• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. < diakses 9 Juni Japan s GDP Growth Rate, Trading Economics (daring),

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. < diakses 9 Juni Japan s GDP Growth Rate, Trading Economics (daring),"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jepang merupakan negara yang memiliki perekonomian yang baik. Hal ini dapat dilihat dari GDP Jepang yang tinggi, yaitu mencapai 38.633,71 dollar Amerika dan merupakan tertinggi ketiga di dunia.1 Meskipun demikian, Jepang ternyata memiliki serangkaian permasalahan terkait dengan perekonomiannya. Lambat laun, tingkat pertumbuhan ekonomi Jepang terus menerus mengalami penurunan dan instabilitas, meskipun pemerintah telah melakukan berbagai macam upaya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi. Pada akhir tahun 2015, GDP Jepang mengalami penurunan sebesar 1,4%.2 Perekonomian Jepang terus mengalami penurunan secara stabil, terlebih lagi jika dibandingkan dengan beberapa dekade lalu ketika Jepang menjadi negara maju dengan tingkat perekonomian sangat baik. Jepang juga memiliki hutang yang jumlahnya cukup besar dimana jumlah rasio dengan GDP Jepang mencapai 240%.

Jepang memiliki masalah pada aging population atau peningkatan jumlah usia tua. Jepang juga memiliki krisis usia produktif. Hal ini tentu saja berakibat pada produktivitas Jepang yang nantinya dapat pula berimbas ke pendapatan negara. Di samping produktivitas, minimnya usia muda di Jepang mengakibatkan pendapatan negara terganggu apabila dilihat dari pendapatan pajak. Hal ini karena usia tua pada umumnya justru menghabiskan banyak biaya, terutama biaya kesehatan dan dana pensiun. Meskipun saat ini permasalahan aging population belum terlalu dirasakan dampaknya, akan tetapi hal ini menciptakan permasalahan ekonomi di waktu yang akan datang. Hal ini didukung pula dengan minimnya partisipasi wanita dalam dunia kerja. Jepang sangat kental menganut kebudayaan

1

„2016 Index of Economic Freedom, Japan,‟ Heritage (daring),

<http://www.heritage.org/index/country/japan#top>, diakses 9 Juni 2016.

2 „Japan‟s GDP Growth Rate,‟ Trading Economics (daring),

(2)

2

konfusianisme yang cenderung menempatkan laki-laki pada posisi lebih unggul. Para perempuan secara tidak langsung mengalami tekanan sosial berupa nilai dan norma (untuk menjadi ibu yang baik ketika telah berkeluarga nantinya). Mereka pun lebih memilih untuk keluar dari pekerjaan dan mengurus anak mereka (hal ini menjadikan tenaga produktif semakin terbatas), terlebih lagi dengan sulitnya kompetisi dalam dunia kerja di Jepang.3

Kondisi ini kemudian memunculkan permasalahan baru, yaitu kecenderungan terlambat menikah atau bahkan menolak menikah dan memiliki anak karena memiliki komitmen pada pekerjaan mereka. Apabila dilihat dari segi geografis, Jepang berpotensi lebih besar terjadi bencana alam, seperti gempa bumi. Peristiwa ini telah terjadi berkali-kali dari intensitas rendah hingga tinggi. Tak jarang, pemerintah Jepang menerima dampak serius dari hal tersebut. Sebagai contohnya adalah kejadian gempa bumi di Fukushima yang berakibat pada timbulnya radiasi nuklir.4 Hal ini secara otomatis berdampak pada segi keamanan Jepang. Selain itu, Jepang belakangan tahun terakhir harus berhadapan dengan saingan dari negara lain (terutama dari Kawasan Asia Timur). Persaingan ini juga berlangsung dalam memperebutkan pasar Jepang yang mayoritas merupakan negara-negara Asia Tenggara.

Kondisi perekonomian Jepang yang terus memburuk pada akhirnya mendorong pemerintah untuk mengembangkan strategi lain untuk memperbaiki pertumbuhan ekonomi yang rendah. Dalam hal ini, sektor pariwisata sebagai sektor ekonomi kreatif dianggap sebagai suatu peluang untuk dikembangkan. Jepang memilih untuk mengembangkan sektor ini karena adanya trend pariwisata internasional yang memang sedang berkembang pesat. Pada awal perkembangannya, sektor pariwisata lebih menjadi perhatian di antara negara-negara berkembang. Sedangkan bagi negara-negara maju seperti Jepang, sektor ini kurang menjadi perhatian untuk dikembangkan sehingga wisatawan pun tidak banyak yang datang untuk mengunjungi negara ini. Akan tetapi, belakangan ini

3 Drake Baer, „Japan Isn‟t Ready for The New Reality of Its Baby Crisis,‟ Tech Insider (daring),

22 Februari 2016, <http://www.techinsider.io/how-japan-government-solving-sex-problem-2016-2>, diakses 19 Juni 2016.

4 Marco Chi Fong Leong, „Risk Perception of Nuclear Power Plants Among Northeast Asia After

the Fukushima Nuclear Disaster,‟ Asia Pacific Journal of Public Health, November 2014, vol.26, no.6, p.636.

(3)

3

nampak telah terjadi perubahan terhadap kondisi ini. Kondisi pariwisata internasional telah mengalami tingkat pertumbuhan yang spektakuler sejak tahun 1970an. Seiring dengan berjalannya waktu, sektor pariwisata terus mengalami pertumbuhan, meskipun pada beberapa tahun sempat mengalami kondisi fluktuatif yang disebabkan oleh krisis finansial global. Pada tahun 2012, jumlah kedatangan wisatawan asing mencapai 1.035 triliun wisatawan. Peningkatan sebesar 5,7% di tahun 2012 ini terjadi di mayoritas region di dunia, kecuali di kawasan Timur Tengah (karena adanya instabilitas politik). Hal ini tentunya sangat berbeda jika dibandingkan pada tahun 1970 yang hanya mencapai 166 juta wisatawan saja. Dapat dilihat bahwa jumlah spending atau pengeluaran yang dihabiskan oleh para wisatawan jumlahnya mencapai 9% dari total GDPdi seluruh dunia.5 Kondisi ini menjadikan sektor pariwisata sebagai peluang bagi negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya.

Pemerintah Jepang pun mengupayakan serangkaian strategi untuk meningkatkan jumlah kedatangan wisatawan asing ke Jepang. Hal ini terbukti dengan peningkatan jumlah wisatawan asing mulai tahun 2012. Pada tahun 2015 Jepang berhasil menjadi tourist receiving country setelah sekian lama hanya menjadi pemasok wisatawan bagi negara lain atau tourist sending country.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana strategi pemerintah Jepang di bawah kepemimpinan Shinzo Abe dalam mendukung sektor pariwisata dan menjadikan Jepang sebagai tourist receiving country?

1.3. Landasan Konseptual

Untuk menjawab rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, penulis akan menggunakan landasan konseptual sebagai berikut:

5

Carl Bonham, James Mak, „The Growing Importance of Tourism in The Global Economy and International Affairs,‟ Georgetown Journal of International Affairs (daring), 22 Juli 2014, <http://journal.georgetown.edu/the-growing-importance-of-tourism-in-the-global-economy-and-international-affairs/>, diakses 5 Mei 2016.

(4)

4 1.3.1. Politik dan Pengembangan Sektor Pariwisata

James Elliott dalam bukunya Politics and Public Sector Management mengemukakan bahwa pada dasarnya dalam sektor pariwisata, pemerintah memiliki peranan sentral dalam mengontrol sektor tersebut. Hal ini sangat erat dengan aspek politik karena use of power menjadi hal penting dalam manajemen pariwisata. Dalam pelaksanaannya, pemerintah kemudian terbagi lagi menjadi beberapa bagian, misalnya pemerintah pusat dan pemerintah lokal.6

Pemerintah merupakan aktor utama dalam pariwisata di dunia modern. Industri ini tidak akan mampu bertahan tanpa campur tangan dari pemerintah. Hal ini karena pemerintah lah yang memiliki power untuk menciptakan kondisi stabilitas politik, serta jaminan keamanan secara legal yang dibutuhkan oleh sektor pariwisata. Di samping itu pun pemerintah menyediakan akses, fasilitas serta infrastruktur yang dibutuhkan. Pemerintah secara keseluruhan memiliki kekuasaan, tetapi tergantung pada bagaimana pihaknya menggunakan power tersebut sesuai dengan budaya politik, kondisi politik-ekonomi serta persepsi mereka terhadap industri pariwisata. Usaha pemerintah ini kemudian dapat dilihat dari kualitas public sector management (PSM) nya.

Pemerintah terlibat dalam pengembangan sektor pariwisata karena adanya kepentingan ekonomi. Dalam periode industri dan penurunan ekonomi, resesi global, serta pengangguran besar-besaran, pariwisata hadir sebagai salah satu industri yang mampu bertahan, tumbuh dan berkembang. Sektor pariwisata ini

6 James Elliot, Tourism: Politics and Public Sector Management, Routledge, London, 1997,

(5)

5

juga mampu menghasilkan valuta asing yang dibutuhkan oleh negara.

Gambar 1: Framework analisis PSM (sumber: Politics and Public Sector Management,

James Elliott)

Framework di atas berisi tentang PSM dan penjelasan mengenai siapa aktor yang aktif dalam pengelolaan pariwisata sebuah negara, bagaimana sektor pariwisata itu kemudian dikelola, serta apa hasil yang dicapai dari pelaksanaan pengelolaan sektor pariwisata tersebut.

1.3.2. Nation Branding

Sektor yang dikembangkan oleh nation branding antara lain adalah pariwisata, FDI dan ekspor. Dalam konsep ini, penulis hanya fokus kepada nation branding dalam scope pariwisata. Definisi nation branding dalam buku berjudul Nation Branding, Concept, Issues and Practice oleh Keith Dinnie yaitu:

(6)

6

“the unique, multi-dimensional blend of elements that provide the nation with culturally grounded differentiation and relevance for all of its target audiences.”7

Nation branding merupakan sebuah fenomena yang kompleks karena di dalamnya memuat banyak disiplin ilmu, melebihi dari kondisi brand strategy konvensional, serta terkandung aktivitas politisasi di dalamnya. Dalam perkembangannya, banyak negara mulai menunjukkan sumber daya yang dimiliki untuk mengembangkan nation branding. Aktivitas ini sangat dipengaruhi oleh peran pemerintah yang terkait (lembaga atau organisasi nasional). Obyek dari teori ini ditujukan untuk membangun brand image dan national image bagi kepentingan negara dan secara khusus menjadi daya tarik dalam bidang perdagangan, pariwisata dan investasi.

Menurut Doyle, brand dapat dikatakan berhasil apabila terdapat unsur simbol, design atau kombinasinya yang mampu mengidentifikasikan produk yang mampu memberikan keuntungan bagi pihak terkait. Sedangkan menurut The American Marketing Association, brand merupakan sebuah nama, kondisi, tanda, simbol, atau design yang mampu mengidentifikasikan barang atau layanan jasa yang ditawarkan dalam suatu kompetisi.8 Dalam kondisi globalisasi seperti saat ini, banyak tantangan yang dialami dalam kompetisi antar negara baik bagi konsumen dalam negeri maupun luar negeri. Dalam nation branding, terdapat nilai yang mendefinisikan karakteristik suatu negara dan kondisi di dalamnya. Misalnya adalah tipe dari konstitusi, agama-kepercayaan, serta aspek sosial-budaya lainnya. Pihak yang berperan dalam nation branding merupakan perwakilan dari berbagai stakeholder, mulai dari pemerintah, sektor perdagangan, organisasi non-profit, sektor pariwisata dan media.

Negara meningkatkan usaha untuk mengembangkan nation branding dengan harapan untuk memenuhi tiga tujuan utama, yaitu menarik wisatawan, menstimulasi investasi serta mendorong ekspor. Selain itu juga diharapkan

7

Keith Dinnie, Nation Branding: Concept, Issue and Practice, Elsevier Publisher, Oxford, 2008 (Fisrt Edition), pp.75-149.

8 Keith Dinnie, Nation Branding: Concept, Issue and Practice, Elsevier Publisher, Oxford, 2008

(7)

7

mampu meningkatkan stabilitas valuta asing, membantu menjaga kredibilitas internasional di hadapan para investor, meningkatkan ratings negara, meningkatkan pengaruh politik internasional, serta menstimulasi kerjasama internasional. Nation brand yang powerful dapat menciptakan keunggulan kompetitif dalam kondisi globalisasi ekonomi saat ini. Kondisi keunggulan kompetitif ini contohnya adalah menarik wisatawan asing untuk datang ke negara tersebut. Hal yang menjadi penting dalam pengembangan nation branding adalah bagaimana negara mampu menciptakan perbedaan yang kuat dan penuh makna. Dalam sektor pariwisata, nation branding dapat ditekankan melalui berbagai destinasi pariwisata yang menunjukkan identitas negara tersebut. Kondisi ini harus diciptakan untuk jangka panjang dan tidak hanya sebatas strategi ad hoc saja.

Identitas menjadi aspek penting dalam nation branding. Menurut Kamus Oxford, identitas berarti fakta tentang menjadi seseorang atau sesuatu yang sangat erat dalam kepribadian orang tersebut. Selain itu, image didefinisikan sebagai pandangan tentang seseorang, organisasi atau produk yang dipresentasikan ke masyarakat (publik). Identitas menekankan pada karakteristik yang dapat mendefinisikan seseorang atau sesuatu.

Aspek yang dimiliki oleh negara menjadi penting dalam pengembangan esensi dan image negara tersebut, seperti misalnya adalah landscape, termasuk kota. Aspek kultural seperti musik, film, sastra, bahasa, serta olahraga pun dapat dikembangkan untuk menjelaskan image dan persepsi dari negara. Hal tersebut nantinya akan digunakan menjadi strategi nation-branding. Menurut Simon Anholt, negara perlu melihat bagamana keberhasilan serta kegagalannya, serta apa saja aset dan modal yang dimiliki, anggota masyarakatnya, serta bagaimana produk yang dihasilkan mampu merefleksikan brand image dari negara tersebut.9

Dalam nation branding, hal yang menjadiaspek penting adalah national identity. Hal ini akan berkaitan dengan bagaimana negara melakukan kampanye promosi bagi negaranya. Aspek identitas nasional mencakup teritori secara

9 Keith Dinnie, Nation Branding: Concept, Issue and Practice, Elsevier Publisher, Oxford, 2008

(8)

8

historis, kepercayaan, sejarah masa lalu, budaya, serta kondisi ekonomi suatu negara. Tantangan terberat dalam nation branding adalah bagaimana memposisikan negara, sehingga mampu menjadi destinasi pariwisata (dalam jangka panjang).10 Tantangan lainnya adalah bagaimana mengembangkan strategi nation-brand yang mampu membawa nilai kultural.

Sebagai contohnya, Jepang mengembangkan nation-branding dengan menyediakan ilustrasi tentang aset budaya yang dimiliki (musik, film dan makanan). Hal ini merupakan bagian dari strategi peningkatkan reputasi dan image Jepang. Seperti dalam perusahaan, negara harus mampu menentukan arahan dan cakupan jangka panjang dalam keputusan strategis terkait dengan sumber daya yang dimiliki untuk mencapai target dalam sektor pariwisata.

Strategi yang dilakukan oleh pemerintah Jepang dalam mendukung sektor pariwisata dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari promosi yang dilakukan dari media cetak maupun online, memperlonggar visa, kemudian juga posisi Jepang sebagai tuan rumah dalam Olimpiade tahun 2020 mendatang yang tentunya menjadi daya tarik tersendiri bagi Jepang. Selain itu, pemerintah juga menetapkan Action Plan yang di dalamnya memuat berbagai cara untuk mengoptimalkan sektor pariwisata yang dimiliki oleh Jepang untuk menarik wisatawan asing dan menjadikan Jepang sebagai tourist receiving country. Dalam hal ini, pemerintah memegang peran sebagai aktor sentral dalam pengembangan sektor pariwisata. Serangkaian strategi tersebut terkait dengan nation branding yang sedang dikembangkan Jepang, terutama untuk mewujudkan Jepang sebagai negara yang berorientasi pada sektor pariwisata.

1.4. Argumentasi Utama

Strategi yang dilakukan oleh pemerintah Jepang dalam mendukung sektor pariwisata dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari promosi yang dilakukan dari media cetak maupun online, memperlonggar kebijakan terkait visa, kemudian

10 Keith Dinnie, Nation Branding: Concept, Issue and Practice, Elsevier Publisher, Oxford, 2008

(9)

9

juga posisi Jepang sebagai tuan rumah dalam Olimpiade tahun 2020 mendatang yang tentunya menjadi daya tarik tersendiri bagi Jepang. Selain itu, pemerintah juga menetapkan Action Plan yang di dalamnya memuat berbagai cara untuk mengoptimalkan sektor pariwisata yang dimiliki oleh Jepang untuk menarik wisatawan asing dan menjadikan Jepang sebagai tourist receiving country. Dalam hal ini, pemerintah memegang peran sebagai aktor sentral dalam pengembangan sektor pariwisata. Serangkaian strategi tersebut terkait dengan nation branding yang sedang dikembangkan oleh Jepang, terutama untuk mewujudkan Jepang sebagai negara yang berorientasi pada pariwisata.

1.5. Jangkauan Penelitian

Lingkup waktu yang dipilih dalam penelitian ini adalah dari tahun 2012 hingga tahun 2015. Tahun 2012 dipilih karena menurut penulis mulai terjadi peningkatan jumlah kedatangan wisatawan asing ke Jepang secara signifikan, dimana pada tahun ini, untuk pertama kalinya Jepang menjadi tourist receiving country. Sejak tahun 2012 ini pun mulai terjadi peningkatan dalam kedatangan wisatawan internasional Jepang.

1.6. Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan sumber utama berupa pustaka literatur. Data yang akan digunakan untuk menganalisis dan menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini adalah literatur buku, jurnal, laporan resmi pemerintah dan organisasi, serta artikel-artikel dari internet.

1.7. Sistematika Penulisan

Pada BAB I atau pendahuluan, penulis akan membahas mengenai apa yang melatarbelakangi dibuatnya penelitian ini serta argumentasi sementara terhadap rumusan masalah yang diajukan oleh penulis.

(10)

10

BAB II akan membahas mengenai penjelasan terkait tourist receiving country dan gambaran kondisi pariwisata di Jepang.

Pada BAB III akan dibahas mengenai bagaimana strategi pemerintah Jepang dalam mengembangkan sektor pariwisata.

Sedangkan pada BAB IV akan membahas mengenai kesimpulan dari penelitian ini.

Gambar

Gambar  1:  Framework  analisis  PSM  (sumber:  Politics  and  Public  Sector  Management,  James Elliott)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil studi kesesuaian lahan permukiman pada kawasan rawan bencana gunung berapi di Kota Tomohon berdasarkan persebaran kawasan permukiman menunjukkan kawasan

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Lamanya Perawatan Pada Pasien Pasca

Rias Busana dan Aksesories (Hari dan Tempat yang sama) a.. Rias Busana Pengantin Internasional untuk Resepsi

Atas belanja modal tersebut, K/L/SKPD akan mengakui Aset Tetap Lainnya yang harus. disajikan di

Fasilitas pembiayaan konsumtif yang diberikan kepada masyarakat untuk kebutuhan jasa dengan agunan berupa fixed asset atau kendaraan bermotor selama jasa dimaksud

Pengertian clustering keilmuan dalam data mining adalah pengelompokan sejumlah data atau objek ke dalam cluster (group) sehingga setiap dalam cluster tersebut akan berisi data yang

Tahun 2021 tercatat sebanyak 1.363 mahasiswa aktif dengan dosen tetap berjumlah 45 orang, artinya rasio dosen dan mahasiswa 1 : 30, rasio yang sangat ideal bagi bidang ilmu

Hasil analisis regresi permintaan daging pada rumah makan ada (4) variabel independen berpengaruh nyata (P&lt;0,05) terhadap variabel dependen, yaitu jumlah konsumsi daging