33
MODIFIKASI KITOSAN DENGAN KAOLIN DAN APLIKASINYA SEBAGAI ADSORBEN TIMBAL (II)
Stephanei Tanheitafino*, Titin Anita Zaharah1, Lia Destiarti1 1Progam Studi Kimia, Fakultas MIPA, UniversitasTanjungpura,
Jln. Prof. Dr. H. Hadari Nawawi 78124, Pontianak *
email: [email protected]
ABSTRAK
Telah dilakukan modifikasi kitosan dengan kaolin sebagai adsorben dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan adsorpsinya. Kitosan termodifikasi kaolin dibuat dengan membentuk larutan gel kitosan-kaolin dengan variasi massa 1:0,25; 1:0,5; 1:1; 1:2 dan 1:4 (kitosan:kaolin) menjadi bentuk hidrogel pada larutan NaOH yang mengandung metanol. Hidrogel kitosan-kaolin hasil sintesis dikarakterisasi dengan Fourier Transform Infra Red Spectrometer (FT-IR) dan Scanning Electron Microscope (SEM). Hasil menunjukkan bahwa modifikasi kitosan dengan kaolin melibatkan interaksi elektrostatik antara gugus fungsional pada kedua adsorben. Spektrum FT-IR menunjukkan terbentuknya ikatan antara kitosan dan kaolin muncul pada bilangan gelombang 3425,58 cm-1 (O–H) dan pada bilangan gelombang 1033,85 cm-1 (Si–O dan Al–O). Struktur morfologi permukaan SEM kitosan-kaolin lebih padat dan kompak dibandingkan kitosan. Adsorben diaplikasikan sebagai pengisi fasa diam pada kolom dengan variasi pH 4, 5, 6, dan 7 dalam proses adsorpsi terhadap Pb(II). Penentuan penurunan konsentrasi Pb(II) dianalisis dengan menggunakan spektrofotomer serapan atom. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa adsorpsi Pb(II) pada kitosan-kaolin terjadi pada pH optimum 5 dengan kapasitas adsorpsi maksimum sebesar 76,46% oleh kitosan-kaolin 1:0,25. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa modifikasi kitosan-kaolin telah berhasil dilakukan dan dapat digunakan sebagai adsorben Pb(II).
Kata kunci : Hidrogel, Kitosan-kaolin, Timbal (II)
PENDAHULUAN
Timbal merupakan salah satu logam berat yang bersifat toksik dan berbahaya bagi makhluk hidup yang dapat dihasilkan dari indutri metalurgi. Pada hewan dan manusia, timbal dapat masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman yang dikonsumsi serta melalui pernapasan dan penetrasi pada kulit. Timbal dalam tubuh manusia dapat menghambat aktivitas enzim yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin yang dapat menyebabkan penyakit anemia. Timbal juga dapat menyerang susunan saraf, mengganggu sistem reproduksi dan kelainan ginjal (Iqbal dan Qodir, 1990). Keberadaan timbal dalam perairan dapat merusak ekosistem perairan dan tidak dapat terbiodegradasi, timbal sangat perlu untuk dihilangkan dari limbah industri agar diperoleh perairan yang memenuhi standar kualitas yang aman bagi lingkungan. Konsentrasi standar maksimal
yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 492 untuk timbal dalam air minum adalah 0,01 ppm.
Banyak metode yang telah dikembangkan untuk menangani masalah pencemaran logam berat di perairan, salah satunya adalah metode adsorpsi. Metode ini merupakan salah satu metode yang potensial, karena prosesnya yang sederhana, dapat bekerja pada konsentrasi rendah, dapat didaur ulang, dan biaya yang dibutuhkan relatif murah (Nurmasari, dkk., 2010). Salah satu adsorben yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai adsorben adalah kitosan. Limbah kulit udang merupakan salah satu sumber potensial pembuatan kitosan, yang saat ini tersedia berlimpah dan belum termanfaatkan secara optimal.
Kemampuan adsorpsi kitosan dapat ditingkatkan melalui modifikasi dalam bentuk hibrida kitosan dengan material anorganik lainnya, diantaranya jenis-jenis
34 lempung (clay). Panda (2012), telah melakukan penelitian yang menunjukkan peningkatan aktivitas adsorpsi dari modifikasi bentonit terpilar alumunium dengan kitosan pada adsorpsi timbal (Pb). Husein et al. (2000) membuktikan dalam proses modifikasi kitosan-bentonit, kitosan tidak mengalami interkalasi dengan lapisan silika, kitosan hanya teradsorpsi pada lapisan permukaan bentonit saja. Hal ini berarti gugus-gugus aktif dari kitosan dan bentonit terlindungi, sehingga tidak mengurangi kemampuan adsorpsi dari kedua adsorben tersebut. Selain bentonit, material alumina-silika lain yang berpotensi untuk digunakan sebagai hidrogel dengan kitosan adalah kaolin.
Salah satu metode pengembangan material adsorben baru dapat dilakukan dengan mengkombinasikan dua jenis adsorben yakni kitosan dengan kaolin menjadi bentuk hidrogel. Kaolin dapat berfungsi sebagai material pengemban bagi kitosan sehingga menghasilkan material hidrogel yang kompak dan mempunyai stabilitas yang tinggi (Panda, 2012). Sifat adsorpsi dari material hidrogel yang dihasilkan akan digunakan untuk adsorpsi timbal (II). Penelitian mengenai karakterisasi hasil modifikasi kitosan-kaolin sebagai adsorben untuk menyerap timbal (II) belum ditemukan. Dengan demikian pada penelitian ini akan dilakukan modifikasi kitosan dengan kaolin sebagai adsorben timbal (II) berdasarkan variasi pH dan waktu kontak. Penentuan kadar timbal (II) dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan kaolin terhadap karakteristik material hidrogel kitosan-kaolin berdasarkan spektrum FT-IR dan SEM, dan untuk memperoleh pH optimum untuk material hidrogel kitosan-kaolin terhadap kemampuan adsorpsi timbal (II).
METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan
Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan analitik, spatula, gelas ukur, gelas piala, botol semprot, tabung reaksi, cawan petri, pipet ukur, pemanas, batang pengaduk,
termometer, magnetik stirer, labu ukur, erlenmeyer, tanur, cawan porselen, sentrifuge, spektrofotometer FT-IR Shimadzu FTIR 8201 PC, syringe 3 ml, corong pisah, kolom, statif, botol vial, difraktometer sinar-X, Scanning Electron Microscope Carl Zeiss EVO MA10, spektrofotometer serapan atom (SSA) Varian AA 240FS.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah cangkang udang, lempung, aqua demineralisasi (aqua d.m), natrium hidroksida (NaOH), metanol (CH3OH), asam asetat (CH3COOH), asam klorida (HCl), dan timbal (II) nitrat (Pb(NO3)2).
Cara Kerja
Pembuatan Kitosan (Rahayu dan Purnavati, 2007)
Limbah cangkang udang bersih setelah dikeringkan digiling menjadi serbuk ukuran 40-60 mesh. Kemudian dicampur HCl 1,25 N dengan perbandingan 10:1 untuk pelarut dibanding kulit udang, lalu dipanaskan pada suhu 90°C selama satu jam. Residu berupa padatan dicuci dengan air sampai pH netral dan dikeringkan dalam oven pada suhu 80°C selama 24 jam. Kitosan dibuat dengan menambahkan NaOH 60% dengan perbandingan 20:1 (pelarut:kitin), lalu dipanaskan selama 90 menit dengan suhu 140°C. Larutan kemudian disaring untuk mendapatkan residu berupa padatan, lalu dilakukan pencucian dengan air sampai pH netral, kemudian dikeringkan dengan oven suhu 70°C selama 24 jam. Karakterisasi hasil kitosan dilakukan dengan FT-IR.
Penentuan Kadar Air Kitosan (Rakhmawati, 2007)
Sebanyak 0,5 gram sampel kitosan dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 3 jam. Kemudian didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang. Perlakuan diulangi sampai diperoleh berat yang konstan. Kadar air dihitung dari selisih berat sampel sebelum dikeringkan dan sesudah dikeringkan.
35 Penentuan Kadar Abu Kitosan (Rakhmawati, 2007)
Cawan porselin kosong ditimbang, kemudian sebanyak 1 gram sampel kitosan dimasukkan dalam cawan porselin dan ditimbang. Cawan dimasukkan dalam tanur dengan suhu 575°C selama 3 jam, didinginkan kemudian ditimbang, perlakuan diulangi sampai diperoleh berat yang konstan. Kadar abu diperoleh dari berat sampel yang tidak terabukan setelah pemanasan.
Preparasi Kaolin (Kesuma, dkk., 2013; Sunardi, 2010)
Sampel lempung yang diperoleh dari Kota Singkawang dikeringkan dalam oven suhu 80ºC selama 24 jam. Lempung yang telah kering digerus dan diayak 100 mesh, lalu dicuci dengan aqua demineralisasi hingga bersih. Kaolin diperoleh dengan sentrifuge untuk memisahkan kaolin dari kuarsa. Kaolin preparasi dikeringkan pada suhu 80-90ºC selama 24 jam. Selanjutnya kaolin direndam dalam larutan HCl 1,5 N lalu dicuci hingga pH netral. Kaolin dikalsinasi pada suhu 350˚C selama 4 jam dalam tanur. Karakterisasi terhadap kaolin hasil preparasi dilakukan dengan FT-IR dan XRD.
Pembuatan Material Hidrogel Kitosan-Kaolin (Indrawati dan Cahyaningrum, 2013)
Hidrogel kitosan-kaolin dibuat dengan melarutkan kitosan yang telah dipreparasi sebanyak 1 gram dalam 25 mL larutan asam asetat 2%, kemudian ditambahkan kaolin dengan variasi massa 0,25; 0,5; 1; 2; dan 4 gram. Kaolin yang ditambahkan sebelumnya telah dikeringkan pada suhu 110˚C dalam oven hingga diperoleh berat konstan dan digunakan dalam bentuk keringnya. Campuran kitosan-kaolin diaduk hingga homogen dan dibiarkan selama 20 jam. Gel kitosan-kaolin yang diperoleh dibentuk menjadi hidrogel pada larutan 100 mL NaOH 5% dalam 0,5 mL metanol menggunakan syringe 3 mL. Hidrogel kitosan-kaolin yang diperoleh direndam selama 24 jam kemudian dicuci hingga netral dan disimpan di dalam botol hingga dikarakterisasi dan digunakan. Karakterisasi terhadap material hidrogel kitosan-kaolin yang diperoleh dilakukan dengan FT-IR dan SEM.
Pengujian Kemampuan Adsorpsi Material Hidrogel Kitosan-Kaolin Berdasarkan Variasi pH (Allen, dkk., 2014)
Sebanyak 10 mL larutan Pb(II) 500 ppm dialirkan pada kolom dengan variasi pH 4, 5, 6, dan 7 dan digunakan massa adsorben hidrogel kitosan-kaolin sebesar 0,5 gram sebagai fase diam dengan laju alir 0,15 ml/menit. Eluat dikumpulkan dengan menggunakan wadah dan diukur dengan SSA pada panjang gelombang 283 nm. Setiap percobaan dilakukan penggulangan sebanyak 3 kali. Persen penyerapan hidrogel kitosan-kaolin terhadap ion Pb(II) yang tertahan pada kolom dapat ditentukan dari perbedaan antara konsentrasi logam awal (Ns) dan jumlah konsentrasi logam pada eluat (Nf) dengan persamaan:
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Kitosan
Pada proses pembuatan kitosan dilakukan tahap demineralisasi terlebih dahulu dikarenakan mineral membentuk pelindung yang keras pada kulit udang. Umumnya mineral lebih keras dibandingkan protein, sehingga dengan menghilangkan mineral terlebih dahulu, tahap deproteinasi dapat lebih optimal menghilangkan protein karena pelindung yang terbuat dari mineral telah hilang (Puspawati dan Simpen, 2010).
Proses demineralisasi dilakukan dengan menambahkan HCl 1,25 N untuk mengurangi kadar mineral (CaCO3) yang terkandung dalam kulit udang sehingga diperoleh kitin. Terjadinya proses pemisahan mineral ditunjukkan dengan terbentuknya gas CO2 berupa gelembung udara pada saat larutan HCl ditambahkan ke dalam sampel. Reaksi yang terjadi adalah:
CaCO3(s) + 2HCl(l) CaCl2(s) + H2O(l) + CO2(g)
Kitin yang telah diperoleh selanjutnya dilakukan proses deproteinasi untuk menghilangkan protein dan deasetilasi untuk menghilangkan gugus asetil pada kitin dengan menggunakan larutan NaOH dan diikuti dengan pemanasan. Proses deasetilasi dengan menggunakan alkali pada suhu tinggi akan menyebabkan terlepasnya gugus asetil dari molekul kitin.
36 Gugus amida pada kitin akan berikatan dengan gugus hidrogen yang bermuatan positif sehingga membentuk gugus amina bebas –NH2 (Puspawati dan Simpen, 2010). Spesifikasi dan Karakterisasi Kitosan
Kitosan yang diperoleh diidentifikasi gugus fungsionalnya dengan menggunakan FT-IR untuk memastikan terbentuknya kitosan dari kitin. Spektra kitosan yang dihasilkan terlihat adanya serapan pada bilangan gelombang 3425,58 cm-1 yang merupakan serapan dari gugus –OH. Serapan yang dihasilkan oleh gugus –OH tersebut lebar dan mengalami pergeseran dari bilangan gelombang 3448,72 cm-1 pada kitin. Hal ini disebabkan karena adanya tumpang tindih dengan gugus N–H dari amina. Serapan pada bilangan gelombang 2885,51 cm-1 merupakan gugus C–H dari alkana yang menunjukkan vibrasi ulur gugus –CH2–. Serapan khas kitosan terlihat pada bilangan gelombang 1651,07 cm-1 yang merupakan vibrasi bengkokan N–H dari amina (–NH2) yang disebabkan proses deasetilasi yang mengubah sebagian gugus amida menjadi gugus amina sehingga massa N–H semakin kecil dan bilangan gelombangnya bergeser ke lebih besar (Rakhmawati, 2007).
Disamping itu, pita serapan pada bilangan gelombang 1087,65 cm-1 merupakan serapan dari vibrasi ulur gugus –C–O–. Serapan pada bilangan gelombang 1419,61 cm-1 merupakan gugus –CH3 yang berasal dari gugus amida menunjukkan bahwa pada kitosan masih terdapat gugus amida yang belum terdeasetilasi menjadi gugus amina (Puspawati dan Simpen, 2010).
Gambar 1. Spektrum FT-IR kitin dan kitosan Besar kualitas kitosan yang diperoleh ditentukan berdasarkan hasil derajat
deasetilasi, kadar air dan kadar abu. Derajat deasetilasi dapat dihitung dengan membandingkan daerah serapan dari gugus hidroksil O–H dan gugus amina N–H. Kitosan yang diperoleh berwarna kuning pucat dengan derajat deasetilasi 80,6% yaitu lebih besar dari hasil penelitian Larita (2006) yang dilakukan dengan menggunakan NaOH 60% pada suhu dan waktu yang sama yaitu 120-140ºC selama 90 menit hanya diperoleh kitosan dengan derajat deasetilasi sebesar 56,52%. Besar derajat deasetilasi pada kitosan sangat berpengaruh terhadap penggunaannya sebagai adsorben ion logam, karena semakin tinggi derajat deasetilasi semakin banyak gugus amina (–NH2) dalam polimer yang berfungsi sebagai tempat terjadinya pengkhelatan, sehingga semakin besar kemampuan kitosan dalam mengikat ion logam.
Kadar air dalam kitosan diketahui dari banyaknya air yang menguap setelah pemanasan. Kadar air kitosan yang diperoleh sebesar 11,74% yang menunjukkan bahwa kitosan yang diperoleh tidak memenuhi spesifikasi kitosan yang baik yaitu kurang dari 10%. Hal ini dikarenakan kitosan merupakan biopolimer yang higroskopis, sehingga dapat terjadi penyerapan uap air ketika kitosan dalam keadaan terbuka.
Kadar abu adalah indikator keefektifan tahap demineralisasi. Kadar abu diketahui dari berat kitosan yang tidak terabukan setelah ditanur. Kadar abu yang besar pada kitosan dapat mempengaruhi kelarutan, konsekuensinya dapat menurunkan viskositas atau dapat mempengaruhi karakteristik lainnya yang penting. Kadar abu kitosan yang diperoleh sebesar 0,047% yang memenuhi standar spesifikasi yaitu kurang dari 1%, hasil ini menunjukkan bahwa proses demineralisasi berhasil menghilangkan mineral pada kitosan.
Berdasarkan nilai derajat deasetilasi, kadar air dan kadar abu yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa kandungan senyawa kimia dari isolat cangkang udang memenuhi standar spesifikasi kitosan. Oleh karena itu, kitosan hasil isolasi dapat digunakan sebagai adsorben yang akan dimodifikasi dengan kaolin.
37 Karakterisasi Kaolin
Sampel lempung yang telah dihaluskan, diayak dengan ayakan 100 mesh untuk memperoleh ukuran partikel yang seragam. Lempung dicuci dengan aqua d.m untuk menghilangkan pengotor polar yang menempel pada permukaan lempung. sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan kaolin dari kuarsa, dimana lapisan atas merupakan kaolin dan lapisan bawah merupakan kuarsa berdasarkan berat massa. Kaolin yang diperoleh dikeringkan untuk menguapkan kadar air yang masih tersisa. Selanjutnya dilakukan perendaman dalam larutan asam klorida untuk menghilangkan logam-logam pengotor dari struktur kaolin. Proses kalsinasi bertujuan untuk membuka situs aktif adsorben. Kemudian dilakukan pengayakan kembali untuk meningkatkan luas permukaan kaolin.
Kaolin hasil preparasi dianalisis menggunakan FT-IR untuk mengetahui apakah hasil preparasi merupakan kaolin dengan membandingkannya dengan spektra kaolin literatur. Spektra kaolin pada bilangan gelombang 3749,62 cm-1 menunjukkan terdapatnya gugus hidroksil O–H yang terikat pada atom Al oktahedral yang berasal dari silanol dan dari air yang terabsorpsi. Serapan pada bilangan gelombang 3448,72 cm-1 merupakan gugus hidrogen H–O–H dari molekul air. Serapan khas kaolin yang memperlihatkan keberadaan silika berada pada bilangan gelombang 1080,14 cm-1 yang merupakan vibrasi ulur Si–O dan Al–O, pada bilangan gelombang 671,23 cm-1 untuk vibrasi tekuk Si–O–Si dan vibrasi ulur Si–O–Al pada bilangan gelombang 462,92 cm-1 (Wahyuni, 2010). Berdasarkan spektra kaolin tersebut dapat diperoleh informasi bahwa sampel yang diperiksa terdiri dari mineral yang memiliki gugus fungsional –OH dan Si–O yang memenuhi standar spesifikasi dengan spektra kaolin secara literatur.
Puncak-puncak difraksi setiap mineral lempung sangat khas, sudut difraksi 2θ yang dihasilkan berhubungan dengan bidang kisi kristal mineral yang dianalisis. Identifikasi komponen penyusun sampel dilakukan dengan mencocokan harga dhkl yang ada pada difraktogram sampel dengan harga dhkl mineral yang terdapat pada Mineral Powder Diffraction File. Mineral lempung yang digunakan dalam penelitian
ini sebagian besar tersusun atas mineral kuarsa dan sedikit mineral kaolin, hal ini dikarenakan puncak kuarsa memiliki serapan yang jauh lebih besar dibandingkan puncak-puncak seperti mineral kaolin, haloisit, klorit, lempung dan kristobalit.
Gambar 2. Spektrum FT-IR kaolin preparasi Difraktogram kaolin preparasi pada gambar 3. menunjukkan adanya mineral kaolinit yang memberikan serapan pada sudut 2θ=12,42º untuk difraksi tingkat pertama d001 dan pada sudut 2θ=24,88º untuk difraksi tingkat kedua d002 (Sunardi, 2010). Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan, kaolin berhasil di preparasi dengan sedikit kehadiran mineral haloisit, klorit, kuarsa, lempung dan kristobalit.
Gambar 3. Difraktogram sinar-X sampel kaolin sebelum dan sesudah preparasi (Cl=lempung, Ch=klorit, K=kaolin, Cr=kristobalit, H=haloisit, Q=kuarsa) (Sunardi, 2010)
38 Pembuatan Material Hidrogel Kitosan-Kaolin
Modifikasi kitosan dengan kaolin dilakukan pada variasi rasio massa 1:0,25; 1:0,5; 1:1; 1:2 dan 1:4 (kitosan:kaolin). Variasi massa dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan hidrogel kitosan seiring dengan bertambahnya massa kaolin dan kinerja terbaik dari adsorben hidrogel kitosan-kaolin melalui proses adsorpsi. Pada larutan gel kitosan yang telah terbentuk ditambahkan kaolin dan didiamkan selama 20 jam bertujuan untuk memberikan waktu kontak antara kedua adsorben sehingga terbentuk hidrogel yang kompak. Semakin besar massa kaolin maka semakin bertambah kekentalan suatu larutan gel. Hal ini mengindikasi bahwa kaolin bereaksi dengan baik dengan larutan gel kitosan.
Campuran gel kitosan-kaolin yang telah homogen selanjutnya dibentuk menjadi hidrogel dalam larutan NaOH yang mengandung metanol menggunakan syringe 3 mL. Penggunaan larutan NaOH bertujuan untuk mengeraskan gel kitosan-kaolin sehingga terjadi repolimerisasi kitosan, serta dengan kehadiran metanol akan membantu proses memadatkan hidrogel sesuai dengan bentuk tetesan dari syringe yang digunakan. Ukuran hidrogel kitosan-kaolin diusahakan dalam ukuran kecil karena semakin kecil ukuran maka semakin besar luas permukaannya sehingga kemampuannya sebagai adsorben semakin besar. Setiap celah dalam struktur hidrogel kitosan yang terbentuk akan diisi oleh larutan asam asetat. Pada proses tersebut tidak terjadi perubahan ikatan pada gugus fungsi kitosan, yang terjadi hanya perubahan pada bentuk fisik saja (Basuki dan Sanjaya, 2009). Hidrogel kitosan-kaolin yang terbentuk direndam selama 24 jam untuk proses pengerasan. Kemudian hidrogel kitosan-kaolin dicuci hingga diperoleh pH 7 untuk menghindari pengaruh pH dan disimpan dalam keadaan basah sehingga dapat langsung digunakan sebagai adsorben. Perubahan gugus fungsional hidrogel kitosan dan kitosan-kaolin yang telah dikarakterisasi melalui spektrofotometri FT-IR disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Spektrum FT-IR hidrogel kitosan dan kitosan-kaolin (1:0,25; 1:0,5; 1:1; 1:2; 1:4)
Karakterisasi Material Hidrogel Kitosan-Kaolin
Hasil analisis foto SEM pada Gambar 5. memperlihatkan struktur morfologi permukaan hidrogel kitosan termodifikasi dengan kaolin lebih padat dan kompak dibandingkan hidrogel kitosan. Menurut Sunardi (2010) morfologi permukaan khas kaolin adalah berupa kelompok lembaran heksagonal berlapis, dimana kaolin mempunyai struktur pseudoheksagonal berlapis-lapis dengan ukuran 1-10 µm dengan jumlah lembaran tiap lapis sekitar 10-50 buah. Morfologi permukaan hidrogel kitosan-kaolin memperlihatkan morfologi permukaan kaolin yang lebih dominan dari morfologi khas kaolin berupa kelompok lembaran heksagonal berlapis. Semakin banyak kaolin yang digunakan maka semakin besar ruang antarlapisan yang menyebabkan semakin padat dan kompak adsorben yang dihasilkan. Berdasarkan hasil foto tersebut, pori-pori hidrogel kitosan maupun kitosan-kaolin tidak dapat diketahui dengan jelas, hal ini dikarenakan hidrogel mengalami deformasi struktur setelah dikeringkan (Nurmasari, dkk., 2010).
Perubahan gugus fungsional hidrogel kitosan termodifikasi dengan kaolin memperlihatkan karakteristik yang berbeda dibandingkan spektra kitosan dan kaolin. Perubahan ini dapat diamati pada daerah sekitar 3700-3450 cm-1 dan 1650-1500 cm-1. Serapan pada bilangan gelombang 3695,61 cm-1 merupakan vibrasi ulur gugus N–H dari amina kitosan. Puncak serapan pada bilangan gelombang 3425,58
Kitosan 1:0,25 1:0,5 1:1 1:2 1:4
39 cm-1 merupakan vibrasi ulur O–H menunjukkan adanya interaksi gugus O–H pada kaolin dengan O–H pada kitosan sehingga menyebabkan intensitas dari puncak gugus O–H semakin lebar. Serapan yang dihasilkan oleh gugus –OH tersebut lebar karena jumlah gugus –OH yang besar. Puncak serapan tersebut mengalami penurunan intensitas serapan yang menunjukkan terjadinya perusakan ikatan hidrogen dari kitosan dan pembentukan ikatan hidrogen baru antara kitosan dan kaolin (Indrawati dan Cahyaningrum, 2013).
Vibrasi ulur Si–O dan Al–O dari kaolin bergeser dari 1080,14 cm-1 menjadi 1033,85 cm-1. Pita serapan pada bilangan gelombang 1103, 28 cm-1 merupakan pergeseran serapan dari vibrasi ulur gugus –C–O– dari kitosan. Puncak serapan pada bilangan gelombang 1658,78 cm-1 merupakan vibrasi bengkokan N–H dan dapat diindikasikan sebagai konfirmasi terbentuknya ion –NH2 (Zaharah, dkk., 2015). Berdasarkan hasil karakterisasi FT-IR pada hidrogel kitosan-kaolin hasil penelitian, diperkirakan bahwa modifikasi kitosan dengan kaolin melibatkan interaksi elektrostatik antara gugus Si–O dan Al–O pada kaolin dengan gugus amina terprotonasi pada kitosan.
Puncak serapan hidrogel kitosan-kaolin (1:0,25) pada bilangan gelombang 3425,58 cm-1 memiliki persen intensitas yang besar sebesar 8,3% dibandingkan kitosan-kaolin lainnya yang memiliki intensitas sebesar 11,5-13,5%. Pada serapan tersebut juga menunjukkan bahwa interaksi gugus O–H pada kaolin dengan O–H kitosan lebih baik dibandingkan kitosan-kaolin lainnya yang dapat dilihat dari perbedaan pelebaran intensitas dari puncak O–H masing-masing. Puncak serapan 1658,78 cm-1 yang mengindikasikan terbentuknya ion –NH2 lebih tajam dibandingkan dengan kitosan-kaolin lain, hal ini menunjukkan bahwa kitosan-kaolin 1:0,25 memiliki gugus aktif amina kitosan lebih besar. Kitosan-kaolin 1:0,25 memiliki intensitas yang lebih kecil dibandingkan kitosan-kaolin lainnya yaitu sebesar 5,4% pada serapan 1033,85 cm-1 yang merupakan gugus aktif kaolin, hal ini dikarenakan gugus aktif kitosan lebih dominan dibandingkan gugus aktif kaolin, sehingga persen adsorpsi kitosan-kaolin
1:0,25 lebih besar dibandingkan kitosan-kaolin lainnya.
Gambar 5. Morfologi Permukaan (a) kitosan, (b) kitosan:kaolin 1:0,25, (c) 1:0,5, (d) 1:1, (e) 1:2 dan (f) 1:4
a
b
c
d
e
f
40 Pengaruh pH Terhadap Kemampuan Adsorpsi Hidrogel Kitosan-Kaolin
Derajat keasaman (pH) suatu larutan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi proses adsorpsi, dimana muatan pada situs aktif atau ion H+ akan berkompetisi dengan kation untuk berikatan dengan situs aktif. Kondisi keasaman dari larutan ion logam juga memberikan pengaruh terhadap persen penyerapan secara maksimum sehingga perlu ditentukan pH optimum dalam suatu proses adsorpsi.
Gambar 6. Spektrum FT-IR kaolin, kitosan dan kitosan-kaolin (1:0,25) .
Penentuan pH optimum dilakukan pada variasi pH 4, 5, 6, dan 7. Pemilihan nilai pH ini didasarkan untuk melihat peningkatan stabilitas hidrogel kitosan termodifikasi kaolin dalam suasana asam, dimana kitosan mudah larut dalam asam. Proses adsorpsi dilakukan dengan menggunakan kolom, dimana adsorben kitosan-kaolin sebagai fasa diam dari kolom dengan sampel larutan timbal.
Timbal (II) yang teradsorpsi dinyatakan dalam %, dihitung berdasarkan konsentrasi ion-ion Pb2+ yang tidak teradsorpsi. Pada tabel diatas, dapat dilihat kemampuan adsorpsi masing-masing adsorben kitosan termodifikasi kaolin yaitu kitosan-kaolin (1:0,25), kitosan-kaolin (1:0,5), kitosan-kaolin (1:1), kitosan-kaolin (1:2) dan kitosan-kaolin (1:4) terhadap ion logam Pb2+. Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa adsorpsi ion logam Pb(II) mencapai kondisi optimum pada pH 5. Pada pH yang sangat asam (pH ≤ 3), jumlah ion-ion H+ dalam larutan sangat besar sehingga terjadi adsorpsi kompetitif dengan ion Pb(II) untuk berikatan dengan situs aktif
adsorben. Pada pH rendah, gugus amina adsorben cenderung sangat mudah terprotonasi menjadi –NH3+, yang dapat mengakibatkan terjadinya tolakan elektrostatik dengan ion Pb(II) sehingga proses adsorpsi relatif rendah. Seiring meningkatnya pH larutan, muatan parsial positif adsorben akan berkurang sehingga banyak situs aktif yang dapat diakses oleh ion logam Pb(II) dan jumlah ion yang teradsorpsi meningkat hingga mencapai kondisi optimum pada pH 5.
Tabel 2. Pengaruh pH Larutan Terhadap Penurunan Konsentrasi Ion Logam Pb2+ Adsorben Kitosan: Kaolin Persen Penyerapan (%) Berdasarkan Derajat Keasaman (pH) 4 5 6 7 1:0 73,32 73,93 50,23 49,36 1:0,25 74,38 76,46 47,64 47,21 1:0,5 70,42 74,62 55,13 41,97 1:1 71,82 73,68 47,46 51,91 1:2 72,34 74,42 49,27 46,36 1:4 72,23 76,13 50,35 40,20 Adsorpsi pada kisaran pH 6 dan 7, cenderung menurun signifikan. Hal ini dikarenakan pada pH tinggi jumlah ion H+ akan berkurang dan akan ada persaingan antara situs aktif bermuatan negatif dari adsorben dan ion OH- untuk menarik ion logam Pb2+. Menurut hasil penelitian Zaharah, dkk. (2015) pada pH yang tinggi, gugus hidroksida merupakan ligan yang lebih efektif dibandingkan gugus aktif adsorben, sehingga ion logam lebih tertarik untuk berikatan dengan ligan hidroksida dan mengakibatkan proses pengendapan lebih dominan daripada proses adsorpsi dalam larutan. Pada pH 6 dan 7, spesi Pb2+ terdapat dalam jumlah yang kecil dan telah terjadi reaksi antara Pb2+ dengan OH -sehingga membentuk endapan Pb(OH)2 yang menyebabkan proses adsorpsinya terhalang. Proses adsorpsi yang terjadi kemungkinan lepas lagi karena interaksi yang terjadi secara elektrostatik, sehingga ikatannya lemah dan menyebabkan persen penyerapannya semakin menurun.
Berdasarkan persen adsorpsi tersebut, dapat diketahui bahwa persen penyerapan maksimum terjadi pada hidrogel kitosan-kaolin (1:0,25) dengan persen penyerapan sebesar 76,46%. Kitosan 1 : 0,25
41 Adsorben kitosan-kaolin (1:0,25) merupakan perbandingan massa kitosan dan kaolin yang bekerja secara optimum dibandingkan adsorben lainnya. Perbedaan persen penyerapan oleh hidrogel kitosan dengan kitosan termodifikasi kaolin tidak memberikan kenaikan yang signifikan. Hal ini mungkin dikarenakan gugus aktif kaolin tertutupi kitosan, sehingga gugus aktif yang banyak berperan adalah gugus aktif kitosan. Akan tetapi, semakin banyak kaolin yang digunakan semakin menurun persen penyerapannya karena jumlah gugus aktif kaolin semakin bertambah dan mulai bersaing dengan gugus aktif kitosan untuk berperan dalam mengikat ion Pb(II), sehingga gugus aktif kitosan yang dapat mengadsorpsi lebih banyak dari gugus aktif kaolin mulai terhalangi dan menyebabkan persen penyerapan menjadi menurun. SIMPULAN
Kitosan telah berhasil dimodifikasi dengan kaolin, terlihat dengan munculnya gugus baru pada 3425,58 cm-1 (O–H) dan pada 1033,85 cm-1 (Si–O dan Al–O). Struktur morfologi permukaan kitosan termodifikasi kaolin yang dihasilkan lebih padat dan kompak dibandingkan kitosan. Kemampuan adsorpsi kitosan-kaolin(1:0,25) lebih tinggi dibandingkan kitosan dan kitosan termodifikasi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada kitosan-kaolin(1:0,25) gugus aktif –NH2 terdapat dalam jumlah yang banyak yang ditunjukkan dengan penurunan konsentrasi Pb (II) sebesar 76,46% pada pH optimum 5. DAFTAR PUSTAKA
Allen, C. V., Destiarti, L., dan Zaharah, T. A., 2014, Recovery Timbal Ekstraksi Fase Padat Menggunakan Kitosan Terimobilisasi Ditizon, J. Kimia Khatulistiwa, 3 (1): 57-63.
Badan Standarisasi Nasional, 2004, SNI 06-6989.8-2004: Cara Uji Timbal (Pb) dengan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA).
Basuki dan Sanjaya, 2009, Sintesis Ikat Silang Kitosan dengan Glutaraldehid serta Identifikasi Gugus Fungsi dan Derajat Deasetilasinya, J.Ilmu Dasar, Vol. 10(1): 93-101..
Husein, M. Z., Yarmo, M. A., Rahman, M. Z. A., Zainal, Z., and Liang A. A. S., 2001, Texture and Microstructure of
Chitosan-Treated Bentonite and its Calcined products, Malaysian J. of Analytical Sciences, 7 (1): 35-40. Indrawati, D dan Cahyaningrum, S. E.,
2013, Pengaruh Perbandingan Komposisi Kitosan dan Silika Terhadap Karakterisasi Adsorben Kitosan-Silika Bead, UNESA J. of Chemistry, 2 (1): 8-13.
Iqbal, H. Z dan Qodir, M. A., 1990, AAS Determination of Lead and Cadmium in Leaves Polluted by Vehicles Exhoust Interface, J. Environmental Analytic Chemistry, 38(4): 533-538. Kesuma, R. F., Sitorus, B., dan
Adhitiyawarman, 2013, Karakterisasi Pori Adsorben Berbahan Baku Kaolin Capkala dan Zeolit Dealuminasi, J. Kimia Khatulistiwa, 19-23.
Larita, K., 2006, Transformasi Khitin Menjadi Khitosan serta Kemampuan Adsorpsinya terhadap Ion Pb(II) dalam Larutan, Universitas Udayana, Jimbaran, (Skripsi).
Nurmasari, R., Santoso, U. T., Umaningrum, D., dan Rohman, T., 2010, Imobilisasi Asam Humat pada Beads Kitosan dengan Metode Pengikatan-Silang Terproteksi dan Aplikasinya sebagai Adsorben Pb(II), Indo. J. Chem, 10 (1): 88-95.
Panda, R. D., 2012, Modifikasi Bentonit Terpilar Al dengan Kitosan Untuk Adsorpsi Ion Logam, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Depok, (Skripsi).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492, 2010, Persyaratan Kualitas Air Minum dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Puspawati, N. M., dan Simpen, I. N., 2010, Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH, J. Kimia, 4 (1): 79-90.
Rahayu, L. H., dan Purnavita, S., 2007, Optimasi Pembuatan Kitosan dari Kitin Limbah Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus) untuk Adsorben Ion Logam Merkuri. Reaktor, 11 (1): 45-49.
42 Rakhmawati, E., 2007, Pemanfaatan
Kitosan Hasil Deasetilasi Kitin Cangkang Bekicot Sebagai Adsorben Zat Warna Remazol Yellow, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret, Surakarta (Skripsi).
Sunardi, 2010, Kajian Spektroskopi FTIR, XRD dan SEM Kaolin Alam Asal Tatakan, Kalimantan Selatan Hasil Purifikasi dengan Metode Sedimentasi, Sains dan Terapan Kimia, 4 (2): 137-149.
Wahyuni, N., 2010, Modifikasi Kaolin dengan Surfaktan Benzalkonium Klorida dan Karakterisasinya Menggunakan Spektrofotometer Infra Merah, J. Sains dan Terapan Kimia, 4 (1): 1-14.
Zaharah, T. A., Shofiyani, A., dan Sayekti, E., 2015, Karakteristik Biomassa Chlorella sp Terimobilisasi pada Kitosan untuk Adsorpsi Kromium(III) dalam Larutan, Alchemy, Vol. 11 (1): 15-28.