• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jagung merupakan salah satu komponen penting dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jagung merupakan salah satu komponen penting dalam"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

J

agung merupakan salah satu komponen penting dalam pakan ternak. Keperluan jagung untuk pakan dan industri pangan lebih besar dibanding untuk konsumsi langsung. Kebutuhan jagung untuk pakan diproyeksikan meningkat dari 3,34 juta ton pada tahun 2005 menjadi 4,90 juta ton pada tahun 2010 (Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian 2007).

Komposisi jagung pada pakan ternak mencapai 60%. Oleh karena itu, penggunaan jagung yang berkualitas baik sangat penting untuk menghasilkan pakan yang bermutu baik. Masalah yang sering timbul dalam pemanfaatan jagung sebagai bahan pangan maupun pakan adalah kontaminasi senyawa aflatoksin. Senyawa ini dihasilkan oleh kapang

Aspergilus flavus yang umumnya tumbuh pada jagung yang berkadar air tinggi (>15%) akibat cara penyimpanan yang kurang benar (Rachmawati 2004).

Secara kasat mata, kandungan aflatoksin pada jagung dapat terlihat pada biji maupun tongkol yang berwarna semu ungu sampai ungu, dan bila dilihat pada lampu florescens, warna ungu tersebut akan berpendar. Namun, cara tersebut hanya dapat digunakan bila kandungan aflatoksin pada jagung sudah tinggi. Berdasarkan Standar Nasional Indo-nesia (SNI 2000), kadar aflatoksin maksimal pada jagung untuk pakan adalah 50 ppb (part per billion).

Untuk mengetahui kadar aflatoksin pada jagung secara tepat, diperlukan metode yang terstandar, antara lain Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Metode ELISA dapat dipilih sebagai metode skrining karena dapat menganalisis sampel jagung secara cepat, sensitif, dan relatif murah (Stanker dan Beier 1995). Balai Besar Penelitian Veteriner (Bbalitvet) telah berhasil mengembangkan perangkat analisis aflatoksin metode ELISA berupa kit yang berisi pereaksi analisis dilengkapi dengan program pengolah data (Rachma-wati 2005). Percobaan bertujuan untuk mengetahui teknik pengujian aflatoksin pada jagung dengan kit ELISA.

BAHAN DAN METODE

Percobaan dilaksanakan di laboratorium toksikologi Bbalitvet, Bogor, pada bulan Juni sampai November 2008. Kegiatan

pengujian diawali dengan pengumpulan sampel jagung dari bagian diagnostik Bbalitvet dengan sampel jagung berasal dari pasaran. Selanjutnya, sampel dianalisis untuk mengetahui kadar aflatoksinnya.

Bahan yang digunakan untuk pengujian kadar aflatoksin adalah sampel jagung, bahan untuk ekstraksi sampel yaitu metanol 60%, dan bahan untuk analisis aflatoksin yaitu perangkat kit ELISA yang terdiri atas seri standar aflatoksin B1 (AFB1) 0,12 ppb sampai dengan 30 ppb, platpencampur, plat yang sudah dilapis antibodi (coated antibody plate), konjugat AFB1 HRPO pekat (1/100), pengencer konjugat larutan BSA/PBS, substrat A (bufer asetat), substrat B (tetrametilbenzidin/DMSO), dan larutan penghenti H2SO4 1,25 M. Peralatan yang digunakan yaitu pipet mikro 1-10 µl, 40-200 µl, dan 200-1.000 µl, multichannel pipet 40-300 µl, reservoir, tisu, pipet tip, effendorf, rak tabung, timbangan, plat pencampur, pengocok, sentrifuse, dan ELISA reader.

Bagan alir analisis aflatoksin menggunakan kit ELISA yang dilakukan di laboratorium Bbalitvet dapat dilihat pada Gambar 1.

Cara Kerja Preparasi Sampel

Sampel yang berupa biji jagung digiling dengan menggu-nakan penggiling Retsel Muhle dan disaring dengan saringan 0,75 mesh, kemudian diambil subsampel.

Preparasi Ekstrak Sampel

Untuk mengekstrak sampel, dibuat 100 ml metanol 60% dengan cara mencampur 60 ml metanol pa dengan 40 ml akuades. Selanjutnya, ditimbang 25 g sampel jagung lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, dan ditambahkan 50 ml metanol 60% lalu digoyang selama 30 menit. Campuran lalu disentrifuse pada 3.000 rpm selama 15 menit. Larutan yang jernih diambil untuk digunakan sebagai bahan analisis. Plat mikro,baik plat pencampur maupun plat berlapis antibodi terdiri atas lubang-lubang (sumur), lubang ke bawah

TEKNIK PENGUJIAN KADAR AFLATOKSIN B1 PADA JAGUNG MENGGUNAKAN KIT ELISA

Heny Yusrini

Teknisi Litkayasa Nonkelas pada Balai Besar Penelitian Veteriner

(2)

mulai dari A sampai H, ke samping mulai dari No 1 sampai 12, sehingga jumlahnya 96 lubang. Untuk memudahkan pelak-sanaan analisis, dibuat sketsa Bagan I dan II sebagai acuan, (Tabel 1 dan 2)..

Preparasi Konjugat Encer

Untuk keperluan analisis, konjugat yang digunakan adalah konjugat encer, dibuat dengan menambahkan 25 µl konjugat pekat yang tersedia ke dalam setiap ml pengencer konjugat atau 200 µl ke dalam 8 ml pengencer konjugat (BSA/PBS 1%).

Preparasi Larutan Substrat

Untuk pengembangan warna pada mikroplat sebelum tahap penambahan substrat, ke dalam botol berisi larutan substrat A masing-masing 11 ml ditambahkan 330 µl larutan substrat B (tetrametilbenzidin/dalam DMSO). Tahapan kerjanya adalah sebagai berikut:

Semua bahan dikondisikan pada suhu kamar. Pada plat pencampuran, dilakukan pencampuran antara standar AFB1 dan konjugat encer serta ekstrak sampel dan konjugat encer.

Dalam plat pencampuran

100 µl larutan standar AFB1 atau ekstrak sampel + 100 µl AFB1-HRPO (konjugat)

Kocok Pipet 75 µl 75 µl

Dimasukkan ke dalam lubang pada plat berlapis antibodi Inkubasi selama 5 menit

Plat dicuci dengan akuades 3 kali + Substrat TMB, biarkan 10 menit

+ Larutan penghenti reaksi (50 µl), berubah warna kuning Baca pada ELISA reader (450 nm)

Gambar 1. Bagan alir analisis aflatoksin menggunakan kit ELISA, laboratorium Bbalitvet, Bogor, 2008

Tabel 2. Bagan II: Posisi standar AFB1 dan sampel pada plat berlapis antibodi, laboratorium Bbalitvet, Bogor, 2008

Sumur 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2

A Blanko Blanko Spl 1 Spl 1 Spl 9 Spl 9 Spl 17 Spl 17 Spl 25 Spl 25 Blanko Blanko

B Std. 30 ppb Std. 30 ppb Spl 2 Spl 2 Spl 10 Spl 10 Spl 18 Spl 18 Spl 26 Spl 26 Std. 30 ppb Std. 30 ppb C Std. 10 ppb Std. 10 ppb Spl 3 Spl 3 Spl 11 Spl 11 Spl 19 Spl 19 Spl 27 Spl 27 Std. 10 ppb Std. 10 ppb D Std. 3,30 ppb Std. 3,30 ppb Spl 4 Spl 4 Spl 12 Spl 12 Spl 20 Spl 20 Spl 28 Spl 28 Std. 3,30 ppb Std. 3,30 ppb E Std. 1,10 ppb Std. 3,30 ppb Spl 5 Spl 5 Spl 13 Spl 13 Spl 21 Spl 21 Std. 1,10 ppb Std. 3,30 ppb F Std. 0,37 ppb Std. 0,37 ppb Spl 6 Spl 6 Spl 14 Spl 14 Spl 22 Spl 22 Std. 0,37 ppb Std. 0,37 ppb G Std. 0,12 ppb Std. 0,12 ppb Spl 7 Spl 7 Spl 15 Spl 15 Spl 23 Spl 23 Std. 0,12 ppb Std. 0,12 ppb

H Kontrol Kontrol Spl 8 Spl 8 Spl 16 Spl 16 Spl 24 Spl 24 Kontrol Kontrol

Blanko (standar 0): tidak ada konjugat Spl 1 = sampel no. 1 kode J1 dan seterusnya Baris ke 11-12: diisi dengan deret standar kembali Std = standar

Tabel 1. Bagan I: Posisi standar AFB1 dan sampel pada plat pencampur, laboratorium Bbalitvet, Bogor, 2008

Sumur 1 2

A 100 µl standar 0 + 100 µl std 0 100 µl ekstrak sampel 1 + konjugat

B 100 µl standar 1 (30 ppb) + konjugat 100 µl ekstrak sampel 2 + konjugat

C 100 µl standar 2 (10 ppb) + konjugat 100 µl ekstrak sampel 3 + konjugat

D 100 µl standar 3 (3,30 ppb) + konjugat 100 µl ekstrak sampel 4 + konjugat E 100 µl standar 4 (1,10 ppb) + konjugat 100 µl ekstrak sampel 5 + konjugat F 100 µl standar 5 (0,37 ppb) + konjugat 100 µl ekstrak sampel 6 + konjugat G 100 µl standar 6 (0,12 ppb) + konjugat 100 µl ekstrak sampel 7 + konjugat

H 100 µl standar 0 + konjugat 100 µl ekstrak sampel 8 + konjugat

t t t t t t t t

(3)

konsentrasi AFB1 pada sampel, warna yang terbentuk makin pudar.

Tambahkan 50 µl larutan penghenti, warna larutan pada plat mikro berubah menjadi kuning. Intensitas warna dibaca pada ELISA reader (450 nm).

Pencatatan Data

Pembacaan plat mikro pada ELISA reader diperoleh nilai serapan warna (opticaldensity, OD atau absorban, A) untuk masing-masing sumur ( blanko standar, standar, dan sampel). Selanjutnya dihitung nilai persentase inhibisinya untuk masing-masing standar dan sampel dengan rumus sebagai berikut:

{1 - (A standar - A blanko standar)} % inhibisi standar = —————————————— x 100

A kontrol - A blanko standar {1 - (A sampel - A blanko standar)} % inhibisi sampel = —————————————— x 100

A kontrol - A blanko standar Persentase inhibisi standar dan sampel dihitung dengan program yang disediakan dan kurva kalibrasi standar, yaitu plot antara persen inhibisi standar versus log konsentrasi AFB1 akan muncul. Selanjutnya, dengan memasukkan nilai OD yang diperoleh ke dalam program pengolahan data yang disiapkan dapat diketahui konsentrasi sampel.

Jika persentase inhibisi sampel yang diperoleh lebih besar dari persentase inhibisi standar 10-30 ppb, berarti sampel mengandung AFB1 tinggi. Jika persentase inhibisi negatif berarti sampel tidak mengandung aflatoksin (AFB1 di bawah limit deteksi, < 0,30 ppb)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 3 menyajikan hasil pembacaan seri standar AFB1 dari konsentrasi tinggi (30 ppb) (B1,2 dan B11,12) sampai rendah (0,12 ppb) (G1,2 dan G11,12). Pembacaan dilakukan duplo (dua kali), yaitu untuk kolom 1 dan 2, sedangkan untuk kolom selanjutnya (kolom 3-10) adalah hasil pembacaan OD sampel, sedangkan kolom 11 dan 12 untuk OD standar. Nilai OD yang diperoleh dirata-ratakan seperti disajikan pada Tabel 4. Selanjutnya persen inhibisi dihitung berdasarkan rumus (sudah disediakan dalam program) dan hasilnya disajikan pada Tabel 5. Kadar AFB1 pada sampel jagung dapat diketahui dengan mengacu pada kalibrasi standar pada Gambar 2 untuk sampel J1- J16 dan kalibrasi standar (Gambar 3) untuk sampel J17-J28.

Larutan standar 0 dipipet 100 µl lalu dimasukkan ke dalam sumur deret A 1 (untuk blanko) dan 100 µl pada sumur H 1 (untuk kontrol). Selanjutnya dimasukkan standar AFB1, dimulai pada konsentrasi terkecil agar dapat menggunakan pipet tip yang sama.

Larutan standar 6 (0,12 ppb) dipipet 100 µl ke dalam sumur deret G 1, 100 µl larutan standar 5 (0,37 ppb) ke dalam sumur deret F1, 100 µl larutan standar 4 (1,10 ppb) ke dalam sumur deret E1, 100 µl larutan standar 3 (3,30 ppb) ke dalam sumur deret D1, 100 µl larutan standar 2 (10 ppb) ke dalam sumur deret C1, dan 100 µl larutan standar 1 (30 ppb) ke dalam sumur deret B1.

Untuk ekstrak sampel jagung, tahapan kerjanya adalah sebagai berikut:

Ekstrak sampel 1 dipipet 100 µl lalu dimasukkan ke dalam sumur A2, selanjutnya ekstrak sampel 2 ke dalam sumur B 2, dan seterusnya. Pipet tip diganti untuk setiap sampel.

Larutan konjugat encer AFB1 HRPO 100 µl ditambahkan ke dalam deret sumur 1 (B-H), kecuali sumur A1 (untuk blanko, standar 0 tidak ditambah konjugat), dan ke dalam sumur yang berisi ekstrak sampel (A2 sampai H2, A3 sampai H3, dan seterusnya). Ke dalam sumur A1 ditambahkan lagi 100 µl standar 0.

Ke dalam plat yang terlapis antibodi, cara kerjanya adalah sebagai berikut:

Dengan menggunakan multichannel pipet, dilakukan pencampuran standar dan konjugat atau ekstrak sampel dan konjugat, dipipet dan keluarkan kembali dalam lubang yang sama sebanyak empat kali, kemudian dipindahkan sebanyak 75 µl larutan yang telah dicampur dalam plat pencampur ke dalam plat yang sudah dilapis antibodi sumur A1 sampai H1, dilakukan dua kali untuk duplikatnya (A2 sampai H2).

Untuk sampel, 75 µl larutan sampel ekstrak (A2-H2) yang sudah dicampur dengan konjugat dimasukkan ke dalam plat pencampuran lalu dimasukkan ke dalam sumur plat yang terlapis antibodi A3 sampai H3, dilakukan duplikatnya (A4-H4), dan seterusnya. Setelah selesai lalu diinkubasi dan biarkan selama 5 menit.

Larutan dibuang dan plat dicuci tiga kali dengan air.

Larutan substrat disiapkan dengan mencampurkan sub-strat B (330 µl ) ke dalam satu botol larutan subsub-strat A (11 ml). Selanjutnya, ditambahkan 100 µl larutan substrat yang sudah dicampur (substrat A + substrat B) dan dibiarkan 10 menit. Pada tahap ini akan terbentuk warna hijau; makin tinggi konsentrasi AFB1 pada plat mikro atau makin tinggi

(4)

Tabel 3. Hasil pembacaan optical density (OD) sampel jagung pada ELISA reader, laboratorium Bbalitvet, Bogor, 2008 Sumur Kolom 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2 A 0,085 0,080 0,432 0,783 0,196 0,186 0,367 0,370 0,075 0,080 0,076 0,075 B 0,179 0,175 0,391 0,469 0,219 0,184 0,460 0,467 0,074 0,074 0,103 0,114 C 0,274 0,225 0,207 0,186 0,245 0,196 0,502 0,470 0,075 0,080 0,148 0,163 D 0,369 0,369 0,579 0,555 0,661 0,391 0,389 0,376 0,280 0,348 0,193 0,230 E 0,438 0,432 0,379 0,609 0,703 0,572 0,077 0,079 0,341 0,341 F 0,536 0,489 0,192 0,194 0,416 0,681 0,077 0,079 0,408 0,399 G 0,557 0,564 0,166 0,159 0,474 0,561 0,310 0,316 0,460 0,432 H 0,602 0,601 0,167 0,197 0,170 0,148 0,561 0,424 0,574 0,587

Kolom 1 dan 2 serta kolom 7 dan 8 adalah nilai OD standar AFB1, dari A std 0 (blanko), B std 30 ppb, C 10 ppb, D 3,30 ppb, E 1,10 ppb, F 0,37 ppb, G 0,12 ppb, dan H kontrol positif

Kolom 3-6 dan kolom 9-12 adalah nilai OD sampel jagung masing-masing dianalisis duplo (3, 4), (5, 6), (9, 10), dan (11, 12)

Tabel 4. Rata-rata nilai optical density (OD) standar aflatoksin B1 (AFB1) dan sampel jagung, laboratorium Bbalitvet, Bogor, 2008

Standar AFBI OD Sampel OD Sampel OD Sampel OD Sampel OD Standar AFB1 OD

Std 0 0,085 J1 0,608 J9 0,191 J17 0,369 J25 0,078 Std 0 0,076 30 ppb 0,177 J2 0,430 J10 0,202 J18 0,464 J26 0,074 30 ppb 0,109 10 ppb 0,250 J3 0,197 J11 0,221 J19 0,486 J27 0,078 10 ppb 0,156 3,30 ppb 0,369 J4 0,567 J12 0,526 J20 0,383 J28 0,314 3,30 ppb 0,212 1,10 ppb 0,435 J5 0,494 J13 0,638 J21 0,078 1,10 ppb 0,341 0,37 ppb 0,513 J6 0,193 J14 0,548 J22 0,078 0,37 ppb 0,404 0,12 ppb 0,561 J7 0,163 J15 0,518 J23 0,313 0,12 ppb 0,446 Kontrol 0,602 J8 0,182 J16 0,519 J24 0,493 Kontrol 0,581

Gambar 3. Kalibrasi standar aflatoksin B1 (AFB1) untuk menghitung kadar AFB1 pada sampel jagung (J17-J28), laboratorium Bbalitvet, Bogor, 2008

% inhibisi 100 8 0 0 1 1 0 100 Aflatoksin B1 (ng/ml) 6 0 4 0 2 0 0

Gambar 2. Kalibrasi standar aflatoksin B1 (AFB1) untuk menghitung kadar AFB1 pada sampel jagung (J1-J16), laboratorium Bbalitvet, Bogor, 2008

% inhibisi 100 y = 12,95Ln(x) + 26,508 R2 = 0,9916 8 0 0 1 1 0 100 Aflatoksin B1 (ng/ml) 6 0 4 0 2 0 0 y = 12,145Ln(x) + 43.396 R2 = 0,9682 Tabel 5. Persen inhibisi standar aflatoksin B1 (AFB1) dan sampel jagung, laboratorium Bbalitvet, Bogor, 2008

Standar AFB1 % inhibisi Sampel % inhibisi Sampel % inhibisi Sampel % inhibisi Sampel % inhibisi Standar % inhibisi

J1 -1 J9 68,2 J17 36,5 J25 86,6 3 0 70,6 J2 28,5 J10 66,5 J18 20,2 J26 87,3 3 0 81,3 1 0 58,5 J3 67,3 J11 63,3 J19 16,3 J27 86,6 1 0 73,2 3,30 38,7 J4 5,7 J12 12,6 J20 34,1 J28 45,9 3,30 63,6 1,10 27,7 J5 17,9 J13 -6,0 J21 86,6 1,10 41,3 0,37 14,8 J6 67,9 J14 8,8 J22 86,6 0,37 30,5 0,12 6,8 J7 73,0 J15 14,0 J23 46,1 0,12 23,2 J8 69,7 J16 73,6 J24 15,2

(5)

KESIMPULAN DAN SARAN

Sebanyak 8 sampel dari 28 sampel jagung yang dianalisis (28,60%) mengandung aflatoksin B1 melebihi standar berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 2000). Sebaiknya kontrol kualitas jagung dari kontaminan aflatoksin dapat dibakukan secara rutin sebagai tindakan antisipasi untuk menghasilkan pakan berkualitas baik, bebas dari aflatoksin, atau mengandung aflatoksinnya maksimal 50 ppb, sesuai acuan dalam SNI.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Sri Rach-mawati, BSc, MSc, peneliti pada Kelti Toksikologi Balai Besar Penelitian Veteriner, atas bantuan perangkat kit ELISA untuk analisis aflatoksin serta bimbingannya.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2007. Teknologi pascapanen jagung untuk penanggulangan aflatoksin dalam upaya peningkatan daya saing dan pendapatan petani. Makalah disampaikan pada Aflatoksin Forum II, Yogyakarta, Juli 2009.

Rachmawati, S. 2004. Uji banding antarlaboratorium, pengujian ELISA kit aflatoksin. Laporan hasil kegiatan kerja sama antara Balai Penelitian Veteriner dengan PT Sinta Prima Feedmill, PT Sierad Tbk, Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak, dan Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional IV. hlm. 2-9. Rachmawati, S. 2005. Aflatoksin pada pakan di Indonesia:

Persyaratan kadar dan peraturan perundang-undangannya. Wartazoa 4(1): 26-35.

SNI (Standard National Indonesia). 2000. Maximum Residue Limit for Microbial and Chemical Contamination in Animal Product. National Standardization Agency, Jakarta, Indonesia. Stanker, L.H. and R.C. Beier. 1995. Introduction to immunoassay

for residue analysis: Concept, formats and applications in immunoassays for residue analysis. p. 12-22. In. ELISA Workshop. Simple Test for Monitoring Mycotoxins and Pestisides in Produce. Postharvest Technology Institute. Ho Chi Minh City, Vietnam, 15-17 November 1999. University of Sydney.

Hasil analisis kadar AFB1 pada sampel jagung disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan data pada Tabel 6 diketahui bahwa 8 dari 28 sampel jagung (28,60%) yang dianalisis me-ngandung AFB1 dengan kadar di atas baku mutu yang dipersyaratkan SNI 2000, yaitu kadar AFB1 > 50 ppb. Kadar AFB1 yang tinggi pada jagung akan berpengaruh terhadap kualitas pakan yang dihasilkan. Oleh karena itu, diperlukan tindakan untuk mengamankan produksi pakan dengan kualitas yang baik, terutama dengan kadar AFB1 rendah sesuai dengan yang dipersyaratkan SNI. Upaya yang dapat dilakukan meliputi pengeringan dan penyimpanan yang tepat untuk mendapatkan kadar air jagung yang aman. Syarat mutu kadar air jagung dalam SNI 2000 adalah 5-14%.

Tabel 6. Kadar aflatoksin B1 (AFB1) pada sampel jagung, laboratorium Bbalitvet, Bogor, 2008

Sampel Kadar AFB1

(ppb) J1 t t J2 2,3 J3 46,8 J4 0,4 J5 1,0 J6 48,9 J7 72,4 J8 56,4 J9 50,2 J10 43,9 J11 34,4 J12 0,7 J13 t t J14 0,5 J15 0,8 J16 75,7 J17 1,1 J18 0,3 J19 0,2 J20 0,9 J21 > 60 J22 > 60 J23 2,5 J24 0,2 J25 > 60 J26 > 60 J27 > 60 J28 2,5

Gambar

Tabel 1. Bagan I:   Posisi standar AFB1 dan sampel pada plat pencampur, laboratorium Bbalitvet, Bogor, 2008
Tabel 4. Rata-rata nilai optical density (OD) standar aflatoksin B1 (AFB1) dan sampel jagung, laboratorium Bbalitvet, Bogor, 2008
Tabel 6. Kadar aflatoksin B1 (AFB1) pada sampel jagung, laboratorium Bbalitvet, Bogor, 2008

Referensi

Dokumen terkait

Di dalam pembangunan bendungan, diperlukan analisa stabilitas tubuh bendungan terhadap berbagai kondisi agar bendungan yang direncanakan aman dan sesuai dengan usia guna

P roses produksi teh hitam di P TP N IX (P ersero) Kebun Jolotigo adalah sebagai berikut yaitu penerimaan pucuk, pelayuan, penggilingan &amp; sortasi basah, fermentasi,

Dalam penelitian ini akan meneliti kualitas fisik briket campuran serbuk gergajian kayu Kalimantan dan jerami padi dan kinetika reaksi dengan variasi

Dalam Tafsir Jalalain: (Allah mengunci mati hati mereka) maksudnya menutup rapat hati mereka sehingga tidak dapat dimasuki oleh kebaikan (begitu pun pendengaran

Pada penelitian ini teori-teori yang digunakan antara lain struktur modal, kaitan struktur modal dengan kinerja perusahaan yang dapat dilihat dari profitabilitas dari perusahaan

Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan kepada daerah dengan tujuan untuk meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan otonomi

dan lingkungan internal antara lain sebagai berikut: 1). Kondisi lingkungan politik yang stabil. Kerjasama ekonomi antara pemerintah dengan masyarakat maupun swasta

Dimana dalam form akad tersebut terdapat perjanjian tertulis mengenai pemberian kuasa/perwakilan ( wakalah ) antara pihak pertama (KSP) dengan pihak kedua (anggota) yang