• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 latar belakang 1.2 Rumusan Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 latar belakang 1.2 Rumusan Masalah"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 latar belakang

Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang dapat dijumpai pada anak, orang dewasa, dan pada orang tua.

Sindrom klinis ini dikemukakan pertama kali pada tahun 1600. Pada akhir tahun 1800an miastenia gravis mulai dibedakan dari kelemahan otot akibat paralysis bulbar. Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita miastenia gravis merasa ada perbaikan sesudah ia meminum obat efedrin yang ditujukan untuk mengatasi kram menstruasi. Akhirnya pada tahun 1934 Mary Walker, seorang dokter dari Inggris melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara miastenia gravis dan keracunan kurare. Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisostigmin untuk mengobati miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan-kemajuan yang nyata.

Miastenia gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun. Pada umur dibawah 40 tahun miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 40 tahun lebih banyak pada pria (Harsono, 1996). Insidens miastenia gravis di Amerika Serikat sering dinyatakan sebagai 1 dalam 10.000. Tetapi beberapa ahli menganggap angka ini terlalu rendah karena sesungguhnya banyak kasus yang tidak pernah terdiagnosis (Patofisiologi, 1995).

Tingkat kematian pada waktu lampau dapat sampai 90%. Kematian biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan. Jumlah kematian telah berhasil dikurangi secara drastic sejak tersedia obat-obatan serta unit-unit perawatan pernapasan. Remisi spontan dapat terjadi pada 10% hingga 20% pasien dan dapat dicapai dengan melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu. Yang paling cocok untuk menjalani cara ini adalah wanita muda yang masih dini keadaannya (5 tahun pertama setelah awitan) dan tidak berespon baik dengan pengobatan.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana anatomi dan fisiologi neuromuscular junction ? 1.2.2 Bagaimana definisi miastena gravis

(2)

1.2.4 Bagaimana miastena klasifikasi gravis ? 1.2.5 Bagaimana miastena patofisiologi gravis ? 1.2.6 Bagaimana miastena manifestasi klinis gravis ? 1.2.7 Bagaimana krisis miastena gravis ?

1.2.8 Bagaimana pemeriksaan diagnostic miastena gravis ? 1.2.9 Bagaimana penatalaksanaan miastena gravis ?

1.2.10 Bagaimana asuhan keperawatanmiastena gravis ? 1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mempelajari miastena gravis 1.3.2 Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi neuromuscular junction ? b. Untuk mengetahui definisi miastena gravis

c. Untuk mengetahui etiologi miastena gravis ? d. Untuk mengetahui miastena klasifikasi gravis ? e. Untuk mengetahui miastena patofisiologi gravis ? f. Untuk mengetahui miastena manifestasi klinis gravis ? g. Untuk mengetahui krisis miastena gravis ?

h. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic miastena gravis ? i. Untuk mengetahui penatalaksanaan miastena gravis ?

(3)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 ANATOMI, FISIOLOGIS, DAN BIOKIMIA NEUROMUSCULAR JUNCTION 2.1.1 Anatomi Neuromuscular Junction

Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular4,5.

Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction4.

Gambar 1. Anatomi suatu Neuromuscular Junction4 2.1.2 Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction

Di bagian terminal dari saraf motorik terdapat sebuah pembesaran yang biasa disebut bouton terminale atau terminal bulb. Terminal Bulb ini memiliki membran yang disebut juga membran pre-sinap, struktur ini bersama dengan membran post-sinap

(4)

(pada sel otot) dan celah sinap (celah antara 2 membran) membentuk Neuro Muscular Junction.

Membran pre-sinap mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan dalam bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca++ Voltage Gated Channel akan teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan terjadinya influx Calcium. Influx ini akan mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut untuk bergerak ke tepi membran. Vesikel ini akan mengalami docking pada tepi membran. Karena proses docking ini, maka asetilkolin yang terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam celah sinap.

ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR) yang terdapat pada membran post-sinap. AChR ini terdapat pada lekukan-lekukan pada membran post-sinap. AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alfa, dan masing-masing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk lingkaran yang siap untuk mengikat ACh.

Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya gerbang Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya akan mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini akan mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika depolarisasi ini mencapai nilai ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan kontraksi.

ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh enzim Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada celah synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin kemudian akan

(5)

kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan mengakibatkan kontraksi terus menerus.

Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junction5 2.2 Definisi

Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang bekerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunter). Karekteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umunya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial. Serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering pada wanita antara 15 sampai 35 tahun dan pada pria sampai 40 tahun (Brunner & Suddarth. 1997).

Miastenia grafis adalah suatu gangguan system saraf perifer yang ditandai oleh pembentukan otoantibodi terhadap reseptor-reseptor asetilkolin yang terdapat didaerah motor-end plate otot rangka. Otoantibodi IgG secara kompetitif berikatan dengan reseptor asetilkolin ke reseptor sehingga kontraksi otot juga terhambat. Akhirnya, reseptor ditaut neuromuskulus rusak (Elizabeth J. 1997).

2.3 Etiologi

a. Penuaan (sarkopenia) b. Autoimun

(6)

pada miastenia gravis, sistem kekebalan membentuk antibodi yang menyerang reseptor yang terdapat di sisi otot dari neuromuscular junction. Reseptor yang dirusak terutama adalah reseptror yang menerima sinyal saraf dengan bantuan asetilkolin (bahan kimia yang mengantarkan impuls saraf melalui junction atau disebut juga neurotransmiter). Apa yang menjadi penyebab tubuh menyerang asetilkolinnya sendiri, tidak diketahui.

c. Genetik

pada kelainan kekebalan tampaknya memegang peran yang penting.Antibodi ini ikut dalam sirkulasi darah dan seorang ibu hamil yang menderita miastenia gravis bisa melalui plasenta dan sampai ke janin yang dikandungnya. Pemindahan antibodi ini bisa menyebabkan miastenia neonatus, dimana bayi memiliki kelemahan otot yang akan menghilang beberapa hari sampai beberapa minggu setelah dilahirkan.

Gangguan tersebut kemungkinan dipicu oleh a. Infeksi,

b. Operasi, atau penggunaan obat-obatan tertentu, seperti nifedipine atau verapamil (digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi), quinine (digunakan untuk mengobati malaria), dan procainamide (digunakan untuk mengobati kelainan ritme jantung).

c. Neonatal myasthenia terjadi pada 12% bayi yang dilahirkan oleh wanita yang mengalami myasthenia gravis. Antibodi melawan acetylcholine, yang beredar di dalam darah, bisa lewat dari wanita hamil terus ke plasenta menuju janin. Pada beberapa kasus, bayi men galami kelemahan otot yang hilang beberapa hari sampai beberapa minggu setelah lahir. Sisa 88% bayi tidak terkena.

2.4 Klasifikasi

Klasifikasi klinis miastenia gravis dapat dibagi menjadi 1. Kelompok I: Miastenia okular

Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada kasus kematian

(7)

Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah.

3. Kelompok IIB: Miastenia umum sedang

Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktifitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.

4. Kelompok III: Miastenia berat akut

Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Respons terhadap obat buruk. Insiden krisis miastenik, kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.

5. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut

Miastenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-gejala kelompok I atau II. Miastenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Respons terhadap obat dan prognosis buruk.

Disamping klasifikasi tersebut di atas, dikenal pula adanya beberapa bentuk varian miastenia gravis, ialah

1. Miastenia neonates

Jenis ini hanya bersifat sementara, biasanya kurang dari bulan. Jenis ini terjadi pada bayi yang ibunya menderita miastenia gravis, dengan kemungkinan 1:8, dan disebabkan oleh masuknya antibodi antireseptor asetilkolin ke dalam melalui plasenta.

2. Miastenia anak-anak (juvenile myastenia)

Jenis ini mempunyai karakteristik yang sama dengan miastenia gravis pada dewasa. 3. Miastenia congenital

Biasanya muncul pada saat tidak lama setelah bayi lahir. Tidak ada kelainan imunologik dan antibodi antireseptor asetilkolin tidak ditemukan. Jenis ini biasanya tidak progresif.

(8)

4. Miaastenia familial

Sebenarnya, jenis ini merupakan kategori diagnostik yang tidak jelas. Biasa terjadi pada miastenia kongenital dan jarang terjadi pada miastenia gravis dewasa

5. Sindrom miastenik (Eaton-Lambert Syndrome)

Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan oleh terganggunya pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf. Sering kali berkaitan dengan karsinoma bronkus (small-cell carsinoma). Gambaran kliniknya berbeda dengan miastenia gravis. Pada umumnya penderita mengalami kelemahan otot-otot proksimal tanpa disertai atrofi, gejala-gejala orofaringeal dan okular tidak mencolok, dan refleks tendo menurun atau negatif. Seringkali penderita mengeluh mulutnya kering.

6. Miastenia gravis antibodi-negatif

Kurang lebih ¼ daripada penderita miastenia gravis tidak menunjukkan adanya antibodi. Pada umumnya keadaan demikian terdapat pada pria dari golongan I dan IIB. Tidak adanya antibodi menunjukkan bahwa penderita tidak akan memberi respons terhadap pemberian prednison, obat sitostatik, plasmaferesis, atau timektomi.

7. Miastenia gravis terinduksi penisilamin

D-penisilamin (D-P) digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid, penyakit Wilson, dan sistinuria. Setelah penderita menerima D-P beberapa bulan, penderita mengalami miastenia gravis yang secara perlahan-lahan akan menghilang setelah D-P dihentikan

8. Botulisme

Botulisme merupakan akibat dari bakteri anaerob, Clostridium botulinum, yang menghalangi pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf motorik. Akibatnya adalah paralisis berat otot-otot skelet dalam waktu yang lama. Dari 8 jenis toksin botulinum, tipe A dan B paling sering menimbulkan kasus botulisme. Tipe E terdapat pada ikan laut (see food). Intoksikasi biasanya terjadi setelah makan makanan dalam kaleng yang tidak disterilisasi secara sempurna.

Mula-mula timbul mual dan muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin. Kemudian muncul pandangan kabur, disfagia, dan disartri. Pupil dapat dilatasi maksimal. Kelemahan

(9)

terjadi pola desendens selama 4-5 hari, kemudian mencapai tahap stabil (plateau). Paralisis otot pernapasan dapat terjadi begitu cepat dan bersifat fatal. Pada kasus yang berat biasanya terjadi kelemahan otot ocular dan lidah. Sebagian besar penderita mengalami disfungsi otonom (mulut kering, konstipasi, retensi urin).

2.5 Patofisiologi dan Woc

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.

Pada miastenia grafis, defek yang mendasar adalah pengurangan dalam jumlah reseptor asetil kolin yang tersedia pada membrane otot pasca sinaps.perubahan ini menyebabkan berkurangnya efisiensi transmisi neuromuscular.karena itu, walaupun Ach dibebaskan secara normal, akan menghasilkan potensial lempengan akhir kecil yang mungkin gagal mencetuskan potensial aksi otot.

Jumlah ACH yang dilepaskan setiap impuls secara normal menurun pada aktivitas yang berulang.pada pasien miastenik transmisi neuromuscular yang berkurang efisiensinya digabung dengan rundown normal menghasilkan aktivasi yang lebih sedikitdan lebih sedikit serabut otot dengan impuls saraf yang berturut-turut dan oleh karena itu kelemahan bertambah.

Kelainan neuromuscular pada MG disebabkan oleh respon autoimun yang diperantarai oleh anti body anti-AchRyang spesifik.antibody anti-AchR mengurangi jumlah AchR yang tersedia pada persambungan neuromuscular oleh tiga mekanisme yang berbeda : 1. Reseptor asetilkolin dapat diturunkan derajatnya pada

kecepatan yang dipercepat oleh mekanisme yang melibatkan cross linking dan endositosis reseptor yang cepat.

2. Tempat aktif achr yakni tempat yang secara normal mengikat ach,dapat diblok oleh antibody

3. Membrane otot pasca sinaps dapat dirusak oleh antibody dalam kerjasama dengan system komplemen.

Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit

(10)

asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.

Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.

(11)

Gangguan Autoimun yang

merusak reseptor asetilkolin, degenerative, herediter

Jumlah reseptor asetilkolin berkurang pada membrane

Kerusakan pada transisi impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal

membrane postsinaps pada sambungan neuromuskular Miastena gravis

Penurunan hubungan neuromuscular Kelemahan otot-otot

Otot – otot okular

Otot wajah, laring

Gangguan otot levator Ptosis & Diplopial Gangguan citra diri Regurgitasi makanan ke hidung pada saat menelan Suara abnormal ketidakmampuan menutup rahang Kerusakan komunikasi verbal Kelemahan otot-otot rangka Hambatan fisik Ketidakmampuan batuk efektif Kelemahan otot-otot pernafasan Ketidakefektifan Pola nafas Penumpukan secret Gangguan bersihan jalan nafas

Otot volunter Otot pernapasan

Intoleransi aktifitas Gangguan pemenuhan nutrisi Nyeri

(12)

2.5 Manifestasi klinis

a. Gangguan otot-otot okular

Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan kelopak mata turun (ptosis) dan diplopia ( penglihatan ganda ) ini karena otot mata lemah. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis ocular). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore atau malam. Pada pagi hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak terbebas dari kesulitan penglihatan. Gejala ini biasanya intermitten, dan dapat hilang untuk beberapa minggu kemudian terjadi kembalI.

b. Kelumpuhan otot okular kedua belah sisi

Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau bilateral, salah satu otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil). Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot levator palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian

c. Kesulitan berbicara (dysarthria) & kesulitan menelan (dsyphagia)

miastenia gravis menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring.Pada pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral, kelemahan otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-otot farings dan lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi dan tersedak melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung

d. Suara parau ( disfonia ) dan kelemahan otot leher

Otot leher yang lemah yang selalu membuat kepala cenderung jatuh jatuh kedepan atau ke belakang miastenia gravis menyerang otot-otot leher sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan. Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi

(13)

otot ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi

e. Kelemahan diafragma dan otot-otot interkosal progressif menyebabkan gawat napas.

Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan lendir. gejala berat berupa melemahnya otot pernapasan (respiratory paralysis), yang biasanya menyerang bayi yang baru lahir

f. Kelemahan menyeluruh biasanya bermula pada batang tubuh, lengan, tungkai dalam satu tahun pertama onset

g. Otot lengan biasanya yang paling parah.

Kelemahan otot cenderung memburuk setiap harinya, terutama setelah aktivitas

h. Gejala-gejala ringan biasanya akan membaik setelah beristirahat, dengan memberikan obat antikolinesterase. tetapi bisa muncul kembali bila otot kembali beraktifitas Penyakit miastenia gravis ini bisa disembuhkan tergantung kerusakan sistem saraf yang dialami. Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau mengalami pemburukan ( eksaserbasi) oleh sebab:

• Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama siklus haid atau gangguan fungsi tiroid.

• Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan infeksi yang disertai diare dan demam

• Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka berada dalam keadaan tegang

• Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin untukmempermudah terjadinya kelemahan otot

2.6 Krisis pada Miastena

Pada miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan, membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis krisis, yaitu:

(14)

Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup dan dapat dicetuskan oleh infeksi. Tindakan terhadap kasus demikian adalah sebagai berikut:

- Kontrol jalan napas

- Pemberian antikolinesterase

- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis

Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan (respirator), obat-obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap, dan seringkali dosis dapat diturunkan.

2. Krisis kolinergik

Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial. Tindakan terhadap kasus demikianadalah sebagai berikut:

- Kontrol jalan napas

- Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine, pasien harus diawasi secara ketat, karena secret saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit dihisap atau mungkin gumpalan lender dapat menyumbat bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian antikolinesterase dapat diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah.

- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis.

Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis

(15)

miastenik, tetapi tidak akan memberikan perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis kolinergik.

2.7 Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis dapat ditegakkkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Penting sekali untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia gravis. Diagnosis dapat dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik sebagai berikut: 1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin

Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.

2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)

Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang 30% penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma adlah sangat kecil.

3. Tes tensilon (edrofonium klorida)

Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya miastenia gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik. Penderita sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan miastenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor pembeda yang penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda,

(16)

sedangkan sindrom miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenia. biasanya akan hilang kalau patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.

4. Foto dada

Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik. 5. Tes Wartenberg

Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis. 6. Tes prostigmin

Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.

2.8 Penatalaksanaan 1. Antikolinesterase

Dapat diberikan piridostigmin mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB.

Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus

(17)

dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.

2. Steroid

Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari.

4. Azatioprin

Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan. 5. Timektomi

Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.

(18)

Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.

(19)

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Pengkajian

1) Identitas klien :

Meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status

2) Keluhan utama

yang sering menyebabkan miastenia gravis meminta pertolongan kesehatan sesuai dengan kondisi dari adanya penurunan atau kelemahan otot-otot dengan manifestasi diplopia (penglihatan ganda), ptosis (jatuhnya kelopoak mata, dapat dilihat pada gambar 8-4) merupakan keluhan utama dari 90% klien miastenia gravis, disfonia (gangguan suara), masalah menelan, dan mengunyah makanan. Pada kondisi berat keluhan utama biasanya adalah ketidakmampuan batuk efektif, dan dispnea.

3.Riwayat penyakit saat ini

Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika klien mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal, dan klien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang menggantung.

Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dank lien tidak lagi mampu membersihkan lendir dari trachea dan cabang-cabangnya.

Pada kasus lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang dan terjadi kelemahan semua otot-otot rangka. Biasanya gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan memberikan obat anti kolinesterase.

4. Riwayat penyakit dahulu

Kaji faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit yang memperberat kondisi miastenia gravis seperti hipertensi dan diabetes militus.

5. Riwayat penyakit keluarga

(20)

6. Pengkajian psiko-sosio- spiritual

Klien miastenia gravis sering mengalami gangguan emosi dan kelemahan oto apabila mereka berada dalam keadaan tegang. Adanya kelemahan pada kelopak mata (ptosis), diplopia, dan kerusakan dalam komunikasi verbal menyebabkan klien sering mengalami gangguan citra diri.

7. Pemeriksaan fisik

Seperti telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga merupakan gangguan autoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuscular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisasi pada sekelompok otot tertentu saja. Karena perjalanan penyakitnya sangat berbeda pada masing-masing klien, maka, prognosisnya sulit ditentukan.

a. B1 (BREATHING)

Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk efektif, produksi sputum, sesak napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan sering didapatkan pada klien yang disertai adanya kelemahan otot-otot pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi atau stridor pada klien menandakan adanya akumulasi sekret pada jalan napas dan penurunan kemampuan otot-otot pernapasan.

b. B2 (BLOOD)

Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan untuk memantau perkembangan status kardiovaskuler, terutama denyut nadi dan tekanan darah yang secara progrsif akan berubah sesuai dengan kondisi tidak membaiknya status pernapasan.

c. B3 (BRAIN)

Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada system lainnya.

(21)

Biasanya pada kondisi awal kesadaran klien masih baik. 2. Fungsi serebral

Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara dan observasi ekspresi wajah, aktivitas motorik yang mengalami perubahan seperti adanya gangguan perilaku, alam perasaan, dan persepsi. a. Pemeriksaan saraf cranial

Saraf I. Biasanya pada klien epilepsi tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.

Saraf II. Penurunan pada tes ketajaman penglihatan, klien sering mengeluh adanya penglihatan ganda.

Saraf III, IV, dan VI. Sering didapatkan adanya ptosis. Adanya oftalmoplegia(dapat dilihat pada gambar 8-5), mimik dari

pseudointernuklear oftalmoplegia akibat gangguan motorik pada saraf VI (dapat dilihat pada gambar 8-6).

Saraf V. Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan pada otot-otot wajah.

Saraf VII. Persepsi pengecapan terganggu akibat adanya gangguan motorik lidah / triple-furrowed lidah (dapat dilihat pada gambar 8-7). Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi. Saraf IX dan X. Ketidakmampuan dalam menelan.

Saraf XI. Tidak ada otrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Saraf XII. Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat kelemahan otot motorik pada lidah / triple-furrowed lidah (dapat dilihat pada gambar 8-7).

(22)

Karakteristek utama miastenia gravis adalah kelemahan dari system motorik. Adanya kelemahan umum pada otot-otot rangka memberikan manifestasi pada hambatan mobilitas dan intoleransi aktivitas klien.

c. Pemeriksaan refleks

Pemeriksaan refleks dalam, pengetuka pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat refleks pada respons normal.

d. Sistem sensorik

Pemeriksaan sensorik pada epilepsi biasanya didapatkan perasaan raba normal, perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh.

d. B4 (BLADDER)

Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume output urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

e. B5 (BOWEL)

Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien miastenia gravis menurun karena ketidakmampuan menelan makanan sekunder dari kelemahan otot-otot menelan.

f. B6 (BONE)

Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada mobilitas dan mengganggu aktivitas perawatan diri.

8. Pemeriksaan Diagnostik

Edrofonium (dosis awal 2 mg, dilanjutkan 8 mg, 30 detik kemudian) diberikan melalui intravena sebagai uji untuk membedakan kedua tipe krisis itu (dapat dilihat pada gambar 8-8).

(23)

Bila pada krisis miastenik, klien tetapa mendapat pernapasan buatan (respirator), obat-obat anti kolinesterase tidak diberikan dahulu, karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya

3.2 Diagnose Keperawatan

1. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan.

2. Jalan Napas Tidak efektif yang berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun.

3. Gangguan Aktifitas hidup sehari-hari yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum,keletihan.

4. Gangguan Komunikasi verbal yang berhubungan dengan disfonia,gangguan bicara. 5. Gangguan citra diri yang berhubungan dengan ptosis,ketidakmampuan komunikasi

verbal.

3.3 Intervensi Keperawatan

1. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan. a. Tujuan

Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi ,pola pernapasan klien kembali efektif.

b. Kriteria Hasil

Irama,Frekwensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal, bunyi napas terdengar jelas,respirator terpasang dengan optimal.

c. Intervensi

1. Kaji Kemampuan Ventilasi Rasional

(24)

Untuk klien dengan penurunan kapasitas ventilasi, perawat mengkaji frekwensi pernapasan ,kedalaman dan bunyi napas ,pantau hasil teng fungsi paru paru ( Volumer tidal ,kapasitas vital,kekuatan inspirasi) dengan interval yang sering dalam mendeteksi masalah paru paru,sebelum perubahan kadar gas darah arteri dan sebelum tampak gejala klinik

2. Kaji Kualitas ,frekwensi dan kedalaman pernapasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi.

Rasional

Untuk mengetahui sejauh mana perubahan kondisi klien berkaitan dengan kemungkinan adanya paralise pada otot pernapasan

3. Baringkan klien dalam posisi yang nyaman dalam posisi duduk Rasional

Penurunan Diafragma memperluas daerah dada sehingga expansi paru bisaa maksimal

4. Observasi tanda-tanda vital Rasional

Peningkatan RR dan takikardia merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru

2. Jalan Napas Tidak efektif yang berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun

a. Tujuan

• Dalam waktu 3 x 24 jam setelah dilakukan intervensi jalan napas kembali efektif.

(25)

• Menghilangkan kuantitas dari viskositas sputum untuk memperbaiki ventilasi paru dan pertukaran gas

b. Kriteria Hasil

• Dapat mendemonstrasikan batuk efektif

• Dapat menyatakan stategi untuk menurunkan kekentalan sekresi • Tidak ada suara napas atambahan

• Pernapasan klien Normal ( 16-20 x / menit) tanpa ada penggunaan otot bantu pernapasan

c. Intervensi

i. Kaji warna , kekentalan dan jumlah sputum Rasional

Karasteristik sputum dapat menunjukkan berat ringannya obstruksi ii. Atur osisi semiflower

Rasional

Meningkatkan expansi dada

iii. Pertahankan asupan cairan sedikitnya 2500 ml / hari kecuali tidak diindikasikan

Rasional

Hidrasi yang adequate membantu mengencerkan secret dan mengefektifkan pembersihan jalan napas.

iv. Lakukan fisioterapi dada dengan teknik drainage postural,perkusi,fibrasi dada, serta lakukan suction

(26)

Bila ada Kelemahan otot abdominal , interkostal dan faring yang hebat,mengakibatkan klien tidak mampu batuk dan anapas dalam atau membersihkan sekresi

3. Gangguan Aktifitas hidup sehari-hari yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum,keletihan

a. Tujuan

Infeksi bronkopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan edema inflamasi dan memungkinkan penyembuhan aksi siliaris normal

b. Kriteria Hasil

• Frekwensi Napas 16-0 x / menit • Frekwensi nadi 70-90 x menit

• Kemampuan batuk efektif dapat optimal • Tidak ada peningkatan suhu tubuh c. Intervensi

i. Kaji Kemampuan klien dalam melakukan aktifitas. Rasional

Menjadi data dasar dalam melakukan intervensi selanjutnya ii. Atur cara beraktifitas klien sesuai dengan kemampuan

Rasional

Memperbaiki kekuatan dan daya tahan penderita iii. Evaluasi kemampuan aktifitas motorik.

Rasional

(27)

4. Gangguan Komunikasi verbal yang berhubungan dengan disfonia,gangguan bicara

a. Tujuan

Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu mengekspresikan perasaannya , mampu menggunkan bahasa isyarat

b. Kriteria Hasil

Terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien dapat dipenuhi,klien mampu merespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat

c. Intervensi

i. Kaji kemampuan komunikasi klien Rasional

Kelemahan otot otot bicara pada klien krisis mistenia gravis dapat berakibat pada gangguan komunikasi

ii. Lakukan metode komunikasi yang ideal sesuai dengan kondisi klien Rasional

Adanya gangguan verbal menjadikan hambatan komunikasi perawat dan klien sehingga menggunakan metode komunikasi yang ideal dengan kondisi pasien seperti penggunaan komunikasi non verbal dengan goyangan telapak tangan untuk mengatakan tida

iii. Beri peringatan bahwa klien di ruang ini mengalami gangguan berbicara sediakan bel khusus bila perlu

Rasional

Untuk memberikan rasa nyaman pada klien iv. Antisipasi dan bantu kebutuhan klien

Rasional

Membantu menurunkan frustasi oleh karena ketergantungan atau ketidakmampua berkomunikasi

(28)

v. Ucapkan langsung kepada klien berbicara pelan dan tenang,gunakan pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak perhatikan respon klien

Rasional

Mengurangi kebingungan atau kecemasan terhadap banyaknya informasi, memajukan simulasi komunikasi ingatan dan kata-kata

vi. Kolaborasi konsul ke terapis bicara Rasional

Mengkaji kemampuan verbal individual,sensorik motorik serta fungsi kognitif untuk mengidentifikasikan defisit dan kebutuhan terapi.

5. Gangguan citra diri yang berhubungan dengan ptosis,ketidakmampuan komunikasi verbal

a. Tujuan

Citra diri klien meningkat b. Kriteria Hasil

Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tetang situasi dan perubahan yang terjadi mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi ,mengakui dan menggabungkan perubahan yang terjadi ke dalam konsep diri dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negatif

c. Intervensi

i. Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuan

Rasional

Menentukan bantuan individual dalam menyusun rencana perawatan atau pemilihan intervensi

ii. Identifikasikan arti dari kehilangan atau disfungi pada klien Rasional

(29)

Dengan identifikasi persepsi dari klien dapat membantu Perawat untuk menentukan bantuan yang tepat untuk memulihkan rasa percaya diri pasien.

iii. Catat ketika klien menyatakan terpengaruh seperti sekarat atau mengingkari dan menyatakan inilah kematian

Rasional

Mendukung penolakan terhadap bagian tubuh atau perasaan negatif terhadap gambaran tubuh menunjukkan kebutuhan adan intervensi serta dukungan emosional

iv. Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan memperbaiki kebiasaan Rasional

Membantu klien untuk meningkatkan harga diri pasien

v. Anjurkan orang yang terdekat untuk mengizinkan klien melakukan hal-hal untuk dirinya sebanyak-banyaknya

Rasional

Membantu klien untuk menghidupkan perasaan kemandirian serta mempengaruhi proses rehabilitasi

vi. Dukung perilaku atau usaha seperti peningkatan minat maupun partisipasi dalam aktifitas rehabilitasi

Rasional

Klien dapat beradaptasi terhadap perubahan dan pengertian tentang peran individu dimasa mendatang

vii. Monitor gangguan tidur peningkatan kesulitan konsentrasi,letargi dan withdrawl

Rasional

Menunjukkan adanya depresi karena adanya efek sekunder penyakit yang memperlukan tindakan intervensi

(30)

Rasional

Menfasilitasi klien untuk perubahan peran penting untuk perkembangan perasaan

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan

Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang bekerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunter). Karekteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umunya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial.

Kadang kelemahan otot terjadi setelah sembuh dari suatu penyakit dan seringkali timbul karena penuaan (sarkopenia). pada miastenia gravis, sistem kekebalan membentuk antibodi yang menyerang reseptor yang terdapat di sisi otot dari neuromuscular junction. Reseptor yang dirusak terutama adalah reseptror yang menerima sinyal saraf dengan bantuan asetilkolin.

Manifestasi klinis

• kesulitan berbicara (dysarthria) & kesulitan menelan (dsyphagia)

• suara parau ( disfonia ) dan otot leher yang lemah yang selalu membuat kepala cenderung jatuh jatuh kedepan atau ke belakang

• Kelemahan diafragma dan otot-otot interkosal progressif menyebabkan gawat napas • Kelemahan menyeluruh biasanya bermula pada batang tubuh, lengan, tungkai dalam

satu tahun pertama onset

• Otot lengan biasanya yang paling parah. Kelemahan otot cenderung memburuk setiap harinya, terutama setelah aktivitas

(31)

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi. EGC: Jakarta Greenberg, Michael I. 2007. Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan. Jakarta: Erlangga Smeltzer, Suzanna, C. 1996. Buku ajar keperawatan medical medah. Jakarta: EGC

Gambar

Gambar 1. Anatomi suatu Neuromuscular Junction 4 2.1.2 Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junction 5 2.2   Definisi

Referensi

Dokumen terkait

Pendapatan masyarakat, memanfaatkan Tahura Djuanda sebagai sumber pendapatan masyarakat setempat yang bersumber dari wisatawan yang datang ke Tahura Djuanda. Pengeluaran

dimana analisis mutu dilakukan pengujian dilaboratorium yang meliputi uji kuat tarik untuk material baja ringan benda uji dibuat menjadi spesimen berdasarkan standar ASTM

Pada Ruang Baca Pascasarjan perlu dilakukan pemebersihan debu baik pada koleksi yang sering dipakai pengguna maupun

Menurut teori hukum Perdata Internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan laju perubahan tata guna lahan yang cukup tinggi. Kondisi tersebut ditandai dengan laju deforestrasi baik disebabkan

Pada perkembangannya dibuat peraturan desa (perdes) dan memuat sanksi bagi yang tidak mentaati peraturan. Ibu-ibu yang tidak aktif di posyandu, ibu hamil yang tidak memeriksakan

value Teks default yang akan dimunculkan jika user hendak mengisi input maxlength Panjang teks maksimum yang dapat dimasukkan. emptyok Bernilai true jika user dapat tidak

Penyusunan LBP Kementerian Keuangan Tahunan Tahun Angggaran 2020 (Audited), mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan