• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI COOPERATIVE LEARNING DALAM PEMBELAJARAN PAI DI SMA NEGERI 12 SEMARANG SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI COOPERATIVE LEARNING DALAM PEMBELAJARAN PAI DI SMA NEGERI 12 SEMARANG SKRIPSI"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1

dalam Ilmu Pendidikan Islam

Oleh:

LAILATUN NAZILAH

NIM: 3104016

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

(2)

ii

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Lailatun Nazilah

NIM : 3104016

Jurusan/Program Studi : Pendidikan Agama Islam

menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya saya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.

Semarang, Juni 2011

(3)
(4)
(5)
(6)

vi

ABSTRAK

Judul : Implementasi Cooperative Learning dalam Pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang

Penulis : Lailatun Nazilah

NIM : 3104016

Skripsi ini membahas tentang implementasi cooperative learning dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang. Kajian ini dilatarbelakangi oleh keengganan kalangan institusi pendidikan yang melaksanakan cooperative learning dalam pembelajaran PAI. Fokus penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana implementasi konsep cooperative learning melalui metode pembelajaran

mencari pasangan (make a match), debat aktif (active debate), diskusi kelompok kecil (small group discussion), dan tukar delegasi antar kelompok (jigsaw) dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang. Permasalahan ini dibahas melalui penelitian lapangan yang dilaksanakan di SMA Negeri 12 Semarang. Sekolah tersebut dijadikan sumber data untuk mendapatkan potret implementasi cooperative learning dalam pembelajaran PAI. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Data diperoleh dengan cara observasi, interview dan dokumentasi. Semua data dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang bermaksud untuk membuat deskripsi mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi cooperative learning dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang yang terwujud dalam empat bentuk metode pembelajaran yaitu mencari pasangan (make a match), debat aktif (active debate), diskusi kelompok kecil (small group discussion), dan tukar delegasi antar kelompok ( jigsaw) secara keseluruhan sudah mendekati teori yang ada meskipun masih terdapat sedikit kekurangan. Penerapan model cooperative learning ini dibuktikan dengan terbentuknya sikap kerja sama dalam mencapai tujuan pembelajaran baik kerjasama antar siswa dengan siswa ataupun antara siswa dengan guru, sikap saling memberi dan menerima, saling menghargai pendapat orang lain, toleransi, berinteraksi sosial dan berusaha saling membantu untuk pencapaian tujuan bersama. Dalam hal evaluasi, penilaian yang dilakukan guru baik secara individu maupun secara kelompok, menurut penulis pengajar sudah memenuhi standar evaluasi model

cooperative learning, karena guru telah menerapkan sistem penilaian cooperative learning sesuai standar yang ada. Nilai kelompok diolah sedemikian rupa sehingga nantinya dari hasil kelompok tersebut berpengaruh pada nilai individu, dan begitu juga sebaliknya. Dari proses inilah setiap siswa mempunyai kesempatan untuk memberikan kontribusi bagi kelompoknya. Siswa lamban tak akan merasa minder terhadap rekan-rekan mereka, karena mereka juga bisa memberikan sumbangan. Malahan mereka akan merasa terpacu untuk meningkatkan kontribusi mereka dan dengan demikian maka akan menaikkan nilai pribadi mereka sendiri.

Selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi dunia pendidikan dan bisa menjadi bahan informasi dan masukan bagi semua pihak yang membutuhkan terutama di lingkungan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.

(7)

vii

MOTTO

….

ِﻢْﺛﻹا ﻰَﻠَﻋ اﻮُﻧَوﺎَﻌَﺗ ﻻَو ىَﻮْﻘَّﺘﻟاَو ِّﺮِﺒْﻟا ﻰَﻠَﻋ اﻮُﻧَوﺎَﻌَﺗَو

ِناَوْﺪُﻌْﻟاَو

….

(

٢

:

ةﺪﺋﺎﻤﻟ

ا

)

“....Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan...”. (Q.S

Al-Ma’idah: 2).*

*

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Special for Woman, (Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), hlm. 106

(8)

viii

PERSEMBAHAN

Dengan semangat, do’a dan ridha Allah swt., akhirnya skripsi ini dapat Penulis Selesaikan. Berbagai rintangan yang penulis hadapi alhamdulillah dapat diatasi. Hali ini merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi penulis. Sebagai rasa syukur skripsi ini penulis persembahkan untuk:

Orang tuaku tercinta (Bapak Muhtadi dan Ibu Munfaatun) yang tiada lelahnya memberikan bimbingan, motivasi dan do’a restunya kepada penulis dalam menempuh studi hingga jenjang S.1.

Suamiku tercinta yang tak hentinya memberikan support dan do’anya. Adik-adikku tersayang Yuni Nur Afifah, Imam Kharisuddin, Laili Malida Dilla Sabila dan M. Kafa Rizqi Alfiyan yang selalu memberi semangat.

Keluarga besarku tercinta yang senantiasa memberikan do’a dan dukungannya.

Sahabat-sahabat seperjuanganku PAI ’04 terima kasih untuk semangat dan kerjasamanya.

Sahabat-sahabat PMII Rayon Tarbiyah.

Teman-teman PPL dan KKN serta teman-teman semua di lingkungan IAIN Walisongo Semarang.

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt., yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah dan inayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan Nabi Muhammad saw., sahabat-sahabat dan para pengikutnya yang setia.

Penulis tertarik mengangkat judul implementasi cooperative learning dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang karena selama ini banyak institusi pendidikan yang merasa enggan untuk mengimplementasikan cooperative learning khususnya dalam pembelajaran PAI. Hal ini disebabkan beberapa faktor, diantaranya minimnya seorang guru akan pengetahuannya tentang model–model pembelajaran. Padahal cooperative learning sangat banyak manfaatnya, baik bagi diri siswa, guru ataupun institusi pendidikan.

Penulis sadar sepenuhnya bahwa skripsi ini tak akan terselesaikan tanpa uluran tangan, bimbingan dan bantuan dari semua pihak baik bersifat materiil maupun spiritual. Dengan hati yang tulus mendalam disertai rasa hormat, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang berjasa khususnya kepada Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag. selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang. Dr. Suja’i, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Dra. Hj. Musrifah selaku dosen wali studi yang telah mendahului kita, terima kasih arahan dan bimbingannya, semoga amal beliau diterima di sisi Allah swt. Drs. Ahmad Sudja’i, M.Ag. dan Ismail SM, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan fikirannya dan telah memberikan bimbingan, motivasi, masukan dan saran yang sangat berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Para dosen dan staf karyawan di lingkungan fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang yang telah membekali berbagai ilmu pengetahuan. Drs. Nasikhun selaku kepala sekolah dan Drs. Mahmudi selaku guru PAI SMA Negeri 12 Semarang beserta keluarga besar SMA Negeri 12 Semarang yang telah memberikan waktunya untuk memberikan informasi dalam penelitian ini. Ayahanda, Ibu, adik-adik dan suamiku tercinta serta keluarga besar yang tak lelahnya memberikan motivasi dan do’a restunya.Tak lupa kawan-kawan seperjuangan PAI 2004, kawan-kawan PPL, KKN, sahabat-sahabat PMII Rayon Tarbiyah dan seluruh kawan di lingkungan

(10)

x

IAIN Walisongo Semarang serta kepada semua pihak yang tak mampu penulis sebutkan satu persatu. Atas jasa-jasa dan pengorbanan mereka, penulis hanya bisa berdo’a semoga amal mereka dibalas oleh Allah swt. serta mendapat kebaikan baik di dunia maupun kelak di akhirat.

Skripsi ini masih sangat jauh dari kata sempurna, untuk itu saran dan kritik konstruktif sangat penulis harapkan demi kemajuan ke arah yang lebih baik. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat membawa manfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya. Amin.

Semarang, Juni 2011 Penulis

(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN NOTA PEMBIMBING ... iv

ABSTRAK ... vi MOTTO ... vii PERSEMBAHAN ... viii KATA PENGANTAR ... ix DAFTAR ISI ... xi BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………. 1

B. Penegasan Istilah……… 9

C. Perumusan Masalah……… 11

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. 11

E. Tinjauan Pustaka……… 11

F. Metodelogi Penelitian……… 13

G. Sistematika Penulisan Skripsi……… 17

BAB II : KONSEP COOPERATIVE LEARNING DALAM PEMBELAJARAN PAI A. Cooperative Learning... 19

1. Definisi Cooperative Learning ... 19

2. Latar Belakang Cooperative Learning ... 21

3. Dasar-Dasar Pemikiran Cooperative Learning ... 23

4. Unsur-Unsur Cooperative Learning ... 25

5. Tujuan Cooperative Learning ... 28

6. Pengelolaan Kelas Cooperative Learning... 29

(12)

xii

B. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam ... 33

1. Definisi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam……… 33

2. Komponen Pelaksanaan Pembelajaran PAI………... 34

C. Implementasi Cooperative Learning dalam Pembelajaran PAI pada Jenjang SMA………. 40

BAB III : IMPLEMENTASI COOPERATIVE LEARNING DALAM PEMBELAJARAN PAI DI SMA NEGERI 12 SEMARANG A. Gambaran Umum SMA Negeri 12 Semarang 3. Tinjauan Historis……… 47

4. Letak Geografis………. 48

5. Struktur Organisasi………. 49

6. Visi dan Misi……….. 49

7. Keadaan Guru, Karyawan dan Siswa………. 50

8. Sarana dan Prasarana………. 50

B. Sistem Pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang 1. Tujuan………. 52

2. Materi………. 52

3. Metode……… 52

4. Media……….. 53

5. Evaluasi……….. 53

C. Implementasi Cooperative Learning dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang 1. Metode Mencari Pasangan (Make A Match)……… 55

2. Debat Aktif (Active Debate)………. 56

3. Diskusi Kelompok Kecil (Small Group Discussion)…… 57

(13)

xiii BAB IV : ANALISIS HASIL PENELITIAN

A. Implementasi Cooperative Learning dalam Pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang

1. Metode Mencari Pasangan (Make A Match)……… 63

2. Debat Aktif (Active Debate)………. 64

3. Diskusi Kelompok Kecil (Small Group Discussion)…… 65

4. Tukar Delegasi Antar Kelompok (Jigsaw)………... 65

B. Faktor penunjang dan Penghambat Implementasi Cooperative Learning dalam Pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang………... 67

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan……….. 71

B. Saran-Saran……….. 72

C. Penutup……….... 73

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN-LAMPIRAN

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lahirnya era globalisasi menyisakan sejumlah tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Perkembangan ilmu dan teknologi telah mengakibatkan perubahan-perubahan yang secara nyata berdampak pada kondisi kehidupan manusia. Kenyataan yang harus dihadapi yaitu rapuhnya sendi-sendi kehidupan akibat modernisasi antara lain terlihat dari kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang masih rendah, derajat kehidupan yang masih menyedihkan dan hilangnya self identity dalam kultur global. Di sisi lain, kita juga sedang mengalami kemunduran budaya kolektivitas lokal yang sarat dengan nilai-nilai luhur seperti kegotongroyongan, yang merupakan akibat dari bangunan sistem pendidikan kita yang belum mampu menyiapkan siswa menjadi adaptable dengan seperangkat nilai dalam berbagai dimensi kehidupan.2

Dalam kehidupan global kita tidak hanya berinteraksi dengan beraneka kelompok yang ada, tetapi kita dituntut untuk belajar hidup bersama dan bekerja sama dengan mereka. Tiap kelompok memiliki latar belakang pendidikan, kebudayaan dan tradisi yang berbeda. Agar bisa bekerja sama dan hidup rukun, kita harus banyak belajar hidup bersama, being sociable

(berusaha membina kehidupan bersama).3

Sekolah merupakan suatu lembaga yang bertujuan mempersiapkan anak untuk hidup sebagai anggota masyarakat yang sanggup berpikir dan berbuat efektif.4 Selain itu sekolah harus bisa mengembangkan peserta didik untuk hidup secara bersama yang disertai prinsip semangat kerjasama dan

2

Mukhtar, Desain PembelajaranPendidikanAgamaIslam, (Jakarta: CV. Misaka Galiza, 2003), Cet. 2, hlm. 1.

3

Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004) Cet. 2, hlm. 203.

4

S. Nasution, Didaktik Asas-Asas Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet. 1, hlm. 124.

(15)

solidaritas sosial karena dalam proses belajar seorang siswa juga membutuhkan rasa aman. Salah satu cara utama untuk mendapatkan rasa aman adalah menjalin hubungan dengan orang lain dan menjadi bagian dari kelompok.5 Perasaan saling memiliki ini memungkinkan siswa untuk menghadapi tantangan. Ketika mereka belajar bersama teman, mereka mendapatkan hubungan emosional dan intelektual yang memungkinkan mereka melampaui ambang pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. “Kegiatan belajar bersama dapat membantu memacu belajar aktif”6 dan mengembangkan kreativitas siswa. Kreativitas siswa akan dapat dikembangkan bila pembelajaran tidak menggunakan pendekatan teacher centered.7 Pendidik tidak mendominasi proses komunikasi belajar, tetapi ia lebih banyak membimbing, memberi arahan dan memberi inspirasi pada peserta didik agar mereka dapat mengembangkan kreativitas melalui berbagai kegiatan belajar. Rasa percaya diri, rasa aman, rasa dilindungi, rasa diikutsertakan dan diakui merupakan prasarat dalam menciptakan hubungan kerjasama yang penuh kehangatan (warmness).8 Dengan demikian akan tercipta iklim belajar kondusif yang dapat mengoptimalkan hasil belajar dan kreativitas seorang siswa.

Nampaknya prinsip kerjasama di sekolah belum tertanam secara maksimal. Hal ini bisa dilihat pada proses sekolah dewasa ini yang senantiasa menekankan pengembangan siswa sebagai individu. Mulai dari tugas-tugas harian, tanya jawab dan diskusi di kelas sampai evaluasi akhir hasil studi.

5

Melvin L. Silberman, Active Learning: 101 Cara Belajar Siswa Aktif, (Bandung:: Nusamedia dan Nuansa, 2004), Cet. 1, hlm. 24.

6

Melvin L. Silberman, Active Learning: 101 Cara Belajar Siswa Aktif, (Bandung:: Nusamedia dan Nuansa, 2004), Cet. 1, hlm. 25.

7

Teacher Centered merupakan sebuah pendekatan yang menggunakan pola komunikasi satu arah, dimana seorang guru sebagai pusat belajar mengajar. Guru menyampaikan pelajaran dengan ceramah. Gurulah yang merencanakan, mengendalikan dan melaksanakan segala sesuatu. Sedangkan anak didik hanya mendengarkan dan mencatat (pasif). Pola ini banyak memiliki kelemahan, yakni suasana kelas kaku, guru cenderung otoriter sebab hubungan guru dengan seorang anak seperti majikan dan bawahan, mengerti atau tidak mengertinya anak didik tidak dengan cepat diketahui guru. Lihat Fatah Syukur, Teknologi Pendidikan, (Semarang: Rasail, 2004), hlm. 137-138.

8

Piet A. Sahertian, Profil Pendidik Profesional, (Yogyakarta: Andi Offset, 1994), Cet. 1, hlm. 63.

(16)

Dalam persaingan untuk mencapai prestasi diantara siswa ini, sekolah sama sekali tidak menanamkan semangat kerjasama dan solidaritas sosial. Layaknya pada persaingan bebas di dunia ekonomi siapa yang kuat maka dia yang akan berkembang, demikian pula di dunia pendidikan. Penekanan pada pengembangan siswa secara individual menyebabkan kesenjangan hasil pendidikan.9

Selain itu ada juga persepsi umum yang sudah berakar dalam dunia pendidikan yang menganggap bahwa sudah merupakan tugas guru untuk mengajar dan menyodori siswa dengan muatan-muatan informasi dan pengetahuan. Dalam hal ini siswa sebagai sebuah botol kosong yang bisa diisi dengan muatan-muatan informasi apa saja yang dianggap perlu oleh sang maha guru.10 John Locke dalam bukunya Lie dengan teorinya yang sangat terkenal juga mengatakan bahwa “pikiran seorang anak seperti kertas kosong yang putih bersih dan siap menunggu coretan-coretan gurunya”.11 Model pendidikan demikian oleh Paulo Freire dalam bukunya Shofan dikritik sebagai

banking education atau pendekatan gaya bank.12 Pendekatan gaya bank memiliki asumsi bahwa anak didik adalah obyek yang kosong akan pengetahuan, sehingga harus diisi. Dalam konsep ini pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak berpengetahuan apa-apa. Pendidikan adalah sebuah pembebasan, sehingga dalam konteks ini menurutnya menganggap bodoh secara mutlak kepada orang lain merupakan ciri dari ideologi penindasan. Dalam pendidikan seperti ini kreativitas dan kritisisme dari seorang siswa akan sulit ditemukan.

Senada dengan Freire, ada sebuah pandangan tentang pendidikan yang dikemukakan oleh mantan Presiden Tanzania Julius K Nyerere dalam bukunya

9

Paradigma Pendidikan Masa Depan: Kebersamaan Dalam Belajar Untuk Menghilangkan Ketimpangan”, http://pakguruonline.pendidikan.net/

10

Mengenal Lebih Dekat Cooperative Learning”, http://assalam.or.id/, Minggu, 12 November 2006.

11

Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), Cet. 1, hlm. 2.

12

Moh. Shofan, The Realistic Education: Menuju Masyarakat Utama, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2007), Cet. 1, hlm. 18.

(17)

Supeno yang disampaikan dalam pidatonya, ia mengemukakan bahwa: “Pendidikan bertujuan untuk pembebasan karena itu juga merupakan pendidikan untuk kerjasama antara manusia, karena hanya dalam kerjasama antara manusia bisa membebaskan dirinya dari hambatan-hambatan alam dan hambatan yang diciptakan dan ditimpakan orang lain kepada dirinya.”13

Sebuah pendidikan harus memberi kesempatan pada siswa untuk saling bekerjasama dalam pembelajaran, karena pada dasarnya pengajaran yang efektif menuntut kesediaan kerjasama dari siswa.14 Selain itu, “alur proses belajar tidak harus berasal dari guru menuju siswa. Akan tetapi siswa juga bisa saling mengajar sesama siswa lainnya (peer teaching)”.15 Ini merupakan sistem pengajaran yang memberikan kesempatan sesama siswa untuk bekerjasama dalam tugas-tugas yang terstruktur. Keberhasilan seorang siswa ditentukan oleh kerjasama antar mereka dalam pembelajaran. Jika kerjasama yang saling memberi dan menerima antar siswa bisa berjalan dengan lancar maka akan membuahkan hasil pembelajaran yang optimal.

Saat ini pendidikan dituntut untuk dapat memainkan perannya sebagai basis dan benteng tangguh yang akan menjaga dan memperkukuh etika dan moral bangsa. Pendidikan merupakan suatu media sosialisasi nilai-nilai luhur yang akan lebih efektif bila diberikan kepada anak (siswa) sejak dini.16

Pendidikan agama Islam yang notabenenya sebagai landasan moral dalam kehidupan sehari-hari, kini belumlah membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan yaitu membangun karakter dan moralitas anak bangsa. Tawuran antar siswa, kekerasan fisik dan tindak kriminalitas bahkan terjadi di mana-mana. Kerisauan dan kegalauan akan moralitas anak bangsa telah mengindikasikan kegagalan pembelajaran PAI selama ini. Hal ini mengundang perhatian berbagai pihak untuk menoleh secara lebih serius

13

Hadi Supeno, Potret Guru, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), Cet. 1, hlm. 44. 14

J. Donald Walters, Education for Life, terj. Agnes Widyastuti, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), Cet. 1, hlm. 69.

15

Mengenal Lebih Dekat Cooperative Learning”, http://assalam.or.id/, Minggu, 12 November 2006.

16

Mukhtar, DesainPembelajaranPendidikanAgamaIslam, (Jakarta: CV. Misaka Galiza, 2003), Cet. 2, hlm. 14.

(18)

terhadap PAI. Banyak aspek yang dapat dievaluasi sebagai faktor yang memberi kontribusi terhadap kegagalan ini, diantaranya durasi waktu yang sangat singkat, pembelajaran yang sangat kaku, berpegang dengan buku teks, cenderung tidak membawa peserta didik ke alam kehidupan sosial nyata baik dalam tataran konsep maupun pengalaman keagamaan.

Masalah krusial juga dalam pembelajaran PAI ialah dalam hal penggunaan metode atau model pembelajaran dalam menyampaikan materi pelajaran. Iklim pembelajaran yang dikembangkan oleh guru mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran. Hal ini dapat dilihat pada kemampuan dan ketepatan guru dalam memilih dan menggunakan metode pembelajaran.17

Berdasarkan kondisi PAI yang ada, ternyata masih banyak pendidik yang belum memiliki kemampuan dan keterampilan yang memadai dalam memilih serta menggunakan berbagai metode pembelajaran yang mampu mengembangkan iklim pembelajaran yang kondusif bagi siswa untuk belajar. Pemilihan metode yang kurang tepat dapat mengakibatkan PBM PAI berlangsung secara kaku, sehingga kurang mendukung pengembangan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa. Untuk itu perlu dicari alternatif model pembelajaran yang memungkinkan proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai keagamaan yang diharapkan lebih kuat tertanam pada pribadi siswa.

Atas dasar berbagai problematika di atas, maka upaya peningkatan kualitas proses belajar mengajar PAI merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk dilakukan. Salah satu model pembelajaran yang dapat menjembatani keresahan tersebut adalah model pembelajaran cooperative learning.

Cooperative learning merupakan “sistem pembelajaran yang memberi

kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas terstruktur”.18 Model pembelajaran ini memberi kesempatan siswa

17

Arief Achmad Mangkoesapoetra, “Implementasi Model Cooperative Learning Dalam Pendidikan IPS di Tingkat Persekolahan”, http://researchengines.com/ 16 Agustus 2005.

18

Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), Cet. 1, hlm. 12

(19)

dalam mengembangkan pemahaman dan sikapnya sesuai dengan kehidupan nyata di masyarakat, sehingga dengan bekerja secara bersama-sama (kerja kelompok), saling tolong menolong dan saling mendistribusikan ilmunya di antara sesama anggota kelompok akan meningkatkan motivasi, produktivitas dan perolehan belajar. Hadits dari Ibnu Majah dan Muslim:

َا

ْﻓ

َﻀ

ُﻞ

ﱠﺼﻟا

َﺪ

َﻗ

ِﺔ

َا

ْن

ﱠﯾ

َﺘ

َﻌ

ﱠﻠ

َﻢ

ْﻟا

َﻤ

ْﺮ

ُء

ْﻟا

ُﻤ

ْﺴ

ِﻠ

ُﻢ

ِﻋ

ْﻠ

ًﻤ

ُﺛ ﺎ

ﱠﻢ

ُﯾ

َﻌ

ِّﻠ

ُﻤ

ُﮫ

َا

َﺧ

ُهﺎ

ْﻟا

ُﻤ

ْﺴ

ِﻠ

َﻢ

)

ﻦﺑا هاور

ﮫﺟﺎﻣ

(

“Shodaqoh yang paling utama adalah orang Islam yang belajar ilmu kemudian ia mengajarkan kepada saudaranya sesama Islam.” (HR. Ibnu Majah)19

Hadits tersebut menjelaskan bahwa orang yang memiliki ilmu maka ia wajib mengamalkannya kepada orang lain, ini merupakan shodaqoh yang paling utama, karena sesungguhnya apa yang ada dalam diri kita sebagian adalah hak orang lain. Dengan demikian maka ilmu kita akan menjadi ilmu yang bermanfaat dunia dan akhirat

Hadits tentang tolong-menolong juga dijelaskan dari Muslim:

َو

ُﷲا

ِﻓ

ْﻰ

َﻋ

ْﻮ

ِِن

ْﻟا

َﻌ

ْﺒ

ِﺪ

َﻣ

َﻛ ﺎ

َنﺎ

ْﻟا

َﻌ

ْﺒ

ُﺪ

ِﻓ

ْﻰ

َﻋ

ْﻮ

ِِن

َا

ِﺧ

ْﯿ

ِﮫ

)

ﻢﻠﺴﻣ هاور

(

"…dan Allah akan menolong hambaNya apabila hamba tersebut menolong saudaranya…” (HR. Muslim)20

Hadits di atas menjelaskan bahwa seseorang yang mau menolong saudaranya dengan dilandasi keikhlasan maka Allah kelak juga akan menolong orang tersebut. Kita sebagai manusia juga harus yakin bahwa pertolongan Allah pasti akan datang, hanya saja tak seorangpun yang tahu kapan pertolongan itu akan tiba.

Menurut Michaels sebagaimana dikutip Etin Solihatin “cooperative learning is more effective in increasing motive and performance students” 21,

19

as-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Mukhtar al-Ahadits an-Nabawiyyah, (Indonesia: Daar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1948), hlm. 30.

20

Imam Yahya bin Syarofiddin an-Nawawiy, al-Arba’in an-Nawawiyah, (Semarang: Toha Putera, 676 H), hlm. 22.

(20)

yakni pembelajaran kooperatif lebih efektif dalam meningkatkan motivasi dan performen siswa.

Senada itu, Henry juga mengungkapkan bahwa “committee work is also a useful way of spreading participation. It is a way of giving children opportunities to learn how work cooperatively and to think for themselves”

22

(Bekerja sama juga merupakan cara yang berguna untuk meningkatkan partisipasi. Ini adalah sebuah cara memberikan kesempatan anak untuk belajar bagaimana bekerja sama dan berfikir untuk diri mereka sendiri).

Model cooperative learning mendorong peningkatan kemampuan mahasiswa dalam memecahkan berbagai permasalahan yang ditemui selama pembelajaran, karena siswa dapat bekerja sama dengan siswa lainnya dalam menemukan dan merumuskan alternatif pemecahan terhadap masalah materi pelajaran yang dihadapi.

Cooperative learning menciptakan kondisi pembelajaran yang bersifat gotong royong, saling menolong dan bekerjasama. Hal ini bukanlah hal baru dalam dunia Islam, karena Islam sendiripun menganjurkan untuk saling tolong-menolong.23 Allah berfirman dalam surat at-Taubah ayat 71:

ٍﺾْﻌَﺑ ُءﺎَﯿِﻟْوَآ ْﻢُﮭُﻀْﻌَﺑ ُتﺎَﻨِﻣْﺆُﻤْﻟاَو َنْﻮُﻨِﻣْﺆُﻤْﻟاَو

)

ﺔﺑﻮﺘﻟﺍ

:

٧١

(

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain….”. (QS. at-Taubah: 71)24

21

Etin Solihatin dan Raharjo, Cooperative Learning: Analisis Model Pembelajaran IPS, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), Cet. 1, hlm. 5.

22

Henry Clay Lindgreen, Educational Psychology In The Classroom, (New York: John Wiley and Sons, Inc, 1960), p. 349.

23

Disebutkan dalam al-Qur’an:

(٢:ةﺪﺋﺎﻤﻟا) …ِناَوْﺪُﻌْﻟاَو ِﻢْﺛِﻹا ﻰَﻠَﻋ اْﻮُﻧَوﺎَﻌَﺗ ﻻَو ىَﻮْﻘّﺘﻟاَو ِّﺮِﺒْﻟا ﻰَﻠَﻋ اْﻮُﻧَوﺎَﻌَﺗَو…

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan….”. (QS. Al-Maidah: 2). Lihat Depag RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, (Jakarta: Al-Huda, 2005), hlm. 107. Dijelaskan oleh Majid bahwa fitrah manusia sejak kelahirannya adalah kebutuhan dirinya kepada orang lain. Kita tidak mungkin dapat berkembang dan survive kecuali ada kehadiran orang lain. Bila seorang filsuf Barat berkata ‘cogito ergo sum’ yang artinya “aku ada karena aku berpikir”, maka kita dapat mengatakan “aku ada karena aku memberikan makna bagi orang lain”. lihat Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2006), Cet. 2, hlm. 81.

24

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Special for Woman, (Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), hlm. 1٩٨.

(21)

Ayat di atas menjelaskan bahwa kita sebagai orang yang beriman harus saling tolong-menolong diantara sesama, karena sesunggunya kita semua adalah bersaudara. Barang siapa mau menolong diantara sesama maka kelak Allah juga akan memberi pertolongan kepada kita.

Selain itu Allah juga berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 85:

َﻣ

ْﻦ

َﱠﯾ

ْﺸ

َﻔ

ْﻊ

َﺷ

َﻔ

َﻋﺎ

ًﺔ

َﺣ

َﺴ

َﻨ

ًﺔ

ﱠَﯾ

ُﻜ

ْﻦ

ﱠﻟ

َﻧ ﮫ

ِﺼ

ْﯿ

ٌﺐ

ِّﻣ

ْﻨ

َﮭ

َو ﺎ

َﻣ

ْﻦ

ﱠﯾ

ْﺸ

َﻔ

ْﻊ

َﺷ

َﻔ

َﻋﺎ

ًﺔ

َﺳ

ﱢﯿ

َﺌ

ًﺔ

ﱠَﯾ

ُﻜ

ْﻦ

ﱠﻟ

ُﮫ

ِﻛ

ْﻔ

ٌﻞ

ِّﻣ

ْﻨ

َﮭ

) ….

ّﻨﻟا

ءﺎﺴ

:

٨٥

(

“Barang siapa memberi pertolongan dengan pertolongan yang baik, niscaya dia akan memperoleh bagian dari (pahala)nya. Dan barang siapa memberi pertolongan dengan pertolongan yang buruk, niscaya dia akan memikul bagian dari (dosa)nya….”. (QS. An-Nisa’: 85)25

Ayat tersebut memberi anjuran jika kita menolong orang lain hendaknya kita harus memberi pertolongan yang baik dengan dilandasi rasa ikhlas, karena kelak pahala yang tak terkira akan kita dapatkan.

Kerjasama merupakan hal sangat urgen bagi kelangsungan hidup. Tanpa kerjasama tidak akan ada individu, keluarga, organisasi atau bahkan sekolah. Tanpa kerja sama kehidupan kan tiada.

Dengan mengaplikasikan prinsip kerjasama yang termodifikasi dalam model cooperative learning ke dalam pembelajaran PAI, diharapkan proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai keagamaan lebih kuat tertanam pada pribadi siswa, sehingga pembangunan karakter (character building) dan etika moral anak bangsa akan dapat terjunjung tinggi. Selain itu dengan adanya

cooperative learning ini, diharapkan pula pembelajaran PAI akan lebih menarik, aktual dan hidup serta meningkatkan minat dan prestasi belajar.

Di tengah keengganan kalangan institusi pendidikan menggunakan

cooperative learning dalam pembelajaran PAI karena berbagai macam

kekhawatiran, SMA Negeri 12 Semarang telah menerapkan model pembelajaran ini, meskipun baru beberapa metode yang diimplementasikan. Berdasarkan pemikiran di atas, penulis berusaha untuk mengetahui lebih jauh

25

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Special for Woman, (Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), hlm. 91.

(22)

kegiatan pembelajaran PAI melalui model cooperative learning yang terkonsep dalam judul “IMPLEMENTASI COOPERATIVE LEARNING

DALAM PEMBELAJARAN PAI DI SMA NEGERI 12 SEMARANG.

B. Penegasan Istilah

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami judul di atas, maka penulis akan memberikan penjelasan beberapa istilah yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Adapun istilah-istilah yang penulis jelaskan ialah:

1. Implementasi

Implementasi yaitu pelaksanaan atau penerapan.26 Implementasi di sini maksudnya adalah bagaimana pelaksanaan cooperative learning

dalam pembelajaran PAI yang diterapkan oleh SMA Negeri 12 Semarang.

2. Cooperative Learning

Cooperative learning adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4 sampai 6 orang, dengan struktur kelompoknya yang bersifat heterogen.27 Senada dengan itu, Lie berpendapat bahwa cooperative learning merupakan sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur.28 Ada 5 unsur model pembelajaran gotong royong yang harus diterapkan untuk mencapai hasil yang maksimal, yaitu ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antar anggota dan evaluasi proses kelompok.29 Model cooperative learning ini menjelma ke dalam banyak metode, misalnya metode mencari pasangan (make a match), kepala

26

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 327. 27

Etin Solihatin dan Raharjo, Cooperative Learning: Analisis Model Pembelajaran IPS, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), Cet. 1, hlm. 4.

28

Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas, (Jakarta: PT. Grasindo, 2004), Cet. 1, hlm. 12.

29

Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas, (Jakarta: PT. Grasindo, 2004), Cet. 1, hlm. 31.

(23)

bernomor (numbered heads), debat aktif (active debate), diskusi kelompok kecil (small group discussion), dua tinggal dua tamu (two stay two stray),

jigsaw, dan lain-lain. Dari sekian banyaknya metode dalam model

cooperative learning, penulis hanya akan menggunakan empat metode yang akan diteliti yang diterapkan dalam pembelajaran pendidikan agama Islam (PAI), yaitu metode mencari pasangan (make a match), debat aktif (active debate), diskusi kelompok kecil (small group discussion), dan tukar delegasi antar kelompok ( jigsaw).

3. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.30 pembelajaran juga berarti proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa dalam belajar bagaimana memperoleh dan memproses pengetahuan, ketrampilan dan sikap.31 Pembelajaran yang dimaksud adalah pembelajaran yang dimaknai sebagai learning to think, learning to do,

learning to be, learning how to learn, dan learning to live together.32 Pendidikan agama Islam (PAI) menurut Zakiah Darajat sebagaimana dikutip oleh Muntholi’ah mendefinisikan sebagai suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh lalu menghayati tujuan yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup.33 Sedangkan menurut Ibnu Hajar yang dikutip Muntholi’ah mendefinisikan PAI sebagai sebutan yang diberikan pada salah satu subyek pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa muslim dalam

30

Depdiknas RI, UU Sistem Pendidikan Nasional 2003, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2003), hlm. 4.

31

Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Depdikbud bekerjasama dengan Rineka Cipta, 1999), Cet. 1, hlm. 157.

32

A. Atmadi dan Y. Setyaningsih, Tranformasi Pendidikan: Memasuki Millenium Ketiga, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 7.

33

Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: Remaja Rosadakarya, 2004), hlm. 130.

(24)

menyelesaikan pendidikannya dalam tingkatan tertentu.34 Yang dimaksud PAI di sini adalah suatu bidang studi yang ada di SMA Negeri 12 Semarang yang diberikan kepada siswa muslim sebagai upaya mempersiapkan anak didik yang berkualitas baik sebagai orang yang beragama, berbangsa dan bernegara.

Dari uraian di atas, yang dimaksud pembelajaran PAI oleh penulis adalah proses interaktif yang diselenggarakan oleh pendidik untuk membelajarkan bidang studi PAI kepada peserta didik yang berorientasi mengajarkan pengetahuan agama Islam dan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta pembinaan akhlak yang mulia dan berbudi pekerti luhur.

C. Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu: Bagaimana implementasi cooperative learning dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana implementasi cooperative learning dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang.

Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu: 1. Secara teoritis

Dengan adanya penelitian ini, maka penulis dapat mengetahui konsep cooperative learning dan implementasinya, khususnya dalam pembelajaran PAI di sekolah yang penulis teliti yaitu SMA Negeri 12 Semarang.

34

Muntholi’ah, Konsep Diri Positif Penunjang Prestasi PAI, (Semarang: Gunungjati dan Yayasan Al-Qalam, 2002), hlm. 12.

(25)

2. Secara praktis

a. Sebagai motivator pembaca untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran PAI di manapun berada.

b. Sebagai rujukan pendidik dalam mengelola pembelajaran PAI dengan model dan metode pembelajaran yang lebih tepat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

c. Sebagai khazanah pengembangan ilmu PAI, khususnya bidang metode pembelajaran.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam tinjauan pustaka ini penulis akan mendeskripsikan beberapa skripsi yang ada relevansinya dengan judul penelitian di atas, yaitu:

1. Skripsi yang ditulis oleh Yayuk Afiana (Nim: 3199248), mahasiswi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang pada tahun 2004 dengan judul “Penerapan Metode Diskusi pada Pembelajaran PAI di SMU N Jumantono Karangayar”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan metode diskusi mampu membangun kreatifitas dan daya kritis siswa dalam mempelajari mata pelajaran pendidikan Agama Islam di SMUN Jumantono. Hal ini dibuktikan dengan keaktifan siswa untuk berargumen dalam kelompok maupun diskusi kelas.35

2. Skripsi yang ditulis oleh Nur Khamidah (NIM: 3100043), mahasiswi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang pada tahun 2005 dengan judul “Implementasi Azas Kooperatif dalam Pembelajaran PAI di SMP Negeri 1 Comal”. Skripsi ini membahas bagaimana implementasi azas kooperatif dalam pembelajaran PAI yang diterapkan oleh SMP Negeri 1 Comal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SMP Negeri 1 Comal telah mengimplementasikan azas kooperatif dalam pembelajaran PAI. Implementasi azas kooperatif ini dapat terlihat pada beberapa metode pembelajaran yang diterapkan yaitu belajar kelompok, diskusi serta

35

Yayuk Afiana, “Penerapan Metode Diskusi pada Pembelajaran PAI di SMU N Jumantono Karangayar”, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2004), t.d.

(26)

pemberian tugas. Ketiga metode tersebut telah sesuai dengan azas kooperatif. Ini disebabkan karena pembelajaran tersebut mengutamakan prinsip kerjasama, gotong royong. Penerapan azas kooperatif ini menunjukkan hasil belajar yang signifikan dan peningkatan aktivitas peserta didik dalam proses pembelajaran.36

3. Skripsi yang ditulis oleh Yuni Ifayati (NIM: 3102232), mahasiswi Fakultas Tarbiyah IAIN walisongo Semarang pada tahun 2006 dengan judul “Implementasi Model cooperative learning dalam Pembelajaran PAI di SMP Semesta Semarang”. Skripsi ini membahas bagaimana implementasi model pembelajaran cooperative learning dalam pembelajaran PAI yang diterapkan oleh SMP Semesta Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SMP Semesta telah menerapkan

cooperative learning dalam pembelajaran PAI. Implementasi model

cooperativelearning ini diterapkan dalam beberapa metode pembelajaran, yaitu belajar kelompok, diskusi kelompok, tutor sebaya dan jigsaw. Pada prakteknya, kegiatan pembelajaran PAI melalui metode-metode

cooperative learning sudah hampir mendekati teori yang ada di penerapan

cooperative learning ini juga meningkatkan aktifitas dan hasil belajar siswa.37

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, jika skripsi-skripsi di atas dalam mengimplementasikan model kooperatif masih menggunakan metode-metode yang tradisional (belajar kelompok, diskusi, pemberian tugas, tutor sebaya dan jigsaw), maka dalam penulisan skripsi ini penulis lebih menitikberatkan pada metode-metode yang lebih modern, yaitu make a match

(mencari pasangan), active debate (debat aktif), small group discussion

(diskusi kelompok) dan jigsaw. Bagaimana SMA Negeri 12 Semarang

36

Nur Khamidah, “Implementasi Azas Kooperatif dalam Pembelajaran PAI di SMPN 1 Comal”, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2004), t.d.

37

Yuni Ifayati, “Implementasi Model Cooperative Learning dalam Pembelajaran PAI di SMP Semesta Semarang”, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2006), t.d.

(27)

menerapkan keempat metode cooperative learning tersebut dalam pembelajaran PAI

F. Metodelogi Penelitian

1. Fokus dan Ruang Lingkup Penelitian

Fokus penelitian ini akan mengkaji bagaimana implementasi

cooperative learning dalam pembelajaran PAI.

Sedangkan ruang lingkup yang akan diteliti yaitu SMA Negeri 12 Semarang yang menerapkan model cooperative learning dalam pembelajaran PAI, yang meliputi aspek:

a. Pendidik dan peserta didik b. Proses belajar mengajar c. Kurikulum yang diterapkan

d. Milleu, termasuk sarana dan prasarana. 2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan kualitatif. Bodgan dan Taylor (1975: 5) dalam bukunya Moleong mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai pendekatan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.38 Penelitian kualitatif merupakan tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia. Jadi penelitian ini akan menghasilkan deskripsi tentang gejala-gejala yang diamati yang tidak berupa angka.

Penelitian kualitatif ini bersifat deskriptif,39 yakni menggambarkan fenomena-fenomena yang ada dalam proses belajar mengajar PAI di SMA

38

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), Cet. 24, hlm. 4.

39

Penelitian yang bersifat deskriptif dalam bidang pendidikan dan kurikulum pengajaran merupakan hal yang cukup penting untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena kegiatan pendidikan, pelaksanaan model dan metode pembelajaran, implementasi kurikulum pada berbagai jenis, jenjang dan satuan pendidikan. Lihat Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian

(28)

Negeri 12 Semarang. Jadi penelitian kualitatif deskriptif ini akan mampu mengungkap informasi kualitatif dengan deskripsi teliti dan penuh nuansa, yang lebih berharga dari pada sekedar pernyataan jumlah ataupun frekuensi dalam bentuk angka.

3. Sumber Data

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.40 Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah kepala sekolah, waka kurikulum, humas, guru PAI, siswa dan dokumentasi sekolah.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data menggunakan beberapa metode, yaitu: a. Metode Observasi

Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.41 Dalam hal ini observasi dilakukan dengan menggunakan teknik observasi secara langsung. Caranya peneliti mengamati gejala atau proses belajar mengajar Pendidikan Agama Islam dengan menggunakan model

cooperative learning yang dilakukan oleh SMA Negeri 12 Semarang dengan mengikuti kegiatan belajar mengajar dan mengamati keadaan guru dan siswa selama kegiatan pembelajaran.

b. Interview

Interview (wawancara) adalah metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dilakukan dengan sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian.42

Pendidikan, (Bandung: Program Pasca Sarjana UPI bekerjasama dengan Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 72.

40

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), Cet. 24, hlm. 157.

41

S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 128 42

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid 2, (Yogyakarta: Andi Offset, 2004), hlm. 218.

(29)

Peneliti dalam hal ini berkedudukan sebagai interviewer, mengajukan pertanyaan, menilai jawaban, meminta penjelasan, mencatat dan mengadakan prodding (menggali keterangan lebih mendalam). Di pihak lain, sumber informasi (interviewee) menjawab pertanyaan, memberi penjelasan dan terkadang juga membalas pertanyaan.43

Interview ini digunakan untuk mendapatkan informasi dari berbagai pihak di lingkungan sekolah guna untuk mengumpulkan data tentang penerapan cooperative learning dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang.

c. Metode Dokumentasi

Dokumentasi merupakan metode yang digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel-variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat dan sebagainya.44

Metode ini peneliti gunakan untuk memperoleh dokumen-dokumen dan kebijakan yang terkait dalam penelitian ini.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan lain-lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. sedangkan untuk meningkatkan pemahaman tersebut analisis perlu dilanjutkan dengan berupaya mencari makna (meaning).45

Dalam memberikan interpretasi data yang diperoleh, penulis menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan (deskripsi)

43

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid 2, (Yogyakarta: Andi Offset, 2004), hlm. 218.

44

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), Cet. 17, hlm. 160.

45

Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), Cet. 7, hlm. 104.

(30)

mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian.46 Dalam analisis deskriptif, laporan penelitian berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut berasal dari naskah interview, catatan lapangan, foto, videotape, dokumen pribadi, catatan atau memo dan dokumen resmi lainnya. Pada penulisan laporan demikian, peneliti menganalisis data yang sangat kaya tersebut dan sejauh mungkin dalam bentuk aslinya. Ini dilakukan seperti orang merajut sehingga setiap bagian ditelaah satu demi satu. Pertanyaan dengan kata tanya mengapa, alasan apa dan bagaimana terjadinya akan senantiasa dimanfaatkan oleh penulis. Dengan demikian peneliti tidak akan memandang bahwa sesuatu itu sudah memang demikian keadaannya.47

Data yang terkumpul selanjutnya dikelompokkan sesuai fokus penelitian, kemudian dilakukan triangulasi (pemeriksaan sumber data). Dalam hal ini triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber, yang berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif.48 Di samping itu, agar penelitian ini tidak berat sebelah maka penulis menggunakan teknik members check.49 Langkah selanjutnya adalah menyusun data tersebut dengan menggambarkan penerapan model cooperative learning dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang seperti apa adanya.

46

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 18.

47

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), Cet. 24, hlm. 11.

48

Lexy merujuk pada Patton menambahkan bahwa teknik ini bisa dicapai dengan jalan membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil interview, membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi, membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu, membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain, dan membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), Cet. 24, hlm. 330-331.

49

Member Check yaitu memeriksa laporan sementara kepada subjek penelitian agar mereka dapat memberikan informasi baru lagi atau dapat menyetujui kebenarannya sehingga hasil penelitian dapat lebih dipercaya. Lihat Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 54.

(31)

G. Sistematika Penulisan Skripsi

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1. Bagian awal berisi: halaman judul, pernyataan keaslian, halaman

pengesahan, halaman nota pembimbing, abstrak, motto, persembahan, kata pengantar dan daftar isi.

2. Bagian inti berisi:

BAB I: Bab ini berisi pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah, penegasan istilah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan skripsi.

BAB II: Bab ini berisi landasan teori yang terdiri dari tiga sub bab. Sub bab pertama tentang cooperative learning meliputi definisi

cooperative learning, latar belakang cooperative learning, dasar-dasar pemikiran cooperative learning, unsur-unsur

cooperative learning, tujuan cooperative learning, pengelolaan kelas cooperative learning, dan evaluasi cooperative learning. Sub bab kedua berisi tentang pembelajaran pendidikan agama Islam yang meliputi definisi pembelajaran pendidikan agama Islam dan komponen pelaksanaan pembelajaran PAI. Sub bab ketiga berisi tentang implementasi cooperative learning dalam pembelajaran PAI pada jenjang SMA.

BAB III: Bab ini berisi kajian objek penelitian yang terdiri dari 3 sub bab. Sub bab pertama berisi tentang gambaran umum SMA Negeri 12 Semarang yang meliputi tinjauan historis, letak geografis, struktur organisasi, visi dan misi, keadaan guru, karyawan dan siswa, sarana dan prasarana SMA Negeri 12 Semarang. Sub bab kedua berisi tentang sistem pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang yang meliputi tujuan pembelajaran PAI, materi dan metode pembelajaran PAI dan media pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang. Sub

(32)

bab ketiga berisi tentang implementasi cooperative learning

dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang

BAB IV: Bab ini berisi tentang analisis hasil penelitian yang terdiri dari dua sub bab. Sub bab pertama menguraikan tentang implementasi cooperative learning dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang yang meliputi metode mencari pasangan (make a match), debat aktif (active debate), diskusi kelompok kecil (small group discussion), dan tukar delegasi antar kelompok (jigsaw). Sub bab kedua menguraikan tentang faktor penunjang dan penghambat implementasi cooperative

learning dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 12

Semarang.

BAB V : Bab ini berisi penutup yang terdiri dari sub bab kesimpulan, saran-saran dan penutup.

3. Bagian akhir berisi daftar pustaka, tabel-tabel, gambar-gambar, lampiran-lampiran dan daftar riwayat hidup.

(33)

BAB II

KONSEP COOPERATIVE LEARNING

DALAM PEMBELAJARAN PAI

A. Cooperative Learning

1. Definisi Cooperative Learning

Dalam proses belajar mengajar dewasa ini dikenal istilah

cooperative learning atau pembelajaran gotong royong. Cooperative

learning terdiri dari dua kata dasar yaitu cooperative dan learning. Cooperative berarti “working together with others towards a shared aim”.50 Basyiruddin Usman mendefinisikan cooperative sebagai “belajar kelompok atau bekerja bersama”.51 Jadi, cooperative bisa diartikan sebagai cara individu mengadakan relasi atau bekerjasama dengan individu lain untuk mencapai tujuan bersama.

Sedangkan learning adalah “the process through whichexperience causes permanent change in knowledge or behavior”, yakni proses melalui pengalaman yang menyebabkan perubahan permanen dalam pengetahuan dan perilaku.52 Senada dengan hal itu, Clifford T. Morgan mengemukakan bahwa “Learning as any relatively permanent change in behavior which occurs as a result of experience or practice”53, yakni belajar sebagai perubahan yang relatif permanen dalam perilaku yang terjadi merupakan hasil dari pengalaman atau latihan. Sedangkan menurut Arthur T. Jersild yang dikutip Syaiful Sagala, mendefinisikan bahwa learning adalah “modification of behavior through experience and training”, yakni pembentukan perilaku melalui pengalaman dan latihan. Dia menambahkan

50

Sally Wehmeier, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (New York: Oxford University Press, 2000), hlm. 276.

51

Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 14.

52

Anita E. Woolfolk, Educational Psychology, (USA: Allyn & Bacon, 1995), hlm. 196. 53

Clifford T. Morgan, Introduction To Psychology, (New York: McGraw-Hill, 1971), hlm. 63.

(34)

learning sebagai kegiatan memperoleh pengetahuan, perilaku dan keterampilan dengan cara mengolah bahan ajar.54

S{a>lih} ‘Abdul ‘Aziz dan ‘Abdul Azi’z ‘Abdul Majid mengemukakan, bahwa:

ﻥﺃ

ﻢﻠﻌﺘﻟﺍ

ﻮﻫ

ﲑﻴﻐﺗ

ﻦﻫﺫ

ﻢﻠﻌﺘﳌﺍ

ﺃﺮﻄﻳ

ﻰﻠﻋ

ﺔﻘﺑﺎﺳ

ﺪﺤﻴﻓ

ﺎﻬﻴﻓ

ﺍﲑﻴﻐﺗ

ﺍﺪﻳﺪﺟ

.

٥٥

“....sesungguhnya belajar merupakan perubahan di dalam orang yang belajar (peserta didik) yang bersumber atas pengalaman lama yang menimbulkan perubahan baru.”

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa cooperative learning

adalah usaha mengubah perilaku atau mendapatkan pengetahuan dan keterampilan secara gotong royong atau kerjasama.

Roger dan David Johnson mendefinisikan “cooperative learning is the instructional use of small groups so that students work together to maximize their own and each other's learning”56, yakni pembelajaran kooperatif adalah pengajaran yang berbentuk kelompok-kelompok kecil sehingga siswa bekerja sama untuk memaksimalkan pembelajaran mereka sendiri dan masing-masing yang lainnya. Asep Gojwan mendefinisikan pembelajaran kooperatif sebagai suatu model pembelajaran yang menekankan aktivitas kolaboratif siswa dalam belajar yang berbentuk kelompok kecil untuk mencapai tujuan yang sama dengan menggunakan berbagai macam aktivitas belajar, guna meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami materi pelajaran dan memecahkan masalah secara kolektif.57

Inti dari cooperativelearning ini adalah konsep synergy, yakni energi atau tenaga yang terhimpun melalui kerjasama sebagai salah satu fenomena

54

Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm. 12. 55

S{a>lih} ‘Abdul ‘Azi>z dan ‘Abdul Azi>z ‘Abdul Maji>d, Tarbiyatu wa T}uruqu at-Tadri>s, Juz. 1, (Mesir: Da>rul Ma’a>rif, 1968), hlm. 169.

56

Roger T. Johnson and David W. Johnson, “Cooperative Learning”, http://www.co-operation.org/pages/cl.html

57

Asep Gojwan, “Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama”, http://pk.sps.upi.edu/abstrakpk/abstrakpk04.html

(35)

kehidupan yang terjadi di masyarakat.58 Jadi, cooperative learning

dirancang untuk memanfaatkan fenomena kerjasama atau gotong royong dalam dengan yang lainnya, terbentuknya sikap dan perilaku yang demokratis serta tumbuhnya produktivitas kegiatan belajar siswa.

2. Latar Belakang Cooperative Learning

Ada beberapa alasan penting mengapa cooperative learning perlu di terapkan di sekolah-sekolah. Seiring dengan proses globalisasi, terjadi juga transformasi sosial, ekonomi dan demografis yang mengharuskan sekolah-sekolah untuk lebih menyiapkan anak didik dengan keterampilan-keterampilan sosial yang bermanfaat bagi kehidupan di masyarakat sehingga mampu berpartisipasi aktif dalam dunia yang cepat berubah dan berkembang pesat.59 Berikut penjelasan tentang alasan tersebut:

a. Transformasi sosial

Karena pengaruh modernisasi, struktur keluarga berubah drastis. Semakin banyak anak yang dibesarkan dalam keluarga inti tanpa kehadiran penuh kedua orangtua. Tingkat mobilitas dan isolasi keluarga makin meningkat dengan semakin bertambahnya kaum ibu yang berkarier. Banyak anak tumbuh dengan sedikit sekali pengasuhan dari orang tua. Yang lebih menyedihkan lagi, anak bisa meluangkan lebih banyak waktu di depan telivisi dari pada di sekolah. Stasiun televisi boleh saja membantah hasil penelitian mengenai pengaruh anti sosial televisi, namun yang jelas menonton televisi adalah kegiatan solitair. Pada saat mata terpaku pada layar, hilanglah kesempatan untuk mengembangkan interaksi sosial dan ketrampilan berkomunikasi. Spencer Kagan masih dalam bukunya Lie mengatakan bahwa anak usia SD menonton televisi rata-rata 15 kali lebih lama dari pada berbicara dengan ayah mereka.

58

Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm. 177.

59

Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), Cet. 3, hlm. 12-14.

(36)

Di tengah-tengah tranformasi sosial yang membawa makin banyak dampak negatif, sekolah seharusnya merasa terpanggil untuk memperhatikan perkembangan moral dan sosial anak didik. Dalam sistem pengajaran tradisional, siswa dipaksa untuk bekerja secara individu atau kompetitif tanpa ada banyak kesempatan untuk berinteraksi dan bekerja sama dengan sesama.

b. Transformasi Ekonomi

Derasnya arus informasi sudah tidak memungkinkan lagi bagi guru untuk bersikap maha tahu dan beranggapan bahwa siswa perlu dimasuki dengan berbagai fakta pengetahuan dan informasi. Agar bisa lebih siap memasuki era informasi, siswa perlu diajar bagaimana caranya untuk mendapatkan informasi sendiri, apakah itu dari guru, teman, bahan-bahan pelajaran, ataupun sumber-sumber lain.

Selain itu, keterkaitan (interdependence) merupakan ciri lain dari transformasi ekonomi. Pada kebanyakan pekerjaan, kepandaian atau kemampuan individu bukanlah yang terpenting. Kemampuan untuk bekerjasama dalam tim lebih dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan keberhasilan suatu usaha. Sebagai pendidik yang bertanggungjawab, guru perlu melihat lebih jauh dari pada sekadar nilai-nilai tes dan ujian. Seharusnyalah, para guru lebih merasa terpanggil untuk mempersiapkan anak didiknya agar bisa berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain dalam berbagai macam situasi sosial.

c. Transformasi Demografis

Urbanisasi membawa implikasi-implikasi serius dalam perubahan nilai-nilai sosial dan proses sosialisasi. Kompetisi dan eksploitasi merupakan bagian dari kehidupan perkotaan mewarnai evaluasi karakter dan nilai-nilai sosial. Ternyata, urbanisasi telah memegang peranan dalam penciptaan homo homini lupus. Sekolah seharusnya bisa berbuat lebih banyak dalam mengubah arah evolusi nilai-nilai sosial. Sebagai keluarga kedua, sekolah bisa merupakan tempat untuk menanamkan sikap-sikap cooperative dan mengajarkan

(37)

cara-cara bekerjasama. Sekolah bisa memegang peranan yang lebih penting dalam pembentukan anak didik menjadi homo homini socius.

Kebinekaan suku bangsa dan ras merupakan ciri-ciri lain dari transformasi demografis. Sebagai bagian dari masyarakat, sekolah- sekolah juga merupakan tempat pertemuan anak-anak dari berbagai macam suku dan ras. Tanpa penanganan yang bijaksana, siswa-siswa bisa terjatuh dalam ketegangan antarsuku dan sikap-sikap rasialis. Seorang siswa bisa saja duduk di satu kelas yang sama dengan siswa lain yang berbeda suku atau ras selama bertahun-tahun. Namun, jika siswa ini tidak diajari untuk berinteraksi dengan teman sekelas yang berbeda ras atau suku sebagai seorang individu dengan segala nuansa kemanusiaannya. Yang dia lihat tidak akan lebih dari stereotip-stereotip

yang sangat mungkin menjurus pada sikap-sikap prejudice dan rasialis. 3. Dasar-Dasar Pemikiran Cooperative Learning

Cooperative learning menampakkan wujudnya dalam bentuk

kelompok. Menurut Bimo Walgito, dasar bentuk pembelajaran ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:60

a. Dasar Pedagogis

Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 yang berbunyi :

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.61

Kalau ditinjau lebih dalam, tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia

60

Bimo Walgito, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, (Yogyakarta: Andi Offset, 1995), hlm. 103-104.

61

Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 5-6.

(38)

Indonesia seutuhnya, yaitu manusia berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Untuk mencapai tujuan semacam itu sistem pendidikan harus berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.62 Melalui cooperative learning inilah anak-anak lebih dapat dibentuk menjadi manusia utuh seperti yang diharapkan oleh tujuan pendidikan nasional.

b. Dasar Psikologi

Dasar psikologis tersebut akan terlihat pada diri manusia dalam kehidupan sehari-hari. Manusia mempunyai kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain,63 karena pada dasarnya salah satu naluri manusia yang terbentuk dalam jiwanya secara individual adalah kemampuan dasar yang disebut para ahli psikologi sosial sebagai instink

gregorius (naluri untuk hidup berkelompok) atau hidup bermasyarakat. Dan dengan naluri ini, tiap manusia secara individual ditinjau dari segi antropologi sosial disebut homosocius artinya makhluk yang bermasyarakat dan saling tolong menolong dalam rangka mengembangkan kehidupannya disegala bidang.64

Walgito menjelaskan bahwa kegiatan manusia digolongkan menjadi tiga, yaitu:

1) Kegiatan yang bersifat individual 2) Kegiatan yang bersifat sosial

62

Mulyana Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta: Kerjasama Pusat Perbukuan Depdikbud dengan PT. Rineka Cipta, 2003), Cet. 2, hlm. 124.

63

“Kebutuhan” ini akan terlihat ketika kita ada pada situasi “sendiri” sepanjang hari atau ketika kita menjadi “orang baru” dalam sebuah komunitas/group. Perasaan sendiri sebenarnya adalah jenis kecemasan (anxiety). Anxiety diartikan oleh Rollo May sebagai “the fear of becoming nothing”. Kecemasan dalam kesendirian ini menunjukkan betapa pentingnya orang lain bagi eksistensi kita sebagai individu. Tanpa ada orang lain kita merasa cemas dan merasa tidak bermakna. Lihat Henry Clay Lindgren, Educational Psychology in the classroom, (New York: John Wiley and Sons Inc, 1960), hlm. 109.

64

(39)

3) Kegiatan yang bersifat ketuhanan65

Kegiatan atau hubungan sosial antara seseorang dengan yang lainnya merupakan suatu keharusan, karena hanya dengan kontak-kontak sosial seseorang dapat mengembangkan pribadinya.66 Kegiatan sosial dalam poin kedua itulah yang menjadi landasan pelaksanaan

cooperative learning. Selain itu disebutkan dalam Qur’an, surat al-Ma>’idah ayat 2:

ِﻥﺍﻭﺪﻌﹾﻟﺍﻭ ِﻢﹾﺛِﻹﺍ ﻰﹶﻠﻋ ﺍﻮﻧﻭﺎﻌﺗ ﻻﻭ ﻯﻮﹾﻘﺘﻟﺍﻭ ِّﺮِﺒﹾﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋ ﺍﻮﻧﻭﺎﻌﺗﻭ

(

٢

:

ﺓﺪﺋﺎﳌﺍ

)

“....Dan tolong menolonglah dalam hal kebaikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong di dalam hal berbuat dosa dan pelanggaran...”. (Q.S Al-Ma>’idah: 2).67

Dalam tafsir Al Misbah, Quraisy Syihab menyatakan bahwa ayat inilah yang menjadi prinsip dasar dalam menjalin kerjasama dan saling membantu selama tujuannya adalah kebaikan dan ketaqwaan.68 Maka jelaslah bahwa ayat ini sangat mendukung adanya model cooperative learning dimana ide dasar dalam model ini adalah kerjasama dan saling membantu dalam proses belajar mengajar untuk mendapatkan pengetahuan bersama.

4. Unsur-Unsur Cooperative Learning

Roger dan David Johnson dalam bukunya Anita Lie mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap sebagai cooperative

learning. Untuk mencapai hasil maksimal, ada lima unsur model

pembejaran gotong royong yang harus diterapkan, yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka,

65

Bimo Walgito, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, (Yogyakarta: Andi Offset, 1995), hlm. 104.

66

Tim Didaktik Metodik Kurikulum IKP Surabaya, Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), Cet. 7, hlm. 34.

67

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Special for Woman, (Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), hlm. 106.

68

Referensi

Dokumen terkait

“ Peningkatan Hasil Belajar Siswa dalam Pembelajaran Matematika Melalui Implementasi Metode Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Cooperative Integrated Reading and

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan proses pembelajaran Tata Rias Fantasi dalam Ekstrakurikuler Seni Tari di SMA Negeri 12

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan di SMA Negeri 1 Padamara, mengenai Implementasi Strategi Pembelajaran Problem Based Learning pada Mata Pelajaran

Penulis melakukan penelitian secara seksama di SMA Negeri 3 Parepare dan dapat menyimpulkan bahwa implementasi model pembelajaran problem based learning pada

Skripsi dengan judul “Model Cooperative Learning Dalam Kegiatan Ekstrakuriuler Karawitan Jawa di SMP Negeri 12 Yogyakarta” telah diterima oleh Tim Penguji

Dari hasil penelitian dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan bahwa implementasi dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 1 Purwokerto Standar Kompetensi Guru mulai dari

Rachma, Tyas Noor. “Keefektifan Pembelajaran Membaca Pemaham Teks Negosiasi Menggunakan Metode SQ3R dan PQRST pada Siswa Kelas X SMA Negeri 12 Semarang”.

ii PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BLENDED LEARNING PADA MASA PANDEMI MAPEL PAI KELAS XI IPS 2 SMA NEGERI 2 PARE SKRIPSI Diajukan Kepada Institut Agama Islam Negeri Kediri Untuk