tidak berwarna, transparan, cairan berminyak, tidak berflouresensi, tidak berasa dan tidak berbau ketika dingin. Bobot jenis mineral oil antara 0,60 sampai 0,905, viskositas tidak kurang dari 3,87 cps pada suhu 37,8°C. Mineral oil tidak larut dalam air atau alkohol, dapat campur dengan kebanyakan campuran minyak tapi tidak dengan minyak kastor, dan larut dalam minyak menguap.

Mineral oil memiliki inkompatibilitas dengan oksidator kuat. Mineral oil berfungsi sebagai pelarut, pembawa, fase minyak, pelicin, humektan dan

emolien dalam krim. Penggunaanya pada ointment topikal yaitu pada konsentrasi 0,1-95% (Rowe dkk., 2009).

(20)

Span 80 disebut juga dengan dengan sorbitan monooleat. Sorbitol didehidrasi untuk membentuk suatu heksitan yang kemudian diesterifikasi dengan asam lemak tertentu. Sorbitan monooleat merupakan cairan yang berwarna kuning gading, viskositas 1000 cps, nilai HLB 4,3, bilangan asam maksimum 8,0, bilangan penyabunan 193-210. Sorbitan monooleat larut dalam kebanyakan minyak mineral atau minyak tumbuhan, sedikit larut dalam eter, terdispersi dalam air dan tidak larut dalam aseton. Sorbitan monooleat berfungsi sebagai surfaktan nonionik yang digunakan sebagai agen pengemulsi dalam emulsi air dalam minyak (Reilly, 1995).

d. Metil paraben (Nipagin)

Metil paraben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 101,0% C8H8O3. Pemerian serbuk hablur halus, putih, hampir tidak berbau, tidak mempunyai rasa, agak membakar diikuti rasa tebal. Kelarutan larut dalam 500 bagian air, dalam 20 bagian air mendidih, dalam 3,5 bagian etanol 95% p dan dalam 3 bagian aseton p, mudah larut dalam eter p dan dalam larutan alkali hidroksida, larut dalam 60 bagian gliserol p panas dan dalam 40 bagian minyak lemak nabati panas, jika didinginkan tetap jernih. Fungsinya sebagai preservatif dan zat pengawet (Anonim, 1995).

(21)

Gambar 3. Struktur metil paraben

e. Propil paraben (Nipasol)

Nama kimia dari propil paraben adalah propil 4-hidroksibenzoat dengan rumus empiris C10H12O3 dan bobot molekul 180,20. Sinonim dari propil paraben adalah E216, propil ester asam 4-hidroksibenzoat, Nipasol M, propagin, propil p-hidroksibenzoat. Propil paraben digunakan sebagai bahan pengawet yang paling sering digunakan pada sediaan kosmetik. Golongan paraben aktif digunakan pada rentang pH yang luas (4-8) dan memiliki aktivitas antimikroba pada spektrum yang luas, meskipun paraben paling efektif melawan kapang dan jamur. Penggunaan paraben pada sediaan topikal sebanyak 0,01-0,6% (Johnson dan Steer, 2005).

Gambar 4. Struktur propil paraben

f. Akuades

Air murni adalah air yang dimurnikan yang diperoleh dengan destilasi, perlakuan menggunakan penukar ion, osmosis balik (reverse osmosis) atau

(22)

proses lain yang sesuai. Dibuat dari air yang memenuhi persyaratan air minum dan tidak mengandung zat tambahan lain. Pemerian dari air adalah cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak memiliki rasa. Air murni memiliki kisaran pH antara 5,0-7,0. Penyimpanan untuk bahan ini adalah dalam wadah tertutup rapat (Anonim, 1995).

F. Landasan Teori

Kulit pisang ambon dapat digunakan sebagai alternatif penyembuh luka. Kulit pisang ambon yang belum matang mengandung flavonoid, saponin dan tanin (Akpuaka dan Ezem, 2011). Menurut penelitian sebelumnya, konsentrasi ekstrak etanolik kulit pisang ambon yang dapat mempercepat penyembuhan luka insisi adalah 10% (Supriadi, 2012).

Flavonoid dapat menginhibisi pertumbuhan fibroblas (Khan dkk., 2012). Saponin dapat meningkatkan kandungan kolagen, mempercepat proses epitelisasi, bersifat sebagai antimikroba dan antioksidan (Sachin dkk., 2009). Tanin mempunyai efek sebagai adstringen.

Kelebihan dari krim tipe w/o sebagai alternatif penyembuh luka adalah memberikan efek dingin ketika diaplikasikan pada kulit karena penguapan air yang terkandung dalam krim berjalan lambat.

Cera alba berfungsi meningkatkan konsistensi krim dan menstabilkan emulsi

(23)

mempunyai bau yang lebih lemah daripada cera flava dan bersifat non toksik serta tidak mengiritasi (Rowe dkk., 2009). Cera alba yang digunakan untuk sediaan krim adalah pada konsentrasi 15-19%. Penggunaan mineral oil untuk krim yaitu pada konsentrasi 44-48%.

Daya sebar berbanding terbalik dengan viskositas sediaan semi padat, semakin besar daya sebar krim maka viskositas semakin kecil (Garg dkk., 2002), namun semakin besar viskositas maka waktu lekat akan semakin lama (Swastika dkk., 2013).

G. Hipotesis

1. Kombinasi cera alba dan mineral oil mempengaruhi sifat fisik krim ekstrak etanolik kulit pisang ambon (Musa paradisiaca L.). Semakin tinggi kadar cera alba yang ditambahkan, maka viskositas dan daya lekat akan meningkat, sedangkan daya sebar akan menurun.

2. Formula optimum krim ekstrak etanolik kulit pisang ambon (Musa paradisiaca L.) hasil optimasi menggunakan metode Simplex Lattice Design (SLD) menghasilkan kombinasi cera alba 15-19% dan mineral oil 44-48%.

Gambar

Gambar 1. Pisang ambon
Gambar 3. Struktur metil paraben

Referensi

Dokumen terkait

Destilasi uap dengan rimpang jahe kering tidak dapat menghasilkan minyak secara maksimal dikarenakan terhalang oleh kendala teknis serta titik didih jahe yang

Dari hasil survei dari penelitian yang dilakukan di pelabuhan pendaratan ikan Hiu di Kawal bahwa jenis yang dijumpai paling banyak yaitu Hemigaleus microstoma (Hiu

[r]

Strategi buku cerita bergambar ini mempermudah penyampain cerita dari kisah Ramayana dengan kata-kata yang lebih ringan agar mudah dimengerti oleh target pembaca, agar

Dari hasil perhitungan, komposit pada komposisi 500 pphr mempunyai daya serap setara dengan pelat Pb tebal 1 mm sedangkan sifat fisiknya memenuhi standar yang

Tren apresiasi nilai tukar Rupiah tersebut sejalan dengan upaya Bank Indonesia untuk meredam tekanan inflasi, khususnya dari imported inflation, dengan tetap mempertimbangkan

Aplikasi – aplikasi yang akan dipasang pada Sistem Operasi Fedora Core adalah: • Apache Web Server : Apache Web Server merupakan program untuk.. menjalankan web dalam

Kemungkinan pertama adalah 'semua register mati (tidak ada arus)\ kemungkinan kedua adalah 'satu hidup-satu mati', kemungkinan ketiga adalah 'satu mati-satu hidup', dan..