4 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Babi
Babi adalah ternak monogastric dan bersifat prolific (banyak anak tiap kelahiran), pertumbuhannya cepat dan dalam umur enam bulan sudah dapat dipasarkan. Selain itu ternak babi efisien dalam mengkonversi berbagai sisa pertanian dan restoran menjadi daging (Ensminger, 1991).
Menurut Sihombing (1997), semua babi memiliki karakteristik yang sama kedudukannya dalam sistematika hewan yaitu:
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata (bertulang belakang) Marga : Gnatostomata (mempunyai rahang) Kelas : Mamalia (menyusui)
Ordo : Artiodactyla (berjari/berkuku genap) Genus : Sus
Spesies : Sus scrofa, Sus vittatus/Sus strozzli, Sus cristatus, Sus leucomystax, Sus celebensis, Sus verrucosus, Sus barbatus Sifat-sifat fisik yang tampak pada babi adalah tubuh besar dan gemuk serta cepat dewasa. Sifat fisik berdasarkan warna bulu digolongkan menjadi 5, yakni: putih, hitam, coklat atau kemerah-merahan, berselempang (belted) dan bercak-bercak (spotted). Sifat fisik yang tampak pada babi berdasarkan besar dan kegemukan dapat dibagi menjadi 2, yakni: tipe babi besar yaitu bila babi besar dan lambat dewasa (cold blood atau tipe rainbow), dan babi kecil yaitu bila babi kecil dan cepat dewasa digolongkan dalam babi berdarah panas (hot blood atau chuffy) (Tanaka et al., 1980).
Babi merupakan penghasil sumber daging dan untuk pemenuhan gizi yang sangat efisien diantara ternak-ternak yang lain karena babi memiliki konversi terhadap pakan yang cukup tinggi, semua bahan pakan bisa diubah menjadi daging dan lemak dengan sangat efisien. Ternak babi membutuhkan ransum yang imbangan nutrisinya baik atau sempurna, untuk memperoleh reproduksi dan produksi daging yang optimal. Ternak babi membutuhkan energi, protein, mineral,
5 vitamin dan air. Setiap zat mempunyai fungsi dan kaitan spesifik di dalam tubuh. Kekurangan atau ketidakseimbangan zat-zat makanan dapat memperlambat pertumbuhan dan berdampak pada performans. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum yaitu cara pemberian pakan, aroma pakan, kondisi lingkungan atau suhu kandang, ketersedian air minum, jumlah ternak dan kesehatan ternak (Sihombing, 1997).
Salah satu bangsa babi yang populer untuk diternakkan saat ini adalah babi Landrace. Sihombing (1997) menyatakan bahwa babi Landrace berwarna putih, terkenal babi bertubuh panjang dan juga kakinya panjang. Salah satu penampilan babi ini yang khas adalah telinga yang rebah ke depan. Babi ini terkenal sangat prolifilik hingga kini anak babi inilah yang terbukti paling banyak per kelahiran, serta presentase dagingnya tinggi. Tulang rusuknya 16-17 pasang, dan sampai kini putting susu babi inilah yang terbanyak diantara bangsa babi unggul. Berbagai Negara di dunia ini mendatangkan babi tersebut untuk diternakkan murni atau disilangkan dengan bangsa babi lain untuk memperoleh sifat-sifat yang diingini. Kelemahan babi ini yang sering dihadapi ialah kaki belakang yang lemah, terutama saat induk bunting, dan hasil daging yang pucat, lembek dan eksudatif yang dikenal dengan PSE (pale, soft, exudatif). Diduga hal ini mungkin karena babi tersebut diternakkan murni terlalu lama (inbreeding yang terlalu lama). Babi Landrace berasal dari Denmark dan babi ini sangat populer sehingga dikembangkan juga di Amerika Serikat yakni American Landrace, seperti terlihat pada Gambar 2.1.
6 2.2 Eceng Gondok
Eceng gondok (Eichornia crassipes) merupakan tumbuhan yang mengambang di permukaan air, memiliki daun yang tebal dan gelembung yang membuatnya mengapung (Muladi, 2001). Eceng gondok awalnya didatangkan dari Brasil oleh orang-orang Belanda sebagai tanaman hias. Tanaman yang mampu berkembang pesat ini kemudian dianggap sebagai gulma air. Di Indonesia eceng gondok banyak ditemukan di Rawa Pening, Jawa Tengah dan Waduk Saguling di Jawa Barat. Namun, dewasa ini banyak dimanfaatkan sebagai filter air dari polusi logam-logam berat. Bahkan sudah dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan dan pakan ternak (Don et al., 2010)
Menurut Fahmi (2009), klasifikasi dari tanaman eceng gondok sebagai berikut :
Kingdom : Embryophytasi phonogama Filum : Magnoliophyta
Class : Liliopsida Ordo : Liliales
Famili : Pontederiaciae Genus : Eichornia
Spesies : Eichornia crassipes
Gerbono (2005) menyebutkan, eceng gondok termasuk famili Pontederiaceae. Tanaman ini hidup di daerah tropis maupun subtropis. Eceng gondok digolongkan sebagai gulma perairan yang mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan dan berkembang biak secara cepat. Tempat tumbuh yang ideal bagi tanaman eceng gondok adalah perairan yang dangkal dan berair keruh, dengan suhu berkisar antara 28-30°C dan kondisi pH berkisar 4-12. Di perairan yang dalam dan berair jernih di dataran tinggi, tanaman ini sulit tumbuh. Eceng gondok mampu menghisap air dan menguapkanya ke udara melalui proses evaporasi.
7 2.2.1 Morfologi
Eceng gondok merupakan tumbuhan yang hidup di perairan terbuka, mengapung di air. Tingginya sekitar 0,4 – 0,8 meter, batangnya berbuku pendek, mempunyai diameter 1-2,5 cm dan panjang batang mencapai 30 cm (Barton, 1951). Daun eceng gondok mempunyai garis tengah sampai 15 cm bernbentuk telur agak bulat, berwarna hijau terang dan berkilau di bawah sinar matahari. Kelopak bunga berwarna ungu muda atau agak kebiruan. Setiap bunga mempunyai kepala putik yang dapat menghasilkan 500 bakal biji setiap tangkai (Soedarmadji, 1991).
Gambar 2.2 Eceng gondok (Eichornia crassipes) (Ansori, 2012)
2.2.2 Kandungan nutrisi eceng gondok
Eceng gondok bisa menjadi salah satu alternetif bahan ransum ternak, karena eceng gondok memiliki nilai nutrisi yang cukup baik, yaitu energy metabolis 2029 kkal/kg, kandungan protein kasar 13% dan kandungan serat kasar 21,3% (Radjiman et al., 1999). Menurut analisis yang dilakukan oleh Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Diponogoro Semarang tahun 2005, melaporkan bahwa eceng gondok mengandung protein kasar (PK) 11,2% dan bahan ekstrak tiada nitrogen (BETN) sekitar 20% berdasarkan bahan kering (100% BK).
2.3 Logam
8 menyerap logam pada perairan tercemar. Hal isi dikarenakan eceng gondok mempunyai akar yang bercabang-cabang halus yang berfungsi sebagai alat untuk meyerap senyawa logam, sehingga toksisitas logam yang terlarut semakin berkurang (Kirby dan Mengel, 1987).
Diantara sekian banyak logam, ada yang keberadaannya di dalam tubuh makhluk hidup baik pada tanaman, hewan atau ternak dan manusia merugikan bahkan beracun. Logam yang dimaksud umumnya digolongkan pada logam berat. Menurut Saeni (1989) bahwa yang dimaksud dengan logam berat adalah unsur yang mempunyai bobot jenis lebih dari 5 g/cm3 yang biasanya terletak di bagian kanan bawah sistem periodik.
Keracunan logam berat pada ternak biasanya melalui tiga jalan (Bartic dan Piskoc, 1981), yaitu, pakan dan minuman yang sudah tercemar, serta asap atau debu buangan pabrik (inhalasi). Secara normal, dalam hati dan ginjal ternak selalu ditemukan logam-logam berat ini, walaupun dalam jumlah yang amat sedikit. Apabila batas-batas normal terlampaui, maka terjadilah kasus karacunan oleh logam berat ini.
Contoh-contoh logam berat yang dinyatakan oleh Saeni (1989) diantaranya: Fe, Pb, Cr, Cd, Zn, Cu, Hg, Mn dan As. Dari logam-logam berat tersebut, menurut Anggorodi (1979) Fe, Cr, Zn, Cu dan Mn termasuk dalam kelompok logam berat dan merupakan mineral yang esensial dan tergolong mineral mikro bagi ternak, maka logam berat yang tergolong nonesensial dan bersifat racun bagi ternak adalah kelompok logam: Pb, Cd, Hg, dan As.
2.3.1 Timbal (Pb)
Timbal (Pb) memiliki titik lebur rendah, mudah dibentuk, memiliki sifat kimia yang aktif, sehingga bisa digunakan untuk melapisi logam agar tidak timbul perkaratan. Pb adalah logam lunak berwarna abu-abu kebiruan mengkilat serat mudah dimurnikan dari pertambangan. Timbal meleleh pada suhu 328 °C; titik didih 1740 °C; dan memiliki gravitasi 11,34 dengan berat atom 207,20 (Widowati et al., 2008).
9 Salah satu logam berat yang banyak mencemari air sungai adalah timbal (Pb). Tercemarnya air sungai oleh limbah pabrik yang mengandung Pb menyebabkan tanaman konsumsi yang tumbuh di daerah sungai menjadi tercemar oleh Pb (Kohar et al., 2004). Timbal (Pb) merupakan salah satu pencemar yang dipermasalahkan karena bersifat sangat toksik dan tergolong sebagai bahan buangan beracun dan berbahaya (Purnomo dan Muchyiddin, 2007).
Timbal (Pb) merupakan logam yang bersifat neurotoksin yang dapat masuk dan terakumulasi dalam tubuh manusia ataupun hewan, sehingga bahayanya terhadap tubuh semakin meningkat (Lu, 1995 dan Kusnoputranto, 2006). Menurut Underwood dan Suttle (1999), Pb biasanya dianggap sebagai racun yang bersifat akumulatif dan akumulasinya tergantung levelnya. Hal itu menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pada ternak jika terdapat pada jumlah di atas batas ambang. Lebih lanjut Underwood dan Suttle (1999) mencantumkan batas ambang untuk ternak unggas dalam pakannya, yaitu: batas ambang normal sebesar 1 – 10 ppm, batas ambang tinggi sebesar 20 – 200 ppm dan batas ambang toksik sebesar lebih dari 200 ppm. Disisi lain Darmono (1995) mencantumkan dosis keracunan Pb pada beberapa ternak, seperti terlihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Dosis Keracunan Timbal pada Beberapa Ternak
Jenis Ternak Toksik dalam Pakan(mg)
Babi 1.000
Pedet 200 – 400
Domba ` 200 – 400
Sumber: Darmono (1995)
2.4 Struktur Hati dan Ginjal Babi 2.4.1 Struktur hati babi
10 Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh. Beratnya sekitar 3% dari total berat badan pada hewan dewasa, sedangkan pada hewan muda berat hati sekitar 5% dari total berat badan (Akers dan Denbow, 2008).
Hati babi terdiri atas lobus lateral kanan dan kiri, medial kanan dan kiri, lobus kuadratus, dan lobus kaudatus. Kantung empedu terletak diantara lobus medial dan lobus kanan. Hati sebagian besar dilindungi oleh os costae kecuali bagian ventral. Bagian kranial hati bersentuhan dengan diafragma. Hati babi memiliki daerah berbentuk concave di bagian kaudal yang berbatasan dengan lambung di bagian kiri dengan pankreas di bagian kanan (Dyce et al., 2002).
Hati memiliki kemampuan meregenerasi sel hepatosit sebanyak lebih dari 40 kali saat terjadi kerusakan. Penyakit pada organ hati bisa menurunkan tingkat regenerasi hepatosit hingga beberapa kali, sehingga konsekuensinya adalah terjadi penurunan fungsi hati karena terdapat beberapa sel hati yang mengalami kerusakan (hepatic fibrosis). Hati memiliki fungsi yang sangat penting yaitu mengatur proses metabolik dan homeostasis. Hati juga menghasilkan asam empedu dari pemecahan kolesterol. Hati juga memiliki kemampuan untuk menyimpan beberapa cadangan substansi yang suatu saat akan diperlukan misalnya glikogen, ion logam, dan vitamin dan juga berfungsi memproduksi sel darah merah pada saat embrio. Kasus penyakit hati akut dan sub-akut seringkali tidak hanya bersifat subklinis tetapi juga menimbulkan gejala klinis pada pasien dengan penyakit kerusakan hati bersifat non-spesifik. Penyakit hati seringkali dihubungkan dengan gejala klinis yang tidak spesifik tetapi dikarenakan disfungsi dari organ-organ penting (Steiner, 2008).
Organ hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan. Secara struktural organ hati tersusun oleh hepatosit (sel parenkim hati). Hepatosit bertanggung jawab terhadap peran sentral hati dalam metabolisme. Sel-sel tersebut terletak di antara sinusoid yang terisi darah dan saluran empedu. Sel Kuffer melapisi sinusoid hati dan merupakan bagian penting dari sitem retikuloendotelial tubuh. Darah dipasok melalui vena porta dan arteri hepatika, dan disalurkan melalui vena sentral dan kemudian vena hepatika ke dalam vena kava. Saluran empedu mulai berperan sebagai kanalikuli yang kecil sekali yang dibentuk oleh sel parenkim yang berdekatan. Kanalikuli bersatu menjadi duktula, saluran
11 empedu interlobular, dan saluran hati yang lebih besar. Saluran hati utama menghubungkan duktus kistik dari kandung empedu dan membentuk saluran empedu biasa, yang mengalir ke dalam duodenum (Lu, 1995). Struktur histologi hati yang normal seperti pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Struktur histologi hati babi (William L, 2009) 2.4.2 Struktur ginjal babi
Ginjal memiliki tiga bagian yang tersusun secara berlapis dari luar ke dalam yaitu korteks, medula, dan pelvis (hilus). Pelvis merupakan area pusat yang merupakan lokasi dari masuk dan keluarnya pembuluh darah arteri dan vena ginjal, begitu juga dengan ureter yang akan menyalurkan urin dari ginjal ke kantung kemih (Akers dan Denbow, 2008).
Ginjal berfungsi sebagai penyaring (filtrasi) darah dan penyerapan kembali atau reabsorpsi zat-zat yang masih diperlukan oleh tubuh. Kegiatan penyaringan dan penyerapan kembali ini dilakukan oleh unit terkecil dari ginjal yang disebut nefron. Nefron merupakan pemegang peranan terpenting dalam menjalankan fungsi ginjal. Nefron terdiri atas glomerulus, kapsula Bowman, tubuli proksimal, tubuli distal, lengkung Henle, dan duktus kolektifa. Nefron merupakan unit terkecil dari ginjal yang berupa tabung/saluran multiseluler kompleks yang hanya dapat terlihat secara mikroskopik, seperti terlihat pada Gambar 2.4. (Akers dan Denbow, 2008).
12 Gambar 2.4 Struktur histologi ginjal babi 15 menit postmortem (40x). menunjukkan glomeruli (kapsul dan kavum Bowman), tubuli proksimal, dan tubuli distal masih tampak normal (Baldatun et al., 2014)
Glomerulus berfungsi sebagai penyaring darah, tubuli proksimal dan distal berfungsi sebagai tempat penyerapan kembali air dan zat-zat terlarut, lengkung henle berfungsi menjaga tonisitas dari jaringan medula dan sebagai tempat penyerapan kembali ion-ion Na+, K+, Cl-, sedangkan duktus kolektifa berfungsi mengontrol ekskresi elektrolit, air, dan menjaga keseimbangan pH. Darah yang masuk ke dalam nefron akan mengalami penyaringan dan penyerapan kembali pada masing masing bagian nefron (Akers dan Denbow, 2008).
Ginjal babi memiliki bentuk seperti kacang merah, dibanding dengan ginjal pada anjing, ginjal babi memiliki bentuk yang lebih pipih, panjang, dan lebih kecil pada bagian ekstremitas. Ginjal kiri dan ginjal kanan terletak hampir simetris pada ventral prosesus transversus empat lumbal pertama, namun ginjal kiri biasanya terletak lebih kranial dari pada ginjal kanan. Ekstremitas posterior dari ginjal biasanya terletak pada pertengahan antara rusuk terakhir dan tuber coxae. Ekstremitas anterior dari ginjal kiri biasanya terletak pada bagian ventral dari tulang rusuk terakhir. Ginjal kiri biasanya berada di bagian ventral dari kolon asenden, bagian basal sekum, dan pankreas. Ginjal kanan biasanya berada di bagian ventral dari duodenum bagian desenden, jejunum, namun tidak bersentuhan dengan hati seperti pada anjing dan kebanyakan spesies hewan domestik lain (Dyce et al., 2002).
13 2.5 Keracunan akibat Residu Logam dan Atrazine pada Babi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas keracunan setiap jenis logam berat, antara lain: bentuk senyawa dari logam berat itu, daya kelarutannya dalam cairan, ukuran partikel dan beberapa sifat kimia dan fisika lainnya. Dalam beberapa kasus, logam berat biasanya menyerang jaringan syaraf atau menghambat aktivitas enzimatik melalui reaksi biokimia. Tetapi, lebih sering logam berat ini merusak organ-organ detoksikasi dan ekskresi, yaitu hati dan ginjal, sehingga organ-organ ini harus selalu dimonitor untuk mengetahui derajat keracunan ternak terhadap logam berat (Hammond,1979). Beberapa logam berat penting yang dapat menimbulkan keracunan pada ternak antara lain: timah hitam, arsen, air raksa, cadmium dan tembaga.
Akumulasi logam berat yang tertinggi biasanya dalam organ detoksikasi (hati) dan ekskresi (ginjal) (Darmono, 2001). Pada hewan yang mempunyai kadar Pb lebih dari 10 ppm pada hati menandakan bahwa hewan tersebut mengalami keracunan (Clark, 1975). Absorpsi Pb pada hewan yang muda lebih tinggi dibandingkan yang tua (Piskac, 1981).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Dragan et al., (2009), pada pemeriksaan ginjal babi di Serbia yang mengalami keracunan logam berat terutama Hg dan Cd, terlihat pucat, bengkak, dan membesar dengan perubahan warna. Secara makroskopis lesi yang terlihat hanya pada beberapa kasus yaitu terlihat bintik kecil abu-abu/putih pada permukaan ginjal. Tidak ada perbedaan yang jelas diamati antara ginjal kanan dan ginjal kiri. Perubahan histopatologi ginjal menunjukkan dua jenis perubahan: perubahan degeneratif yang mempengaruhi sel epitel tubulus proksimal pada babi, dan perubahan proliferatif dalam interstitium. Perubahan histopatologi utama ginjal terutama dalam epitel tubulus proksimal. Distrofi, pembengkakan, vakuolisasi dan lipidosis adalah perubahan utama dalam sel epitel tubular. Pada interstitium, beberapa daerah korteks ginjal ada proliferasi yang terbatas pada jaringan ikat dan infiltrasi sel-sel inflamasi fokal mononuklear yang kadang disertai granuloma kecil. Perubahan-perubahan tersebut dapat terlihat pada Gambar 2.5 (Dragan et al., 2009).
14 Gambar 2.5 Perubahan utama histopatologi ginjal. Perdarahan di korteks (A), Degenerasi melemak (B), Distrofi dan degenerasi vakuolar pada sel epitel tubulus
proksimal (C), dan nefritis interstitial fokal (D) (Dragan et al., 2009). Selain akibat logam berat, keracunan pada babi juga disebabkan residu lain yaitu atrazine. Atrazine merupakan herbisida yang digunakan untuk mengontrol gulma dan rumput. Residu dari atrazine ditemukan pada beberapa tanaman (Norris dan Fong, 1983), di tanah (Goh et al., 1993), lingkungan air (Vidacek et al., 1994) dan sampel air minum (Gojmerac et al., 1994). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Curic et al., (1999), pada pemeriksaan histopatologi organ hati babi dara (persilangan babi Swedia dan German Landraces) yang diberi perlakuan atrazine, terlihat adanya degenerasi parenkimatosa ringan, dengan hepatitis interstisial ringan-kronis dan stenosis, serta bentuk yang tidak beraturan dari saluran empedu. Sedangkan pada ginjal dapat ditemukan glomerulitis sub akut dengan atrofi glomerulus dan degenerasi parenkimatosa dengan deskuamasi sel-sel epitel
15 pada beberapa tubulus, seperti yang terlihat pada Gambar 2.6 dan Gambar 2.7 (Curic et al., 1999).
Gambar 2.6 Degenerasi parenkimatosa sentrolobular ringan pada hepatosit yang diberi perlakukan atrazine. H/E; 10 × 3.75; Bar = 50 µm (Curic et al., 1999).
Gambar 2.7 Degenerasi parenkimatosa dan deskuamasi sel-sel epitel tubulus proksimal dari perlakukan atrazin. H/E; 40 × 3.75; Bar = 20 µm (Curic et al.,
16 2.6 Kerangka Konsep
17 Gambar 2.8 Kerangka konsep babi Landrace yang diberi pakan eceng gondok
(Eichornia crassipes) dari perairan tercemar timbal (Pb). Babi Landrace
Pemeliharaan secara intensif
Ransum ditambahkan eceng gondok dari perairan
tercemar timbal (Pb)
Terjadi perubahan histopatologi hati dan
ginjal babi
Degenerasi Nekrosis Peradangan
Timbal (Pb) merupakan logam berat yang dapat terakumulasi pada jaringan